Amerta: Berkala Arkeologi 3  (1985) 
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Proyek Penelitian Purbakala Jakarta
Bab II



Bab II
KISAH HARIAN


1. Daerah Palembang.

Senin, 1 Maret 1954

Kami berangkat dari lapangan terbang Kemayoran pk. 11.30 dan tiba di Talangbetutu pk. 13.15 (12.45 waktu Sum–Sel). Datang menjemput kami Sdr. R. Moh. Saleh, Kepala Perwakilan Jawatan Kebudayaan Propinsi Sumatra Selatan di Palembang. Dari padanya kami mendapat berita, bahwa power-wagon yang dimintakan oleh Kementerian P.P.K. kepada Gubernur Sumatra Selatan (tiga buah) guna keperluan perjalanan kami ketiga jurusan memasuki daerah pedalaman, tidak dapat disediakan oleh karena tidak ada. Juga bahwa Gubernur tidak dapat menerima sendiri rombongan kami, karena beliau sore itu harus mengunjungi suatu pertemuan dan esok harinya pagi-pagi akan berangkat ke Bengkulu.

Dalam dua kali jalan kami diantar oleh Sdr. Saleh dengan pick-up ke pension ”Nusantara”, dimana kami akan tinggal selama kami ada di Palembang.

Petang hari ± pk. 4 Sdr. Saleh sudah datang mengambil kami dengan membawa rencana berkeliling kota, agar kami berkenalan dengan Palembang. Dari perjalanan keliling ini tak banyak yang dapat kami lihat, oleh karena setelah meninjau bagian barat kota dengan lewat Bukit Siguntang kami ”tersangkut” di Rumah Bari. Meskipun gedungnya sendiri tutup, lebih dari cukup pula yang menarik perhatian kami, ialah arca-arca batu yang ada di halaman. Bahkan sore itu kami menjadi sangat antusias karena menemukan hal baru, yaitu bahwa ”Batu Gajah” belum sempurna diselidiki. Di bawah pantat gajah itu kami temukan adanya kepala babi hutan atau lembu (?). Ternyata nantinya di hotel bahwa kegirangan itu kurang beralasan, oleh karena keganjilan itu telah diketahui lebih dahulu oleh Van der Hoop (Megalithic Remains in South Sumatra, hal 35). Hanya memang foto daripadanya belum ada.

Karena hari telah gelap, maka pk. 7 Rumah Bari kami tinggalkan untuk menuju ke hotel.

Selasa, 2 Maret 1954

Hari ini kami mulai dengan kunjungan-kunjungan resmi, diantar oleh Sdr. Moh. Saleh. Mula-mula ke Gubernuran, di mana kami diterima oleh Sdr. Danusubroto, yang mewakili Gubernur. Sdr. Danusubroto ternyata menaruh minat besar terhadap tugas kami, bahkan mengusulkan untuk meninjau kota Palembang dari Air Musi pula. Beliau akan menguruskan surat introduksinya kepada Mr. Liem dari N.V. Ong Boen Tjit, yang mempunyai motorboot besar.

Dari Gubernuran kami ke Residen di rumah, di mana kami diterima sebentar saja, cukup bagi kami untuk memperkenalkan diri dan sekedar menjelaskan tugas kami.

Pk. 9.00 kami berkunjung kepada Wali Kota, Mr. Sudarman Gandasubrata. Sangat menggem
Rumah Bari, Palembang


birakan bahwa beliau menaruh perhatian besar sekali terhadap pekerjaan kami, sedangkan waktu yang beliau berikan kepada kami lebih dari cukup sehingga di samping penjelasan-penjelasan tentang tugas kami, kami dapat merundingkan berbagai hal, misalnya tentang pemeliharaan Rumah Bari, tentang barang-barang kuno yang ditemukan berhubung dengan Monumenten-ordonantie, dan sebagainya. Dari beliau kami dipinjami peta Kota Palembang, pun tawaran motorboot Kotapraja guna meninjau Palembang dari Air Musi.

Selesai pertemuan dengan Walikota, di luar kami dijumpai Tn. Vlielander dari pelabuhan Talangbetutu yang memberitahukan bahwa urusan kapal terbang untuk peninjauan dari udara sudah beres, dan bahwa kami diharapkan besok pagi pk. 8.30 harus ada di lapangan udara.

Hari sudah pk. 10.00, dan sekarang kami dapat mulai bekerja. Hanya malang, bahwa Tn. Van Heekeren mengeluh pinggangnya kesakitan. Karena ia memang mempunyai penyakit ginjal, yang pada saat-saat yang tak terduga suka timbul kembali, maka perlu sekali ia diantar pulang ke hotel agar mengaso. Kemudian kami menuju ke Rumah Bari, sedangkan Sdr. Saleh pergi menyelesaikan urusan motorboot.

Di Rumah Bari kami tinggal sampai hampir setengah satu. waktu yang selama itu kami pergunakan untuk menelaah koleksi seluruhnya, di antaranya ada beberapa patung yang menarik perhatian. Hanya ternyata bahwa banyak sekali barang-barang yang sudah tidak ada lagi. Pun dari koleksi batu-batu di halaman banyak yang tak kami jumpai lagi, seperti belahan batu bersurat dari Bukit Siguntang dan batu-batu siddhayatra. Setumpukan batu-batu kami bongkar, dan terntata ada tiga yang bertuliskan ”Jaya siddhayatra.”

Pk.12.30 kami menuju Bukit Siguntang. Oleh karena hari telah siang, maka kali ini kami hanya melakukan peninjauan sepintas lalu untuk mengenal bukit ini dari dekat. Kecuali makam-makam Iskandar Zulkarnain dan Putri Cempa (Cina) yang ternyata tak seberapa penting dari sudut ilmu purbakala, di sana terserak batu-batu bata berukuran besar (serupa batu Majapahit).

Pk.1.30 kami pulang. Sehabis makan van Heekeren sakitnya bertambah, sehingga kami panggilkan dokter Lo Djien Soei yang tak lama kemudian datang. Dokter menyatakan penyakitnya berat dan mustahil van Heekeren beberapa hari lagi akan sudah dapat pergi ke daerah Pasemah dengan tidak membahayakan dirinya. Van Heekeren disuntik agar dapat mengaso setenang-tenangnya dan diberi resep.

Pk. 4 sore Sdr. Saleh sudah datang dan setengah jam kemudian kami ada di boom D.K.A., di mana kapal Candramawat dari N.V. Ong Boen Tjit telah menunggu. Perjalanan di air kami mulai dengan menuju ke Pulau Seribu di tepi Kali Ogan di sebelah hulu Kertapati. Menurut keterangan yang diperoleh Sdr. Saleh, di sana ada terdapat peninggalan-peninggalan purbakala. Untuk penjelasan lebih lanjut kami menemui Kepala Kampung Pulau Seribu yang rumahnya di tepi Ogan benar. Olehnya dijelaskan kepada kami bahwa sisa-sisa Keraton Kesultanan sudah tidak ada sama sekali. Yang tinggal hanyalah kebun-kebun saja dan bekas-bekas taman tempat pesiar. Di sana ada 99 pulau kecil-kecil yang masing-masing mempunyai nama buah. namun kami nyatakan bahwa kami akan meninjau juga ke sana. Sayang sekali maksud kami tak dapat terlaksana, oleh karena kami harus melintasi rawa-rawa yang tak mungkin dilalui dengan jalan kaki dan harus berperahu, sedangkan karena air surut maka dengan perahu pun tak dapat.

Menjelang magrib kami melanjutkan perjalanan, kini ke hilir sampai Sungaigerong/Plaju, kemudian balik. Sampai di pangkalan Ong Boen Tjit sudah pk. 8.30 malam. Kesan yang kami peroleh dari kota Palembang sangat memuaskan. Letakannya di atas air memberi bayangan yang jelas, betapa penting kedudukannya di masa yang lampau sewaktu kota ini dengan daerah pedalaman sebagai latar belakangnya memegang peranan utama dalam dunia politik dan perdagangan yang hanya dapat dilakukan melalui air.

Pk. 9 malam kami sampai di hotel. Sesudah makan kami berkumpul untuk mendengarkan keterangan-keterangan Dr. Verstappen mengenai apa-apa yang harus kami perhatikan dari udara esok harinya. Oleh karena hasrat kami adalah untuk mencoba melihat garis pantai Sriwijaya, pembicaraan dan persoalan menjadi panjang lebar, dan berlangsung sampai pk. 10.30 lebih. Tetapi sementara itu dapat kami tetapkan rute mana yang akan kami minta dan apa saja yang akan dapat menjadi petunjuk dalam peninjauan kami.

Rabu, 3 Maret 1954

Pk. 8.30 kami sudah ada di Talangbetutu. Segera kami mengadakan perundingan, terutama mengenai rute perjalanan, dengan komandan pesawat Heron yang akan membawa kami melakukan peninjauan dari udara. Setelah selesai semua kami diberitahukan, bahwa karena cuaca buruk kami harus menunggu dahulu. Sementara itu berita-berita cuaca dari Pendopo dan Jambi tidak banyak memberi harapan. Demikianlah pada akhirnya pk. 11.30 diputuskan untuk menunda penerbangan keliling itu. Sore hari pk. 3 kami akan mendapat tahu jadi tidaknya penerbangan hari ini.

Kami meninggalkan lapangan terbang dan menuju ke Batu Ampar di tepi Sungai Musi. Tak banyak yang dapat kami lihat di sini, akan tetapi dari batu-batu yang terpahat rata dan batu-batu bata yang terserak di sekitar kuburan-kuburan lama kami mendapat kesan bahwa tempat ini tentunya penting pula untuk diselidiki lebih lanjut. Berbagai hal menunjukkan bahwa mungkin seka

li sebelum adanya kuburan-kuburan itu, di sini sudah ada sesuatu bangunan kuno. Pun tanahnya ternyata sangat tua, asal dari zaman pleistocen.

Pk. 1.30 kami pulang, dan pk. 3.30 kami sudah ada di lapangan terbang lagi. Di kota Palembang dan Talangbetutu sendiri cuaca agak gelap dan hujan kecil turun, akan tetapi daerah sekitarnya yang akan kami tinjau terang benderang, sehingga peninjauan dari udara dapat dilaksanakan. Maka pk. 3,40 kami naik ke udara. Mula-mula untuk menetapkan pangkal orientasi kami terbang di atas kota Palembang, kemudian membelok ke barat di atas Kali Musi sampai sejauh ± 50 mil (antara Bayur dan Teluk) dengan tinggi 700 - 800 kaki. Nampak dengan jelas sekali di sebelah utara batas-batas tanah tanah tertier dengan tanahnya yang merah (laterit) dan pegunungannya, dan tanah-tanah alluvium hasil endapan-endapan Sungai Musi dengan tanahnya yang berwarna hitam dan rawa-rawanya. Kemudian kami ke utara melintasi tanah tertier itu sampai di lembah Air Teluktenggulang, lalu membelok ke timur menyusur perbatasan tertier dan kuarter ke arah Talangbetutu.

Melalui Plaju kami ke daerah Lebak Deling (sebelah timurlaut Kayu Agung). Di sini nampak benar bahwa tanah-tanah tertier merupakan pulau-pulau

Batu Gajah di Halaman Muka Rumah Bari.
Inilah yang Kami Lihat di Makam ”Panembahan”, Palembang


Kelompok ”Gedeh ing Suro”, Palembang
Melihat Palembang dari Air Musi

di tengah rawa-rawa (alluvium), lebih-lebih ketika kami berputar-putar untuk naik ke 400 kaki. Dengan tinggi ini kami kemudian terbang ke arah baratlaut melintasi daerah tertier. Di sebelah kanan dan kiri kami dapat melihat di mana tertier beralih menjadi kuarter (tanah tertier merupakan jazirah, yang ujungnya di kota Palembang). Setelah liwat daerah Lubuklancang kami terbang kembali ke Palembang, di mana kami turun lagi sampai 700 kaki. Jarak antara Bukit Siguntang dan Menara Air kota Palembang kami terbangi beberapa kali, dan di sini nampaklah jelas bahwa dari Bukit Siguntang tanahnya melandai ke arah kota dan seakan-akan tiba-tiba "terjun" di sebelah barat menara air (kira-kira di tempat Gereja Ayam di jalan Merdeka).

Dengan ini maka dapatlah disimpulkan, bahwa Palembang dahulu letaknya kira-kira sama dengan Singapura sekarang (di tepi laut pada ujung jazirah).

Pk. 5.40 kami mendarat di Talangbetutu.

Kamis, 4 Maret 1954

Pagi hari kami pergi ke kantor Perwakilan Jawatan Kebudayaan di mana kami diperlihatkan sejumlah besar negatif-negatif foto yang dibuat Sdr. Saleh mengenai kesenian Sumatra Selatan pada umumnya dan mengenai ukiran-ukiran pada khususnya. Sayang sekali bahwa afdruknya tidak ada, sehingga untuk melihat saja diperlukan banyak waktu, sedangkan kesannya kurang memuaskan. Menurut Sdr. Saleh negatif-negatif itu tidak dicetak, karena anggaran belanja tidak mengizinkan.

Pk. 10.30 kami pergi ke kelompok Gedingsuro. Dengan seorang petunjuk jalan kami mula-mula mengunjungi keramat "Panembahan" yang ternyata tertutup sama sekali oleh alang-alang setinggi pinggang.

Kemudian kami menuju "Gedeh ing Suro," segugusan makam-makam, yang ternyata tidak pula terpelihara. Ada juga bagian yang alang-alangnya baru saja dipotong, tetapi seorang pekerja pun tidak nampak. Apakah sisa-sisa bangunan di sini betul-betul makam dan bagaimana situasi yang sebenarnya, harus menunggu penyelidikan lebih lanjut. Untuk sementara kita hanya dapat bersandar kepada hasil-hasil yang diperoleh Schnitger (Oudheidkundige Vondsten in Palembang dan The Archaeology of Hindoo Sumatra).

Dari sini kami mengunjungi keramat Mangkubumi, yang sebenarnya tak seberapa jauhnya di sebelah utara Gedingsuro, akan tetapi karena mula-mula tak ada yang mengantarkan harus mencari-cari dan berputar-putar lama sekali. Keramat ini hanya terdiri atas satu makam biasa di atas bukit kecil. Dari batu-batu lama yang nampak di sana-sini dapat kami simpulkan bahwa tentunya di sini pun ada peninggalan purbakala.

Arca Batu dan Perunggu yang Tersimpan dalam Rumah Bari, Palembang.

Kemudian kami mencari Telagabatu. Nama ini rupa-rupanya kurang dikenal penduduk. Setelah tanya kian kemari, akhirnya ada pula yang dapat menunjukkan tempatnya, yaitu di sebelah utara kelompok Gedingsuro itu sebelum sampai keramat Sabokingking. Tempat ditemukannya "Batu Naga" (kini di museum Jakarta No. D. 155) terletak terletak di halaman orang dan kini ditanami pohon kelapa. Pertanyaan-pertanyaan kami akan adanya batu-batu bersurat lain membawa kami ke Telaga biru disebelah timur Telagabatu. Kami harus menyusup hutan dan menyeberangi lumpur-lumpur. Di sini tak ada sesuatu apa yang menarik perhatian kami. Adanya hanya rawa dan hutan lebat. Tetapi yang penting ialah bahwa kami dapat ditetapkan bahwa tanah Telagabatu adalah dilluvium dan bahwa sisa-sisa kepurbakalaan didaerah Palembang tidak usah dicari dalam tanah alluvium (Hasil pengendapan kali-kali) melainkan di tanah yang lebih tua dan lebih tinggi letaknya. Pk. 1.30 kami keluar dari hutan dan lumpur. Sore hari hujan turun dengan lebatnya.
Jumat, 5 Maret 1954
Hari ini kami meninjau bagian barat kota. Mula-mula kami ke Kedukan Bukit tempat ditemukannya prasasti yang berangka-tahun 604 Caka. Dengan pertolongan peta Kota Palembang kami dengan mudah sampai di daerah itu, akan tetapi untuk menemukan tempat yang sebenarnya kami harus membawa seorang penunjuk jalan yang juga bersedia menyeberangkan kami. Tempat didapatkannya baru bersurat itu (Menurut keterangan penunjuk jalan kami, hal mana tidak cocok betul dnegan petunjuk Westenenk dalam Jawa I, 1921, hal. 5 dan Coedes dalam B.E.F.E.O. XXX thn 1930. hal, 33) kini rupanya masih dianggap suci oleh penduduk, dan di sini ada pyla beberapa kuburan baru. Sisa-sisa kepurbakalaan tidak kami jumpai
Pk. 12 kami sudah ke luar dari hutan dan tujuan selanjutnya adalah Talang Tuo, tempat ditemukannya prasasti tahun 606 Caka. Rupa-rupannya nama ini kurang dikenal orang. Setelah tanya-tanya kian kemari akhirnya ada yang dapat mengatakan bahwa letaknya ialah di seberang Sungai Sekanak antara Desa Dangus dan Bukit Siguntang.

Batu Bersurat Telaga Batu waktu Diketemukan, Kini di Museum Jakarta.
Menuju ke Kedukan Bukit

Dengan keterangan ini kami menuju ke Bukit Siguntang sambil meninjau daerah ini lebih luas lagi setelah kunjungan kami kemari yang pertama. Di sana-sini kami menanyakan dimana letak Talang Tuo. Seorang pun tak ada yang tahu, dan penunjuk jalan tidak ada. Maka kami menyusup hutan saja dengan pedoman: baratlaut Bukit Siguntang. Setelah beberapa lama di dalam hutan dan lumpur akhirnya kami karena takut tersesat, kembali lagi ke Bukit Siguntang untuk mencoba menempuh jalan lain.

Kami menuju Desa Dangus, ± 10 km, di sebelah barat kota. Di sana kami menemui kepala kampung, tetapi ia pun belum pernah mendengar nama Talang Tuo. Hari meunjukkan pk. 2, namun kami belum putus asa. Kami kembali ke Bukit Siguntang dan terus menemui Kepala Kampung Bukit Lama di Lorok Pakjo. Sayang Kepala Kampung tidak ada, pun di kantornya tidak, sedangkan orang-orang tak ada pula yang kenal Talang Tuo. Terpaksa kami pulang dengan tiada hasil.

Dalam jalan pulang kami singgah di Candi Angsoka. Yang ada di sini ialah suatu keramat yang menurut cerita adalah makan Amangkurat, hal mana tidak cocok dengan keterangan Westenenk (Jawa I, 1921, hal. 7). Makamnya sendiri, begitu pula cungkupnya, adalah bikinan baru. Hanya kuburan yang ada di halaman rupanya agak tua, menilik nisan yang dibuat dari kayu dan berukiran indah. Berlawanan dengan keramat itu, maka halamannya yang luas sekali dan penuh tertutup alang-alang, ternyata mengandung banyak batu bata lama. Pun kami temukan batu-batu bata yang masih bersusun dan berhubungan seperti bekas-bekas tembok. Hal ini ditambah dengan keterangan Schnitger (The Archaeology of Hindoo Sumatra, hal. 2) bahwa di sini ia dapatkan berbagai batu makara, memperkuat dugaan kami bahwa dahulu di tempat ini ada sesuatu bangunan purbakala. Memang nama ”Candi Angsoka” sendiri sudah sangat janggal untuk sesuatu keramat.

Lagi Sebuah Pemandangan dari ”Gedeh ing Suro”

Pk. 3.30, baru kami pulang. Sampai di penginapan, Van Heekeren sudah bangun dan menyatakan keinginannya untuk turut ke Lahat. Untuk tidak mengecewakan, ia kami suruh berhubungan telepon sendiri dengan dokter Lo Djin Soei yang ternyata sama sekali tak dapat menyokong, bahkan kalau ada kuasa akan melarang keras maksud van Heekeren itu. Dengan ini maka kami putuskan bahwa van Heekeren besok hari pulang saja ke Jakarta.

Sabtu, 6 Maret 1954

Hari ini adalah hari terakhir rombongan kami bersatu di Palembang. Siang hari rombongan akan terpecah; sebagian ke Jambi (Soekmono, Ny. Soeleiman, Sri Woerjani, dan Uka), sebagian lagi ke Lahat (Soejono, Verstappen, Basoeki, dan Johannes), sebagian masih tinggal satu hari lagi di Palembang untuk meninjau kuburan-kuburan Tionghos (de Casparis, Damais, dan Buchari), sedangkan van Heekeren pulang ke Jakarta.

Pagi hari, pk. 7.40 kami berkunjung ke rumah Kolonen Bambang Utojo, di mana kami diterima dengan sangat ramah tamah. Beliau sendiri ternyata sangat menaruh minat terhadap sejarah dan kepurbakalaan.

Kira-kira sejam kemudian kami minta diri, lalu ke rumah dokter Lo Djien Soei untuk menyelesaikan soal keuangan perawatan Van Heekeren.
Tiga Arca Perunggu (Awalokitecwara, Maitreya dan Buddha) dari Komering, Palembang.
Kemudian kami mengunjungi Walikota di kantor untuk pamitan dan mengucapkan terima kasi atas segala bantuan beliau di dalam Kota Palembang. Pun kami perlukan menemui Mr. Liem dari N.V Ong Boen Tjit untuk menyatakan terima kasih kami.

Sementara para angguta rombongan yang akan meninggalkan Palembang berkemas-kemas, Sdr Casparis beserta dengan Sdr. Damais dan Buchari pergi ke kuburan Tiongoa di Talang Krangga untuk mencari keterangan-keterangan yang mungkin dapat memberi bahan sejarah. Ternyata penyelidikan di sini tidak membawa hasil diharapkan. Kecuali sangat luasnya pekuburan ini, seluruhnya tertutup sama sekali oleh alang-alang, sedangkan banyak kuburan tidak berangka tahun. Di tepi jalan-jalan kecil di sana hanya terdapat kuburan-kuburan dari zaman Republik Tiongkok (sesudah 1911). Hanya satu berangka tahun pertama pemerintahan Hsiuan-T'ung (1909 M) dan ada lain lagi dari tahun ke-14 T'ung Vhih (1875 M). Tidak mustahil bahwa penyelidikan lebih seksama di semua kuburan-kuburan Tionghoa akan dapat memberi sesuatu hasil (menarik misalnya kuburan-kuburan yang terletak di dekat Gunung Mahmuri (!) di bagian timur Palembang Ulu)).

Pk. 11.45 rombongan yang datang ke Lahat diantarkan Sdr. Saleh ke boom DKA untuk melanjutkan perjalanan mereka naik kereta api. Setelah itu berangkatlah rombongan selebihnya ke Talang betutu Pk. 1.10 Ban Heekeren terbang ke Jakarta dan pk. 1.40 rombongan jambi naik ke udara.

Petang hari rombongan de Casparis mengunjungi keramat Ario Dilah dan Ario Damar. Kedua Ario ini dianggap bersaudara, sedangkan saudara yang ketiga, Ario Carang "hilang" didalam sumur tak jauh dari situ. Makam di sini lebih besar dari pada makam-makam umumnya, dan batu nisannya menarik perhatian. Sayang bahwa tulisan yang ada pada kuburan Ario Damar sudah tidak dapat dibaca lagi.

Keadaan Candi Gumpung, Muara Jambi
2. Daerah Jambi – Merangin

Sabtu, 6 Maret 1954

Kami tiba di lapangan terbang Palmerah pk. 2.30. Ternyata ada yang menjemput kami, ialah Sdr. Chaidir Kimin, petugas urusan kesenian kabupaten Batanghari di Jambi. Tak sedikit kami tercengang ketika kami mendengar bahwa selama kami di Jambi akan menjadi tamu Walikota. Pesanggrahan di Jambi penuh dengan para pegawai yang belum mendapat rumah, sedangkan hotel-hotel tak ada yang sepadan untuk kami (sic !).

Sampai di Jambi Pak Walikota beserta isteri telah menunggu kami di beranda muka. Penerimaan yang ramah tamah dan tak tersangka-sangka agak membingungkan kami. Para wanita rombongan kami diberi tempat di rumah Ketua D.P.D., Sdr. A. Gaffar Dung, di sebelah rumah Walikota sedangkan kaum laki-laki bertiga mendapat tempat di rumah Walikota sendiri.

Pk. 7 malam, dengan diantar oleh Sdr. Chaidir, kami berkunjung ke Patih, Pak A. Manap, sebagai wakil Bupati yang sedang bepergian ke Bukit Tinggi. Pun di sini penerimaan dan kesanggupan untuk membantu kami sangat memuaskan.

Pk. 8.30 kami minta diri, dan oleh karena Pak Residen sedang ada di Jakarta, sedangkan wakil beliau, Wedana Simatupang, waktu itu tak ada di rumah, maka malam itu kami pergunakan untuk melihat-lihat kota Jambi.

Minggu, 7 Maret 1954

Keinginan kami semula ialah untuk segera memulai pekerjaan kami di daerah Jambi dengan mengunjungi Muara Jambi. Jalan satu-satunya ke sana ialah naik perahu. Tetapi oleh karena kebetulan hari Minggu, sedangkan pegawai-pegawai kapal belum ada diberitahu, maka kami menuruti nasehat Pak Walikota untuk meninjau daerah lain saja dengan ikut serta beliau ke Sengeti, kira-kira 3½ jam bermotorboot ke hulu.

Pk. 8.30 kami berangkat dari pelabuhan, dengan naik motorboot Kepala Kampung Ulak Kemang (Jambi sekarang). Perjalanan ini berupa piknik saja, diikuti oleh keluarga Walikota, keluarga Kepala Kampung dan berbagai orang lainnya. Kami melewati Sengeti sedikit dan pk. 1 mendarat di Rantau Majo.

Sehabis makan dan mengaso, pk. 3 kami pulang dan kl. pk. 6 sampai kembali di Jambi.

Senin, 8 Maret 1954

Pagi hari kami dibawa Sdr. Chaidir menghadap Wedana Simatupang yang mewakili Residen. Beliau sangat luar biasa ramah tamahnya dan menyanggupi segala bantuan. Demikianlah hari itu diuruskan perjalanan kami ke Muara Jambi dengan kapal Residen, sedangkan pemberitahuan dengan radio-telefoni ke Bupati Merangin akan kedatangan kami esok hari tidak usah kami kerjakan sendiri.

Candi Tinggi (Muara Jambi).

Kemudian kami menghadap Patih A. Manan yang mewakili Bupati Batang Hari sebagai kunjungan resmi. Kendaraan untuk perjalanan kami ke daerah Merangin sudah diurus, sehingga besok pagi kami dapat berangkat.

Bahwa kami tidak tinggal beberapa hari dahulu di Jambi, di mana terdapat juga berbagai peninggalan purbakala, ialah oleh karena mengingat pesan khusus Y.M. Menteri P.P. dan K, untuk meninjau prasasti Karang Brahi. Maka selama
Candi Gumpung, Muara Jambi

Karang Brahi belum dikunjungi, belumlah kami akan dapat bekerja dengan tenang. Jika mungkin bahkan kami ingin ke sana hari ini juga! Karena ini tak dapat, maka kami putuskan untuk pergi dahulu ke tempat yang terjauh di daerah Jambi.

Pk. 9.30 kami ke kantor Syahbandar. Kami mendapat kapal B-O 46, tetapi karena kapal itu baru pulang dari dok di Jakarta maka harus diisi minyak dahulu dan diperiksa mesinnya. Kami menunggu terus hampir putus asa dan akhimnya pk. 12 dapatlah kami berangkat menuju Muara Jambi. Tetapi apa lacur! Beberapa menit setelah kami meninggalkan pangkalan, kapal tak mau jalan, meskipun mesin bekerja terus. Dengan susah payah kapal dapat ke tepi lagi. Ternyata bahwa handle tak dapat masuk dan perjalanan harus dibatalkan! Beberapa orang dari kami lalu mendarat. Sementara itu di kamar mesin rupanya orang bekerja keras, sebab tak lama kemudian kami mendapat kabar, perjalanan jadi juga!

Demikianlah maka pk. 1.30 dengan bunyi sirine kami meninggalkan Jambi. Kira-kira satu jam kami berlayar, lalu mesin mati dan % jam lamanya kami terapung-apung terbawa arus. Akhirnya pk. 2.45 kami mendarat dengan selamat di Muara Jambi.

Dengan diantar oleh Pasirah sendiri dan beberapa orang lainnya mula-mula kami mengunjungi Candi Tinggi dan kemudian Candi Gumpung yang berdekatan, setelah menempuh jalan yang penuh lumpur dan pacet di dalam rimba raya. Keadaan kedua candi ini amat menyedihkan. Pada Candi Tinggi bahkan tak ada sesuatu bentuk yang nampak kecuali bukit yang tertutup oleh tumbuh-tumbuhan yang amat subur, sedangkan di kaki bukit ini batu bata bertebaran. Pada Candi Gumpung masih nampak ada batur-batur. Pun di sini tumbuh-tumbuhan amat rindangnya, dan batu-batu bara tersebar tanpa aturan. Kecuali bukit-bukit itu menjadi pula petunjuk akan bangunannya lubang-lubang bekas penggalian yang mungkin sekali dilakukan oleh Schnitger. Di sekitar kedua candi ini banyak pula batu-batu bata yang memberi kesan akan adanya sisa-sisa tembok yang membatasi halaman-halaman candi.

Dari kedua candi ini kami kembali lagi ke kampung. Candi Gedong I dan II, Candi Gudang Garam dan Candi Gunung Perak yang semuanya disebutkan oleh Schnitger (Hindoe Oudhedenaan de Batang Hari) tidak dapat kami kunjungi, oleh karena terlalu jauh dalam hutan, sedangkan waktu yang masih ada pada kami tidak cukup. Maka kami menuju ke Astano di sebelah timur kampung. Di jalan ke sana kami melihat dulu dua "batu catur" yang kini ada di tepi sungai di depan sekolah dan dikatakan berasal dari Astano. Batu-batu ini merupakan padmasana dengan ukiran lapik teratai yang mirip sekali kepada ukiran zaman Singasari. Yang satu bentuknya segi empat dan yang kedua bulat. Bidang atasnya sudah lekuk-lekuk karena dipakai untuk mengasah pisau dan grip anak-anak sekolah, hal mana mudah sekali terjadi mengingat bahwa di Muara Jambi kami tak melihat adanya batu. Pun batu bata yang terkumpul di berbagai halaman rumah ternyata berasal dari candi-candi Tinggi dan Gumpung.

Dengan dua sampan kari menuju Astano, berlayar di rawa melalui semak belukar dan di antara batang-batang pohon. Kami berhenti tepat di kaki sebuah bukit yang ternyata tempat Astanonya. Dari bangunannya tak banyaklah yang tinggal, sedangkan pun di sini tumbuh-tumbuhan sangat subur menutupi segala apa di sekelilingnya. Baturnya ternyata ada dua, berundak-undak, sedangkan bekas sebuah tangga yang menjorok ke luar menuju ke atas. Di tengah batur atas itu ada lubang besar, tentu bekas penggalian (Schnitger!?).

Pk. 5.30 kami sampai di kampung lagi, dan setelah dijamu minum di rumah Pasirah, pk. 5.45 kami berlayar pulang. Pk. 7.30 mesin kapal mati lagi. Setengah jam lamanya kami mengecap kesunyian rimba di atas air Batang Hari. Pk. 9.30 kami sampai di rumah, dengan membatalkan renca- na singgah di Muara Kompeh.

Selasa. 9 Maret 1954

Hari ini kami menuju Bangko dengan "Landrover" BH-40 yang dapat kami pinjam dari kabupaten dengan perjanjian bahwa bensin kamilah yang membayar. Setelah selesai persiapan-persiapan terakhir, berangkatiah kami pada pk. 9.40.

Dengan lari rata-rata 70 km/jam maka pk. 11.45 kami singgah di Muara Tembesi, di mana kami singgah dulu di kantor Wedana untuk minta keterangan mengenai jalan liwat Pauh, yaitu jalan yang amat lebih singkat ke Bangko. Menurut P.U. di Jambi jalan ini terendam air sehingga tak dapat dilalui. Berita demikian oleh Wedana Muara Tembesi tidak ada diterima, tetapi beliau menasehatkan untuk mengambil jalan yang terang dapat dilewati saja, yaitu lewat Muara Bungo. Hal ini lebih baik daripada lewat Pauh tetapi terhenti di tengah hutan.

Demikianlah setelah kami memperkuat diri di lepau nasi, kami "melayang" menuju Muara Tebo di mana kami melewati pelayangan yang ke-2.

Setelah menyeberang ke-3 kalinya, pk. 4.30 kami sampai di Muara Bungo. Di sini kami mendapat kabar, bahwa sejak pagi hari belum ada kendaraan lewat dari jurusan Bangko dan bahwa air sungai Pelepat di Senamat sedang tinggi sehingga tak dapat diseberangi. Namun karena hasrat untuk sampai di Bangko hari itu juga, kami terus

Menyelidiki ”batu catur” di Muara Jambi
Sisa-sisa dari ”Astamo”, Muara Jambi

untuk menyaksikan keadaan di Senamat sendiri (kl. 24 km. dari Muara Bungo).

Pk. 6 kami tiba di Senamat. Ternyata di sini dan juga di seberang ada beberapa kendaraan yang katanya sejak pagi hari menunggu kesempatan untuk melayang, di antaranya otobis dan truk. Memang air agak besar, namun kami ingin terus juga. Tinggal kesanggupan mandor Pelayangan, dapat ataukah tidak menyeberangkan kami. Pembicaraan dengan mandor berlangsung lama sekali. Keberatan-keberatan daripadanya, mengingat bahwa tanggung jawab terletak di atas bahunya, hampir menghabiskan harapan kami. Tak urung kami akan harus tidur di tepi kali juga, karena di Senamat tak ada tempat penginapan! Ketegasan-ketegasan dari fihak kami bahwa mobil Landrover dapat meloncat dan dapat masuk air, usaha kami untuk membangkitkan perasaan kurang pada tempatnya untuk membiarkan seorang "doktor Wanita" dan mahasiswa wanita yang jauh dari Jakarta diutus oleh Pemerintah, dan bantuan dari berbagai orang yang menyatakan untuk mencoba juga akhirnya melunturkan hati sang mandor...."Perahu Kabel" dikirim ke seberang untuk keperluan kami. Dengan hati berdebar-debar kami melihat ketangkasan supir R. Usman dan kemampuan Landrover untuk memasuki air dan kemudian naik di perahu dengan papan-papan yang kl. 60° tegaknya. Setelah Landrover dan Usman sekali memperlihatkan "stunt" yang mengagumkan untuk turun dari perahu, dengan disaksikan oleh berpuluh-puluh orang, maka sampailah kami di seberang dengan selamat.

Suatu Tempat ”pelayangan”

Dengan badan lemas karena besamnya "spanning" yang telah kami alami, pk. 7 kami meluncur ke arah Bangko, menerobos rimba raya yang gelap gulita.

Pk. 8 kami untuk ke-5 kalinya menyeberang di Rantaupanjang. Dengan tiada sedikit kesusahan kali Tabir kami lintasi.

Pk. 9 kami tiba di Bangko, tempat bertemunya sungai Mesumai dan Merangin, setelah menempuh jarak 430 km. Kami langsung menemui Patih, A. Laman (Bupati sedang pergi ke Bukit Tinggi). Penerimaan beliau sangat memuaskan, dan dari beliau kami mendapat kabar bahwa di rumah mentua beliau di Mandiangin tersimpan 9 keping logam bersuiat, di antaranya satu telah hilang. Pun ada satu tombak cabang tiga (tricula) dan sebuah kitab kuno. Terutama logam-logam bersurat itu memberi putusan pada kami untuk pergi ke Mandiangin di samping tugas kami ke Karang Brahi. Tentang batu Karang Brahi kami mendapat kabar, bahwa batu itu dalam th. 1940 diangkut ke Bangko dan dipasang di halaman rumah Controleur (sesuai dengan keterangan dalam Oudheidkundig Verslag 1940, hal. 32), tetapi sesudah Jepang menyerah beramai-ramai diangkut kembali oleh rakyat Karang Brahi dengan rakit, dan kini keadaannya terpelihara baik-baik. Diberitahukan pula oleh beliau, bahwa tempat menginap sudah disediakan di pesanggrahan. Dan tak lama kemudian kami minta diri.

Di pesanggrahan tak dapatlah kami terus merebahkan diri, meskipun sangat letih. Kami harus makan dahulu! Kira-kira pk. 10 kami mencari "bekal tidur" di sebuah warung. Rabu, 10 Maret 1954

Kira-kira pk. 8, tanpa makan pagi (di pesanggrahan tak disediakan makan), kami menghadap Patih di kantor. Kepada kami diperkenalkan Wedana, Sdr. M. Yusuf Nasri, yang menaruh minat sangat besar terhadap sejarah dan kepurbakalaan,dan Camat, Sdr. M. Prie Thais yang akan mengantarkan kami ke Mandiangin dan Karang Brahi, dua tempat yang beliau kenal baik sekali.

Dari Sdr. Jusuf Nasri kami mendapat sebuah daftar benda-benda purbakala yang beliau ketahui di daerah Bangko, di antaranya beberapa megalith yang berukiran. Sayang bahwa tempatnya semuanya jauh, ada yang 50 dan ada pula yang 100 km, sedangkan jarak itu harus ditempuh dengan jalan kaki dan letaknya di dalam rimba, sehingga berhubung dengan waktu tak dapat kami kunjungi. Tetapi mungkin sekali megalith-megalith dalam daftar itu adalah yang sudah lama terkenal (G.H.K. de Bont: De Batoe's Larong (kist-stenen) in Boven-Jambi, Onderafdeling Bangko N.I.O.N. 17. 1922 p. 31-32; lih. jugaRing von Heine Geldern dalam Science and Scientists hal.....150).

Pun kami mendengar bahwa di Teluk Kuali (sebelah barat Muara Tebo) ada peninggalan purbakala yang disebut "Gedung." Karena letaknya dekat Rambahan, maka Gedung ini kami masukkan pula dalam rencana.

Kira-kira pk. 9 lewat kami menuju Mandiangin, diantarkan oleh Sdr. Camat. Sebelum keluar kota kami harus menyeberangi sungai Merangin. Kebetulan perahu pelayangan ada di seberang, dan kami harus menunggu lama. Untuk mengisi waktu maka kami jalan-jalan kian kemari di tepi sungai dan tak lama kemudian Sdr. Uka teriak kegirangan menemukan batu obsidian di dalam tanah tebing kali. Ternyata batu kecil itu adalah flake. Temuan ini menggerakkan kami berempat untuk mencoba untung pula. Dan sebelum kami dapat melayang, sudah terkumpul lebih dari 20 potong flakes kecil-kecil, yang serupa benar dengan flakes obsidian dari daerah Kerinci. Pun sepotong tembikar tak berhiasan ditemukan oleh

Mencari Flakes Obsidian sambil Menunggu Perahu Layang
Ny. Suleiman. Temuan-temuan ini sebenarnya tidak mengejutkan, mengingat bahwa daerah "Upper Jambi" dan Kerinci memang kaya akan

flakes dan microlith-microlith obsidian (lih. Von Heine Geldern dalam science and Scientists..... hal. 131 beserta A. Tobler, J. Zwierzychi).

Kira-kira pk. 10 kami menyeberang dan satu jam kemudian kami tiba di Pamenang, di mana kami menemui Pasirah untuk memberitahukan maksud kami ke Karang Brahi besok pagi dan minta disediakan perahu.

Pk. 12.15 kami tiba di Sarolangun (80 km. dari Bangko). Kami menuju ke kantor Kawedanan, tetapi Wedananya tidak ada. Maka kami lalu mencari tambahan tenaga di sebuah warung nasi.

Pk. 13.20 kami melanjutkan perjalanan. Jarak 56 km ke Mandiangin kami tempuh dalam waktu satu jam lebih. Kendaraan kami tinggalkan di suatu tempat dan kami menyeberang dengan tiga sampan ke Mandiangin, di mana kami tiba hampir pk. 3 siang. Di rumah Pasirah kami dijamu sekedarnya, dan diberi cerita bahwa rakyat Mandiangin adalah keturunan orang-orang Sriwijaya yang mengundurkan diri kepedalaman setelah kerajaannya runtuh. Memang suatu keganjilan ialah bahwa, sebagaimana diperlihatkan dan diterangkan kepada kami, tulisan mereka adalah tulisan rencong yang mirip sekali kepada tulisan rencong daerah Palembang Ulu. Tulisan ini masih dijunjung tinggi. Pun tari-tarian kuno yang masih dipelihara di situ berasal dari Sriwijaya.

Menyusup Hutan Belukar . . . . ke Karang Berahi.

Di rumah Pasirah kami tidak lama. Segera kami menuju ke rumah mentua Pak Patih Laman, di mana pusaka-pusaka dengan khidmat di keluarkan. Triculanya tidak memberi bahan penting, sedangkan buku kunonya yang bertulisan rencong kami tak dapat membacanya (orang Mandiangin sendiri hanya dapat mengenal sebagian dari huruf- hurufnya). Adapun kepingan-kepingan logamnya ternyata terbuat dari perak, jumlahnya 7 buah, hal mana tidak cocok dengan kepercayaan orang bahwa jumlahnya semula ada 9,sedangkan yang satu telah hilang. Pinggiran kepingan-kepingan itu menunjukkan tanda-tanda patah. Sampai lama sekali sambil mandi keringat karena panas (jadi tidak mandi angin) kami meneliti dan mencoba baca kepingan-kepingan logam itu. Akhirnya dapat kami tentukan, bahwa aslinya ialah 1 keping piagam yang bertulisan huruf Jawa lama. Piagam ini disimpan baik-baik dan dilipat menjadi delapan. Lama kelamaan patah menurutkan lipatan-lipatan itu. Huruf-hurufnya di sana-sini kurang jelas dan tulisannya kurang rapih, sehingga untuk kami yang belum biasa akan huruf-huruf itu, sukar sekali dibaca. Dengan susah payah dapat kami baca, bahwa kepingan perak itu adalah "Layang piyagem" dari Sultan Ratu. Berbagai perkataan seperti: candu, maling, hutang-piutang, dan sebagainya, memberi kesan bahwa piagam itu mengenai soal keprajaan. Waktu tak mengizinkan untuk mencoba membaca seluruhnya, sedangkan memotret tidak ada kepastian akan jadi dan membuat "rubbing" tak mungkin karena huruf-hurufnya sangat dangkal, maka kami bekerja keras untuk menurun tulisannya seluruhnya.

Pk. 5.40 kami minta diri, diantarkan orang banyak sampai ke tepi sungai, di mana kami menyeberang untuk kemudian pulang ke Bangko. Di Pauh hujan turun lebat sekali dan di beberapa tempat jalanan sedikit terendam air sehingga berlumpur. Tetapi hal ini tidak menjadi rintangan. Pk. 7.20 kami tiba di Sarolangun, dan setelah makan malam melanjutkan perjalanan. Sampai di pesanggrahan Bangko sudah pk. 11 malam.

Kamis, 11 Maret 1954

Kira-kira pk. 9.30 kami berangkat menuju Karang Brahi, 25 km dari Bangko. Dusun ini sendiri mula-mula kami lewati saja untuk terus pergi ke Pamenang (35 km dari Bangko), di mana kami tiba pk. 10.45 dengan kaki masih gemetar karena hampir tertimpa kecelakaan. Di suatu tikungan kami sekonyong-konyong berpapasan dengan bus yang tidak mau segera ke pinggir. Untuk menghindarkan tubrukan, supir kami membanting setir ke kiri masuk alang-alang. Tidak hanya menerobos alang-alang tetapi juga masuk parit, sehingga mobil kami miring sekali. Dengan ketangkasan dan kecepatan luar biasa Landrover dapat "diloncatkan" kembali ke tengah jalan. Kami selamat.

Dari Pamenang kami jalan kembali ke Karang Brahi. Pak Pasirah dan beberapa orang lain ikut mengantarkan kami, sedangkan Kepala Dusun Karang Brahi menjadi penunjuk jalan. Mobil kami tinggalkan di tepi jalan dan kami semua menyusup hutan karet yang lebat sekali dan di berbagai tempat sukar di lalui karena lumpur dan air, sepanjang kl. 2 km. Sampai di tepi sungai Merangin yang tebingnya curam dan licin, kami naik sampan yang telah tersedia.

Sampai di tempat prasasti Karang Brahi sudah pk. 12. Batunya terletak di depan mesjid dengan sisinya bertulisan menghadap ke atas. Oleh penduduk batu itu masih sangat dihargai dengan tidak dipuja. Dikatakan pada kami bahwa mereka berniat untuk menegakkannya kembali. Maka kami minta agar ditaruhnya nanti di tempat yang terlindung dari hujan dan panas, misalnya di bawah sengkup depan mesjid, hal mana disanggupi. Pertanyaan kami apakah benar batu itu dipakai untuk tempat cuci kaki sewaktu orang ambil air sembahyang, dijawab dengan tidak. Ada satu dua orang yang masih ingat bahwa dahulu memang begitu, tetapi sekarang sama sekali tidak.

Keluar Hutan Menurun ke Sungai . . . . ke Karang Berahi.

Adapun huruf-hurufnya, sebagian besar sudah sangat kabur, sehingga sulit sekali dibaca. Hanya di sana-sini dapat kami baca bagian-bagian kalimat yang sama bunyinya dengan prasasti Kota kapur (Bangka) dari th. 686 M. Lagipula batunya memperlihatkan retak-retak.

Segera kami membuat abklatsch. Dan karena takut tidak dapat kering hari itu sebab matahari tidak memberi cukup panas (sinarnya tertahan daun-daunan pohon dan atas mesjid), maka atas ide Sdr. Chaidir abklatsch itu kami "panggang" di bawah api. Di atas batunya ditaruh papan seng dan di sini dipasang api.

Sementara itu kami diantar pergi melihat tempat ditemukannya batu Karang Brahi itu, kira-kira 42 km dari dusun. Di sini tak ada lagi sesuatu apa yang sekiranya dapat menjadi petunjuk untuk penyelidikan lebih lanjut. Kira-kira pk. 3 abklatsch sudah kering, dan kami pulang menyeberang dan melalui jalan yang sukar tadi menyusup hutan. Sejam kemudian kami tiba di Pamenang. Di sini ada orang tua yang sengaja datang menemui kami untuk minta agar kami, bila saja, memerlukan datang di kampungnya, kira-kira 50 km dari Pamenang (sebagian besar jalan kaki). Di sana ia mempunyai piagam kuno dan berbagai

buluh bertulisan, yang tak ada seorangpun dapat membacanya.
Membuat Abklatsch di Karang Berahi

Jumat, 12 Maret 1954

Pk. 8 pagi kami mengucap "Selamat tinggal, Bangko" dan menuju Muara Tebo. Di Rantaupanjang dan Senamat kami melayang dengan tiada rintangan, dan pk 10.50 kami tiba di Muara Bungo. Di sini kami beristirahat satu jam untuk menambah daya kerja di sebuah warung kopi.

Setelah melayang sekali lagi, pk. 12.15 kami masuk Muara Tebo. Mula-mula kami mengunjungi kuburan Sultan Taha (si belakang kantor polisi) yang ternyata baru sama sekali kecuali puncak nisannya yang tua.

Lalu kami menghadap Wedana di rumah beliau. Kami mendapat seorang pengantar ke Teluk Kuali,

Rasa Terima Kasih Dikekalkan, Bersama Camat Bangko dan Pasirah Pamenang
Cara Istimewa untuk Mengeringkan Abklatsch.

Di kantor Pasirah kami dijamu makan. Entah karena sejak pagi tidak kemasukan nasi, entah karena sangat letih, entah karena masakan memang enak, tetapi semua yang dihidangkan terasa lezat nian.

Pk. 4.45 kami mengucapkan terrima kasih dan selamat tinggal, dan pk 6 kami sampai di Bangko kembali. Tugas kami untuk daerah Merangin telah selesai.

Malam hari, dengan diantar oleh Sdr. Camat, kami berkunjung kerumah Patih untuk meminta diri dan sebagainya, karena besok pagi akan meninggalkan Bangko. Kemudian kami ke rumah Wedaha, tetapi beliau tidak ada. Maka kami terus ke rumah Camat. Sdr. Nohan. Kemudian menuju Hotel "Mataram" di mana kami mendapat satu kamar masing-masing.

Pk. 2 kami menuju Teluk Kuali, diantar Sdr. Nohan. Dari Teluk Kuali kami masuk ke jalanan yang luar biasa buruknya dan penuh lumpur kira-kira 1% km ke utara. Di sini kami menjumpai Sdr. Camat. Dengan tiga sampan kami lalu berlayar mudik di Batang Hari. Hampir saja sampan kami masuk ke dalam ulakan besar yang sekonyong-konyong berputar di sebelah kami, sedangkan arus deras di hadapan kami mendorong sampan ke arah ulakan itu. Berkat ketangkasan pengayuh-pengayuhnya kami terhindar dari bahaya dengan jalan menyeberangi sungai selebarnya.

Kira-kira 34 jam berkayuh kami sampai tempat yang dituju. Dengan susah payah kami menaiki tebing yang curam lagi licin dan lebat tumbuh-tumbuhannya. Sampai di atas kami menghadapi tegal alang-alang luas sekali yang menurut cerita adalah tempat harimau. Tetapi dengan penuh kepercayaan atas "pengawal-pengawal" kami yang terdiri atas pawang, pembawa tombak, pembawa parang,dan Sdr. Camat yang membawa revolver ("barisan pengawal" serupa itu kami alami pula di Karang Brahi), kami menerobos alang-alang ini, dan tak lama kemudian kami sampai di "Gedung". Ternyata di sini hanya sebuah lubang besar (bekas penggalian?) yang ada. Di dalamnya kami temukan beberapa pecahan batu bata, tetapi selanjutnya tak ada sesuatu apa yang nampak. Menurut cerita, dahulu di sini ada arca orang yang oleh karena salah sangka diterkam harimau. Kepala arca ini dibawa lari. Tubuhnya kemudian hilang.

Setelah cukup kami meninjau tempat itu, kami berlayar ke hilir, dan setelah minum air kelapa di Teluk Kuali kami pulang ke Muara Tebo. Hari sudah hampir gelap, maka dari itu meskipun kami melalui Rambahan (tempat ditemukannya Amoghapaca, dari Singasari) kami tak dapat singgah. Pun Bukit Siguntang, sungguhpun menarik sekali perhatian kami, tak dapat kami masukkan dalam programma, karena untuk ke sana diperlukan waktu 2 atau 3 hari naik sampan.

Menjelang magrib, tiba-tiba Sdr, Woerjani dan Uka berteriak: "Tuh! Macan! Benar juga, kira-kira

Kami Tiba di ”Gedung”, Teluk Kuali.
Kelompok Arca Amoghapaca dari Rambahan, kini di Museum Jakarta.
50 m di depan mobil kami "Datuk Belang", yang sudah beberapa hari ingin sekali kami jumpai, dengan acuh tak acuh melintasi jalan! Hanya beberapa orang dari kami yang duduk di belakang tidak melihatnya. Supir seketika menginjak pedal gas lebih dalam, dan dengan kecepatan 80 km. Kami lalui tempat yang "seram" itu.

Hampir pk. 7 kami tiba di Hotel Mataram. Malamnya Sdr. Nohan mengunjungi kami, dan mendongengkan keganasan harimau di daerah Muara Tebo sampai pk. 11.30.

Sabtu, 13 Maret 1954

Dengan rasa puas telah dapat menyelesaikan tugas yang terpenting di Keresidenan Jambi, ialah Karang Brahi, kami hari inidapat pulang ke Jambi. Kami berangkat agak siang, karena jarak yang akan ditempuh tak seberapa (kl. 210 km). Karena lama sekali menunggu di pelayangan dan accu ternyata tidak mengisi sehingga perlu diperbaiki, maka kami tiba di Muara Tembesi sudah pk. 12.30. Di sini kami makan, dan mobil dibongkar untuk diperbaiki.

Kira-kira pk. 4 kami berangkat dari Muara Tembesi dan pk. 5.30 kami sampai di rumah Wali Kota Jambi.

Minggu, 14 Maret 1954

Pagi-pagi kami ke kantor GIA mengurus tempat untuk besok siang pk. 3. Kemudian kami menyeberangi Batang Hari menuju Ulak Kemang, di mana kami menjumpai kepala kampungnya, Sdr Zainal Abidin, yang kami telah kenal sewaktu pergi ke Rantau Majo. Kami diantar ke bekas Istana Sultan Jambi yang terakhir, Wirokusumo Al Djuffri. Dari istana ini tak banyak lagi yang penting dilihat. Hanya di kanan kirinya ada gapura kecil yang menarik perhatian, karena lengkungnya yang mengingatkan kepada lengkung kala-makara. Kalanya sangat distilir, sedangkan makaranya menjadi ikan yang ekornya menjadi ujung lengkung. Adapun langgamnya sangat mendekati langgam Tiongkok atau Hindia Belakang. Anehnya ialah bahwa skulptur-skulptur itu dari luar nampaknya dibuat dari padas, sedangkan pada salah satu ikan yang sudah lepas nampak jelas bahwa

Pintu Gerbang Istana Sultan Jambi.
Arca yang Masih Tinggal di Halaman Istana

terasnya dibuat dari batu bata dan diselubungi oleh semen (specie?) menjadi bentuk ikan.

Dinding serambi muka istana dicat dengan gambar-gambar sulur dan bunga teratai yang banyak mengingatkan kepada ukiran Bali Utara.

Di halaman sebelah barat istana terdapat arca gajah yang tersungkur di tanah karena bagian kepala dan kaki depannya sudah hilang. Menurut “Inventaris Buitenbezittingen” (Oudheidkundig Verslag 1914) No. 139 arca gajah ini ada dua buah, tetapi di mana satunya tak ada yang mengetahui.

Dari sini kami melihat masjid yang sudah baru sama sekali. Tetapi di dalamnya terdapat mimbar yang berukiran indah.

Kemudian kami dijamu Sdr. Zainal Abidin di rumahnya. Pertanyaan kami mengapa kampung ini dinamakan Pacinan (sebagaimana tercantum dalam inventaris kami) dijawab, bahwa dahulu kala penduduk pertama di situ adalah orang-orang Tionghoa yang beragama Islam dan sangat beribadah. Pada suatu pagi, sewaktu mereka hendak mengambil air wudhu, maka ternyata air Batang Hari beku dan menjadi emas. Dari emas itu mereka membuat sebuah jung emas yang kemudian dipersembahkan kepada Sultan. Dapatkah cerita ini, ditambah dengan kenyataan bahwa di daerah Batang Hari dan Merangin memang banyak terdapatkan emas (bubuk dari 24 karat) dihubungkan dengan nama-nama Suwarnadwipa dan Suwarnabhumi di dalam sejarah?

Pk. 12.30 kami menyeberang kembali ke Jambikota.

”Batu catur” di Solok Sipin

Pk. 4 sore, dengan naik pick-up Kotapraja, kami jalan lagi. Mula-mula kami kunjungi makam Puteri Ayu di dekat menara air, yang ternyata tidak penting untuk keperluan kami. Kemudian kami ke Solok Sipin melihat makam Sultan Mat Tahir yang baru sama sekali. Di sebelahnya, dibatasi tembok keliling, terdapat makam-makam lain yang tidak keramat tetapi untuk kami lebih penting. Nisan-nisannya dibuat dari kayu dan berukiran indah sekali. Pun diukirkan pertulisan-pertulisan huruf Arab. Kami baca, bahwa yang satu adalah makam Sultan Mahmud yang wafat th. 1242 (tahun hijrah) dan yang lainnya adalah makam istrinya yang wafat th. 1235.

Karena kami sudah ada di Solok Sipin, sedangkan menurut inventaris di sini tempat ditemukannya makara-makara yang sangat besar, di antaranya satu memuat angka tahun 986 Caka, dan sebuah arca Buddha (semua kini di Museum Jakarta), maka kami tanya-tanya akan tempat itu. Untunglah ada seorang yang dapat menolong kami. Tidak jauh dari masjid berdiri satu stupa yang langgamnya mengingatkan kepada zaman Jawa Tengah. Menurut kata pengantar kami, dahulunya stupa itu ada dua buah, tetapi yang satu telah hilang tak berbekas. Kami tanyakan tempat ditemukannya "Batu Catur" itu, dan kami diantar ke dalam semak tak jauh dari masjid. Meskipun dikatakan sudah tak ada sesuatu apa yang kuno, namun mata kami yang dalam dua minggu terakhir ini sudah terlatih dapatlah melihat berbagai bagian tanah yang lebih tinggi daripada sekitarnya, dan di dalamnya ternyata berisi batu bata. Bahkan kami dapat menemukan sebaris batu-batu bata yang masih berhubungan (bekas tembok?). Hanya penggalian sajalah yang dapat menentukan apa yang masih terpendam di situ.

Dari Solok kami ke Talang Jawa, kl. 2 km di Juar kota. Makam di sini tidak penting dari sudut ilmu purbakala, tetapi batu-batu bata yang serupa "bata Majapahit" menarik perhatian kami.

Hari sudah gelap, waktu kami mengakhiri peninjauan kami di daerah Jambi.

Senin, 15 Maret 1954

Pk. 9 kami ke Kantor Keresidenan untuk minta diri. Sayang sekali Residen tadi pagi pk. 7 berangkat ke Bangko. Maka kami diterima oleh Wedana Simatupang, yang tetap ramah tamah dan pula nampak antusias tentang hasil-hasil peninjauan kami. Beliau sesalkan, bahwa kami tak dapat mengunjungi Simpang (8 jam berlayar dari Jambi) dan Muara Sabak, dimana ditemukan juga peningalan-peninggalan purbakala. Pun di Tungkal dan Berbak ada bekas-bekas kepurbakalaan.

Dari sini kami ke kantor Kabupaten. Bupati edang rapat dan akan dapat menerima kami sesudah pk. 12. Maka kami selesaikan urusan pemakaian Landrover.

Pk. 12.30 kami menghadap Bupati Djamin Dt. Bagindo, yang juga luar biasa ramah tamahnya.

Pk. 2.30 kami melambaikan "selamat tinggal, Jambi" dan menuju ke lapangan terbang. Setelah

”Putri” yang Tersimpan di Karangindah, Lahat.
menunggu lama, maka pk. 3.25 kami diberitahu, bahwa pesawat udara tidak datang dan karena itu harus menginap semalam lagi di Jambi. Untunglah keluarga Walikota dan keluarga A. Gaffar Dung tetap membuka pintu rumah mereka selebar-lebarnya bagi kami.

Selasa, 16 Maret 1954

Pagi hari kami menghabiskan waktu dengan melihat-lihat kota dengan tiada bertujuan. Tak ada lagi sesuatu yang perlu dan dapat kami kunjungi.

Sebelum pk. 12 kami sudah di Palmerah. Pk. 1.10 Heronnya datang, dan pk. 1.25 kami terbang ke Palembang, di mana Sdr. Budenani meninggalkan rombongan kami.

Kira-kira pk. 5 waktu Jawa kami tiba di Kemayoran.

3. Daerah Pasemah.

Sabtu, 6 Maret 1954

Pk. 12.30 dengan kereta api dari Palembang kami menuju Lahat dan tiba disana pk. 6:30. Di sini kami menginap di Hotel 'Lematang". Malam harinya kira-kira pk. 8 kami memerlukan berkunjung ke rumah Sdr. Wedana Lahat, di mana kami disambut dengan gembira oleh beliau. Kepada beliau kami jelaskan maksud kedatangan kami itu dengan panjang lebar dan mengharapkan bantuan dari padanya, terutama mengenai kendaraan yang kami butuhkan untuk keesokan harinya. Bantuan yang kami perlukan itu disanggupi oleh beliau.

Kira-kira pk. 9.30 kami minta diri untuk meneruskan kunjungan kami ke Pak Bupati, tetapi oleh karena Pak Bupati pada waktu itu tidak ada di kota (sedang bepergian ke Bandung untuk berobat), maka kami kembali ke penginapan kami.

Minggu, 7 Maret 1954

Pk. 9 pagi kami mengunjungi Pak Patih Lahat. Sambutan beliau atas kedatangan kami itu sangat memuaskan, begitu pula perhatian beliau akan kepurbakalaan sangat besar seperti ternyata pada pertanyaan-pertanyaan dan pembicaraan-pembicaraan kami itu.

Arca Batu di Tinggihari, Lahat

Pk. 11 siang kami minta diri dari Pak Patihdan meneruskan perjalanan kami ke Kampung Manggul, yang letaknya 5 km dari Lahat. Dari sini kami meneruskan perjalanan ke Dusun Keban,di mana tersimpan dua buah batu pusaka kepunyaan penduduk di situ, yang masih menjadi pujaan mereka itu. Dengan berjalan kaki dari Manggul tadi kami menempuh Dusun Keban ini selama 1½ jam. Ketika kami tiba di sini kami hampir-hampir tak menemui orang-orang di situ, karena hampir semua penduduk pergi ke ladang. Untunglah kami masih dapat menjumpai beberapa orang perempuan dan anak-anak. Atas permintaan kami, maka kepala dari dusun itu dipanggilnya. Sambil menunggu kedatangan kepala dusun tadi, kami melihat-lihat di sekitar dusun tadi, untuk mendapatkan sesuatu yang berguna bagi kami. Setengah jam kemudian datanglah kepala dusun dan kami pun memperkenalkan diri. Dengan perantaraan Sdr. Pasirah, yang mengikuti perjalanan kami dari Lahat, dijelaskanlah maksud kedatangan kami itu kepada dusun itu dan dimintakan izin untuk melihat dan menyelidiki batu-batu yang ada di situ, yang tersimpan di sebuah rumah kecil bertiang empat (tingginya kira-kira 2 m). Kepala dusun tersebut tidak berani memberikan izin, dan menyerahkannya kepada Jurai Tuwa (orang dari keturunan yang paling tua di dusun itu), karena dialah berkuasa atas batu-batu itu. Jurai Tuwa pun dalam hal ini tidak dapat memberikan jawaban yang pasti, artinya ia tidak melarangnya dan tidak pula mengizinkannya, jadi hal ini diserahkan kepada kami sendiri, sebab katanya, belum pernah ada orang-orang di luar dusun ini yang melihat atau menyelidiki batu-batu tersebut, apalagi waktu zaman penjajahan, orang Belanda sekalipun yang ingin melihatnya tidak diizinkan. Tetapi katanya pula, oleh karena sekarang kita telah merdeka dan penyelidikan ini untuk kepentingan nusa dan bangsa kita sendiri, maka keputusan ini diserahkan kepada kami sendiri. Bersama-sama dengan Jurai Tuwa kami menuju rumah kecil, di mana tersimpan batu-batu yang kami maksudkan itu. Sebelum kami menaiki sebuah tangga ke atas rumah itu, maka terlebih dahulu naiklah Jurai Tuwa itu ke atas rumah itu; sambil menghadap batu-batu tadi keluarlah dari mulutnya ucapan-ucapan yang tak dapat didengar apalagi dimengerti. Setelah selesai ia berbuat demikian itu, turunlah ia dan kami pun naiklah satu demi satu ke atas rumah itu setelah membuka sepatu kami. Di atas kelihatanlah dua buah benda yang terbungkus kain putih dan di atasnya tergantung payung. Dengan perlahan-lahan kami buka tutupan itu, dan terlihatlah dua buah batu.

Pk, 3.30 kami kembali ke Lahat.

Senin, 8 Maret 1954

Pk. 8 pagi kami mengunjungi kampung KarangIndah, di mana terdapat sebuah arca orang naik gajah, yang dinamakan oleh penduduk di situ arca "Puteri" dan di samping itu kami memeriksa pula teras-teras di sepanjang Sungai Lematang untuk mencari benda-benda (alat-alat batu) dari zaman prasejarah.

Menurut cerita arca "Puteri" tersebut asal mulanya seorang adik perempuan si Pait Lidah yang dikututnya menjadi batu. Kepala arca yang terlepas dari badannya, sekarang sudah dilekatkan kembali pada badannya dengan semen. Arca ini masih dipelihara dengan baik dan menjadi pujaan penduduk di situ. Di tempat arca ini dibuatkan oleh penduduk sebuah perumahan. Teras-teras di Sungai Lematang itu telah merupakan hutan lebat yang ditumbuhi dengan kayu-kayuan yang besar-besar.

Pk. 11 kami kembali ke Lahat dan sejam kemudian kami melanjutkan peninjauan kami ke Tinggihari, di mana banyak terdapat arca yang pernah diselidiki oleh v.d. Hoop. Jalan yang kami tempuh ke Tinggihari itu sangat buruknya dan sangat mendaki, sehingga Jeep yang kami tumpangi itu mempergunakan versnelling satu. Celakanya bagi kami karena di tengah jalan kendaraan kami mendapat kerusakan mesin dan salah satu dari ban depannya kehabisan anginnya, sehingga kami terpaksa mendorong kembali Jeep tersebut ke bawah dan kami meneruskan perjalanan kami ke Tinggihari dengan berjalan kaki. Pada jarak 5 km dari Tinggihari kami menjumpainya beberapa arca yang semuanya ini telah dicatat oleh v.d. Hoop dalam bukunya. Hanya sebuah arca yang merupakan menhir belum jelas diselidiki, mungkin sekali pada waktu v.d. Hoop mengadakan penyelidikan ini menhir tersebut terlentang di tanah, sedangkan sekarang telah didirikan kembali, sehingga bentuk-bentuk menhir tersebut kini dapat terlihat dengan jelas.

Arca-arca dan menhir itu semuanya terletak di tepi jalan Pulau Pinang dan Tinggihari dan menurut keterangan dari orang-orang yang pernah meninjau sendiri, di kiri kanan jalan terscbut, di tengah-tengah hutan dan alang-alang masih ada lagi kl. 6 buah arca/megalith yang belum pernah diselidiki. Oleh karena hari telah menunjukkan pk. 5 sore, maka kami pun kembali sampai ke Pulau Pinang dan dari sini kami menumpang sebuah truk menuju Lahat dan tiba di sini pk. 7 malam.

Selasa, 9 Maret 1954

Pk. 8 pagi kami sudah bersiap-siap akan meninjau Bungamas, karena di sana terdapat bekas perbengkelan alat-alat batu zaman batu muda (Neolithicum). Oleh karena kami tak ada kendaraan, kami pergi ke pasar untuk mencari bus, akan tetapi hanya ada sebuah buslah yang akan berangkat pk. 12 ke Bungamas. Kami terus menuju ke kantor Kawedanan untuk meminjam kendaraan. Akhirnya dapat juga kami pinjaman sebuah pic up, yang membawa kami ke Bungamas. Setibanya kami di sini terlebih dahulu kami mengunjungi Sdr. Camat Bungamas. Diantar oleh beliau dan beberapa orang sebagai penunjuk jalan, kami menuju ke tempat-tempat yang katanya banyak terdapat batu api. Tempat bekas perbengkelan yang diketemukan oleh Tobler dapat kami jumpai, di mana diberi tanda tugu, dan di sekitar tempat ini kami mendapatkan beberapa pecahan-pecahan batu yang dipergunakan sebagai alat pada zaman batu muda.

Kami meneruskan perjalanan kami ke Lubuk Layang untuk memeriksa dasar Sungai Saling yang mengalir di sana, di mana kami mendapatkan beberapa buah alat-alat batu dari zaman batu tua.

Dari sini kami terus ke lembah Sungai Kikim, di mana kami mendapatkan pula beberapa buah batu yang bentuknya serupa dengan alat-alat batu dari Pacitan, hanya jenis batunyalah yang berbeda. Banyak di antara penduduk Bungamas sampai sekarang masih menyimpan neolith yang sudah dipolijs sebagai pusaka.

Pk. 4 sore baru kami kembali ke Lahat.

Rabu. 10 Maret 1954

Hari ini adalah hari penghabisan kami di Lahat. Selama menunggu bus yang akan pergi ke Pagaralam, yang berangkat baru pk. 2, kami meninjau ke dusun Karangdalam, di mana terdapat sebuah batu (menhir), yang oleh penduduk di sana dinamakan 'Batu Haji". Konon menurut cerita asal batu tadi dari Mekah, yang dibawa oleh seorang haji ke daerah itu.

Pk. 12 kami kembali ke Lahat dan pk. 2 dengan bus kami menuju Pagaralam.

Kamis, 11 Maret 1954

Setelah kami memberitahukan tentang kedatangan kami kepada Pamong Praja di Pagaralam, yang memang telah lama pula mereka menunggu kedatangan kami itu, maka kami melanjutkan perjalanan kami untuk mengadakan peninjauan di Dusun Tanjungara. Di sini terdapat dua bilik batu (steenkamers), yang merupakan kuburan, yang dahulu pernah digali oleh de Bie. Bilik batu itu kini telah tertimbun kembali di dalam tanah. Setelah bilik batu tersebut dibersihkan barulah kami masuk ke dalamnya untuk mengadakan penyelidikan. Pada dinding-dinding bilik itu terlihat coretan-coretan yang merupakan gambar-gambar. Salah satu dari dinding ini telah dibawa oleh v.d. Hoop ke Jakarta yang sampai sekarang masih da-

Sungai Kikim (Bungamas, Lahat), Tempat Alat-Alat Paleolithikum.
Dinding Batu Kuburan yang Bergambar, di Tanjungara, Pagaralam.

pat dilihat di Museum Jakarta. Kepada Pamong Praja di situ kami anjurkan agar tempat tadi diberi pagar sekelilingnya, agar terhindar dari kerusakan - kerusakan yang tidak diingini.

Di sebelah utara dusun tadi masih banyak terdapat batu-batu besar, di antaranya batu ular, yang pada jaman dahulu mempunyai pengaruh besar bagi penduduk di daerah Pagaralam. Menurut cerita seorang Pangeran yang telah lanjut usianya, batu-batu tadi dipergunakan orang untuk mengambil sumpah orang-orang yang mendapat perkara; jadi kecuali sumpah di kantor pengadilan, orang ini dibawa ke tempat batu-batu ini dan di sini di ambilnya sumpah untuk kedua kalinya. Tetapi sejak th. 1914 batu-batu tadi tidak dipergunakan lagi.

Selanjutnya di dalam dusun tadi terdapat pula sebuah lesung batu, sebuah arca batu yang belum selesai pembuatannya, dan masih banyak lagi batu-batu besar yang didirikan di atas batu-batu kecil (dolmen). Rumah-rumah yang diberi ukiran-ukiran pun masih juga terdapat di sana, dan dinding rumah tadi diberi bergambar. Anehnya gambaran-gambaran tadi mempunyai ragam dari Tiongkok.

Dari dusun ini kami singgah sebentar di bekas halaman rumah kontrolir (rumahnya tidak ada lagi, karena menjadi korban bumi hangus), karena di sana masih terdapat pula arca-arca besar. Kesemuanya ini telah pernah disebut oleh v.d. Hoop di dalam bukunya.

Jumat, 12 Maret 1954

Pk. 8 pagi kami pergi meninjau ke Dusun Tegurwangi, yang letaknya kira-kira 13 km dari Pagaralam. Sampai jarak 5 km masih dapat ditempuh dengan Jeep, tetapi selanjutnya harus berjalan kaki. Di dekat Dusun Tegurwangi ini masih ada beberapa peti batu yang menurut v.d. Hoop ada 5 buah, tetapi yang kami lihat hanya tinggal 3 buah, yang keadaannya sangat menyedihkan, karena terendam air dan lumpur, disebabkan oleh saluran air yang dialirkan di dekatnya itu. Selanjutnya menurut v.d. Hoop terdapat pula 4 buah arca, tetapi yang kami temukan hanya 3 buah, mungkin yang satunya telah terjatuh ke dalam sungai, sebab letaknya di pinggir tanah yang longsor ke bawah tempat Kali Siring Agong mengalir. Di tengah-tengah sawah masih banyak terdapat batu-batu besar yang juga didirikan di atas batu-batu kecil dan masih banyak terdapat batu-batu berdiri yang merupakan menhir.

Kira-kira pk. 5 sore kami kembali ke Pagaralam dalam hujan lebat.

Sabtu, 13 Maret 1954

Pk. 8 pagi kami memerlukan mengunjungi sebuah onderneming teh "Dempo" di daerah Pagaralam, dan kedatangan kami itu diterima dengan gembira oleh kuasa di sana, tuan Huges. Maksud kunjungan kami di sini ialah selain dari melihat lembah Pagaralam dari dataran tinggi ini, yang juga penting untuk mendapatkan overzicht dari pada terrasen di lembah Pagaralam itu, juga untuk memberikan penerangan-penerangan mengenai penemuan-penemuan kepurbakalaan kepada tn. Huges, dengan pengertian bahwa apabila di daerah onderneming ini ditemukan barang-barang kuno, supaya dengan segera meneruskannya kepada Pamong Praja yang terdekat, hal ini mengingat bahwa banyak terjadi bahwa penemuan barang-barang kuno di onderneming-onderneming sering tidak dilaporkan kepada yang berwajib.

Arca Batu di Tinggihari, Lahat

Pk. 13 kami kembali ke Pasanggrahan.

Pk. 4 sore kami pergi ke Dusun Belumai, yang letaknya kira-kira 5 km dari Pagaralam, guna menyelidiki arca-arca di sana yang belum pernah diselidiki oleh v.d. Hoop. Menurut Pamong Praja di situ ada 3 buah megalith yang berupa arca orang, lesung batu, dan arca gajah.(penjelasan lihat laporan selanjutnya).

Pk. 7.30 karena hari sudah mulai gelap dan turun hujan kami pulang kembali ke Pesanggrahan.

Minggu, 14 Maret 1954

Pk. 5 pagi kami telah bersedia akan berangkat dengan sebuah bus kecil, yang kami telah bicarakan kemarin malamnya untuk membawa kami ke Lahat. Tiba di sini pk. 8 dan dengan kereta api kami meneruskan perjalanan kami ke Palembang, di mana kami tiba pk. 1.30.

Senin, 15 Maret 1954

Hari ini kami menguruskan pengangkutan kapal udara di GIA, yang akan membawa kami kembali ke Jakarta.

Pk. 2 kami sudah berangkat dari Pesanggrahan kami menuju ke lapangan terbang Talangbetutu dan pk. 4 pesawat udara kami melayang di udara meninggalkan Palembang.

Pk. 5.30 sore kami tiba dengan selamat di Kemayoran.

4. Daerah Ranau - Lampung.

Minggu, 7 Maret 1954

Pk. 9.00 kami berangkat ke Baturaja dengan kereta api, dan tiba di sana pk. 14.00.

Hari ini juga pada waktu sore kami sempat pergi ke Tanjungkarang kl. 13 km dari Baturaja. Menurut keterangan di sana ada batu bertulis. Tetapi setiba di Tanjungkarang, tidak ada orang yang mengetahui tentang batu bersurat itu. Menurut kata penduduk di situ memang tidak ada batu bertulis yang dimaksudkan itu. Yang ada hanya batu tapak; pergilah kami ke batu tapak itu. Kiranya yang disebut batu tapak itu ialah kayu yang telah membatu yang ada sebuah gambar telapak kaki di atasnya. Letaknya di pinggir Dusun Tanjungkarang, di tepi jalan dekat Air Suban. Di sekitar batu itu banyak kuburan-kuburan yang lama dan baru. Kuburan-kuburan itu dibatasi dengan batu-batu tetapi arahnya tidak menentu. Ada yang barat-timur seperti lazimnya pada makam-makam Islam, tetapi ada pula yang tidak menurut peraturan itu, sehingga mungkin makam-makam kuno. Di tengah-tengah kuburan itu terdapat tiga batang pohon kelat. Banyak sekali terdapat potongan-potongan kayu yang telah membatu. Penduduk menamakan tempat itu "Poyang Lubuk Bedara", Nama itu menunjukkan juga bahwa tempat itu sudah dipuja-puja sejak dahulu kala. Untuk dapat menentukan apa sebenarnya tempat itu tentulah harus diadakan penyelidikan yang seksama. Dalam perjalanan pulang kami singgah di Karangindah. Menurut keterangan penduduk disana ada batu bintang. Mula-mula kami mengiratentu itu batu meteor. Tetapi rupanya bukan meteor.

Senin. 8 Maret 1954

Dari pagi kami menunggu bus yang dapat membawa kami berempat ke daerah Ranau. Baru jam 13.00 ada bus yang menuju ke Muaradua. Kira-kira jam 16.00 kami sampai di Muaradua. Disini kami menunggu lagi sampai ada bus yang pergi ke Liwa atau Bandingagung. Untunglah ada juga, sehingga kira-kira jam 17.30 kami berangkat dari Muaradua. Dan jam 20.00 kami tiba di Bandingagung.

Selasa, 9 Maret 1954

Hari ini kami pergi ke Jepara untuk melihat candi yang menurut keterangan ada di tempat tersebut. Hubungan antara Bandingagung dan Jepara hanya dengan bus yang tidak tetap jalannya.

Hari ini rupa-rupanya hampir tidak ada orang yang hendak pergi ke jurusan Jepara, sehingga bus satu-satunya di Banding itu tidak jalan. Kami pergi kepada yang empunya/mempunyai bus itu apakah mau juga mengantarkan kami. Ia mau juga asal kami bayar Rp. 100,- untuk perjalanan pulang-pergi, itu pun ia tak mau sampai Jepara karena jalannya sangat rusak.

Karena kendaraan lain tidak ada, terpaksa juga bus itu kami ambil, yang mengantarkan kami sampai Lengkusa. Dari Lengkusa kami harus berjalan kaki kl. 3 km ke Jepara. Setelah hampir masuk Dusun Jepara, kami melihat ada tempat-tempat yang agak menarik perhatian, yang kami gambarkan di atas peta terlampir.

Mulai dari titik no.1 jalan mulai menurun sampai titik no. 3. Di sini terdapat sebuah mata air yang dipergunakan oleh penduduk sebagai tempat pemandian. Mata air itu bernama Wai Urai (air bersih, air murni), dan memberikan kesan arkhais. Pada titik no. 2 ada sebuah pohon beringin yang besar, antara titik no. 2 dan no. 3 merupakan tempat yang 'mencurigakan" karena di tepi jalan terdapat batu-batu yang rupa-rupanya pernah dipergunakan untuk sesuatu keperluan. Tetapi sayang sekali tempat itu sudah penuh dengan semak-semak, dan waktu tidak ada untuk menjelajah tempat tersebut, sehingga tidak dapat kami mengetahui apa yang mungkin tersembunyi di balik semak-semak itu.

Rumah Pasirah (no.5) terletak beberapa ratus meter dari Wai Urai itu. Untuk mencapai candi yang tersebut di atas kami harus berjalan beberapa puluh meter lagi, kemudian membelok ke kanan, masuk jalan kecil yang akan membawa kami masuk ke dalam "hutan kopi". Candi yang kami maksud diatas hanya tinggal soubasementnya saja, dalam keadaan baik, sehingga kami dapat menentukan profilnya.

Lebarnya kira-kira 11 x 11 m. Di sekeliling soubasement itu banyak terdapat batu-batu lepas. Agaknya tidak akan mengecewakan hasilnya apabila diadakan penggalian di tempat tersebut. Setelah menggambarkan profil candi tersebut dan mencoba juga mengambil foto dari beberapa sudut,meskipun terlalu gelap karena lebatnya pohon-pohonan dan udara mendung, kami kembali. Dari salah seorang penduduk kami mendapat keterangan bahwa ada orang di Simpang-Sender yang mempunyai sebuah "dalung" bersurat. Bermaksudlah kami untuk melihat dalung itu.

Dalam perjalanan pulang itu, tidak jauh di luar Dusun Jepara, kami berjumpa dengan Pasirah, yang rupa-rupanya bekas murid Pak Husin. Kami diminta dengan sangat untuk kembali dengan menumpang busnya. Karena kami mengharapkan bahwa mungkin beliau akan dapat memberikan petunjuk-petunjuk yang lain tentang daerahnya, permintaan itu kami penuhi. Oleh beliau kami ditunjukkan ke dua buah tempat yang ada batunya, yang satu disebut "Batu Tumpat' dan yang satu lagi "batu lesung".

Yang kami maksudkan dengan "Batu Tumpat" di atas ialah sebuah batu yang sangat besar dan sekelilingnya terdapat beberapa buah batu yang lebih kecil. Dan di sekitarnya terdapat pemakaman. Untuk mencapainya kami masuk lagi jalan kecil yang akan menuju candi, tetapi beberapa puluh meter dari jalan besar membelok ke kiri. Kami tidak dapat menentukan apakah "Batu Tumpat" itu suatu peninggalan prasejarah dengan arti yang tertentu ataukah batu biasa saja yang tidak mengandung arti sejarah, yang hanya dihormati penduduk karena besarnya. Tetapi yang menarik perhatian ialah letak peninggalan-peninggalan tersebut, ialah tidak jauh dari Danau Ranau, mungkin hanya beberapa ratus meter saja dari tepi danau.

Sayang sekali kami tak dapat melihat "batu lesung" yang ditunjukkan oleh Sdr. Pasirah itu,

Menhir Berukir di Tinggihari, Lahat.

karena hari telah mulai hujan. Beberapa lamanya kami terpaksa berteduh di bawah rumah orang di tengah sawah, dengan agak kedinginan juga oleh angin yang sekali-kali menghembus dari balik bukit di seberang Danau Ranau. Karena kami tunggu-tunggu hujan tidak reda, dan hari sudah pk. 16.00 kami kembali ke rumah Sdr. Pasirah. Kami dijamu dengan meriah oleh beliau, dan dari padanya kami mendapat keterangan bahwa di Kenali masih ada peninggalan peninggalan berupa barang-barang kuno di rumah penduduk dan bahwa di Dusun Sukabumi, Simpang Sender, ada orang yang mempunyai dalung bersurat.

Dalam perjalanan kembali ke Banding kami singgah di Sukabumi, untuk mencari dalung tersebut. Rupanya dalung itu kepunyaan "dalem" Hanafie di Dusun Sukabumi. Kami diperbolehkan membawanya ke Pesanggrahan, untuk dapat menyelidikinya dengan tenang. Hasil penyelidikan itu kami uraikan dalam lampiran tersendiri di belakang.

Rabu, 10 Maret 1954

Pergi ke Liwa untuk menyelidiki batu tulis di Bawang. Sekali ini kami mendapat kehormatan untuk naik bus bersama-sama dengan......beberapa ekor kambing. Jam 12.30 kami tiba di Liwa. Oleh pegawai polisi di sana kami dibawa ke Opseter D.P.U. di Liwa, karena dari padanya kami mungkin dapat meminjam kendaraan. Menurut keterangannya oto tidak dapat sampai ke batu itu karena letaknya di hutan. Hal itu tentulah bukan soal lagi bagi kami. Bermufakatlah kami bahwa siang itu juga kami akan melihat batu tersebut. Setelah mendapat seorang penunjuk jalan dari Sdr. Camat, ialah Sdr. Pasirah di situ, dengan tidak makan terlebih dahulu, jam 13:30 kami berangkat dengan truk dari D.P.U. Truk membawa kami sampai Simpang Sebelat, kl. 13 km dari Liwa. Dari sini kami masuk ke "pedalaman" melalui jalan kecil dalam hutan. Kami berjalan cepat-cepat selama kl. 144 jam. Sampailah kami pada tempat batu tulis tersebut. Tetapi malang bagi kami, baru dua tiga baris saja di sana sini kami baca, hujan telah turun dengan lebatnya. Foto maupun abklatskh tidak dapat kami buat. Mula-mula kami bermaksud untuk menanti hujan reda, tetapi menurut pikiran penunjuk jalan kami hujan akan terus sampai malam. Mau tidak mau kami harus kembali dengan tangan hampa. Jam 16.30 kami berangkat meninggalkan batu tersebut, dalam hu
Piagam Sukabumi, 1690 Saka. Desa Sukabumi, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Propinsi Sumatera Selatan.

jan lebat. Jalan kecil yang mula-mula baik kini telah menjadi becek dan licin dan di sana sini telah berubah menjadi "danau kecil". Perjalanan menjadi sukar, hampir semuanya kami jatuh bangun, basah kuyup, meskipun memakai jas hujan, dan dihinggapi oleh pacet. Perjalanan kembali ini terpaksa lebih dari setengah jam lebih lama dari perjalanan semula.

Setiba di Liwa sudah tidak ada lagi kendaraan yang akan membawa kami kembali ke Banding, sehingga terpaksa menginap di Pesanggrahan Liwa. Untung bagi kami Tuan Nasir demikian baik hati untuk meminjami kami masing-masing satu pasang pakaian bersih; kalau tidak demikian tentulah kami akan kedinginan dalam pakaian yang basah kuyup (Liwa terletak 900 m di atas permukaan laut).

Kamis, 11 Maret 1954

Kira-kira jam 11. 30 baru ada bus yang dapat membawa kami kembali ke Banding. Agak kebetulan juga, karena dengan demikian kami dapat menjemur pakaian kami. Maksud untuk pergi ke Krui atau Kenali terpaksa tak dapat kami laksanakan karena waktu tidak ada lagi, kendaraan pun tidak ada yang akan membawa kami kesana.

Apa yang menarik perhatian kami sejak kemarin ialah sebuah tempat yang bernama Gunung Aji, di tepi Danau Ranau. Nama itu sangat menarik perhatian, lebih-lebih waktu teringat kami akan letak Jepara dan peninggalan-peninggalan yang terdapat di situ. Timbullah dugaan bahwa di daerah Ranau itu mungkin masih lebih banyak lagi peninggalan kuno yang tersembunyi belum diketahui. Menarik perhatian pula ialah perahu-perahu dari batang kayu yang bercadik (outrigger) yang dipergunakan orang di Danau Ranau dan juga di sungai di daerah sekitarnya. Adakah itu masih merupakan "survival" dari zaman prasejarah Teringat kami akan karangan von Koningswald dalam Südseestudien, yang menyatakan bahwa daerah Krui merupakan titik mula persebaran anasir-anasir kebudayaan ke Lautan Teduh. Perahu-perahu yang bagaimanakah yang dipergunakan oleh nenek moyang kita itu? Perahu bercadik yang seperti itukah? Yang perlu juga rasanya dicatat di sini ialah bahwa banyak penduduk di daerah itu yang masih jelas menunjukkan type Mongolia. Jumat, 12 Maret 1954

Kami menuju Tanjung Karang. Dari Bandingagung kami berangkat jam 8.30 dengan bus ke Martapura. Dari sini kami naik kereta api dan tiba di Tanjung Karang jam 19.15.

Sabtu, 13 Maret 1954

Pagi hari kami berhubungan dengan pejabat-pejabat pamong praja di Telukbetung. Sdr. Residen tidak ada, sedang keluar. Kami pergi ke Pak Bupati dahulu. Beliau menunjukkan perhatiannya terhadap pekerjaan kami dan bersedia memberikan instruksinya kepada Camat Talangpadang yang akan kami tuju. Dari Pak Bupati kami pergi ke Pak Residen lagi, tetapi beliau belum juga kembali. Kami diterima oleh sekretarisnya, Pak Effendi. Beliaupun sangat antusias tampaknya, dan bersedia mencarikan keterangan-keterangan kepada bupati-bupati bawahannya tentang peninggalan-peninggalan kuno yang ada di daerahnya masing-masing. Oleh beliau kami ditunjukkan ke sebuah batu tidak jauh dari situ yang disebut "Batu Gajah". Setelah kami lihat timbullah kesan bahwa bukan "megalith", tetapi batu biasa saja.

Kemudian kira-kira jam 12.30 kami berangkat dengan bus ke Talangpadang, di mana kami tiba kira-kira jam 15.00. Sdr. Camat Talangpadang telah siap untuk meminjamkan Jeep B.R.N. untuk keperluan kami keesokan harinya.

Minggu, 14 Maret 1954

Jam. 8.30 kami berangkat menuju ke batu bertulis di Batu Bedil. Jeep hanya sampai di Pulau Panggung, dari sini kami masih berjalan kaki kurang lebih satu jam, dengan diantar oleh Sdr. Camat B.R.N. Jalanannya sedang dikerjakan. Jembatan di atas sungai yang harus kami lintasi belum jadi, sehingga kami harus meniti jembatan yang berupa sebatang kayu besar yang roboh melintang di sungai itu. Bagi orang yang mempunyai hoogteuress tentu perjalanan itu tidak mudah.

Batu bertulis itu terletak tidak jauh dari jalan, dan sudah rubuh. Tingginya (panjang) 1.85 m, lebarnya 0.72 m, dan tebalnya 0.55 m, bertulisan 10 baris dengan huruf yang besar-besar (4,5 a 5cm). Di bagian tengah, tulisannya telah rusak, di bawah terdapat lukisan berupa padma. Prasasti tertulis dalam bahasa Sansekerta. Kami berhasil membaca beberapa baris dari pertulisan yang mulai dengan:

  1. Namo bhagawate
  2. Aparimitya –
  3. -- wini ( ) ita –

dsb. Prasasti itu akan diuraikan lebih lanjut dalam lampiran tersendiri.

Kami dapat juga membuat abklatskh dari batu tersebut. Dalam menunggu keringnya abklatskh itu kami agak merasa lapar juga, karena sudah pukul 15.00. belum juga mau kering. Orang jualan tidak ada. Kami pun iseng-iseng mencari tomat hutan yang banyak tumbuh di sekitar tempat batu itu, sekedar penghilangkan kesal dan lapar. Jam 16.00 baru abklatskh dapat kami ambil. Perjalanan pulang melalui titian batang kayu rupa-rupanya lebih sukar, karena kaki telah lelah. Sayang sekali kami tidak membawa persediaan film untuk dapat menunjukkan betapa sukarnya meniti jembatan kayu itu.

Lain daripada batu bertulis itu di tempat tersebut masih terdapat "batu lesung" yang sudah tersembunyi sama sekali dalam semak-semak sehingga untuk melihatnya kami harus menebang semak-semak itu dahulu.

Juga terdapat apa yang dinamakan "batu bedil" dari mana dusun di situ mengambil namanya. Apa sebenarnya batu bedil itu tidak dapat kami menentukannya.

Sore itu juga jam 18.00 kami masih dapat kembali ke Tanjung Karang.

Senin, 15 Maret 1954

Pagi kami menemui-lagi Pak Effendi. Beliau memberikan keterangan-keterangan tentang peninggalan-peninggalan yang di antaranya bahwa di Wai Teneng, 95 km dari Kotabumi ada batu bertulis seperti yang telah kami dengar dari Pak Nasir di Liwa. Jalan itu hanya sebagian (65 km) dapat dijalani dengan oto, yang 30 km harus ditempuh berjalan kaki, sehingga makan waktu kira-kira satu hari. Terpaksa kami tidak dapat melihat batu tersebut.

Sore jam 21.00 waktu S.S. kami bertolak meninggalkan Pulau Sumatra dengan kapal menuju Merak.

Selasa, 16 Maret 1954

Pagi-pagi kira-kira jam 6.00 kurang sedikit kapal kami sampai di Merak. Kereta api yang akan membawa kami ke Jakarta telah siap akan berangkat dan pada jam 11.30 kami tiba kembali di Jakarta dengan selamat.