Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 masih berlaku aktif, namun telah mengalami perubahan. Untuk riwayat status dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009, lihat di sini.
Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
Domain publikDomain publikfalsefalse
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 2009
TENTANG NARKOTIKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang
sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya;
bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan Narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan
saksama;
bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia;
bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan
memberantas tindak pidana tersebut;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Narkotika;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 1972 yang Mengubahnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3085);
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3673);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan,
mengolah, membuat, dan menghasilkan Narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau nonekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah bentuk Narkotika.
Impor adalah kegiatan memasukkan Narkotika dan Prekursor Narkotika ke dalam Daerah Pabean.
Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Narkotika dan Prekursor Narkotika dari Daerah Pabean.
Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan
sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan untuk
mengimpor Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan untuk
mengekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian
kegiatan memindahkan Narkotika dari satu tempat ke
tempat lain dengan cara, moda, atau sarana angkutan apa
pun.
Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk
badan hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan
pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran sediaan farmasi,
termasuk Narkotika dan alat kesehatan.
Industri Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan
hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan
produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk
Narkotika.
Transito Narkotika adalah pengangkutan Narkotika dari
suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di
wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat kantor
pabean dengan atau tanpa berganti sarana angkutan.
Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan
Narkotika
dan
dalam
keadaan
ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun
psikis.
Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh
dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus
dengan
takaran
yang
meningkat
agar
menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya
dikurangi
dan/atau
dihentikan
secara
tiba-tiba,
menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika
tanpa hak atau melawan hukum.
Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan
secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari
ketergantungan Narkotika.
Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan
secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar
bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan
fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih
yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan,
melaksanakan,
membantu,
turut
serta
melakukan,
menyuruh,
menganjurkan,
memfasilitasi,
memberi
konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi kejahatan
Narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana
Narkotika.
Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan
penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap
pembicaraan,
pesan,
informasi,
dan/atau
jaringan
komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat
komunikasi elektronik lainnya.
Kejahatan Terorganisasi adalah kejahatan yang dilakukan
oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas 3
(tiga) orang atau lebih yang telah ada untuk suatu waktu
tertentu dan bertindak bersama dengan tujuan melakukan
suatu tindak pidana Narkotika.
Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang
dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.
BAB II DASAR, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Undang-Undang tentang Narkotika berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Undang-Undang tentang Narkotika diselenggarakan berasaskan:
keadilan;
pengayoman;
kemanusiaan;
ketertiban;
perlindungan;
keamanan;
nilai-nilai ilmiah; dan
kepastian hukum.
Pasal 4
Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan:
menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan
pelayanan
kesehatan
dan/atau
pengembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi;
mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia
dari penyalahgunaan Narkotika;
memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika; dan
menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial
bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.
BAB III RUANG LINGKUP
Pasal 5
Pengaturan Narkotika dalam Undang-Undang ini meliputi segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 6
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam:
Narkotika Golongan I;
Narkotika Golongan II; dan
Narkotika Golongan III.
Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 7
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 8
Narkotika
Golongan
I
dilarang digunakan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan.
Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat
digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik,
serta
reagensia
laboratorium
setelah
mendapatkan
persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
BAB IV PENGADAAN
Bagian Kesatu Rencana Kebutuhan Tahunan
Pasal 9
Menteri
menjamin
ketersediaan
Narkotika
untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk keperluan ketersediaan Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), disusun rencana kebutuhan
tahunan Narkotika.
Rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan data
pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi produksi
tahunan yang diaudit secara komprehensif dan menjadi
pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan
Narkotika secara nasional.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana
kebutuhan tahunan Narkotika diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 10
Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari
impor, produksi dalam negeri, dan/atau sumber lain
dengan berpedoman pada rencana kebutuhan tahunan
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana
kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 dan kebutuhan Narkotika dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Kedua Produksi
Pasal 11
Menteri memberi izin khusus untuk memproduksi
Narkotika kepada Industri Farmasi tertentu yang telah
memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan setelah dilakukan audit oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
Menteri melakukan pengendalian terhadap produksi
Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan
pengawasan terhadap bahan baku, proses produksi, dan
hasil akhir dari produksi Narkotika sesuai dengan rencana
kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin
dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 12
Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau
digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah
yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pengawasan produksi Narkotika Golongan I untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan
produksi dan/atau penggunaan dalam produksi dengan
jumlah
yang
sangat
terbatas
untuk
kepentingan
pengembangan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pasal 13
Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga
pendidikan
dan
pelatihan
serta
penelitian
dan
pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah
ataupun swasta dapat memperoleh, menanam, menyimpan,
dan menggunakan Narkotika untuk kepentingan ilmu
pengetahuan dan teknologi setelah mendapatkan izin
Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk
mendapatkan izin dan penggunaan Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat Penyimpanan dan Pelaporan
Pasal 14
Narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi,
pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan
masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu
pengetahuan wajib disimpan secara khusus.
Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah
sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,
dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat,
menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai
pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada
dalam penguasaannya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan
secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ketentuan
mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenai sanksi administratif oleh Menteri atas rekomendasi
dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan berupa:
teguran;
peringatan;
denda administratif;
penghentian sementara kegiatan; atau
pencabutan izin.
BAB V IMPOR DAN EKSPOR
Bagian Kesatu Izin Khusus dan Surat Persetujuan Impor
Pasal 15
Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang
besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai
importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan impor Narkotika.
Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin
kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin
sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
untuk
melaksanakan
impor
Narkotika.
Pasal 16
Importir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Impor
dari Menteri untuk setiap kali melakukan impor Narkotika.
Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil audit Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap rencana
kebutuhan dan realisasi produksi dan/atau penggunaan
Narkotika.
Surat Persetujuan Impor Narkotika Golongan I dalam
jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Surat Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disampaikan kepada pemerintah negara pengekspor.
Pasal 17
Pelaksanaan impor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengekspor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor.
Bagian Kedua Izin Khusus dan Surat Persetujuan Ekspor
Pasal 18
Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang
besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai
eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan ekspor Narkotika.
Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin
kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin
sebagai eksportir sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan
untuk
melaksanakan
ekspor
Narkotika.
Pasal 19
Eksportir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan
Ekspor dari Menteri untuk setiap kali melakukan ekspor
Narkotika.
Untuk memperoleh Surat Persetujuan Ekspor Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon harus
melampirkan surat persetujuan dari negara pengimpor.
Pasal 20
Pelaksanaan ekspor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengimpor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor.
Pasal 21
Impor dan ekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika hanya dilakukan melalui kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar negeri.
Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga Pengangkutan
Pasal 23
Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengangkutan barang tetap berlaku bagi pengangkutan Narkotika, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini atau diatur kemudian berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 24
Setiap pengangkutan impor Narkotika wajib dilengkapi
dengan dokumen atau surat persetujuan ekspor Narkotika
yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor dan Surat Persetujuan
Impor Narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri.
Setiap pengangkutan ekspor Narkotika wajib dilengkapi
dengan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang
dikeluarkan oleh Menteri dan dokumen atau surat
persetujuan impor Narkotika yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara
pengimpor.
Pasal 25
Penanggung jawab pengangkut impor Narkotika yang memasuki wilayah Negara Republik Indonesia wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat Persetujuan Impor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau surat persetujuan ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor.
Pasal 26
Eksportir Narkotika wajib memberikan Surat Persetujuan
Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau Surat
Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara
pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas
perusahaan pengangkutan ekspor.
Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan
pengangkutan ekspor wajib memberikan Surat Persetujuan
Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau Surat
Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara
pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
Penanggung jawab pengangkut ekspor Narkotika wajib
membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat
Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen
atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
negara pengimpor.
Pasal 27
Narkotika yang diangkut harus disimpan pada kesempatan
pertama dalam kemasan khusus atau di tempat yang aman
di dalam kapal dengan disegel oleh nakhoda dengan
disaksikan oleh pengirim.
Nakhoda membuat berita acara tentang muatan Narkotika
yang diangkut.
Nakhoda dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua
puluh empat) jam setelah tiba di pelabuhan tujuan wajib
melaporkan Narkotika yang dimuat dalam kapalnya kepada
kepala kantor pabean setempat.
Pembongkaran muatan Narkotika dilakukan dalam
kesempatan pertama oleh nakhoda dengan disaksikan oleh
pejabat bea dan cukai.
Nakhoda yang mengetahui adanya Narkotika tanpa
dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor atau Surat
Persetujuan Impor di dalam kapal wajib membuat berita
acara, melakukan tindakan pengamanan, dan pada
persinggahan pelabuhan pertama segera melaporkan dan
menyerahkan Narkotika tersebut kepada pihak yang
berwenang.
Pasal 28
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 berlaku pula bagi kapten penerbang untuk pengangkutan udara.
Bagian Keempat Transito
Pasal 29
Transito Narkotika harus dilengkapi dengan dokumen atau
Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang sah dari
pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau Surat
Persetujuan Impor Narkotika yang sah dari pemerintah
negara pengimpor sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor
dan pengimpor.
Dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang:
nama dan alamat pengekspor dan pengimpor Narkotika;
jenis, bentuk, dan jumlah Narkotika; dan
negara tujuan ekspor Narkotika.
Pasal 30
Setiap terjadi perubahan negara tujuan ekspor Narkotika pada Transito Narkotika hanya dapat dilakukan setelah adanya
persetujuan dari:
pemerintah negara pengekspor Narkotika;
pemerintah negara pengimpor Narkotika; dan
pemerintah negara tujuan perubahan ekspor Narkotika.
Pasal 31
Pengemasan kembali Narkotika pada Transito Narkotika hanya dapat dilakukan terhadap kemasan asli Narkotika yang mengalami kerusakan dan harus dilakukan di bawah tanggung jawab pengawasan pejabat Bea dan Cukai dan petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan Transito Narkotika diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima Pemeriksaan
Pasal 33
Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapan dokumen impor, ekspor, dan/atau Transito Narkotika.
Pasal 34
Importir Narkotika dalam memeriksa Narkotika yang
diimpornya disaksikan oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menteri
paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal diterimanya
impor Narkotika di perusahaan.
Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Menteri menyampaikan hasil penerimaan impor
Narkotika kepada pemerintah negara pengekspor.
BAB VI PEREDARAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 35
Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 36
Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan
setelah mendapatkan izin edar dari Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
perizinan peredaran Narkotika dalam bentuk obat jadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Untuk mendapatkan izin edar dari Menteri, Narkotika
dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat
dan Makanan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pendaftaran Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 37
Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 38
Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.
Bagian Kedua Penyaluran
Pasal 39
Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi,
pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin khusus
penyaluran Narkotika dari Menteri.
Pasal 40
Industri Farmasi tertentu hanya
dapat menyalurkan Narkotika kepada:
pedagang besar farmasi tertentu;
apotek;
sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu; dan
rumah sakit.
Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
pedagang besar farmasi tertentu lainnya;
apotek;
sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu;
rumah sakit; dan
lembaga ilmu pengetahuan.
Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
rumah sakit pemerintah;
pusat kesehatan masyarakat; dan
balai pengobatan pemerintah tertentu.
Pasal 41
Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyaluran Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga Penyerahan
Pasal 43
Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
apotek;
rumah sakit;
pusat kesehatan masyarakat;
balai pengobatan; dan
dokter.
Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:
rumah sakit;
pusat kesehatan masyarakat;
apotek lainnya;
balai pengobatan;
dokter; dan
pasien.
Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat
dilaksanakan untuk:
menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui suntikan; atau
menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.
Pasal 44
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyerahan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VII LABEL DAN PUBLIKASI
Pasal 45
Industri Farmasi wajib mencantumkan label pada kemasan
Narkotika, baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan
baku Narkotika.
Label pada kemasan Narkotika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi
tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan pada
kemasan atau dimasukkan ke dalam kemasan,
ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah, dan/atau
kemasannya.
Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label pada
kemasan Narkotika harus lengkap dan tidak menyesatkan.
Pasal 46
Narkotika hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.
Pasal 47
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pencantuman label dan publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dan Pasal 46 diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VIII PREKURSOR NARKOTIKA
Bagian Kesatu Tujuan Pengaturan
Pasal 48
Pengaturan prekursor dalam Undang-Undang ini bertujuan:
melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan
Prekursor Narkotika;
mencegah dan memberantas peredaran gelap Prekursor Narkotika; dan
mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan
Prekursor Narkotika.
Bagian Kedua Penggolongan dan Jenis Prekursor Narkotika
Pasal 49
Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
digolongkan ke dalam Prekursor Tabel I dan Prekursor
Tabel II dalam Lampiran Undang-Undang ini.
Penggolongan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II dan merupakan bagian tak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Prekursor
Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan
menteri terkait.
Bagian Ketiga Rencana Kebutuhan Tahunan
Pasal 50
Pemerintah menyusun rencana kebutuhan tahunan
Prekursor Narkotika untuk kepentingan industri farmasi,
industri nonfarmasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Rencana kebutuhan tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disusun berdasarkan jumlah persediaan, perkiraan
kebutuhan, dan penggunaan Prekursor Narkotika secara
nasional.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penyusunan rencana kebutuhan tahunan Prekursor
Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi
dengan menteri terkait.
Bagian Keempat Pengadaan
Pasal 51
Pengadaan Prekursor Narkotika dilakukan melalui produksi
dan impor.
Pengadaan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk tujuan industri
farmasi, industri nonfarmasi, dan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pasal 52
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara produksi, impor, ekspor, peredaran, pencatatan dan pelaporan, serta pengawasan Prekursor Narkotika diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX PENGOBATAN DAN REHABILITASI
Bagian Kesatu Pengobatan
Pasal 53
Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi
medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II
atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan
tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
memiliki, menyimpan, dan/atau membawa Narkotika
untuk dirinya sendiri.
Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
mempunyai bukti yang sah bahwa Narkotika yang dimiliki,
disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh
secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua Rehabilitasi
Pasal 54
Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 55
Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum
cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan
masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah
untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan
melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib
melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada
pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau
lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang
ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 56
Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah
sakit yang ditunjuk oleh Menteri.
Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh
instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan
rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat
persetujuan Menteri.
Pasal 57
Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.
Pasal 58
Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat.
Pasal 59
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 dan Pasal 57 diatur dengan Peraturan Menteri.
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 diatur dengan peraturan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
BAB X PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 60
Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala
kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika.
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya:
memenuhi ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
mencegah penyalahgunaan Narkotika;
mencegah generasi muda dan anak usia sekolah dalam
penyalahgunaan
Narkotika,
termasuk
dengan
memasukkan pendidikan yang berkaitan dengan
Narkotika dalam kurikulum sekolah dasar sampai
lanjutan atas;
mendorong dan menunjang kegiatan penelitian
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang Narkotika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan; dan
meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis
bagi Pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun masyarakat.
Pasal 61
Pemerintah melakukan pengawasan terhadap segala
kegiatan yang berkaitan dengan Narkotika.
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi;
alat-alat potensial yang dapat disalahgunakan untuk
melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu produk sebelum
diedarkan;
produksi;
impor dan ekspor;
peredaran;
pelabelan;
informasi; dan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pasal 62
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 63
Pemerintah mengupayakan kerja sama dengan negara lain dan/atau badan internasional secara bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional dalam rangka pembinaan dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika sesuai dengan kepentingan nasional.
BAB XI PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
Bagian Kesatu Kedudukan dan Tempat Kedudukan
Pasal 64
Dalam
rangka
pencegahan
dan
pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk
Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN.
BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan
di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 65
BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja
meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
BNN provinsi berkedudukan di ibukota provinsi dan BNN
kabupaten/kota berkedudukan di ibukota kabupaten/kota.
Pasal 66
BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) merupakan instansi vertikal.
Pasal 67
BNN dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh seorang sekretaris utama dan beberapa deputi.
Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membidangi urusan:
bidang pencegahan;
bidang pemberantasan;
bidang rehabilitasi;
bidang hukum dan kerja sama; dan
bidang pemberdayaan masyarakat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi dan tata kerja BNN diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Kedua Pengangkatan dan Pemberhentian
Pasal 68
Kepala BNN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian
Kepala BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Presiden.
Pasal 69
Untuk dapat diusulkan menjadi Kepala BNN, seorang calon harus memenuhi syarat:
warga negara Republik Indonesia;
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
sehat jasmani dan rohani;
berijazah paling rendah strata 1 (satu);
berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun dalam
penegakan hukum dan paling singkat 2 (dua) tahun dalam
pemberantasan Narkotika;
berusia paling tinggi 56 (lima puluh enam) tahun;
cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan
memiliki reputasi yang baik;
tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
tidak menjadi pengurus partai politik; dan
bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lain selama menjabat kepala BNN.
Bagian Ketiga Tugas dan Wewenang
Pasal 70
BNN mempunyai tugas:
menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
mencegah
dan
memberantas
penyalahgunaan
dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia
dalam
pencegahan
dan
pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi
sosial
pecandu
Narkotika,
baik
yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;
memberdayakan
masyarakat
dalam
pencegahan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan
masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik
regional maupun internasional, guna mencegah dan
memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan
terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas
dan wewenang.
Pasal 71
Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 72
Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
dilaksanakan oleh penyidik BNN.
Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pengangkatan
dan
pemberhentian
penyidik
BNN
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Kepala BNN.
BAB XII PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 73
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 74
Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika, termasuk perkara yang didahulukan
dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna
penyelesaian secepatnya.
Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan
tindak pidana Prekursor Narkotika pada tingkat banding,
tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan eksekusi pidana
mati, serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya harus
dipercepat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 75
Dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik BNN berwenang:
melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta
keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai
saksi;
menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak
pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah juridiksi
nasional;
melakukan
penyadapan
yang
terkait
dengan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang
cukup;
melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan
penyerahan di bawah pengawasan;
memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam
dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya;
mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang,
dan tanaman;
membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos
dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai
hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor
Narkotika yang disita;
melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang
bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika;
meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
dan
menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 76
Pelaksanaan
kewenangan
penangkapan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 huruf g dilakukan paling lama 3 x
24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak surat
penangkapan diterima penyidik.
Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat)
jam.
Pasal 77
Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf i
dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup
dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak
surat penyadapan diterima penyidik.
Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dilaksanakan atas izin tertulis dari ketua pengadilan.
Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
Tata cara penyadapan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 78
Dalam keadaan mendesak dan Penyidik harus melakukan
penyadapan, penyadapan dapat dilakukan tanpa izin
tertulis dari ketua pengadilan negeri lebih dahulu.
Dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh
empat) jam Penyidik wajib meminta izin tertulis kepada
ketua pengadilan negeri mengenai penyadapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 79
Teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf j dilakukan oleh Penyidik atas perintah tertulis dari pimpinan.
Pasal 80
Penyidik BNN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, juga berwenang:
mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan
barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum;
memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan
lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak lain yang
terkait;
untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga
keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka
yang sedang diperiksa;
untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang
untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka
kepada instansi terkait;
menghentikan sementara suatu transaksi keuangan,
transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau
mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang
dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga
berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya
dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; dan
meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak
hukum negara lain untuk melakukan pencarian,
penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.
Pasal 81
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 82
Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di lingkungan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Narkotika dan Prekursor Narkotika berwenang:
memeriksa kebenaran laporan serta keterangan tentang
adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
memeriksa
orang
yang
diduga
melakukan
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau
badan hukum sehubungan dengan penyalahgunaan
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
memeriksa bahan bukti atau barang bukti perkara
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
menyita bahan bukti atau barang bukti perkara
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang
adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
dan
menangkap
orang
yang
diduga
melakukan
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 83
Penyidik dapat melakukan kerja sama untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 84
Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya.
Pasal 85
Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik pegawai negeri sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 86
Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana.
Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu; dan
data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
tulisan, suara, dan/atau gambar;
peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau
huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Pasal 87
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau penyidik BNN yang melakukan penyitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika, atau yang diduga Narkotika dan Prekursor Narkotika, atau yang mengandung Narkotika dan Prekursor Narkotika wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat:
nama, jenis, sifat, dan jumlah;
keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan,
dan tahun dilakukan penyitaan;
keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai
Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
tanda tangan dan identitas lengkap penyidik yang
melakukan penyitaan.
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memberitahukan penyitaan yang dilakukannya kepada
kepala kejaksaan negeri setempat dalam waktu paling lama
3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan
penyitaan dan tembusannya disampaikan kepada ketua
pengadilan negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 88
Penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang melakukan
penyitaan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika
wajib membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan
barang sitaan tersebut beserta berita acaranya kepada
penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga
kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan
tembusan berita acaranya disampaikan kepada kepala
kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan negeri
setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
Penyerahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari jika berkaitan dengan daerah yang sulit
terjangkau karena faktor geografis atau transportasi.
Pasal 89
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan
Pasal 88 bertanggung jawab atas penyimpanan dan
pengamanan barang sitaan yang berada di bawah
penguasaannya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penyimpanan, pengamanan, dan pengawasan Narkotika dan
Prekursor Narkotika yang disita sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 90
Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan, penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia, penyidik BNN, dan penyidik pegawai negeri sipil
menyisihkan sebagian kecil barang sitaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika untuk dijadikan sampel guna
pengujian di laboratorium tertentu dan dilaksanakan dalam
waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam
sejak dilakukan penyitaan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pengambilan dan pengujian sampel di laboratorium tertentu
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 91
Kepala kejaksaan negeri setempat setelah menerima
pemberitahuan tentang penyitaan barang Narkotika dan
Prekursor Narkotika dari penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia atau penyidik BNN, dalam waktu paling
lama 7 (tujuh) hari wajib menetapkan status barang sitaan
Narkotika dan Prekursor Narkotika tersebut untuk
kepentingan
pembuktian
perkara,
kepentingan
pengembangan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi,
kepentingan
pendidikan
dan
pelatihan,
dan/atau
dimusnahkan.
Barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang
berada dalam penyimpanan dan pengamanan penyidik yang
telah ditetapkan untuk dimusnahkan, wajib dimusnahkan
dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak
menerima penetapan pemusnahan dari kepala kejaksaan
negeri setempat.
Penyidik wajib membuat berita acara pemusnahan dalam
waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam
sejak pemusnahan tersebut dilakukan dan menyerahkan
berita acara tersebut kepada penyidik BNN atau penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan
tembusan berita acaranya disampaikan kepada kepala
kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan negeri
setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
Dalam keadaan tertentu, batas waktu pemusnahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang 1
(satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
Pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 75
huruf k.
Barang sitaan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi diserahkan kepada Menteri dan
untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan diserahkan
kepada Kepala BNN dan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung
sejak menerima penetapan dari kepala kejaksaan negeri
setempat.
Kepala BNN dan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(6)
menyampaikan
laporan
kepada
Menteri
mengenai
penggunaan barang sitaan untuk kepentingan pendidikan
dan pelatihan.
Pasal 92
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik
BNN wajib memusnahkan tanaman Narkotika yang
ditemukan dalam waktu paling lama 2 x 24 (dua kali dua
puluh empat) jam sejak saat ditemukan, setelah disisihkan
sebagian kecil untuk kepentingan penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan di sidang pengadilan, dan dapat disisihkan
untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta untuk kepentingan pendidikan dan
pelatihan.
Untuk tanaman Narkotika yang karena jumlahnya dan
daerah yang sulit terjangkau karena faktor geografis atau
transportasi, pemusnahan dilakukan dalam waktu paling
lama 14 (empat belas) hari.
Pemusnahan dan penyisihan sebagian tanaman Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
nama, jenis, sifat, dan jumlah;
keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun ditemukan dan dilakukan pemusnahan;
keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai
tanaman Narkotika; dan
tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan
pejabat atau pihak terkait lainnya yang menyaksikan pemusnahan.
Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak dimusnahkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan oleh
penyidik untuk kepentingan pembuktian.
Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak dimusnahkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan oleh Menteri
dan Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak dimusnahkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan oleh BNN
untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan.
Pasal 93
Selain untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, dan Pasal 92 sebagian kecil Narkotika atau tanaman Narkotika yang disita dapat dikirimkan ke negara lain yang diduga sebagai asal Narkotika atau tanaman Narkotika tersebut untuk pemeriksaan laboratorium guna pengungkapan asal Narkotika atau tanaman Narkotika dan jaringan peredarannya berdasarkan perjanjian antarnegara atau berdasarkan asas timbal balik.
Pasal 94
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyerahan dan pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 95
Proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak menunda atau menghalangi penyerahan barang sitaan menurut ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dan Pasal 91.
Pasal 96
Apabila berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap terbukti bahwa barang
sitaan yang telah dimusnahkan menurut ketentuan Pasal
91 diperoleh atau dimiliki secara sah, kepada pemilik
barang yang bersangkutan diberikan ganti rugi oleh
Pemerintah.
Besaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh pengadilan.
Pasal 97
Untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tersangka atau terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta kekayaan dan harta benda istri, suami, anak, dan setiap orang atau korporasi yang diketahuinya atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan tersangka atau terdakwa.
Pasal 98
Hakim berwenang meminta terdakwa membuktikan bahwa seluruh harta kekayaan dan harta benda istri, suami, anak, dan setiap orang atau korporasi bukan berasal dari hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan terdakwa.
Pasal 99
Di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang
bersangkutan dengan perkara tindak pidana Narkotika dan
Prekursor Narkotika yang sedang dalam pemeriksaan,
dilarang menyebutkan nama dan alamat pelapor atau hal
yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya
identitas pelapor.
Sebelum sidang dibuka, hakim mengingatkan saksi dan
orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk tidak melakukan
perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Pasal 100
Saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang
memeriksa perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika beserta keluarganya wajib diberi perlindungan
oleh negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa,
dan/atau hartanya, baik sebelum, selama maupun sesudah
proses pemeriksaan perkara.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perlindungan
oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 101
Narkotika, Prekursor Narkotika, dan alat atau barang yang
digunakan di dalam tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika atau yang menyangkut Narkotika dan Prekursor
Narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas untuk
negara.
Dalam hal alat atau barang yang dirampas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah milik pihak ketiga yang
beritikad baik, pemilik dapat mengajukan keberatan
terhadap perampasan tersebut kepada pengadilan yang
bersangkutan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari
setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.
Seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas
untuk negara dan digunakan untuk kepentingan:
pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
upaya rehabilitasi medis dan sosial.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan harta kekayaan atau aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 102
Perampasan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 dapat dilakukan atas permintaan negara lain berdasarkan perjanjian antarnegara.
Pasal 103
Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan
menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau
menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan
menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.
Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
BAB XIII PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 104
Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 105
Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 106
Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika diwujudkan dalam bentuk:
mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya
dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan
memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada
penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung
jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani
perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya
yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN;
memperoleh
perlindungan
hukum
pada
saat
yang
bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir
dalam proses peradilan.
Pasal 107
Masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika mengetahui adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 108
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
104, Pasal 105, dan Pasal 106 dapat dibentuk dalam suatu
wadah yang dikoordinasi oleh BNN.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Kepala BNN.
BAB XIV PENGHARGAAN
Pasal 109
Pemerintah memberikan penghargaan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 110
Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XV KETENTUAN PIDANA
Pasal 111
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai,
atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk
tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00
(delapan miliar rupiah).
Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 112
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,
atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku
dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 113
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu
miliar
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Dalam
hal
perbuatan
memproduksi,
mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk
tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi
5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
Pasal 114
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu
miliar
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk
tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi
5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana
mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 115
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas)
tahun
dan
pidana
denda
paling
sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut,
atau mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya
melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang
pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 116
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain
atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah).
Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3
(sepertiga).
Pasal 117
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00
(enam
ratus
juta
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,
menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 11
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas)
tahun
dan
pidana
denda
paling
sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Dalam
hal
perbuatan
memproduksi,
mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 119
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 120
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00
(enam
ratus
juta
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut,
atau mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram
maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 121
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menggunakan Narkotika Golongan II terhadap orang lain
atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00
(delapan miliar rupiah).
Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
Pasal 122
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00
(empat
ratus
juta
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,
menyediakan
Narkotika
Golongan
III
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram,
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 123
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan
hukum
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00
(enam
ratus
juta
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Dalam
hal
perbuatan
memproduksi,
mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 124
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi
perantara dalam jual beli,
menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 125
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00
(empat
ratus
juta
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut,
atau mentransito Narkotika Golongan III sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram
maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 126
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menggunakan Narkotika Golongan III terhadap orang lain
atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan III untuk digunakan orang
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
1/3 (sepertiga).
Pasal 127
Setiap Penyalah Guna:
Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 128
Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang
sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah
dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana.
Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani
rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di
rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang
ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana.
Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi
standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 129
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum:
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
Pasal 130
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115,
Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120,
Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125,
Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan oleh korporasi, selain
pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana
yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana
denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut.
Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
pencabutan izin usaha; dan/atau
pencabutan status badan hukum.
Pasal 131
Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 132
Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal
113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118,
Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123,
Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129, pelakunya
dipidana dengan pidana penjara yang sama sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal
tersebut.
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116,
Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121,
Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan
Pasal 129 dilakukan secara terorganisasi, pidana penjara
dan pidana denda maksimumnya ditambah 1/3 (sepertiga).
Pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 133
Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan
sesuatu,
memberikan
kesempatan,
menganjurkan,
memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman,
memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat,
atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115,
Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120,
Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125,
Pasal 126, dan Pasal 129 dipidana dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00
(dua
miliar
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan
sesuatu,
memberikan
kesempatan,
menganjurkan,
memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman,
memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat,
atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk
menggunakan Narkotika, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas)
tahun
dan
pidana
denda
paling
sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 134
Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan
sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Keluarga dari Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan
Pecandu Narkotika tersebut dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 135
Pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 136
Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, baik berupa aset dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud serta barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika dirampas untuk negara.
Pasal 137
Setiap orang yang:
menempatkan,
membayarkan
atau
membelanjakan,
menitipkan,
menukarkan,
menyembunyikan
atau
menyamarkan,
menginvestasikan,
menyimpan,
menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentransfer uang,
harta, dan benda atau aset baik dalam bentuk benda
bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud yang berasal dari tindak pidana Narkotika
dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan,
penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran
investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta
atau uang, benda atau aset baik dalam bentuk benda
bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana
Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 138
Setiap orang yang menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 139
Nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 140
Penyidik pegawai negeri sipil yang secara melawan hukum
tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 88 dan Pasal 89 dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90,
Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) dikenai pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 141
Kepala kejaksaan negeri yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 142
Petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 143
Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 144
Setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun
melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal
114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119,
Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124,
Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1),
dan Pasal 129 pidana maksimumnya ditambah dengan
1/3 (sepertiga).
Ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pelaku tindak
pidana yang dijatuhi dengan pidana mati, pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 145
Setiap orang yang melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 di luar wilayah Negara Republik Indonesia diberlakukan juga ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 146
Terhadap warga negara asing yang melakukan tindak
pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor
Narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini, dilakukan pengusiran
keluar wilayah Negara Republik Indonesia.
Warga negara asing yang telah diusir sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang masuk kembali ke wilayah
Negara Republik Indonesia.
Warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana
Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di
luar negeri, dilarang memasuki wilayah Negara Republik
Indonesia.
Pasal 147
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi:
pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik
pemerintah, dan apotek yang mengedarkan Narkotika
Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan;
pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam,
membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika
bukan
untuk
kepentingan
pengembangan
ilmu
pengetahuan;
pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi
Narkotika
Golongan
I
bukan
untuk
kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan; atau
pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan
Narkotika Golongan I yang bukan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan
Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 148
Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar.
BAB XV KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 149
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan
Narkotika Nasional, Badan Narkotika provinsi, dan Badan
Narkotika kabupaten/kota, dinyatakan sebagai BNN, BNN
provinsi, dan BNN kabupaten/kota berdasarkan Undang-Undang ini;
Kepala Pelaksana Harian BNN untuk pertama kali
ditetapkan sebagai Kepala BNN berdasarkan Undang-Undang ini;
Pejabat dan pegawai di lingkungan Badan Narkotika
Nasional yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 adalah pejabat dan pegawai BNN
berdasarkan Undang-Undang ini;
dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak UndangUndang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata kerja
Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 harus sudah
disesuaikan dengan Undang-Undang ini;
dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata kerja
BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota yang dibentuk
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 harus sudah disesuaikan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 150
Program dan kegiatan Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 yang telah dilaksanakan tetapi belum selesai, masih tetap dapat dijalankan sampai dengan selesainya program dan kegiatan dimaksud termasuk dukungan anggarannya.
Pasal 151
Seluruh aset Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007, baik yang berada di BNN provinsi, maupun di BNN kabupaten/kota dinyatakan sebagai aset BNN berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XVII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 152
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698) pada saat Undang-Undang ini diundangkan, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 153
Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3698); dan
Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 154
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 155
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 143
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,