Amerta: Berkala Arkeologi 2  (1985) 
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Proyek Penelitian Purbakala Jakarta
Peninggalan-Peninggalan Purbakala di Padang Lawas

PENINGGALAN-PENINGGALAN PURBAKALA
DI PADANG LAWAS

S. Suleiman


Peta Kepurbakalaan di Padang Lawas

Di dataran yang panas kering, yang kini hanya ditumbuhi alang-alang dan beberapa pohon di sana sini, di sekitar Sungai Panei dan Barumon, yang mengiris tanah Padang Lawas, nampaklah di hadapan pandangan runtuhan-runtuhan berbagai biaro yang menjulang tinggi. Daerah yang sunyi senyap itu, yang pada waktu ini tidak banyak di datangi orang, dahulu menjadi pusat agama dalam Kerajaan Panei. Biaro-biaro itu, yang dahulu dicipta sebagi syair pujian dari batu dengan puncaknya menjulang ke langit, kini masih berceritera tentang kemegahan kerajaan itu, tentang agama yang berkembang beberapa abad lamanya, dan tentang seni bangunan dan seni pahatnya, semua itu bukti-bukti yang nyata dari kebudayaan yang bermutu tinggi.

Kerajaan Panei itu dua kali disebut dalam sejarah. Untuk pertama kalinya, seorang raja dari India Selatan yaitu Rahendracola I menyebut Paneri (Pannai) dalam prasastinya tahun 1025 dan 1030, yang ditulis dalam bahasa Tamil. Prasasti itu dikeluarkannya ketika ia habis berperang dalam tahun 1023 dan 1024 dengan kerajaan Sriwijaya-Kadaram, yang menurut para sarjana letaknya di kedua belah pugak Selat Malaka. Setelah Rajendracola I itu menaklukan Sriwijaya, maka Pannailah yang jatuh ke dalam tangan Baginda. Kerajaan itu disebutnya "Panai yang diairi oleh sungai-sungai".

Untuk kedua kalinya Panei disebut dalam buku "Nagarakartagama", sebuah syair pujian yang dikarang oleh Prapanca, seorang pujangga yang menjabat pegawai tinggi untuk soal-soal agama Buda dalam keraton Raja Hayam Wuruk dari Majapahit, yang hidup dalam pertengahan abad ke-14. Panei disebutnya sebagai kerajaan yang termasuk dalam tanah jajahan Majapahit di seberang.

Para sarjana berpendapat, bahwa apa yang lazim disebut tanah jajahan itu, adalah sesungguhnya daerah-daerah yang pelabuhan-pelabuhannya tunduk kepada armada Sriwijaya atau Majapahit, sedangkan daerah pedalamannya dapat bergerak bebas. Maka kita tak boleh heran bahwa ketika Sriwijaya yang termashur itu berkuasa, ada disebut beberapa kerajaan lain dalam kedua prasasti Rajendracola I, yang menimbulkan kesan bahwa Panei disebut tersendiri sebagai kerajaan dan tidak sebagai propinsi Kerajaan Sriwijaya. Adanya biaro-biaro tinggi di pedalaman Pulau Sumatra, yang ternyata dibangun beberapa abad lamanya, membuktikan bahwa raja-raja pembina biaro-biaro itu dapat bertindak dengan bebas dalam daerahnya sendiri, sehingga mereka dapat memajukan agamanya dan kesenian, yang ternyata berkembang di situ. Dari adanya dan banyaknya bangunan itu kita dapat menarik kesimpulan yang lain, bahwa para raja dapat mengerahkan para pekerja, yang hanya mungkin dalam suatu masyarakat yang makmur, yang dapat membebaskan sebagian dari penduduknya dari pencaharian nafkah sehari-hari seperti: pertanian, peternakan atau perikanan. Kemungkinan lain ialah bahwa para raja itu menjadi raja-kesatriya yang sangat berkuasa dalam daerah yang luas, sehingga menggunakan tawanan-tawanan perang sebagai pekerja. Maka pembaca boleh membayangkan suatu Kerajaan Sriwijaya-Kadaram dalam tahun 1023, yang berkuasa di Nusantara, karena semua pelabuhan dan Selat Malaka dapat diawasi armadanya yang kuat itu, sehingga pelayaran dan perniagaan internasional ada dalam tangan Raja Sriwijaya. Tetapi di pedalaman berkuasalah kerajaan-kerajaan lain, yang kemakmuran dan kemegahannya bertopang pada kekayaan hasil pertanian dan hutan-hutan dan pada kekayaan buminya seperti tambang mas atau perak. Dalam pertengahan abad ke-14 Majapahitlah yang berkuasa di laut, tetapi di Padang Lawas masih saja biaro-biaro dibina, seakan-akan kehidupan rakyat Panei tak digetarkan oleh peristiwa-peristiwa politik di Nusantara, yang mengenai perebutan kekuasaan di laut itu.

Tidak diketahui bilamana Kerajaan Panei mulai muncul di muka bumi, tidak diketahui pula tahun keruntuhannya; hingga kini hanya dapat dikatakan bahwa dalam tahun 1030 Panei sudah ada dan dalam tahun 1365 masih ada juga. Maka dalam 3½ abad itu Kerajaan Panei berdiri dengan tegak dan rupanya pusat kerajaannya tidak mengalami pemindahan-pemindahan yang besar, karena biaro-biaro itu dapat didirikan dalam waktu yang lama yaitu antara abad ke-11 dan ke-14, pada tempat yang sama.

Sayang sekali bahwa pertulisan-pertulisan yang dapat ditemukan dalam halaman-halaman biaro tak menyebutkan nama raja-raja, karena pertulisan-pertulisan itu hanya mengenai hal agama dan angka tahun.

Masa Didirikannya Biaro-Biaro

Dr. Schnitger, seorang sarjana ilmu purbakala yang dalam tahun 1935 mengunjungi Padang Lawas, berpendapat bahwa biaro-biaro itu dibina bersamaan dengan stupa-stupa di Muara Takus, yang olehnya ditetapkan dalam abad ke-12. Professor Krom sebaliknya menentukan pembinaan stupa-stupa di Muara Takus itu dalam tahun 825, yaitu di zaman Cailendra. Dari

Biaro Bahal I - Candi Induk

Biaro Bahal I, Candi Induk.

pertulisan-pertulisan di Padang Lawas tidak akan ternyata bahwa biaro-biaro itu berasal dari abad ke-9. Pun dari pertulisan-pertulisan itu akan ternyata bahwa bangunan-bangunan itu didirikan tidak hanya dalam abad ke-12 saja, melainkan antara abad ke-11 hingga abad ke-14.

Sebuah unsur yang dapat mematikan masa didirikannya sebuah biaro adalah bentuk huruf yang dipergunakan dalam petulisan, karena bentuk huruf itu berbeda menurut kezaliman zamannya masing-masing. Bentuk-bentuk hurud itu mengalami suatu perkembangan, sehingga dari bentuk huruf itu seseorang sarjana dapat menarik kesimpulan dalam waktu mana pertulisan itu ditulis. Dua orang sarjana, yaitu Dr. Nosch dan Dr. Stutterheim, telah menyelidiki pertulisan-pertulisan dari Padang Lawas itu.

Di Tandihet, dalam biaro kedua ditemukan sebuah batu segi empat, yang bertuliskan tida kalimat tiada dengan angka tahun, tetapi bentuk hurufnya dapat ditetapkan dalam abad ke-12. Daei dalam bilik biaro Si Joreng Belangah, berasal sebuah pertulisan pada batu yang bertanggal Caka 1101-1179 M.

Dalam bilik biaro induk ditemukan pyla sehelai kepung emas yang bertulisan. Pada satu sisi terdapat tiga buah kalimat, dan pada sisi yang lain empat buah kalimat tertulis dalam huruf Praenagari, yang karena bentuk hurufnya dapat ditempatkan dalam zaman Majapahit (abad ke-14).

Di Aek Sankilon ada tertulis tujuh kalimat dalam huruf Nagari pada sekepung emas yang ditemukan antara batu-batu runtuhan dalam bilik biaro induk. Pertulisan ini dapat ditempatkan dalam pertengahan abad ke-14.

Pada sebuah tiang batu yang puncaknya berupa kepala Ganeça di Porlak Dolok ada tertulis beberapa kalimat dalam huruf jawa-kuno yang menyebut tahun 1245 M, dan beberapa kalimat dalam huruf India Selatan. Pada halaman Biaro Si Topayan terdapat dua buah lapik yang betulisan huruf jawa-kuno, yang bentuknya mungkin menjadi pendahuluan dari huruf Batak baru. Lapik-lapik itu yang dahulu barangkali menjadi lapik arca, masing-masing bertulisan beberapa buah kalimat. Yang satu mewartakan, bahwa orang yang bernama Hang Tahu Si Rangngit Kabayin dan seorang lain yang bernama pu Anyawarin membuat sebuah tempat kediaman untuk para dewa di bawah satu atap. Lapik lain bertulisan beberapa kalimat, yang mengandung sebuah candrasengkala, yaitu angka tahun yang di tulis sebagai kata-kata, yang masing-masing mempunyai nilai angka. Candrasengkala itu diterangkan sebagai angka tahun 1157 Caka = 1235 M oleh Dr. Goris. Dalam pertulisan itu dikatakan juga bahwa ada sebuah "byara" untuk seorang "Paduka Çri Maharaja". Tetapi sayang sekali nama raja itu tidak disebut.

Apakah hasil yang diperoleh para sarjana dari penyelidikan mereka atas pertulisan-pertulisan itu? Pertama angka-angka tahun yang telah kami sebut tadi, itu 1179M, 1235M, satu pertulisan dari abad ke 13 dan satu dari pertengahan abad ke-14. Kedua: suatu hasil yang negatif, yaitu bahwa nama-nama para raja pembina biaro-biaro itu tidak disebut. Hasil yang ketiga yang diperoleh dari penyelidikan itu ialah bahwa kini orang dapat mengetahui agama apa yang dianut para raja itu. Pengetahuan tentang agama itu dapat disimpulkan juga dari anasir-anasir lain, yaitu, arca-arca dan bentuk bangunan-bangunan. Soal itu akan kami bicarakan sekarang.

Agama

Bangunan bangunan kuno di Padang Lawas hampir semuanya terdiri dari biaro-biaro dan stupa-stupa yang berhubungan dengan agama Buda. Beberapa pertulisan dan beberapa arca membuktikan bahwa agama yang dianut di Padang Lawas adalah "Wajrayana", yaitu suatu aliran dari agama Buda yang mempunyai sifat-sifat keraksasaan. Aliran Wajrayana itu di Pulau Jawa dianut oleh Raja Krtanagara dari Singasari yang wafat dalam tahun 1292 M, dan di Pulau Andalas oleh Raja Adityawarman dari Melayu, yang hidup dalam pertengahan abad ke-14, dan di luar Nusantara di Bengala, Nepal, Tiongkok, dan Tibet.

Agama Buda yang asli seperti Hinayana dan Mahayana mempunyai sifat yang damai. Penganut-penganutnya tidak boleh membunuh makhluk lain, sekalipun binatang kecil seperti lalat. Dalam Hinayana orang dapat mencapai Nirmana, yaitu suatu keadaan bahagia yang berarti kebebasan dari kesengsaraan dan penjelmaan berkali-kali yang ditimbulkan oleh nafsu dan keinginan duniawi, yaitu sesudah orang itu meninggal. Dalam Hinayana itu para penganut masing-masing berusaha sendiri untuk mencapai pari nirwana itu. Sebaliknya dalam aliran Mahayana, seorang penganut harus berusaha agar menjadi seorang Bodhisattwa dalam inkarnasi (penjelmaan) yang lain, sehingga ia dapat membawa damai, yaitu agama Buda, kepada makhluk yang lain. Jadi kesempurnaan batin yang disebut pari nirwana itu mereka capai baru setelah berbuat dan berkelakuan dengan baik selama beberapa penjelmaan yang berikut-ikut. Dalam aliran Wajrayana yang termasuk aliran Mahayana, terdapat suatu pikiran yang penting, yaitu bahwa seorang penganut dapat mencapai kelepasan (moksa) itu dengan sekaligus dalam hidup ini juga, yaitu dengan memakai sihir, dengan bersemedi (yoga), dan memakai sihir, dengan bersemedi (yoga), dan mengucap-ucap rapal-rapal yang disebut mantra. Upacara yang terpenting dalam aliran itu adalah upacara Bhairawa, yang dilakukan di atas ksetra, yaitu sebuah halaman kuburan, tempat jenazah-jenazah dikumpulkan sebelum dibakar. Tempat itu tentu saja menjadi tempat yang sangat menarik untuk hantu, setan, burung hantu, dan makhluk-makhluk lain yang dapat menambah suasana yang mengerikan. Di tempat itu para penganut melakukan upacara-upacara yang rahasia. Tetapi dalam beberapa buku dapat diuraikan juga apakah yang dilakukan di situ, yaitu: bersemedi, menari-nari, mengucapkan manta-mantra, membakar jenazah, minum darah, tertawa-tawa, mengeluarkan bunyi seperti banteng. Beberapa raja melakukan upacara demikian juga, yaitu Raja Krtanagara dari Singasari, Raja Adityawarman dari Melayu, dan Raja Kubilai Khan dari Tiongkok, musuh Raja Krtanagara. Hal itu terbukti dari beberapa pertulisan dari Raja Krtanagara dan Adityawarman dan dari sebuah buku Tionghoa.

Seperti dikatakan di atas, beberapa tindakan yang dilakukan di ksetra itu ialah menari-nari dan tertawa-tawa, dan meniru banteng. Dalam pertulisan dari Tandihet, yang telah dibicarakan tadi, ternyata sifat kewajrayanaannya, karena beberapa kali bunyi tertawa itu ditulis :

"Wan wa wanwanagi
bukangrhugr
hucitrasamasyasa-
tunhahahaha
hum
huhuhehai
hohauhaha
omahhum"

Biaro Bahal I, Candi-Induk. Arca Penjaga Candi dan Makara pada Kanan Kiri Tangga.
Biaro Bahal I, Candi-Induk. Arca Penjaga Candi dan Makara pada Kiri Tangga.

Menurut Dr. Stutterheim, bunyi ha dan sebagainya itu adalah bunyi tertawa dan bunyi hu adalah bunyi suara banteng. Pertulisan itu, yang menurut Dr. Stutterheim dapat ditempatkan dalam akhir abad ke-13 atau dalam pertengahan abad ke-14, membawa kita justru ke Raja Krtanegara dari Singasari atau Raja Adityawarman dari Melayu. Tidak diketahui adanya perhubungan antara Krtanegara dan Padang Lawas atau Panei, atau perhubungan antara Adityawarman dengan Padang Lawas-Panai, tetapi yang terakhir itu mungkin juga karena daerah Minangkabau, yaitu pusat Kerajaan Melayi pada waktu itu, boleh juga dihubungkan dengan Padang Lawas dengan melalui jalan-jalan hutan rimba. Tidak

Biaro Bahal I, Candi - Induk. Lukisan-Lukisan Raksasa Pada Sayap Tangga Utara

mengherankan jika aliran Wajrayana itu yang rupanya menjadi suatu aliran yang sangat disukai raja-raja yang berkuasa pada waktu itu, dapat tersebar dengan melalui jalan-jalan di darat dan di laut.

Pertulisan dari Aek Sangkilon yang telah di sebut di atas juga menunjukkan pula ke arah wajrayana, karena mewartakan diupacarakannya sebuah arca Yamari, yang mempunyai 'delapan muka, dua puluh empat mata, dan sebuah untaian tengkorak. Yamari adalah suatu nama untuk dewa yang terpenting dalam aliran wajrayana. Sayang sekali arca itu tidak ditemukan.

Kecuali pertulisan-pertulisan itu, maka aliran wajrayana ternyata juga dari arca-arca. Dalam Biaro Bahal II ditemukan sebuah arca yang sangat rusak, tetapi bagian-bagiannya dapat dihubung-hubungkan lagi yang satu dengan yang lain, sehingga arca itu dapat dikenal kembali sebagai arca Heruka, yaitu suatu bentuk lain dari dewa yang terpenting dalam aliran Wajrayana itu.

Tadi kami sebutkan di atas sebagai salah satu perbuatan di ksetra dari para pengupacara, ialah menari dan minum darah. Maka tidak mengherankan jika seorang dewa yang terpenting dari wajrayana itu, seperti Bhairawa atau Heruka itu diwujudkan seraya menari di atas jenazah, sambil memegang sebilah pisau dalam tangan yang satu dan sebuah mangkuk tengkorak dalam tangan yang lain.

Bahwa beberapa raja suka diwujudkan sebagai Bhairawa itu, adalah dengan maksud bahwa mereka berlaku sebagai dharmapala, pelindung agama, yang dalam wujud yang menakut-nakuti itu, menghukum musuh agamanya. Raja Adityawarman dari Kerajaan Melayu dalam abad ke-14 diwujudkan juga demikian selaku Bhairawa; arcanya masih dapat dilihat di Museum Jakarta, yaitu arca yang terbesar yang berlapik tengkorak. Arca Heruka dari Padang Lawas tampak juga sedang menggerakkan kakinya di atas jenazah, dalam tangan kanan ia memegang sebatang wajra dan dalam tangan kirinya sebuah mangkuk tengkorak. Sebuah tongkat dijepitkan di bawah lengan kiri. Sebuah selempang tengkorak menghiasi badannya. Dalam sebuah buku Hindu yaitu Sadhanamala ada tertulis, bahwa seorang penganut harus membayangkan Heruka itu sebagai berikut:

"berdiri di atas jenazah dalam sikap ardhaparyanka (setengah sila) berpakaian kulit manusia, tubuhnya diulas abu, dalam tangan kanan sebuah wajra yang berkilauan, dan dalam tangan kiri sebuah khatwangga, berhiasan panji yang melambai-lambai, serta sebuah mangkuk tengkorak yang berisi darah: selempangnya berhiasan rantai dari lima puluh kepala manusia, mulut sedikit terbuka karena taring: sedangkan nafsu berahi ternyata dari matanya, rambutnya yang kemerah-merahan berdiri ke atas: arca Aksobya dalam mahkotanya dan anting-anting dalam telinganya, ia berhiaskan tulang manusia dan kepalanya berhiaskan lima buah tengkorak: ia memberi kebudhaan dan dengan semedinya melindungi terhadap mara-mara (setan-setan) di dunia”.

Arca Heruka dari Bahal II itu, wujudnya sesuai sekali dengan uraian tentang Heruka yang terdapat dalam buku Hindu itu. Yang usang sekali pada arca itu ialah khatwangga, yaitu tongkat yang seharusnya terdiri dari: cis atau wajra sebagai ujung, di bawah itu sebuah tengkorak putih, sebuah kepala merah seorang laki-laki tua, kepala biru seorang pemuda, sebuah wicwawajra, dan sebuah bejana amerta. Kemudian muka arca itu, yang kini sudah usang juga, harus berupa buas, yaitu dengan mata terbelalak dan bertaring bengkok yang keluar dari sudut mulutnya. Dalam rambutnya yang bernyala-nyala itu dahulu terdapat sebuah arca Aksobya kecil, yang kini telah hilang.

Dr. Bosch menunjukkan persamaan yang terdapat dalam khatwangga itu dan tunggal panaluan, tongkat sihir Batak yang ternyata baik dari susunannya, di mana kepala orang menjadi unsur yang terpenting, maupun dari sifat-sifat lainnya, karena baik ujung khatwangga, yaitu wajra, maupun ujung tunggal panaluan mewujudkan kilat dan kedua senjata itu digunakan sebagai pembinasa musuh. Juga sifat memegang khatwangga itu sesuai dengan sifat pemegang tunggal panaluan, karena keduanya dapat dianggap sebagai penyihir.

Dalam bilik Biaro Bahal II terdapat juga sebuah arca lain yang kecil, yang mewujudkan seorang Bhairawi yaitu seorang Bhairawa perempuan. Arca itu berambut keriting, beranting-anting bundar, berselempang untaian tengkorak. Tangan kirinya memegang sebuah mangkuk, tengkorak di hadapan dada, tangan kanannya di letakkannya di pinggang, seraya memegang wajra dan pisau. Kakinya berdiri di atas jenazah. Arca itu dahulu mungkin dihiasi selapisan emas yang ternyata dari lubang-lubang kecil sekeliling arca itu.

Halaman Biaro Si Pamutung menghasilkan juga dua buah arca yang merupakan sepasang Bhairawa-Bhairawi. Mereka mempunyai mata terbelalak, kening yang bentuknya sedemikian sehingga air mukanya menunjukkan amarahnya. Dari mulut mereka keluar sepasang taring. Tidak diketahui di mana sesungguhnya tempat kedua arca itu. Mungkin mereka bertempat di atas batur pendopo yang terdapat di depan biaro induk itu. Ketika diadakan penggalian, maka Si Pamutung yang namanya berarti Durhaka tak menghasilkan arca dari biaro induknya. Suatu hal yang ganjil ialah bahwa hampir semua arca yang dahulu menghiasi bilik-bilik candi-candi induk itu hilang atau mungkin belum ditemukan.

Demikianlah arca-arca yang dengan nyata menunjukkan ke arah wajrayana itu. Adanya agama Ciwa, yang rupanya dianut di samping aliran Buddha itu, ternyata dari sebuah arca Ganeca yang ditemukan di Aek Sangkilon. Orang-orang menduga bahwa kepurbakalaan di Bara juga dimaksudkan untuk agama Ciwa karena bangunan itu tidak mempunyai tubuh bundar, melainkan berbentuk empat-segi, dan payung yang biasanya menghiasi stupa tidak ditemukan di situ. Di dalam bilik terdapat sebuah persajian yang berhiasan ular naga yang dapat mengeluarkan air dari mulutnya, air yang ditumpahkan kepada persajian itu oleh orang-orang yang membawa sajian ke situ. Karena itu Dr. Schnitger berkesimpulan, bahwa bangunan di Bara itu bersifat agama Ciwa.

Patung Raja Adityawarman sebagai Bhairawa
Beberapa Hal Yang Istimewa.

Pada halaman biaro-biaro di Padang Lawas, tampak suatu persamaan antara yang satu dengan yang lain. Semua halaman itu rupanya tersusun menurut satu bagan yang tetap, yaitu, setiap halaman biaro itu dikelilingi tembok pagar dengan sebuah gapura di sebelah timurnya. Di dalam halaman biaro itu terdapat biaro induk di sebelah barat, dan sebuah batur pendapa di sebelah timur. Pada halaman tersebut biasanya terdapat beberapa bangunan yang lain pula, seperti stupa-stupa kecil, batur-batur, dan stambha-stambha, tetapi bangunan-bangunan lain itu letaknya tidak menurut bagan yang tetap, karena denah biaro-biaro itu semua berbeda yang satu dengan yang lainnya.

Bilamana seorang peminat hendak mengunjungi sebuah halaman biaro, maka halaman itu harus dimasukinya melalui gapura di sebelah timurnya. Tidak diketahui apakah gapura itu dahulu bertutupan atas dan berpintu kayu atau besi, yang lazim disebut "gapura tertutup”, ataukah menjadi candi bentar, yaitu "gapura yang terbelah”, yang tak mempunyai penutup atas, karena dari batu-batu yang ditemukan di situ orang tak dapat mengetahui kembali bagaimana bentuk gapura itu dahulu. Yang pasti hanyalah bahwa gapura itu di luar mempunyai dua buah tangga di sebelah kiri dan di sebelah kanan, dan di dalamnya hanya tampak satu tangga yang menurun. Rupanya batur segi empat yang terdapat di depan biaro induk itu harus disinggahi dahulu sebelum orang meneruskan perjalanannya ke biaro-induk, karena letak batur itu adalah tepat di antara gapura biaro induk dan pada semua denah yang didapati dari halaman biaro tersebut ternyata bahwa ada dua buah tangga yang menuju ke atas batur itu, yaitu satu dari sebelah timur dan satu dari sebelah barat. Fungsi batur itu tidak diketahui, tetapi mungkin batur itu menjadi tempat arca dewa juga atau tempat stupa kecil. Kelaziman membina batur di depan candi induk itu masih terdapat juga di Bali, untuk tempat arca atau untuk tempat upacara pendanda. Di Pulau Jawa kelaziman itu sudah ada dalam seni bangunan Singasari, yang ternyata pada halaman Candi Kidal, yang dibangun dalam akhir abad ke-13. Juga Candi Jawi dan Panataran yang dibina dalam abad ke-14 mempunyai batur-batur di depan candi induknya. Perbedaan antara batur-batur Padang Lawas dan batur-batur di Jawa Timur terdapat dalam bentuknya, karena batur-batur di Padang Lawas berbentuk segi empat, sedangkan batur-batur di Jawa Timur itu persegi panjang.

Jadi kita dapat membayangkan seorang peminat yang menaiki tangga batur di sebelah timur, yang kemudian menyembah kepada arca dewa yang terdapat pada batur itu, turun lagi dengan melalui tangga di sebelah barat dan baru sesudah itu dapat mengunjungi biaro-biaro induk.

Biaro-biaro yang terbesar di Padang Lawas adalah: Si Pamutung, Biaro Bahal I, II dan III, dan Aek Sangkilon.

Biaro-biaro itu terdiri dari dua buah batur bersusun, yang kemudian diikuti tubuh biaro yang segi empat yang selanjutnya ditutupi atap yang segi empat yang berpuncak stupa. Biaro-biaro itu memperlihatkan juga suatu perbedaan dalam susunannya masing-masing. Misalnya: Biaro Bahal I (di Padang Lawas terdapat tiga Biaro Bahal, yang terbesar disebut Bahal I), mempunyai atap yang berbentuk segi empat, dengan bagian atas yang berbentuk segi-delapan di mana terdapat relung-relung arca dan kemudian berpuncak stupa. Di Biaro Si Pamutung atap yang berbentuk segi empat terdiri dari dua bagian, pada bagian yang terbawah terdapat 16 stupa kecil dan pada bagian yang di atas 12 stupa. Dalam bagian teratas dari atap itu terdapat suatu lubang yang dalamnya 52 cm, yang mungkin dimaksudkan untuk memasukkan pasak dari stupa yang terbesar yang menjadi puncak biaro.

Di bagian teratas dari atap Bahal I ditemukan juga sebuah lubang yang demikian, yang dalamnya 30 cm. Diduga bahwa lubang itu tidak cukup dalamnya untuk memasukkan pasak dari stupa pusat dan mungkin dimaksudkan sebagai tempat penyimpanan benda suci, tetapi benda suci yang demikian itu tidak ditemukan. Hal ini mengingatkan kepada sebuah stupa di Muara Takus, yang berlubang juga. Lubang itu berisi tanah, potong-emas yang bertulisan, yang sayangnya semuanya an. Seperti telah dikatakan di atas, maka juga di Padang Lawas telah ditemukan beberapa helai mas yang bertulisan, yang sayangnya semuanya ditemukan antara runtuhan-runtuhan batu dalam bilik-bilik biaro, sehingga tidak dapat dikatakan dengan pasti dari mana asalnya helai emas itu.

Suatu bukti bahwa sebuah biaro berpuncak stupa adalah kalau di dekat kaki biaro ditemukan beberapa batu bundar yang berlubang di tengah, karena batu yang demikian itu dipakai sebagai payung yang tersusun tinggi di atas stupa itu. Baik di Bahal I, maupun di Bahal II ditemukan beberapa payung batu, yang terbesar garis tengahnya berukuran 1m.

Biaro-biaro yang terbesar mempunyai 3 tangga. Tangga pertama menuju ke batur pertama yang berserambi. Serambi itu ditutupi tembok rendah. Tangga kedua menuju ke batur yang kedua, yang juga memakai serambi, dan bertembok rendah pula. Tangga yang ketiga menuju ke bilik biaro. Di atas pintu bilik dahulu terdapat banaspati yang kebanyakan telah hilang. Hanya di Aek Sangkilon ditemukan sebuah banaspati terletak di atas tanah dan di Si Joreng Belangah juga. Semua tangga itu mempunyai lengan tangga sendiri berbentuk makara, yang dalam mulutnya memperlihatkan arca orang yang berpakaian kebesaran. Orang itu mungkin mewujudkan raksasa, karena wajahnya memperlihatkan keraksasaan. Matanya sipit dan mulutnya selalu tertawa. Mereka berpakaian kain panjang, yaitu sebuah kain yang menutupi bagian yang teratas dari paha, dan kemudian dilipat di tengah. Lipatan itu sampai ke tanah dan kemudian ditarik ke belakang antara kedua kakinya, dan akhirnya di selipkan ke ikat pinggang. Kain panjang yang demikian itu dipakai juga oleh raksasa yang menjaga tangga kedua dan ketiga, dan oleh beberapa raksasa yang tampak sedang menari dalam beberapa relief di Bahal I.

Orang-orang yang nampak dalam mulut makara itu, diwujudkan berdiri, membungkuk ke kiri atau ke kanan, atau bertekuk lutut. Hanya satu kali yaitu di Biaro Bahal II terdapat sepasang orang yang hanya diwujudkan bersetengah badan. Seringkali terdapat suatu asymetrie pada makara-makara yang berisi orang yang berpakaian kebesaran. Sebagai contoh dapat disebut: sepasang makara yang terdapat pada lengan tangga Biaro Manggis. Kedua makara itu berisi raksasa. Raksasa yang satu bertekuk lutut sambil memegang beberapa benda yang tak jelas nampaknya dalam kedua belah tangannya. Raksasa yang lain membungkuk ke kanan dan memegang gada dan perisai.

Arca Wajrassatwa dari Batu

Raksasa-raksasa besar, yang menjaga biaro-biaro induk, boleh dibagi atas: raksasa yang berdiri, membungkuk, dan bertekuk lutut. Raksasa besar memegang sebuah gada dalam tangan kanan Arca Wajrasattwa dari Batu nya dan tangan kiri diangkat mereka dengan jari penunjuk yang terangkat. Raksasa-raksasa yang besar itu seringkali memperlihatkan suatu asymetrie juga, misalnya di Bahal III ditemukan dua raksasa di dekat tangga pertama. Yang terdapat di sebelah utara bersandar pada sebuah gada di tangan kanannya dan tangan kirinya dengan jari penunjuk ke atas berada di depan dadanya. Raksasa yang berdiri di sebelah selatan memegang sebuah gada pada pundak kanannya sedangkan tangan kirinya bersandar pada pinggang kiri.

Batur-batur pendopo seringkali dijaga raksasa juga, dan makara-makara menghiasi lengan tangga batur-batur tersebut. Di Si Pamutung, pada tangga di sebelah timur dari batur pendopo, terdapat pada lengan tangga dua ekor buaya yang di situ menggantikan tempat makara.

Bilik biaro semua berbentuk persegi. Seperti telah dikatakan di atas, maka arca-arca besar, yang dahulu menghiasi bilik-bilik itu, jarang ditemukan. Hanya arca Heruka dari Bahal II masih ditemukan meskipun telah sangat rusak keadaannya. Yang perlu dicatat di sini ialah bahwa di dekat arca-arca besar itu terdapat sebuah arca kecil. Di dekat arca Heruka dari Bahal II ditemukan sebuah arca raksasa perempuan kecil seperti telah kami kemukakan di atas. Di Bilik Bahal III ditemukan sebuah lapik kecil yang mungkin sekali dimaksudkan untuk sebuah arca pula, yang sayang sekali telah hilang.

Di dekat bilik Biaro Si Pamutung ditemukan sebuah arca perunggu kecil menggambarkan Amithaba (seorang Buddha) yang tingginya 12,5 cm. Di Tandihet didapatkan sebuah arca Tionghoa kecil yang tidak berkepala, yang tangan kanannya memegang buku. Arca itu ternyata berasal dari Chekiang atau Fukian, mungkin dibuat di zaman Sung (abad ke-13).

Dinding luar biaro-biaro berhiaskan juga lapisan plester, dan di Biaro Bahal Ill dahulu terdapat selapisan plester. Lapisan plester itu dahulu melekat juga pada dinding bilik Sangkilon, Joreng, Pamutung, dan Bahal III. Para pemahat Padang Lawas adalah sangat sederhana dalam mengerjakan perhiasan-perhiasan bidang; sulur daun-daunan dan pola-pola yang sederhana menghiasi dinding. Relief-relief yang mengandung cerita sama sekali tidak terdapat pada dinding luar itu. Hal itu dapat disesalkan karena cerita-cerita yang demikian dapat memberi banyak bahan pengetahuan tentang kebudayaan di waktu pembinaan biaro-biaro tersebut. Yang kami maksudkan dengan kebudayaan itu ialah antara lain: pakaian orang, rumah-rumah, perabot-perabot, kendaraan-kendaraan, alat-alat musik, dan juga hal-hal yang mengenai agama seperti persajian-persajian.

Relief-relief yang terdapat pada biaro-biaro Padang Lawas itu hanya ditemukan pada dindingluar Biaro Bahal dan Pulo, yaitu wujud orang-orang dan hewan-hewan yang sedang menari. Tempat lain yang memperlihatkan relief orang atau hewan adalah beberapa stambha dan beberapa batu.

Papan-papan Biaro Bahal I yang berpahat itu, terdapat pada batur yang terbawah. Hanya 6 buah papan yang berpahatan itu yang dapat di temukan dalam keadaan baik Mungkin dahulu ada lebih banyak papan yang berpahatan itu. Keenam papan itu memperihatkan raksasa-raksasa yang sedang menari. Mereka semua berpakaian kain yang ditarik ke atas lutut, dengan suatu lipatan di tengah, yang sampai ke tanah. Sebagai perhiasan badan dipakai mereka: subang,gelang, kelatbahu, dan gelang kaki; dalam tangan kanan mereka pegang senjata dan dalam tangan kiri sebuah benda lain yang tak jelas tampaknya. Rambut mereka keriting dan mengelilingi kepala seperti api yang bernyala-nyala.

Relief-relief pada dinding batur Biaro Pulo memperlihatkan: seekor banteng yang bertubuh manusia, beberapa orang dengan mata terbelalak dan mulut meringis, dan seekor gajah yang bertubuh manusia. Semua makhluk itu berpakaian penutup aurat atau cawat yang berhiaskan bunga; sebagai perhiasan badan mereka memakai gelang kaki, gelang tangan, kelat bahu, kalung, upawita. Seorang di antara ketiga manusia itu memakai subang yang berbentuk tengkorak, yang lain mempunyai subang juga, tetapi berbentuk bunga. Kedua binatang yang bertubuh manusia itu tidak bersubang dalam telinganya.

Relief-relief lain tampak pada stambha-stambha yang ditemukan pada halaman-halaman biaro itu. Stambha-stambha itu merupakan biaro kecil dan mungkin sekali disembah sebagai biaro kecil juga. Di Pulau Jawa, kelaziman

Arca Batubdari Salihundanm.

Patung Lokanatha dengan Tara dari Gunung Tua

membuat candi kecil terdapat juga dalam seni bangunan Jawa Timur dari abad ke-14. Biaro atau stupa-stupa kecil di Padang Lawas mungkin bertempat di atas batur pendopo, karena di Sitopayan dan di Hayuara ditemukan batu lapik di atas batur pendopo.

Tidak diketahui apa sebenarnya maksud stambha atau stupa kecil itu. Sebagai perhiasan di gunakan banaspati-banaspati yang tak berahang bawah yang sedang menggigit untaian bunga, dan seringkali tidak menggigit apa-apa. Sebuah lapik stambha dari Si Holdop, memperlihatkan banaspati-banaspati dengan tangan kanan terangkat di sampingnya.

Banaspati yang menggigit untaian bunga itu mengingatkan kepada seni pahat Jawa Tengah, karena juga di situ banaspati tidak berahang bawah dan seringkali menggigit bunga atau untaian bunga. Banaspati-banaspati lain di Padang Lawas tidak menggigit apa-apa, rupa-rupanya tidak mempunyai rahang bawah juga; hanya pada sebuah lapik di Padang Bujur tampak sebuah banaspati yang berahang bawah sebagai perhiasan.

Sebuah stambha itu dahulu bertempat di atas lapik, yang berbentuk bundar, segi empat, delapan segi, yang mendatar atau yang menjadi bantalan teratai. Lapik stambha di Si Joreng Belangah memperlihatkan wujud-wujud orang; yang tampak adalah: seorang yang memegang sebuah benda, mungkin bunga, seorang laki-laki yang bermain kendang, seorang perempuan yang sedang duduk antara daunan atau gelombang, seorang laki-laki yang memainkan sebuah rejong, yaitu sebuah alat musik yang terdiri dari sebuah kayu yang pada kedua belah pihaknya dipasangkan gong dari perunggu. Kemudian terdapat seorang laki-laki yang sedang menari dengan tangan kirinya terangkat.

Tentang rejong yang kami sebut tadi, dapat dikatakan bahwa alat musik semacam itu ada juga terpahat pada sebuah relief batur pendopo di Candi Panataran dan pada sebuah relief di Candi

Arca Heruka dari Padang Lawas

Rimbi. Kedua candi itu bertempat di Jawa Timur dan dibina dalam zaman Majapahit (abad ke-14). Di Pulau Bali alat semacam itu masih terdapat, dan juga masih dimainkan. Anehnya ialah bahwa pada relief-relief di Jawa Timur dan juga di Bali, alat itu dipangku orang dan dipukul dengan dua batang pemukul, sedangkan pada relief di Padang Lawas rejong tersebut terikat kepada sebuah tali yang melingkari leher orang, yang dengan tangan kanannya memukul pencung gong, sedangkan tangan kiri diletakkannya di atas rejong itu.

Beberapa relief juga terdapat pada sebuah batu besar di Hayuara, yang memperlihatkan: seorang yang duduk dengan lutut terangkat; di atasnya terbang semacam widadara yang bersayap. Kemudian kita lihat seorang perempuan yang duduk dalam sebuah relung, di sampingnya terdapat seorang yang memandang perempuan itu. Selanjutnya tampak pula seorang yang duduk di tanah dengan seorang lain yang seakan-akan terbang di atasnya. Wujud kera terdapat pada sebuah lapik di Hayuara. Kecuali arca besar dan kecil dari batu dan pipisan-pipisan di Biaro Bahal, maka halaman-halaman biaro di Padang Lawas itu menghasilkan beberapa benda lain yang menarik perhatian juga, apabila dilihat dari sudut perhubungan yang terdapat antara Padang Lawas dan daerah-daerah atau negara-negara lain.

Sebagai contoh yang penting boleh disebut: sebuah arca perunggu yang mewujudkan seorang perempuan, setinggi 19,5 cm, yang ditemukan pada halaman Biaro Bahal I. Arca itu berkain yang berhiasan, tetapi dadanya telanjang, bergelang kaki, bergelang tangan, berkelat bahu, dan memakai sebuah kalung yang merupakan sebuah ”lus” pada dadanya. Rambutnya digelung, tetapi tidak memakai tutup kepala atau jamang. Karena bentuk dan langgamnya maka para sarjana menduga bahwa arca itu adalah buatan India Selatan, tetapi waktu membuatnya tidak dapat ditetapkan.

Sebuah arca perunggu lain ditemukan di serambi atas Biaro Bahal I. Arca itu duduk pada sebuah singgasana, dengan kaki kanannya dilipat di depan badannya, dan kaki kirinya tergantung dengan kaki terletak pada sebuah bantalan teratai kecil. Tangan kanannya patah, tetapi tangan kirinya masih utuh dan terletak pada paha kiri sedangkan lengan kirinya ditekukkan. Sikap duduk yang demikian disebut: lalitasana. Menurut para sarjana arca itu berasal dari India Selatan. Arca itu disebut Wajrasattwa, dewa yang penting dalam aliran Mahayana.

Dari arca-arca tersebut terlihat perhubungan antara Padang Lawas dan India Selatan. Sebuah benda yang menunjukkan juga ke arah India Selatan, ialah sebuah sandaran arca dari perunggu, yang terdiri dari semacam lengkung yang merupakan prabha dan puncaknya menjadi sebuah banaspati yang menggigit bunga. Kedua belah pihak lengkung itu terdiri dari makara. Ditengah-tengah lengkung itu terdapat sebuah bundaran. Menurut dugaan benda itu berasal juga dari India Selatan.

Bahwa arca-arca perunggu tidak hanya berasal dari luar negeri, melainkan dibuat di Pulau Sumatra juga, ternyata dari sebuah arca perunggu, yang dahulu kepunyaan Raja Gunung Tua, dan kini ada di Museum Jakarta. Arca itu bertanggal 1024 M., sepatah kata yaitu "barbwat” menjadi bukti bahwa arca itu dibuat di Sumatra dan tidak di Pulau Jawa, sebagaimana dikira dahulu karena beberapa corak yang mengingatkan kepada arca-arca perunggu di Pulau Jawa. Dalam pertulisan yang terdapat pada lapiknya disebut juga bahwa arca "Bhatara Lokanatha” itu dibuat oleh seorang pandai, yang bernama Suryya. Hal ini adalah suatu keistimewaan pula karena para seniman di zaman purbakala kebanyakan menjadi pencipta yang anonym, yang tidak menyebut nama mereka. Kata-kata lain yang tertulis pada lapik itu adalah "karena saya membuat amal yang menjadi kepunyaan seluruh umat manusia, maka saya dibuat masak untuk pengertian yang tertinggi dan sempurna”.

Arca itu, yang disebut Lokanatha atau Awalokiteçwara, tampak sedang berdiri di atas bantalan teratai yang besar. Ia memakai kain panjang dan perhiasan-perhiasan badan, kepalanya ditutup oleh sebuah mahkota tinggi. Tangan kanannya patah, tetapi tangan kirinya masih utuh. Di sebelah kiri dari arca itu duduk sebuah arca perunggu lain pada bantalan teratai juga. Arca itu mewujudkan seorang dewi yang disebut Tara. Di sebelah kanan dari arca Lokanatha itu terdapat sebuah bantalan teratai juga yang kini kosong, tetapi dahulu menjadi tempat duduk seorang Tara lain.

Apakah kesimpulan dari apa yang telah diuraikan di atas? Marilah kita buat suatu pemandangan ringkas dari apa yang telah dibicarakan tadi: Kepurbakalaan-kepurbakalaan di Padang Lawas mungkin sekali dibina oleh para raja dari Kerajaan Panai, yang dalam tahun 1024 telah menjadi kerajaan yang berkembang, dan dalam tahun 1365 masih berdiri. Tidak diketahui raja yang mendirikan biaro-biaro itu. Dari beberapa biaro dapat diketahui saat didirikannya bangunan-bangunan itu yaitu antara 1179 dan 1400. Mungkin biaro-biaro lain yang tak dapat ditentukan umurnya, dibina lebih dahulu daripada tahun 1179 itu, tetapi bahan pengetahuan untuk menetapkan anggapan itu belum ada.

Agama yang dianut di Padang Lawas adalah terutama agama Buddha, tetapi aliran Wajrayana, yang mempunyai sifat keraksasaan, terbukti dari arca Heruka dari Bahal II, sebuah arca kecil yang mewujudkan seorang Bhairawi, dan dua buah arca dari Pamutung yang mewujudkan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersifat bhairawa-bhairawi. Adanya wajrayana ternyata juga dari dua buah prasasti, yang satu dari Tandihet dan satu dari Aek Sangkilon.
Adanya agama Ciwa terlihat dari sebuah arca Ganeca yang ditemukan di Porlak Dolok, tetapi rupanya agama Ciwa itu tidak banyak penganutnya,

Biaro-biaro Padang Lawas itu mempunyai corak sendiri, sehingga orang cenderung untuk menyebut seni itu seni "Hindu-Batak”, yaitu analog dengan seni Hindu-Jawa. Corak yang tersendiri itu ternyata dari seni bangunnya, seni pahatnya, dan bentuk-bentuk makaranya.

Halaman biaro-biaro selalu mengikuti suatu bagan yang sama: yaitu bangunan-bangunan pada setiap halaman terdiri dari satu biaro induk, dengan sebuah batur pendapa berbentuk persegi di depannya, dan kemudian beberapa bangunan besar dan kecil lagi yang letaknya rupanya tidak usah mengikuti pembagian yang tetap. Bangunan-bangunan yang didirikan di samping biaro induk itu adalah stupa-stupa atau batur-batur atau stupa stupa kecil, yang terakhir mengingatkan pada candi-candi kecil yang dibangun di zaman Majapahit.

Juga raksasa-raksasa dan makara-makara mempunyai corak sendiri. Lagi pula tampak suatu asymetrie dalam perwujudan arca-arca itu. Seni pahat boleh disebut sederhana karena relief-relief hanya sedikit saja yang kita dapatkan. Pun hiasan hiasan bunga atau daun-daunan tidak terlalu meramaikan pemandangan pada dinding luar biaro.

Arca-arca besar yang dahulu terdapat pada bilik biaro itu jarang ditemukan, hampir semuanya hilang atau mungkin memang belum ditemukan. Suatu keanehan lain dari Padang Lawas ialah bahwa di samping arca besar itu dahulu berdiri sebuah arca kecil lain, yang terlihat dari beberapa temuan arca kecil dan lapik kecil di dekat atau di dalam bilik biaro. Pada halaman-halaman biaro itu masih ditemukan beberapa benda lain seperti arca perunggu, yaitu dari Gunung Tua ternyata dibuat di Sumatera sendiri. Walaupun temuan-temuan yang kecil itu dan juga prasasti-prasasti dari Porlak Dolok menunjukkan perhubungan-perhubungan dengan India Selatan, seni bangunan dan seni pahat mempunyai corak sendiri, dan tidak dipengaruhi India Selatan.

Demikianlah pandangan ringkas kita. Kesimpulan ialah, bahwa kepurbakalaan di Padang Lawas itu adalah sungguh menarik hati, dilihat dari sudut sejarah, ilmu keagamaan dan seni bangunan. Moda-moga peninggalan-peninggalan purbakala itu dapat diselidiki lebih lanjut di kemudian hari, agar bertambah pengetahuan kita tentang kemegahan dan kejayaan dari kerajaan yang dahulu berkembang di sekitar Sungai Panei dan Barumin itu.
Candi Gebang