Amerta: Berkala Arkeologi 1/Bab 9

Amerta: Berkala Arkeologi 1  (1985) 
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Proyek Penelitian Purbakala Jakarta
Arca Buddha Perunggu dari Sulawesi

ARCA BUDDHA PERUNGGU DARI SULAWESI

Jessy Oey-Blom


Pada waktu mengumpulkan karangan-karangan yang tepat untuk penerbitan ini sebagai sambutan atas Pekan P.P.K> di Makassar,nampaklah sekali lagi bahwa jika dibandingkan dengan banyaknya peninggalan-peninggalan purbakala yang bersifat Hindu atau BUddha di Jawa dan dalam jumlah kecil juga di Sumatra dan Borneo. Sulawesi tidak menandinginya. Bukan saja bahwa di situ tidak ada bekas-bekas- Kecuali satu perkecualian yang akan ternyata di belakang——yang menunjukkan hubungan dengan India kuni, tetapi bekas-bekas yang menunjukkan pengaruh atau hubungan dengan pulau-pulau di sekitarnya pada zaman dahulu pun tidak ada . Sebabnya maka demikinin mungkin bertalian dengan jalan perdagangan di laut pada masa dahulu. Pada umumnya peninggalan-peninggalan Indonesia. Hindu hanya terdapat di bagian abrat kepulauan kita:Hal itu sebagian besar dapat kita terangkan dari kenyataan ,bahawa pada zaman dahuli jalan-jalan perdagangan antara Tiongkok dan India terutama melalu bagian itu,ialah melalui Pantai Timut Sumatra,Pantai Utara Jawa dan Kepulauan Sunda Kecil, dan kemudian mungkin kembali melalui Pantai Timur Sumatra,pantai Selatan Sulawesi dan Borneo. Di bagian timur dari Indonesia tidak ada bukit-bukit dari masa permulaan kolonisasi bangsa Hindu. Pada waktu-waktu kemudian hubungan bagian itu dengan peradaban Hindu terjadi tidak secara langsung ,tetapi sebagaimana nyata dari ketentuan-ketentuan sejarah terjadi melalui Majapahit. Sebagian besar dari peninggalan-peninggalan di daerah-daerah itu yang hanya sedikit saja sampai kepada kita,jelas menunjukkan pengaruh dari kebudayaan Jawa Hindu.

Karena itulah maka makin mengherankan pada tahun 1921 di Sulawesi tengah bagian barat didapatkan sebuah arca Buddha perunggu yang tidak menunjukkan hubungan dengan kesenian Jawa-Hindu,tetapi boleh dikatakan hasil kesenian India.Arca perunggu tersebut baru kita kenal pada tahun 1933 sejak itu tersimpan di himpunan benda-benda perunggu Musem Jakarta. Andaikata arca itu masih lengkap bagian ——bawahnnya mulai dari paha telah hilang —— ia akan termasuk golongan arca-arca terbesar yang utuh dari kumpulan itu,bahkan mungkin yang terbesar.

Arca itu didapatkan pada kaki sebuah bukit di tebing kanan sungai Karama dekat Sikendeng pada waktu orang membuat jalan. Suatu penggalian percobaan melalui puncak bukit itu untuk mencari bagian bagian Perunggu yang hilang dan bekas-bekas kediaman agama bBuddha yang mungkin ada di situ tidak membawa hasil. Yang didapatkan ialah tatah baru kecil dan pecahan-pecahan tembikar,yang ternyata berasal dari kediaman zaman neolithikum muda. Sayang sekali tempat itu tidak diseldidiki lebih lanjut.Selanjutnya dari ketnetuan-ketentuan yang sedikit itu tidak dapat nyata akan adanya hubungan antara perunggu itu dengan kebucayaan neolithikum yang didapatkan di situ >akantetapi meskipun ada gubungan itu, istilah neolithikum itu tidak seberapa artinya untuk mengetahui umurnya, sebab istilah itu hanya menunjukkan suatu tingkat kebudayaan yang pada
45. Arca Buddha dari Sulawesi.
umumnya di Indonesia berlangsung sampai jauh dalam zaman sejarah, ya, bahkan kadang-kadang masih berlangsung hingga sekarang. Tempat pendapatan kebudayaan neolithikum pada sebuah hulu sungai itu juga, di Kalumpang, kira-kira umurnya 600 tahun. Jika arca Buddha itu memang ada hubungannya dengan tempat didapatkannya, maka tempat itu harus lebih tua dari kebudayaan Kalumpang. Dan tentulah timbul pertanyaan pula, bagaimana arca itu sampai ke situ. Dari penggalian percobaan - itu tidak terdapat kesan bahwa di situ pernah terdapat sebuah kediaman yang — sebagaimana sifat arca itu — beragama Buddha. Lagi pula di sekitar tempat itu memang tidak ada terdapat bekas-bekas pengaruh Buddha sedikit pun atas pandangan keagamaan dan kebiasaan penduduk. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa adanya arca Buddha itu di situ disebabkan karena suatu hal yang kebetulan saja. Mungkin terbawa oleh sebuah kapal yang tersesat, kemudian entah mendapat kecelakaan entah bagaimana, sampai ke tempat itu. Jenis arca itu ialah yang sering dinamakan Dipangkara, pelindung para pelaut: hal itu pun memperkuat dugaan kita bahwa arca itu sampai ke tempat itu secara kebetulan.

Arca itu, suatu fragmen yang tingginya 75 cm, menggambarkan Buddha yang berdiri, berselubung pakaian rahib yang berlipat-lipat banyak sekali. Lipatan-lipatan itu dinyatakan dengan jalur-jalur. Pundak kanannya terbuka sedang pundak kirinya tertutup oleh selampai yang terus tergantung ke bawah menutup lengan kirinya. Mukanya bulat, mulutnya kecil dengan bibir yang tebal; usnisa di antara kedua alisnya tidak ada. Kepalanya tertutup oleh rambut ikal sebagaimana lazimnya. Pada tempat yang biasa kita dapatkan ubun-ubun yang dijadikan bonggol terdapat sebuah lubang yang bulat. Jadi bonggol itu dimasukkan ke situ sebagai suatu bagian atas tersendiri. Tangannya tidak ada, tetapi tidak karena putus, sehingga mungkin dulu dipasangkan sebagai bagian tersendiri pada lengannya dengan sebuah pasak. Caranya menggambarkan dan lebih-lebih jubahnya dengan jelas menunjukkan bahwa kita berhadapan dengan sebuah arca yang berasal dari luar Indonesia. Arca-arca dari jenis itu terdapat di beberapa tempat di Asia Tenggara, ialah di daerah Jember Selatan di Jawa Timur, K'orat di Siam Timur, dan Dong Duong di Annam Tengah. Juga arca Buddha dari batu yang terdapat di Bukit Siguntang dekat Palembang — meskipun agak lain jenisnya dan mungkin agak lebih tua — dapat kita masukkan ke dalam golongan itu. Semua-nya itu ialah arca-arca yang, meskipun ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain, juga dalam besarnya, dapat kita katakan sebagai perwakilan dari suatu aliran kesenian di India, ialah aliran kesenian Amarawati di India Selatan. Di sanalah terdapat berdampingan berbagai. cara melukiskan Sang Buddha, dan dari sanalah terjadi persebaran kebudayaan ke tempat-tempat yang lain. Tiongkok pun dalam lapangan seni kebudayaan mendapat pengaruh dari Amarawati. Waktu pembuatan dan kemudian waktu sampainya arca itu ke Sulawesi — dengan jalan bagaimana pun — ditaksir antara abad ke-2 dan ke-7 Masehi. Pada waktu itu jugalah terjadi persebaran pengaruh, kali ini pengaruh Hindu, dari bagian selatan India Selatan yang lain, ialah dari Kerajaan Pallawa, se-bagaimana terbukti dari peninggalan-peninggalan yang terdapat di berbagai tempat di Kepulauan Indonesia.

Meskipun sampai sekarang belum jelas, bagaimana caranya dan apa sebabnya arca Buddha itu sampai ke situ, namun Sulawesi mempunyai bukti pula, bahkan yang sangat indah, tentang adanya pengaruh India yang sejauh itu pada masa dahulu.

J.O.B.