Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
Domain publikDomain publikfalsefalse
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2011
TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan segala kekayaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dikelola dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab untuk menjadi sumber kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, baik di masa kini maupun di masa mendatang;
bahwa dalam mengelola sumber daya alam dan sumber
daya lainnya serta penanggulangan bencana dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wilayah
yurisdiksinya diperlukan informasi geospasial;
bahwa agar informasi geospasial dapat terselenggara
dengan tertib, terpadu, berhasil guna, dan berdaya guna
sehingga terjamin keakuratan, kemutakhiran, dan
kepastian hukum, maka perlu pengaturan mengenai
penyelenggaraan informasi geospasial;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk
Undang Undang tentang Informasi Geospasial;
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A, Pasal 28F, dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG UNDANG TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang Undang ini yang dimaksud dengan:
Spasial adalah aspek keruangan suatu objek atau
kejadian yang mencakup lokasi, letak, dan posisinya.
Geospasial atau ruang kebumian adalah aspek
keruangan yang menunjukkan lokasi, letak, dan posisi
suatu objek atau kejadian yang berada di bawah, pada,
atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam
sistem koordinat tertentu.
Data Geospasial yang selanjutnya disingkat DG adalah
data tentang lokasi geografis, dimensi atau ukuran,
dan/atau karakteristik objek alam dan/atau buatan
manusia yang berada di bawah, pada, atau di atas
permukaan bumi.
Informasi Geospasial yang selanjutnya disingkat IG
adalah DG yang sudah diolah sehingga dapat digunakan
sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan,
pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan
yang berhubungan dengan ruang kebumian.
Informasi Geospasial Dasar yang selanjutnya disingkat
IGD adalah IG yang berisi tentang objek yang dapat
dilihat secara langsung atau diukur dari kenampakan
fisik di muka bumi dan yang tidak berubah dalam waktu
yang relatif lama.
Informasi Geospasial Tematik yang selanjutnya disingkat
IGT adalah IG yang menggambarkan satu atau lebih tema
tertentu yang dibuat mengacu pada IGD.
Skala adalah angka perbandingan antara jarak dalam
suatu IG dengan jarak sebenarnya di muka bumi.
Titik Kontrol Geodesi adalah posisi di muka bumi yang
ditandai dengan bentuk fisik tertentu yang dijadikan
sebagai kerangka acuan posisi untuk IG.
Jaring Kontrol Horizontal Nasional yang selanjutnya
disingkat JKHN adalah sebaran titik kontrol geodesi
horizontal yang terhubung satu sama lain dalam satu
kerangka referensi.
Jaring Kontrol Vertikal Nasional yang selanjutnya
disingkat JKVN adalah sebaran titik kontrol geodesi
vertikal yang terhubung satu sama lain dalam satu
kerangka referensi.
Jaring Kontrol Gayaberat Nasional yang selanjutnya
disingkat JKGN adalah sebaran titik kontrol geodesi
gayaberat yang terhubung satu sama lain dalam satu
kerangka referensi.
Peta Rupabumi Indonesia adalah peta dasar yang
memberikan informasi secara khusus untuk wilayah
darat.
Peta Lingkungan Pantai Indonesia adalah peta dasar yang
memberikan informasi secara khusus untuk wilayah
pesisir.
Peta Lingkungan Laut Nasional adalah peta dasar yang
memberikan informasi secara khusus untuk wilayah laut.
Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau
walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
Badan adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang
mempunyai tugas, fungsi, dan kewenangan yang
membidangi urusan tertentu dalam hal ini bidang
penyelenggaraan IGD.
Instansi Pemerintah adalah kementerian dan lembaga
pemerintah nonkementerian.
Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok
orang, atau badan usaha.
Badan Usaha adalah badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, atau badan usaha yang berbadan
hukum.
BAB II ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
IG diselenggarakan berdasarkan asas:
kepastian hukum;
keterpaduan;
keterbukaan;
kemutakhiran;
keakuratan;
kemanfaatan; dan
demokratis.
Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan untuk:
menjamin ketersediaan dan akses terhadap IG yang dapat
dipertanggungjawabkan;
mewujudkan penyelenggaraan IG yang berdaya guna dan
berhasil guna melalui kerja sama, koordinasi, integrasi,
dan sinkronisasi; dan
mendorong penggunaan IG dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat.
BAB III JENIS INFORMASI GEOSPASIAL
Bagian Kesatu Umum
Pasal 4
Jenis IG terdiri atas:
IGD; dan
IGT.
Bagian Kedua Informasi Geospasial Dasar
Pasal 5
IGD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi:
jaring kontrol geodesi; dan
peta dasar.
Pasal 6
Jaring kontrol geodesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a meliputi:
JKHN;
JKVN; dan
JKGN.
Pasal 7
Peta dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b berupa:
Peta Rupabumi Indonesia;
Peta Lingkungan Pantai Indonesia; dan
Peta Lingkungan Laut Nasional.
Pasal 8
JKHN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a
digunakan sebagai kerangka acuan posisi horizontal
untuk IG.
Koordinat JKHN ditentukan dengan metode pengukuran
geodetik tertentu, dinyatakan dalam sistem referensi
koordinat tertentu, dan diwujudkan dalam bentuk tanda
fisik.
JKHN diklasifikasikan berdasarkan tingkat ketelitian
koordinat horizontal.
Pasal 9
JKVN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b
digunakan sebagai kerangka acuan posisi vertikal untuk
IG.
Tinggi JKVN ditentukan dengan metode pengukuran
geodetik tertentu, dinyatakan dalam datum vertikal
tertentu, sistem tinggi tertentu, dan diwujudkan dalam
bentuk tanda fisik.
JKVN diklasifikasikan berdasarkan tingkat ketelitian
vertikal.
Pasal 10
JKGN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c
digunakan sebagai kerangka acuan gayaberat untuk IG.
JKGN ditetapkan dengan metode pengukuran geodetik
tertentu, mengacu pada titik acuan gayaberat absolut,
dan diwujudkan dalam bentuk tanda fisik.
JKGN diklasifikasikan berdasarkan tingkat ketelitian
gayaberat.
Pasal 11
Setiap orang wajib menjaga tanda fisik jaring kontrol geodesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (2), dan Pasal 10 ayat (2).
Pasal 12
Peta dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b terdiri atas:
garis pantai;
hipsografi;
perairan;
nama rupabumi;
batas wilayah;
transportasi dan utilitas;
bangunan dan fasilitas umum; dan
penutup lahan.
Pasal 13
Garis pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a merupakan garis pertemuan antara daratan dengan lautan yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
garis pantai surut terendah;
garis pantai pasang tertinggi; dan
garis pantai tinggi muka air laut rata-rata.
Pada Peta Rupabumi Indonesia, garis pantai ditetapkan berdasarkan garis kedudukan muka air laut rata-rata.
Pada Peta Lingkungan Pantai Indonesia dan Peta Lingkungan Laut Nasional, garis pantai ditetapkan berdasarkan kedudukan muka air laut surut terendah.
Garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditentukan dengan mengacu pada JKVN.
Pasal 14
Hipsografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf
b merupakan garis khayal untuk menggambarkan semua
titik yang mempunyai ketinggian yang sama di
permukaan bumi atau kedalaman yang sama di dasar
laut.
Pada Peta Rupabumi Indonesia, hipsografi digambarkan
dalam bentuk garis kontur mukabumi dan titik
ketinggian di darat.
Pada Peta Lingkungan Pantai Indonesia dan Peta
Lingkungan Laut Nasional, hipsografi digambarkan
dalam bentuk garis kontur mukabumi, titik ketinggian di
darat, batimetri, dan titik kedalaman di laut.
Pasal 15
Nama rupabumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d dikumpulkan dengan menggunakan tata cara pengumpulan nama rupabumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
Batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf e digambarkan berdasarkan dokumen penetapan
penentuan batas wilayah secara pasti di lapangan oleh
Instansi Pemerintah yang berwenang.
Dalam hal terdapat batas wilayah yang belum ditetapkan
secara pasti di lapangan oleh Instansi Pemerintah yang
berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
digunakan batas
wilayah sementara yang
penggambarannya dibedakan dengan menggunakan
simbol dan/atau warna khusus.
Pasal 17
IGD diselenggarakan secara bertahap dan sistematis
untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan wilayah yurisdiksinya.
IGD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimutakhirkan
secara periodik dalam jangka waktu tertentu.
Dalam hal terjadi bencana alam, perang, pemekaran atau
perubahan wilayah administratif, atau kejadian lainnya
yang berakibat berubahnya unsur IGD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 sehingga mempengaruhi pola
dan struktur kehidupan masyarakat, pemutakhiran IGD
harus dilakukan tanpa menunggu pemutakhiran secara
periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar,
prosedur, dan kriteria pemutakhiran IGD diatur dengan
Peraturan Kepala Badan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu
pemutakhiran IGD diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf a diselenggarakan pada skala 1:1.000.000,
1:500.000, 1:250.000, 1:100.000, 1:50.000, 1:25.000,
1:10.000, 1:5.000, 1:2.500, dan 1:1.000.
Peta Lingkungan Pantai Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf b diselenggarakan pada
skala 1:250.000, 1:50.000, 1:25.000, dan 1:10.000.
Peta Lingkungan Laut Nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf c diselenggarakan pada skala
1:500.000, 1:250.000, dan 1:50.000.
Bagian Ketiga Informasi Geospasial Tematik
Pasal 19
IGT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b wajib mengacu pada IGD.
Pasal 20
Dalam membuat IGT dilarang:
mengubah posisi dan tingkat ketelitian geometris bagian
IGD; dan/atau
membuat skala IGT lebih besar daripada skala IGD yang
diacunya.
Pasal 21
IGT yang menggambarkan suatu batas yang mempunyai
kekuatan hukum dibuat berdasarkan dokumen
penetapan batas secara pasti oleh Instansi Pemerintah
yang berwenang.
Penetapan batas yang dibuat oleh Instansi Pemerintah
dan/atau Pemerintah daerah yang berwenang dilampiri
dengan dokumen IGT yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam hal terdapat batas yang belum ditetapkan secara
pasti oleh Instansi Pemerintah yang berwenang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan batas
sementara yang penggambarannya dibedakan dengan
menggunakan simbol dan/atau warna khusus.
BAB IV PENYELENGGARA INFORMASI GEOSPASIAL
Pasal 22
IG yang berjenis IGD sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 huruf a hanya diselenggarakan oleh Pemerintah.
Penyelenggaraan IGD sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh Badan yang disebut Badan Informasi
Geospasial sebagai pengganti Badan Koordinasi Survei
dan Pemetaan Nasional sesuai dengan amanat Undang-Undang ini.
Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, susunan
organisasi, dan tata kerja Badan diatur dengan Peraturan
Presiden.
Pasal 23
IG yang berjenis IGT sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 huruf b dapat diselenggarakan oleh Instansi
Pemerintah, Pemerintah daerah, dan/atau setiap orang.
Instansi Pemerintah atau Pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan IGT berdasarkan tugas, fungsi, dan
kewenangannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang undangan.
Instansi Pemerintah atau Pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam
menyelenggarakan IGT dapat bekerja sama dengan
Badan.
Setiap orang dapat menyelenggarakan IGT hanya untuk
kepentingan sendiri dan selain yang diselenggarakan oleh
Instansi Pemerintah atau Pemerintah daerah.
Pasal 24
Badan dapat mengintegrasikan:
lebih dari satu IGT yang diselenggarakan oleh
Instansi Pemerintah atau Pemerintah daerah menjadi satu IGT baru; dan
IGT yang diselenggarakan oleh lebih dari satu Instansi Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah menjadi satu IGT baru.
Badan dapat menyelenggarakan IGT dalam hal IGT yang belum diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah selain Badan atau yang belum diselenggarakan oleh Pemerintah daerah.
BAB V PENYELENGGARAAN INFORMASI GEOSPASIAL
Bagian Kesatu Umum
Pasal 25
Penyelenggaraan IG dilakukan melalui kegiatan:
pengumpulan DG;
pengolahan DG dan IG;
penyimpanan dan pengamanan DG dan IG;
penyebarluasan DG dan IG; dan
penggunaan IG.
Bagian Kedua Pengumpulan Data Geospasial
Pasal 26
Pengumpulan DG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a merupakan proses atau cara untuk mendapatkan DG yang dilakukan dengan menggunakan metode dan instrumen pengumpulan DG.
DG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
DG Dasar; dan
DG Tematik.
Pasal 27
Pengumpulan DG dilakukan dengan:
survei dengan menggunakan instrumentasi ukur
dan/atau rekam, yang dilakukan di darat, pada wahana air, pada wahana udara, dan/atau pada wahana angkasa;
pencacahan; dan/atau
cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pengumpulan DG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sesuai dengan standar yang meliputi:
sistem referensi geospasial; dan
jenis, definisi, kriteria, dan format data.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan standar pengumpulan DG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala Badan.
Pasal 28
Pengumpulan DG harus memperoleh izin apabila:
dilakukan di daerah terlarang;
berpotensi menimbulkan bahaya; atau
menggunakan wahana milik asing selain satelit.
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk menjamin keselamatan dan keamanan bagi pengumpul data dan bagi masyarakat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
Instansi Pemerintah atau Pemerintah daerah dalam
pengumpulan DG pada suatu kawasan harus
memberitahukan kepada pemilik, penguasa, atau
penerima manfaat dari kawasan tersebut.
Pemilik, penguasa, atau penerima manfaat dari kawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menolak
dan/atau menyarankan agar kegiatan pengumpulan data
dilaksanakan pada waktu lain hanya apabila di kawasan
tersebut ada hal yang dapat membahayakan pengumpul
data.
Penolakan dan/atau saran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah pemberitahuan disampaikan oleh pengumpul data.
Pengumpul data dapat melanjutkan kegiatan pada kawasan tersebut apabila pemilik, penguasa, atau penerima manfaat dari kawasan tidak memberi jawaban dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Bagian Ketiga Pengolahan Data dan Informasi Geospasial
Pasal 30
Pengolahan DG dan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b merupakan proses atau cara mengolah data dan informasi geospasial.
Pasal 31
Pengolahan DG dan IG dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak yang:
berlisensi; dan/atau
bersifat bebas dan terbuka.
Pemerintah memberikan insentif bagi setiap orang yang dapat membangun, mengembangkan, dan/atau menggunakan perangkat lunak pengolah DG dan IG yang bersifat bebas dan terbuka.
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
Pengolahan DG dan IG harus dilakukan di dalam negeri.
Dalam hal sumber daya manusia dan/atau peralatan yang dibutuhkan belum tersedia di dalam negeri, pengolahan DG dan IG dapat dilakukan di luar negeri.
Pengolahan DG dan IG di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mendapat izin dari Badan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 33
Pengolahan DG dan IG meliputi pemrosesan DG dan penyajian IG.
Pasal 34
Pemrosesan DG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 harus dilakukan sesuai dengan standar yang meliputi:
sistem proyeksi dan sistem koordinat yang dengan jelas dan pasti dapat ditransformasikan ke dalam sistem koordinat standar nasional; dan
format, basisdata, dan metadata yang dapat dengan mudah diintegrasikan dengan IG lain.
Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.
Pasal 39
Penyajian IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dilakukan dalam bentuk:
tabel informasi berkoordinat;
peta cetak, baik dalam bentuk lembaran maupun buku atlas;
peta digital;
peta interaktif, termasuk yang dapat diakses melalui teknologi informasi dan komunikasi;
peta multimedia;
bola dunia; atau
model tiga dimensi.
Pasal 36
Penyajian IG dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b sampai dengan huruf g wajib menggunakan skala yang ditentukan berdasarkan tingkat ketelitian sumber data dan tujuan penggunaan IG.
Bagian Keempat Penyimpanan dan Pengamanan Data dan Informasi Geospasial
Pasal 37
Penyimpanan dan pengamanan DG dan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c merupakan cara menempatkan DG dan IG pada tempat yang aman dan tidak rusak atau hilang untuk menjamin ketersediaan IG.
Pasal 38
Penyimpanan dan pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dilakukan sesuai dengan standar prosedur penyimpanan dan mekanisme penyimpanan untuk pengarsipan DG dan IG.
Penyimpanan dan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan media penyimpanan elektronik atau cetak.
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar prosedur penyimpanan dan mekanisme penyimpanan untuk pengarsipan DG dan IG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Badan.
Pasal 39
Instansi Pemerintah menyerahkan duplikat IGT yang diselenggarakannya kepada Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang perpustakaan nasional dan di bidang arsip nasional dan dapat mengaksesnya kembali.
Pemerintah daerah menyerahkan duplikat IGT yang diselenggarakannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang perpustakaan daerah dan di bidang arsip daerah dan dapat mengaksesnya kembali.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyerahan IGT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
Pengamanan DG dan IG juga dilakukan terhadap tanda fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (2), dan Pasal 10 ayat (2).
Pengamanan DG dan IG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menjamin agar IG:
tetap tersedia dan terjaga keutuhannya; dan
terjaga kerahasiaannya untuk IG yang bersifat tertutup.
Bagian Kelima Penyebarluasan Data dan Informasi Geospasial
Pasal 41
Penyebarluasan DG dan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf d merupakan kegiatan pemberian akses, pendistribusian, dan pertukaran DG dan IG yang dapat dilakukan dengan menggunakan media elektronik dan media cetak.
Pasal 42
IGD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a bersifat terbuka.
Pasal 43
IGT yang dibuat oleh Instansi Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah bersifat terbuka.
IGT tertentu yang dibuat oleh Instansi Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah dapat bersifat tertutup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 44
Penyelenggara IG yang bersifat terbuka menyebarluaskan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dengan cara yang berdaya guna dan berhasil guna.
Penyelenggara IG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat dan mengumumkan standar pelayanan minimal untuk penyebarluasan IG yang diselenggarakan.
Pemerintah dapat memberikan penghargaan bagi setiap orang yang membantu menyebarluaskan IG yang bersifat terbuka.
Pasal 45
Pemerintah membangun jaringan IG untuk penyebarluasan IG secara elektronik.
Jaringan IG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibangun secara bertingkat dan terintegrasi pada jaringan IG pusat dan jaringan IG daerah.
Jaringan IG pusat dilaksanakan oleh Badan.
Jaringan IG daerah dilaksanakan oleh Pemerintah daerah dan diintegrasikan dengan jaringan IG pusat oleh Badan.
Ketentuan mengenai jaringan IG dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 46
Dalam hal IG memiliki kekuatan hukum, IG tersebut wajib disahkan oleh pejabat yang berwenang sebelum diumumkan dan disebarluaskan.
Bagian Keenam Penggunaan Informasi Geospasial
Pasal 47
Penggunaan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf e merupakan kegiatan untuk memperoleh manfaat, baik langsung maupun tidak langsung.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh penyelenggara IG.
Pasal 48
Untuk memperoleh dan menggunakan IG yang diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah dan Pemerintah daerah dapat dikenakan biaya tertentu yang besarnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 49
Pengguna IG berhak mengetahui kualitas IG yang diperolehnya.
Penyelenggara IG wajib memberitahukan kualitas setiap IG yang diselenggarakannya dalam bentuk metadata dan/atau riwayat data.
Pengguna IG berhak menolak hasil IG yang tidak berkualitas.
Metadata dan/atau riwayat data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dalam format tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Badan.
Pasal 50
Instansi Pemerintah, Pemerintah daerah, dan setiap orang yang membuat produk turunan suatu IG dengan maksud untuk diperjualbelikan wajib mendapat izin dari pemilik IG.
Pasal 51
Instansi Pemerintah dan Pemerintah daerah harus menggunakan IG yang akurat dalam pengambilan keputusan dan/atau penentuan kebijakan yang berhubungan dengan ruang kebumian.
Pasal 52
Untuk keperluan penanggulangan bencana, setiap orang harus memberikan IGT yang dimilikinya apabila diminta oleh Instansi Pemerintah atau Pemerintah daerah yang diberi tugas dalam urusan penanggulangan bencana.
Bagian Ketujuh Infrastruktur Penyelenggaraan Informasi Geospasial
Pasal 53
Pemerintah wajib memfasilitasi pembangunan infrastruktur IG untuk memperlancar penyelenggaraan IG.
Infrastruktur IG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kebijakan, kelembagaan, teknologi, standar, dan sumber daya manusia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan, kelembagaan, teknologi, standar, dan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI PELAKSANA INFORMASI GEOSPASIAL
Pasal 54
Kegiatan penyelenggaraan IG oleh Instansi Pemerintah atau Pemerintah daerah dapat dilaksanakan oleh setiap orang.
Pasal 55
Pelaksanaan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang dilakukan oleh orang perseorangan wajib memenuhi kualifikasi kompetensi yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan IG yang dilakukan oleh kelompok orang wajib memenuhi kualifikasi sebagai kelompok yang bergerak di bidang IG sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 56
Pelaksanaan IG yang dilakukan oleh badan usaha wajib memenuhi:
persyaratan administratif; dan
persyaratan teknis.
Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit meliputi:
akte pendirian badan hukum Indonesia; dan
izin usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
memiliki sertifikat yang memenuhi klasifikasi dan kualifikasi sebagai penyedia jasa di bidang IG; dan
memiliki tenaga profesional yang tersertifikasi di bidang IG.
Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan oleh lembaga independen yang telah mendapat akreditasi dari Badan.
Sertifikat tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diterbitkan oleh lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan Peraturan Kepala Badan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Kepala Badan.
BAB VII PEMBINAAN
Pasal 57
Badan melakukan pembinaan mengenai pemakanan, pengarahan, perencanaan, dan evaluasi terhadap penyelenggaraan IGT.
Pembinaan penyelenggaraan IGT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada:
penyelenggara IGT; dan
pengguna IG.
Pembinaan kepada penyelenggara IGT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan melalui:
pengaturan dalam bentuk penerbitan peraturan perundang-undangan, pedoman, standar, dan spesifikasi teknis serta sosialisasinya;
pemberian bimbingan, supervisi, pendidikan, dan pelatihan;
perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi; dan/atau
penyelenggaraan jabatan fungsional secara nasional untuk sumber daya manusia di Instansi Pemerintah dan Pemerintah daerah.
Pembinaan kepada pengguna IG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui:
sosialisasi keberadaan IG beserta kemungkinan pemanfaatannya; dan/atau
pendidikan dan pelatihan teknis penggunaan IG.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII LARANGAN
Pasal 58
Setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum dilarang menghilangkan, merusak, mengambil, memindahkan, atau mengubah tanda fisik yang merupakan bagian dari JKHN, JKVN, dan JKGN serta instrumen survei yang sedang digunakan.
Pasal 59
Setiap orang dilarang mengubah IGD tanpa izin dari Badan dan menyebarluaskan hasilnya.
Setiap orang dilarang menyebarluaskan IGD yang diubah-tanpa izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 60
Setiap orang dilarang mengubah IGT tanpa izin dari penyelenggara IGT dan menyebarluaskan hasilnya.
Setiap orang dilarang menyebarluaskan IGT yang diubah-tanpa izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 61
Setiap orang dilarang membuat IG yang penyajiannya tidak sesuai dengan tingkat ketelitian sumber data yang mengakibatkan timbulnya kerugian orang dan/atau barang.
Pasal 62
Setiap orang dilarang menyebarluaskan IG yang belum disahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46.
BAB IX SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 63
Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 20, Pasal 36, Pasal 46, Pasal 49 ayat (2), Pasal 50, atau Pasal 55 dapat dikenai sanksi administratif.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
peringatan tertulis;
penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan;
denda administratif; dan/atau
pencabutan izin.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX KETENTUAN PIDANA
Pasal 64
Setiap orang yang memenuhi unsur Pasal 58 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan timbulnya bahaya atau kerugian bagi orang atau barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 65
Setiap orang yang memenuhi unsur Pasal 59 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Setiap orang yang memenuhi unsur Pasal 59 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan timbulnya bahaya atau kerugian bagi orang atau barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 66
Setiap orang yang memenuhi unsur Pasal 60 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah).
Setiap orang yang memenuhi unsur Pasal 60 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah).
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan timbulnya bahaya atau kerugian bagi orang atau barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 67
Setiap orang yang memenuhi unsur Pasal 61 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 68
Setiap orang yang memenuhi unsur Pasal 62 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan timbulnya bahaya atau kerugian bagi orang atau barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
BAB XI KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 69
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, penyelenggara IG tetap dapat menjalankan kegiatannya dengan ketentuan dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun wajib menyesuaikan berdasarkan Undang-Undang ini.
Sebelum Badan yang dimaksudkan Undang-Undang ini ditetapkan, penyelenggaraan IGD dilakukan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.
BAB XII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 70
Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, maka segala peraturan perundang-undangan yang mengatur dan/atau berkaitan dengan penyelenggaraan IG dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 71
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 21 April 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 April 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 49
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Perekonomian,