Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 (UU/2009/35)  (2009) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 35 TAHUN 2009

TENTANG

NARKOTIKA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :
  1. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya;
  2. bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan Narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  3. bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama;
  4. bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia;
  5. bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut;
  6. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Narkotika;


Mengingat :
  1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 1972 yang Mengubahnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3085);
  3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3673);



Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA



BAB I
KETENTUAN UMUM

BAB I KETENTUAN UMUM


Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
  2. Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
  3. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, dan menghasilkan Narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau nonekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah bentuk Narkotika.
  4. Impor adalah kegiatan memasukkan Narkotika dan Prekursor Narkotika ke dalam Daerah Pabean.
  5. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Narkotika dan Prekursor Narkotika dari Daerah Pabean.
  6. Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.
  7. Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan untuk mengimpor Narkotika dan Prekursor Narkotika.
  8. Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan untuk mengekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika.
  9. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan Narkotika dari satu tempat ke tempat lain dengan cara, moda, atau sarana angkutan apa pun.
  10. Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran sediaan farmasi, termasuk Narkotika dan alat kesehatan.
  11. Industri Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk Narkotika.
  12. Transito Narkotika adalah pengangkutan Narkotika dari suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat kantor pabean dengan atau tanpa berganti sarana angkutan.
  13. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
  14. Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terusmenerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
  15. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
  16. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika.
  17. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
  18. Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi kejahatan Narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana Narkotika.
  19. Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat komunikasi elektronik lainnya.
  20. Kejahatan Terorganisasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas 3 (tiga) orang atau lebih yang telah ada untuk suatu waktu tertentu dan bertindak bersama dengan tujuan melakukan suatu tindak pidana Narkotika.
  21. Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
  22. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.



BAB II
{{{2}}}


Pasal 2
Undang-Undang tentang Narkotika berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.



Pasal 3
Undang-Undang tentang Narkotika diselenggarakan berasaskan:
  1. keadilan;
  2. pengayoman;
  3. kemanusiaan;
  4. ketertiban;
  5. perlindungan;
  6. keamanan;
  7. nilai-nilai ilmiah; dan
  8. kepastian hukum.



Pasal 4
Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan:
  1. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
  2. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;
  3. memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
  4. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.



BAB III
{{{2}}}


Pasal 5
Pengaturan Narkotika dalam Undang-Undang ini meliputi segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan Narkotika dan Prekursor Narkotika.



Pasal 6
  1. Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam:
    1. Narkotika Golongan I;
    2. Narkotika Golongan II; dan
    3. Narkotika Golongan III.
    4. Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
    5. Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.



Pasal 7
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.



Pasal 8
  1. Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
  2. Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.



BAB IV
{{{2}}}


Bagian Kesatu
Rencana Kebutuhan Tahunan

Pasal 9
  1. Menteri menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
  2. Untuk keperluan ketersediaan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun rencana kebutuhan tahunan Narkotika.
  3. Rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan data pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi produksi tahunan yang diaudit secara komprehensif dan menjadi pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan Narkotika secara nasional.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri.



Pasal 10
  1. Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari impor, produksi dalam negeri, dan/atau sumber lain dengan berpedoman pada rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan kebutuhan Narkotika dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.



Bagian Kedua
Produksi

Pasal 11
  1. Menteri memberi izin khusus untuk memproduksi Narkotika kepada Industri Farmasi tertentu yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah dilakukan audit oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.
  2. Menteri melakukan pengendalian terhadap produksi Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
  3. Badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan pengawasan terhadap bahan baku, proses produksi, dan hasil akhir dari produksi Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.



Pasal 12
  1. Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
  2. Pengawasan produksi Narkotika Golongan I untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan produksi dan/atau penggunaan dalam produksi dengan jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.



Bagian Ketiga
Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Pasal 13
  1. Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun swasta dapat memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan Narkotika untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi setelah mendapatkan izin Menteri.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk mendapatkan izin dan penggunaan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.



Bagian Keempat
Penyimpanan dan Pelaporan

Pasal 14
  1. Narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus.
  2. Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam penguasaannya.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
  4. Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif oleh Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan berupa:
    1. teguran;
    2. peringatan;
    3. denda administratif;
    4. penghentian sementara kegiatan; atau
    5. pencabutan izin.



BAB V
{{{2}}}


Bagian Kesatu
Izin Khusus dan Surat Persetujuan Impor

Pasal 15
  1. Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan untuk melaksanakan impor Narkotika.
  2. Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan impor Narkotika.



Pasal Pasal 16
  1. Importir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Impor dari Menteri untuk setiap kali melakukan impor Narkotika.
  2. Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil audit Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap rencana kebutuhan dan realisasi produksi dan/atau penggunaan Narkotika.
  3. Surat Persetujuan Impor Narkotika Golongan I dalam jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
  4. Surat Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pemerintah negara pengekspor.



Pasal 17
Pelaksanaan impor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengekspor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor.



Bagian Kedua
Izin Khusus dan Surat Persetujuan Ekspor

Pasal 18
  1. Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan untuk melaksanakan ekspor Narkotika.
  2. Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan ekspor Narkotika.



Pasal 19
  1. Eksportir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Ekspor dari Menteri untuk setiap kali melakukan ekspor Narkotika.
  2. (2) Untuk memperoleh Surat Persetujuan Ekspor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon harus melampirkan surat persetujuan dari negara pengimpor.



Pasal 20
Pelaksanaan ekspor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengimpor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor.



Pasal 21
Impor dan ekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika hanya dilakukan melalui kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar negeri.



Pasal Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor diatur dengan Peraturan Menteri.



Bagian Ketiga
Pengangkutan

Pasal 23
pengangkutan barang tetap berlaku bagi pengangkutan Narkotika, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini atau diatur kemudian berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.



Pasal 24
  1. Setiap pengangkutan impor Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen atau surat persetujuan ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di negara pengekspor dan Surat Persetujuan Impor Narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri.
  2. Setiap pengangkutan ekspor Narkotika wajib dilengkapi dengan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri dan dokumen atau surat persetujuan impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor.



Pasal 25
Penanggung jawab pengangkut impor Narkotika yang memasuki wilayah Negara Republik Indonesia wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat Persetujuan Impor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau surat persetujuan ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor.



Pasal 26
  1. Eksportir Narkotika wajib memberikan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.
  2. (2) Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor wajib memberikan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
  3. (3) Penanggung jawab pengangkut ekspor Narkotika wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor.



Pasal 27
  1. Narkotika yang diangkut harus disimpan pada kesempatan pertama dalam kemasan khusus atau di tempat yang aman di dalam kapal dengan disegel oleh nakhoda dengan disaksikan oleh pengirim.
  2. Nakhoda membuat berita acara tentang muatan Narkotika yang diangkut.
  3. Nakhoda dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah tiba di pelabuhan tujuan wajib melaporkan Narkotika yang dimuat dalam kapalnya kepada kepala kantor pabean setempat.
  4. Pembongkaran muatan Narkotika dilakukan dalam kesempatan pertama oleh nakhoda dengan disaksikan oleh pejabat bea dan cukai.
  5. Nakhoda yang mengetahui adanya Narkotika tanpa dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor atau Surat Persetujuan Impor di dalam kapal wajib membuat berita acara, melakukan tindakan pengamanan, dan pada persinggahan pelabuhan pertama segera melaporkan dan menyerahkan Narkotika tersebut kepada pihak yang berwenang.



Pasal 28
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 berlaku pula bagi kapten penerbang untuk pengangkutan udara.



Bagian Keempat
Transito

Pasal 29
  1. Transito Narkotika harus dilengkapi dengan dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang sah dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah dari pemerintah negara pengimpor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan pengimpor.
  2. Dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang:
    1. nama dan alamat pengekspor dan pengimpor Narkotika;
    2. jenis, bentuk, dan jumlah Narkotika; dan
    3. negara tujuan ekspor Narkotika.



Pasal 30
Setiap terjadi perubahan negara tujuan ekspor Narkotika pada Transito Narkotika hanya dapat dilakukan setelah adanya persetujuan dari:
  1. pemerintah negara pengekspor Narkotika;
  2. pemerintah negara pengimpor Narkotika; dan
  3. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor Narkotika.



Pasal 31
Pengemasan kembali Narkotika pada Transito Narkotika hanya dapat dilakukan terhadap kemasan asli Narkotika yang mengalami kerusakan dan harus dilakukan di bawah tanggung jawab pengawasan pejabat Bea dan Cukai dan petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan.



Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan Transito Narkotika diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Bagian Kelima
Pemeriksaan

Pasal 33
Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapan dokumen impor, ekspor, dan/atau Transito Narkotika.



Pasal 34
  1. Importir Narkotika dalam memeriksa Narkotika yang diimpornya disaksikan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menteri paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal diterimanya impor Narkotika di perusahaan.
  2. (2) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menyampaikan hasil penerimaan impor Narkotika kepada pemerintah negara pengekspor.



BAB VI
{{{2}}}


Bagian Kesatu
Umum

Pasal 35
Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.



Pasal 36
  1. Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin edar dari Menteri.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara perizinan peredaran Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
  3. Untuk mendapatkan izin edar dari Menteri, Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat dan Makanan.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pendaftaran Narkotika dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.



Pasal 37
Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri.



Pasal 38
Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.



Bagian Kedua
Penyaluran

Pasal 39
  1. Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
  2. Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin khusus penyaluran Narkotika dari Menteri.



Pasal 40
  1. Industri Farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:


























    1. pedagang besar farmasi tertentu;
    2. apotek;
    3. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu; dan
    4. rumah sakit.
  2. Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
    1. pedagang besar farmasi tertentu lainnya;
    2. apotek;
    3. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu;
    4. rumah sakit; dan
    5. lembaga ilmu pengetahuan.
  3. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
    1. rumah sakit pemerintah;
    2. pusat kesehatan masyarakat; dan
    3. balai pengobatan pemerintah tertentu.



Pasal 41
Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.



Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyaluran Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri.



Bagian Ketiga
Penyerahan

Pasal 43
  1. Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:


























    1. apotek;
    2. rumah sakit;
    3. pusat kesehatan masyarakat;
    4. balai pengobatan; dan
    5. dokter.
  2. Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:
    1. rumah sakit;
    2. pusat kesehatan masyarakat;
    3. apotek lainnya;
    4. balai pengobatan;
    5. dokter; dan
    6. pasien.
  3. Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
  4. Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
    1. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
    2. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui suntikan; atau
    3. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
  5. Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.



Pasal 44
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyerahan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 diatur dengan Peraturan Menteri.



BAB VII
{{{2}}}


Pasal 45
  1. Industri Farmasi wajib mencantumkan label pada kemasan Narkotika, baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku Narkotika.
  2. Label pada kemasan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan ke dalam kemasan, ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah, dan/atau kemasannya.
  3. Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label pada kemasan Narkotika harus lengkap dan tidak menyesatkan.



Pasal 46
Narkotika hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.



Pasal 47
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pencantuman label dan publikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dan Pasal 46 diatur dengan Peraturan Menteri.



BAB VIII
{{{2}}}


Bagian Kesatu
Tujuan Pengaturan

Pasal 48
Pengaturan prekursor dalam Undang-Undang ini bertujuan:
  1. melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Prekursor Narkotika;
  2. mencegah dan memberantas peredaran gelap Prekursor Narkotika; dan
  3. mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan Prekursor Narkotika.



Bagian Kedua

Pasal 49
  1. Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam Prekursor Tabel I dan Prekursor Tabel II dalam Lampiran Undang-Undang ini.
  2. Penggolongan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
  3. Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait.



Bagian Ketiga
Rencana Kebutuhan Tahunan

Pasal 50
  1. Pemerintah menyusun rencana kebutuhan tahunan Prekursor Narkotika untuk kepentingan industri farmasi, industri nonfarmasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
  2. Rencana kebutuhan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan jumlah persediaan, perkiraan kebutuhan, dan penggunaan Prekursor Narkotika secara nasional.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyusunan rencana kebutuhan tahunan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait.



Bagian Keempat
Pengadaan

Pasal 51
  1. Pengadaan Prekursor Narkotika dilakukan melalui produksi dan impor.
  2. Pengadaan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk tujuan industri farmasi, industri nonfarmasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.



Pasal 52
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara produksi, impor, ekspor, peredaran, pencatatan dan pelaporan, serta pengawasan Prekursor Narkotika diatur dengan Peraturan Pemerintah.



BAB IX
{{{2}}}


Bagian Kesatu
Pengobatan

Pasal 53
  1. Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa Narkotika untuk dirinya sendiri.
  3. Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempunyai bukti yang sah bahwa Narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.



Bagian Kedua
Rehabilitasi

Pasal 54
Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.



Pasal 55
  1. Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
  2. Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
  3. Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 56
  1. Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri.
  2. Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri.



Pasal 57
Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.



Pasal 58
Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat.



Pasal 59
  1. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan Pasal 57 diatur dengan Peraturan Menteri.
  2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.



BAB X
{{{2}}}


Pasal 60
  1. Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika.
  2. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya:



Pasal 61
  1. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap segala kegiatan yang berkaitan dengan Narkotika.
  2. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:



Pasal 62
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 63
Pemerintah mengupayakan kerja sama dengan negara lain dan/atau badan internasional secara bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional dalam rangka pembinaan dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika sesuai dengan kepentingan nasional.



BAB XI
{{{2}}}


Bagian Kesatu
Kedudukan dan Tempat Kedudukan

Pasal 64
  1. Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN.
  2. BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.



Pasal 65
  1. BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
  2. BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
  3. BNN provinsi berkedudukan di ibukota provinsi dan BNN kabupaten/kota berkedudukan di ibukota kabupaten/kota.



Pasal 66
BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) merupakan instansi vertikal.



Pasal 67
  1. BNN dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh seorang sekretaris utama dan beberapa deputi.
  2. Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membidangi urusan:



Bagian Kedua
Pengangkatan dan Pemberhentian

Pasal 68
  1. Kepala BNN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
  2. Syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Kepala BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.



Pasal 69
Untuk dapat diusulkan menjadi Kepala BNN, seorang calon harus memenuhi syarat:
  1. warga negara Republik Indonesia;
  2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
  3. sehat jasmani dan rohani;
  4. berijazah paling rendah strata 1 (satu);
  5. berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun dalam penegakan hukum dan paling singkat 2 (dua) tahun dalam pemberantasan Narkotika;
  6. berusia paling tinggi 56 (lima puluh enam) tahun;
  7. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
  8. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
  9. tidak menjadi pengurus partai politik; dan
  10. bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan
  11. n selama menjabat kepala BNN. Bagian Ketiga



Bagian Ketiga
Tugas dan Wewenang

Pasal 70
BNN mempunyai tugas:
  1. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  2. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  3. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  4. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;
  5. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  6. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  7. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  8. mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  9. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
  10. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.



Pasal 71
Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.



Pasal 72
  1. Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan oleh penyidik BNN.
  2. Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala BNN.



BAB XII
{{{2}}}


Pasal 73
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang- Undang ini.



Pasal 74
  1. Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian secepatnya.
  2. Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika pada tingkat banding, tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan eksekusi pidana mati, serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya harus dipercepat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.



Pasal 75
Dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik BNN berwenang:
  1. melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  2. memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  3. memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi;
  4. menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
  5. memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  6. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  7. menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  8. melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah juridiksi nasional;
  9. melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup;
  10. melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan;
  11. memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  12. melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya;
  13. mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
  14. melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman;
  15. membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  16. melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita;
  17. melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  18. meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
  19. menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.



Pasal 76
  1. Pelaksanaan kewenangan penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf g dilakukan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak surat penangkapan diterima penyidik.
  2. Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam.



Pasal 77
  1. Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf i dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak surat penyadapan diterima penyidik.
  2. Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilaksanakan atas izin tertulis dari ketua pengadilan.
  3. Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
  4. Tata cara penyadapan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



Pasal 78
  1. Dalam keadaan mendesak dan Penyidik harus melakukan penyadapan, penyadapan dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari ketua pengadilan negeri lebih dahulu.
  2. Dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam Penyidik wajib meminta izin tertulis kepada ketua pengadilan negeri mengenai penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).



Pasal 79
Teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf j dilakukan oleh Penyidik atas perintah tertulis dari pimpinan.



Pasal 80
Penyidik BNN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, juga berwenang:
  1. mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum;
  2. memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait;
  3. untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa;
  4. untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  5. meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
  6. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait;
  7. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; dan
  8. meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.



Pasal 81
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini.



Pasal 82
  1. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
  2. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di lingkungan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Narkotika dan Prekursor Narkotika berwenang:
    1. memeriksa kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    2. memeriksa orang yang diduga melakukan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    4. memeriksa bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    5. menyita bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    6. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    7. meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
    8. menangkap orang yang diduga melakukan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.



Pasal 83
Penyidik dapat melakukan kerja sama untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.



Pasal 84
Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya.



Pasal 85
Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik pegawai negeri sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang- Undang tentang Hukum Acara Pidana.



Pasal 86
  1. Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
  2. Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
    1. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
    2. data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
      1. tulisan, suara, dan/atau gambar;
      2. peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau
      3. huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.



Pasal 87
  1. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau penyidik BNN yang melakukan penyitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika, atau yang diduga Narkotika dan Prekursor Narkotika, atau yang mengandung Narkotika dan Prekursor Narkotika wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat:
    1. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
    2. keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
    3. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
    4. tanda tangan dan identitas lengkap penyidik yang melakukan penyitaan.
  2. Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberitahukan penyitaan yang dilakukannya kepada kepala kejaksaan negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan kepada ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.



Pasal 88
  1. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang melakukan penyitaan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika wajib membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan barang sitaan tersebut beserta berita acaranya kepada penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusan berita acaranya disampaikan kepada kepala kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
  2. Penyerahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari jika berkaitan dengan daerah yang sulit terjangkau karena faktor geografis atau transportasi.



Pasal 89
  1. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan Pasal 88 bertanggung jawab atas penyimpanan dan pengamanan barang sitaan yang berada di bawah penguasaannya.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyimpanan, pengamanan, dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 90
  1. Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penyidik BNN, dan penyidik pegawai negeri sipil menyisihkan sebagian kecil barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk dijadikan sampel guna pengujian di laboratorium tertentu dan dilaksanakan dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengujian sampel di laboratorium tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 91
  1. Kepala kejaksaan negeri setempat setelah menerima pemberitahuan tentang penyitaan barang Narkotika dan Prekursor Narkotika dari penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau penyidik BNN, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari wajib menetapkan status barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika tersebut untuk kepentingan pembuktian perkara, kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepentingan pendidikan dan pelatihan, dan/atau dimusnahkan.
  2. Barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang berada dalam penyimpanan dan pengamanan penyidik yang telah ditetapkan untuk dimusnahkan, wajib dimusnahkan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak menerima penetapan pemusnahan dari kepala kejaksaan negeri setempat.
  3. Penyidik wajib membuat berita acara pemusnahan dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak pemusnahan tersebut dilakukan dan menyerahkan berita acara tersebut kepada penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan tembusan berita acaranya disampaikan kepada kepala kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
  4. Dalam keadaan tertentu, batas waktu pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
  5. Pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 75 huruf k.
  6. Barang sitaan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diserahkan kepada Menteri dan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan diserahkan kepada Kepala BNN dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak menerima penetapan dari kepala kejaksaan negeri setempat.
  7. Kepala BNN dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menyampaikan laporan kepada Menteri mengenai penggunaan barang sitaan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan.



Pasal 92
  1. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN wajib memusnahkan tanaman Narkotika yang ditemukan dalam waktu paling lama 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak saat ditemukan, setelah disisihkan sebagian kecil untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan dapat disisihkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan.
  2. Untuk tanaman Narkotika yang karena jumlahnya dan daerah yang sulit terjangkau karena faktor geografis atau transportasi, pemusnahan dilakukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari.
  3. Pemusnahan dan penyisihan sebagian tanaman Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:



Pasal 93
Selain untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, dan Pasal 92 sebagian kecil Narkotika atau tanaman Narkotika yang disita dapat dikirimkan ke negara lain yang diduga sebagai asal Narkotika atau tanaman Narkotika tersebut untuk pemeriksaan laboratorium guna pengungkapan asal Narkotika atau tanaman Narkotika dan jaringan peredarannya berdasarkan perjanjian antarnegara atau berdasarkan asas timbal balik.



Pasal 94
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyerahan dan pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92 diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 95
Proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak menunda atau menghalangi penyerahan barang sitaan menurut ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dan Pasal 91.



Pasal 96
  1. Apabila berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terbukti bahwa barang sitaan yang telah dimusnahkan menurut ketentuan Pasal 91 diperoleh atau dimiliki secara sah, kepada pemilik barang yang bersangkutan diberikan ganti rugi oleh Pemerintah.
  2. Besaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh pengadilan.



Pasal 97
Untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tersangka atau terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta kekayaan dan harta benda istri, suami, anak, dan setiap orang atau korporasi yang diketahuinya atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan tersangka atau terdakwa.



Pasal 98
Hakim berwenang meminta terdakwa membuktikan bahwa seluruh harta kekayaan dan harta benda istri, suami, anak, dan setiap orang atau korporasi bukan berasal dari hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan terdakwa.



Pasal 99
  1. Di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebutkan nama dan alamat pelapor atau hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
  2. Sebelum sidang dibuka, hakim mengingatkan saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).



Pasal 100
  1. Saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika beserta keluarganya wajib diberi perlindungan oleh negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perlindungan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 101
  1. Narkotika, Prekursor Narkotika, dan alat atau barang yang digunakan di dalam tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika atau yang menyangkut Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas untuk negara.
  2. Dalam hal alat atau barang yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah milik pihak ketiga yang beritikad baik, pemilik dapat mengajukan keberatan terhadap perampasan tersebut kepada pengadilan yang bersangkutan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.
  3. Seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan:



Pasal 102
Perampasan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 dapat dilakukan atas permintaan negara lain berdasarkan perjanjian antarnegara.



Pasal 103
  1. Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
    1. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau
    2. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika. (2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.



BAB XIII
{{{2}}}


Pasal 104
Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.



Pasal 105
Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.



Pasal 106
Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika diwujudkan dalam bentuk:
  1. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  2. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  3. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  4. memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN;
  5. memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.



Pasal 107
Masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika mengetahui adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.



Pasal 108
  1. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, Pasal 105, dan Pasal 106 dapat dibentuk dalam suatu wadah yang dikoordinasi oleh BNN.
  2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala BNN.



BAB XIV
{{{2}}}


Pasal 109
Pemerintah memberikan penghargaan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.



Pasal 110
Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.



BAB BAB XV
{{{2}}}


Pasal 111
  1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).



Pasal 112
  1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).



Pasal 113
  1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).



Pasal 114
  1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).



Pasal 115
  1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).



Pasal 116
  1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
  2. Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).



Pasal 117
  1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).



Pasal 118
  1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).



Pasal 119
  1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).



Pasal 120
  1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).



Pasal 121
  1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
  2. Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).



Pasal 122
  1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).



Pasal 123
  1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).



Pasal 124
  1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).



Pasal 125
  1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).



Pasal 126
  1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
  2. Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).



Pasal 127
  1. Setiap Penyalah Guna:
    1. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
    2. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
    3. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
  2. Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
  3. Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.



Pasal 128
  1. Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
  2. Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana.
  3. Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana.
  4. Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri.



Pasal 129
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum:
  1. memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
  2. memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
  3. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
  4. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.



Pasal 130
  1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut.
  2. Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
    1. pencabutan izin usaha; dan/atau
    2. pencabutan status badan hukum.



Pasal 131
Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).



Pasal 132
  1. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129, pelakunya dipidana dengan pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut.
  2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan secara terorganisasi, pidana penjara dan pidana denda maksimumnya ditambah 1/3 (sepertiga).
  3. Pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.



Pasal 133
  1. Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
  2. Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk menggunakan Narkotika, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).



Pasal 134
  1. Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
  2. Keluarga dari Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan Pecandu Narkotika tersebut dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).



Pasal 135
Pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).



Pasal 136
Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, baik berupa aset dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud serta barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika dirampas untuk negara.



Pasal 137
Setiap orang yang:
  1. menempatkan, membayarkan atau membelanjakan, menitipkan, menukarkan, menyembunyikan atau menyamarkan, menginvestasikan, menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentransfer uang, harta, dan benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
  2. menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).



Pasal 138
Setiap orang yang menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



Pasal 139
Nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).



Pasal 140
  1. Penyidik pegawai negeri sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dan Pasal 89 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  2. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).



Pasal 141
Kepala kejaksaan negeri yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).



Pasal 142
Petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



Pasal 143
Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).



Pasal 144
  1. Setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 pidana maksimumnya ditambah dengan 1/3 (sepertiga).
  2. Ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana yang dijatuhi dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.



Pasal 145
Setiap orang yang melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 di luar wilayah Negara Republik Indonesia diberlakukan juga ketentuan Undang-Undang ini.



Pasal 146
  1. Terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dilakukan pengusiran keluar wilayah Negara Republik Indonesia.
  2. Warga negara asing yang telah diusir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang masuk kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia.
  3. Warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah Negara Republik Indonesia.



Pasal 147
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi:
  1. pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan;
  2. pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;
  3. pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi Narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; atau
  4. pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika Golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.



Pasal 148
Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar.



BAB BAB XVI
{{{2}}}


Pasal 149
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
  1. adan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika provinsi, dan Badan Narkotika kabupaten/kota, dinyatakan sebagai BNN, BNN provinsi, dan BNN kabupaten/kota berdasarkan Undang- Undang ini;
  2. epala Pelaksana Harian BNN untuk pertama kali ditetapkan sebagai Kepala BNN berdasarkan Undang- Undang ini;
  3. ejabat dan pegawai di lingkungan Badan Narkotika Nasional yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 adalah pejabat dan pegawai BNN berdasarkan Undang-Undang ini;
  4. alam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang- Undang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata kerja Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 harus sudah disesuaikan dengan Undang-Undang ini;
  5. alam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang- Undang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata kerja BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 harus sudah disesuaikan dengan Undang-Undang ini.



Pasal 150
Program dan kegiatan Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 yang telah dilaksanakan tetapi belum selesai, masih tetap dapat dijalankan sampai dengan selesainya program dan kegiatan dimaksud termasuk dukungan anggarannya.



Pasal 151
Seluruh aset Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007, baik yang berada di BNN provinsi, maupun di BNN kabupaten/kota dinyatakan sebagai aset BNN berdasarkan Undang-Undang ini.



BAB BAB XVII
{{{2}}}


Pasal 152
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698) pada saat Undang-Undang ini diundangkan, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang ini.



Pasal 153
Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
  1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698); dan
  2. Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.



Pasal 154
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.



Pasal 155
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Oktober 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.


DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 12 Oktober 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.
ANDI MATTALATTA


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 143


Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT NEGARA RI


PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 2009
TENTANG
NARKOTIKA
I. UMUM
Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilainilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.


Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.

Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal ini juga untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.

Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam Undang-Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika. Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.

Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN tersebut merupakan lembaga non struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi. Dalam Undang- Undang ini, BNN tersebut ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. BNN berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selain itu, BNN juga mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal, yakni BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota.

Untuk lebih memperkuat kelembagaan, diatur pula mengenai seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dan upaya rehabilitasi medis dan sosial.

Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih, dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional.

Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “Prekursor Narkotika” hanya untuk industri farmasi.

Pasal 6

Ayat (1)
Huruf a
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Huruf b
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan II” adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Huruf c
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan III” adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”perubahan penggolongan Narkotika” adalah penyesuaian penggolongan Narkotika berdasarkan kesepakatan internasional dan pertimbangan kepentingan nasional.

Pasal 7

Yang dimaksud dengan “pelayanan kesehatan” adalah termasuk pelayanan rehabilitasi medis.
Yang dimaksud dengan “pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi” adalah penggunaan Narkotika terutama untuk kepentingan pengobatan dan rehabilitasi, termasuk untuk kepentingan pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan serta keterampilan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang tugas dan fungsinya melakukan pengawasan, penyelidikan, penyidikan, dan pemberantasan peredaran gelap Narkotika. Kepentingan pendidikan, pelatihan dan keterampilan adalah termasuk untuk kepentingan melatih anjing pelacak Narkotika dari pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia, Bea dan Cukai dan Badan Narkotika Nasional serta instansi lainnya.

Pasal 8

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I sebagai:
a. reagensia diagnostik adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang digunakan oleh seseorang apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan.
b. reagensia laboratorium adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang disita atau ditentukan oleh pihak Penyidik apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Narkotika dari sumber lain” adalah Narkotika yang dikuasai oleh pemerintah yang diperoleh antara lain dari bantuan atau berdasarkan kerja sama dengan pemerintah atau lembaga asing dan yang diperoleh dari hasil penyitaan atau perampasan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Narkotika yang diperoleh dari sumber lain dipergunakan terutama untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi termasuk juga keperluan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan yang dilaksanakan oleh instansi Pemerintah yang tugas dan fungsinya melakukan pengawasan, penyidikan, dan pemberantasan peredaran gelap Narkotika.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 11

Ayat (1)
Ketentuan ini membuka kemungkinan untuk memberikan izin kepada lebih dari satu industri farmasi yang berhak memproduksi obat Narkotika, tetapi dilakukan sangat selektif dengan maksud agar pengendalian dan pengawasan Narkotika dapat lebih mudah dilakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 12

Ayat (1)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “produksi” adalah termasuk pembudidayaan (kultivasi) tanaman yang mengandung Narkotika.
Yang dimaksud dengan “jumlah yang sangat terbatas” adalah tidak melebihi kebutuhan yang diperlukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 13

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”swasta” adalah lembaga ilmu pengetahuan yang secara khusus atau yang salah satu fungsinya melakukan kegiatan percobaan penelitian dan pengembangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 14

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “balai pengobatan” adalah balai pengobatan yang dipimpin oleh dokter.
Ayat (2)
Ketentuan ini memberi kewajiban bagi dokter yang melakukan praktek pribadi untuk membuat laporan yang di dalamnya memuat catatan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika yang sudah melekat pada rekam medis dan disimpan sesuai dengan ketentuan masa simpan resep selama 3 (tiga) tahun.
Dokter yang melakukan praktek pada sarana kesehatan yang memberikan pelayanan medis, wajib membuat laporan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika, dan disimpan sesuai dengan ketentuan masa simpan resep selama 3 (tiga) tahun.
Catatan mengenai Narkotika di badan usaha sebagaimana diatur pada ayat ini disimpan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dokumen pelaporan mengenai Narkotika yang berada di bawah kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan, disimpan dengan ketentuan sekurang-kurangnya dalam waktu 3 (tiga) tahun.
Maksud adanya kewajiban untuk membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan adalah agar Pemerintah setiap waktu dapat mengetahui tentang persediaan Narkotika yang ada di dalam peredaran dan sekaligus sebagai bahan dalam penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pelanggaran” termasuk juga segala bentuk penyimpangan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Cukup jelas.
huruf c
Cukup jelas.
huruf d
Cukup jelas.
huruf e
Yang dimaksud dengan “pencabutan izin” adalah izin yang berkaitan dengan kewenangan untuk mengelola Narkotika.

Pasal 15

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”dalam keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah apabila perusahaan besar farmasi milik negara dimaksud tidak dapat melaksanakan fungsinya dalam melakukan impor Narkotika karena bencana alam, kebakaran dan lain-lain.
Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar negeri” adalah kawasan di pelabuhan laut dan pelabuhan udara internasional tertentu yang ditetapkan sebagai pintu impor dan ekspor Narkotika agar lalu lintas Narkotika mudah diawasi.
Pelaksanaan impor atau ekspor Narkotika tetap tunduk pada Undang-Undang tentang Kepabeanan dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Ketentuan ini berintikan jaminan bahwa masuknya Narkotika baik melalui laut maupun udara wajib ditempuh prosedur kepabeanan yang telah ditentukan, demi pengamanan lalu lintas Narkotika di Wilayah Negara Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan “penanggung jawab pengangkut” adalah kapten penerbang atau nakhoda.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”kemasan khusus atau di tempat yang aman” dalam ketentuan ini adalah kemasan yang berbeda dengan kemasan lainnya yang ditempatkan pada tempat tersendiri yang disediakan secara khusus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan mengenai batas waktu dalam menyampaikan laporan dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dan memperketat pengawasan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas. .
Huruf b
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “jenis” adalah sediaan bentuk garam atau basa. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “bentuk” adalah sediaan dalam bentuk bahan baku atau obat jadi seperti tanaman, serbuk, tablet, suntikan, kapsul, cairan.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “jumlah” adalah angka yang menunjukkan banyaknya Narkotika yang terdiri dari jumlah satuan berat dalam kilogram, isi dalam milliliter.
Huruf c
Cukup jelas.

Pasal 30

Ketentuan ini menegaskan bahwa pada dasarnya dalam transito Narkotika dilarang mengubah arah negara tujuan. Namun, apabila dalam keadaan tertentu misalnya terjadi keadaan memaksa (force majeur) sehingga harus dilakukan perubahan negara tujuan, maka perubahan tersebut harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam ketentuan ini.
Selama menunggu pemenuhan persyaratan yang diperlukan, Narkotika tetap disimpan di kawasan pabean, dan tanggung jawab pengawasannya berada di bawah Pejabat Bea dan Cukai.

Pasal 31

Ketentuan ini menegaskan bahwa dilibatkannya Petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam pengemasan kembali Narkotika pada Transito Narkotika adalah sesuai dengan tugas dan fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Ketentuan ini menegaskan bahwa batas waktu 3 (tiga) hari kerja dibuktikan dengan stempel pos tercatat, atau tanda terima jika laporan diserahkan secara langsung. Dengan adanya pembatasan waktu kewajiban menyampaikan laporan, maka importir harus segera memeriksa jenis, mutu, dan jumlah atau bobot Narkotika yang diterimanya sesuai dengan Surat Persetujuan Impor yang dimiliki.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah” adalah bahwa setiap peredaran Narkotika termasuk pemindahan Narkotika ke luar kawasan pabean ke gudang importir, wajib disertai dengan dokumen yang dibuat oleh importir, eksportir, industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, atau apotek.
Dokumen tersebut berupa Surat Persetujuan Impor/Ekspor, faktur, surat angkut, surat penyerahan barang, resep dokter atau salinan resep dokter, yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Narkotika bersangkutan.

Pasal 39

Ayat (1)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “industri farmasi, dan pedagang besar farmasi” adalah industri farmasi, dan pedagang besar farmasi tertentu yang telah memiliki izin khusus untuk menyalurkan Narkotika.
Ayat (2)
Ketentuan ini menegaskan bahwa Izin khusus penyaluran Narkotika bagi sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah diperlukan sepanjang surat keputusan pendirian sarana penyimpanan sediaan farmasi tersebut tidak dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Pasal 40

Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu” adalah sarana yang mengelola sediaan farmasi dan alat kesehatan milik Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah dalam rangka pelayanan kesehatan.
Huruf d
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”rumah sakit” adalah rumah sakit yang telah memiliki instalasi farmasi memperoleh Narkotika dari industri farmasi tertentu atau pedagang besar farmasi tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ketentuan ini menegaskan bahwa rumah sakit yang belum mempunyai instalasi farmasi hanya dapat memperoleh Narkotika dari apotek.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Ketentuan ini menegaskan bahwa pemberian kewenangan penyimpanan dan penyerahan Narkotika dalam bentuk suntik dan tablet untuk pemakaian oral (khususnya tablet morphin) salah satu tujuannya adalah untuk memudahkan dokter memberikan tablet Narkotika tersebut kepada pasien yang mengidap penyakit kanker stadium yang tidak dapat disembuhkan dan hanya morphin satu-satunya obat yang dapat menghilangkan rasa sakit yang tidak terhingga dari penderita kanker tersebut.
Huruf b
Lihat penjelasan huruf a.
Huruf c
Ketentuan ini menegaskan bahwa penyerahan Narkotika oleh dokter yang menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek memerlukan surat izin penyimpanan Narkotika dari Menteri Kesehatan atau pejabat yang diberi wewenang. Izin tersebut melekat pada surat keputusan penempatan di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
Ayat (5)
Ketentuan ini dimaksudkan hanya untuk Narkotika Golongan II dan Golongan III.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa pencantuman label dimaksudkan untuk memudahkan pengenalan sehingga memudahkan pula dalam pengendalian dan pengawasannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “label” adalah label khusus yang diperuntukan bagi Narkotika yang berbeda dari label untuk obat lainnya.

Pasal 46

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “dipublikasikan” adalah yang mempunyai kepentingan ilmiah dan komersial untuk Narkotika baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku Narkotika, di kalangan terbatas kedokteran dan farmasi.
Penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat mengenai bahaya penyalahgunaan Narkotika, tidak termasuk kriteria publikasi.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”menteri terkait” antara lain menteri yang membidangi urusan perindustrian dan menteri yang membidangi urusan perdagangan.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”bukti yang sah” antara lain surat keterangan dokter, salinan resep, atau label/etiket.

Pasal 54

Yang dimaksud dengan ”korban penyalahgunaan Narkotika” adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika.

Pasal 55

Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk membantu Pemerintah dalam menanggulangi masalah dan bahaya penyalahgunaan Narkotika, khususnya untuk pecandu Narkotika, maka diperlukan keikutsertaan orang tua/wali, masyarakat, guna meningkatkan tanggung jawab pengawasan dan bimbingan terhadap anak-anaknya.
Yang dimaksud dengan “belum cukup umur” dalam ketentuan ini adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 56

Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika dilakukan dengan maksud untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “instansi pemerintah” misalnya Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dan Pemerintah Daerah. Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk rehabilitasi medis bagi Pecandu Narkotika pengguna jarum suntik dapat diberikan serangkaian terapi untuk mencegah penularan antara lain penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik dengan pengawasan ketat Departemen Kesehatan.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Rehabilitasi sosial dalam ketentuan ini termasuk melalui pendekatan keagamaan, tradisional, dan pendekatan alternatif lainnya.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “mantan Pecandu Narkotika” adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan terhadap Narkotika secara fisik dan psikis.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “lembaga rehabilitasi sosial” adalah lembaga rehabilitasi sosial yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.

Pasal 59

Cukup jelas.

Pasal 60

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan ini tidak mengurangi upaya pencegahan melalui kegiatan ekstrakurikuler pada perguruan tinggi.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “kemampuan lembaga” dalam ketentuan ini misalnya memberikan penguatan, dorongan, atau fasilitasi agar lembaga rehabilitasi medis terjaga keberlangsungannya.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Ketentuan ini menegaskan bahwa kerja sama internasional meliputi juga kerja sama dalam rangka pencegahan dan pemberantasan kejahatan Narkotika transnasional yang terorganisasi.
Pasal 64
Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa dengan dibentuknya Badan Narkotika Nasional yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang mempunyai tugas dan fungsi koordinasi dan operasional dalam pengelolaan Narkotika dan Prekursor Narkotika, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diharapkan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dapat dicegah dan diberantas sampai ke akar-akarnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69

Cukup jelas.

Pasal 70

Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud “berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia” dalam ketentuan ini adalah tidak mengurangi kemandirian dalam menentukan kebijakan dan melaksanakan tugas dan wewenang BNN.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.

Pasal 71

Cukup jelas.

Pasal 72

Cukup jelas.

Pasal 73

Cukup jelas.

Pasal 74

Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa jika terdapat perkara lain yang oleh undang-undang juga ditentukan untuk didahulukan, maka penentuan prioritas diserahkan kepada pengadilan.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “penyelesaian secepatnya” adalah mulai dari pemeriksaan, pengambilan putusan, sampai dengan pelaksanaan putusan atau eksekusi.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 75

Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan ”interdiksi” adalah mengejar dan/atau menghentikan seseorang/kelompok orang, kapal, pesawat terbang, atau kendaraan yang diduga membawa Narkotika dan Prekursor Narkotika, untuk ditangkap tersangkanya dan disita barang buktinya.
Huruf i
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “penyadapan” adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh penyidik BNN atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan cara menggunakan alat-alat elektronik sesuai dengan kemajuan teknologi terhadap pembicaraan dan/atau pengiriman pesan melalui telepon atau alat komunikasi elektronik lainnya.
Termasuk di dalam penyadapan adalah pemantauan elektronik dengan cara antara lain:
a. pemasangan transmitter di ruangan/kamar sasaran untuk mendengar/merekam semua pembicaraan (bugging);
b. pemasangan transmitter pada mobil/orang/barang yang bisa dilacak keberadaanya (bird dog);
c. intersepsi internet;
d. cloning pager, pelayan layanan singkat (SMS), dan fax;
e. CCTV (Close Circuit Television);
f. pelacak lokasi tersangka (direction finder).
Perluasan pengertian penyadapan dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan teknologi informasi yang digunakan oleh para pelaku tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika dalam mengembangkan jaringannya baik nasional maupun internasional karena perkembangan teknologi berpotensi dimanfaatkan oleh pelaku kriminal yang sangat menguntungkan mereka. Untuk melumpuhkan/memberantas jaringan/sindikat Narkotika dan Prekursor Narkotika maka sistem komunikasi/telekomunikasi mereka harus bisa ditembus oleh penyidik, termasuk melacak keberadaan jaringan tersebut.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Tes urine, tes darah, tes rambut, dan tes bagian tubuh lainnya dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membuktikan ada tidaknya Narkotika di dalam tubuh satu orang atau beberapa orang, dan tes asam dioksiribonukleat (DNA) untuk identifikasi korban, pecandu, dan tersangka.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Yang dimaksud dengan ”pemindaian” dalam ketentuan ini adalah scanning baik yang dapat dibawa-bawa (portable) maupun stationere.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.

Pasal 76

Cukup jelas.

Pasal 77

Cukup jelas.

Pasal 78

Cukup jelas.

Pasal 79

Cukup jelas.

Pasal 80

Cukup jelas.

Pasal 81

Cukup jelas.

Pasal 82

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Narkotika dan Prekursor Narkotika” adalah Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian tersebut sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing yang dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan fungsi koordinasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 83

Cukup jelas.

Pasal 84

Cukup jelas.

Pasal 85

Cukup jelas.

Pasal 86

Cukup jelas.

Pasal 87

Cukup jelas.

Pasal 88

Cukup jelas.

Pasal 89

Cukup jelas.

Pasal 90

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “laboratorium tertentu” adalah laboratorium yang sudah terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 91

Cukup jelas.

Pasal 92

Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa tanaman Narkotika yang dimaksud pada ayat ini tidak hanya yang ditemukan di ladang juga yang ditemukan di tempat-tempat lain atau tempat tertentu yang ditanami Narkotika, termasuk tanaman Narkotika dalam bentuk lainnya yang ditemukan dalam waktu bersamaan ditempat tersebut.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “sebagian kecil” adalah dalam jumlah yang wajar dari tanaman Narkotika untuk digunakan sebagai barang bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Ayat (2)
Ketentuan ini menegaskan bahwa jangka waktu 14 (empat belas) hari dimaksudkan agar penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas di daerah yang letak geografisnya dan transportasinya sulit dicapai dapat melaksanakan tugas pemusnahan Narkotika yang ditemukan dengan sebaik-baiknya karena pelanggaran terhadap jangka waktu ini dapat dikenakan pidana.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “pejabat yang menyaksikan pemusnahan” adalah pejabat yang mewakili unsur kejaksaan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Dalam hal kondisi tempat tanaman Narkotika ditemukan tidak memungkinkan untuk menghadirkan unsur pejabat tersebut maka pemusnahan disaksikan oleh pihak lain yaitu pejabat atau anggota masyarakat setempat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk kepentingan identifikasi jenis, isi dan kadar Narkotika (drugs profiling).
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 93

Cukup jelas.

Pasal 94

Cukup jelas.

Pasal 95

Cukup jelas.

Pasal 96

Cukup jelas.

Pasal 97

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “seluruh harta kekayaan dan harta benda” adalah seluruh kekayaan yang dimiliki, baik benda bergerak maupun tidak bergerak, yang berwujud maupun tidak berwujud, yang ada dalam penguasaannya atau yang ada dalam penguasaan pihak lain (isteri atau suami, anak dan setiap orang atau badan), yang diperoleh atau diduga diperoleh dari tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa.

Pasal 98

Berdasarkan ketentuan ini Hakim bebas untuk melaksanakan kewenangannya meminta terdakwa untuk membuktikan bahwa seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak dan setiap orang atau badan bukan berasal dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pasal 99

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap keselamatan pelapor yang memberikan keterangan mengenai suatu tindak pidana Narkotika, agar nama dan alamat pelapor tidak diketahui oleh tersangka, terdakwa, atau jaringannya pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan.

Pasal 100

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keluarganya” adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat kesatu.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 101

Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan bahwa dalam menetapkan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dirampas untuk negara, hakim memperhatikan ketetapan dalam proses penyidikan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hasilnya” adalah baik yang berupa uang atau benda lain yang diketahui atau diduga keras diperoleh dari tindak pidana Narkotika.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Perampasan harta dan kekayaan atau aset hasil tindak pidana pencucian uang berdasarkan putusan pengadilan yang tetap, dirampas untuk negara dan dapat digunakan untuk biaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta untuk pembayaran premi bagi anggota masyarakat yang telah berjasa mengungkap adanya tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika. Dengan demikian masyarakat dirangsang untuk berpartisipasi aktif dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Disamping itu harta dan kekayaan atau aset yang disita negara tersebut dapat pula digunakan untuk membiayai rehabilitasi medis dan sosial para korban penyalahguna Narkotika dan Prekursor Narkotika. Proses penyidikan harta dan kekayaan atau aset hasil tindak pidana pencucian uang dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 102

Cukup jelas.

Pasal 103

Ayat (1)
Huruf a
Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata memutuskan bagi Pecandu Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan.
Huruf b
Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata menetapkan bagi Pecandu Narkotika yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa penetapan hakim tersebut bukan merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan. Penetapan tersebut dimaksudkan untuk memberikan suatu penekanan bahwa Pecandu Narkotika tersebut walaupun tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika, tetapi tetap wajib menjalani pengobatan dan perawatan.
Biaya pengobatan dan atau perawatan bagi Pecandu Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika sepenuhnya menjadi beban dan tanggung jawab negara, karena pengobatan dan atau perawatan tersebut merupakan bagian dari masa menjalani hukuman. Sedangkan bagi pecandu Narkotika yang tidak terbukti bersalah biaya pengobatan dan/atau perawatan selama dalam status tahanan tetap menjadi beban negara, kecuali tahanan rumah dan tahanan kota.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 104

Cukup jelas.

Pasal 105

Cukup jelas.

Pasal 106

Cukup jelas.

Pasal 107

Cukup jelas.

Pasal 108

Cukup jelas.

Pasal 109

Ketentuan ini menegaskan bahwa dalam pemberian penghargaan harus tetap memperhatikan jaminan keamanan dan perlindungan terhadap yang diberi penghargaan. Penghargaan diberikan dalam bentuk piagam, tanda jasa, premi, dan/atau bentuk penghargaan lainnya.

Pasal 110

Cukup jelas.

Pasal 111

Cukup jelas.

Pasal 112

Cukup jelas.

Pasal 113

Cukup jelas.

Pasal 114

Cukup jelas.

Pasal 115

Cukup jelas.

Pasal 116

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “cacat permanen” dalam ketentuan ini adalah cacat fisik dan/atau cacat mental yang bersifat tetap atau tidak dapat dipulihkan/disembuhkan.

Pasal 117

Cukup jelas.

Pasal 118

Cukup jelas.

Pasal 119

Cukup jelas.

Pasal 120

Cukup jelas.

Pasal 121

Cukup jelas.

Pasal 122

Cukup jelas.

Pasal 123

Cukup jelas.

Pasal 124

Cukup jelas.

Pasal 125

Cukup jelas.

Pasal 126

Cukup jelas.

Pasal 127

Cukup jelas.

Pasal 128

Cukup jelas.

Pasal 129

Cukup jelas.

Pasal 130

Cukup jelas.

Pasal 131

Cukup jelas.

Pasal 132

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”percobaan” adalah adanya unsurunsur niat, adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 133

Cukup jelas.

Pasal 134

Cukup jelas.

Pasal 135

Cukup jelas.

Pasal 136

Cukup jelas.

Pasal 137

Cukup jelas.

Pasal 138

Cukup jelas.

Pasal 139

Cukup jelas.

Pasal 140

Cukup jelas.

Pasal 141

Cukup jelas.

Pasal 142

Cukup jelas.

Pasal 143

Cukup jelas.

Pasal 144

Cukup jelas.

Pasal 145

Cukup jelas.

Pasal 146

Cukup jelas.

Pasal 147

Cukup jelas.

Pasal 148

Cukup jelas.

Pasal 149

Cukup jelas.

Pasal 150

Cukup jelas.

Pasal 151

Cukup jelas.

Pasal 152

Cukup jelas.

Pasal 153

Cukup jelas.

Pasal 154

Cukup jelas.

Pasal 155

Cukup jelas.



TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 5062


LAMPIRAN I
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 35 Tahun 2009
TANGGAL : 12 Oktober 2009


DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN I


  1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.
  2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya.
  3. Opium masak terdiri dari :
    1. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.
    2. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.
    3. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
  4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya.
  5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia.
  6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.
  7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.
  8. Tanaman ganja, kangkung dan bayam air serta semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.
  9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.
  10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya.
  11. Asetorfina  :  3-0-acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)- 6, 14-endoeteno-oripavina
  12. Acetil – alfa – metil fentanil  :  N-[1-(α-metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida
  13. Alfa-metilfentanil  :  N-[1 (α-metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida
  14. Alfa-metiltiofentanil  :  N-[1-] 1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-iperidil] priopionanilida
  15. Beta-hidroksifentanil  :  N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil] propionanilida
  16. Beta-hidroksi-3-metilfentanil  :  N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4 piperidil] propio-nanilida.
  17. Desmorfina  :  Dihidrodeoksimorfina
  18. Etorfina  :  tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14- endoeteno-oripavina
  19. Heroina  :  Diacetilmorfina
  20. Ketobemidona  :  4-meta-hidroksifenil-1-metil-4- propionilpiperidina
  21. 3-metilfentanil  :  N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
  22. 3-metiltiofentanil  :  N-[3-metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida
  23. MPPP  :  1-metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester)
  24. Para-fluorofentanil  :  4‘-fluoro-N-(1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
  25. PEPAP  :  1-fenetil-4-fenil-4-piperidinolasetat (ester)
  26. Tiofentanil  :  N-[1-[2-(2-tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida
  27. BROLAMFETAMINA, nama lain DOB  :  (±)-4-bromo-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina
  28. DET  :  3-[2-( dietilamino )etil] indol
  29. DMA  :  ( + )-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina
  30. DMHP  :  3-(1 ,2-dimetilheptil)-7 ,8,9, 10-tetrahidro- 6,6,9-trimetil-6H- dibenzo[b, d]piran-1-ol
  31. DMT  :  3-[2-( dimetilamino )etil] indol
  32. DOET  :  (±)-4-etil-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina
  33. ETISIKLIDINA, nama lain PCE  :  N-etil-1-fenilsikloheksilamina
  34. ETRIPTAMINA  :  3-(2aminobutil) indole
  35. KATINONA  :  (-)-(S)- 2-aminopropiofenon
  36. ( + )-LISERGIDA, nama lain LSD, LSD-25  :  9,10-didehidro-N, N-dietil-6-metilergolina-8 β – karboksamida
  37. MDMA  :  (±)-N, α -dimetil-3,4- (metilendioksi)fenetilamina 38. meskalina  :  3,4,5-trimetoksifenetilamina
  38. meskalina  :  3,4,5-trimetoksifenetilamina
  39. METKATINONA  :  2-(metilamino )-1- fenilpropan-1-on
  40. 4- metilaminoreks  :  (±)-sis- 2-amino-4-metil- 5- fenil- 2-oksazolina
  41. MMDA  :  5-metoksi- α -metil-3,4- (metilendioksi)fenetilamina 42. N-etil MDA  :  (±)-N-etil- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamin
  42. N-etil MDA  :  (±)-N-etil- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamin
  43. N-hidroksi MDA  :  (±)-N-[ α -metil-3,4- (metilendioksi)fenetil]hidroksilamina
  44. paraheksil  :  3-heksil-7,8,9, 10-tetrahidro-6,6, 9-trimetil-6H- dibenzo [b,d] piran-1-ol
  45. PMA  :  p-metoksi- α -metilfenetilamina
  46. psilosina, psilotsin  :  3-[2-( dimetilamino )etil]indol-4-ol
  47. PSILOSIBINA  :  3-[2-(dimetilamino)etil]indol-4-il dihidrogen fosfat
  48. ROLISIKLIDINA, nama lain PHP,PCPY  :  1-( 1- fenilsikloheksil)pirolidina
  49. STP, DOM  :  2,5-dimetoksi- α ,4-dimetilfenetilamina
  50. TENAMFETAMINA, nama lain MDA  :  α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
  51. TENOSIKLIDINA, nama lain TCP  :  1- [1-(2-tienil) sikloheksil]piperidina
  52. TMA  :  (±)-3,4,5-trimetoksi- α -metilfenetilamina
  53. AMFETAMINA  :  (±)- α –metilfenetilamina
  54. DEKSAMFETAMINA  :  ( + )- α –metilfenetilamina
  55. FENETILINA  :  7-[2-[( α -metilfenetil)amino]etil]teofilina
  56. FENMETRAZINA  :  3- metil- 2 fenilmorfolin
  57. FENSIKLIDINA, nama lain PCP  :  1-( 1- fenilsikloheksil)piperidina
  58. LEVAMFETAMINA, nama lain levamfetamina  :  (- )-(R)- α -metilfenetilamina
  59. levometamfetamina  :  ( -)- N, α -dimetilfenetilamina
  60. MEKLOKUALON  :  3-( o-klorofenil)- 2-metil-4(3H)- kuinazolinon
  61. METAMFETAMINA  :  (+ )-(S)-N, α –dimetilfenetilamina
  62. METAKUALON  :  2- metil- 3-o-to lil-4(3H)- kuinazolinon
  63. ZIPEPPROL  :  α - ( α metoksibenzil)-4-( β-metoksifenetil )-1- piperazinetano
  64. Opium Obat
  65. Campuran atau sediaan opium obat dengan bahan lain bukan narkotika
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN II


  1. Alfasetilmetadol  :  Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4- difenilheptana
  2. Alfameprodina  :  Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4- propionoksipiperidina
  3. Alfametadol  :  alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
  4. Alfaprodina  :  alfa-l, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
  5. Alfentanil  :  N-[1-[2-(4-etil-4,5-dihidro-5-okso-l H-tetrazol-1- il)etil]-4-(metoksimetil)-4-pipe ridinil]-N- fenilpropanamida
  6. Allilprodina  :  3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
  7. Anileridina  :  Asam 1-para-aminofenetil-4-fenilpiperidina)-4- karboksilat etil ester
  8. Asetilmetadol  :  3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana
  9. Benzetidin  :  asam 1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-4- karboksilat etil ester
  10. Benzilmorfina  :  3-benzilmorfina
  11. Betameprodina  :  beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina
  12. Betametadol  :  beta-6-dimetilamino-4,4-difenil-3–heptanol
  13. Betaprodina  :  beta-1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina
  14. Betasetilmetadol  :  beta-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4- difenilheptana
  15. Bezitramida  :  1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3- propionil-1-benzimidazolinil)-piperidina
  16. Dekstromoramida  :  (+)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1- pirolidinil)butil]-morfolina
  17. Diampromida  :  N-[2-(metilfenetilamino)-propil]propionanilida
  18. Dietiltiambutena  :  3-dietilamino-1,1-di(2’-tienil)-1-butena
  19. Difenoksilat  :  asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)- 4fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
  20. Difenoksin  :  asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4- fenilisonipekotik
  21. Dihidromorfina
  22. Dimefheptanol  :  6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
  23. Dimenoksadol  :  2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1,1-difenilasetat
  24. Dimetiltiambutena  :  3-dimetilamino-1,1-di-(2'-tienil)-1-butena
  25. Dioksafetil butirat  :  etil-4-morfolino-2, 2-difenilbutirat
  26. Dipipanona  :  4, 4-difenil-6-piperidina-3-heptanona
  27. Drotebanol  :  3,4-dimetoksi-17-metilmorfinan-6ß,14-diol
  28. Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina.
  29. Etilmetiltiambutena  :  3-etilmetilamino-1, 1-di-(2'-tienil)-1-butena
  30. Etokseridina  :  asam1-[2-(2-hidroksietoksi)-etil]- 4fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
  31. Etonitazena  :  1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5- nitrobenzimedazol
  32. Furetidina  :  asam 1-(2-tetrahidrofurfuriloksietil)4 fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester)
  33. Hidrokodona  :  Dihidrokodeinona
  34. Hidroksipetidina  :  asam 4-meta-hidroksifenil-1-metilpiperidina-4- karboksilat etil ester
  35. Hidromorfinol  :  14-hidroksidihidromorfina
  36. Hidromorfona  :  Dihidrimorfinona
  37. Isometadona  :  6-dimetilamino- 5 -metil-4, 4-difenil-3- heksanona
  38. Fenadoksona  :  6-morfolino-4, 4-difenil-3-heptanona
  39. Fenampromida  :  N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida
  40. Fenazosina  :  2'-hidroksi-5,9-dimetil- 2-fenetil-6,7- benzomorfan
  41. Fenomorfan  :  3-hidroksi-N–fenetilmorfinan
  42. Fenoperidina  :  asam1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4- fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
  43. Fentanil  :  1-fenetil-4-N-propionilanilinopiperidina
  44. Klonitazena  :  2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-5- nitrobenzimidazol
  45. Kodoksima  :  dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima
  46. Levofenasilmorfan  :  (1)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan
  47. Levomoramida  :  (-)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4- (1pirolidinil)butil] morfolina
  48. Levometorfan  :  (-)-3-metoksi-N-metilmorfinan
  49. Levorfanol  :  (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
  50. Metadona  :  6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanona
  51. Metadona intermediat  :  4-siano-2-dimetilamino-4, 4-difenilbutana
  52. Metazosina  :  2'-hidroksi-2,5,9-trimetil-6, 7-benzomorfan
  53. Metildesorfina  :  6-metil-delta-6-deoksimorfina
  54. Metildihidromorfina  :  6-metildihidromorfina
  55. Metopon  :  5-metildihidromorfinona
  56. Mirofina  :  Miristilbenzilmorfina
  57. Moramida intermediat  :  asam (2-metil-3-morfolino-1, 1difenilpropana karboksilat
  58. Morferidina  :  asam 1-(2-morfolinoetil)-4-fenilpiperidina-4- karboksilat etil ester
  59. Morfina-N-oksida
  60. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-Noksida
  61. Morfina
  62. Nikomorfina  :  3,6-dinikotinilmorfina
  63. Norasimetadol  :  (±)-alfa-3-asetoksi-6metilamino-4,4- difenilheptana
  64. Norlevorfanol  :  (-)-3-hidroksimorfinan
  65. Normetadona  :  6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heksanona
  66. Normorfina  :  dimetilmorfina atau N-demetilatedmorfina
  67. Norpipanona  :  4,4-difenil-6-piperidino-3-heksanona
  68. Oksikodona  :  14-hidroksidihidrokodeinona
  69. Oksimorfona  :  14-hidroksidihidromorfinona
  70. Petidina intermediat A  :  4-siano-1-metil-4-fenilpiperidina
  71. Petidina intermediat B  :  asam4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
  72. Petidina intermediat C  :  Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat
  73. Petidina  :  Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
  74. Piminodina  :  asam 4-fenil-1-( 3-fenilaminopropil)- pipe ridina-4-karboksilat etil ester
  75. Piritramida  :  asam1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4(1- piperidino)-piperdina-4-karboksilat amida
  76. Proheptasina  :  1,3-dimetil-4-fenil-4- propionoksiazasikloheptana
  77. Properidina  :  asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat isopropil ester
  78. Rasemetorfan  :  (±)-3-metoksi-N-metilmorfinan
  79. Rasemoramida  :  (±)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)- butil]-morfolina
  80. Rasemorfan  :  (±)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
  81. Sufentanil  :  N-[4-(metoksimetil)-1-[2-(2-tienil)-etil -4- piperidil] propionanilida
  82. Tebaina
  83. Tebakon  :  Asetildihidrokodeinona
  84. Tilidina  :  (±)-etil-trans-2-(dimetilamino)-1-fenil-3- sikloheksena-1-karboksilat
  85. Trimeperidina  :  1,2,5-trimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
  86. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas.