Vatikan  (2005) 
oleh Goenawan Mohamad

Majalah Tempo Edisi - 11 April 2005

- untuk Cak Nur

 

Pada suatu hari, kata orang, Stalin bertanya, “Berapa batalion, sih, Vatikan punya?”

Di negeri itu, kita tahu, hanya ada beberapa ratus orang Corpo della Garda Svizzera yang bertugas sebagai penjaga Paus. Vatikan cuma 44 hektare, lebih sempit dibandingkan dengan The Mall di Washington, DC; anggaran tahunannya sekitar US$ 500 juta, hanya 25 persen dari bujet Universitas Harvard.

Tapi di
sana duduk seorang tua yang ketika pekan lalu wafat dan dimakamkan, sekitar 200 pembesar tinggi dunia datang untuk berkabung dan memberi hormat.

Abad modern memang tak pernah kehabisan paradoks, dan agaknya inilah yang dilihat Stalin. Kita tahu Vatikan dengan gampang akan dimusnahkan oleh sembarang negeri dengan pasukan berpuluh-puluh divisi, tapi ternyata negeri-negeri yang besar bahkan tetap perlu bermanis-manis dengan takhta yang ringkih itu. Kini, ketika Amerika Serikat ingin mempraktekkan kembali asas Hobbesian bahwa “tiap orang diharapkan berjanji patuh kepada yang punya kekuasaan untuk menyelamatkan atau menghancurkan” Gedung Putih masih merasa perlu menyapa Paus yang tak akan bisa meruntuhkan siapa pun.

Vatikan adalah sebuah interupsi. Berabad-abad sejarah dibangun oleh konflik, dan sebagaimana perang saudara Inggris pada abad ke-17 mengilhami Thomas Hobbes, konflik itu menunjukkan bahwa hidup sering merupakan
padang perburuan yang brutal. Kekuatan dan kekerasan (bukan niat baik) adalah yang membentuk dunia. Tujuan hanya jadi penting bila dihubungkan dengan kemenangan dan kejayaan, dan kebenaran berpangkal di situ. Dari masa seperti ini sarkasme Voltaire bergaung: “Kata orang, Tuhan selalu berpihak pada batalion-batalion terbesar.”

Tapi itu “kata orang”. Dalam prakteknya, apalagi pada hari ini, tak pernah ada kesepakatan di mana Tuhan berpihak. Maka selalu ada kebutuhan untuk memberi makna kepada “batalion-batalion terbesar”, dan tak cuma memberi mereka rencana kemenangan. La politique, pergulatan untuk kejayaan satu pihak, pada akhirnya juga le politique, pergulatan untuk mengisi apa yang kurang dari kejayaan itu.

Yang kurang adalah “pembenaran” hingga sebuah tindakan politik dapat diterima semua pihak untuk waktu yang sedapat-dapatnya tak terbatas. Yang kurang adalah sesuatu yang “transendental”.

Kita hidup di masa ketika siapa saja yang bersengketa mau tak mau harus mengajukan argumen. Segera atau berangsur-angsur orang tahu bahwa apa yang “adil” dan “lalim” tak bisa serta-merta diputuskan sepihak dengan kekerasan. Maka, ketika tak ada hakim di pusat yang pasti yang akan memutuskan perkara ini, dan yang ada hanyalah hegemoni sebuah citra atau ide yang tak mutlak dan tak lengkap, orang pun terus-menerus haus akan simbol-simbol “pembenaran”.

Vatikan, yang bukan pusat, adalah satu indikator kebutuhan itu, rasa kekurangan yang juga dirasakan oleh negeri mana saja yang hanya punya bujet dan bedil. Takhta Suci itu tak sempurna, bahkan ada yang menganggapnya tak suci benar, tapi setidaknya ia sebuah isyarat bahwa dunia yang dibayangkan Hobbes tak sepenuhnya cocok dengan kehidupan. Dalam kehidupan, yang lemah ternyata bisa punya proteksi dan kesetiaan sendiri. Justru ketika Sri Paus dan aparatnya tak lagi menguasai tanah dan takhta seperti pada Abad Pertengahan Eropa, dan tak lagi terlibat perang dan penindasan, ia bisa lebih meyakinkan sebagai lambang “kerajaan yang lain”.

Ia hadir dengan nilai lebih karena ia dianggap bukan “kerajaan dunia” yang tak henti-hentinya terpaut oleh kepentingan yang sepihak dalam percaturan pamrih dan kekerasan. Bukankah Yesus menampik kerajaan macam itu ketika Iblis menawarkannya dalam ujian di padang gurun, dan sejak itu manusia tahu bahwa kalaupun yang “transendental” mustahil akan datang hari ini, “kerajaan yang lain” itu akan selalu mengimbau, akan selalu mengingatkan apa yang kurang dari la politique.

Itulah sebenarnya yang dapat ditawarkan bukan saja oleh Vatikan, tapi oleh tiap agama: menghadirkan imbauan dari “kerajaan yang lain”. Tapi betapa sulitnya. Agama telah jadi kelompok, dan kelompok jadi kubu, dan tembok didirikan, juga pintu yang tertutup.

Tak mengherankan bila ada keraguan, di manakah yang transendental dalam peta semacam itu. Bagaimanakah sebuah agama dapat mencerminkan apa yang agung dari Tuhan, selama agama itu terlibat dalam perebutan kapling di dunia?

Pertanyaan seperti itu kian deras, sebab kian terasa pula kurangnya sumber-sumber “pembenaran” yang bisa diterima semua pihak di dunia sekarang. Mungkin itu sebabnya, di satu sisi kita takut melihat menyempitnya pandangan agama-agama, di lain sisi kita hidup di masa ketika Tuhan, sumber pembenaran yang universal, dirindukan kembali, sebuah masa “pasca-sekuler”.

Maka dengan susah payah agama-agama pun mulai merenungkan posisi masing-masing: mungkinkah yang universal sepenuhnya diwakili hanya oleh satu sistem dan tradisi kepercayaan yang partikular, yang tak jarang punya sejarah yang penuh darah dan ketakaburan?

Dalam perenungan kembali ini, saya akan selalu teringat Nurcholish Madjid: ia berada di garis depan, tapi ia juga berada di sebuah tradisi yang dimulai ketika orang Islam pertama mendengar Quran dan diingatkan bahwa banyak nabi yang dikirim Tuhan ke bumi, dengan aturan dan jalan masing-masing. “Seandainya Tuhan menghendaki,” demikian mereka dengar firman itu, “Ia akan menjadikan manusia sebuah bangsa yang tunggal.” Dengan kata lain, mereka tahu bahwa nilai-nilai yang universal tak akan hadir di satu tempat. Orang akan menemukannya di posisi di mana yang universal disuarakan.

Pekan lalu, dalam perkabungan untuk Paus Yohanes Paulus II, Vatikan adalah salah satu dari sedikit tempat di dunia yang berada di posisi itu. Ke sana datang Ayatullah Khatami dari Iran, ke sana datang pula George W. Bush dari Amerika, Presiden
Israel, Perdana Menteri Palestina[].