Amerta: Berkala Arkeologi 1/Bab 6
AMERTAMANTHANA
R. Soekmono
Yang dimaksudkan dengan amertamanthana ialah pengacauan laut untuk mendapatkan amerta. Amerta ialah suatu minuman yang menghindarkan tua dan mati pula yang dapat menghidupkan kembali yang telah mati. Amerta adalah minuman para dewa saja. Mula-mula terdapatnya dengan jalan mengacaukan laut, tiada bedanya dengan orang mengacaukan susu untuk memperoleh mentega. Ada pun tersimpannya di suatu tempat yang tak mungkin didatangi manusia atau siapa pun yang tidak diinginkan, sedangkan ular-ular naga penjaganya tak mengenal ampun dan kasihan . . . . .
Adapun cerita mendapatkan amerta itu, sebagaimana diuraikan dalam kitab Mahabharata adalah seperti di bawah ini:
Zaman dahulu kala sebelum ada manusia, dunia ini hanya didiami oleh dewa-dewa dan daitya-daitya. Para dewa tinggal di atas, di kahyangan. Mereka mewakili kebaikan dan jumlahnya tidak seberapa. Sebaliknya para daitya itu mewakili keburukan dan jumlahnya banyak sekali. Mereka tinggal di bawah.
Dewa dan daitya tidak dapat hidup bersama dengan damai. Mereka selalu bertengkar, sehingga Brahma Pencipta alam semesta khawatir kalau-kalau dunia ini akhirnya dikuasai kejahatan belaka. Maka dari itu semua dewa dipanggilnya untuk berunding di puncak Gunung Mahameru. Dalam rapat itu disuruhlah para dewa mengacau laut supaya dari pusatnya keluarlah amerta.
Para daitya mengetahui pula akan maksud para dewa itu. Oleh karena memang tenaga mereka dibutuhkan, maka diberilah izin mereka itu ikut serta mengacau laut.
Sebagai pengacau dipergunakanlah Gunung Mandara yang cukup kuat dan panjang. Memang gunung itu sangat luar biasa besarnya, puncaknya ada 11.000 yojana dari atas bumi, sedang kakinya sekian pula jauhnya terunjam dalam tanah. Dengan kekuatan bersama diangkutlah gunung itu dengan segala isinya, hutan-hutan, dan binatang-bintang ke tepi laut. Batara Wisnu menjelma jadi kura-kura yang amat besar dan berdiri di dasar laut akan jadi alas Gunung Mandara jika gunung itu diputar nanti. Batara Wasuki menjadi ular besar dan terlalu amat panjang, membelit gunung itu, ekornya dipegang oleh para dewa dan kepalanya oleh para daitya.
Dengan berganti-ganti para dewa dan daitya menarik ekor atau kepala ular itu maka Gunung Mandara terputarlah. Demikian air laut pun berputar juga. Suara mereka yang sedang asyik bekerja gemuruh luar biasa, seakan-akan membelah bumi layaknya. Air berhamburan kian kemari, ombak beralu-aluan merusak pantai. Ikan-ikan laut yang beraneka warna besar kecil serta hutan-hutan Gunung Mandara dan semua binatang yang ada di dalamnya terlempar jauh, terpelanting, dan beterbangan ke udara, untuk kemudian jatuh kembali di laut atau terdampar ke pantai. Gempa bumi tak berhenti-hentinya. Seluruh duni bergetar seakan-akan alam akan runtuh.
Semakin bersemangatlah para dewa dan daitya bekerja. Tak sedikit pun mereka menghiraukan sekaliannya itu. Mereka tetap terus bekerja!
Karena pergeseran yang terus menerus, Gunung Mandara menjadi panas dan air laut mendidihlah. Api keluar menyala-nyala dari gunung itu, menjulang ke langit, membakar segala tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang yang masih bertahan di gunung itu, asap bergumpal-gumpal membubung ke angkasa. Seluruh dunia menjadi gelap gulita. Pekerjaan memutar menjadi susah. Keluh kesah mulai terdengar dari para dewa dan daitya, kelelahan sudah mendekati putus asa ....
Datanglah Batara Indra. Dikumpulkannya semua awan, dilemparkanlah wajranya. Halilintar menyambar-nyambar memecahkan awan, guntur bergemuruh memenuhi angkasa, awan menjadi air, hujan turun dengan lebatnya. Air hujan yang menyejukkan dan menyegarkan itu tidaklah sia-sia. Para pekerja seakan-akan hidup kembali. Dengan semangat baru mereka melanjutkan pekerjaan yang maha dahsyat itu.
Air laut berubah menjadi keruh, lama-kelamaan menjadi seperti susu kental, akhirnya menjadi seperti dadih. Tetapi amerta belum juga keluar. Para dewa dan daitya bekerja terus, terus saja ... tetapi harapan akan pahala pekerjaan mereka itu semakin tipis. Masih jauh betul nampaknya hasil kerja itu! Maka satu demi satu mereka terpaksa meletakkan pekerjaan, lemah lunglai, habis tenaga, putus harapan. Akhirnya mereka bersama menghadap kepada Brahman, mengatakan tak sanggup dan tak kuasa lagi melanjutkan pekerjaan yang luar biasa itu.
"Hai, dewa dan daitya" kata Brahman, "janganlah terlalu lekas putus asa. Kuberi kepadamu sekalian tenaga secukupnya. Rendamlah Gunung Mandara di dalam laut dan putarlah sekali lagi. Memang amerta bukanlah sesuatu yang tinggal memungut saja. Tetapi percayalah amerta akan keluar juga. Pergilah sekarang lanjutkan pekerjaanmu!
Dengan semangat dan tenaga baru dilanjutkanlah sekarang pekerjaan mengacau laut itu. Selang beberapa lama timbullah dari dalam laut bulan purnama yang kuning keemas-emasan, berseri-seri menerangi dunia yang gelap gulita itu dengan sinarnya yang halus dan lembut. Sorak sorai menggegap di udara, tanda kegirangan dari mereka yang sedang bekerja kera. Hasil pertama sudah nampak, dan semakin giatlah mereka bekerja. Maka kemudian berturut-turut membubunglah ke atas: Sura, dewi anggur, penggembira kayangan; Laksmi, dewi kebahagiaan, yang diambil isteri oleh dewa Wisnu; Utjaihsrawas, kuda sembrani putih, yang menjadi kendaraan raja dewa; Kaustubha, manikan yang bercahaya-cahaya yang dapat menerangi seluruh alam, menjadi penghias dada Brahman sendiri; pohon Parijata, ialah pohon langit yang berbuah segala kekayaan, kebahagiaan serta kehidupan di seluruh dunia; dan beberapa barang lainnya yang sangat dibutuhkan untuk mengekalkan kekuasaan para dewa dalam melakukan kewajibannya melangsungkan hidupnya segala apa yang ada serta mengaturnya.
Paling akhir keluarlah dewa Dhanwantari, ialah tabib kayangan, dari dalam laut. Di tangannya ia membawa guci yang berisi amerta. Dan inilah yang sangat dinanti-nantikan, baik oleh para dewa maupun oleh para daitya. Karena semua yang telah keluar lebih dahulu telah diambil oleh para dewa, maka sekarang para daitya mengatakan bahwa yang akhir itu, amerta, adalah menjadi hak mereka. Sebaliknya maksud para dewa yang terutama ialah untuk mendapatkan amerta itu! Demikianlah maka timbul perselisihan yang hebat.
Di tengah keributan itu sekonyong-konyong keluarlah dari segala bagian Gunung Mandara hala-hala, yaitu bisa (racun) yang sangat berbahaya. Bisa itu makin lama makin banyaklah mengalir, sehingga dunia seluruhnya terancam bahaya akan musnah sama sekali olehnya. Para dewa dan daitya ternyata tak dapat berbuat sesuatu pun, mereka sendiri tak tahan baunya, mereka menjadi mabuk dan lari tunggang-langgang ..
Datanglah Batara Siwa. Dengan kesaktiannya diminumlah bisa itu seluruhnya. Dengan demikian lenyaplah pula marabahaya yang menggemparkan itu. Bisa itu ternyata tak berdaya apa-apa terhadap Dewa Siwa, tetapi terbakar juga agaknya tenggorokan Siwa itu. Sejak itu lehernya berubah warna menjadi biru, maka karena itu ia mendapat julukan Nilakantha, artinya yang berleher biru.
Sementara itu amerta telah jatuh ke tangan para daitya. Ketika para dewa menginsafi akan hal itu, timbullah kekalutan di kalangan mereka. Mereka ketahui benar apa artinya kehilangan amerta itu dan apa akibatnya nanti untuk dunia seluruhnya! Bukan saja jerih payah mereka akan sia-sia belaka, tetapi amerta di tangan para daitya berarti pula musnahnya para dewa! Perundingan yang segera mereka lakukan dengan tergesa-gesa tak dapat menghasilkan sesuatu apa. Tak seorang pun dapat tahu akal bagaimana mendapat amerta itu kembali dari tangan para daitya. Sedih bercampur bingung dan rasa putus asa terbaca di dalam mata masing-masing.
Datanglah untuk sekian kalinya pertolongan Brahma muncul di tengah mereka. Dengan cepat dan tenang ia menyanggupkan kembalinya amerta. Ia menjelma menjadi seorang bidadari yang sangat luar biasa cantiknya dan terbanglah ia pergi menemui para daitya. Dengan tari-tarian dan nyanyian berhasillah ia menipu para daitya. Dalam kemabukkan asmara dan rindu daitya-daitya itu lupa akan amerta, dan saat itulah dipergunakan oleh bidadari palsu itu untuk menyambar guci yang sangat berharga itu. Dibawanya guci tadi terbang pergi. Sesaat kemudian barulah para daitya menginsafi tipu muslihat yang telah mereka alami, tetapi sudah terlambat.
Sesampai kembali di kayangan guci amerta diserahkan kepada para dewa. Lekas-lekas para dewa itu berganti-ganti meminum air penghidupan, dan semenjak ketika itu mereka luput dari segala penyakit dan maut. Sedang mereka mengecap kenikmatan yang tak terhingga itu, tiba-tiba sang bulan berteriak-teriak memberitahukan bahwa di antara para dewa itu ada seorang daitya pula. Ternyata daitya ini sedang menempelkan mulut guci amerta itu kepada bibirnya. Segera Batara Wisnu mengangkat cakranya, dan dengan satu gerak terpenggallah kepala daitya tadi, terpisah dari badannya. Rahu, demikian nama daitya yang sial itu, ternyata sudah berhasil memasukkan seteguk amerta ke dalam kerongkongannya. Oleh karena itu kepalanya tak dapat mati. Maka sangatlah marah Rahu itu kepada bulan. Sejak dari itu ia selalu mengintai-intai musuhnya ialah Bulan, menunggu kesempatan untuk menelannya. Tetapi oleh karena tak ada badan, maka setiap kali ia berhasil menelan bulan, keluarlah bulan itu dari bawah kerongkongannya. Inilah yang oleh manusia dinamakan gerhana.Demikianlah cerita pengacauan samudera oleh para dewa dan daitya yang dapat menghasilkan amerta, sumber kekekalan hidup dewa. Seringkali Gunung Mandara itu disamakan saja dengan Gunung Mahameru. Gunung ini sebagai tempat bersemayam para dewa menjadi sangat suci, bahkan dianggap sebagai lambang dunia ini. Maka di Bali sampai kini terdapat di dalam pura bangunan yang lantainya sangat tinggi dan berdiri di atas kura-kura yang berbelit ular naga, sedangkan atap yang berwarna dan semakin kecil ke atasnya lazim dinamakan "meru".
Mengingat akan sangat pentingnya kedudukan Gunung Mahameru di dalam alam pikiran agama Hindu, maka sewaktu bangsa kita memeluk agama tersebut, selama zaman Hindu terasa sekali pula akan harus adanya gunung itu di negeri sendiri. Agama Hindu tak dianggap agama asing, dewa=dewa Hindu bukannya dewa asing melainkan dewa sendiri yang bersemayam di negeri sendiri. Demikianlah maka ada cerita di dalam buku Jawa kuno "Tantu Panggelaran" yang mengisahkan dipindahkannya Gunung Mandara atau Mahameru dari Djambudwipa (India) ke Yawadwipa (Jawa)., cerita yang sangat terkenal di Jawa. Adapun dongeng itu adalah sebagai berikut:
Zaman dahulu kala, sebelum negeri kita didiami manusia, Pulau Jawa sangat goncang karena terapung-apung di lautan. Usaha para dea untuk menetapkannya sia-sia saja. Maka mereka menghadap kepada Bhatara Guru.
"Hai, para dewa" ucap Bhatara Guru, "pergilah kamu sekalian ke Djambudwipa, pindahkanlah Gunung Mahameru ke Jawa agar nusa ini tidak lagi selalu digonceng".
Segera para dewa pergi ke Djambudwipa. Gunung Mahameru itu yang 100.000 yojana tingginya dan menjulang ke atas sampai ke langit, ternyata sangat luar biasa kukuhnya tertanam di dalam bumi. Dengan tenaga bersama berhasillah para dewa mengangkat puncaknya saja. Oleh karena itu sudah cukup beratnya untuk menahan pulau Jawa, maka ditinggalkanlah bagian bawah gunung Mahameru itu. Timbullah sekarang soal bagaimana mengangkutnya: Para dewa tahu akal Bhatara Wisnu menjelma menjadi ular, tak terukur besar serta panjangnya. Gunung Mahameru dibelit oleh ular tadi dan ditaruh di atas punggung kura-kura. Dengan demikian dapatlah sedikit demi sedikit gunung Mahameru bergeser dan pindah tempat.
Cerita selanjutnya mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi selama pengangkutannya ke Jawa, seperti: gunung menjadi panas sekali sehingga menimbulkan angin ribut yang kemudian diiringi hujan dan guntur; uraian bagaimana ramai dan gemuruhnya teriakan para dewa untuk mempersatukan tenaga; para dewa kehabisan tenaga dan tiada dengan pertolongan Bhatara Guru tidak dapat melanjutkan pekerjaannya; keluarlah racun yang mencelakakan para dewa; dan lain-lain sebagainya. Pendek kata peristiwa-peristiwa yang terjadi boleh dikata tidak berbeda dari amertamanthana.
Dengan demikian maka sesungguhnya di Indonesia ada dua cerita, ialah 1) penggunaan Gunung Mandara sebagai alat pengacau laut dengan kura-kura sebagai alat dan ular sebagai pembelit, dan 2) pemindahan Gunung Mahameru (yang disamakan dengan Gunung Mandara) dari India ke Jawa dengan menggunakan kura-kura sebagai alas dan ular sebagai tali.
Pada kedua gambar yang tertera di sini (peninggalan zaman Hindu yang berupa batu berukir dari Sirahkencong, Blitar dan bejana dari Pejeng, Bali) nyata dilukiskannya Gunung Mahameru beralaskan kura-kura dan dibelit ular sedangkan pun dewa-dewa dan isi hutan pada lereng gunung itu tidak ketinggalan. Hanya sukar untuk dipastikan apakah yang terlukis itu Amertamanthana atau pemindahan Mahameru ke Jawa.
R. Soekmono.