Amerta: Berkala Arkeologi 1  (1985) 
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Proyek Penelitian Purbakala Jakarta
Makam-Makam Islam di Sulawesi Selatan

MAKAM—MAKAM ISLAM DI SULAWESI SELATAN

V.R. van Romondt

Meskipun penyelidikan terhadap makam-makam para raja di Sulawesi Selatan oleh karena keadaan yang tak terduga terpaksa harus dihentikan sebelum waktunya, telah dapat terkumpul juga sejumlah besar bahan-bahan. Menyimpan saja bahan-bahan itu di dalam arsip-arsip Dinas Purbakala, di mana sudah terlalu banyak yang terpendam debu, akan berarti sangat mungkinnya bahan-bahan tersebut dilupakan atau hilang sama sekali. Maka dari itu di sini dimuat hasil-hasil yang telah diperoleh itu berupa foto dan gambar beserta uraian sekedarnya dari bentuk-bentuk makam yang aneh, yang pasti dapat dianggap pantas untuk dipelajari lebih lanjut.

Beberapa makam raja-raja dahulu dari Goa dan Tallo di sekitar Makasar telah diambil ukuran-ukurannya, sedangkan di samping itu telah dibuat foto-foto dari berbagai makam raja di Bukaka (Bone), Watallamuru dan lain-lain tempat. Meskipun banyak dari yang telah mangkat diketahui keterangan-keterangannya yang berdasarkan sejarah, namun masih harus ditunggu juga suatu sejarah yang panjang lebar tentang Sulawesi Selatan sebelum dapat diperdalam soal perkembangan dari bentuk-bentuk makam itu.

35. Makam La Mappaware Petta Matinroë ri laleng benteng di Wattlamuru.

Sebetulnya mendirikan kuburan atau pemakaman yang indah-indah adalah bertentangan dengan aturan-aturan aslinya bagi orang Muslim. Meskipun demikian sudah sangat segeralah orang mendirikan pemakaman-pemakaman yang sangat luas. Dalam hal ini di Indonesia orang tidak pula ketinggalan. Kuburan-kuburan di Jawa dari para Wali dan raja dari berbagai kerajaan semuanya didirikan secara besar-besaran dan atas dasar-dasar yang lazim untuk mendirikan tempat-tempat suci di dalam zaman Hindu. Di Sulawesi Selatan dasar-dasar itu tidak ada. Penjenazahan hanyalah berlangsung dengan jalan pembakaran mayat dan abunya ditanam dalam tempayan-tempayan dari tembikar. Sepanjang dapat diketahui maka tempat penanaman balubu-balubu itu tidak diberi sesuatu tanda.

Meskipun beberapa makam yang diuraikan di sini dikatakan berasal dari zaman sebelum Islam, namun rasanya sangat tidak mungkin bahwa pemberian bentuk yang demikian nyata corak Islamnya dilakukan oleh orang-orang kafir. Kebanyakan dari makam-makam itu berasal dari abad ke-17 dan 18. Dari makam-makam yang berbagai jenisnya itu dapat diambil kesimpulan akan bagaimana perkembangannya, akan tetapi jalan perkembangan itu tak dapat memperoleh kepastian dari sejarah. Bahkan sebaliknya bentuk-bentuk yang menurut jalan perkembangan sebagaimana disimpulkan tadi ialah bentuk-bentukyang terakhir, adalah dari makam-makam yang dianggap tertua. Ringkasan di bawah ini yang di dasarkan atas typologi atau diturutkan kepada bentuk dan ragamnya, semata-mata dihubungkan dengan seni bangunan dan — sekali lagi di sini ditegaskan sejelasnya — tidak dengan sejarah.

Makam-makam yang menjadi pokok uraian ini adalah makam Islam betul-betul dan pada hakekatnya tidak berbeda dari makam-makam yang terdapat di Indonesia seluruhnya dan sebagian terbesar dari dunia Islam. Jenazahnya ditidurkan miring ke kanan di dalam ceruk yang disediakan di sisi liang-kubur dengan mukanya dihadapkan ke Mekkah. Setelah ceruk tadi ditutup dengan papan atau anyaman, maka liang-kuburnya ditutup dengan tanah galian. Terjadilah di atas kubur itu semacam bukit tanah, dan itulah yang menjadi tanda tempat penguburan tadi. Sesuai dengan tempat, waktu dan kedudukan yang meninggal di dalam masyarakat, maka bukit itu dengan berbagai cara diberi bentuk yang kekal. Yang paling sederhana ialah dengan mengelilingi bukit tanah tadi dengan bingkai papan agar tanahnya tidak longsor, sedangkan satu atau dua tonggak ditaruhkan pada bagian kepala dan kaki. Pun jika bingkai itu diganti dengan batu untuk memberi corak yang lebih perkasa kepada makam itu, bentuk dasar tadi di Sulawesi Selatan tetap dipertahankan (di Jawa umpamanya seringkali kijing-kijing itu mempunyai bentuk tertutup, sehingga dengan demikian seakan-akan dibuatkan tiruan bukit kuburan dari batu yang telah dikerjakan sangat rapih dengan penampangan yang berbentuk trapesium). Kuburan-kuburan Makasar dan Bugis selalu batu nisannya ditanamkan dalam tanah atau kerikil.

Seringkali, tidak selalu — ada kalanya bahwa oleh karena sesuatu sebab kuburan itu tidak diperbolehkan diatapi — kuburan-kuburan itu diselubungi dengan cungkup. Di banyak tempat di Indonesia rumah-rumah cungkup itu dibuat dari kayu dan diberi bentuk menurut adat-adat setempat. Jika yang meninggal itu dianggap sangat luhur atau suci, maka atap cungkupnya meruncing seperti limas, tidak berhubungan, jadi seperti masjid dan langgar. Dengan meniru makam-makam Arab yang cungkupnya berkubah banyaklah didirikan cungkup-cungkup dari tembok yang berbentuk bujur sangkar dengan atap dari batu pula yang berbentuk bulat atau persegi dan runcing puncaknya. Di Sulawesi Selatan rumah-rumahnya berdiri di atas tonggak dan oleh karena itu sukar diambil sebagai contoh untuk membuat cungkup, maka yang ada cungkup-cungkup dari bentuk yang terakhir sajalah.

36. Makam Petta i Pao di Selatan Masamba.

Sedangkan pada umumnya kuburan-kuburan itu ada yang bercungkup dan ada yang terbuka saja, maka kita lihat di Sulawesi Selatan bahwa di sana telah terjadi bentuk kuburan yang merupakan kombinasi sangat luas dari jenis yang pertama dan yang kedua.

Kuburan yang tidak bercungkup menjadi berbentuk kijing sangat besar dengan banyak hiasan, menjadi sebuah keranda di atas alas yang tinggi. Di lain pihak kita lihat bahwa atap kubah dari cungkup itu memperoleh garis tampang yang semakin indah. Garis tampang ini akhir-akhirnya memberi bentuk keranda di atas alas, sedangkan di bawahnya terdapat sebuah bilik yang sangat rendah mempunyai pintu masuk yang sangat kecil. Dan di dalam kamar itulah terdapat kuburan yang sebenarnya.

Baik tentang asal bentuk garis tampang yang demikian itu maupun tentang sejarahnya mengenai jalan perkembangannya tidak ada diketahui sedikit pun. Namun mungkin juga untuk menunjukkan dengan jelas bagaimana jalan perkembangannya itu berdasarkan makam-makam yang kini ada. Dengan bahan-bahan yang dapat terkumpul selama tahun-tahun yang terakhir ini maka di sini akan dicoba menunjukkannya.

Salah satu dari jenis yang paling sederhana dari kuburan yang tak bercungkup itu kita dapati pada makam Kraeng Mandura di belakang mausoleum Aru Palaka di Bontobiraeng di dalam lingkungan tembok-tembok Goa dahulu. Di sini bingkai yang aslinya dari kayu telah diganti dengan batu menjadi semacam tembok keliling dengan sembir atas berupa sisi genta. Pada kedua ujung kuburan itu maka di atas bingkai batunya diberi tembok segi tiga, sebagaimana antara lain juga di Madura (bahwa kebetulan sekali di sini dimakamkan seorang raja dari Madura tidaklah memberi ketentuan terhadap persamaannya dengan kuburan-kuburan di Madura, yang di belakangnya mempunyai tembok segi tiga juga. Di Sulawesi Selatan sudah lazim bagian kepala dan kaki diberi hiasan). Di atas makam seluruhnya itu berdirilah dua batu nisan yang menurut perbandingan agak besar dan yang bentuknya mengingatkan kepada puncak-puncak Candi Jawa-Hindu, Di lingkungan pemakaman itu juga kita dapati makam Siti Hawa yang lebih halus dikerjakannya. Tembok-temboknya diberi sembir yang agak tinggi. Di pemakaman raja-raja Tallo dahulu di sebelah Utara Makasar 'kita dapati juga sebuah kuburan terbuka yang lebih bersahaja sedikit, sedangkan di pemakaman raja-raja di Watallamuru kuburan-kuburan yang demikian banyak terdapat.

37. Makam Tumenanga ri Papambatuna di Tamalate.

Untuk seorang raja lagi dari luar daerah ada didirikan kuburan di Tallo yang lebih berbeda lagi akan tetapi masih tetap menurut dasar-dasar yang sama. Makam Karaeng Jawaja itu ditaruh di atas alas yang besar dan berbentuk persegi panjang dan mempunyai tangga tiga tingkat yang juga tidak berukiran. Dengan demikian alas tadi merupakan sebuah batur sedangkan di atas batur itulah terletak makam yang sebenarnya. Makam ini tidak lain daripada perluasan dari jenis yang berbingkai kayu. Sebagaimana makam Karaeng juga maka bingkai tembok itu agak tinggi. Dahulu bingkai tembok itu dihiasi dengan piring-piring dari tembikar. Dari hiasan itu kini tinggallah lubang-lubangnya saja pada dinding-dindingnya yang agak serong ke dalam. Makam seluruhnya ini berdiri di atas alas yang dahulunya juga dihiasi dengan piring-piring, sedangkan di atasnya diberi lapisan penutup yang menyerupai bantalan terate tunggal. Makam yang banyak hiasan ukirannya ini juga mempunyai tembok-tembok lagi pada ujungnya sebagaimana biasa, sedangkan batu nisannya gepeng, hal mana memberi dugaan bahwa yang dikubur di situ adalah orang perempuan.[1]

Di dalam rangkaian makam-makam yang semakin luas susunannya dapatlah sekarang dikemukakan sebuah makam lagi dari Watallamuru, yang mungkin sekali adalah kuburan La Mappaware Petta Matinroe ri laleng benteng. Maka makam tersebut berasal dari permulaan abad ke-19. Bangunan di atas kuburan yang sebenarnya sangat lebih diperluas susunannya daripada makam-makam yang telah disebutkan di atas. Makam seluruhnya menyerupai peti mayat di atas usungan dengan dua batu nisan sebagai penutupnya. Alasnya yang bentuknya persegi panjang dan rata tembok-temboknya ditutup oleh dua bidang yang bersusun dan menyerong ke dalam. Di atasnya terdapatlah parallellepipedum persegi panjang yang bagian tengah dari sisi-sisinya menjorok ke dalam. Di atas usungan ini berdirilah keranda yang sangat menjorok ke luar yang garis tampangnya berupa sebuah birai tengah rata di antara perempat lingkaran dan sisi genta yang melengkung ke dalam. Di atas sekali terdapatlah kuburan yang sebenarnya, bentuknya biasa saja dengan bingkai dan tembok di atas kedua ujungnya. Dua buah batu nisan yang bentuknya bujur sangka merupakan mahkotanya. Dengan demikian maka makam ini menunjukkan suatu kombinasi dari kuburan yang terbuka dan yang berbentuk keranda.

Pun dengan cara lain bentuk jirat itu dapat ditinjau, ialah dengan mengambil kubang yang berbentuk kubah itu sebagai pangkal. Sebagaimana dapat dilihat pada pemakaman di Katangka yang letaknya juga di dalam lingkungan tembok-tembok yang sudah usang dari Goa dahulu, maka banyaklah kemungkinan-kemungkinan untuk memberi bentuk kepada bangunan-bangunan itu. Semuanya ditutup dengan jambangan dari tembikar, di antaranya dahulu ada indah sekali bikinan Tiongkok. Jambangan-jambangan atau periuk-periuk itu dianggap sebagai ingatan kepada guci-guci yang dahulu dipergunakan sebagai tempat menyimpan sisa-sisa dari yang telah meninggal. Sekarang yang meminta minat kita hanyalah bentuk dasar yang bersahaja itu dan perubahan-perubahannya dari bentuk atapnya yang menjelmakan bentuk jirat. Contoh yang baik dari bentuk atap yang sederhana ialah kuburan i sabo (kira-kira tahun 1600) di pemakaman di Tallo. Oleh karena atapnya agak melengkung seperti sisi genta dan puncaknya diperluas (makam Aru Timurung Matinroe ri TipuluE) sudahlah dimulai pemberian garis tampang yang bersusun dari atap itu (bolehlah di sini sekali lagi ditegaskan bahwa jalan perkembangan ini tidak berdasarkan sejarah. Makam ini dihubungkan dengan raja tersebut, maka agaknya berasal dari pertengahan abad ke-18).

Sebuah makam yang mungkin sekali lebih tua dan berasal dari permulaan zaman Islam terletak di sebelah selatan Massamba tidak jauh dari pantai ujung utara teluk Bone dekat Pao. Makam itu didirikan kira-kira pada akhir abad ke-16. Atapnya sudah mempunyai garis tampang yang sedemikian bersusun-susunnya sehingga bagian yang paling nyata tampil ke muka sudah beralih, dan lebih tepat disebut monumen di atas alas dari sebuah bangunan dipakai atap. Dari adanya pintu yang kecil saja di kakinya[2] dapatlah disimpulkan bahwa bangunan itu sebenarnya cungkup pula. Di atas alas yang rata dan persegi panjang dan yang di dindingnya ada dibuatkan pintu masuk, didirikanlah atapnya yang dibuat serba raya. Oleh karena bidang-bidang atapnya tidak sama serongnya maka atap itu dari persegi panjang menjadi runcing di atas. Penglihatan sepintas lalu memberi kesan seakan-akan makam itu berupa sebuah kotak bertutup dan berdiri di atas alas yang lebar. Bagian di pertengah sisi atap yang menonjol ke luar dan berbentuk setengah lingkaran dengan sebuah birai tengah yang rata, sudah agak menyerupai bentuk keranda, bentuk mana menjadi nyata benar pada jirat-jirat.

Kubang-kubang yang berbentuk jirat ini terutama didapatkan di pemakaman Raja-raja Goa dan para raja dahulu dari Tallo. Di tamalate kita jumpai 13 buah dari jenis itu, di Bontobiraeng dan Talli masing-masing dua. Dapat diduga bahwa pun di pemakaman para anggota keluarga raja dari Bone, keturunan Aru Palakka, di kampung Bontoala' di kota Makassar, terdapat makam yang semacam itu. Yang telah diambil ukuran-ukurannya ialah empat buah dari Tamalate dan dua-duanya dari Bontobiraeng. Dari jenis makam-makam ini yang masih paling utuh dan paling indah ialah makam raja Tallo dahulu yang bernama Tumenanganga ri Makkoayang yang hidup pada pertangahan kedua dari abad ke-16. ia adalah ayah dari i Sabo yang telah disebutkan di atas. Pada semua makam dapatlah dilihat bentuk kerandanya - meskipun selalu berbeda cara mengerjakannya - di atas satu atau dua bagian bawah yang selalu genting di tengahnya. Adapun alasnya lebih lebar daripada penutupnya yang berbentuk perempat lingkaran yang melengkung ke luar. Penutup berbentuk birai mahkota lurus yang laxim pada kebanyakan dari langgam-langgam itu tidak terdapat, sehingga memberi kesan berlebih-lebihan. Di dalam alas yang rata saja itu diberi pintu masuk ke dalam sebuah bilik yang bersungkup setengah silinder membujur. Pintu masuknya ditutup dengan papan yang persegi panjang dengan diberi sisi atas segi tiga.

Makam Tumenanga ri Parambatuna (hidup pada pertengahan abad ke-17) alasnya persegi panjang dan seperti makam Watallamuru ditutup dengan bidang-bidang yang miring dan mahkota birai perempat lingkaran yang telah disebutkan tadi. Hanya untuk makam ini ada disisipkan bidang miring yang menyangga bagian bawah dari jiratnya. Bagian gentingnya dinyatakan dengan cekungan di antara dua birai, sedangkan di atas dan di bawahnya ada menjorok dua bidang yang lengkung. Jiratnya sendiri
38. Ratubaka. Kelompok sebelah Barat.

mempunyai susunan birai-birai yang sama, hanya birai yang bulat dan menonjol ke luar ada sangat lebih kecil. Di atas bidang atasnya ada sepasang batu nisan yang menyerupakan ulangan dari nisan-nisan yang ada di atas kuburan yang sebenarnya di dalam ruangan dalam.

Akhirnya dapatlah dikemukakan bahwa dari pemberian bentuk yang telah diuraikan di atas itu lapiran-lapisan yang cembung dan birai-birai mahkota yang berbentuk perempat lingkaran tidak ada ditemukan di daerah-daerah lain di seluruh Indonesia. Asal dari pemberian bentuk yang demikian itu dan campuran dan campuran dari kedua macam makam itu untuk sementara belum dapat diperoleh kepastiannya.


V.R van Romondt

  1. Seringkali di Indonesia dipergunakan batu nisan yang persegi atau bulat untuk orang laki-laki dan yang gepeng untuk orang perempuan. Akan tetapi di Sulawesi Selatan perbedaan itu sering dapat dilihat dari keadaan bahwa di atas kuburan orang laki-laki hanya didirikan satu batu nisan sedangkan untuk kuburan orang perempuan ada dua.
  2. Makam itu sebagian besar digenangi air, sehingga tidak dapat gambaran yang lengkap tentang bagian terbawah ini. Akan tetapi orang-orang yang telah menjelma ke situ menyatakan bahwa pintu masuk itu ada terdapat.