Amerta: Berkala Arkeologi 2  (1985) 
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Proyek Penelitian Purbakala Jakarta
Nekara-Nekara Perunggu




NEKARA-NEKARA PERUNGGU


H.R. van Heekeren



Lama sebelum pengaruh-pengaruh Hindu yang pertama berlaku, di Indonesia berkembang suatu kebudayaan yang mutunya sudah agak tinggi. Kebudayaan itu, yang oleh para ahli prehistori disebut Kebudayaan Dongson, timbul kira-kira pada tahun 300 S.M. .dari penggabungan anasir-anasir Melayu-kuno serta Tionghoa di Indo-China. Lagipula ternyata dengan jelas bahwa kebudayaan Hallstatt di Eropa pun memberi banyak iuran kepada terbentuknya kebudayaan itu. Kebudayaan Dongson itu tidak lama sebelum tarikh Masehi tersebar di Indonesia sampai ke pantai utara Irian.

Suatu unsur yang penting dari kebudayaan itu adalah nekara perunggu. Nekara-nekara itu, yang acap kali indah hiasannya, sejak dahulu telah menarik perhatian para pengumpul barang-barang kesenian. G.E. Rumphius dalam tahun 1682 telah mengirim sebuah nekara yang asalnya tak diketahui sebagai hadiah kepada Groother-tog Toscane. Dalam tahun 1704 ia menulis tentang nekara yang termashur dari Pejeng di Bali. Dalam tahun 1883 sebuah nekara dipamerkan di Wina. Nekara itu adalah milik pengumpul barang kesenian Hans Wilczek yang dalam tahun 1880 membelinya di Florence. Asal dan artinya belum diketahui pada masa itu. Dalam tahun itu juga sebuah benda yang demikian, yang kali ini mempunyai katak di atas bidang permukaannya, terliha pada pameran internasional di Amsterdam. Payer, seorang Austria yang lama bekerja pada istana Raja Siam, mengenalnya kembali sebagai nekara yang berasal dari Asia.

Ahli ilmu kebudayaan A.B. Meyer dalam tahun 1884 menerbitkan sebuah karangan yang panjang lebar tentang 52 buah nekara, 40 di antaranya di museum-museum dan dalam kumpulan-kumpulan perseorangan di Dresden, Wina, Roma, Paris, London, Leiden, Calcutta, Jakarta dan Stockholm. Pun para ahli Sinologi seperti, F. Hirth, J.J. Groot, dan W. Foy mulai menaruh perhatian terhadap hal itu. Karangan Franz Heger yang klasik tentang nekara-nekara, yang terbit dalam tahun 1902, telah menyebutkan 165 buah, dan H. Parmentier dalam karangannya tahun 1918 menyebut tidak kurang dari 188 buah nekara. Sesudah itu masih ditemukan lagi berbagai pendapatan dalam lapangan itu. Terutama tahun 1937 adalah tahun yang subur yang banyak hasilnya, karena dalam tahun itu diketemukan nekara yang termashur dari Hoang-Ho di wilayah Tonkin serta juga lima nekara yang bukan main indahnya di Pulau Sangeang di sebelah timur Pulau Sumbawa.

Dari semua karangan itu antara lain ternyata, bahwa daerah tersebarnya nekara-nekara itu sangat luas, dari Mongolia Dalam, seluruh Tiongkok, India Belakang dan Indonesia, sampai di Kepulauan Kei. Pun ternyata juga bahwa kebiasaan-kebiasaan tentang perbuatan, pemakaian, dan pemujaan benda-benda itu dapat bertahan selama lebih dari dua ribu tahun, karena dalam buku-buku sejarah Tionghoa dari zaman Han telah disebut nekara-nekara yang dapat direbut dari orang-orang biadab "Man", sebelum permulaan
Perhiasan pada Bidang-Pemukul Nekara dari Pulau Kei.
tarikh Masehi. Berita-berita lain mewartakan bahwa nekara-nekara itu dipuja oleh penduduk Tiongkok Selatan yang bukan orang Tionghoa, seperti orang-orang Man, Mesu-tze, dan Lolo, suku-suku bangsa yang baru dalam tahun 41 M ditaklukkan di bawah Tiongkok untuk selama-lamanya oleh Jendral Ma Yuan. Pada peristiwa itu banyak nekara direbut, kemudian dilebur dijadikan kuda perunggu yang dipersembahkan kepada Kaisar Tiongkok. Ditaklukkannya suku-suku bangsa di Tiongkok Selatan, Tongkin, dan Annam Utara itu tidak menghalangi diteruskannya pembuatan nekara-nekara. Dalam tahun 300 M. .nekara-nekara itu masih dibuat oleh orang-orang Man. Untuk keperluan itu dibelilah mata uang tembaga di Kanton, kemudian dilebur dan dijadikan nekara, karena tembaga adalah bahan yang jarang terdapat dan berharga di AsiaTenggara. Ada juga beberapa nekara yang berangka tahun. Dalam kumpulan Tonang-fang, ada tertulis pada sebuah nekara: "tahun keenam dari pemerintahan Konang Wou Ti" (kira-kira tahun 30 M). Pada sebuah nekara di British Museum: "Dibuat oleh Chang-Fu dalam bulan ketujuh dari tahun keempat pemerintahan Chien Hsing" (kira-kira tahun 226M).

Dalam tahun 800 sebuah nekara dipersembahkan kepada kaisar Tingkok oleh negara Phiao yang berpenduduk orang Mon Khmer, dan kira-kira pada tahun 1200 nekara-nekara yang demikian itu masih terlihat pada orang Man Selatan yang digunakan sebagai genderang perang dan diwaktu persajian-persajian. Selama Dinasti Ming nekara yang demikian itu ditempatkan di atas puncak-puncak gunung dan bila nekara itu di pukul, maka rakyat datang berduyun-duyun. Pada kira-kira tahun 1700 di Kanton masih ada 10 orang yang membuat nekara: pekerjaan itu turun temurun dari bapak ke anak laki-laki. Pada kira-kira tahun 1800 Kanton masih menjadi pusat pembuatan nekara. Kini suku bangsa Karen Merah di Birma dan Siam Barat masih mempergunakan nekara itu, yang dipukul pada perayaan kematian seraya memanggil arwah-arwah yang dianggap berwujud burung. Pun di situ nekara itu dipergunakan sebagai semacam persajian, yaitu untuk menyajikan daging dan nasi. Masih ada berpuluh-puluh nekara yang dipergunakan, yang bentuknya ada dua macam: yang tinggi dan yang agak buntak. Dalam tahun 1894 negara-nekara itu masih dibuat oleh suku-suku bangsa Shan dan Inthas, yang tidak mempergunakannya sendiri melainkan menjualnya kepada orang Karen. Nekara-nekara itu di situ kebanyakan ditemukan berpasang-pasang, yang satu dengan katak-katak di atas bidang pemukulnya dan yang lain tidak. Di Birma yang pertama dianggap sebagai nekara laki-laki dan yang kedua sebagai nekara perempuan.

Dari uraian di atas nyatalah dengan jelas betapa kuat dan uletnya kebiasaan-kebiasaan itu dapat bertahan dari abad ke abad. Tetapi soal yang lebih penting lagi ialah: berapakah umur nekara-nekara yang tertua itu, tak terjawab oleh buku-buku sejarah. Dari dalam kuburan-kuburan di Dongson di Annam Utara telah ditemukan kira-kira 20 nekara, antara lain nekara-nekara kecil yang pasti hanya digunakan sebagai bekal kubur. Orang telah mengetahui bahwa pada berbagai peradaban terdapat suatu adat kebiasaan untuk memberikan bekal bekal kubur yang berharga, tetapi seringkali kebiasaan itu lambat laun berganti menjadi pemberian barang-barang tiruan yang tak berharga. Jika kita terima atas dasar yang kuat, bahwa permulaan kebudayaan Dongson bisa ditetapkan pada tahun 300 S.M. .maka nyatalah bahwa nekara-nekara yang tertua itu pasti lebih tua lagi, boleh jadi dari tahun 600 S.M. Anehnya baik Van Stein Callenfels maupun Heine Geldern, meskipun dengan melalui jalan yang berlain-lainan, sampai kepada pendapat yang sama tentang angka-tahun tadi. Dan nekara-nekara yang tertua itu asalnya ialah tiruan perunggu dari genderang perang kayu yang dipasangi kulit binatang.

Heger membedakan empat macam bentuk yang terpenting yang berlain-lainan, di antaranya nekara-nekara di Asia Tenggara. Bentuk pertama ialah yang terpenting dan boleh jadi dipakai sebagai bentuk dasar bagi yang lain. Selanjutnya terutama akan kita bicarakan bentuk yang pertama itu, karena hanya bentuk itulah (dengan beberapa kekecualian) yang tersebar ke Indonesia. Oleh karena itu bentuk tadi disebut oleh Victor Goloubew "le type migrateur par excellence". Bentuk itu selalu lebarnya lebih panjang daripada tinggi. Bidang pemukulnya yang lebar itu pada bagian tengahnya dihiasi dengan pola bintang yang bersinar 8, 10, 12, 14 atau 16 yang ditebalkan. Sekelilingnya ada lingkaran sepusat yang sempit dan yang lebar, yang dihiasi dengan hiasan-hiasan geometris seperti lingkaran
Nekara-Nekara dari Semarang, Jawa.
lingkaran kecil sepusat, lingkaran-lingkaran kecil yang dihubung-hubungkan dengan garis lurus, atau ikal, pola tangga, dan meander yang serong. Tetapi sebagai hiasan bidang ada juga lukisan-lukisan orang, hewan, dan rumah-rumahan yang naturalistis dan terutama lukisan burung yang merupakan burung bangau yang berparuh panjang yang hampir selalu terbang dari kiri ke kanan, jadi berlawanan dengan arah jalannya jarum jam. Di pinggir bidang pemukul kebanyakan terdapat empat ekor katak yang plastis, aada yang dianggap sebagai pembuat hujan. Badan nekara dapat dibagi atas 3 bagian ialah: bagian atas yang cembung dan tampil jauh dari bidang pemukul, bagian tengah yang berbentuk cylinder, dan bagian bawah yang melebar ke bawah. Pada bagian atas acapkali terlukis enam perahu berbentuk bulan sabit, dengan anak buah perahunya dan penumpang-penumpangnya yang terdiri dari orang-orang yang menyamar sebagai burung. Perahu-perahu itu membawa nyawa orang mati ke alam baka. Suku-suku bangsa Dayak seperti Ot Danum dan Olo Ngaju pada perayaan-perayaan kematian kini masih mempergunakan papan kayu yang berlukiskan gambar-gambar yang demikian itu. Seperti orang Batak, mereka masih percaya kepada adanya sebuah pulau gaib di tengah samudera, tempat kediaman nenek moyang telah meninggal; Pulau itu ialah pulau abadi; di situ orang tidak dapat mati.

Sebagaimana juga halnya di Indo-China, maka nekara-nekara di Indonesia adalah salah satu dari anasir-anasir yang teramat karakteristik bagi kebudayaan Dong Son. Nekara-nekara itu yang di Museum Jakarta diwakili dengan sekumpullan sekumpulan yang indah, semua termasuk dalam bentuk Heger I, kecuali dari Banten yang termasuk dalam bentuk ke-4, yang mungkin di masukkan dari Tiongkok, dan nekara Pajeng di Bali yang merupakan sebuah moko raksasa.

Anehnya ialah bahwa nekara-nekara yang tersebar dan terindah terdapat di bagian timur Indonesia, seperti di Bali, Salayar, Roti, Leti dan kepulauan Kai. Betul juga Museum Jakarta mempunyai kira-kira 12 buah nekara atau bagian nekara dari pulau Jawa antara lain beberapa buah yang indah, tetapi tak bisa mengimbangi nekara-nekara yang misalnya dari pulau kecil Sangeang atau dari Salayar. Dahulu di Cibadak ada tergali sebuah nekara kecil dari perunggu yang tak usah disangsikan lagi dapat dianggap sebagai bekal kubur. Tingginya hanya 91 mm. Dari Sumatera kita hnya mengenal 3 keping pecahan nekara yang sudah sangat usang.

Nekara terbesar yang pernah ditemukan adalah "Bulan Pejeng" yang termasyhur itu. Tingginya melebihi orang, ialah 1.86 m dan bidang pemukulnya mempunyai gari tengah di 18.0 m. Sejak dahulu kala nekara itu telah menarik perhatian orang. ?Dalam tahun 1704 nekara itu telah disebut oleh Rumphius, yang tidak lupa pula menceriterakan kepada kita pendapat orang Bali pada masa itu tentang artinya dan cara mereka menerangkan warna hitam kebiru-biruan dan nekara itu; demikian: "Die van Baly geloven vastelijk zoo helder schijnende, dat het de nacht verlichtee, doch las zeker Fielt op een tijd daar tegen aan piste, op dit licht gestoord zijnde, omdat het hem in zijn nachtelijke dieverijen belette, zoo is het van die tijd afverroest en donker geworden; evenwel heeft nooit de Koning van Baly het hert gehad dat stuk van zijn plaats te brengen of eits daar van afte kappen, maar heeft's zelver aldus ter gedagtenis laten laggen'.

Nekara itu masih saja dipuja-puja dan satu orang asing tak diperbolehkan melihatnya. Satu-satunya orang yang bisa memberikan uraian dengan baik dan bisa menggambarnya ialah pelukis seni W.C.J. . Nieuwenkamp. Ia menunjukkan perbedaan-perbedaan yang nyata dengan nekara-nekara yang lain, seperti: tingginya yang bukan main bila dibandingkan dengan lebarnya, bidang pemukulnya yang lebih besar daripada badannya, sehingga tampil 25 cm keluar, batas-batas yang sangat jelas dari bagian-bagiannya, tampang lurus dari bagian tengahnya, telinga-telinganya yang besar yang di tengah lebih lebar daripada di tempat hubungannya. Selanjutnya ia mengemukakan hiasan-hiasannya di antaranya kedelapan sinar di atas bidang pemukul, dan lain-lain hiasan lagi seperti garis-garis lekuk dengan lingkaran-lingkaran. Pula ditunjukkannya adanya empat kali dua lukisan kedok yang aneh dan indah pada badan nekara dengan telinganya terulur panjang; pada telinga itu terdapat perhiasan yang berbentuk mata uang, dan berhidung panjang. Walter Spies dahulu menemukan sebuah bagian dari cetakan batu di Manuaba di Bali yang digunakan orang untuk pembuatan nekara tipe Pejeng di tempat itu, meskipun dalam ukuran yang lebih kecil. Jadi nekara itu tidak dimasukkan ke sini
Perhiasan pada Bagian Badan Nekara di Sangean (Bima)


Perhiasan pada Bagian Badan Nekara di Pulau Kei
dari luar seperti perkiraan orang dahulu, melainkan itu adalah hasil pekerjaan dari negeri ini sendiri.

Dalam tahun 1937 oleh Kontrolir Bima (Sumbawa) pada waktu itu, S. Kortleven, dikemukakan lima buah nekara yang sangat menarik perhatian lagi indah dan juga sebuah bidang pemukul dari sebuah nekara lain, di pulau yang kecil dan tak begitu penting, ialah Pulau Sangeang atau gunung api dekat Bima. Tiga buah di antaranya terdapat di samping beberapa kuburan kuno di dekat suatu kampung tua. Nekara itu dipuja penduduk pulau itu serta dipergunakan mereka antuk memanggil hujan dengan jalan membalikkannya sehingga bagian yang geronggang menengadah ke atas.

Pun orang percaya dengan pasti bahwa dengan perantaraan nekara itu orang dapat menyebabkan kebakaran pada musuh pada jarak jauh. Nekara yang terbesar dan terindah yang akan kami uraikan sedikit panjang lebar, tingginya 835 mm dan garis tengah bidang pemukulnya beruktuan 1160 mm. Nekara ini disebut penduduk pulau itu "Makalamau". Nekara itu di sana sini rusak dan beberapa bagian dari badannya hilang, namun anehnya pada umumnya masih tersimpan baik-baik dan hiasan serta lukisan-lukisannya yang naturalistis yang ada padanya masih dapat dikenali kembali dengan jelas. Di tengah-tengah bidang pemukul ada sebuah pola bintang bersinar 12 yang ditebalkan. Sekelilingnya ada suatu lajur lebar yang dibagi atas empat lajur yang sempit. Dua lajur yang paling luar dihiasi pola tangga, dan yang paling dalam dihiasi lingkaran-lingkaran kecil yang dihubungkan dengan garis Lajur yang kedua dihiasi suatu barisan dari 20 burung berparuh bengkok yang terbang berturut-turut. Lajur yang ketiga dihiasi dengan sejumlah besar pola bulu burung dan pola mata. Di antara pola-pola itu ada empat bidang dengan digambari rumah-rumah bertonggak yang atapnya berbentuk pelana dengan dinding-dinding yang condong ke luar. Sebuah tangga berbentuk tiang terukir menuju ke atas. Di atas tangga itu berdiri seorang orang. Di depan rumah ada orang sedang menumbuk padi di dalam lesung yang berbentuk dandang. Di kolong rumah berjalan seekor babi, dua ekor ayam, dan seekor anjing. Lebih aneh lagi ialah gambar-gambar orang yang ada di dalam rumah itu. Mereka berjenggot dan memakai baju yang berbentuk genta. Mereka duduk bertimpuh. Salah seorang membungkuk dihadapan orang lain yang mengulurkan tangan untuk menerima sesuatu. Ada pula dua orang yang berlutut berhadap-hadapan, dan di antara mereka itu terdapat sebuah nekara. Gambar-gambar ini sangat mengingatkan kepada relief Tionghoa dari Dinasti Han dari tahun 200 Masehi. Pun cara mereka berpakaian dan duduk menunjukkan bahwa mereka bukan orang Indonesia, melainkan orang Tionghoa.

Lajur keempat dari bidang pemukul tadi terisi seluruhnya dengan meander yang serong dan pada lajur yang kelima kita melihat suatu barisan rapat dari 16 ekor burung yang menyerupai burung bangau berparuh panjang, sedangkan lajur yang keenam terhias pula dengan pola-pola geometris seperti lajur pertama. Akhirnya ada pula satu lajur yang paling luar yang tak terhias di mana terdapat empat ekor katak yang plastik di atasnya. Hewan-hewannya itu semuanya berjalan dari kiri ke kanan, jadi berlawanan dengan arah jalannya jarum jam.

Pun badan nekaranya dari bawah sampai ke atas dihiasi dengan hiasan-hiasan geometris perahu, hewan dan orang. Pada bagian yang tertinggi yang cembung tergambar antara lain enam perahu arwah yang berbentuk bulan sabit. Di kemudi berdiri seorang yang telanjang, dan juga di perahu ada beberapa gambar-gambar orang yang rupa-rupanya harus mewujudkan para pendayung. Tetapi mereka hampir tersembunyi seluruhnya disebabkan penuhnya pola bulu burung dan pola mata. Mereka adalah manusia burung, yang sedang pergi ke alam yang baka. Di samping dan di bawah perahu itu kita lihat gambar indah yang beraneka wama dari orang dan hewan, misalnya ada seorang prajurit yang gagah perkasa dengan pedang terhunus. la sedang berkelahi dengan seekor harimau, dan ia ditolong oleh seekor anjing yang menggonggong dengan marahnya. Kemudian kita lihat ikan-ikan besar, seekor kuda yang berpelana, dan seekor burung bangau besar. Seekor ikan besar dipatuk kepalanya oleh seekor burung.

Bagian tengah nekara itu dihiasi dengan bidang-bidang tegak dan mendatar dengan hiasan-hiasan geometris biasa. Di antaranya ada petak-petak atau pigura-pigura yang seluruhnya terisi pola bulu burung atau pola mata, yang di sini pun merupakan orang yang menyamar sebagai burung yang berganti rupa sampai menjadi " model yang tetap" dan tidak dapat dikenal kembali.

Bahkan kaki nekara itu juga terhias dengan lukisan-lukisan orang dan hewan yang indah. Kita melihat gajah yang dari muka juga dari belakang dinaiki orang, juga orang berkuda yang dengan tangan kiri memegang kendali dan dengan tangan kanan memegang pecut. Sebilah pedang bergantung mendatar pada ikat pinggangnya. Di hadapannya ada seorang prajurit lain, berpakaian baju panjang. Karena pakaian, kegagahan, dan wajah muka prajurit-prajurit itu lah maka Heine Geldern mengira bahwa mereka adalah orang Kushana atau orang Indo-saka. Gambar-gambar itu sangat menyerupai pada mata uang raja-raja Kushana dari tahun 100-300 M. dari zaman terjadinya perhubungan dagang dan diplomatik yang pertama natara orang Kushana dan negara-negara tetangga di timur. Maka tidak mungkinlah bahwa nekara itu dibuat di Sangeang atau di tempat lain di Indonesia, melainkan di datangkan dari Funan pada pertengahan abad ke tiga Masehi.

Di sini bukan tempatnya untuk menguraikan semua nekara-nekara dengan panjang lebar. Kita akan membatasi diri sampai beberapa pasal saja. Nekara nekara dari bagian yang paling timur di temukan pada tahun 1890 oleh C.W.W.C Baron van Hoevell di Pulau Kur dari Kepulauan Kai. Nekara-nekara itu ada di bawah pohon pegunungan dan pada masa itu telah rusak dan bagian bawahnya terpendam di dalam tanah. Ada dua buah yang terletak berdampingan, yang satu besar disebut penduduk '"laki-laki" dan yang lain, yang lebih kecil disebut "perempuan". Dalam tahun 1933 gezaghebber J.W. Admiraal mendengar bahwa nekara yyang kecil hampir rusak seluruhnya ditimpa oleh pohon yang tumbang. Dalam tahun kemudian ia sempat untuk memeriksa nekara itu sendiri. Pada wakti itu ternyatalah bahwa juga nekara yang besar sangat rusak. Orang menceritakan juga bahwa seorang "tuan minyak tanah" atau "tuan maatschappij" telah membawa beberapa bagian dari nekara yang besar itu. Barangkali bagian-bagian itu ialah yang kini ada di Zuricher Museum, yang diberikan oleh H. Steinmann. Penduduk tak keberatan bahwa tuan Admiral membawa bagian-bagian yang masih tinggal, dan kini ada di Museum Jakarta. Di pulau itu ada tiga buah dongeng tentang nekara itu:

  1. Nekara itu ditemukan beratus-ratus tahun yang lampau di pantai tenggara Pulau Kur, di Hirit. Nekara-nekara itu jatuh dari langit ketika pulau itu timbul dari laut. Kemudian nekara itu diangkat ke pegunungan, dan dahulu dipuja sebagai benda-benda yang sangat keramat.
  2. Pada suatu pagi orang menemukan 4 buah nekara yang dibawa oleh laut ke pantai di dekat Kampung Hirit sekarang. Penduduk Pulau Kai hendak menyembunyikan benda-benda itu. Orang mengikatkan tongkat-tongkat pada nekara-nekara itu untuk mengangkut mereka, tetapi nekara-nekara tersebut sedikit pun tidak terangkat dari tanah. Nekara-nekara itu memprotes dan mengaung: gaba-gaba. Tongkat-tongkat dilepas dan diganti dengan beberapa potong gaba yang kuat. Di atas gaba itu dua buah nekara dapat diangkut dengan mudah ke pegunungan, tetapi ketika orang kembali ke pantai untuk mengangkut kedua nekara yang lain, nekara-nekara itu telah membantu.
  3. Ketika orang Banda diusir dari pulau mereka oleh empat orang Belanda, mereka membawa juga empat buah nekara. Mereka mendarat di Pulau Kur, yang penduduknya pada masa itu masih memakai cawat. Mula-mula perhubungan mereka baik, tetapi tidak lama kemudia timbullah perselisihan-perselisihan yang kecil yang kemudian begitu memuncak sehingga orang baru itu meninggalkan pulau itu lagi, sambil meninggalkan nekara-nekaranya.

Nekara yang terbesar masih tersimpan dengan baik, Seluruh bidang pemukul masih utuh. Banyak hiasan sangat usang dan tak dapat dikenal kembali, tetapi kami berhasil juga mengenal sebagian besar dari perhiasan-perhiasan itu kembali. Menurut taksiran, nekara itu tingginya 870 mm dan garis tengah bidang pemukul berukuran 1135 mm. Di tengah bidang pemukul terdapat sebuah bintang bersinar 12 yang ditebalkan. Sekelilingnya terdapat lajur-lajur sepusat yang sempit dengan pola siku-keluang, meander-meander serong, dan lingkaran-lingkaran kecil sepusat. Di lajur kedua terlukis burung terbang dengan berparuh bengkok. Lajur ketiga berhiasan lukisan-lukisan orang yang menyamar sebagai burung dan dischematiseer, yang tak dapat dikenal kembali. Kemudian lajur lebar dengan suatu barisan burung terbang yang berparuh panjang. Lajur berikutnya dihiasi gambar-gambar pemburuan. Harimau-harimau mengintai menjangan dan sebaliknya orang memegang panah dan busur memburu harimau-harimau itu. Orang lain memburu menjangan memakai tongkat yang berlaso yang dilemparkan ke atas kepala menjangan. Cara memburu menjangan yang demikian itu masih kami kenali di Sulawesi Selatan. Bedanya ialah orang di situ selalu memburu dengan menunggang kuda sedangkan pada nekara ini terlihat orang-orangnya berjalan kaki. Gambar-gambar harimau yang terdapat begitu jauh di sebelah timur Nusantara menunjukkan pengaruh-pengaruh asing, mungkin pengaruh Tionghoa, karena binatang buas itu tidak ada di situ. Kemudian pada bidang pemukul masih ada lajur dengan meander serong dan akhirnya tiga lajur sempit dengan pola tangga dan lingkaran-lingkaran kecil sepusat. Di lajur keempat yang tak terhias dahulunya terdapat empat katak yang plastis, tetapi tiga di antaranya telah hilang.

Juga tentang badan nekaranya, masih dapat diceritakan meskipun banyak bagian-bagiannya yang hilang. Kecuali lajur-lajur sempit dengan hiasan-hiasan geometris seperti biasa, kita melihat di bagian atas harimau-harimau yang memburu menjangan. Kemudian barangkali ada enam perahu arwah yang berbentuk bulan sabit dengan penumpangnya terlukis di situ. Museum di Zurich mempunyai beberapa potong nekara yang berlukisan perahu yang berbentuk bulan sabit yang demikian itu. Haluan perahu berujung kepala burung yang distilir, buritan perahu berujung ekor burung. Kecuali pengemudi dan seorang di haluan serta beberapa anak buah kapal di bagian tengah kapal, maka orang-orang lain telah berganti rupa sampai menjadi pola bulu burung dan pola mata. Di belakang, di depan, dan di bawah perahu-perahu itu ada lukisan-ukisan ikan dan orang. Nekara Kur yang kedua telah sangat rusaknya sehingga sukar dikenal kembali hiasannya. Karena itu kami hendak mengakhiri karangan ini dengan mengeluarkan sepatah dua patah kata tentang nekara yang sangat besar dari Salayar, yang masih dipuja penduduk dan dipelihara oleh mereka dengan baik. Nekara itu tidak hanya nekara yang terbesar di Indonesia, kecuali nekara Pejeng, tetapi juga salah satu dari nekara-nekara yang terindah. Kecuali hiasan-hiasan biasa, ada pula di badan nekara itu lukisan-lukisan yang tak terdapat pada nekara-nekara lain, ialah: gajah, burung di pohon, pohon kepala, dan merak. Di sini pun jalannya hewan-hewan itu dari kiri ke kanan. Nekara itu tak begitu mungkin dibuat di Salayar tetapi tempat asalnya akan tinggal rahasia untuk selama-amanya.

Perbendaharaan-perbendaharaan seni dari zaman Jawa-Hindu selalu mendapat pusat perhatian ilmu pengetahuan. Tetapi perhatian untuk kebudayaan Dongson kini sedang tumbuh. Nekara-nekara ialah salah satu dari anasir-anasir yang penting juga.