Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara/Bab 5

Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara
Bab 5Adat Istiadat Daerah Sangihe dan Talaud

B A B V

ADAT ISTIADAT DAERAH SANGIHE DAN TALAUD

I. IDENTIFIKASI

A. LOKASI DAN LINGKUNGAN ALAM
1. Letak dan keadaan geografis.
Orang Sangihe dan Talaud adalah salah satu diantara suku-suku bangsa yang ada di Sulawesi Utara.¹ Sebagian besar mendiami gugusan kepulauan pada bagian utara jasirah Sulawesi Utara sampai ke wilayah perbatasan dengan negara Pilipina.
Gugusan kepulauan tersebut ialah 'Kepulauan Sangihe dan Talaud'. Jusa dikenal dengan nama kepulauan Nusa Utara.²
Gugusan pulau yang terletak antara 125°10' bujur timur sampai 127° 12' bujur timur, dan 20° 3' lintang utara sampai°'25' lintang utara, secara geografis berbatasan dengan :

- sebelah utara dengan laut Mindanao,

- sebelah selatan dengan seiat Talise,

- sebelah timur dengan lautan Pasifik, dan

- sebelah barat dengan laut Sulawesi.

_____________________


¹N. Kalangi, Kebudayaan Minahasa, dalam 'Manusia dan Kebudayaan di Indonesia' oleh Koetjaraningrat (ed.) 1971.

hal. 145 ;
²lihat pilato ilmiah dari drs. A. Malauegha pada Dies Natalis UNSRAT Manado ke XI thn. 1972.

Kepulauan Sangihe dan Talaud meliputi 77 pulau. Antaranya 56 pulau yang didiami, dan 21 lainnya tidak didiami.3

Kepulauan ini terdiri atas beberapa kelompok pulau yang berderet dari utara ke selatan masing masing ; kelompok pulau-pulau Nanusa, Karakelang , Salibabu, Kabaruan, yang merupakan kelompok pulau-pulau Talaud.

Kelompok pulau Sangir besar Siau, Tagulandang dan pulau-pulau kecil lainnya yang dikenal dengan kelompok pulau Sangihe dan Siau-Tagulandang.

Pulau Karakelang, Kabaruan, Salibabu, Sangir besar Siau dan Tagulandang merupakan pulau-pulau besar diantara gugusan kepulauan ini, yang luasnya bervariasi antara 90 km2 sampai 960 km2.

Giri yang menyolok dari lingkungan alam di kepulauan Sangihe dan Talaud adalah bukit-bukit yang tinggi maupun rendah diantarai oleh sungai besarmaupun kecil;4 gunung-gung berapi baik yang masih aktif maupun tidak, dengan ketinggian antara 0 m sampai 1320 m. Pada umumnya daerah ini merupakan daerah vulkanis, dengan jenis tanah latosol/red yellow podzolie.

Di beberapa tempat di pinggiran pantai, terlebih dekat muara dan di muara sungai ditimbuni pohon-pohon bakau (rizaphora avicenia), pada bagian lainnya merupakan pantai karang yang landai.

_____________________

Keadaan topografi yang berbukit-bukit, tetapi sifat tanah serta pengaruh iklim tropis, pergantian musim penghujan dan musim panas yang relatif terjadi secara berimbang tiap tahun, menyebabkan hampir setiap daerah/tanah yang ada ditumbuhi pepohonan dan dapat tditanami. Alam tumbuhan yang ada mengkombinasikan didalamnya berbagai macam belukar dan kelompok hutan primer maupun sekunder dengan sifat yang heterogen terpencar luas pada pulau-pulau yang ada.

Letak pulau-pulau yang diantarai selat dengan pengaruh gelombang pasifik dan pergantian angin moson menunjukkan selain adanya gejala isolasi geografi, juga melatar belakangi orientasi mata pncaharian hidup dari penduduk yang mendiami gugusan kepulauan ini.

Pergantian angin musim, antaranya musim selatan yang kering dengan gelombang bertiup pada bulan Juli sampai Oktober; dan angin musim utara yang membawa hujan bertiup pada bulan Nopember sampai dengan Maret. Pada bulan-bulan Maret, April, Mei, September, Oktober merupakan musim pancaroba.

2. Pola perkampungan.

Pada umumnya desa desa di Sangihe dan Talaud terletak di dataran rendah, kecuali itu ada sebahagian kecil saja atau beberapa buah desa yang terletak di bagian pedalaman mendekati wilayah perkebunan. Yang sebagian besar dari desa-desa si Satal terletak di dataran rendah di dekat-dekat pantai ataupun tepian-tepian muara sungai.

Hal ini hampir berlaku umum seperti juga di Minahasa, Bolaang Mongondow dan Gorontalo di mana penduduk membangun desanya di dataran rendah agar mudah memperoleh air untuk kebutuhan hidup sehari
hari. Selain itu juga karena ikatan tempat kehidupan (wilayah) yang berrhubungan dengan mata pencahariannya. Seperti : bercocok tanam di ladang dan menangkap ikan di laut atau nelayan.
Istilah desa di Sangihe dan Talaud disebut kampung yang di bawah perintah kepala kampung atau "Opo Lao" (Hukum Tua). Setiap desa di Kepulauan Sangihe dan Talaud mempunyai batas-batas wilayah desa masing-masing. Kecuali itu terdapat desa-desa yang mengelompok padat seperti kota-kota kecamatan ataupun kota kabupaten. Setiap desa di kepulauan Sangihe dan RTalaud mempunyai rumah-rumah ibadah, balai desa dan gedung-gedung sekolah. Rumah-rumah ibadah dapat di diperinci sebagai berikut.

 - Gedung gereja Protestan 315 buah.
 - Gedung gereja Katholik 15 buah.
 - Gedung gereja Advent 14 buah.
 - Gedung Mesjid 66 buah.

Bangunan-bangunan tersebut di atas dibangun di antara pemukiman penduduk yang diatur mengikuti/ menghadap arah jalan sepanjang jalur yang ada di desa maupun di kota-kota. Jarak antara rumah yang satu dengan rumah yang lain selamanya di antarai pekarangan-pekarangan yang kosong antara 20 m - 50 m (berlaku di desa ).
Untuk pemukiman di kota-kota penduduk telah mengelompok padat sehingga jarang terdapat pekarangan-pekarangan. Kala ada hanya berkisar 10 m atau 20 m saja.
Bentuk rumah di kepulauan Sangihe dan Talaud berbentuk empat persegi panjang yang dulunya tidak diberi petak-petak di bagian dalam berupa kamar tetapi hanya dibatasi oleh kain kofo yang disebut Darlanse. Sekarang sudah sama dengan daerah-daerah lain sesuai dengan perkembangan tehno-

logi. Rumah-rumah mereka ada yang di atas pangggung ada pula yang merata di tanah dengan dasar lantai beton. Bahan yang digunakan adalah kayu , bambu, semen dll. Atapnya ditutup dengan daun rumbia dan ada juga yang menggunakan seng. Rumah-rumah sekarang ini ruangannya telah di ataur sebagai berikut :

Bagian depan tempat menerima tamu, disampingnya kamar tidur, di bagian tengah tempat tidur keluarga dan di bagian belakang ruangan makan dan ada yang memisahkan ruangan makan terpisah dari rumah ( di dapur), Barang-barang wadahnya tidak tentu ada yang di ruangan tersendiri di dalam rumah ada yang ditaruh di bagian atas (loteng).

B. LATAR BELAKANG HISTORIS.

Sejak kapan wilayah ini telah didiami oleh manusia tidak ada keterangan yang di peroleh dengan angka yang tepat. Hanya berdasarkan beberapa hasil penelitian/penggalian arkeologi yang dilakukan memperkirakan bahwa manusia tertua yang hidup di daerah ini telah ada sejak kurun waktu antara 5000 sampai 2000 tahun sebelum masehi.

Tentang asal usul penduduk kepulaun Sangihe dan Talaud, ada beherapa pendapat yang dapat di -

_________________
ajukan antara lain pendapat dari D.

Brilman, yang mengatakan, bahwa penduduk Sangihe dan Talaud termasuk pada bangsa-bangsa Indonesia dalam lingkungan induk bangsa Melayu Polynesia.- Asal perpindahan mereka dari utara (dari Mindano) dan yang lain berasal dari Ternate.
Pendapat yang sama berasal dari prof. J.C. van Erde yang mengatakan bahwa suku bangsa Sangihe dan Talaud termasuk suku bangsa Melayu Polynesia atau sebagian besar Austronesia.7

Selanjutnya Dr. H.A. Brouwer, mengatakan bahwa penduduk Sangihe dan Talud tidak dapat ditentukan secara pasti dari mana asalnya. Beliau menduga bahwa mereka berasal dari Pilipina, dan juga ada yang dari Sulawesi Utara. Dugaan ini didasarkan pada alasan 'bahasa' yang ada di Sangihe Talaud. (h.a. Brouwer, 1918-1919 hal. 771).

L.M. Kansil, dalam naskah sejarahnya mengemukakan bahwa bila dilihat pada warna kulit-nya (ciri fisik) menampakkan adanya perbedaan seperti adanya kelompok pertama dengan kulit kehitam-hitaman dan tububnya sedang, lebih banyak menunjukkan kesamaan dengan penduduk Pilipina, . sedangkan kelompok kedua kulitnya agak kuning dengan tipe/potongan tubuh lebih besar dari golongan pertama, hal mana menunjukkan banyak kesamaan dengan penduduk Sulawesi Utara.
( L - M. Kansil, 1955 hal. 1 ).

___________________________

Kecuali pendapat-pendapat di atas, dari kalangan penduduk Sangihe dan Talud yang masih memelihara ceritera tentang asal usul nenek moyangnya, dan dari legenda-legenda yang ada hubungannya dengan asal usul ini, dapat diketahui tentang asal usul orang Sangihe dan Talaud. Meskipun tidak secara pasti dan tepat, mereka selalu menunjukkan bahwa asal usul nenek moyang berasal dari arah utara. 10

Secara etnis, penduduk Sangihe dan Talaud dapat dikategorikan atas tiga sub suku bangsa , masing - masing : orang Talaud, yang merupakan penduduk asli kepulauan Talaud, seorang Sangihe yang merupakan penduduk pribumi pulau-pulau Sangihe (Sangihe Besar dan gugusan pulau sekitarnya) , dan orang Siau Tagulandang yang merupakan penduduk pribumi pulau Siau, Tagulandang dan pulau-pulau kecil sekitarnya.

Selain mereka yang menganggap dirinya dan dianggap sebagai penduduk asli, ada juga bebera-

_________________

pa suku-bangsa lainnya yang tinggal di kepulauan ini, seperti orang Gorontalo, Minahasa, Bugis Makassar, orang Jawa, orang Ternate, orang Ambon serta suku bangsa lainnya; dan kelompok keturunan asing, seperti orang Cina, orang Arab, dan keturunan Spanyol, Belanda dan Jerman, meskipun mereka yang terakhir ini hanya dalam jurnlah yang kecil.

Kelompok penduduk yang berasal dari luar daerah ini, bila dilihat dari latar belakang kehidupan sehari-hari, masing-masing menempati suatu aktivita khusus dalam lingkaran kehidupan. Seperti orang Cina, Arab dan Gorontalo serta Jawa berkecimpung di lapangan perdagangan, sedangkan lainnya menempati lapangan pekerjaan tertentu seperti pegawai, tukang dan lainnya. Sedangkan penduduk asli lebih banyak berorientasi pada lapangan pertanian, dan mata pencaharian lainnya, seperti pertukangan, pegawai dan sebagainya.

Melalui kurun waktu tertentu, wilayah kepulauan Sangihe dan Talaud telah mengalami pengaruh kebudayaan-kebudayaan tertentu. J. Scheneke, dan agama Islam mencatat bahwa sejak tahun - 1550 kebudayaan Islam/telah ada dan dijumpai di gugusan kepulauan ini.

Kehadiran agama dan kebudayaan Islam ini menurut Scheneke, melalui dua jurusan: yang pertama, dari utara yaitu dari Mindanao, merupakan lanjutan dari Malaka, Sumatera, Brunai, Sulu , Mindanao, pulau Talaud dan Sangihe (± thn.1550).

________________

Dan yang kedua, dari arah Ternate sebagai lanjutan dari Jawa, Ambon, Bacan, Tidore, Ternate dan Sangihe besar ( ± 1540 ).

Beberapa tahun sesudah rnasuknya agama Islam masuk pula agama Kristen. Hal ini ditandai dengan tibanya suatu missi Jesuit yang dipimpin oleh Don Diego Magelhaes di Kamanga (Kerajaan Riau) pada tahun 5168.13 Masuknya agama Kristen ini lebih jelas lagi nampak pengaruhnya pada zaman VOC. Di mana, mulai tahun 1670-an, agama Kristen ini mulai menyebar ke seluruh pulau-pulau yang ada. Bahkan pengkabaran agama ini lebih banyak dijalankan dengan menggunakan bahasa setempat (bahasa daerah). Dengan demikian masuknya agama Kristen di kepulauan Sangihe dan Talaud, tidak dapat dilepaskan dari kedatangan bangsa Portugis dan Belanda di daerah tersebut.

Apabila ditelusuri lebih jauh lagi, masuknya pengaruh Islam serta pengaruh Kristen di kepulauan Sangihe dan Talaud mempunyai suatu ciri yang dapat dikatakan sama. Keadaan masyarakat pada abad 16 di kepulauan Sangihe dan Talaud merupakan satuan kerajaan-kerajaan kecil 14.

Setiap kerajaan-kerajaan maritim kecil ini saling berusaha memerluas wilayah dan pengaruhnya. Beberapa di antaranya seperti kerajaan Kandahe yang mempunyai hubungan dengan kerajaan Mangindono ( karena perkawinan ), kerajaan Tabukan dengan Ternate, di kemudian hari merupakan daerah yang terkenal sebagai kerajaan Islam yang pernah mencapai masa Jayanya. Begitu juga halnya dengan kerajaan Siau yang atas prakarsa rajanya

___________________
Setiap kerajaan-kerajaan maritim kecil ini saling berusaha memerluas wilayah dan pengaruhnya. Beberapa di antaranya seperti kerajaan Kendahe yang mempunyai hubungan dengan kerajaan Mangindano ( karena perkawinan ), kerajaan Tabukan dengan Ternate, di kemudian hari merupakan daerah yang terkenal sebagai kerajaan Islam yang pernah mencapai masa jayanya. Begitu juga halnya dengan kerajaan Siau yang atas prakarsa rajanya mengalami kristianisasi di abad 16,15 merupakan pintu masuknya pengaruh Kristen.
Dengan demikian, pengaruh yang masuk pada masa itu ( baik Islam maupun Kristen ) melalui jalur raja dan keluarganya sebagai pimpinan wilayah yang ada.
C. BAHASA DAN TULISAN.

Bahasa Sangihe dan Talaud, menurut S.J. Esser termasuk pada rumpun bahasa Austronesia atau Melayu Polynesia, dan tergolong dalam kelompok bahasa bahasa Pilipina.16 Bahasa yang digunakan sehari- hari oleh penduduk yang mendiami kepulauan ini, dapat dikategorikan atas dua kelompok masing- masing : bahasa Sangihe dan bahasa Talaud; yang masing- masing pula terdiri atas dialek-dialek tertentu. Bahasa Talaud, dalam uraian dari J.P. Talens dan N. Adrriani terdiri atas 6 (enam) dialek lokal yaitu : dialek Salibabu, dialek Kabaruan, dialek karakelang dialek Essang, dialek

Nanusa dan dialek Miangas.17.
____________________

Sedangkan bahasa Sangihe terdiri atas 10 lokal, yaitu dialek Kandahe, dialek Tahuna, dialek itu, dialek Tamako, dialek Tabukan Utara, dialek Tabukan Tengah, dialek Tabukan Selatan, dialek Siau Timur, dialek Siau Barat dan dialek Tagulandang.18

Dalam hal pemakaian bahasa sebagai alat komunikasi, terdiri atas : bahasa umum, yang digunakan dalam pergaulan hidup sehari-hari dan antara sesama teman; bahasa halus (bahasa sastera) yang biasanya digunakan pada upacara tertentu, atau juga bila berhadapan dengan yang lebih tua dan pantas untuk dihormati, dan bahasa sasahara (bahasa kiasan) yang biasanya digunakan oleh pelaut dan sering juga dalam kehidupan sehari-hari19 Mengenai bahasa sasahara ini, telah mendapat perhatian dari beberapa sarjana dalam mempelajarinya, antara lain : A.

Adrianni, Brilman, Brouwer, J.P. Talesns. K.C.P. Steller dan beberapa sarjana lainnya. Dan dari keterangan yang diperoleh, penulisan sarjana lainnya. Dan dari keterangan yang diperoleh, penulisan bahasa daerah ini ditulis dengan huruf latin.

Hingga kini belum diperoleh keterangan baik tertulis maupun lisan mengenai apakah ada suatu tulisan tertentu atau tidak.

_______________

II. SISTEM MATA PENCAHARIAN HIDUP

A. BERBURU

Berburu, merupakan salah satu aktivitas mata pencaharian hidup, meskipun usaha ini tidak lagi merupakan mata pencaharian utama (pokok).
Kecuali berburu sebagai suatu kegemaran. Dalam tulisan ini, yang akan dibicarakan adalah aktivitas berburu sebagai salah satu usaha mata pencaharian.

Binatang buruan yang lazim diburu adalah : sapi hitam, babi hutan. unggas, biawah, dan buaya. Untuk yang terakhir ini, atau untuk berburu buaya dan ular, sering dilakukan oleh orang orang dari luar daerah, antara lain oleh orang Bugis-Makassar. Ternate dan Banjar, untuk memperoleh kulitnya.

Melihat jenis binatang buruan ini, maka perburuan sering dilakukan di hutan sekunder, dibekas-bekas ladang yang sudah ditinggalkan, ditepi sungai dan juga di hutan rimba primer. Dan senjata yang biasa dipakai adalah tombak, parang sumpit, pukat, dan juga alat tradisionil berupa perangkap.

Beberapa cara berburu yang hingga kini masih dijalankan antara lain :

  1. Manabba, adalah salah satu kegiatan berburu babi hutan dan sapi hutan yang biasa dilakukan oleh orang-orang dikepulauan Talaud, Kegiatan ini dijalankan secara beramai-ramai oleh kaum lelaki ( baik dewasa maupun anak-anak ) dalam satu atau dua desa yang bertetangga.

Dan ini dilakukan sehari suntuk. Persiapan yang diadakan pada hari-hari sebelumnya, berupa pembuatan panggung, maupun rintangan-rintangan pada tempat di sekitar panggung. Panggung ini biasanya didirikan pada tempat-tempat tertentu. Seperti di pinggir suatu tebing yang terjal. ditepi sungai, dan juga di tepi pantai. Sedangkan rintangan dibuat di sekitar panggung berupa pohon-pohon yang ditebang, dengan maksud agar binatang buruan ini akan berlari ke arah panggung. Dan jika ia lolos melewati panggung yg ditempati oleh beberapa orang yang siap dengan tombak, binatang buruan ini akan jatuh ke sungai jika panggung yang ada didirikan di tepi sungai, juga akan jatuh ke jurang bila panggung tersebut didirikan di tepi tebing.

Kegiatan ini biasanya mulai dilaksanakan pada pagi hari, di awal dengan pembagian tugas oleh seorang yang akan mengepalai perburuan ini. Oleh si kepala yang biasanya penunjukkannya didasarkan pada kriteria berupa keahliannya dalam mengenal jejak binatang buruan, dan sedikitnya mengetahui dunia magic' - ditentukan beberapa pembantu yang akan mengepalai kelompok-kelompok kecil yang dibagi. Kecuali itu juga ditunjuk orang-orang yang mahir menggunakan tombak. Mereka inilah yang akan menempati panggung tadi.
Kelompok anak-anak tidak ketinggalan. Mereka diberi tugas untuk menempati pohon-pohon atau panggung-panggung kecil, dengan tugas apabila binatang buruan telah berada di sekitar panggung, mereka harus membunyikan suatu alat yang terbuat dari bambu dan diberi berlubang. Alat ini disebut tatingkoran (biasa kita kenal dengan sebutan kentongan). Atau juga berteriak-teriak.

Kelompok lainnya bertugas mengepung suatu wilayah yang diperkirakan di tempati oleh binatang buruan. Apabila mereka sudah mengepungnya, baru secara serentak mereka bersorak berteriak menghalau binatang buruan ke arah panggung yang didirikan. Hasil buruan ini tergantung pada kerapihan mereka dalam mengepung suatu wilayah.

Karena biasanya apabila binatang buruan sudah berada di sekitar panggung, dalam hal ini berada dalam wilayah yang dipenuhi rintangan, binatang buruan ini tidek bisa meloloskan diri lagi.

Selain manusia yang merupakan tenaga kerja dalam aktivitas ini, juga digunakan anjing.

Hasil buruan yang diperoleh dalam kegiatan Manabba ini biasa dibagi merata kepada semua peserta, dan juga kepada warga desa yang melakukan kegiatan ini.

2. Mangasu (angihe) atau matariasu ( talaud ).

Lain halnya dengan manabba,mangasu atau matariasu merupakan satu cara berburu yang dijalankan hanya oleh seorang atau dua tiga orang, dan beberapa ekor anjing yang digunakan untuk melacak jejak binatang buruan. Senjata yang dipakai adalah tombak dan parang. Cara berburu (mangasu) ini biasa- nya hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu yung mempunyai keahlian sebagai pemburu (tahaanu') Aktivitas ini dilakukan pada siang hari, di daerah bekas ladang atau juga pada hutan sekunder muda.

Satu cara yang pada dasarnya sama dengan mangasu ini ialah apa yang disebut manganu (Sangir) atau matariana (Talaud), Pada yang terakhir ini, si pemburu hanya sendirian tanpa ditemani oleh anjing. Manganu dilakukan dengan jalan mencegat binatang buruan pada tempat-tempat tertentu, dan dilakukan pada menjelang fajar (antara 03.00 sampai 06.00) atau juga pada sore hari. Untuk aktivitas manganu, biasa dilakukan diladang-ladang yang didatangi oleh babi hutan. Dan si pemburu lmelakukan pencegatan di sini.

Hasil dari buruan ini, selain dimakan sen -diri, juga diberikan pada sanak saudara dan tetang

ga, maupun dijual belikan dalam desa.

Selain cara-cara berburu yang dikemukakan di atas, ada juga cara tertentu untuk memperoleh binatang buruan, seperti membuat lubang perangkap, memasang jerat (dodes) pada tempat yang biasa dilalui oleh binatang buruan.

Sedangkan untuk berburu unggas, selain menggunakan perangkap, menjeratnya dengan tali atau pukat, juga dipakai senjata yang dibuat dari panah-panah kecil yang ditiup dari tulup-tulup bambu ( sempit ).

B. MERAMU.

Meramu sagu di kepulauan Sangihe dan Talaud merupakan salah satu aktivitas yang hingga kini banyak dilakukan oleh penduduk setempat.

Meramu sagi ini mendapat perhatian yang besar khususnya di pulau Sangihe, karena selain hasilnya dijadikan bahan makanan pokok, juga diperjual belikan.

Pohon sagu yang tumbuh di wilayah perkebunan menjadi hak milik dari individu yang memiliki tanah perkebunan itu. Pemilikan ini terjadi karena individu tersebut menanamnya sendiri, atau membelinya, maupun memilikinya melalui sistim pewarisan.

Dalam meramu sagu, keluarga batih merupakan inti satuan kerja, atau seseorang bisa bekerja sama dengan saudara laki-laki dewasa maupun iparnya.

Pohon sagu yang dewasa, biasanya berumur antara 10 - 15 tahun, ditebang kemudian dipenggal dalam beberapa bagian, Setiap potongan ini diangkut ke tempat pembuatan sagu (pemangkonang), kemudain dibelah dua bagian. Teras dari pohon sagu ini kemudian dikeluarkan dengan jalan dipukul dengan suatu alat pemukul sagu. Kemudian teras yang telah dipukul halus ini diremas-remas pada sebuah alat penyaring yang terbuat dari kulit kayu dan serabut pada pelepah kelapa.

Air sagu yang ada kemudian didiamkan selama semalam, dengan maksud agar tepungnya mengendap pada tempat penampungan air sagu ini. Nanti pada keesokan harinya barulah diambil tepung sagu yang ada.

Tempat pembuatan sagu biasanya didirikan pada tempat yang dekat dengan sumber air. Hal ini menggampangkan proses pengerjaannya.

Selain meramu sagu, mengumpulkan hasil hutan seperti rotan, kulit kayu yang dijadikan bahan pembuat tali juga merupakan salah satu aktivitas mata pencaharian hidup yang ada.
C. P E R I K A N A N

Keadaan alam geografis yans ada, telah menempatkan aktivitas menangkap ikan sebagai salah satu kegiatan dalam sistim mata pencaharian hidup. Namun, dibandingkan dengan teknologi perikanan sekarang, maka taraf usaha perikanan yang ada masih lebih bersifat tradisionil. Yang mengusahakan cara teknologi modern dapat dikatakan relatif masih terbatas.

Aktivitas penangkapan ikan baik untuk memenuhi kebutuhan pangan, maupun sebagai salah satu usaha untuk menambah penghasilan di kepulauan Sangihe dan Talaud dapat dilihat dalam dua lokasi masing-masing : perikanan darat dan perikanan laut.
  1. Perikanan darat, seperti usaha pemeliharaan ikan-ikan pada kolam-kolam ikan belum membudaya dalam kehidupan petani. Dan dengan demikian, yang ada, adalah usaha penangkapan ikan di sungai-sungai. Inipun hanya dapat dijumpai di beberapa pulau besar saja, dengan keluarga batih sebagai satuan kerja.
Penangkapan ikan di sungai adalah sebagai berikut :
  1. Menangkap ikan ( ikan gabus, udang, belut, dll,). dengan menggunakan tangan (pangsung menangkapnya dengan tangan ) atau dengan menggunakan senjata-senjata dengan metode memotong Cara ini banyak dilakukan oleh anak-anak laki-laki maupun orang dewasa.
    Waktu menangkapnya pada siang hari.
  2. Menangkap udang dengan menggunakan jaring kecil (sasile) atau sibo-sibo. Cara ini lazim digunakan oleh digunakan oleh kaum wanita ,pada siang hari. Selain udang, juga diperoleh adalah kepiting sungai, ikan-ikan sungai dan belut.
  3. Mangutu, merupakan satu cara yang sama dengan cara kedua di atas. Hanya waktu penangkapannya adalah di malam hari. Pada cara ini, kaum wanita ditemani oleh laki-laki yang bertugas memegang alat penerang seperti obor yang terbuat dari daun kering, atau juga dari bambu kering, atau juga dari bambu kering, yang akhir-akhir ini banyak digunakan lampu gas.
  4. Menggunakan alat perangkap yang disebut ula' (semacam keranjang bulat dan diberi pintu masuk pada ujungnya).

    Perangkap ini diberi umpan dari daging kelapa

yang dibakar, dan dipasang saat mata hari mulai terbenam di aliran sungai yang airnya tidak terlalu deras, atau pada genangan-genangan air di sepanjang pinggir sungai. Semalaman perangkap ini dibiarkan begitu, dan nanti diangkat pada keesokan harinya sebelum matahari terbit.
Cara ini merupakan pekerjaan kaum lelaki. Dan setiap orang biasanya memiliki sampai sepuluh perangkap atau lebih. Sedangkan alat ini lazim digunakan untuk menangkap udang.
  1. Menggunakan racun ( akar tuba ) untuk membunuh ikan. Cara ini biasanya dilakukan bersamaan dengan cara seperti mengeringkan bagian-bagian tertentu dari sungai, dengan jalan memindahkan aliran air pada bagian yang lain.
  2. Cara yang banyak dilakukan oleh anak-anak lelaki dan orang dewasa ialah memancing, baik yang menggunakan joran, maupun kail biasa.

    Penangkapan ikan dilaut adalah :

  1. Memancing di pesisir pantai atau sekitar batu karang. Cara ini dikerjakan oleh kaum laki-laki dan wanita, tua maupun muda.
  2. Mengumpulkan kerang, kepeting atau ikan-ikan kecil, dengan menggunakan metode menangkap dengan tangan, menggunakan senjata dengan metode memotong dan menusuk.

    Juga meracuninya dengan akar tuba. Cara ini dilakukan oleh wanita, dan dibantu oleh anak-anaknya baik laki-laki maupun wanita. Cara di atas ini dapat dilakukan pada siang hari, dan juga pada malam hari dengan bantuan obor sebagai alat penerangannya.

  1. Menangkap ikan dengan menyelam dan menggunakan senjata berupa tombak. Cara ini dilakukan oleh laki-laki. Bisa dijalankan secara perorangan, juga secara kolektif.
    Kecuali siang hari pekerjaan menangkap ikan dengan cara ini dapat dilakukan pada malan hari. Pada malam hari dengan bantuan lampu gas yang digunakan sebagai alat penerang; lampu itu ditempatkan pada perahu sampan yang didayung mengikuti penyelam-penyelam yang mencari ikan.
  2. Menangkap dengan alat seperti perangkap ikan baik yang dianyam seperti keranjang, yang disebut : imi, somba, tumpina, pahato dan lain-lain, perangkap-perangkap mana di benamkan di sekitar karang, ada yang diberi umpan, ada juga yang tidak diberi umpan.

    Ada juga dengan melepaskan mata kail dengan umpan kemudian dibiarkan beberapa saat. Kehusus mengenai perangkap-perangkap di atas, ada jenis perangkap yang dipasang pada kedalaman air 1 meter, ada yang kedalaman 5 - 6 meter, ada juga pada kedalaman air 20 - 50 meter. Masing-masing perangkap mempunyai bentuk dan besar kecilnya tergantung dari kedalaman air serta cara memakainya.

    Kegiatan di atas, merupakan kegiatan yang dilakukan di sekitar pesisir pantai. Kecuali itu hampir semua pelaksanaannya dilakukan pada saat pasang naik, hampir tidak ada penangkapan dilakukan.

    Khususnya pada cara menangkap, dengan memakai perangkap, sebagaimana di atas telah dijelaskan bahwa perangkap itu diletakkan pada tempat-tempat yang oleh si pemasangnya diangsap sebagai tempat yang banyak dilalui oleh ikan. Dan perangkap ini diletakkan pada saat air telah
pasang surut.
Kemudian dibiarkan pada saat air mulai pasang naik. Nanti pada saat pasang-surut berikutnya, barulah dilihat, apakah perangkap itu sudah berisi atau belum. Jika berkali-kali perangkapnya tidak mengena, lalu dipindahkan ketempat yang lain. Tetapi kalau ia berisi atau banyak memperoleh ikan, perangkap itu dibiarkan terus dipasang pada satu tempat.
Selain cara penangkapan ikan yang telah dikemukakan di atas, yang pada umumnya dilakukan sekitar pesisir pantai, maka berikut ini akan dikemukakan beberapa cara-cara penangkapan ikan dengan lokasi di laut lepas.
  1. Mebawono, atau mengail dengan menggunakan umpan. Mengail jenis ini dilakukan pada kedalaman air antara 50 - 100 meter atau lebih. Caranya, si nelayan dengan menggunakan perahu sampan, menuju tempat yang dianggapnya merupakan tempat ikan berkumpul. Tiba di tempat tersebut, si nelayan kemudian mengulurkan tali kailnya dengan bantuan alat pemberat seperti batu, atau potongan besi dan timah. Tali kail ini diberi mata kail satu atau lebih,dan setiap mata kail diberi umpan.

    Besarnya mata kail dan juga tali tergantung dari cara-cara yang lebih khusus dalam sistim penangkapan ini.

    Cara ini hanya dilakukan oleh laki-laki. Bisa dilakukan pada siang hari, dan juga malam hari. Seorang nelayan biasanya dibantu oleh anak-anaknya yang telah dewasa dalam penangkapan ikan cara ini. Sedangkan ikan yang diperoleh adalah jenis ikan batu yang hidup di dasar laut.
  2. Tumbebang, yaitu cara mengail ikan todak.
Alat menangkap ikan ini sama halnya dengan menaikkan layang-layang. Tali kail yang diberi umpan dari benang laba-laba, diikatkan pada ekor layang-layang. Apabila layangan ini dinaikkan dengan cara mendayung perahu menentang angin, umpan yang tersebut dari benang laba-laba akan terampung-ampung di atas air. Dan ikan akan melihat umpan tersebut. Jika ikan telah mengigitnya, akan sulit baginya untuk membuka kembali mulutnya karena gigi-giginya telah tersangkut di benang laba-laba tadi. Waktu penangkapan adalah disiang hari. Biasanya pada saat laut sedikit berombak dan disertai angin yang tidak terlalu kencang.
  1. Melaude, yaitu menangkap ikan-ikan besar se perti ikan hiyu, cekalang dan lain-lain. Ini dilakukan sampai bermil-mil jauhnya dari pulau, Untuk menangkap ikan cara ini si nelayan be rangkat hampir siang menuju laut lepas. Dengan menggunakan umpan dari ikan-ikan kecil, tali kail dilepaskan. Bagaimana si nelayan berhasil menguasai ikan dan berhasil menangkapnya memerlukan suatu keahlian dan ketrampilannya. Sebab umumnya ikan yang diperoleh, lebih besar dari sampan yang dinaiki oleh nelayan. Kecuali itu, cara ini memakan waktu antara dua sampai tiga hari.
  2. Melandra, yaitu menangkap ikan terbang dengan menggunakan jala. Ini dilakukan pada malam hari. Caranya ialah jala tersebut direntangkan terapung di laut. Kemudian si nelayan dengan menggunakan sampan, mulai memeriksa dari ujung ke ujung jala, apakah ada ikan yang tersangkut di jala. Ikan ini kemudian diambil; dan apabi-la banyak ikan tersebut tidak akan_dipindahkan.
Tetapi apabila tidak ada ikan yang menyangkut dijala, jala itu dipindahkan ke tempat yang lain.
Lain halnya dengan menjala ikan yang dijalankan oleh banyak orang, maka cara ini hanya dilakukan oleh dua orang setiap sampan dan jala.
  1. Malote, yaitu cara menangkap penyu. Pada cara ini beberapa orang nelayan menaiki satu sampan besar. Sedangkan alat penangkap yang digunakan adalah semacam tombak yang beratnya berkisar antara 3 - 5 kg. Senjata ini diberi tali yang panjang. Jika ada penyu yang mereka lihat berenang di bawah sampan, alat ini (tombak) dilepaskan sampai mengenai penyu tersebut. Kemudian penyu itu diangkat dengan tali yang terikat di ujung tombak yang ada. Selain untuk memperoleh dagingnya, menangkap penyu terutama

    bermaksud untuk memperoleh kulitnya yang dapat dijual dengan harga yang mahal.

    Sistim penangkapan ikan yang telah dikemukakan diatas barulah merupakan beberapa contoh dari

    sekian banyak cara penangkapan ikan yang ada. Namun dengan contoh di atas, relatif dapat mewakili cara-cara yang ada, baik menyangkut sistim dan lokasi penangkapan.
Salah satu cara penangkapan ikan dengan menggunakan jala tradisionil, hingga kini masih dijumpai di kepulauan Sangihe adalah jala yang disebut kalasey. Jala ini dibuat dari bambu yang dibelah, dan setiap serpihannya sebesar satu jari. Panjang bambu yang dibelah ini antara 1 - 2 meter, Setiap serpihan ini kemudian diikat satu dengan yang lain sejajar, sama halnya dengan mengikat tikar rotan. Tapi antara serpihan satu dengan yang lain mempunyai jarak dua sentimeter. Lebar dari jala ini adalah sepanjang bambu yang dipotong. Sedang
kan panjangnya antara 50 - 100 meter. Pada salah satu sisi diberi pelampung dari kayu gabus, pada sisi lainnya diberi batu pemberat. Cara pemakaiannya sama halnya dengan penggunaan jala sekarang.
Hasil-hasil diperoleh dalam usaha penangkapan ikan baik di sungai maupun di laut, kecuali untuk dimakan, juga diperjual belikan. Atau satu cara yang lazim ialah dipakai sebagai alat penukar, misalnya untuk menukar bahan makanan, serta kebutuhan lainnya.
D. PERTANIAN
Bercocok tanam di ladang merupakan mata pencaharian pokok dari sebagaian besar penduduk kepulauan Sangihe dan Talaud. Setiap keluarga petani umumnya memiliki tanah pertanian.
Sistim bercocok tanam di ladang yang biasa dilakukan ialah ladang hanya ditanami satu atau dua kali dengan padi, kemudian ditanami dengan tanaman keras ( tanaman tahunan ) seperti kelapa, pala atau cengkih. Ada juga yang membiarkan bekas ladangnya menjadi hutan kembali, dan itu sudah merupakan tanah cadangan yang menjadi miliknya untuk diolah menjadi ladang beberapa tahun mendatang.
Sistim bercocok tanam ini lebih dikenal dengan istilah 'Shifting cultivation'.
Pola pergiliran bercocok tanam terutama tanaman padi, ada dua pola menurut 'musim' yang didasarkan atas perhitungan tradisionil, dengan peredaran bintang sebagai pedoman perhitungan. Dalam setahun, si petani mengalami dua musim menanam ini, masing-masing : musim menanam yang dikenal dengan nama daerah 'iamba', jatuh pada bulan Maret atau April; musim menanam kedua ialah
'matitimma' , jatuh pada bulan Agustus atau September. Setiap tahun, perhitungan ini tidak tetap pada satu tanggal. Peredarannya meliputi 28

hari. Dengan demikian perhitungan ini bisa hanya ada 11 bulan Agustus atau Maret, juga di bulan Maret April, Agustus-September, tertanggung dari peredaran bintang yang diambil sebagai pedoman.

Kedua musim menanam di atas, seringkali diikuti oleh semua orang, dan juga ada yang hanya memmakai satu musim menanam saja. Ini menurut pengalaman dari petani yang mengikutinya di anggap sebagai musim yang berhasil baginya.

Seluruh kegiatan bercocok tanam diawali dengan satu upacara adat, yaitu upacara "malin tukku herele", atau upacara mengeluarkan / menurunkan semua alat yang dipakai dalam kegiatan bercocok tanam dari rumah. Inti dari upacara ini adalah makan bersama seluruh penduduk dalam satu desa, sambil memanjatkan doa memohon berkat guna pekerjaan yang dihadapi. Juga disertai harapan agar alat-alat yang dipakai seperti parang dan kapak, tidak akan mendatangkan bencana bagi si pemakainya, misalnya melukai panakainya.

Pada upacara ini, masing-masing petani memilih kelompok mana ia akan bergabung dan menjadi suatu kelompok kerjasama yang akan mengerjakan seluruh aktivitas bercocok tanam. Kelompok ini terdiri atas 5 - 10 kepala keluarga batih, dengan keluarga batih sebagai satuan kerja. Setiap anggota satuan kerja ini seringkali terikat oleh suatu ikatan kekerabatan, misalnya klen atau karena lokasi perkebunan yang mereka garap berada dalam satu lokasi/tempat.

Sebelum melaksanakan semua kegiatan bercocok

tanam, setiap petani telah nemilih dan menandai

tanah perkebunan yang akan digarapnya.

Berapa luas tanah yang akan digarap, tergantung dari jenis dan kesuburan tanah. Ukuran untuk menentukan luas kebun yang digarap, ditentukan dengan banyaknya benih yang akan ditabur, yang jumlahnya diukur dengan kaleng (belek) minyak tanah. Luas tanah yang digarap, berkisar antara 2 (dua) belek (kaleng) sampai tiga atau empat kaleng. Mereka tidak memakai ukuran seperti berapa are atau hektare tanah yang akan digarap.

Untuk menandai tanah perkebunan inipun mempunyai cara-cara tertentu pula. Pertama, mereka harus menghitung bulan ke berapa, dan hari serta saat pasang surut maupun pasang naiknya air laut. Jika ini telah mereka ketahui, barulah si petani menuju ke lokasi yang akan digarapnya ini pada hari yang dipilihnya untuk menandai tanah tersebut.

Mereka menandai tanah yang akan digarapnya dengan cara membersihkan belukar pada keempat sudut dan pada bagian tengah dari tanah yang akan digarap. Dengan demikian, sebelum memulai kegiaten bercocok tanam, setiap warga desa telah saling mengetahui setiap tanah yang akan digarap oleh warga desanya.

Setiap kelompok kerjasama (gotong - royong) di atas, bekerja secara bergilir untuk setiap jenis pekerjaan, mulai dari membersihkan belukar, menebang pohon, membakar, membersihkan sisa-sisa kayu yang belum terbakar, menyiapkan kebun tadi sampai siap untuk ditanami.

Penanaman padi biasanya didahului dengan satu upacara adat yang disebut 'malintuku wulanna (mengeluarkan/menurunkan benih). Pelaksanaan upacara ini sama dengan upacara pertama di atas. Pekerjaan menanam padi biasanya dikerjakan secara

beramai-ramai, tidak hanya terbatas pada kelompok kerjasama seperti pada kegiatan lainnya. Meskipun demikian banyak juga yang menanam padi pada waktu-waktu tertentu, seperti pada saat air laut mulai pasang-surut, atau berdasarkan peredaran bulan, dan juga ada yang hanya menanam pada tanggal-tanggal tertentu seperti tanggal enam, dan dua puluh enam pada tiap bulan.

Penanaman dilakukan dengan cara melubangi tanah dengan alat pelubang yang terbuat dari kayu. Ini merupakan pekerjaan kaum lelaki. Kaum wanita dan anak-anak laki-laki bertugas mengisi benih pagi ke dalam lubang. Sambil menanam, mereka melagukan syair (sasambe), yang isi syairnya berhubungan dengan penananam padi.

Sesudah kebun ditanami, mereka mendirikan rumah (sabua), yang selain digunakan sebagai tempat di waktu menjaga kebun, juga berfungsi sebagai lumbung padi.

Bila padi sudah berumur antara satu sampai dua bulan, mulai, diadakan penyiangan. Kecuali itu, sampai untuk mencegah gangguan hama seperti babi hutan, kebun-kebun tersebut dipagari. Pada saat inilah merupakan saat-saat sibuk bagi para petani Seringkali mereka tidur di kebun masing-masing, karena selain menyiangi kebun atau menjaganya dari gangguan hama, mereka juga mengerjakan semua persiapan panen, misalnya mencari rotan dan daun pandan yang merupakan bahan utama dari kerajang yang akan digunakan sehagai wadah untuk menyimpan atau juga untuk mangangkut hasil panen.

Bila padi sudah mulai menguning, pemilik kebun akan mengambil tiga mayang padi dari tengah-tengah kebunnya. Ketiga mayang padi ini ditempatkan pada tempat tertentu dalam rumah ( sabua ).

Kebiasaan ini disebut ; 'modalenam bera, mekui himukuddu amme' (menyerahkan atau mempersembahkan sebahagian dari pada kepada roh penunggu padi).

Untuk menuai padi seperti telah disinggung di atas, cara pencerahan tenaga agak berbeda dengan kegiatan-kegiatan lainnya. Dan inipun tergantung dari baik tidaknya panen yang ada. Jika hasil panennya baik, untuk menuai dikenal satu cara pengarahan tenaga yang disebut : 'makiwera' atau 'matawangnga', yaitu, si pemilik mengundang sejumlah orang untuk membantunya menuai padi. Untuk itu ia harus menyediakan makan dan memberikan sebahagian hasil panennya kepada orang-orang yang telah membantunya. Seringkali, jika si pemilik tidak memberikan hasil panen, ia membagikan bahan makanan kepada mereka.

Hasil panen tidak langsung dibawa pulang ke rumahnya di desa, melainkan disimpan di sabua yang ada di kebun.

Satu kebun tidak hanya ditanami dengan padi saja, tapi diselingi dengan tanaman lain seperti jagung, talas dan pisang. Kalau kebun itu akan ditanami dengan padi sebanyak dua atau tiga kali, maka pada menanam pertama tidak akan ditanami dengan tanaman selingan.

Pola penanaman tanaman dalam satu kebun selamanya tergantung dari jenis tanah. Kalau tanah tersebut hanya sekali ditanami padi, maka sesudah penen, diganti dengan tanaman lainnya seperti umbi-umbian, kacang-kacangan asal sesuai dengan jenis tanah yang ada.

Selain bercocok tanam padi, mereka juga

menggarap kebun yang hanya ditanami dengan ketela dan ubi jalar. Untuk membuka kebun semacam ini mereka tidak lagi mengikuti kedua pola atau musim menanam seperti menanam padi. Ketela dan ubi jalar ini seringkali mereka tanam di bawah pohon-pohon kelapa, dan dikerjakan sendirian. Hasil bercocok tanam diladang, selain untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, juga diperjual belikan dan atau menjadi alat penukar untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya.

Seorang petani mempunyai hak atas sebidang tanah, bila tanah itu merupakan hasil garapannya sendiri, atau diwariskan oleh orang tuanya kepalanya, atau juga jika tanah itu dibelinya dari orang lain.

Jika seseorang hendak membuka tanah untuk dijadikan ladang, maka ia harus meneliti dengan seksama, apakah hutan yang akan digarapnya itu sudah pernah ada yang menggarapnya atau belum. Jikalau hutan itu sudah pernah digarap, ia harus menghubungi si penggarap pertama atau ahli warisnya untuk memperoleh izin penggarapan. Pemberitahuan bahwa ia akan mengharap tanah tersebut kepada si penggarap pertama sangatlah penting, karena si penggarap pertama, merasa dan diakui mempunyai hak atas tanah tersebut, meskipun tanah itu telah menghutan kembali.

Akhir-akhir ini, setiap petani yang membuka hutan baru harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah setempat. Kebutuhan untuk membuka hutan baru disebabkan oleh semakin kurangnya areal perladangan. Ladang-ladang yang ada dan pernah digarap, tidak lagi dibiarkan menjadi hutan kembali sebagaimana kelaziman yang ada, melainkan mulai mereka tanami dengan tanaman keras se

perti kelapa, pula dan cengkih. Dengan adanya tanaman keras ini, ikatan antara petani dengan tanahnya, dan juga haknya atas sebidang tanah itu menjadi lebih jelas.

Beberapa waktu yang lalu, selain bercocok tanam di ladang, orang Sangihe dan Talaud belun mengenal bercocok tanam di sawah. Pertanian di sawah baru pada tahun-tahun terakhir ini mulai diperkenalkan oleh petugas pertanian (dinas/jawatan ) kepada penduduk setempat.

E. PETERNAKAN.

Usaha peternakan yang ada hanya merupakan pekerjaan sambilan di samping bercocok tanam. Hampir semua rumah tangga memelihara ternak dan inipun hanya merupakan persiapan ulang tahun, perkawinan, upacara-upacara adat sehubungan dengan kegiatan pertanian dan lain-lain.

Ternak yang biasa dipelihara adalah : ayam, itik, babi, kambing dan sapi. Sapi lebih banyak digunakan sebagai penarik pedati, yang merupakan alat transport darat yang utama, baik untuk mengangkut hasil pertanian dari kebun, maupun sebagai alat transport antar desa.

Cara yang efisien dalam pemeliharaan ternak dapat dikatakan belum ada. Hewan ternak ini acakali hanya dibiarkan berkeliaran begitu saja, mencari maknanya sendiri.

F. KERAJINAN.

Penduduk kepulauan Sangihe dan Talaud mengenal adanya beberapa usaha kerajinan tangan, yang dikerjakan oleh orang-orang tertentu dari daerahnya, Kerajinan-kerajinan tangan yang ada antara lain :
  1. Pembuatan alat pertanian seperti parang, kapak, pacul, pisau dan alat-alat produksi lainnya yang dibuat dari besi. Atau kerajinan menempa besi.
  2. Kerajinan mengukir perabot rumah dengan bahan dari kayu hitam.
  3. Pembuatan alat rumah tangga dari tanah liat , seperti periuk-belanga, jembangan bunga dan lain-lain.
  4. Kerajinan anyam-menganyam, seperti pembuatan tikar daun pandan, dan tikar rotan.
  5. Menenun kain, merajut jala, membuat tali dari serat 'Manila hennep', atau yang lebih dikenal dengan pembuatan kain kofo.
  6. Kerajinan kerawang (sulam-menyulam), bahan utama dari kain. Sulam-menyulam ini untuk bahan baju pria & wanita, ataupun dengan untuk perabot rumah.

Semua kerajinan tangan di atas masih dikerjakan dengan teknik yang sederhana. Pembuatan alat-alat pertanian, kerajinan mengukir merupakan monopoli lelaki, sedangkan pembuatan alat rumah tangga dari tanah liat, kerajinan anyam-menganyam, menenun kain kofo dan sulam-menyulam dikerjakan oleh kaum wanita. Selain kerajinan tradisonil di atas, juga ada industri-industri ringan, antara lain pembuatan sabun cuci, pembuatan kue dan sebagainya.

III. SISTIM TEKNOLOGI DAN PERLENGKAPAN HIDUP

A. ALAT-ALAT PRODUKSI.

Bale, atau sabua, atau daseng (dasanna),adalah sebutan dalam bahasa daerah untuk 'rumah' Dari sebutan-sebutan di atas, kecuali merupakan suatu ungkapan untuk merendahkan diri dari si pemakai bahasa, juga mengandung arti khusus dan dapat membedakan jenis rumah ( sifat konstruksinya). Bale, sering digunakan untuk menunjukkan jenis

_r__

rumah yang konstruksinya permanent, dengan pola rumah batu (modern), sedangkan sabua, atau daseng, dipakai untuk merunjukkan jenis rumah semi permanen dan atau yang masih darurat; dengan kata lain rumah-rumah dengan bentuk tradisionil ( berlantaikan tanah dengan tiang serta dindingnya terbuat dari bambu atau kayu, beratapkan daun rumbia atau daun kelapa ).

Satu rumah biasanya didiami oleh satu keluarga batih. Perabot rumah sebagian besar adalah buatan sendiri ( dalam daerah ) dengan bahan utamanya kayu dan bambu. Khususnya perabot-perabot seperti kursi-meja, divan, terbuat dan dari bambu cina (semacam bambu dengan kulitnya kuning dan halus, yang biasa dibuat perabot ). Selain perabot dapur yang merupakan hasil untuk makan-minum yang tradisionil, baik yang terbuat dari tanah liat, dari batok kelapa, atau dari bambu.

Erat hubungannya dengan mata pencaharian dari penduduk, maka alat-alat produksi yang ada seperti dalam mengolah/bercocok tanam adalah :

pasyole ( pacul ), sikope, ( sekop ), lawuhang atau harele (parang), baliung ( kapak ) semua alat tersbut terbuat dari besi. Alat-alat untuk menanam lainnya terbuat dari kayu. Untuk mengolah tanah, selain alat-alat di atas seperti pacul dan sekop juga dipakai jenis-jenis kayu yang
keras. Alat seperti bajak belum dikenal.
Untuk perburuan, untuk jenis senjata potong, digunakan parang, sondang (pisau), untuk senjata tusuk adalah sambeang (tombak), yang terbuat dari besi sebagai mata tombak dan tangkainya dari kayu. Ada juga tombak yang dibuat dari kulit kayu pohon enau dan dari bambu yang keras.
Senjata yang dipakai untuk berburu unggas adalah 'sumpitan' (panah kecil yang ditiup dari tulup - tulup bambu). Selain itu, untuk berburu babi dan unggas digunakan perangkap dengan berbagai konstruksi, antara lain :
1. Perangkap dengan prinsip menjerat, digunakan tali(dodeso), getah dan keranjang.
2. Perangkap dengan prinsip menjerumuskan, dengan jalan menggali lubang, kemudian ditutupi dengan semak di atas lubang itu (paheba atau parabba).
Dalam usaha menangkap ikan, dikenal beberapa alat produksi yang masing-masing dapat dikategorikan atas fungsinya :
  1. Sebagai alat pengangkut adalah : assanna atau sakaeng pelang (perahu bercadik) baik untuk seorang, maupun untuk ditumpangi oleh dua sampai tiga orang. Ini digunakan untuk mengail. Sedangkan yang biasa dipakai untuk menjala, adalah sakaeng (perahu sekoci) dengan ukuran yang lebih besar.
  2. Alat-alat penangkap ikan untuk kategori perangkap adalah, tumping, ula, bebbihe, tumbekka, somba, pahato, yang semuanya lebih dikenal dengan nama 'igi'. Tumpina, adalah igi dalam ukuran kecil, digunakan untuk menangkap ikan -

ikan kecil di sela-sela batu karang. Berbentuk segi delapan, diameter yang terkecil 25 cm, yang besar 30 cm. Tingginya 10 sampai 15 cm. Lubang masuknya terletak di tengah bagian atas, terbuat dari bambu.
Ula, adalah igi kecil yang digunakan untuk menangkap udang. Bentuknya antara 30 - 50cm Pintu masuknya agak besar dan berbentuk kerucut,
Bebbihe, tumbekka, digunakan untuk menangkap ikan-ikan karang. Cara memakainya ialah dibenamkan dengan batu pada pedalaman air 1 - 3 meter. Bentuknya agak lonjong dan persegi empat. Ukuran panjang, lebar dan ting-inya adalah berkisar antara 100 cm, 70 cm, 50 cm. Juga terbuat dari bambu. Somha, pahato, sama dengan bebbihe, tumbekka. Hanya ukurannya sudah jauh lebih besar. Kadang - kadang panjangnya sampai 3 meter, lebarnya 2 meter dan tingginya 1 meter.

3. Alat-alat untuk menjala, adalah landra (pukat apung ), kalasey (jala yang terbuat dari bambu) pukat biasa juga sasile untuk menangkap udang.

4. Alat untak mengail dan memancing, ialah; tali snar (tali nylon), tali rani, pakkeng (mata kail) timboha atau larung (timah atau besi atau batu sebagai alat pemberat) bawuhunang (gelendongan untuk tali). Baik tali, mata kail, alat pemberat dan gelendongan mempunyai ukuran sendiri-sendiri mulai dari ukuran yang kecil sampai dengan yang terbesar, sesuai dengan fungsinya dan jenis tehnik penangkapan.
  1. Alat untuk senjata tusuk dalam menangkap ikan adalah : papiti (panah besi dengan tangkainya dari kayu dan alat pembusurnya dari karet biasanya karet yang digunakan adalah 'ban dalam mobil') sahempang (tombak dari kulit enau dan tangkainya dari bambu), dan tatou (tombak dengan mata tombak dari besi sedang tangkainya dari bambu). Antara sahempang dan tatou, ada perbedaan yaitu, sahempang mempunyai mata tombak yang lebih dari 5 buah, sedangkan tatou hanya terdiri atas satu sampai 3 mata tombak.
  2. Selain alat-alat penangkap, juga ada alat atau wadah untuk menyimpan maupun mengangkut hasil tangkapan ( ikan ), yaitu : kurungan ( keranjang dengan penutupnya, tempat menyimpan ikan. Selama ikan berada dalam kurungan ini, dibiarkan hidup ); patanga, keranjang tempat membawa ikan dari perahu ke rumah. kecuali wadah berupa keranjang di atas, ada satu cara yang biasa digunakan oleh mereka yang menyelam/memanah ikan, ialah dengan menggunakan seutas rotan, dan mencucukannya ke mata ikan atau ke insangnya. Dengan cara ini memudahkan si penangkap dalam membawa hasil tangkapannya.

Seperti telah dikemukskan di atas, bahwa usaha peternakan hanya merupakan pekerjaan sambilan. Ternak masih sebagian besar dibiarkan begitu saja untuk mencari mangsanya. Hal ini menyebabkan alat-alat di bidang produksi peternakan masih kurang, atau secara relatif dapat dikatakan tidak Ternak yang dikurung dalam kindang hanya babi. Inipun tidak semua.

Kandangnya pun banyak yang tidak memenuhi syarat teknologi peternakan modern. Demikian, kandang yang dibuat tidak berperternakan modern.

Demikian, kandang yang dibuat tidak berfungsi sebagaimana mestinya, tetapi hanya sebagai alat agar ternak tidak berkeliaran.

Untuk kerajinan tangan, beberapa alat tradisionil untuk menenun kain dari serat manila hennep, terdiri dari seperangkat alat yang semuanya terbuat dari kayu. Untuk kerajinan sulam-menyulam (kerawang) juga terdiri dari seperangkat alat, dengan 'pemendangan' sebagai alat utama, dan alat-alat lainnya seperti pisau jarum dan lain-lain.

Sedangkan untuk kerajinan ukir - mengukir, semuanya hampir sama saja dengan alat pertukangan ( kayu ).

Alat-alat perang, walaupun tidak berfungsi lagi adalah : 'bara' (pedang), kellung (perisai) bangkau (tombak), seppu (panah yang ditiup dari tulup-tulup banbu) dan sondang (keris).

B. ALAT ALAT DISTRIBUSI DAN TRANSPORT.

Sakaeng (perahu sekoci), pelang, londe, bininta (jenis-jenis perahu bercadik), adalah alat transport laut yang umum dipakai oleh orang Sangihe dan Talaud, Alat-alat ini digerakkan dengan dayung (memakai tenaga manusia) atau dengan layar. Akhir-akhir ini sudah mulad digantikan dengan tenaga motor atau mesin, yaitu mesin tempel (outboard motor).

Untuk angkutan darat, roda (pedati) atau gerobak merupakan satu-satunya alat transport dengan sapi sebagai tenaga penariknya. Alat ini merupakan pengganti tenaga manusia. Sedangkan untuk mentransport barang dari suatu tempat ke tempat yang lain, mesin jusa digunakan bakul a

atau keranjang yang cara membawanya, ada yang dijinjing, ada yang dipikul, dan dijunjung.

C. WADAH-WADAH ATAU ALAT-ALAT UNTUK MENYIMPAN.

Beberapa jenis wadah yang dikenal dan dipakai oleh orang Sangihe Talaud sebagai tempat untuk menyimpan hasil produksi ialah : kumbuahe keranjang dari pelepah enau, tempat menyimpan sagu) luwe atau ulla, (keranjang yang dianyam dari rotan, dilapisi dengan serabut pelepah kelapa, digunakan untuk mengangkut padi) palahen-turang (keranjang rotan yang lebih besar dari kumbuahe, tempat untuk mengangkut teras sagu yang akan diremas); pahawi atau purawitta (keranjang dari rotan dengan ukuran yang berdiameter 50 - 70 cm dan tingginya 100 cm, dilapisi dengan anyaman daun pandan. Keranjang yang satu ini lebih besar dari luwe yang biasanya berukuran setengah atau seperempat dari pahawi ini. Keranjang ini digunakan sebagai tempat penyimpanan padi). Keranjang-keranjang di atas ini diberi tali sandang, dan cara untuk membawa ialah dengan memanggulnya. Ukuran yang tepat dari keranjang-keranjang tersebut hampir tidak ada karena masing-masing membuatnya sesuai dengan kemauannya sendiri-sendiri. Tetapi sebagai ukuran rata-rata adalah sebagai berikut : kumbuahe berukuran diameternya 50 cm palahenturang diameternya lebih kurang 50 cm, tingginya 60 cm. Kesemuanya mempunyai bentuk yang sama, yaitu berbentuk bulat panjang dengan dasarnya yang agak rata dan berbetuk segi empat.

Selain wadah yang lazim digunakan sehari - hari sebagai tempat penyimpanan kebutuhan, seperti kebutuhan, seperti lemari, peti, kopor; maka yeng mendapat perhatian disini adalah alat-alat yang digunakan sebagai wadah yang dipakai sejak dulu, meskipun pada akhir-akhir ini semakin jarang dipakai. Wadah-wadah itu adalah : pengisang( keranjang dari rotan yang dipakai sebagai tempat menyimpan ikan, keranjang ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian utama keranjangnya, dan bagian kedua penutupnya kahabung atau karubung (bakul dari rotan dan digunakan sebagai tempat untuk menyimpan pakaian) ; kalisige (keranjang dari bambu, digunakan sebagai tempat penyimpanan serat manila hennep, bahan utama untuk menenun), sedangkan wadah yang digunakan untuk menyimpan bahan makanan yang masih mentah, seperti beras, jagung atau kacang-kacangan adalah yang disebut : kalaro (bakul yang dianyam dari kulit bambu).

D. MAKANAN DAN MINUMAN.

Makanan utama dari orang Sangihe dan 'Talaud, pada masing- masing sub-suku-bangsa menunjukkan perbedaan tertentu.
Di kepulauan Sangihe Besar, mayoritas penduduknya menggemari sagu sebagai makanan utama. Cara memasaknya bermacam-macam. ada yang dipanggang semacam roti bakar, ada yang mencampur tepung sagu dengan kelapa parut dan ada bubur sagu dan dimakan dengan lauk.

Di pulau Siau, nasi merupakan makanan pokok. Di Taguludang dan kepuluuan Talaud , umbi-umbian dan keladi merupakan makanan utama .

Baik di Sangihe Besar, Tagulandang dan Talaud, nasi dan pisang merupakan makanan sampingan. Sedangkan sayur-sayuran dan ikan yang dijadikan lauk pauk pada umumnya sama, yaitu mereka menggemari bayam, kangkung, mentimun, labu, pakis ,

260

dan beberapa jenis sayuran lainnya, Ikan merupakan lauk utama, baik ikan sungai maupun ikan laut.

Pada saat-saat tertentu, seperti bila ada pesta adat maupun pesta-pesta sepanjang daur hidup, biasa disajikan makanan khas.

Penyajian makanan-makanan khas ( masakan khas daerah ) ini sering merupakan ukuran untuk menilai besar-kecilnya, suatu pesta. Demikian, meskipun suatu pesta telah mengeluarkan biaya yang besar, tetapi kurang menyajikan makanan khas, menurut anggapan penduduk setempat kurang berarti jika dibandingkan dengan sesuatu pesta yang kurang pembiayaannya tetapi telah menyajikan masakan khas ini.

Di Pulau Sangihe Besar, roti sagu, pisang bakar, kue tamp, dengan lauknya yang disebut binahis (masakan dengan bahan utamanya adalah daging ikan hyu, dengan minuman saguer ( air nira ) merupakan makanan khas yang harus disajikan dalam suatu pesta, sedangkan di Kepulauan Talaud, makanan khasnya adalah kelali (baik yang direbus maupun yang dibakar), pisang, nasi ketan (dengan bahan utamanya adalah beras dan kacang merah), dengan lauknya daging babi dan ikan bakar. Di Siau dan Tagulandang, pada dasarnya sama dengan makanan khas dari kedua sub-suku diatas. Hanya satu keistimewaannya adalah berapa ekor babi yang akan dibantai pada suatu pesta, merupakan ukuran yang menentukan.

E. PAKAIAN DAN PERHIASAN.

Pakaian tradisional orang Sangihe dan Talau, yakni pakaian yang terbuat dari kain kofo dapat dikatakan kini sudah hampir tidak ada lagi.

261

Beberapa keterangan yang dempat dikumpulkan mengenai bahan pakaian ini, dulu tidak hanya terbuat dari serat manila hennep, tapi ada juga yang terbuat dari serat kulit kayu.
Bahan-bahan ini, sebelum dijahit, dicelupkan kedalam cairan air nira yang menjadikan kain (bahan) baju tersebut menjadi berwarna merah. Ada juga cairan dari daun-daunan maupun akar-akar tertentu dan menghasilkan warna-warna biru, merah darah dan warna-warna tertentu sesuai dengan kemauan si pemakainya.

Seperangkat pakaian upacara yang biasa dipakai terdiri dari baju panjang, ikat pinggang dan ikat kepala, dengan warna-warna dominant merah, hitam dan biru.
Biasanya pakaian adat istiadat itu dipakai/dipertunjukkan pada hari-hari penting seperti : hari raya, dahulu disebut "Mohobing Datu". Perayaan hari perkawinan/peminangan, dalam upacara, penasbihan bidang desa, juga pada waktu penasbihan tukang besi, pesta-pesta kawin dan lain-lain hari yang luar biasa dan sekarang ini masih dipakai oleh penari-penari lelaki dan wanita.
Bentuk model pakaian tersebut, untuk kaum lelaki atau perempuan hampir sama bentuknya menyerupai baju (juhan) yang disebut "laku Tepu" perbedaannya hanya sedikit yakni baju kaum lelaki panjangnya sampai mencapai pertengahan betis.

F. PERHIASAN.

Cara berakaian untuk kaum lelaki baju tersebut disertai dengan celana panjang dari kain kofo juga yang serupa warna bajunya dan dipakainya juga ikat lenso kepala dari kofo yang juga disebut " Paporong ".
Ikatan lenso kepala ada bermacam-macam bentuk

262

yang berbeda yaitu :

  1. Untuk ikatan lenso kepala (Paporong) dari raja dahulu, lain lagi bentuknya yang biasa disebut "Porong Tingkulu".
  2. Bagi pemerintah bawahan lain pula bentuknya yakni berbeda sedikit dengan ikatan lenso kepala kaporong dari raja.
  3. Untuk anak raja dan orang-orang bangsawan lain pila bentuknya. Bagi rakyat jelata lain lagi.

Dengan berlain-lainan bentuk ikat kepala itu maks memudahkan untuk mengenal pemerintah atasan, bawahan dan rakyat jelata. Tiap-tiap golongan harus tahu batas tentang ikatan lenso kepala itu, karena jika telah kelihatan kepala barang siapa dengan sengaja atau tidak sengaja pada tingkatnya maka ia akan mendapat hardikan dimuka orang banyak serta disingkirkan dari perkumpulan tersebut, oleh pemerintah serta orang- orang tuan menurut adat kebiasaan. Bagi kaum wanita pakaian tersebut dipakainya juga untuk sehari-hari tetapi jika tidak pada waktu perayaan atau shari-hari penting seperti tersebut diatas, maka permaisuri raja telah ditaruhnya pada sebelah menyebelah bahunya yang disebut ; "Kaduku"dari kain kofo juga yang berwarna kuning tua dan merah.

Panjangnya selendang kaduku ± 2 M dan lebar ± 15 cm. Kepala isteri pemerintah bawahan dan orang bangsawan dipakai juga selendang pala sebelah kanannya; juga ada disebelah kirinya kepada yang belun memakainya.

Kepada seorang pemudi yang akan dikawinkan maka

ia memakai juga selendang kaduku pada sebelah-menyebelah bahunya serta perhiasan kepalanya.

Baju tersebut telah memakai pasangannya kain sarung dari kofo juga. Yang lebarnya 4 sedepa di mana jika dipakainya telah memakai lipatan kecil-kecil yang disebut "Leiwade".

Tentang jenis dan tata cara mengikat kepala/paporong adalah sebagai berikut:

  1. Paporong Lingkaheng : pengikat kepala sebagai pertanda rakyat yang tidak punya jabatan dalam masyarakat
  2. Paporong Tingkulu : pengikat kepala sebagai pertanda seorang pembantu pemerintah. Salah satu sudut kain paporon dikeluarkan dari ikatan lalu dibiarkan terurai dibelakang kepala. Besar kecilnya sudut pengikat itu sebagai pertanda pula besar kecilnya jabatannya.
  3. Paporong Datu Bouwawina : pengikat kepala raja atau pemerintah tertinggi. Salah satu sudut kain pengikat dikeluarkan dari ikatannya dan dibuat seperti mahkota diatas dahi.
  4. Paporong Hiteng Datu Bouwawina : pengikat kepala raja keturunan perempuan. Dalam hal ini berarti tidak berhak menjadi raja. Sudut kain pengikat kepala tegak sebagai mahkota diatas kepala bahagian kiri.
  5. Paporong Hiteng Datu : Pengikat dari turunan raja yang tidak menjadi raja sebab bukan yang sulung. Pengikat kepala seperti ini juga adalah pertanda bangsawan.
  6. Paporong Aladadiri : Pengikat kepala aladadir berbentuk segitiga, ketiga sudutnya dipertemukan dibahagian muka kepala.
  7. Paporng Upase : pengikat kepala penarik Upa-

se. Bentuknya berjuang dua diikat dipertemukan dibahagian muka.
  1. Paporong Lalo : pengikat kepala penarik Lalo, terdiri dari bulu-bulu ayam yang dipasang pada topi.
  2. Boto Susige : Konde Lanpah.

F. TEMPAT PERLINDUNGAN DAN PERUMAHAN

  1. Tempat perlindungan.

    Baik dalam aktivitas bercocok tanam maupun menangkap ikan dipesisir, diperlukan tempat perlindungan untuk isterirahat, atau berteduh bila ada hujan. Tempat berteduh ini berupa rumah tahan angin, atau yang disebutnya sarada atau raseng. Cara untuk mendirikannya sederhana sekali, yaitu dengan memancangkan dua tiang penyanggah dan menyendarkan daun-daun kelapa pada kedua tiang tadi.

    Tempat berteduh lainnya yang biasa didirikan di kebun-kebun, atau rumah-rumah darurat (sabua), adalah rumah panggung. Pada bagian bawah adalah tempat untuk membuat api, memasak, sedangkan bagian atas yang diberi dinding adalah tempat tinggal.

  2. Rumah tempat tinggal.

    Seperti telan diuraikan pada permulaan penulisan di atas, adapun bentuk dan struktur rumah tempat tinggal dari orang Sangihe dan Talaud adalah sebagai berikut :

    - rumah darurat (sabua, deseng atou dasanna). Ada yang langsung didirikan/berlantaikan tanah

ada juga yang mendirikannya di atas tiang, atau rumah panggung. Rumah-rumah ini berdinding bambu anyam, atau bambu tanpa dianyam, tiangnya ada yang dari kayu, ada juga dari bambu. Atap yang lazim dipakai ialah daun rumbia, atau juga daun kelapa yang dianyam. Untuk rumah panggung, asalnya selain kayu bulat, di atasnya dihampiri dengan bambu.

Untuk mendirikan rumah-rumah darurat ini tidak mememerlukan biaya yang banyak, karena di kerjakan dengan sistim gotong royong, dengan imbalan makan bersama. Rumah-rumah ini terdiri atas bagian-bagian : ruang tamu, yang sekaligus berfungsi sebagai ruang makan, ruang tidur dan dapur.

- rumah semi permanent dan rumah permanent.

Bahannya terdiri dari papan, kayu (balok), atau juga memakai dinding beton, lantai beton (pola rumah modern). Atapnya adalah seng. Biasanya untuk mendirikan rumah-rumah yang permanent, lebih banyak diserahkan kepada tukang tukang untuk mengerjakannya sampai selesai.

Baik dalam mendirikan rumah darutat, maupun mendirikan rumah permanent, masih terikat dengan serangkaian upacara tertentu. Upacara ini mulai dari saat menebang pohon yang akan digunakan sebagai ramuan rumah. Cara menebangnya harus sesuai dengan perhitungan waktu yang baik untuk mendirikan tiang (bagi rumah panggung), atau meletakkan batu alas (bagi rumah berlantai tanah, maupun rumah permanent) juga ada cara-caranya tersendiri. Adanya kepercayaaan (sehubungan dengan mendirikan rumah) mengenai roh-roh jahat yang berujut seperti seekor ular naga; roh

jahat mana berdiam pada mata angin secara beredar (tidak menentu), yaitu setiap hari berpin

dah-pindah menempati mata-mata angin. Roh jahat ini sering dan pekerjaannya adalah mengganggu setiap rumah yang baru didirikan. Untuk mengatasi gangguannya atau sebagai penangkalnya jika saat menanam tiang, atau meletakkan batu alas, si pemegang tiang atau batu yang akan di tanam tidak boleh membelakangi atau menghadap oleh roh jahat (naga) pada hari itu. Kecuali itu, peletak tiang dan batu tersebut juga harus disesuaikan dengan peredaran bulan, pasang surut dan pasang naiknya air laut,

Selain tiang dan atau batu alas, pemasangan 'tiang raja' juga disertai denan beberapa persyaratan, misalnya tiang tersebut harusdipasang menjelang pag, atau sering disirami dengan alkohol.

Dari semua ini, upacara yang dianggap penting ialah apa yang dikenal dengan istilah 'na -ik rumah baru'.

Pada upacara ini diadakan selamatan oleh yang empunya rumah.

Mereka menjamu para tukang yang mengerjakan rumah itu, para kaum kerabat, maupun tua-tua adat dalam desa. Meskipun pada upacara ini sekarang telah dipengaruhi oleh ajaran Kristen, tetapi ada bagian-bagian tertentu dari upacara yang masih dilakukan berdasarkan tradisi, seperti pemasangan api di tungku oleh para tetua adat, api mana harus dijaga selama tiga hari tiga malan tidak boleh padam, dan beberapa tindakan yang hanya dilakukan oleh orang-orang tua dalam rumah tersebut.

Pada upacara ini, ada juga yang mengoleskan darah dari ayam yang berwarna putih pada tiang tertentu dalam rumah, dan atau mengolesnya di ambang pintu.

IV. SISTEM RELIGI DAN SISTEM PENGETAHUAN

A. SISTIM KEPERCAYAAN

Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen di kepulauan Sangihe dan Talud, bahkan sampai sekarang masih ada yang mempercayai adanya anggapan bahwa ada satu dunia yang berada di 'luar' dan di 'atas' dunia yang ada dan didiami sekarang, yaitu 'dunia gaib' (supernayural).

Dunia gaib ini merupakan tempat dewa-dewa bermukim. Dan satu-satunya dewa (duata Atau ruata)²⁰ yang mendiami dunia gaib itu ialah Changgonalangi, merupakan dewa tertinggi (high god), mahakuasa, pencipta, dan berkuasa atas semua dewa yang ada. N Changgonalangi adalah du atangsaluluang ( dewa alam semesta ).

Selain Changgonalangi, ada juga dewa-dewa tertentu dan menguasai lapangan-lapangan hidup seperti duatan langitta (dewa langit), du ata mbinangunanna (dewa alam bar zach), Mawendo (dewa laut), aditinggi (dewa guning api Siau) datu ngkasuang ( raja orang mati) dan sebagainya.

Dewa-dewa ini dulunya di puja melalui upacara-upacara tertentu. Sekarang hampir tidak ada lagi upacara-upacara pemujaan yang dilakukan.

Kecuali dewa-dewa, orang Sangihe dan Talaud juga menpercayai adanya makhluk-makhluk -

――――――――――

²⁰Duata menurut Brilman, berasat dari kata dewata (Sansekerta). Kata ini sekarang tidak berarti lagi dewa (bagi orang Sangihe dan Talaud), karena oleh pera Zending dan Missi dipakai sebagai terjemahan dari kata 'Allah' lihat Brilman, Op cit., hal. 10.

ada lagi upacara-upacara pemujaan yang dilakukan.

Kecuali dewa-dewa, orang Sangihe dan Talaud juga mempercayai adanya makhluk-makhluk halus yang berdiam di mana-mana, misalnya di gunung-gunung , di sungai, di batu-batu besar, di tanjung-tanjung, di pohon, di teluk dan tempat-tempat lainnya. Makhluk ini mempunyai kuasa tertentu dan sering mengganggu manusia. Ada juga makhluk-makhluk halus yang merupakan penjelmaan atau jiwa-jiwa dari nenek moyang yang telah meninggal. Dari makhluk tersebut sering dibutuhkan pertolongan.

Makhluk-makhluk halus atau jin-jin yang dipercaya antara lain disebutkan jin kabanasa, yang asalnya dari pohon enau, pehang (jin sungai), me- nangkaru (jin dari dalam tanah)²¹ dan banyak ragam makhluk halus lainnya.

Ada juga anggapan bahwa setiap benda tertentu, apakah itu terujud pada benda-benda alamiah seperti batu, pohon, akar-akaran tertentu, atau juga benda-benda hasil ciptaan manusia dan dimiliki oleh nenek moyang, seperti keris pedang,gelang, baju, dan lain-lain ; maupun anggota badan manusia seperti rambut, kuku, kotoran telinga dan sebagainya, mempunyai kekuatan-kekuatan gaib.

Benda-benda dan anggota-anggota badan ini hingga sekarang masih banyak dipercayai sebagai 'sesuatu yang bermakna' dalam hidup. Bahkan ba nyak yang digunakan dalam pengobatan tradisonil.

Kepercayaan akan adanya orang sakti, atau benda-benda sakti pun banyak ditemukan dan berhubungan erat dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada

______________________

²¹lihat R. Tandi, op.cit., hal. 21.

Meskipun demikian, kepercayaan-kepercayaan di atas hingga kini semakin hilang, dan digantikan dengan kepercayaan/keyakinan sesuai ajaran agama yang dianut ( Kristen, Islam dan Katolik).

B. KESUSTERAAN SUCI.

Kesusteraan-kesusteraan suci yang ada hanya dalam bentuk lisan, dalam arti hanya diceritakan dari mulut kemulut.

Kesusteraan suci ini, ada yang berupa cerita-cerita suci tentang sesuatu yang dipercayai , untuk ceritera ini berlaku sangat dirahasiakan , dan hanya diketahui oleh seorang-orang tua yang dalam desa disebut 'bawunian' Ceritera ini kelak hanya diwariskan juga kepada orang yang akan menggantikan kedudukannya itu. Dan biasanya si pewaris adalah salah satu dari anak-anaknya.

Kesusteraan suci lainnya yang banyak diketahui umum karena berbentuk pantun syair, kata - kata sumpah serapah, maupun permohonan berkat (kakum- baede, bawowo, kakalanto, kakalumpang, sasihi aim palukka), yang masing-masing bentuk kesusteraan suci diatas ada yang diucapkan oleh seorang saja, ada yang dinyanyikan.

Dengan mengucapkan pantun atau syair diatas, dimaksudkan untuk menimbulkan suatu kekuatan gaib, dengan bahasa yang dianggapnya hanya dimengerti oleh para dewa. Kecuali itu, ada anggapan bahwa kata-kata yang diucapkan itu mempunyai 'man-a' (bertuah).

Penggunaan kata-kata yang dianggap bertuah

ini dapat ditemui dalam kata-kata permohonan seperti aimpalukka, kakalanto, maupun dalam kata - kata yang berisi sumpah serapah.

Doa-doa (mantera) juga merupakan manifestasi dari anggapan adanya kekuatan gaib yang ada pada benda-benda yang dipakai dalam mengobatan yang diiringi dengan pembacaan mantera tersebut.

Dalam hubungannya dengan sistim kepercayaan, juga dikenal adanya bahasa pantang (sasahara). Pemakaian bahasa pantang ini dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, sangat menonjol terutama dalam kegiatan menangkap ikan, berlayar, berburu , dan aktivitas lainnya.

Adapun penggunaan bahasa sasahara, dimaksud untuk mengelabuhi atau menipu makhluk-makhluk halus yang mempunyai kekuatan gaib, dan sering mengganggu manusia dalau keseluruhan aktivitas kehidupan.

Demikian, untuk menyebutkan nama sesuatu benda yang dimaksud, atau sesuatu yang akan disetujui, agar tercapainya tujuan itu dan terhindar dari gangguan makhluk halus, 'sesuatu' ( benda dsb ). yang hendak disetujui atau dimaksudkan tidak akan disebut sesuai nama sehari-hari, tetapi diganti dengan kata yang dari padanya menunjukkan sifat sesuatu itu.

C. SISTIM UPACARA.

Pada jaman dahulu, orang Sangihe dan Talaud banyak melakukan upacara-upacara keagamaan, sesuai dengan kepercayaan yang dianut.

Dengan masuknya pengaruh Islam dan Kristen pada pertengahan abad ke 16, baik upacara-upacara maupun kepercayaan yang ada semakin berkurang. Ds. Brilman sendiri telah mengemukakan kesulitan-kesulitan dalam menyelidiki agama asli dari

suku bangsa Sangihe dan Talaud.

Beberapa upacara yang hingga kini masih dilakukan meskipun banyak dalam cara pelaksanaannya telah dipengaruhi oleh unsur-unsur kepercayaan Islam dan Kristen (pelaksanaannya sesuai dengan agama yang dianut oleh si pelaku upacara, tersebut) adalah upacara, 'menondong paraleong', Salim bangngu wanua, yang kini telah berubah sebagai peste adat ; upacara menipu (upacara pemujaan), yang menurut keterangan, terakhir dilakukan secara terang-terangan pada tahun 1930 - an Menondong paraleong, merupakan suatu upacara yang dilakukan di pulau Tagulandang, bermaksud untuk menolak malapetaka (bahaya kelaparan, bala penyakit, dsb.). Secara singkat, upacara ini dilakukan dengan jalan melayarkan sebuah perahu kecil, yang dimuati dengan sesajian berupa bahan makanan yang telah dimasak, sirih pinang, tembakau serta ramuan obat-obatan menangkal yang terdiri dari daun-daunan, akar akaran dan buah-buahan tertentu. Upacara ini dipimpin oleh tua-tua adat. Pada upacara ini diucapkan mantera-mantera, dan syair-syair suci. Sedangkan sesajian yang ada di persembahkan kepada roh-roh halus yang selalu mengganggu manusia dan mendatangkan bencana ini.

Salimbangu wanua, merupakan pesta adat yang dulunya merupakan upacara menolak bala kelaparan bencana alam, penyakit, pesta mana lama kelamaan berubah menjadi pesta pengucapan syukur dan kini diadakan pada setiap akhir tahun (pesta tahunan).

Metipu, adalah suatu upacara pemujaan roh - roh halus (penjelmaan nenek moyang) yang menurut keterangan, terakhir dilakuken di kecamatan Mangan itu di tahun 1930-an. Upacara mana kemudian dilarang oleh para petugas Zending dan Missi.

Upacara metipu, dilakukan oleh sekelompok

orang yang menganut satu kepercayaan terhadap

roh-roh tertentu, kepada roh mana mereka memohon pertolongan bila ada bencana menimpanya.

Mereka mempunyai suatu dongeng suci tentang roh yang mereka percayai. Upacara ini dilakukan selama tujuh sampai sembilan hari, berpusat pada sebuah rumah panggung yang didirikan korban persembahan berupa seekor babi (dulunya persembahan adalah manusia seorang anggota masyarakat yang menurut anggapan pimpinan kepercayaan ini telah melakukan suatu kesalahan, dan dari kesalahannya telah mengakibatkan bencana dalam masyarakat.) Ampuang (pemimpin upacara) beserta bawihingan (murid/calon. ampuang), merupakan pimpinan dan penyelenggara upacara ini. Merekalah yang memimpin segala tari-tarian dan menyanyikan syair-syair (kakumbaede, kakalanto) pemujaan. Makan bersama, juga merupakan bahagia dari upacara ini. Kecuali itu, tak ketinggalan benda-benda upacara berupa buah-buahan tertentu, akar-akaran, terlebih benda yang oleh mereka dianggap sebagai peninggalan dari leleuhur yang mereka puja dan sembah.

Selain ketiga upacara di atas, ada juga upacara-upacara tertentu yang hanya dilakukan secara perorangan, khususnya bagi mereka yang memiliki 'ilmu gaib' (magic). Upacara mana dina­makan mangamale. Upacara ini bersifat rahasia, hanya sidukun yang bersangkutanlah bersama para muridnya yang mengatahui jalannya upacara, tempat serta waktu-waktu pelaksanaan.

D. SISTIM PENGETAHUAN

Suatu pengetahuan tentang alam fauna bagi orang Sangihe dan Talaud tidak dimonopoli oleh para pemburu dan penangkap ikan, tetapi juga harus dipelajari oleh mereka yang aktivitasnya ha

nya bercocok tanam. Pengetahuan ini selain merupakan hasil pengalaman setiap individu, diperoleh dari nenek moyang dan diwariskan secara turun temurun. Pengetahuan ini menyangkut kelakuan binatang yang diincar dalam perburuan, kebiasaan binatang dalam mencari mangsanya, dan berbagai macam kelakukan binatang.

Pengetahuan ini memudahkan para pemburu untuk menjerat, menangkap binatang buruan, sedangkan untuk petani dengan mengetahui kelakuan binatang (khususnya yang menjadi hama dalam usahanya bercocok tanam) lebih menggampangkan cara mereka untuk menjaga tumbuh-tumbuhan di ladangnya.

Pengetahuan mengenai alam tumbuh-tumbuhan, merupakan salah satu pengetahuan utama bagi para petani, nelayan, tukang dan anggauta masyarakat umumnya. Pengetahuan ini meliputi pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan yang baik dipakai sebagai bahan ramuan rumah, pengetahuan tentang tumbuhan yang digunakan sebagai bahan alat transport, akar-akaran dan rempah-rempah yang dipakai untuk mengobati penyakit, atau meracuni, sebagai bahan senjata dan racun untuk menangkap ikan dan binatang buruan.

Bagi seorang tani, dengan melihat jenis pepohonan yang bertumbuh pada sebidang tanah, mereka dapat menentukan apakah sebidang tanah ini baik untuk diolah, atau cocok untuk ditanami dengan jenis tanaman apa.

Pengetahuan tentang alam sekitarnya berupa pengenalan akan musim-musim, gejala-gejala alam dan perbintangan merupakan salah satu pengetahuan yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan orang Sangihe dan Talaud. Pengenalan akan muusim, gejala alam ini mempunyai kecendrungan yang secara relatif merupakan pusat atau inti dari

pengetahuan lainnya.

Sehubungan dengan kehidupan sehari - hari, dikenal adanya peredaran waktu yang perhitungannya didasarkan atas peredaran bulan di langit. Dengan perhitungan tersebut, dalam setahun dapat dijumpai 13 (tiga belas) masa, setiap masa ini lamanya 28 (duapuluh delapan) hari. Yaitu mulai dengan hari pertama pada saat bulan baru, pertengahan dari perhitungan ini jatuh pada saat bulan purnama terang, dan hari terakhir jatuh pada saat purnama gelap.

Setiap bulan ini mempunyai nama yang menunjukkan identitas dari musim yang ditandai. Adapun nama-nama bulan ( masa ) ini adalah sebagai berikut :

  1. Bulang u Hiabe, ditandai dengan bintang Hiabe (Orion) sebagai pedoman. Masa ini berada pada bulan Januari.
  2. Bulang u Kateluang, antara Januari-Pebruari. Ditandai dengan tiga bintang yang terbit di sebelah Timur.
  3. Bulang u Pahuru, antara Pebruari - Maret.
  4. Bulang u Hante,antara Maret - April.
  5. Bulang u Kaemba , antara April - Mei, Masa ini merupakan saat yang baik untuk menanam padi.
  6. Bulang u Hampuge, antara Mei - Juni. Pada masa ini, semua bintang yang dijadikan patokan perhitungan, bila pada jam 18.00 (saat mata hari terbenam) berada pada garis horison, sebahagian besar berada di ufuk barat.
  7. Bulang u Tumapu,antara Juni - Juli.
  8. Bulang u Wole kadio, antara Juli - Agustus.
  1. Bulang u Wola Geghuwa, antara Agustus - September. Masa menanam padi.
  2. Bulang u Wola Liwuge, antara September - Oktober Masa pancaroba.
  3. Bulang u Bewene, antara November - Desember.
  4. Bulang u Lurange, antara November - Desember.
  5. Bulang u Taung, antara Desember - Januari.
Dari perhitungan di atas ini, ada masa-masa tertentu yang baik untuk melakukan semua aktivitas kehidupan, ada juga masa pentang untuk melakukan kegiatan.
Pengetahuan tentang perbintangan, selain merupakan dasar bagi para nelayan dan pelaut, bagi petani dijadikan pedoman dalam melakukan kegiatan bercocok tanam.
Gelaja pasang surut air laut juga merupakan salah satu patokan dalam menentukan waktu. Sehingga untuk menanam sesuatu tanaman, mendirikan rumah sering dilakukan dengan berpatokan pada pasang surut serta pasang-naiknya air laut.
Sistim pengetahuan yang dikemukakan di atas, hanya merupakan suatu garis besar dari pengetahuan yang tradisionil dari orang Sangihe dan Talaud.
5. SISTIM KEMASYARAKATAN
A, SISTIM KEKERABATAN
Keluarga batih, merupakan satuan inti dalam kelompok kekerabatan yang ada pada orang Sangihe dan Talaud. Setiap keluarga batih ini menempati rumahnya masing-masing. Dengan beberapa kekecualian adanya beberapa keluarga batih se-

nior dan keluarga batih yunior sering merupakan satu rumah tangga.

Beberapa keluarga batih, bergabung dan membentuk satu kelompok kekerabatan yang disebut 'ruanganna' (Talaud).
Setiap keluarga batih yang bergabung ini tidak asal saja membentuk satu kelompok, tetapi hubungan kekerabatan dalam kelompok ini diperhitungkan atau dikembalikan kepada nenek moyang tertentu sebagai pangkal perhitungan ( ancestor - Oriented kingroups ).

Dalam satu desa, sering terdiri atas empat atau lima kelompok kekerabatan (ruanganna), dan juga ada keanggotaan satu kelompok kekerabatan ini meliputi beberapa desa.

Ruangan ini merupakan suatu kelompok kekerabatan yang berkorporasi (corporata kingroups ) pada beberapa puluh tahun yang lalu mempunyai fungsi antara lain :

  1. memegang hak atas tanah milik komunal,
  2. mengatur perkawinan dengan adat exogami,
  3. sebagai kesatuan yang menjalankan aktiviteit kerjasama lapangan kehidupan dan
  4. merupakan suatu kesatuan hidup setempat.

Pada akhir-akhir ini, kelompok kekerabatan tersebut di atas hanya berfungsi sebagai satu kesatuan dalam menjalankan aktivitet kerjasama dalam lapangan kehidupan, dan mengatur perkawinan.

Hubungan kekerabatan didasarkan atas prinsip bilateral, yaitu prinsip dimana tidak ada perbedaan hubungan seorang individu dengan kerabat ayah maupun kerabat ibunya.

Namun demikian, keakraban dalam pergaulan ini tergantung dari pola menetap keluarga batih. Apabila keluarga batih tadi menetap dengan kerabat isterinya, maka anak-anak akan lebih akrab bergaul berhubungan dengan kerabat ibunya. Meskipun dalam hal ini ia tidak akan mengabaikan begitu saja kerabat ayahnya, begitu pula sebaliknya.

Dalam sistim istilah kekerabatan, sapaan untuk ayah adalah 'amang' atau ama', sedang untuk ibu adnlah 'inang' atau ina'. Sapaan biasanya ditambah dengan nama anak laki-laki yang pertama. Bagi saudara laki-laki ayah, maupun saudara laki-laki ibu semuanya diperlakukan sama. Hanya dibedakan dalam satu istilah yang menunjukkan tingkatan dan urutan senioritas/yunioritas dalam kelahiran. Sapaan dalam sistim istilah kekerabatan yang ada ialah 'akang' untuk yang ketiga, dan 'hembo' untuk yang bungsu. Istilah ini hampir dipakai pada semua tingkatan, maksudnya bauk untuk menyapa sesama saudara sekandung dari 'ego', paman dan bibi dari ego, maupun juga anak-anak ego.

Untuk membedakan antara laki-laki dan wanita, maka istilah tadi mendapat kata tambahan opo untuk laki-laki, dan wawu untuk wanita.

Demikian, seseorang ( ego ) dapat menyebut saudaranya laki-laki yang tua dengan' 'i opo akang', sebutan mana berlaku juga untuk anaknya laki-laki yang tertua dari kakeknya, ayahnya maupun ibunya. Sedangkan dalam hal yang sama tetapi untuk wanita, disebut dengan 'i wawu akang',

(lihat gambar 1 di bawah ini ).
(lihat gambar 1 di bawah ini).
Gambar 1.a.



Gambar 1.b.


Pada gambar di atas ini misalnya urutan dari yang tertua ke muda adalah dari kiri ke kanan, dalam hal ini a, g, o, u, A dan G dianggap tertua, sedangkan yang termuda adalah f, n, t , z, f, dan L pada tingkatan masing-masing, b, i , C adalah 'i opo ara' d, D dan J (ayah ego) adalah 'i opo ari', f, F dan I adalah 'i wawu a -kang; k, v, adalah 'i wawu ara' m, r, y, adalah 'i wawu ari sedangkan n, t, z, adalah 'i wawu hembo'

Istilah-istilah kekerabatan di qtas, mempunyai variasi-variasi tertentu pada setiap sub-suku-bangsa Sangihe dan Talaud.

Di samping itu, ada beberapa istilah dalam prinsip angkatan yang secara tegas membedakan angkatan-angkatan yang ada dalam sistim kekerabatan. Apabila ego dalam angkatan yang ada menempati angkatan O, maka istilah untuk angkatan 1 adalah gaghurang (orang tua); angkatan 2 ialth iupung (kakek). Angkatan -1 disebut ana' (anak); angkatan -2 disebut pulung su hiwa (anaknya anak atau cucu); angkatan -3 disebut pulung su wuku (anaknya anaknya anak atau buyut); angkatan -4 disebut pulung su wesi' (anak dari buyut); angkatan -5 disebut pulung su laede (cucunya buyut).

Tetapi, istilah di atas bagi orang Talaud menunjukkan suatu garis hubungan jauh dekatnya seseorang dari ego. Misalnya, untuk angkatan 1 dan 2 tetap disebut gaghurang dan iupung, sedangkan untuk dibedakan atas : ana' suhiwa berarti kandung, sedangkan anak dari saudara perempuan disebut ana' u wawine, dan anak dari saudara laki-laki disebut ana' u turanga.

Begitu halnya dengan istilah bagi anak ( cucu ), bila cucu tersebut adalah anak dari anak kandung

akan mereka disebut pulung su hiwa, tetapi jika itu merupakan anak dari anaknya saudara laki-laki atau perempuan, mereka disebut pulung su wuku ,atau jika itu adalah anak dari anaknya sepupu ,disebut pulung su laedo, meskipun mereka pada dasarnya menempati angkatan -2.

Demikian, setiap istilah dalan angkatan ini, juga mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda-beda terhadap ego. Seorang pulung su hiwa pada prinsipnya mempunyai hak dan kewajiban yang lebih besar terhadap ego, dibandingkan dengan hak dan kewajiban dari pulung su wisi, dan pulung su wuku.

Dengan sistim istilah dalam prinsip angkatan di atas, seseorang dapat mengetahui dengan segera, dengan siapa dia boleh kawin dan dengan siapa pula mereka belum bisa atau dilarang untuk kawin.

Umumnya batas pemilihan jodoh adalah exogami dalam arti di luar batas hubungan pulung su wisi. Setiap orang yang masih mempunyai hubungan di dalam batas pulung su wisi bila kawin- mawin merupakan suatu pelanggaran adat.

B. DAUR HIDUP.

Masa hamil sampai dengan kelahiran dalam suatu keluarga merupakan suatu masa yang selain menggembirakan karena ini berarti akan bertambahnya anggota keluarga, juga merupakan suatu masa yang penuh dengan pantangan-pantangan yang harus ditaati serta keharusan yang mesti dilakukan, bukan hanya bagi si ibu yang hamil tetapi juga oleh suaminya.

Jika seorang ibu mulai merasa adanyn tanda-tanda kehamilan, ia segera memberitahukannya kepada suami serta semua kerabatnya. Dan pada masa pada
ini ia mulai menjalani Seberapa pantangan seperti : tidak boleh berjalan sendirian di siang hari, sedangkan dalam malam harinya tidak boleh keluar rumah. Kalau ia berjalan, apakah ia mau mencuci di pancuran, ia harus memakai tutup kepala ( kerundung ). Larangan diatas ini untuk menghindari gangguan dari roh-roh halus yang disebut puntiana yang suka mengganggu orang hamil. Larangan lainnya ialah, tidak boleh duduk didepan pintu, atau di tangga rumah, makan makanan tertentu yang menurut anggapan mereka hal ini dapat mempersulit kelahiran. Makan ikan yang mengandung banyak darah, melakukan pekerjaan yang bersifat membunuh, seperti memangkas pantangan yang tidak hanya ditaati oleh ibu, tetapi juga oleh si suami dari ibu yang hamil.

Tindakan ini menurut kepercayaan mereka bisa mengakibatkan hal-hal seperti terjadinya pendarahan yang banyak bagi ibu yang melahirkan, bahkan juga dapat mengakibatkan kematian bagi bayi atau ibunya.

Selain pantangan-pantangan yang dikemukakan di atas, ada juga pantangan-pantangan lainnya. Sedangkan pada masa hamil ini, si bu harus memeriksakan kesehatan tubuhnya kepada 'dukun beranak', pada saat mana oleh si dukun, ibu yang hamil ini diberi ramuan obat-obat dari akar-akaran dan daun untuk diminum atau diusap pada seluruh tubuh.

Menjelang hari-hari kelahiran, si suami sudah harus mengumpulkan kayu kering di halaman rumah, dengan kayu tersebut pada malam hari sesudah bayi dilahirkan, dibuat api unggun di halaman depan kamar yang dihuni oleh ibu dan bayi.

Api tersebut tidak boleh padam dan harus dinyalakan selama tujuh hari atau lebih, Selain itu,juga

disediakan kayu bakar untuk menjerang obat-obatan dan juga untuk memanaskan badan si ibu yang melahirkan.

Ibu yang melahirkan selamanya dibantu oleh dukun berunak. Pemotongan pusar si bayi yang bulunya dipotong dengan sebilah kulit bambu-disertai dengan penberian nama bagi si bayi. Nama ini diambil dari nama salah seorang kakek atau nenek moyang yang telah meninggal.

Dengan nama yang khas daerah, kemudian ditambah dengan baptis/sunat dan nama keluarga.

Pada saat kelahiran, keluarga ini mendapat kunjungan dari sanak kerabat. Dan pada tiap hari kunjungan diadakan pesta kecil-kecilan.

Sekarang, hampir tidak ada lagi masa-masa inisiasi bagi bayi yang dijalankan berdasarkan adat, selain upacara inisiasi berdasarkan agama yang dianut, seperti upacara baptis bagi golongan Kristen Protestan dan Katolik; upacara potong rambut dan sunatan bagi golongan Islam.

Masa menjelars remaja dilalui tanpa adanya inisiasi. Setiap anak, oleh orang tuanya, bahkan telah menjadi suatu kebiasaan inlah mulai diajar mengerjakan setiap pekerjaan dengan pembagian berdasarkan jenis kelamin. Demikian, anak-anak gadis, oleh para orang tuanya diserahi pekerjaan mengasuh adik-adiknya, mengerjakan pekerjaan wanita, memasak, menangkap ikan, sedangkan anak-anak laki-laki membantu orang tuanya berkebun dan menangkap ikan.

Masa remaja menanjak ke masa dewasa bagi para gadis dan pria, ditandai dengan mulai ikut sertanya mereka pada kegiatan-kegiatan umum seperti pada pesta-pesta adat, membantu keluarga yang menyelenggarakan sesuatu hajat dan kegiatan lainnya.

Dengan demikian, pada masa remaja inilah par anak gadis dan pria mulai dibiasakan untuk lebih aktif pada kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial. Dan pada kesempatan ini mereka mulai saling kenal mengenal, saling mencari dan mendekati calon teman hidupnya. Namun, setelah mereka sudah saling mengenal, maka pria yang terutama sebagai pengambil inisiatif mulai mencari orang ketiga yang akan menjadi perantara baginya dan gadis dimaksud. Dan orang ketign ini selamanya mempunyai hubungan kekerabatan baik dengan si pria maupun si gadis. Keadaan mana, bila telah terjadi persesuaian antara keduanya dilanjutkan dengan perkawinan.

Namun demikian, dalam pemilihan jodoh, ada yang diatur oleh orang tua-tua tanpa menghiraukan anak ada juga orang tua yang tinggal mengikuti kemauan si anak.

Orang Sangihe dan Talaud mengenal tiga bentuk perkawinan, masing-masing mepapangetude atau irangeng, mutingkaelo, dan metatalangnga.

  1. mepapangetude atau irangeng, merupakan salah satu upacara perkawinan yang dianggap ideal. Upacara ini terdiri atas tahap-tahap yaitu : tahap pertame adalah mengonong atau dumalenguwera (Pada fase ini pihak keluarga anak laki-laki mengirimkan seorang atau dua orang utusan untuk menyampaikan pinangan. Sesudah menyampaikan pinangan, utusan ini segera kembali ke pihak keluarga laki-laki. Mereka tidak perlu menunggu jawaben atas pinangannya. Sebab seringkali pihak keluarge laki-laki harus mengulangi pinangan ini sampai tiga kali.
Segera sesudah menerine utusan ini, pihak keluarga si gadis mengirimkan utusan kepada

keluarga anak laki-laki untuk ne nuleng konong (menyampaikan berita), apakah pinangan sudah diterima atau masih dipertimbangkan.

Dan biasanya, dengan jawaban bahwa pinangan masih dipertimbangkan, karena setiap pinangan tidak akan diterima begitu saja, upacara ini sudah dilanjutkan pada fase berikutnya ialah mo tahiawui atau mudalahoko (menuturkan asal usul keturunan). Pada fase ini orang tua keluarga bersama anggota kerabat yang tertua (biasanya kepala dari ruangana) datang kerumah keluarga si gadis. Upacara ini biasanya dihadiri oleh semua anggota kerabat dari kedua belah pihak. Kecuali untuk mengetahui mungkin tidaknya mereka bisa kawin dalam hal ini apakah sudah berada di luar batas kekerabatan (axogami pulung su wisi) (lihat halaman 46) maka maksud dari menuturkan asal usul keturunan ini adalsh untuk menentukan sampai sejouh mana mereka dinilai dengan garis keturunan.

Mengenai penilaian atas garis keturunan ini, dalam masyarakat dibagi atas tiga kategori bilangan, masing-masing Hoko walaumpulo, untuk keturunan para raja, Hoko limampulo, untuk keturunan bangsawan ( papung). dan Hoko talumpulo, untuk rakyat biasa. Setiap hoko ( nilai ) ini pun dibagi atas dua kriteria masing-masing : Hoko walaupulo dibagi atas hokowalumpulo matawa berarti mereka adalah keturunan raja, anaknya dan cucu raja, hoko walumpulo mahusu, untuk keturunan dari sepupu raja.

Hoko limampulo matawa bagi keturunan bangsawan yang kawin dengan bangsawan, hoko limampulo mahusu, bagi keturunan bangsawan yang sudah bercampur dengan rakyat biasa, hokotalumpulo matawa bagi keturunan bangsawan yang sudah kawin dengan rakyat biasa, terakhir hoko talumpulo mahusu, bu-

285

at turunan rakyat biasa.

Dengan diketahuinya asal-usul keturunan ini, peminangan dapat diterima dan juga bisa ditolak. Misainya, orang akan enggan menerima calon suaminya yang berada pada hoko talum pulo mahusu, jika ia sendiri berada pada hoko limampulo matawa. Sebab ini berarti ia turun derajat keturunannya.

Apabila pihak keluarga anak gadis, sesudah fase me tahi awui atau medalahoko, menerima pinangan, mereka segera mengirimkan kepada pihak keluarga laki-laki untuk menuleng kiawui (menerima pinangan secara resmi). Sesudah keluarga anak gadis mengirimkan utusannya kepada keluarga pihak laki-laki untuk menuleng kiawui (menyatakan hahwa pinangan tersebut telah diterima, lalu kedua pihak keluarga yang bersangkutan ini menentukan saat pertunangan.

Pertunangan ( mamuna u wera ) dilakukan di depan tua-tua adat, kepala desa dan pimpinan agama.

Di sini juga dibicarakan tentang sangsi bagi yang membatalkan pertunangan, berupa pembayaran uang tebusan bagi pihak yang diingkari. Dan lamanya pertunangan ini juga dibicarakan pada kesempatan tersebut.

Perkawinan( me papangentude) segera dilaksanakan apabila masa pertunangan telah berakhir, dan ini berarti kedua belah pihak telah siap untuk mengadakan upacara/pesta perkawinan. Biaya upacara ini selamanya ditanggung oleh kedua belah pihak sesuai dengan pembicaraan antara mereka. Kecuali itu, maka pihak keluarga laki - laki pada saat perkawinan (mas kawin) ini berujud tanah perkebunan, atau tanaman seperti kelapa,pala, sagu; juga selain mas kawin ini ada juga' pembe

rian atau barang antaran' yang disebut Lauru ini terdiri atas perabot rumah tangga bagi kedua calon pengantin.

Upacara/pesta perkawinan selamanya dilangsungkan baik di rumah keluarga pihak perempuan, juga di rumahnya pihak laki-laki, ada juga yang mengadakan pesta yang disatukan pada satu rumah dari salah satu pilak, atau juga diadakan di rummah salah seorang yang oleh kedua pihak masih di anggap sebagai anggota kerabatnya.

2. Mutingkaelo, merupakan salah satu bentuk kawinan yang dilakukan untuk menghindari segala persyaratan yang berlaku. Cara perkawinan ini sangat singkat, yaitu si lelaki, dengan sepengetahuan orang tuanya pada malam hari mendatangi rumah si gadis. Setibanya di rumah si gadis yang tentu saja mereka telah mempunyai hubungan - ia tidak langsung masuk ke rumah, melainkan duduk di pekarangan sampai kesiangan. Jika orang tua si gadis mendapatkannya duduk di pekarangan rumahnya, lalu ia menanyakan apa maksudnya sampai pada hari yang masih begitu pagi ia telah berada di pekarangan orang. Apabila si lelaki tadi telah menjelaskan maksudnya, maka keluarga si gadis langsung membicarakan perkawinan dengan keluarga si lelaki tadi demi menjaga nama baik dari kedua belah pihak. Sebab, kalau keadaan ini dibiarkan begitu saja oleh keluarga si gadis, hal ini akan menjadi pembicaraan dan buah mulut orang dalam desa. Perkawinan dengan cara ini dilakukan tanpa syarat-syarat seperti adanya mas kawin, juga tidak melalui prosedur seperti pada perkawinan yang dijelaskan di atas.

3. Matalanga, atau kawin lari. Cara ini dilakukan oleh anak lelaki dan gadis yang telah saling

287

mencintai namun mendapat tantangan dari pihak keluarganya. Ada juga yang melakukannya dengan cara lari ke desa tetangga, atau ke ladang, kemudian menetap selang beberapa hari sampai ada anggota keluarga atau kerabat si gadis yang datang mencarinya.

Setelah melalui cara ini, keduanya dikawinkan tanpa melakuken syarat-syarat sebagaimana lazimnya. Perkawinanpun dilakulan tanpa suatu pesta.

Dalam kehidupan sehari-hari, bila ada anggota mesyarakat yang meninggal, maka kematiannya ini dapat diketahui oleh orang dalam desa melalui bunyi lonceng, atau gong. Atau para kerabat dari yang berdukacita ini segera menghubungi semua sanak sauderanya, Upacara penguburan, dijalankan sesuai dengan keyakinan dari yang simati. Demikian, jika in beragama Kristen maka upacara penguburannya dilakukan berdasarkan upacara keagamaan. Dalam kedukaan ini memperoleh bantuan dari warga desa, di mana setiap warga desa membawa bahan yang dibutuhkan, seperti bahan makanan ; sedangkan selama upacara berkabung, sampai tiga hari lamanya kelunrga yang berduka tidak boleh memasak. Untuk urusan ini dikerjakan oleh sanak saudara yang datang membantu.

Sejak hari kematian, semua anggota keluarga yang berkabung mengenakan baju yang berwarna hitam disertai dengan ikat kepala dari kain hitam juga. Ikat kepala mana nanti ditanggalkan sesudah tiga hari, sedangkan baju hitam tetap dikenakan sampai selams enpat puluh hari, seratus hari atau lebih, sesusi dengan keinginan dari anggota keluarga tadi.

C. SISTIM KESATUAN HIDUP SETEMPAT.

Wanua atau kampung (desa) merupakan kesa

tuan hidup yang terkecil yang ada di kepulauan Sangihe dan Talaud. Setiap wanua atau kampung (desa) dikepalai oleh seorang yang memegang pemerentahan dan disebut Kepala kampung atau Opolao atau juga yang dinamakan Kapiten Laut.

Opolao atau Kapiten Laut, dibantu oleh beberapa stafnya antara lain, Kapita (wakil kepala kampung), Juru-tulis dan Meweteng. Sedangkan di bidang adat, kecuali di beberapa tempat juga dirangkap oleh Ono-lao, terdapat satu dewan yang dikepalai oleh Ratumbanua (kepala adat) Inanggu wanua, dan Timadu ruanganna, (kepala-kepala kelompok kekerabatan) Mereka inilah yang mengurusi segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara-upacara adat sehubungan dengan aktivitas mata pencaharian hidup, dan upacara-upacera sepanjang daur hidup setiap warga desa.

Dalam struktur pemerintahan sekarang, maka daerah kepulauan Sangihe dan Talaud merupakan satu 'daerah tingkat dua atau kabupaten' yang dikepalai oleh seorang Bupati kepala daerah.

Daerah tingkat dua ini meliputi 16 ( enambelas ) kecematan ditembah dua kecamatan Border Crossing (Miangas dan Marore). Enam belas kecamatan ini meliputi kurang lebih 210 (duaratus sepuluh) desa.

Dalam hubungannya dengan adat-istiadat, maka bupati kepala daerah, selain merupakan figur pemerintah yang membawahi daerah, ia juga merupakan tokoh atau kepala adat ditingkat kabupaten, sedangkan di tingkat kecamatan ialah camat yang merangkap jabatan adat ini.

Dalam kehidupan masyarakat yang ada dilingkungan wanua,seperti telah diuraikan pada bagian-bagian di atas, menunjukkan adanya aktivitas kerjasama yang menonjol, baik antar anggota kelompok

kekerabatan, antara warga desa, maupun antara desa dengan desa. Kegiatan kerjasama ini jelas nampak dalam beberapa lapangan mata pencaharian hidup, seperti dalam bercocok tanam, menangkap ikan, berburu; maupun pada aktivitas hidup laimnya seperti pada mendirikan rumah, mengadakan sesuatu hajat berupa pesta perkawinan, selamatan, dan terlebih jika ada kematian.

Suatu istilah mengenai kerjasama ini agak sulit untuk ditentukan karena setiap aktivitas kerjasama ini mempunyai nama sendiri-sendiri. Misalnya dalam lapangan pertanian dikenal istilah: ma'aliu (gotong royong), makitowang, manabba (untuk lapangan berburu), matawanga, madarumatinga dan mahampuge juga merupakan manifestasi dari jiwa gotong royong yang sekaligus merupakan tanda turut berduka cita jika ada kematian.

D. STRATIFTKASI SOSIAL.

Pada beberapa puluh tahun yang silam, dan juga hingga kini masih terasa, ialah adanya penggolongan anggota masyarakat dalam beberapa lapisan, yaitu : Lapisan yang teratas adalah Papung (papunna) atau bangsawan, kemudian disusul oleh yang kedua ialah rakyat biasa, sedangkan lapisan ketiga dan dianggap sebagai lapisan terbawah disebut allongnga atau golongan budak.

Walaupun dalam kehidupan sehari-hari penegasan antara golongan-golongan di atas tidak lagi setegas dahulu, namun hal ini masih nampak dalam perkawinan, dengan adanya penilaian terhadap seseorang berdasarkan keturunan (modalahoko).

Sistim stratifikasi di atAs kini mulai digantikan dengan adanya golongan-golongan terpelajar yang ada dan bekerja di desa, seperti guru ,

pimpinan-pimpinan gereja dan pemerintah dalam desa, yang menggeser kedudukan dan menggantikan golongan bangsawan sebagai warga lapisan teratas dalam masyarakat.

Kecuali itu, golongan ketiga (golongan budak ) sudah tidak ada lagi. Dan dengan demikian sistim pelapisan yang ada sekarang tinggal terbagi atas dua bagian, masing-masing golongan terpelajar dan pimpinan menempati tempat teratas; dan tempat kedua (bawah) ditempati oieh petani/nelayan.

Munculnya petani-petani yang memiliki tanah dan perkebunan, menunjukkan adanya gejala bahwa mereka akan merupakan suatu golongan yang baru dan berada di antara kedua golongan di atas.

VI. UNGKAPAN-UNGKAPAN

A. PEFATAH-PEPATAH.

Seni sastra lisan orang Sangihe dan Taloudyang dapat dikemukakan di sini,yaitu seni sastra lisan yang disebut Sasalamate, Papantung, Bawio ,Sasahara, dan Papinintu.

  1. Sasalamate adalah syair yang isi dan maksudnya merupakan suatu doa pemberian/permohonan berkat atas sesuatu usaha, baik bersifat pribadi, maupun umum. Sasalimte, merupakan suatu syair yang dapat digolongkan kepada syair suci, karena hanya diucapkan pada setiap upacara adat, misalnya pada pesta perkawinan.
  2. Papantung, atau pantun, Jenis-jenis pantung yang dikenal ialah pantun percintaan, pantun nasihat dan pantun jenaka.
  1. Bawio, atau teka-teki.
  2. Sasahara, atau bahasa pantang. Bahasa pantang ini biasanya dipakai oleh para pelaut, nelayan dan sering juga dipakai oleh para petani serta mereka yang melakukan kegiatan berburu. Dalam bahasa pantang ini sesuatu benda atau apa saja tidak disebut dengan nama biasa (asli) tetapi dengan nama kiasan. Misalnya :
Bahasa Sasahara Bahasa sehari-hari Bahasa Indonesia
- Dalending (alat pendingin). Ake Air
- Mahenbuang (yang menggonggong. Asu Anjing
- Maembekang (yang mengembik) Ambingnga Kambing
- Maengkerongang Sawallo Kilat.
  1. Papinintu, atau ibarat (peribahasa).
    Contohnya : - Kere medalombong bitung - seperti pengapungan buah pohon buton. Artinya : Hidup yang sebentar naik sebentar turun (timbul tenggelam).

Selain pantun-pantun, peribahasa, syair dan bahasa pantang, ada juga sejenis sajak yang dilagukan dan ini sangat terkenal, baik dilagukan dalam aktivitas bercocok tanam, berlayar, menidurkan enak dan lain sebagainya.

Syair yang dinyanyikan ini disebut sasambo. Beberapa contoh sasambo yang dapat dikemukakan antara lain :

  1. Kapiang balang Siau. Pineburakengkeng dingkaleng. Yang berarti : Keindahan lembah Siau di
jaman dahulu, sewaktu Siau masih merupakan suatu kerajaan. Hampir semua putera-putera raja berebutan dan beristerikan puteri-puteri Siau.
  1. Kapiang bulang limangu, nebawa wituing lawo. Artinya : Keindahan cahaya purnama, melebih cahaya semua tata surya. Sasambo ini mempunyai arti kiasan yang isinya memuji raja atau pimpinan yang berwibawa, dan oleh kewibawaannya ia nampak agung di mata rakyat.

Sasambo yang biasa diucapkan sewaktu menanam padi antara lain berbunyi sebagai berikut :

Kaliomaneng metowo, gagbalo medaukalu = sembahyang di panjat semoga direstui niat disetujui.

Emme tendang pakapia, su entana matawa = padi bertumbuh baik, di tanah gemuk.

Tegi neberang bewene, mengasi eng sangkalurang = Elang beriringan, pertanda panen yang berhasil.

Demikian beberapa contoh dari ungkapsn-ungkapan yang masih sempat dicatat dalam penelitian yang relatif singkat tadi. Dari beberapa penulisan dan petunjuk yang ada memberikan. suatu gambaran akan adanya dan begitu banyaknya seni sastra lisan yang dimiliki oleh orang Sangihe dan Talaud, Dan suatu penelitian yang lebih khusus dan mendalam sangatlah diperlukan untuk menginventarisasi serta menganalisanya.