Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1984
Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Tidak ada Hak Cipta atas:
- hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
- peraturan perundang-undangan;
- pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
- putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
- kitab suci atau simbol keagamaan.
Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)
Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 6 TAHUN 1984 (6/1984)
Tanggal: 21 JULI 1984 (JAKARTA)
Sumber: LN 1984/28; TLN NO. 3276
Tentang: POS
Indeks: ADMINISTRASI. PERHUBUNGAN. PERUM. Pariwisata. Pos/Telekomunikasi. Perusahaan Negara.
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pos penting untuk kelancaran berkomunikasi bagi manusia sebagai insan sosial, kegiatan masyarakat, dan penyelenggaraan pemerintahan; b. bahwa penyelenggaraan pos dijalankan oleh Negara demi kepentingan umum dan bertujuan menunjang pembangunan nasional dalam mengisi Wawasan Nusantara; c. bahwa untuk itu perlu meningkatkan dan memperluas jasa pos sehingga dapat lebih mendukung tahap-tahap pembangunan nasional di seluruh wilayah Indonesia; d. bahwa Undang-undang REFR DOCNM="59uu004">Nomor 4 Tahun 1959 tentang Pos (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1747) tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti dengan Undang-undang Pos yang mengatur pembinaan, penyelenggaraan, dan pengusahaan pos;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang REFR DOCNM="63pnp">Nomor 4 Pnps. Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2533); 3. Undang-undang REFR DOCNM="69uu013">Nomor 13 Tahun 1969 tentang Konstitusi Perhimpunan Pos Sedunia di Wina Tahun 1964 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2911); 4. Undang-undang REFR DOCNM="74uu005">Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
dengan mencabut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1959 tentang Pos (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1747);
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG POS.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan: 1. Pos adalah pelayanan lalu lintas suratpos, uang, barang, dan pelayanan jasa lainnya yang ditetapkan oleh Menteri, yang diselenggarakan oleh badan yang ditugasi menyelenggarakan pos dan giro.
2. Surat adalah berita atau pemberitahuan secara tertulis atau terekam yang dikirim dalam sampul tertutup.
3. Warkatpos adalah surat yang memenuhi persyaratan tertentu.
4. Kartupos adalah surat yang ditulis di atas kartu dengan bentuk dan ukuran tertentu.
5. Suratpos adalah nama himpunan untuk surat, warkatpos, kartupos, barang-cetakan, surat-kabar, sekogram, dan bungkusan kecil.
6. Paketpos adalah kemasan yang berisi barang dengan bentuk dan ukuran tertentu.
7. Kiriman adalah satuan suratpos atau paketpos dalam proses pertukaran.
8. Kiriman-pos adalah kantong atau wadah lain yang berisi himpunan surat-pos dan/atau paketpos untuk dipertukarkan.
9. Weselpos adalah sarana pelayanan pengiriman uang melalui pos.
10. Giropos adalah sarana pelayanan lalu-lintas uang dengan pemindahbukuan melalui pos.
11. Cekpos adalah sarana pelayanan lalu-lintas uang untuk pembayaran dengan cek melalui pos.
12. Kuitansi-pos adalah sarana pelayanan penagihan uang melalui pos.
13. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang penyelenggaraan pos.
BAB II
PEMBINAAN POS
Pasal 2
(1) Pos diselenggarakan guna mendukung pembangunan serta memperkuat persatuan, kesatuan dan keutuhan kehidupan bangsa dan negara dengan memberikan pelayanan yang sebaik mungkin ke seluruh wilayah Indonesia dan dalam hubungan antar bangsa.
(2) Pos diselenggarakan dengan memberikan perlakuan yang sama kepada masyarakat tanpa perbedaan.
Pasal 3
(1) Pos diselenggarakan oleh negara.
(2) Menteri bertindak sebagai penyelenggara Administrasi Pos Indonesia yang pelaksanaannya dilakukan oleh pejabat atau badan yang ditunjuk untuk itu.
(3) Menteri melimpahkan tugas dan wewenang pengusahaan pos kepada badan yang oleh negara ditugasi mengelola pos dan giro yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 4
(1) Badan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (3) adalah satu-satunya badan yang bertugas menerima, membawa dan/atau menyampaikan surat, warkatpos, serta kartupos dengan memungut biaya.
(2) Setiap perusahaan angkutan dan media telekomunikasi untuk umum, termasuk perwakilan atau pegawainya, yang menerima, membawa dan/atau menyampaikan surat, warkatpos, dan kartupos untuk pihak ketiga, dianggap telah melakukannya dengan memungut biaya.
(3) Ketentuan ayat (2) tidak berlaku, apabila pengiriman surat tersebut dilakukan untuk keperluan perusahaan yang bersangkutan.
(4) Perusahaan yang melakukan usaha pengiriman suratpos jenis tertentu, paket, dan uang harus mendapat izin berdasarkan persyaratan yang diatur oleh Menteri.
(5) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 5
(1) Rahasia surat yang dikirim melalui pos dijamin oleh negara.
(2) Pembukaan, pemeriksaan, dan penyitaan atas surat serta kiriman dilakukan berdasarkan undang-undang.
Pasal 6
Pemeriksaan atas kiriman-pos wajib didahulukan oleh instansi yang berwenang, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 7
Kiriman masih tetap merupakan milik pengirim selama belum diserahkan kepada penerima.
Pasal 8
Menteri dapat melakukan pembatasan penyelenggaraan pos jika terjadi bencana alam, keadaan darurat, atau hal-hal lain di luar kemampuan manusia, sebagaimana yang ditentukan oleh yang berwenang.
Pasal 9
(1) Susunan tarif pos diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Menteri menetapkan : a. tarif pos yang sejalan dengan peningkatan dan pengembangan pos; b. klasifikasi suratpos dan paketpos untuk menentukan prioritas pengiriman dan penyampaiannya.
Pasal 10
(1) Setiap perusahaan angkutan darat, laut, udara, dan media telekomunikasi untuk umum, wajib mengangkut kiriman-pos yang diserahkan kepadanya oleh badan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (3).
(2) Untuk keperluan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) setiap perusahaan angkutan umum wajib menyampaikan jadwal perjalanannya dan media telekomunikasi untuk umum wajib menyampaikan jadwal hubungannya kepada Menteri atau badan yang ditunjuknya.
(3) Kewajiban mengangkut kiriman-pos sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dapat berlaku juga bagi semua pihak yang menyelenggarakan angkutan darat, laut, udara, dan telekomunikasi bukan untuk umum dengan menerima imbalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(4) Pengangkut bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan kiriman-pos yang diserahkan kepadanya untuk diangkut.
BAB III
PENYELENGGARAAN POS
Pasal 11
Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang: 1. perincian penyelenggaraan pos; 2. pekerjaan lain yang diserahkan kepada badan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (3); 3. pelaksanaan tugas pelayanan dan penyampaian suratpos untuk daerah kecamatan dan pedesaan; 4. batas ukuran, berat, dan isi kiriman; 5. penerbitan dan penjualan prangko; 6. jenis benda yang dilarang pengirimannya melalui badan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (3); 7. tata cara meminta kembali kiriman atau mengubah alamatnya oleh pengirim; 8. pengiriman dengan perhitungan kemudian melalui badan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (3); 9. pembebasan tarif pos; 10. cara menangani kiriman yang ditolak oleh penerima yang dituju dan yang tidak dapat dikembalikan kepada pengirim, atau yang buntu karena sesuatu sebab; 11. persyaratan dan biaya yang berhubungan dengan angkutan kiriman-pos serta tanggung jawab pengangkutannya; dan 12. hal-hal lain yang perlu guna menjamin kelancaran penyelenggaraan pos.
Pasal 12
(1) Badan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (3) bertanggung jawab kepada pengirim apabila terjadi:
a. kehilangan atau kerusakan isi surat atau isi paketpos yang dikirim dengan harga tanggungan;
b. kehilangan suratpos tercatat atau paketpos tanpa harga tanggungan;
c. kerusakan isi paketpos tanpa harga tanggungan.
(2) Ganti rugi yang diberikan oleh badan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (3):
a. untuk peristiwa menurut ketentuan ayat (1) huruf a adalah sebesar jumlah yang dipertanggungkan dengan ketentuan bahwa jika isi kiriman itu hanya sebagian yang hilang, maka ganti rugi diberikan untuk bagian yang hilang itu;
b. untuk peristiwa menurut ketentuan ayat (1) huruf b ditetapkan oleh Menteri;
c. untuk peristiwa menurut ketentuan ayat (1) huruf c adalah sebanding dengan kerusakan yang diderita dengan memperhatikan jumlah maksimum yang ditetapkan.
(3) Ganti rugi sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (2) tidak diberikan jika:
a. kerusakan terjadi karena sifat atau keadaan barang yang dikirimkan;
b. kerusakan terjadi karena pengepakan yang kurang memadai atau yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pengirim;
c. surat atau paketpos ternyata dipertanggungkan dengan harga tanggungan yang melebihi harga sebenarnya.
(4) Tuntutan ganti rugi tidak berlaku jika peristiwa kehilangan atau kerusakan terjadi karena bencana alam, keadaan darurat, atau hal lain di luar kemampuan manusia, sebagaimana yang ditentukan oleh yang berwenang.
(5) Tenggang waktu dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh ganti rugi sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dan ketentuan tentang barang yang hilang dan yang ditemukan kembali, ditetapkan oleh Menteri.
(6) Tuntutan ganti rugi terhadap kiriman hanya dapat diajukan berdasarkan ketentuan Undang-undang ini.
(7) Ganti rugi tidak diberikan untuk kerugian yang tidak langsung atau untuk keuntungan yang tidak jadi diperoleh, yang disebabkan oleh kekeliruan dalam penyelenggaraan pos.
Pasal 13
Pengiriman benda yang dapat membahayakan kiriman, kiriman-pos, atau keselamatan orang, dilarang.
Pasal 14
Badan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (3) memberikan pelayanan lalu lintas uang untuk: 1. menerima setoran dan melakukan pembayaran uang melalui wesel-pos; 2. menerima setoran dan simpanan serta melakukan pembayaran uang tabungan; dan 3. melakukan penagihan dan pembayaran uang melalui kuitansipos.
Pasal 15
Badan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (3) memberikan pelayanan giropos untuk: 1. menerima setoran, melakukan pembayaran dengan pemindahbukuan atau dengan cekpos; dan 2. menerima dan melakukan pembayaran dengan cara-cara lain.
Pasal 16
Pemanfaatan uang yang tidak segera diperlukan, selain uang Kantor Perbendaharaan Negara, diatur oleh Menteri bersama-sama dengan Menteri Keuangan dengan mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 17
Penyelenggaraan pos untuk Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diatur oleh Menteri bersama-sama dengan Menteri Pertahanan Keamanan.
Pasal 18
Penyelenggaraan hubungan pos internasional ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam "Akta tentang Pos Internasional" yang berlaku.
BAB IV KETENTUAN PIDANA
Pasal 19
(1) Barangsiapa yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).
(2) Barangsiapa yang melanggar ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 13 dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).
(3) Jika tindak pidana yang disebut dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh, atau atas nama, suatu badan hukum, perseroan, perserikatan orang lain, atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, atau yayasan tersebut, maupun terhadap orang yang memberi perintah melakukan tindak pidana sebagai pimpinan atau penanggung jawab dalam perbuatan atau kelalaian yang bersangkutan, ataupun terhadap kedua-duanya.
(4) Perbuatan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) adalah kejahatan dan perbuatan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (2) adalah pelanggaran.
Pasal 20
Barangsiapa yang melanggar ketentuan Pasal 13, selain dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 19 ayat (2), diwajibkan pula membayar ganti rugi kepada badan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (3).
BAB V KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Pasal 21
Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang ini dapat menetapkan pidana yang tidak melebihi pidana yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.
Pasal 22
(1) Selain pejabat penyidik umum yang bertugas menyidik tindak pidana, penyidikan atas tindak pidana yang dimaksudkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya dapat juga dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam melaksanakan tugas penyidikan, para pejabat sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) berwenang memeriksa sarana angkutan dan tempat yang diduga dipergunakan dalam penyelenggaraan itu serta memeriksa dan menyita kiriman yang bersangkutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang beriaku.
BAB VI KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
Dengan berlakunya Undang-undang ini segala peraturan pelaksanaan yang telah ditetapkan atau berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1959, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini, tetap berlaku selama belum dicabut atau diganti berdasarkan Undang-undang ini.
BAB VII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juli 1984
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 Juli 1984 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO, S.H.
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1984
TENTANG
POS
I. UMUM.
Dalam kehidupan bangsa dan negara kebutuhan berkomunikasi perlu dilayani dengan penyelenggaraan pos yang baik. Untuk mencapai tujuan tersebut dan untuk melindungi kepentingan masyarakat, perlu dimantapkan landasan hukum yang menjamin perkembangan pos. Dengan meningkatnya perkembangan nasional dan meluasnya mobilitas masyarakat, pos sebagai prasarana komunikasi dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan nasional pada hakikatnya harus mampu : a. memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa dan negara serta mempererat hubungan antarbangsa; b. melancarkan hubungan aparat pemerintah dengan masyarakat dan di antara anggota masyarakat; c. menghilangkan isolasi daerah terpencil dan daerah yang baru dibuka. Untuk itu pos diselenggarakan oleh negara demi kepentingan umum, dan guna mencapai tujuan itu berlaku ketentuan wajib angkut pos bagi sarana angkutan umum darat, laut, dan udara serta media telekomunikasi. Dalam mengisi Wawasan Nusantara diperlukan penyelenggaraan pos yang mampu mempererat hubungan antara warga masyarakat dan instansi Pemerintah untuk mengelola tugas-tugas pemerintahan dalam mengatur, mengawasi, membina, dan mengarahkan bermacam-macam kegiatan oleh dan untuk masyarakat. Demikian pula penyelenggaraan pos mendekatkan anggota dan lapisan masyarakat dengan Pemerintah secara timbal balik guna menyampaikan dan menyelesaikan kepentingan dan urusan lainnya. Untuk mempererat hubungan dan kerja sama antarbangsa dan antar negara, pos mempunyai peranan penting. Dalam usaha menjangkau seluruh wilayah tanah air, perluasan penyelenggaraan pos akan membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pembangunan Indonesia sebagai kesatuan ekonomi pada masa lampau penuh dengan tantangan yang telah diatasi dengan landasan-landasan seperti tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara. Sektor-sektor pembangunan maju pesat dengan meluas dan menyebarnya kegiatan-kegiatan usaha di seluruh wilayah tanah air. Dalam hubungan ini, penyelenggaraan pos merupakan penunjang pengiriman dan penyampaian berita, barang, dan uang bagi penyelesaian macam-macam transaksi persetujuan serta kesepakatan yang lazim dalam bidang usaha. Dengan mempergunakan prasarana pos, kalangan produsen mempersingkat waktu dan jarak dalam hubungan timbal balik dengan konsumen serta memperluas pemasaran. Lalu lintas uang untuk berbagai keperluan usaha dan kewajiban sosial dipermudah dengan penyelenggaraan pos yang merata ke seluruh daerah. Dalam usaha memajukan tingkat hidup masyarakat, penyelenggaraan pos mempermudah perkembangan dan penyebaran pendidikan serta ilmu pengetahuan. Hubungan di antara anggota masyarakat dipermudah dengan penyelenggaraan pos, sehingga pembinaan dalam bidang sosial dan budaya dapat ditingkatkan. Dengan dikaitkannya penyelenggaraan pos pada pola pembangunan nasional untuk mencapai tujuan nasional, yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, diihtiarkan suatu landasan konsepsional tentang kedudukan, tugas dan fungsi pos seperti yang diatur dalam Undang-undang ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Penyelenggaraan pos sebagai salah satu dukungan esensial bagi kehidupan politik, ekonomi dan sosial budaya, merupakan suatu jembatan yang berharga dalam hubungan antar kelompok masyarakat. Dalam kaitan ini, pos turut menunjang Wawasan Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional dengan tujuan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat. Ayat (2) Istilah "Administrasi Pos Indonesia" dipergunakan dalam lingkungan negara-negara anggota UPU (Universal Postal Union = Perhimpunan Pos Sedunia) untuk menyebutkan nama negara dalam hubungan penyelenggaraan pos. Ayat (3) Yang dimaksudkan dengan badan yang oleh negara diserahi tugas mengelola pos dan giro adalah Perusahaan Umum Pos dan Giro yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1978. Pasal 4 Ayat (1) Negara-negara pada umumnya menganut prinsip bahwa penyelenggaraan pos, khususnya pelayanan lalu lintas surat, dilakukan oleh negara dengan tujuan antara lain menjamin rahasia surat dan pelayanan sampai ke pelosok-pelosok dan daerah terpencil dengan biaya seragam dan yang terjangkau oleh masyarakat. Penyelenggaraan pos terdiri dari kegiatan menerima, membawa, dan/atau menyampaikan surat. Ketiga kegiatan tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Ayat (2) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan dalam kegiatan usaha dalam bidang ini yang dilakukan oleh pihak lain selain badan yang dimaksudkan dalam pasal 3 ayat (3). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksudkan dengan surat pos jenis tertentu, adalah barang cetakan, surat kabar, sekogram, dan bungkusan kecil. Pengiriman uang dalam ayat ini tidak meliputi yang diselenggarakan oleh lembaga perbankan. Perusahaan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat ini diwajibkan untuk mendapat izin berdasarkan syarat yang ditetapkan oleh Menteri, agar dicapai keserasian antara jasa yang diusahakan oleh badan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (3), dan jasa pelayanan, yang diusahakan oleh swasta, dengan memperhatikan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengenai barang yang dilarang peredarannya di Indonesia dan barang yang dikenakan pemeriksaan pabean, dapat ditaati semestinya. Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksudkan dengan rahasia surat adalah bebasnya isi surat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 angka 2 dari pemeriksaan oleh pihak yang tidak berwenang. Yang melanggar hal ini dapat dituntut sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Ayat (2) Undang-undang yang dapat dijadikan dasar hukum untuk melanggar rahasia surat adalah antara lain a. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia; b. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan c. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal 6 Yang dimaksudkan dalam pasal ini ialah pemeriksaan oleh instansi lain, misalnya pemeriksaan karantina dan pelalubeaan perlu dilakukan secepatnya untuk menjamin agar kiriman dapat sampai secepat mungkin kepada penerima yang antara lain sesuai dengan ketentuan- ketentuan dalam "Akta Perhimpunan Pos Sedunia". Pasal 7 Yang dimaksudkan dengan penerima adalah pihak yang dimaksud- kan oleh pengirim menerima kirimannya sesuai dengan alamatnya. Pasal 8 a. Yang dimaksudkan dengan bencana alam adalah antara lain banjir, gunung meletus; b. Yang dimaksudkan dengan keadaan darurat adalah antara lain perang; Pasal 9 Ayat (1) Susunan tarif meliputi tarif dasar dan bea tambahan. Ayat (2) Huruf a Menteri menetapkan tarif pos dalam batas-batas yang wajar dengan mengingat daya beli masyarakat dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam "Akta Perhimpunan Pos Sedunia". Huruf b Cukup jelas.
Pasal 10 Ayat (1) dan (2) Angkutan yang diselenggarakan untuk umum patut dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk pengangkutan kiriman pos guna memperlancar penyelenggaraan pos untuk kepentingan umum. Arti pengangkutan meliputi pula transmisi dengan media telekomunikasi. Angkutan merupakan sarana pokok untuk menjamin terselenggaranya pos secara lancar dan teratur. Untuk keperluan tersebut, perlu ditetapkan kewajiban bagi perusahaan yang bersangkutan untuk mengangkut kiriman pos yang diserahkan kepadanya oleh badan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (3). Sebagai konsekuensi dari wajib angkut pos, maka perusahaan angkutan umum wajib melaporkan keberangkatan dan kedatangan alat angkutannya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 11 Pasal ini menetapkan ketentuan mengenai tugas utama badan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (3) dan ketentuan lain yang dipergunakan sebagai pedoman untuk kelancaran penyelenggaraan pos, yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Badan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (3) melaksanakan penyelenggaraan pos di seluruh Indonesia. Untuk menjangkau masyarakat di pelbagai kecamatan dan pedesaan yang belum dilayani kantor pos atau sarana pos lainnya, maka pelayanan dan penyampaian surat pos kepada masyarakat dilakukan oleh petugas kecamatan dan/atau kepala desa atau lurah. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Benda yang dilarang pengirimannya meliputi antara lain: 1. barang yang karena sifatnya menimbulkan bahaya bagi umum, misalnya bahan peledak. 2. barang yang memerlukan persyaratan khusus, misalnya benda radio aktif, bibit tanaman, dan obat-obatan. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Ketentuan ini memberikan kemungkinan kepada instansi pemerintah, perusahaan, badan, dan perorangan, mengirimkan kiriman melalui badan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (3), dengan pembayaran kemudian. Angka 9 Ketentuan ini memberikan pembebasan tarif pos kepada pihak tertentu seperti orang buta dan tawanan perang. Angka 10 Cukup jelas. Angka 11 Cukup jelas. Angka 12 Cukup jelas.
Pasal 12 Semua hak dan kewajiban yang berlaku bagi badan yang ditugasi negara untuk menyelenggarakan pos yang terdapat dalam pasal ini berlaku juga bagi perusahaan yang diberi izin sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 4 ayat (4). Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Termasuk kerusakan barang yang dimaksudkan ialah yang disebabkan oleh sifat atau keadaan barang itu sendiri, misalnya karena proses kimia atau karena barang itu tidak dapat atau tidak boleh diperiksa karena bersifat rahasia atau karena berupa zat radio aktif dalam tabung. Huruf b Menteri menetapkan persyaratan dan tata cara pengepakan kiriman untuk pengiriman di dalam negeri maupun ke luar negeri. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Tata cara penuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksudkan dalam ayat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas.
Pasal 15 Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Menerima dan melakukan pembayaran dengan cara-cara lain diantaranya : a. melaksanakan pekerjaan rekening koran Pemerintah Daerah; b. melaksanakan pembayaran pensiun dan gaji pegawai; c. menerima setoran rekening listerik-, d. menerima pembayaran pajak, iuran radio, televisi. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Indonesia sebagai anggota Perhimpunan Pos Sedunia terikat pada ketentuan-ketentuan "Akta tentang Pos Internasional" yang mengatur penyelenggaraan hubungan pos internasional.
Pasal 19 Ketentuan pidana dalam pasal ini merupakan pelengkap dari ketentuan pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan peraturan perundang-undangan lainnya. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Jika pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 13 Undang-undang ini, dalam penyelidikan terbukti merupakan pelanggaran pula terhadap Undang-undang lain, maka tidak tertutup kemungkinan untuk menuntut pengirim berdasarkan Undang-undang yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 20 Tata cara pengajuan tuntutan ganti rugi dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 21 Tindak pidana yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah adalah perbuatan yang oleh Undang-undang ini digolongkan ke dalam jenis pelanggaran yang dikenakan pidana.
Pasal 22 Ayat (1) Penyidikan pelanggaran terhadap Undang-Undang Pos memerlukan keahlian dalam bidang pos sehingga perlu adanya petugas khusus untuk melakukan penyidikan di samping pegawai yang biasanya bertugas menyidik tindak pidana. Petugas yang dimaksudkan adalah antara lain pegawai Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas.
CATATAN
Kutipan: LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1984 YANG TELAH DICETAK ULANG