Amerta: Berkala Arkeologi 1  (1985) 
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Proyek Penelitian Purbakala Jakarta
Berdarmawisata ke Batubara

BERDARMAWISATA KE BATUBARA

A.J. Bernet Kempers

39. Sebagian Pengikut-Pengikut Darmawisata.

Para mahasiswa dari Fakultas Sastera, Pedagogik dan Filsafat Universitas Negeri Gajah Mada dalam hal ini lebih beruntung daripada teman-temannya sesama mahasiswa di mana jua pun, yaitu bahwa mereka tinggal di tengah-tengah daerah yang sangat kaya dengan peninggalan-peninggalan purbakala. Karena itulah mereka dengan tiada kesukaran yang besar dapat senantiasa mengadakan darmawisata ke daerah-daerah di sekitarnya. Baik ke jurusan Borobudur, yang juga mempunyai sisa-sisa dari purbakala yang kurang terkenal, baik ke daerah Prambanan. Tetapi dengan jalan itu kemungkinan-kemungkinan belum habis semuanya. Pada tanggal 3 Juni 1951 darmawisata menuju ke dataran tinggi Ratubaka. Dengan kereta api kami pergi ke Prambanan, lalu dengan andong, kemudian berjalan kaki. Berhubung dengan itu maka kami akan menceritakan tentang peninggalan-peninggalan purbakala di situ. Tentu hal ini dapat berguna juga bagi para pengunjung lain, oleh karena tentunya setiap pengunjung sependapat dengan kami meskipun perjalanannya sendiri selalu sudah cukup menyenangkan pun tiada dengan keterangan, namun untuk dapat mengerti akan apa yang kita lihat, dibutuhkanlah sekedar penjelasan, dan untuk Ratubaka lebih daripada untuk tempat lain.

Jika kita datang dari Yogya dan sudah melalui jembatan Kali Opak sebelum sampai di Prambanan, maka sebelum sampai di Pasar dengan segera kita mengambil jalan ke kanan (selatan). Kita turutkan jalan itu, hingga kita sampai di daerah tepi gunung. Beberapa ratus meter lagi, kita sampai ke jalan kecil yang menuju ke atas. Jalan itu ialah jalan biasa dipakai oleh orang-orang dari kampung yang terletak di atas, jadi setiap orang dapat menunjukkan jika perlu.

Dari jauh kita sudah dapat melihat Ratubaka di atas puncak bukit tunas rangkaian pegunungan Gunung Kidul, yang menutup dataran itu di sebelah selatan. Sekarang tempat ini dapat. kita kenal dengan adanya kerekan, karena Dinas Purbakala sedang sibuk dengan pekerjaannya. Jika pekerjaan itu nanti selesai, maka bangunan-bangunan gapura yang sekarang sedang dibangun kembali dapat terlihat dengan jelas. Juga dari jarak yang jauh.

Jika kita telah naik melalui jalan kecil itu yang agak susah juga jika udara basah, pada bagian yang terakhir dari jalan itu kita harus mengambil jalan ke kiri, kita sampai di tanah yang berbukit, maka kita melihat di muka kita pada sebelah yang lain dari lapangan yang lebar dan datar, robohan-robohan Ratubaka sebelah barat. Ini hanyalah merupakan permualaannya, meskipun permulaan yang penting juga dari apa yang nampak. Ada tiga kelompok peninggalan zaman purba yang dapat kita kunjungi. Kelompok di sebelah barat ini yang merupakan semacam halaman depan; di sebelah tenggara sekelompok lagi yang di antaranya mempunyai batu-batu pendopo dan di sebelah utara dari itu kamar-kamar yang dipahatkan di dalam batu padas.

Ratu Baka ialah nama yang terkenal dari cerita-cerita kuno. Menurut salah satu daripadanya beliau adalah ayah daripada seorang raja puteri, yang menyuruh R. Bandung, pencintanya, membangun sebuah istana beserta seribu buah patung dalam waktu satu malam. Hampir dia berhasil, tetapi masih kurang sebuah. Sebagai hukuman, raja puteri itu dijadikan batu, dan Lara Jonggrang menjadi nama pula bagi kelompok candi yang besar di dekat Prambanan. Sebagai patung Durga, dia terdapat di dalam bilik sebelah utara dari Candi Ciwa itu. (Ada juga cerita semacam itu tentang Borobudur. DI dalam cerita itu raja putri menjadi salah sebuah patung Candi Medut).

Adanya tempat-tempat pengambilan batu di dekat kamar-kamar di dalam batu padas; sifatnya yang aneh daripada beberapa bangunan; daerah yang tandus dan terpencil, tempat istana itu dahulu; segalanya ini lebih menyalahkan daripada membenarkan dugaan itu. Kalau dahulu memang sebuah tempat kediaman raja, maka lebih mungkin tempat itu adalah kediaman yang dipakai untuk sementara waktu, sebagaimana halnya dengan pesanggrahan-pesanggrahan Sultan sesudah waktu itu. Tetapi barangkali penyelidikan yang lebih lanjut di daerah itu dapat memberi kepastian tentang hal ini.

Baik kelompok sebelah barat yang mula-mula kita injak pada daerah robohan ini, maupun kelompok di sekitar batu-batu pendopo, tidak jelas benar bagaimana susunannya. Mengenai yang pertama itu untuk sebagian disebabkan oleh pembinaan percobaan, yang disusun dengan batu-batu yang telah dipahati yang diketemukan di dalam tanah. Batu-batu ini nantinya akan ditempatkan kembali dan disusun lagi di atas dasarnya yang asli, dan sekarang hal ini sedang dikerjakan. Tetapi sekarang susunan percobaan itu masih terletak berjajar-jajar dan mengambil tempat sebagian besar dari lapangannya. Jadi para pengunjung tentunya juga tak dapat mengikuti perencanaan kembali dari denah yang kami muat di sini, sampai hal yang sekecil-kecilnya (gb. 38). Pada gambar perencanaan kembali (gb. 41) dapatlah ditanyakan beberapa penemuan baru yang belum dipertanggungjawabkan di denah itu.

Seperti telah dikatakan bahagian barat Ratubaka adalah semacam pelataran muka. Bentuknya persegi empat (III) dengan sisi-sisi yang panjangnya kira-kira 160 m, dan di mukanya di sebelah barat ada dua buah pelataran lagi yang kurang lebar (II dan I).

Pelataran II besarnya lebih kurang 170 x 20 m, dan pelataran I lebih kecil lagi. Pelataran III dikelilingi kotamara di atas sebuah parit yang lebarnya lebih kurang 1,50 m dan berdinding lapisan batu serta berlantai (No.3). Di dalam kotamara ini di sebelah selatan, tenggara dan barat daya diberi pintu-pintu gerbang kecil dengan tangga (ketiga-tiganya dijelaskan sebagai no.6), dan di sebelah barat terdapat bahagian yang paling belakang dari kelompok gapura yang amat besar (No. 5). Di sebelah utara dan timur pelataran III sebahagian besar dipahatkan dari dinding batu padas. Dan dinding ini diteruskan ke sebelah barat dengan sebuah tembok penyangga. Juga pelataran II yang letaknya lebih rendah dari III dan lebih tinggi dari I, mempunyai sebuah kotamara, yang bersambung dengan kelompok gapura sebelah muka (No.4).

Bagaimana jalannya kotamara ini serta dinding pelataran dan langkan itu selanjutnya ke selatan, belum dapat diketahui. Di muka kelompok gapura rupa-rupanya ada sebuah jalan landai (No.2) ke pelataran I.

Dengan istilah keraton yang modern kiranya pelataran ke-3 yang letaknya lebih tinggi (III) dapat dinamakan sitinggi, dan lapangan datar (A) di muka pelataran I dapat kita sebutkan alun-alun.

Yang menakjubkan ialah bangunan yang serba besar dari gapura-gapura: sebuah gapura yang berganda tiga, dengan tangga-tangga di mukanya (no. 4) yang untuk sebagian telah dibina kembali sekarang; sebuah gapura yang berganda lima (no. 5), dengan lima buah tangga dan semacam lorong. Tiga buah tangga menuju ke lorong itu. Pada sebelah belakang dari gapura yang mempunyai lima bagian ini ada tangga yang menurun, menuju ke pelataran yang ketiga (no. 4 dan 5) dahulu dihubungkan oleh semacam halaman, dengan dinding-dinding di sepanjangnya dan bangunan-bangunan gapura di sebelah kiri dan kanannya (?) (gb. 43)

Halaman ini terdiri daripada lima jalur yang diberi berlantai. Yang di tengah sendiri ialah yang tertinggi, dan yang paling luar kalau tak salah dahulu diisi dengan air. Semua ini adalah sebuah kelompok yang sangat besar, dan sebagai jalan masuk ke sebuah tempat suci atau tempat kediaman raja, di seluruh tanah Jawa tak ada yang menyamainya. Supaya dapat menyadari hal ini, kita harus memperhatikan gambar perencanaan kembali (gb. 43) ditambah dengan angan-angan sendiri karena segalanya itu terutama sekali masih ada dalam susunan percobaan di tempat itu. Bagaimana sisi-sisi gapura tengah yang lebarnya lebih dari tiga meter itu dapat dihubungkan dan apa mahkotanya dahulu, kini belum jelas. Gapura-gapura sisi diberi mahkota sisi-genta berganda tiga dan sebuah mercu puncak yang tampaknya sebagai benang-benang sari yang dilipat ke dalam dan berpucuk sebuah ratna. Sisi-sisi tangga juga bagus tampaknya.

Jika berdiri di belakang gapura tengah daripada no. 4 maka di dalam porosnya kita melihat Candi Kalasan di dataran rendah.

Di sebelah timur laut dari kelompok gapura ini ada sebuah bangunan aneh (no. 8): sebuah batur yang berlapiskan batu, sebuah tangga besar yang menuju ke atas dan di atas hanyalah kedapatan sisa daripada sebuah langkan, sedangkan di tengah-tengahnya sebuah perigi yang berlapiskan batu. Apakah itu dahulu gerangan? Yang memugar menduga bahwa tempat ini dahulunya mungkin sebuah pembakaran, karena di dalam perigi hanyalah didapatkan bekas-bekas pembakaran. Untuk sementara waktu hal ini masih menjadi suatu pertanyaan (gb. 44).

Masih ada suatu bangunan lagi yang berbangun batur tidak dengan tangga, dan kalau dahulu ada tangga, maka tangga itu dari kayu. Bangunan ini, yang juga mempunyai langkan terdapat pada pelataran II (no. 7). Di pelataran III di belakang gapura-gapura diketemukan umpak-umpak dan lantai-lantai dari bangunan-bangunan besar yang mungkin dibuat dari kayu. Pun didapatkan saluran air dari batu kapur. Di belakang "tempat pembakaran" peta menujukkan sisa-sisa dari sebuah kolam (no. 9). Petunjuk-petunjuk bahwa dahulunya ada tembok yang memisahkan bangunan-bangunan di sebelah utara dari III itu (gb. 41) barulah diperoleh setelah denah gb. 38 selesai dibuat.

Pekerjaan pada bagian Ratubaka ini telah dimulai pada tahun 1938. Meskipun dengan beberapa kali penghentian, selama waktu perang dilanjutkan juga. Kemudian tertunda lagi, dan sesudah penyerahan Yogyakarta telah dimulai kembali. Sebagaimana diketahui pekerjaan itu masih sedang dilakukan. Bersamaan dengan itu pada tahun 1950 telah dimulai penggalian penyelidikan di dekat batur pendopo yang besar. Ke situlah kita sekarang pergi.

Sebagian daripada halaman muka yang kita bicarakan tadi, di tempati oleh Desa Dawung. Supaya dapat sampai kepada runtuhan-runtuhan yang lebih jauh letaknya, kita melalui gapura sebelah barat (no.6) dengan perkataan lain: kita menaiki tangga pada bagian selatan daripada pelataran yang ada susunan percobaannya lihat potret rombongan kami, gb. 39 lalu mengambil jalan ke timur melalui kampung, kemudian memasuki lorong simpang ke kanan, maka dengan lekasnya (asal saja jangan mengambil jalan ke bawah) kita sampai batur pendopo.

Sebentar sebelum itu di lapangan sebelah kiri kita ada terletak 2 buah batu piagam yang belum ditulisi. Dari batur itu kita dapat dengan mudah melihat di sebelah timur laut dinding batu yang dipahat lurus, di dekat kamar-kamar yang dicerukkan di dalam batu padas.

Kesan kita yang pertama ialah sesuatu kekacauan yang sangat, yaitu: batu-batu lepas terserak di halaman, batu-batu yang ditumpuk-tumpuk seperti dinding-dinding di sepanjang jalan, pecahan-pecahan batu padas yang telah dikerjakan dan yang tidak, tanah-tanah ladang yang tandus.

Kesan yang kedua dan yang seterusnya pun tidak lebih baik daripada itu. Karenanya kami terpaksa tak dapat memberi keterangan sesuatu apa pun kepada para pengunjung tentang segala yang tidak keruan itu. Yang kita pakai sebagai pedoman ialah batur pendopo yang besar itu
40. Ratubaka. Denah Kelompok Sebelah Barat.
41. Ratubaka. Kelompok Sebelah Barat. Gambar Perencanaan Kembali.

(20X20m) dengan lantainya dari batu yang masih kelihatan bekas-bekasnya tempat tiang-tiangnya dari kayu.Uraian tentang parit,pagar keliling,gapura-gapura,”peringgitan" dan sebagainya di sekitarnya kami tangguhkan sampai penggalian penyelidikan Dinas Purbakala,.yang sekarang sedang sibuk dikerjakan ,telah selesai . Beberapa Patung,di antaranya sebuah patung Buddha,dapat kita lihat di tempat itu. Kita dapat turun ke tempat perigi yang dalam, dengan langkah=langkah serta gapura-gapuranya yang belum lama berselang telah ditemukan. Makara-maka yang bagus dan banaspati-banaspati dengan cakarnya yang menyerupai kaki,kita dapatkan pada perhiasannya. Juga di sekitar ini kita dapat menemukan gapura-gapura kecil,tetapi keadaan seluruhnya untuk sementara waktu belum jelas. Lebih ke sebelah timur masih ada lagi tempat peninggalan-peninggalan yang dinamakan ”keputren”. Di sampingnya ada sejumlah besar (sekurang-kurangnya 16 batu-batu yang bulat panjang dengan gambar-gambar binatang (gajah,singa,garuda ,merak,kuda) dan ceplok-ceplok teratai. Diduga bahwa barang-barang itu ialah alam daripada patung-patung Dhyani Buddha dengan binatang-binatang kendaraanya.

Sesudah peninjauan yang tidak memuaskan di ”keraton” yang sebenarnya ini ,kita kembalika ke tempat dekat pendopo,dari mana kita dengan mudah sampai kepada kamr-kamar yang dicerukkan di dalam batu padas itu. Seluruhnya da tiga buah ceruk,dua yang besar di atas,satu yang lebih kecil di bawah. Di dalam uraian-uraian dahulu ada dikatakan tentang patung-patung ,tetapi ini telah lama tidak ada lagi. Jika kita naik kebelakang kamar melalui tangga dan parit,maka kita menemukan di sana sisa-sisa daripad abangunan kecil yang sunggu tepat dinamakan Candi Bubrah.

Dari tempat trianggulasi dan tempat tinggi yang lain kita memputanyai pemandangan yang bagus ke dataran rendah,ke arah ”tempat keraton” dengan batur-batur pendopo dan ke arah kelompok pelataran-pelataran muka sebelah barat. Jika kita menhendakinya,kita dapat turun ke sebelah barat ,sehingga kita sampai ke tempat yang tidak jauh dari ”tempat pembakaran" (no.8).

Jadi kita telah lihat disini pelataran-pelataran muka,gapura-gapura sebuah ”tempat pembakaran”, batur-batur pendopo dan tempat-tempat
42. Ratubaka. Penampang Gapura-Gapura (no. 4 - 5).
43. Ratubaka, Denah Gapura-Gapura (no. 4 - 5).
44. Ratubaka, Tempat Pembakaran (?).

keraton yang lain, ceruk-ceruk di dalam dinding batu tempat-tempat penggalian batu, seluruhnya merupakan kombinasi bangunan yang aneh. Telah kita lihat juga sebuah patung Buddha, tetapi di Ratubaka ada juga diketemukan patung-patung yang bercorak agama Wisnu dan Ciwa, meskipun banyak patung-patung yang dahulu diwartakan, semenjak itu telah hilang. Dekat pendopo yang besar telah diketemukan sebuah prasasti ditulis dengan tulisan yang sama (prenagari) dengan prasasti Kalasan dari tahun 778 Masehi, yang terkenal itu. Tentu kedua-duanya berasal dari yang bersamaan. Nama Cailendra dari wangsa Jawa Tengah yang terkenal itu juga disebutkan di dalamnya.

Diketemukan juga prasasti dalam bahasa Sanskerta dengan tulisan Jawa kuno dari tahun 865 Masehi, yang membicarakan tentang pendirian sebuah lingga, jadi bercorak agam Ciwa. Kamar-kamar di dalam batu padas itu dahulu tentunya tempat-tempat bertapa untuk para pertapa atau raja yang mengundurkan diri dalam kesunyian. Tetapi tempat-tempat penggalian batu yang terletak di dekatnya dianggap sebagai tempat asal bahan-bahan batu untuk bangunan-bangunan dari zaman akhir Jawa Tengah di sekitarnya. Rupa-rupanya selama zaman Jawa Tengah ada berturut-turut berbagai macam golongan agama yang masing-masing mempunyai kepentingannya sendiri di Ratubaka. Tetapi lebih baik untuk sementara waktu kita menjauhkan diri dahulu dari pendapat yang pasti. Jadi tidak usahlah orang lain bersusah payah untuk membantah kita, dan kami juga tidak usah menariknya kembali sesudah beberapa tahun. Jadi kita turun sekarang, menuju ke jalan besar dengan perasaan yang belum puas, dan masih penuh dengan pertanyaan dan persoalan.

Dahulu kala pengunjung-pengunjung kalau mau ke Ratubaka, datang dari jurusan yang lain, yaitu dari sebelah utara. Lebih dahulu lagi, di masa orang mendirikan Candi Lara Jonggrang ada jalan yang sampai di tempat itu pada tepi gunung. Jalan itu dimulai dari gapura masuk Candi Lara Jonggrang dan dari situ lurus ke arah selatan. Sisa-sisa bangunan-bangunan serta patung-patung telah diketemukan di tempat yang terletak di antara candi dan bukit itu. Ini membuktikan bahwa dahulu memang ada hubungan lain daripada dalam cerita-cerita kuno saja, antara Lara Jonggrang dan Ratubaka.

(N.J. Krom, Inleiding tot de Hindoe-Javaansche kunst I, 1923, 244-6; W.F. Studterheim, Jawa 6, 1926, 129-35 dan Bijdragen Kon, Inst. 86, 1930, 302-5; Oudheidkundig Verslag 1938, 11-13, gb. 28-32; 1939, 14-15, gb. 14-18; 1940, 23, gb. 23-24; 1948, 23, 33-37, gb. 21-22).

A.J.B.K.