Amai Cilako
MILIK NEGARA
TIDAK DIPERDAGANGKAN
AMAI CILAKO
Dituliskan Oleh: Syamsuddin St. Rajo Endah
Diterjemahkan Oleh: Krisnawati
Sebuah gambar seharusnya muncul pada posisi ini dalam naskah. Jika Anda bisa menyediakannya, lihat Wikisource:Pedoman gambar dan Bantuan:Menambah gambar sebagai panduan. |
BALAI BAHASA PROVINSI SUMATERA BARAT
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI
TAHUN 2021
AMAI CILAKO
Kapal nahkoda berpetak-petak
Berlabuh tantang Pulau Telo
Penuh muatan damar rotan
Bersusun bergoni-goni;
Kabar lama tidak dicetak
Kini diulang-ulang pulo
Ambil kesuri tauladan
Kepada amai mandeh kini.
Dari Tarok ke Taruka
Anak andung ketitiran
Anak Barabah melompat-lompat
Terbang pipit dua tiga
Hinggap di batang buah Palo;
Mandeh tamak di harta
Nan dikandung berciciran
Nan dikejar tidak dapat
Karena Amai celaka
Anak satu gila pula.
Adalah pada suatu hari, si Rombok duduk termenung, hatinya yang sedang susah, lalu berkatalah kepada anak kandungnya, “Anak
paksakan makan agak sedikit, kuahi dengan kuah telur dan usus, cobalah agak sesuap dua suap, boleh ada tenaga anak kandung,” kata mandehnya duduk bersimpuh di hadapan anaknya, anaknya sakit terbaring, telah hampir sebulan lamanya, mendengar perkataan mandeh, kata itu tiada dijawab, dia tertelentang saja, di atas tempat tidur, badan kurus matanya besar, tulang dadanya dapat dihitung, disuapkannya juga telur berkuah, tapi hanya sampai dibibir saja, selebihnya dia tidak bisa menelan, mandenya menangis, air mata berlinang-linang, maka berkata suami, si Upik nan sedang sakit, baiknya ganti obat si Upik, sebelum hari tinggi sekali, pergilah mandeh ke rumah inyik dukun nan di ujung, bernama Inyik Maiti Kubang Putih,
Setelah diberi uang, empat ringgit nan diambilnya, di atas tikar berjalanlah si Rombok, sambil berkata kepada menantunya, nasi sedang diambil si Minah, makanlah sutan dahulu, setelah berkata berjalanlah, ia berselendang bugis hitam, berjalan tertatih-tatih, sambil memikirkan nan sakit.
Akan halnya Aminah, saudara kandung si Upik, diambil nasi lalu dihidangkan, kepada Sutan Sati, sambil berkata makanlah, Sutan nasi sudah terhidang, menjawablah suami si Upik, makan bersamasamalah kita kakak, dimana anak kita Nain, ajaklah ia makan ke rumah, menjawab si Minah kami tadi sudah makan, sedangkan Sutan Sati belum.
Kemudian si Minah melihat, anak satu-satunya ke halaman, bernama si Nain anak kandung si Aminah, dengan bapaknya Sutan Djamaris, bekerja sebagai juru tulis, Angku Kapalo badan masih sangat muda, tidak lama kemudian, Sutan Djamaris pulang dari kantor, begitu datang langsung duduk, bersila di depan si Upik, cobalah makan agak sedikit, Upik supaya tulangmu menjadi kuat, diusapnya kaki si Upik bak rasa memegang batang pisang, dingin saja kakinya, kaki kurus seperti mayit, tidak ada darahnya.
Sutan Djamaris lalu bertanya, “Kemanakah ibu kita?” Menjawab Sutan Sati, “Beliau pergi meminta obat, ke rumah Inyik Maiti.” Lalu menjawab pula Sutan Djamaris, “Kalau ke situ meminta obat, Insya Allah akan ada ansurannya, banyak orang nan telah sembuh, obat beliau memang mujarab.” Akan halnya si Upik, sudah sebulan tergeletak, banyak dukun nan telah mengobati, dukun nan jauh dan dekat, juga sudah diturut, dimana-mana dukun nan pandai, sudah dipanggil untuk mengobati si Upik, segala kehendak dukun dipenuhi semua, hingga beribu habis uang, di pinggang suaminya, untung suaminya giat pula berkerja.
Sedang mereka duduk bersama, menjaga si Upik nan sedang sakit, si Rombok ke rumah, membawa bermacam macam obat, begitu datang Rambok langsung duduk bersimpuh, Diremasnya daun paku ransam diremasnya pula pisang kelat, cukup dengan sitawa dan sidingin sikumpai cikaraunya, maka direndamlah beras pulut, kunyit damar kemiri, lalu disaring dan diminumkan. Semuanya dibarutkan ke badan si Upik, setelah itu disemburkan cabe rawit, kemudian badan si Upik, diasapi dengan kemenyan putih, usahkan sakit nan akan sembuh, malah bertambah letih, badan si Upik jadinya, maka berkatalah si Rombok mandehnya si Upik, “Rupanya obat tidak mujarab, orang nan melihat semakin cemas, si Upik tidak tahu dengan dirinya lagi.” Sedih hati si Rombok mandeh si Upik, dipangku anak ditangisi, di hari itu juga, ajal sudah bilangan sampai, maka berpulanglah si Upik ke rahmatullah, tidak terkira ratap mandenya, si Minah menangis meratapi, adik kandung belahan badan, “Kita berdua tinggal seorang, dengan siapa saya ditinggalkan.
Mendaki ke Sungai
Buluah Ke kiri jalan ke seberang;
Dimana hati tak akan luluh
Badan berdua tinggal seorang.”
Meratap si Rombok mandehnya si Upik, diremas perut dikempiskan, memukul-mukul perut, makin disabarkan makin, berbuah-buah ratapnya.
Simantung di parit putus
Jarajak di tanah taban
Tak dapak geragai lagi;
Tampek bagantuang nan lah putus
Tampek bapinjak nan taban
Tidak kamana manggabai lagi.
Ketika si Rombok berguling-guling memukul perut, saat itu datang Datuk Nagari Labih, dia berkata kepada si Rombok, tidak baik ditangisi orang nan pergi, dia telah diambil oleh nan punya, kita semua juga akan pergi kesana, mendengar kata Mak Datuk, tenang hati si Rombok, dan sunyi rumah gadang, penuhlah rumah oleh pelayat, duduk bersila di tengah rumah, maka berkata Datuk Tinggi, manalah kita semua, berunding malam berhabis minyak, berunding siang berhabis hari, alangkah baiknya diangsur juga, pekerjaan kita kata Mak Datuk.
Akan halnya nan muda-muda, bertugas menggali pusaro si Upik, semua ibu-ibu pergi berjalan mengambil air, selesai mandi mayat dikafani, ke rumah Labai Sutan, disembahyangkan bersamasama, selesai sembahyang didoakan, lalu dibawa ke tanah nan gembur, ke rumput nan telah dilayukan, ke kuburan Pandan Biduro, hari elok orang juga banyak, sehingga penguburan cepat selesai.
Selesai sudah sembah menyembah, berdoa beratik dan bertahlil, maka orang pun pulang, halnya Sutan Sati, Suami si Upik nan meninggal berhati sabar dalam ikhtiar harta Allah pulang ke Allah, sampai disitulah peruntungan.
Tiada guna direndang kacang
Dicaliak arah ciek-ciek
Diambil saja nan paguno;
Tak guna kaba diperpanjang
Di Kumpal disingkatkan
Diambil saja nan paguno.
SI ROMBOK KE MEDAN
Tak ada jarak sepekan setelah itu, datanglah si Diris Sutan Barbangso saudara si Upik nan meninggal, anak si Rombok nan tertua lain bapak, si Rombok bersuami enam orang, lain bapak lain anak, anak seperti anak anjing, satu bapak satu pula anaknya, tidak ada suami nan tahan, mulut kasar kepada suami, bertengkar sekali satu pekan, tidak ada orang nan elok, perempuan nan gila akan uang, baiknya hanya ketika kaya saja, bila melarat orang dibuangnya.
Surat sampai di hari Sabtu, begitu surat datang dia langsung pulang, ia baru sampai sekarang, setelah delapan hari di rumah, ia melihat pusara adiknya, sedih hati Barbangso, tidak sempat melihat adik nan sakit, di kampung hatinya tiadalah senang, dia ingin kembali ke Medan, anak berenam ditinggalkan, hati di dalam tidak tentram, darah di dada turun naik, pada hari berikutnya, dibawalah mande ke Medan.
Di Patisah rumahnya luas dan lapang, Barbangso di pasar berjualan tikar, awal berangkat ke Medan, anaknya baru berdua, sebagai suami istri, mereka hidup susah dan melarat, dapat pagi belum tentu sore, bersusah-susah dahulu, baru bisa beroleh makan, mencari berdua suami istri, kalau dilihat si Salima, istri dari Sutan Barbangso, keduanya sama berusaha, mereka membanting tulang, beriya sekata rezeki bertambah juga, terbeli ringgit dan emas berkarang, kedainya bertambah besar.
Semenjak Salima beranak enam, anak bersusun seperti paku, untung pula mandeh datang, mandeh kandung Salima, nan bernama si Timah Tanjung, selama mandehnya tinggal di Medan, hampir tidak pernah tidak bekerja, menghentikan tangan, selepas memasak langsung menggulai lalu mencuci setinggi duduk, bila ke berbelanja pekan anak digendong di bahu, tidak dapat duduk walau sejenak, seperti sudah jadi pesuruh saja, terasa sekali manfaat nasi sepiring hasil kerja keras dan membanting tulang, begitu berat pekerjaan, namun apalah daya karena sayang kepada anak dan cucu, pekerjaan berat disangka ringan, sementara Salima duduk saja di tokonya karena pandai jual-beli.
Akan halnya si Rombok, dilihat istri anaknya makin kaya, bergantungan ringgit di lehernya, hati menjadi tidak senang, dia mulai menyindir berkias, membanding menantu serta mandeh Salima, nyata anaknya ada enam, anak makan dihidangkan, dia ikut pula makan dihidangan, tidak kasihan sama menantu, patutlah si Bujang jadi sengsara, selalu berbaju usang, seperti memikul buluh dengan uratnya, banyak sekali kias dan banding, kucing ke rumah juga jadi kias, juga benci kepada cucunya, salah sedikit kena ceramah, akan halnya si Timah, bagikan digores dengan sembilu, mulut besannya tajam bagai pisau, ditahan hati dengan malu, agar tak terdengar oleh menantu, orang yang ada ditunjuk ajari, tidak seperti Rombok, perempuan bermulut kasar juga serakah.
Tidak tahan dengan kata dan laku si Rombok, berjalanlah si Timah mandeh Salima, ke rumah anaknya yang satu lagi, anaknya tinggal di Belawan, sepeninggal mandehnya sempit hati Salima, tidak tahu mana yang akan dikerjakan, memasak atau menggulai ke dapur, belanja ke pasar sambil, menggendong anak di belakang, kain banyak nan kotor, mencuci bertumpuk-tumpuk, jualan di pasar tinggal pula, suami tidak pula pandai berhitung, tidak sekolah ketika kecil, banyak rugi daripada laba, nan telah ada mulai tercecer, nan dikejar tidak pula dapat, hati sempit pikiran keruh, si Rombok menyusahkan pula, anak dihasut tiap sebentar, dihasut dan difitnahkan, tiap hari menyuruh anak bercerai dengan istrinya, digantikan dengan istri yang lain, begitu kata si Rombok.
Mengenai si Barbangso, termakan oleh perkataan mandeh kandung, lupa pada awal perjuangan, tak memikirkan akhir, terbuai oleh enak dan bujuk, rayu mandeh kandung, maka bercerai juga kesudahannya, toko dipegang oleh Salima, sebulan lamanya berpekara, surat-surat toko atas nama istrinya, begitu juga dengan jual beli, tanda tangan si Salima, suami penakut seperti puyuh, lebih hebat perempuan dari pada laki-laki, patut gelarnya si Timah puyuh, perempuan mencari makan, laki-laki tenang-tenang saja.
karena perbuatan si Rombok, bercerai orang suami istri, bercerai pula anak dengan bapak, halnya Salima daripada, berbaur dengan mertua, lebih baik menjanda sampai mati, selepas itu dipanggil mandeh ke Belawan, si Timah merasa sedih bercerai dengan menantu.
PERCERAIAN AMINAH DENGAN SUTAN JAMARIS
Barbangso sejak bercerai, tidak tahu apa nan akan dikerjakan termenung-menung saja seorang diri, teringat kebaikan Salima, mulai kelihatan buruk mandeh, suka menghasut fitnah, dan mangadu domba, ingin surut malu rasanya, anak kandung teringat juga, rasa tampak di ruang mata, daripada hidup berputih mata, baiknya berjalan ke Aceh.
Si Rombok duduk termenung sendiri, ke rumah Sutan Jamaris, mandeh melihat dengan sudut matanya, benci sekali ia melihat menantunya, malang si Minah bersuami, dua orang anaknya, seperti kerakap memanjat batu, hidup segan mati tak mau, konon orang makan gaji, umurnya panjang rezeki diatur pula, tidak sebaik rezeki Sutan Sati, setahun bersama terbeli kalung emas, kalau lama si Upik, mungkin sudah terbuat rumah bagus, terpegang pula sawah dan ladang.
Malang untung si Upik, singkat umur pertemuan, teringat baiknya Sutan Sati, uang banyak rajin pula, sampai memiliki anak dengan si Upik, entah seperti apa jadinya, melihat rupa Jamaris, dilayangkan pandang minantu ke rumah, si Rombok banci melihat menantunya, malang untung si Aminah, berkain tidak ada raginya, habis sehelai ganti sehelai, anak banyak rapat pula, tiap tahun beranak saja.
17
Masa itu Jamaris tidak di rumah, sepi dan lengang saja, anak si Minah sedang tidur, anak nan besar dibawa oleh bapaknya, si Minah duduk menambal, dan menjahit kain di badan, dihampiri anak kandung, dilawan ia berunding, berkata mande si Minah, elok untungnya si Naruma, setahun baru bersuami, terbeli olehnya gelang rantai emas, dan kalung ringgit bakarang, pandai sekali si Naruma, membujuk suaminya, diperlihatkan benar rancaknya, apa kehendak langsung dikabulkan, apa nan dipinta langsung diberikan, kalau badan sudah seperti, anjing beranak enam, maka lelaki berangsur pergi, berjalan seperti pantun orang.
Teluk bayur jalan ke Padang
Lepas menurun mendaki;
Bunga layu kumbang terbang
Begitulah adat laki-laki.
Seperti makan tebu, habis manis sepah dibuang, begitu sifat sebagian orang jantan, bila istrinya sudah buruk, tidak dapat dijadikan, tempat bergantung lagi. kalau dilihat suamimu, pergi ke kantor Angko Palo, berbaju putih celana putih, sepatu berkilat pula, seperti engku jaksa, asalkan kita gagah, biarlah istri di rumah berkain buruk, seperti pembantu nyonya Belanda, kata si Rombok dengan suara keras, sambil menujuk anaknya dengan ujuang jari, mendengar itu anaknya tenang saja.
Ia tahu hati ibunya, kalau dijawab bertambah jadi, berkata si Rombok lihat sama kamu, Sutan Sati setahun bersama, penuh kain di lemari, terbeli ringgit emas berbentuk, kalau dilihat roman si Upik, dia tidak rancak, rancak kamu daripadanya, kalau berpakaian seperti, gadis perawan tidak tahu orang, bahwa sudah beranak, mintalah cerai dengan suamimu, boleh dapat menggantikan saudaramu, si Upik nan meninggal, jemput suaminya untukmu, Sutan Sati orang muda, ia giat bekerja, kalau si Sati suamimu, kenyang engkau dengan barang, akan halnya Si Rombok, anak digili dihasut, menantu terus dikias dibandingkan, tidak tahu dengan atah terkunyah, seperti lalat menggerubuti ekor kerbau.
19
Tidak tertahan dengan perkataan mertua, malu dengan orang kiri kanan, dibawa si Aminah pindah, Minah menurut dengan kata mandeh, tidak suka bercerai dengan suaminya, daripada bercerai dari mandenya, biarlah bercerai dengan suaminya, karena si Rombok mulutnya kasar, tamak dengan harta kekayaan, maka bercerailah si Minah dengan si Jamaris, maka terpisahlah anak dengan bapak.
Selepas perceraian si Aminah, dan sudah pula diketahui, oleh kadi nagari, senanglah hati si Rombok, dinantikan idah tiga bulan, dua bulan setelah itu, disampaikan keinginan ke Sutan Sati, untuk menggantikan si Upik, nan sudah meninggal dengan Aminah, maka berkatalah Sutan Sati, setentangan keinginan mandeh, sebaiknya dibawa dulu, mufakat kepada ibu dan bapak. Pada hari berikutnya, dibawalah mufakat bapak dan ibunya, lalu berkata mamak si Sati, daripada jadi menantu si Rombok, lebih baik cari perempuan lain, si Rombok perempuan setan, anak seperti tidak diajari, baiknya ketika orang kaya, melarat dibuangnya, didengar kabar mula ke Medan, bercerai anak suami istri, perempuan iblis si Rombok, tamak dengan harta kekayaan, kalau tidak seperti itu, tidak akan banyak suaminya, menjawab pula ibunya si Sati, ketika si Djamaris bercerai, adu domba mande si Minah, anak disuruh bercerai, dimana akan elok, buruk baik tidak bercerai, senyampang kamu melarat, tidak ada uang disuruh pula bercerai, begitu kelakuan si Rombok, baiknya beristri ke nan lain.
Si Neti anak si Kundua, anak gadis belum bersuami, kelakuan baik romannya rancak, dari si Minah anak si Rombok, kamu bujang beranak tiri, besok harinya menikah, si Sati dengan si Neti, berhelat dengan berarak-arakan, melewati halaman si Rombok.
Simantung di Padang tinggi
Dibubut keladi dihempaskan;
harap burung terbang tinggi
Nuri nan jinak dilepaskan.
21
Malang bagian si Aminah, disangka turun hujan dilangit, air dalam tempayan ditumpahkankan, dicari ganti suami anak, tidak ada yang sesuai, seperti kena santung pelalai, kita mau orang enggan, orang suka anaknya tidak, sehingga si Rombok kehilangan akal, teringatlah si Rasad Sutan Muntjak, melihat rupa rancak, kena hatinya ke si Minah, ia bekerja di kantor demang, orang bujang nan rimbang mata, setiap tahun menambah istri, mande kaya bapak bertuah, dibuat rundingan dengan si Rombok, sebagai ganti Sutan Djamaris.
Menikah janda dengan duda tidak diperhelatkan, sesudah menikah langsung pulang ke rumah, enam bulan percampuran, hati Sutan Muntjak sudah terpuaskan, tak perlu dihitung hari, bercerai pulalah keduanya, disangka Muntjak suka bekerja, rupanya tidak luarnya saja kelihatan baik, besar bungkusnya tidak berisi, kata-kata melangit, dilihat hasil tidak bertemu, Sutan Muntjak beristri, hanya untuk melepaskan nafsu saja, ia tahu kelakuan si Rombok, pepat di luar pancung di dalam, pandai berhitung mengambil untung semaunya, susahlah hati si Rombok, terlebih lagi si Aminah.
Teringat dia pada suami nan lama, bertingkah laku sangatlah baik, berapapun gaji diberikan, tidak merasa kekurangan, semenjak bersuamikan si Muntjak, kerja selalu kena kalesek Demang, tiap bulan terima gaji, tapi nafkah tidak turun, keinginan tinggi dari Jamaris, minumnya kopi bergula, lauknya daging dan gulai ayam, nasinya hangat gulai pun hangat, pantang memakan gulai semalam, kurang sedikit mengomel, saku baju berjahit, berbicara ke orang dsngan nada tinggi, Senang menyuruh dan memerintah, orang disangka budak, serupa tuanku demang, untung mujur cepat bercerai, sejak bersuami Sutan Muntjak, mata pencaharian tiada bertambah, elok dengan suami duhulu, terkenang janda lamanya.
23
SUTAN JAMARIS KE RIAU
Sutan Jamaris semenjak bercerai, dengan Aminah karena, adu domba mandenya, banyak orang memiliki mertua, tapi tidak seburuk si Rombok, nan menceraikan kasih sayang, memutuskan silahturrahim, teringat anak berdua, rancak dan baik tingkah lakunya, tidak pernah bercerai setapak juga, anak sebagai ganti hiburan, selalu dibawa ke sana kemari, sekarang bercerai dengan anak kandung, bila dijenguk tiap hari, apa pula kata orang, nanti dikatakan pula menyilau janda.
Anak serasa di ruang mata, sedih hati Sutan Jamaris, mau rujuk hati tidak suka, patah saruan hati seperti patah batu, benci melihat si Rombok, kalau tidak nagari, sedang dijajah kompeni, mau rasanya menghisap darahnya, bila si Rombok masih hidup, alamat anaknya menjanda, sampai tua tidak bersuami, duduk sendiri sambil berpikir, daripada hidup berputih mata, baiknya larat ke rantau orang, dicoba untung di rantau orang, biarkan sabut kan terapung, biarkan batu kan terbenam, kata Sutan Djamaris di dalam hatinya, bulat hatinya merantau, meminta izin kepada mandeh, berjalan pulang ke rumah mande, ditepi beranda mande sedang duduk, sambil mengunyah-ngunyah sirih, kelihatan anak di pintu, dihidangkan nasi di mangkok serta air kopi, berkata mande kandung, makanlah anak dahulu, hidangan sudah diletakkan, diangsur duduk
25
kemuka, langsung tangan dicuci, dan makanlah Sutan Jamaris, nasi disuap dua suap, pikiran ke rantau juga, badan serasa di negeri Riau, selesai makan dicuci tangan, dihisap rokok sebatang, asap mendulang ke udara.
Lalu berkata Sutan Jamaris, manalah mandeh kandung, maksud hati hendak merantau, dicoba untung ke rantau orang, beri izin saya berjalan, kata Sutan Djamaris beriba hati, mendengar perkataan anak kandung, tidak baik anak berjalan, baiknya anak di kampung saja, buruk baiknya cepat tahu, merantau ke negeri orang, mencari uang juga, di sini ada pekerjaan, nan akan dihadapi, bergaji pula kata mande kandung, menjawab Sutan Djamaris, “Oi mandeh kandung saya, benar saya bekerja di nagari, bekerja ibarat kiambang, dalam kolam ikan akarnya, tidak terhunjam sampai ke tanah.
Besar air kiambang, hanyut tidak ada urat tunggangnya, untuk bertahan pekerjaan, tidak ada kepandaian, tidak ada keahlian, saya masih muda baru, lantas angan mencari pangkat, tolong oleh mande dengan doa, hidup merasai semoga senang, hujan dan panas saling berbalasan, supaya terlihat juga berhasil, seperti orang kata Sutan Jamaris, menjawablah mandenya, kalau anak mau berdagang, bersungguh-sungguh usah bersimpang, lurus nan benar dipakai, menimbang benar-benar, uang nan dimakan bermanfaat, berbicaralah dengan mulut manis, jangan kamu bersempit hati, pembeli adalah raja, adat orang berdagang, makan berdiri minum berlari.
Belanja berhemat-hemat, jika pandai berbelanja, sehari satu helai banang, lama-lama sehelai kain, sajauh-jauh perjalanan, tetap dimulai dari langkah pertama, kalau nak mulia bertebur urai, jika ingin kaya berhemat-hemat, kalau anak bekerja, dapat kerja nan berpangkat, pandailah tenggang menenggang, baik dengan kawan sesama bekerja, biarpun dengan kawan dibawah kita, berjalanlah lurus berkata benar, dengki kusumat jangan dipakai, usah iri hati pada kawan, kawan naik pangkat kita dengki, sifat seperti itu jangan kamu pakai.
Jangan anak sampai lupa, bekerja di kantor kita digaji, bekerja betul-betul, pandai berbaur dengan di atas, dan di bawah hormat menghormati, jangan tinggi hati, mengganggu dan sombong, orang benci pada kita, kalau kita tidak pandai bekerja, tidak pandai meniru nan pandai, pekerjaan banyak salah, ditegur orang kita marah, pekerjaan buruk dikira baik, awak bodoh berlagak pandai, tumbuh uban di kepala, kita menjadi juru tulis, kawan terakhir naik pangkat, kandidat menjadi demang, kita nan tua di situ juga, bengkak punggung di kursi, menjadi tunggak meja, kato mande kandung menunjuk mengajari, mendengar perkataan demikian, terasa benar perkataan mande, setitik menjadi laut, sekepal menjadi gunung.
Peganglah erat genggamlah teguh, sedikit pun jangan dilupakan, di hari semalam itu, mata tidak kunjung terpejam, ingatan hanya ke negeri orang, dua kali ayam berkokok, cukup ketiga haripun siang, bangunlah Sutan Jamaris, diambil koper kulit, dimasukan pakaian, nasi dimasak mande kandung, untuk bekal diperjalanan, sekaleng rendang ayam, sekerucut wajik kuning, dilepas Jamaris pergi berjalan, berjalan pagi-pagi pukul tujuh, disewa mobil ke Rengat, hari Sabtu berangkat, hari Senin pukul enam, mobil sampai di Rengat, berhenti mobil turunlah orang, dalam mobil Jamaris turun pula, bertemu kawan satu kampung, sobat karib waktu kecil, sama sekolah mengaji, berkata orang itu, kemana kamu Maris, lama kita tidak bertemu, berkata kawannya bersuka hati,
sudah lama tidak kerimba
Balam barabah dari Jambi;
Sudah lama tidak berjumpa
Badan barubah kini.
Anak orang Koto Marapak
Bersunting bungo Durian;
Maka lama tidak tampak
Dibawa untung dengan bagian.
Senanglah hati keduanya, berjumpa sobat satu hati, dibawa Jamaris ke rumahnya, rumah papan tepi jalan, berkata Sutan Jamaris, kepada kawannya Hasan Basri, siapa istrimu sekarang, dan berapa anakmu, istri bernama Sarinah, ia orang tanah Jawa, kampungnya di Serang, kami belum beranak, baru setahun kami berbaur, pada hari semalam itu, sama mengungkapkan perasaan, tidak puas bercerita, seolah malam takkan siang, mereka tidur sampai larut, si Hasan Basri bekerja, menjadi amir berkatalah Jamaris, bagaimana asal mula, maka mendapat amir muda, kita sama sekolah kata Djamaris.
Menjawab Hasan Basri, tatkala lepas sekolah, saya dibawa oleh bapak, ke teluk Kuantan, tiba di Teluk Kuantan magang, di kantor tuan kemendur, setelah setahun magang, dapat kandidat jadi demang, rajin bekerja tahu hukum, tahu undang-undang pandai tanya jawab, selesai bekerja pukul satu, belajar hukum pemerintah, tiga bulan jadi kandidat, pindah menjadi mantari polisi, menggantikan mantari polisi di Basrah, untung baik masa itu, dapat menangkap orang Cina, runcing tanduk pelarian dalam paseban, barang siapa dapat menangkap, orang itu diberi persenan lima ratus, karena untung tolong Allah, saya dapat menangkap orang Cina itu, Cina nan cerdik licin pula, maka diberilah persenan oleh pemerintah, diangkat menjadi kandidat, sampai jadi Amir muda, katanya Hasan Basri mendengar kata demikian, berkata Jamaris, kepada Hasan Basri, mengenai diri saya, selepas sekolah kelas lima, diangkat menjadi jurutulis, juru tulis kepala dalam bekerja, sebagai jurutulis, beristri ke seberang, dapat anak dua orang, nan seorang laki-laki, seorang lagi perempuan.
Mertua Amai cilako, anak dihasut minta cerai, sekarang kami telah bercerai, katanya Sutan Jamaris, menjawab Hasan Basri, di sini Jamaris dahulu, dicoba mencari pekerjaan, saya tolong memasukkan surat, kata kawannya Hasan Basri, pada hari berikutnya, dibuatlah surat ke kemendur, meminta bekerja di kantor, ada kirakira lima hari, terpanggilah Sutan Djamaris, menghadap tuan
31
kemendur, pagi-pagi pukul delapan, dikenakan baju jas putih tutup leher, pakai celana pintalon putih, pakai topi sutra hitam, bagai guru sedang mengajar, tampan rupa dipandangi, pakai sepatu kalaf hitam, meminta kepada Allah, dapat hendaknya bekerja, karena untung takdir Allah, berkas dilihat dan diperiksa, dapatlah dia berkerja, bekerja di dalam kantor, kantor angku jaksa di Rengat, gaji kecil cukup untuk makan, tapi sungguhpun demikian, senang juga pikiran, tinggal di rumah Hasan Basri, teman sama besar hidup, bersuka bersenang-senang, Sutan Jamaris pandai berbaur, dengan orang banyak, tahu menenggang hati orang, sesama bekerja di kantor, tidak ada nan benci, sama elok kerja rajin, tulisan bagus tidak pernah salah, ingin tahu kuat bertanya, ingin pandai kuat berguru, kerjanya bersih hati-hati, teringat akan ajaran mandeh.
Tiga bulan bekerja, disahkan sebagai jurutulis, di kantor polisi rahasia, dalam ranting wilayah Indra Giri, senanglah hati Jamaris, gaji bertambah pula, bertambah rajin si Jamaris bekerja, bekerja dengan hati-hati, untung elok bagi Jamaris, belum setahun bekerja, pindah bekerja ke Riau, jadi polisi di Pabean, masuk resor Tanjung Pinang, dalam wilayah tanah Riau, semenjak Jamaris jadi polisi, banyak penangkapan nan didapat, penyeludupan ke Sungai Pura, banyak barang gelap nan didapat, pindah mantari Jamaris, mantari polisi daerah Riau, Jamaris sebagai ganti penukar.
33
MELARIKAN HUTANG
Didulang sedulang lagi
Pendulang emas dibungkal;
Diulang seulang lagi
Pengulang kaba nan tinggal.
Ditinggalkan Sutan Jamaris, dilihat pula Sutan Barbangso, berjualan di Koto Raja, selama tinggal di Aceh, tidak tahu nan dikerjakan, pikiran keruh hatinya susah, tidak ada jualan nan berlaba, jangankan untung rugi nan ada,
Sudah berkata seperti udang
Beluluk juga yang bersua
Tidak keruntung diapakan;
Sudah dicinta seperti orang
Yang buruk juga yang bersua
Tidak untung mau diapakan.
Singkarak kotonyo tinggi
Semantung mandai dulang;
Awan bararak ditangisi
Teringat kampung di rantau urang.
Keratau disangka madang
Kiranya beluluk padil;
Merantau disangka sanang
Kiranya berusuh hati.
Kain palakat baju sisikin
Pakaian anak Indragiri;
Banyak orang bangsat miskin
Terlebih benar di badan diri.
Sedang beryanyi-nyanyi sendiri, teringat anak di Medan, teringat pula si Salima, anak lurus elok laku, terbayang melarat dengan istri, fakir dan miskin pertama pergi ke Medan, Salima membanting tulang, dagang gorengan di halaman kumidi, perut besar dalam hamil, bergadang tidur tiap malam, larut malam baru tidur, teringat sakit tiga bulan, tergeletak di atas tikar, Salima menjaga dan mengobati.
Uang dicari nasi dimasak, besar jasanya si Salima, tidak patut dia bercerai, kata pikiran Barbangso, berkata-kata sendiri, terbayang perasaian, dengan Salima tidak patut bercerai, teringat akan baik jandanya, menyesal bercerai dengan Salima, bersuami ia dengan nan lain, anakku berbapak tiri, disuruh dimarahi bapaknya, konon bapak tiri sayangnya, sampai dibibir saja, di hati ingin mencelakai, bermacam ingatan pada masa itu, kini apalah daya, hutang selilit pinggang, setiap sore orang menunggu, janji Rabu ke Sabtu, habis kesabaran orang meminta, orang merasa diolok-olokkan, rintang dari janji ke janji, maka mengadulah orang ke polisi, dituduh menipu merayu, sengsara badan kesudahannya, kalau dilelang barang, hanya tinggal seperempat, hutang belum selesai juga, begitu banyak hutang, terbit takut St. Barbangso, takut sekali ke orang Cina, Cina dirayu berjelas-jelas, mengadu orang Cina, dihukum masuk penjara, dijual barang nan tinggal, diborongkan habis-habis, satu pun tidak ada nan tertinggal, pada malam itu tidak sepicing, mata tidak mau tidur, negeri mana nan diturut, rantau mana nan ditempuh, bulat
pikiran masa itu, maksud pulang ke Padang, singgah ke Medan melihat anak, dua kali ayam berkokok, cukup ketiga hari pun siang, bangunlah Sutan Barbangso, sudah pula dicuci muka, hari juga masih pagi sekali, jalan langang pintu di tutup, cuaca belum begitu terang, dia melihat ada mobil menuju Medan, dikejarnya mobil cepat-cepat, karena baik peruntungan,sampai mobil langsung berjalan, tinggalkan negeri Koto Rajo, hendak memasuki negeri Medan, hati di dalam rasa tidak tenang, rasa akan terlihat oleh orang, pergi berjalan melarikan hutang, takut dengan Incek Capuak, orang Cina Koto Rajo.
Mengecoh orang berterang-terang, bila ketahuan Cina Capuk, berjalan melarikan badan, entah apa kan jadinya, dipikir-pikirnya sendiri, berkata-kata dalam hati, darah di dada turun naik, menjelang sampai di kota Medan, darah di dada turun naik, rasanya kita dikejar orang, lari mobil rasanya lambat, orang berhenti turun naik, sakit hati Barbangso, rasa ingin ditolak, mobil itu agar cepat sampai, lama lambat dalam mobil, sampai juga mobil di Medan, mobil berhenti di jalan Gaton, turun orang nan banyak, turun pula Sutan Barbangso, hari sudah mulai senja, perut terasa lapar, berjalan ia ke warung nasi, warung nasi orang Padang, sudah makan dan minum kopi, tampak olehnya si Kayo dalam warung, kawan berjualan masa dahulu, bertanyalah Sutan Kayo, kapan Barbangso datang di Aceh, masihkah sutan berjualan, menjawab Sutan Barbangso, sebentar ini turun dari mobil, maksud hati hendak ke Padang, tidak kuat lagi di Koto Rajo, tidak berpaham hidup di situ, rencana dialihkan, ke nan lain kata Sutan Barbangso, lalu menjawab Sutan Kayo, saya mendengar dari orang, Barbangso bercerai dengan istri, apakah salah dan sebabnya, setelah banyak anak maka bercerai, tidak kasihan anak nan ditinggal, anak Barbangso susun paku, katanya Sutan Kayo.
Menjawab Sutan Barbangso,
Terlantung tali rabab
Tersinggung di orang lalu;
Tiada guna dicari sebab
Habis untung cerai dahulu.
Begitu Sutan Barbangso menjawab, mendengar perkataan demikian, berkatalah Sutan Kayo, tentang Salima istri Barbangso, nan diceraikan tidak ada sebaik dirinya, pandai berjualan dan berhitung, laku elok perangai elok, Barbangso mendengar perkataan mande, mande bersifat lain pada orang, bermulut kasar ke orang, pantang tersinggung mande Barbangso, mulut kasar pada minantu.
Mendengar kata Sutan Kayo, menjawab Sutan Barbangso, itu sebenarnya kata Kayo, akibat hasutan fitnah, sampai bercerai anak istri, menyesal badan bercerai, teringat elok si Salima, dicoba berjualan di Aceh, siancek pergi ke gurun, jangankan bertambah turun, sampai bergelimang dengan hutang, begitu benar perasaian, katanya Sutan Barbangso, dalam berkata-kata, teringat akan buruk mandehnya, mandeh silangkanas, silangkanas lalat tua, banyak pula orang bemandeh, tidak serupa mandeh kita, dapat mande cilako, orang elok ia bengis, mande rakus oleh harta, maka bercerai si Djamaris, kini adik kandung menjanda, susah orang jadi suaminya, selagi hidup juga mandeh cilako, alamat Aminah janda tua, katanya di dalam hati, mengkal hati Barbangso, melawan dia dalam hati, sudah takdir garak Allah, dapat mande cilako.
Pada hari berikutnya, kira-kira pukul tujuh pagi, melereng lewat ke kedai, si Salima janda Sutan Barbangso, tampak anak si Ripin, anak kandungnya kemanakah, bapak hilang saja selama ini, mendengar kata anaknya, sedih hati Barbangso, berkata dengan hati sedih, saya berkedai di Aceh, mana kalian nan berenam, adakah badan sehat saja, lalu menjawab si Ripin, adik saya nan sakit, tergeletak di tempat tidur, tiga hari tidak bangun, berkatalah si Ripin, tersirap darah di dada, sakit kini adikmu Baiti, adikmu nan kecil kata Barbangso, menjawablah si Ripin, pulanglah bapak melihat, tidak ada orang di rumah, mendengar perkataan anak kandung, berjalanlah Sutan Barbangso, Ripin mengikut di belakang, diiringkan bapak sampai pulang, sesampai di rumah Salima, berkata Sutan Barbangso, berapa lamanya si Baiti sakit, adakah termakan olehnya
nasi, sedang berkata dia duduk bersila, bersila duduk di samping anaknya, diusapnya kepala si Baiti, lalu menjawab mandeh Salima, sakitnya delapan hari, tiga hari lamanya tertidur, tidak makan sesendok juga, katanya mertua Barbangso, menjawab Sutan Barbangso, siapa dukun nan mengobati, sambil berkata demikian, sudut matanya ke Salima, tampak jandanya bertambah muda, elok rupanya dipandangi, menjawab mandeh Salima, sambil mengisi kopi, diletakkan katan dan goreng pisang, makanlah ketan Sutan, air terletak diminum, mengenai obat si Baiti, kini berobat dengan orang Batak.
Mendengar perkataaan demikian, minumlah Sutan Barbangso, sedangkan kepada si Salima, dilihat janda dengan sudut mata, berubah badan dipandangi, berlain daripada dahulu, badan kurus kehitaman, jenggot tidak bercukur, celana dan baju usang pula, sedih hatinya Salima, melihat janda demikian, tetapi sungguhpun demikian, tidak berkata sepatah juga, sambil menunduk melihat anak, lalu bertanya mandeh Salima, dimana sutan berjualan, lama tidak ada kelihatan, apa jualhan sutan kini, menjawab Sutan Barbangso, saya berjualan di Koto Rajo, berjualan barang pecah belah, jualan di situ sangat buruk, banyak rugi daripada untung, sedang berkata demikian, tiba polisi tiga orang, dikepungnya rumah si Salima, berkata komandan polisi, adakah di dalam si Barbangso, terkejut Sutan Barbangso, muka pucat seperti kain putih, menggigil badan ketakutan, berkata opas polisi, tuan bernama si Buyung, bergelar Sutan Barbangso, kami mendapat perintah, menyuruh bawa ke kantor, kantor polisi kota Medan, perintah keras dari atas, Salima melihat janda demikian, heran tercengang memikirkan, apa sebab penyebabnya.
Berjalanlah Sutan Barbangso, dilihat banyak orang, merah mukanya menanggung malu, menjelang sampai di kantor, tercengang orang melihat, terpercik keringat Barbangso, mukanya hitam menanggungkan malu, seperti seorang penjahat, Sutan Barbangso tiba dalam kantor polisi, Incek Capuak di dalam, ia telah
43
mengadu melaporkan, Barbangso melarikan hutang, orang Cina di Aceh, Barbangso mengakui kesalahan, berhutang ke Incek Capuak, dia ditahan dalam kantor, dimasukan ke kamar tahanan, susahlah hati Barbangso, tidur di lantai ubin, tidak ada tikar maupun bantal, makan kemana minta nasi, adat dalam tangsi kurungan, di sana bisa makan, dalam tahanan polisi, cari makan untuk diri sendiri, sedang Barbangso berpikir-pikir, tibalah Salima dengan anaknya, jando Barbangso membawa tikar, bantal dan kain selimut, si Ripin membawa nasi, untuk makanan bapaknya, senang hati Barbangso, apa nan terjadi tidak sesuai, dengan nan dirusuhkan dan dikhawatirkan, teringat akan elok Salima, pada hari berikutnya, mande Salima membawakan nasi, berganti-ganti dengan anaknya, akan halnya Salima, orang cerdik bersekolah, tidak ada orang secerdik itu, banyak kenalan dengan polisi, mantari polisi orang Padang, diturutnya malam hari, meminta tolong dengan segala akal, lepas jugalah hendaknya Barbangso, usai berbicara dan bermufakat, selepas ditunjuk diajari, menjawab dengan tuntas, Salima datang sendiri berunding, ke rumah engku Mantari.
Pada hari berikutnya, diturutnya Barbangso ke kantor, dibawa nasi dalam rantang, berjalan dia ke kamar tahanan, diletakkannya nasi di lantai, maka berkatalah si Salima, dibisikkan jawaban, ditunjuk diajarinya, menjawab usah takut, usahlah gentar katakan, bila tidak berhutang, kalau ia berhutang, siapa saksi nan tahu, mana surat kuitansi, dakwa palsu namanya, katakan seadanya, kalau ada hitam atas putih, kini juga kita bayar, begitu ajaran Salima, usah tuan berbelit-belit, pada besok hari Barbangso, ditanya oleh angku jaksa, jaksa orang Padang di Medan, saling mengenal dengan Salima, masa dahulu sama serumah, di Japaris Salima terlebih dahulu, pergi ke rumah jaksa, ke rumahnya di Japaris, kuat katam kerena rautan, menang juga Barbangso, kalah Cina nan di Aceh, tidak ada tanda bukti hutang, lepas Barbangso sehari itu, senanglah hati Barbangso, teringat elok Salima, kalau tidak ia menolong, berbulan di dalam tangsi, teringat guna baik orang, rujuk Barbangso ke Salima, kusut
45
selesai keruh pun jernih, tidak ada lagi umpatan, bagai pinang pulang ketampuk, sirih kembali ke gagangnya, maka diulang nikah kembali, mendoa melepas niat.
Mengenai si Rombok, mande Sutan Barbangso, terdengar anak surut kembali berbaur, bengis marah dalam hati, sudah takdir mandeh Celaka, tidak teringat pertolongan orang, sedangkan kepada Salima, sejak menjanda di Medan, dua tiga orang nan datang, hendak mengambil Salima, jadi istrinya pengganti Barbangso, muda ada kaya pun ada, Salima menolak dengan alasan, anak saya tidak mau berbapak tiri, dia tidak suka bersuami, biar menjanda sampai tua, tidak ada maksud hati, setentang kepada diri Bairi, anak Salima nan sakit, sudah senang sehat benar, sudah pula pergi ke sekolah.
Layang-layang penjamba bujiah
Parapati tabang karimbo;
Kasih sayang dicaripun boleh
Tempat hati jarang ketemu.
Orang Padang merentang benang
Direntang dilipat empat
Dilipat diperdua;
jika dirantang bisa panjang
biar dikumpal diperpendek
ambillah seberapa besar manfaatnya.
47
PERKAWINAN DENGAN GURU DUNIA
Hari Rabu ramailah pekan
Ramai anak di kampuang Tembok;
Disini kaba kita hentikan
Dialih cerita pada si Rombok.
Konon kabarnya mandeh Rombok, semenjak menantunya bercerai, suami Mirah Sutan Muntjak, susahlah hati si Rombok, dinanti idah tiga bulan, menjelang selepas idah, dipatut juga orang nan pantas, untuk menjadi suami anaknya, namun tiap ditanya tidak ada.
Tinggi bukit boleh didaki
Lurah dalam bertala-tala;
Orang udik boleh dinanti
Orang anggan apakah daya.
Kena santung pelalai, orang suka kita tidak, kita suka orang nan enggan, begitu saja berkepanjangan, ada sebulan antaranya, ditinjau pula guru Dunia, menurut kabar nan didengar, dia bercerai dengan istrinya, istrinya tinggal sendiri, dicari hari nan baik, dua hari bulan timbul, di situ langkah nan elok, akan halnya si Rombok, dikunyah sekapur sirih, dikenakan kain nan elok, berundung-undung bugis hitam, dibawa sirih sekampia, dilangkahkan kaki kanan, diturut jalan nan panjang, ada serentang perjalanan, cukup kedua rentang
49
panjang, tiba di kampung guru Dunia, pandang jauh dilayangkannya, tampaklah rumah angku guru, hati di dalam harap cemas, harap rasa akan dapat, cemas akan kehilangan, dinaikinya jenjang beranda, tampaklah engku guru di rumah, berdua dengan kakaknya, baru tampak si Rombok, disuruhnya duduk di kursi, disorongkan sirih dicerana, dibuka pula kampi merah, berkata si Rombok ke si Jimah, saudara guru Dunia, serta kepada angku guru, kunyah sirih saya dulu, di kapur sirih sekapur, habis manis sepah dibuang, kelat tinggal dikerongkongan, bercahaya sampai ke muka, sudah bersirihan berkata, si Rombok ke si Jimah serta angku guru.
Saya tidak sekedar kemari saja, besar maksud hendak dijelang, saya mendengar dari orang, bahwa guru sudah bercerai, dengan orang rumah nan di mudik, kata si Rombok memulai perbincangan, menjawab guru Dunia, seperti kata orang, itulah kata nan sebenarnya, coba pikir oleh kakak, terima gaji tiap bulan, dibagi sama banyak, hukuman adil sama berat, agar tak melanggar rukun dan syarak, tidak gampang beristri dua, nafkah diisi sama berat, kalau tidak begitu, besar dosa kata Tuhan, tetapi perempuan di Mudik, mengemasi sampai habis, memakan sampai kenyang, laku perangai banyak nan salah, kalau lama kami berbaur, maksud hati cita-cita, mengganti rumah nan usang, biar saya tidak memiliki anak, tempat diam elok juga, asal rumah berdecak, miskinpun kita tidak kelihatan, katanya guru Dunia, berkata membanggakan, ia arif tentang itu, kilat beliung sudah ke kaki, mendengar kata guru Dunia, gaji besar guru kapalo, senang hati si Rombok mendengarkan.
Menjawab si Rombok, lorong kepada perbauran, sudah suratan dari dahulu, apakah akan panjang, atau hanya akan singkat, maksud hati kemari, akan menjemput guru, ke rumah Minah, jadi junjungan, anakku sebab itu saya kemari, kita berunding sesama kita, kupas kulit tampak isi, singkap daun ambil buah, usah guru menghindar, kalau dapat anak dengan buah, anak menjadi anak guru, alangkah senang penantian, kata si Rombok mendengar, kata nan
51
seperti itu, senanglah hati angku guru, terkayuh di biduk hilir, terpanggil orang nan datang, tetapi sungguh demikian, di muka tidak mengesan, menjawab guru Dunia, setentang perkataan kakak, malu saya sedikit, saya ini sudah tua, si Minah muda baru, beranak dua orang, berbaur muda dengan tua, salah rasanya pandangan orang, elok nan lain nan dicari, sama kita mencarikan, sama muda dengan si Minah, kata guru Dunia, dalam hatinya rasa mau, direngkuh terbayang rupa, si Minah anak rancak pandai memakai, mendengar kata guru Dunia, menjawab si Rombok soal umur, tua maupaun muda tidak mande timbang, sudah banyak orang nan datang, hanya guru saja nan didamba, sejak lama maksud hati, mengambil guru sebagai menantu, mohon jangan guru bertangguh, kalau jemput sekedar basa basi, baiknya orang lain saya suruh, ini saya benar nan datang, jemput sebenarnya jemput, guru terbawa oleh saya, mendengar penuturan demikian, gelak bergumam engku guru, berkata guru Dunia, kalau begitu kakak, malu pula saya mendengarkan, bulan di muka kita langsungkan, kita tidak berhelat, mendoa dengan orang malin, katanya guru Dunia.
Mendengar kata demikian, sejuk rasa pikiran si Rombok, maksud sampai kehendak diberi, tak lama berselang antaranya, nasi terhidang di tengah rumah, berkata kakak guru, manalah kakak pindah duduk, nasi disendok minta dimakan, air di cawan minta diminum, kata saudara guru, maka menjawab si Rombok saat itu, setentang soal makan minum, saya tidak ingin makan, sebentar ini makan di rumah, perut masih kenyang baru, berjalanlah saya dahulu, maka dijawab oleh saudara guru, tidak elok Rombok menolak, nasi terletak menantikan, lelah bersoal jawab, mereka makan juga jadinya, sedang makan berunding juga, selepas makan dengan minum, langsung dibasuh tangan, dikunyah sirih sekapur, berkatalah si Rombok, pulanglah saya dahulu, lalu dialih tegak ke pintu, berjalan menghadap pulang, hati senang pikiran lapang, karena hati terlampau senang, setiba di halaman rumah, dilihatnya kiri kanan, tampaklah si Minah menjemput air, berkata mandeh kandung, ke
53
rumah kamu dahulu, ada pembicaraan nan rumit, kata mandehnya si Rombok, mendengar kata demikian, tersirap darah di dada, berjalan sekali ke rumah, karena takut dengan mandenya, Minah tidak membantah, kata mandehnya tidak disahuti, tidak terlihat muka mandeh, takut melawan mande, elok buruk dituruti, pantang ia menjawab, mande tensinya tinggi, kalau bertemu dengan nan buruk, ditahan dada menahan hati, mandeh tamak dengan harta, menggaruk untung dekat ke dada, membagi besar ke kita, asal si Rombok boleh, biarlah diumpat dicerca, perempuan tiada bermalu, tamak dan rakus, setelah itu berkata, mandeh kepada si Minah, saya ke rumah guru Dunia, meminta dia jadi minantu, junjungan anak kandung, ia bukan guru sembarang, guru kapalo mengaji, sesuai janji nan dibuat, runding nan diukur, tiga hari bulan di muka, kirakira lima belas hari, hari Jumat kita ke surau, pada hari itu ia pulang, mendengar perkataan mandeh kandung, menangis si Aminah, merah mata menahan tangis, ia tahu dengan guru itu, orang tua banyak istri, tiap kampung ia beristri, anak banyak berserakan, kalau dihitung istrinya, lebih dari tiga puluh, cerai di sini nikah di situ, angku guru rembang mata, hati tinggi melangit, orang disangka budak orang, oleh Aminah kata mandeh, tidak dijawab berjalan ke kamar, menangis menahan hati, mengenai guru Dunia, ia lebih tua dari bapaknya.
Sawahlunto berpagar kawat
Kawat sampai kedurian;
Kita muda bersuami gahat
harap murah pencarian.
Ke lurah ke Teruka
Mencari damar untuk minyak;
Karena ulah amai celaka
siMinah bersuami banyak.
Habis hari berganti hari, habis pekan berganti pekan, tiba dijanji nan diikrarkan, tiba harinya ramai orang di rumah, ada
55
memasak menggulai, ada menjahit memasang kelambu, tua muda besar kecil, terkembang tikar permadani, bantal bersusun di dinding, bantal bersulam berterawang, terkembang tirai langitlangit, berenda cerana tengah rumah, pada masa itu ke rumah, orang nan menanti tamu, nan datang duduk mengitari tengah rumah, tak terlalu lama antaranya, ke rumah angku guru, memakai baju berkerah hitam, di dalam baju leher tegak, bercelana tapak itik, sisamping bugis ungu, bersaluk deta ungu, seperti lareh dipandangi, pegiringnya nan muda-muda, memakai kain serba baru, tiba di rumah bersalaman, kunyahlah sirih di cerana, asap rokok bergulung-gulung.
Setelah duduk dihidangkan, makanan ke tengah rumah, lengkap hidangan enak-enak, cukup inti dengan pinyaram, pisang besar ajik gelamai, selesai hidangan diatur, tidak ada lagi nan tertinggal, maka menitahlah Pangeran, penitahan menawarkan makan, sembah menyembah masa itu, sama pandai keduanya, senang hati orang mendengar, selesai sembah menyembah, makan segala alek, nan datang dan nan menanti, selesai minum makan, maka dikunyah sirih sekapur seorang, oleh angku kali dibacakan, kutbah nikah kawin guru Dunia, dengan anak si Rombok, orang mendengar jadi saksi, selesai nikah engku guru, haripun berembang malam, rumah jauh akan diturut, meminta pulang nan mengantar, pulang ke tempat masing-masing, meminta dengan adat pasambahan, suara lantang bagus susunannya, sama pandai tikam menikam, sama mulia memuliakan, seorang bijak lagi jauhar, sembah berlega ninik mamak, selepas sembah menyembah, turunlah segala alek, tinggallah orang nan punya rumah, engku guru orang pandai, memahami ragam situasi, ia sadar dengan umurnya, pandai menenggang hati istri, orang terbiasa beristri banyak, maka diperlakukannya si Aminah, bagai menakar minyak penuh, tiap bulan mesti turun belanja, mengenai anak si Minah, anak berdua bersaudara, anak rancak keduanya, sungguhpun anak tiri, dianggap anak kandung, anak manja-manja keduanya, takut kepada bapak tiri,
57
susah guru Dunia membujuknya, tiap dibujuk anak lari juga, benci kepada bapak tirinya, bapak naik ke rumah, ia menghindar ke halaman, begitulah perangai keduanya, semasa bersuami Sutan Muntjak, sifat anaknya sudah begitu juga, dibujuk tidak terbujuk, makin dibujuk makin takut, banyak orang berbapak tiri, tidak serupa cucu si Rombok, tidak suka melihat bapak tiri, sementara bagi guru Dunia, sayangnya hanya dilahir saja, sementara dibatin benci luar biasa, sayangnya hanya di mulut saja.
Orang tak sayang di cempedak
Sayang karena ditampuknya;
Orang tak sayang di anak
Sayang karena diibunya.
Selang sebulan dua bulan, tibalah kiriman dari Riau, berkirim Sutan Jamaris, untuk anak si Minah, anak kandung Sutan Jamaris, beribu-ribu kiriman, masa itu pulanglah si Nudin, dari Riau seperantauan dengan Jamaris, kelihatan oleh si Rombok di halaman, si Nudin sedang lewat, maka dipanggil anak tersebut, anak bujang muda belia, disuruh naik si Nudin, naiklah anak muda itu, masa itu orang tidak ada, guru Dunia sedang mengajar, bertanyalah si Rombok ke si Nudin, adakah bertemu Sutan Jamaris, janda lama si Minah, bapak si Upik nan berdua, kata si Rombok menanyakan, menantu lamanya, mendengar kata seperti itu, gelak tersenyum si Nudin, anak muda suka bergunjing, pandai bertutur minyak air, kata melambung ke atas, suka bercanda bermanis orang, menjawab si Nudin setentang, kepada tuan Jamaris, ia bekerja jadi polisi, menjaga barang keluar masuk, batasan Singapura banyak orang menyeludup, membawa barang seludupan, banyak dapat uang sogok, bergaji seribu sehari, sudah kaya tuan Maris, banyak uang di bank, mengenai tuan Maris, keras hati tetap pikiran, tidak beristri seumur hidup, entah kalau kembali, kepada kakak Minah, bertemu anak nan berdua, dibuat rumah nan bagus, dipancang sawah ladang, untuk anak dengan istri, sejak dahulu saya katakan, tidak saya akan beristri, kak Minah seorang istri saya, bercerai dengan kakak Minah, biar membujang sampai mati, ia juga pantun orang
59
Ayam kurik rambaian tedung
Ekor menjalar masuk padi
Ambil tampurung berilah makan;
Dalam daerah tujuh kampung
Si Minah saja tepatan dihati
Nan lain boleh diharamkan.
Begitu kata si Nudin, bersungguh-sungguh serupa, begitu benar apa nan disampaikan, mendengar kata demikian, si Rombok sangat percaya, si Jamaris kaya raya, telah berkirim beribu-ribu, sampai tertebus sawah mandehnya, terbelikan perhiasan emas adiknya, uang datang dari Riau, setentang kepada si Aminah, mendengar kata si Nudin, tampak olehnya kata dahulu, tatkala ia bercerai, tidak salah kita berdua, salah dari amai kita, bercerai karena orang, akan hal si Minah, pada suaminya dahulu teringat juga.
Sepuluh kali ditampi
Namun berbedak terus juga;
Sepuluh kali suami berganti
Namun nan lama terkenang juga.
Susah rasa hati si Minah, teringat akan elok Jamaris, tetapi sungguh demikian, ditarimo garak Allah, sudah nasib dengan bagian, semenjak mendengar kata si Nudin, hati tiada senang lagi, dihasut anak dengan suaminya, namanya saja jadi guru, lazim guru penyayang, pengasih dengan anak kecil, entah apa nan diberinya, takut anak kepadanya, doa penakut diberikan, banyak orang berbapak tiri, tidak serupa dengan guru Dunia, bersayangan dengan anaknya, guru disindir dan dibanding, hati serupa bujang, tidak tahu ditua kita, begitu juga si Minah, duduk bermenung-menung sendiri, masa itu entah hari nan buruk, entah masa nan tidak baik, guru Dunia turun tangga, tidak sengaja anak dijanjang, terinjak tangan si Upik, menangis memekik-mekik, anak si Minah, sakit tangannya terinjak guru, si Rombok muncul dari dapur, berapalah belalak mata, dan keras suaranya, tidak elok guru begitu, mentang anak tidak berbapak,
61
dipijak saja anak kecil, anak saya berharap, guru dijemput tidak beranak, kiranya menyusahkan saja, menggangu guru di sini, mendengar perkataan mertua, merah muka guru Dunia, malu kepada orang, bermacam-macam kata si Rombok, mencari lantai terjungkit, agar bercerai dengan anaknya, nyata pikiran si Rombok ke Djamaris, terdengar bahwa si Jamaris sudah kaya.
Tidak lama antaranya, bercerailah guru Dunia, alangkah senang hati si Rombok, diminta surat cerai sampai idahnya, dalam pikirannya tiga bulan, surut kembali ke Jamaris, suami dahulu si Minah.
Tiada guna diruntih kacang
Elok dipilih satu-satu
Ambil saja nan berbunga;
Tiada guna direntang panjang
Elok dikumpar saja dahulu
Ambil saja manfaatnya.
63
BERANGKAT KE RIAUS
Setentang diri si Rombok, tiap bulan dapat kiriman, untuk anaknya si Minah, nan berdua, satu lelaki bernama si Naim, seorang lagi bernama si Rowani, anak rancak keduanya, serupa dengan mandenya, dalam umur lima tahun, nan besar tujuh tahun, anak bagaikan kembar, bermain berdua-dua, sering berpakaian sama, banyak orang nan sayang, andai bapaknya pulang, dapat melihat anaknya, betapa senang hati ayah, lama bercerai dengan anak, seketika teringat, oleh si Rombok terbit pikiranya, untuk membawa si Minah, serta anak berdua ke Riau, boleh bertemu dengan bapaknya, agar berbalik surut si Jamaris, sebelum ia beristri, kalau dinanti saja akan pulang, kapan dia akan pulang, elok diturut ke Tanjung Pinang, katanya si Rombok berkata sendiri, berpikir-pikir dalam hati, dibawa mufakat anaknya.
Hari berikutnya dipotong, ayam dua ekor dibuat, ajik dengan gelamai, untuk dimakan dijalan, dibuat dendeng balado, pada hari besok pagi-pagi, setelah bangun dari tidur, disusun segala bungkusan, bendi sudah menanti di halaman, berjalanlah Rombok empat beranak, kuda berjalan lari kencang, dituju jalan ke gedung, sesampai di gedung Bukittinggi, dicari mobil ke Pekanbaru, elok langkah masa itu, dapat mobil langsung berangkat, mobil besar mobil Pasisia, pukul dua o mobilberangkat, duduk si Rombok dengan
65
Minah, anak duduk ditengah-tengah, mobil berjalan siang malam, sesampai di Pasar Bangkinang, banyak orang turun naik, mana nan lapar turun juga, pagi-pagi pukul enam, mobil berjalan ke Pekanbaru, hari Senin tibalah di Pekan Baru, turun pula si Rombok di sana, dijunjung bungkusan di kepala, anak dibimbing satu seorang, dicari kedai tempat bermalam, sembari bertanya-tanya kepada orang, pada masa itu ada, orang muda dengan istrinya, manalah sutan nan berdua, kemana sutan hendak berjalan, rantau mana nan akan ditempuh.
Menjawab orang muda, maksud hati mau ke Riau, dengan kapal hari Selasa katanya, mendengar kata demikian, senanglah hati si Rombok, berkata mandeh si Minah, sama semaksud kita, saya hendak ke sana juga, bawa bersama saya oleh sutan, saya belum terbiasa, tidak pernah berjalan jauh, mendengar kata si Rombok, menjawab orang itu, turutkan saya oleh mande, kita bermalam di kedai, kedai besar pasar pusat.
Akan halnya si Rombok, merasa mujur mendapat kawan, pada malam hari itu, ia berbicara sambil berbincang, ditanya nama orang bujang, bernama si Bujang Ata, bergelar Sidi Ata, nan perempuan Upik Lepok, orang Sikapak Pariaman, pada malam semalam itu, tidak ada mata terlelap, ingatan hanya ke Riau, dua kali ayam berkokok, kokok ketiga hari siang, hari sudah sangat siang, terdengar bunyi orang di halaman, bangunlah si Rombok, bangun pula si Minah, dibawa anak membasuh muka, selesai membasuh muka, diminum kopi secawan, diminta katan goreng pisang, berkata Sidi Ata, manalah mande nan berdua, dibeli tiket kapal, mari saya tolong membelikan, mendengar kata demikian, diberi uang beli tiket, maka berjalan Sidi Ata, kira-kira pukul sebelas, dibawa tiket empat helai, berkata Sidi Ata, segera kita berkemas, usah kita berlalai-lalai, orang banyak akan berlayar, pada masa dewasa itu, berjalan masuk kapal, orang banyak keluar masuk, tiba di dalam kapal, dikembangkan tikar tempat tidur, dituruti saja Sidi Ata, tidak lama antaranya, kapal berjalan lagi, berlayar di Sungai Siak, hari Jumat tiba kapal, kapal menempuh laut basa, Sidi Ata membawa si Rombok, ke rumah gadang Tanjung
67
Pinang, tercengang saja si Rombok, di sana banyak orang asing, banyak di situ orang Cina, uang bertukar dengan uang dollar, maka berjalan-jalanlah si Rombok, dicarinya Sutan Djamaris, bertanya-tanya ke orang, berkata orang Padang, setentang diri Djamaris, ia sedang di dalam tahanan, kalau mande mau melihat, boleh dibawa ke kurungan, mendengar kata demikian, susahlah hati si Rombok, lunak segala persendian, uang banyak habis berjalan, berjalan berempat beranak, tibo pula di dalam tangsi, meminta izin ke tukang kunci, ada sebentar antaranya, bertemu Sutan Djamaris, tampak anak berdua, tidak tertahan rusuh hati, air mata berlinang-linang, anak berdua dipeluk, kata anaknya pulang kita, melihat anak dengan bapak, berpelukan pingsan Aminah jandanya, terkejut orang nan melihat, menangis anak berdua, dipeluk ayah ditangisi, orang melihat menangis pula.
Berkata Sutan Jamaris, pulanglah anak dahulu, usah anak menangis juga, berkata beriba hati, hancur hati masa itu, bagai kaca jatuh ke batu, hancur tidak baik lagi, si Aminah tahu akan dirinya, menangis bersedih hati, sedih melihat jandanya, rusuh pikiran si Minah, bermenung-menung sendiri, nan susah benar si Rombok, uang banyak habis, uang untuk pulang tidak ada, dilepaskan gelang dengan subang, dijual ke toko emas, kalau tahu akan serupa ini, haram saya pergi kemari, menyesal benar si Rombok.
Anak andung ketitiran
Anak barabah melompat-lompat;
Anak dikandung berciciran
Yang dikejar tidak dapat.
Pada hari berikut, bertukar akal si Minah, mata liar merah menyala, gila senyum-senyum saja, dilawan berbicara gelak juga, serupa orang kemasukan, melihat rupa demikian, hilang akal mandehnya, tidak tahu nan diperbuat, kita dalam rantau orang, tidak kemana akan bertanya,
69
Rumah gadang sembilan ruang
Selanja kuda berlari
Alangkah sakit badan sendiri
Bagai melihat langit tinggi
Pada hari berikut, terbuka perkara Jamaris, dalam kantor pengadilan, ditimbang perkara setelah itu, sudah disusun diperiksa, cukup segala tanda bukti, pagar makan tanaman, terang salah Djamaris, memakan uang sogok, mungkin sumpah bekerja, melanggar undang-undang pemerintah,dihukum dua tahun, teringat nasihat mande kandung, tatkala berjalan dari rumah.
Pitalah bunga Tanjung
Kedua Gunung Raja;
Tidak salah bunda mengandung
Salah di anak buruk minta.
Sejak dahulu dikatakan
Tidak diletakkan dalam padi
Diletakkan juga di pematang
Sejak dahulu mandeh katakan;
Tidak diletak dalam hati
Diletakkan juga di belakang
Badan kamu juga menanggungkan.
Bantal dahulu bantal Kuantan
Bantal kini lain rupanya;
Sesal dahulu pendapatan
Sesal kemudian tik berguna.
Kalau Jamaris lurus benar, gaji besar tiap bulan, berpangkat mantari, mantari polisi rahasia,
Mengenai si Minah, cemas rasa hati mandenya, semenjak berlayar dari Riau, sampai pulang ke Bukittinggi, mata liar membelalang, gila tertawa sendiri, menjelang sampai di rumah, mendoa-doa saja si Rombok, usah ada aral kendala, tiba di rumah
tambah menjadi, berdendang bernyanyi-nyanyi, tidak tahu dimalu, sudah gelak menangis, dicari obat anak, apa kehendak dukun, dicarikan bagaimana adanya, dua tiga orang telah mengobati, usahkan sehat malah bertambah, tergadai sawah dua piring, berobat anak kandung, dimana dukun nan pandai jauh dekat diturutnya.
Betawi, 13 Agustus 1927
Ringkasan cerita
suntingMengisahkan tentang si Rombok setelah kematian si Upik, Rombok dibawa anaknya ke Medan. Sampai di Medan si Rombok membuat masalah dengan menghasut anaknya untuk bercerai dari istrinya. Tidak hanya itu, Rombok juga memengaruhi anaknya Aminah untuk berpisah dengan Sutan Jamaris. Karena Rombok mengharapkan mantan suami si Upik, Sutan Sa menjadi suami Aminah. Namun, keluarga Sutan Sati malah menikahkannya dengan perempuan lain. Setelah bercerai dengan Aminah, Sutan Jamaris merantau ke Riau.
Setelah bercerai dengan Sutan Jamaris, Aminah tidak berminat bersuami lagi. Karena keras hatinya Rombok dan sangat gila harta, dinikahkannya Aminah dengan Sutan Muncak. Pernikahan itu dak bertahan lama karena Muncak hanya mempermainkan Aminah saja. Di Riau Jamaris bertemu dengan kawan lamanya Hasan Basri. Diceritakan semua pahit hidup setelah meninggalkan kampung halaman. Karena nasib baik diterima Jamaris bekerja di kantor jaksa sebagai juru tulis. Setelah dua tahun bekerja Jamaris diangkat menjadi polisi di Tanjung Pinang. Semenjak menjadi polisi banyak penyeludupan yang dapat ditangkap Jamaris sehingga ia diangkat menjadi mantari polisi daerah Riau.
Aminah kembali bercerai dengan Sutan Muncak, lalu Rombok kembali mencarikan suami untuk anaknya. Aminah menikah lagi dengan Guru Dunia yang menurut ibunya sangat baik. Kemudian Rombok mendengar kabar bahwa Sutan Jamaris sudah kaya di rantau. Karena Amai Cilako menurutkan hawa nafsu, bercerai anak kembali. Anak disuruh rujuk kembali dengan suaminya Sutan Jamaris. Berangkatlah Rombok dengan Aminah serta kedua cucunya ke Riau menurut bapak kandung. Tidak lama setelah itu, dapat berita kalau Jamaris sedang dalam tahanan karena banyak memakan uang sogok. Mendapat kabar seper itu menyesal Rombok datang ke Riau. Sedangkan Aminah sudah hilang akalnya dak dapat berpikir lagi. Akibat perbuatan ibunya selama ini.
BALAI BAHASA
PROVINSI SUMATERA BARAT