Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat/Bab 5

5

BIOGRAFI DAN KARYA DARMAN MOENIR


Biografi
  Drs. Darman Moenir, demikian nama lengkap salah seorang sastrawan asal Sumatra Barat ini, dilahirkan di Sawah Tengah, Batusangkar, Provinsi Sumatra Barat pada tanggal 27 Juli 1952. Ibunya yang bernama Syamsidar berasal dari Parak Laweh, Kota Padang. Ayahnya bernama Moenir, berasal dari negeri tempat Darman dilahirkan. Suatu hal yang tidak lazim di Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan matrilineal ketika seorang istri berdiam di rumah keluarga suaminya. Namun, itulah yang terjadi dengan keluarga ayah dan ibu Darman Moenir. Ayah Darman yang bekerja sebagai guru di kampung halamannya itu memboyong istrinya sehingga Darman bersaudara pun lahir dan dibesarkan di Sawah Tengah, Batusangkar, bukan di Kota Padang.
  Darman terlahir sebagai putra sulung dari empat orang bersaudara. Ayahnya termasuk orang terpandang di desanya karena profesi guru menempati kelas sosial yang tinggi di Minangkabau. Guru termasuk kedalam kelompok masyarakat yang disebut "tungku tigo sajarangan" ("tungku tiga sejerangan"), yakni niniak mamak(pemangku adat), alin ulama (alim ulama), dan cadiak pandai (cendiakawan; di dalamnya termasuk guru). Profesi ayahnya itu kelak akan berpengaruh banyak kepada pertumbuhan kepribadian Darman Moenir.
  Sebagai guru, ayah Darman mempunyai kecintaan yang besar terhadap buku bacaan, baik ilmu pengetahuan, agama, filsafat, hiburan, maupun kesastraan. Darman kecil menuruni hobi membaca dari ayahnya. Ia dibebaskan membaca semua koleksi buku ayahnya tanpa dibatas-batasi meskipun ketika itu usianya masih anak-anak. Jadi, tidak


96 mengherankan kalau di bangku sekolah dasar Darman sudah mengenal tulisan Khalil Gibran, William Shakespeare, dan sastrawan dunia lainnya. Hal itu kelak turut memperkaya wawasan Darman Moenir sehingga ia hadir sebagai salah satu sastrawan Indonesia yang berbakat.


Sosok ayah memiliki arti yang banyak bagi Darman. Meskipun ayahnya selalu bertekun dengan hobinya membaca, bermain biola, dan menggambar, ia tetap meluangkan waktu untuk Darman kecil. Ia juga memerdekakan anak-anaknya berbuat sesuai keinginan asalkan tidak bertentangan dengan ajaran agama dan adat-istiadat yang berlaku.


Ibu Darman Moenir adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang menjadi pendorong bagi anaknya hingga dapat menyelesaikan pendidikan tinggi dan menjadi sastrawan. Arti ibu bagi Darman adalah sosok yang telah menjadikan dirinya “utuh” dan mampu menampilkan keberadaannya di tengah lingkungan sosialnya dengan mengenyampingkan kekurangan fisik yang dideritanya semenjak kanak-kanak. Darman menempatkan ibunya sebagai inspirator yang banyak mengilhaminya dalam menciptakan karya sastra.


Darman memiliki kenangan masa kecil yang indah di Sawah Tangah. Di negeri beralam elok yang berhadapan dengan Gunung Marapi itu ia dibesarkan. Sawah berjenjang-jenjang, jajaran Bukit Barisan, udara yang sejuk merupakan kenangan yang tidak akan dapat dilupakan olehnya. Jalan setapak, rumput yang selalu basah ketika hujan, capung, kupu-kupu, dan berbagai macam serangga yang selalu mengitari tanaman, benar-benar mengundang inspirasi bagi Dariman. Ia pun terbiasa menjelajahi kampung bersama kawan kawan sesama besar. Darman juga mencatat peristiwa menggelikan di masa kecil dulu, yakni ketika ia dan teman-temannya memanjat menara masjid di kampung mereka. Dari sana mereka mengintip para perempuan sedang mandi telanjang. Dari menara masjid itu pula ketika masa PRRI, ia melihat tentara—mungkin anggota Organisasi Pembela Rakyat (OPR) atau Wajib Bela Desa (WBD)—melemparkan sejumlah buku berupa tulisan tangan yang rapi. beraksara Arab gundul dan Latin, serta berbahasa Minangkabau atau berbahasa Indonesia. Buku-buku tersebut ada yang dipungut dan dibawa ke rumah oleh Darman dan di antaranya terdapat bacaan anak berjudul Bendera Berkibar dan itu pun dibacanya ia sudah duduk di bangku SR.


Darman mengawali pendidikan dasar di SR (Sekolah Rakyat) Sawah Tangah, Batusangkar pada tahun 1958 dan tamat pada tahun 1964. Di samping mengikuti pendidikan formal, Darman pun mengaji di surau yang terletak tidak begitu jauh dari rumahnya. Surau di pinggir sungai itu pun menjadi tempat bersosialisasi baginya dengan teman-teman sebaya, orang dewasa, dan lingkungan yang beragam, selain belajar membaca Quran. Menurut Darman (dalam Eneste, 2009:19—2), di tempat itu pula ia belajar beradat dan beradab; bersilat raga dan bersilat lidah, semacam intellectual gymnastics.


Darman memiliki hobi membaca semenjak ia bisa membaca di kelas ISR. Ia membaca beberapa buku sastra koleksi ayahnya, seperti Kerikil Tajam yang Terhempas dan yang Putus (Chairil Anwar); Deru Campur Debu (Chairil Anwar); Tiga Menguak Takdir (Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani); Puisi Dunia (terjemahan oleh M. Taslim Ali); Salah Asuhan (Abdul Muis); Sitti Nurbaya (Marah Rusli); Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka); Merantau ke Deli (Hamka); Tenggelamnya Kapal van der Wijck (Hamka), serta Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis). Selain itu, ia membaca buku lain milik ayannya, seperti buku-buku agama, ilmu pendidikan, sejarah, adat, adat, tambo, dan majalah yang semula dilarang untuknya, namun akhirnya diperbolehkan ayahnya. Ketika membaca buku terlintas pertanyaan di kepala Darman, “Mengapa para penulis buku itu mampu, pandai, dan menulis sehebat itu?”


Setelah tamat SR, Darman langsung melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri di Atas Ngarai, Simabua, Kabupaten Tanah Datar pada tahun 1964. Dengan kaki telanjang, ia menempuh perjalanan sepanjang 600 meter pulang pergi setiap harinya ke sekolah. Pada usia remaja itu, ia mulai memahami bahwa dalam sistem kekerabatan berdasarkan garis ibu (matrilineal), ia sekeluarga berstatus “menumpang” di Nagari Sawah Tangah. Di nagari itu ia bukan urang usali ('orang asal') sebab kampung halaman ibunya adalah Kampung Parak Laweh di Kota Padang. Berdiam di rumah bako (‘keluarga besar ayah’) ternyata tidak merupakan keganjilan bagi Darman dan saudara-saudaranya karena keluarga asal ayahnya itu tergolong punah (sedikit ataupun tidak memiliki penerus matrilneal/saudara perempuan), mereka pun diperlakukan dengan sangat baik. Mereka berdiam di rumah keluarga asal ayahnya bersama “sang pewaris” rumah itu, yakni saudara perempuan ayah (dalam hubungan kekerabatan yang disebut bako oleh ego) yang dipanggil Darman dengan sapaan Umi Bak Tun. Selain itu, juga ada Umi Bak Tun (kakak laki-laki dari ayah) dan Gack (orang lain yang sudah dianggap saudara kandung dalam keluarga ayah). Semua keluarga ayahnya sangat menyayangi Darman dan saudaranya yang lain. Umi Pun memberikan perhatian khusus, apalagi mengingat Darman menderita Polio semenjak kecil. Semua realitas kehidupan sosial itu kelak dinarasikan Darman Moenir dalam Bako, novelnya yang fenomenal.


Masyarakat Sawah Tangah sangat santun kepada Darman Sekeluarga. Meskipun hanya berstatus “orang menumpang”, mereka tidak merasa demikian karena ia sudah menjadi bagian dari komunitas Sawah Tangah. Meskipun secara matrilenal Darman, ibunya, dan Saudara-saudaranya adalah orang Parak Laweh Kota Padang, selama hidupnya Darman merasa dan mengaku hanya sebagai orang Sawah Tangah. Ia menjalani kehidupan sebagaimana “orang darek” pada Umumnya, mengikuti adat-istiadat dan tradisi yang berlaku di daerah Yang diyakini sebagai daerah asal kebudayaan Minangkabau tersebut. Ia sering mengikuti berbagai bentuk tradisi lisan yang mengandalkan dan memamerkan kepiawajan berpantun dan berdiplomasi, seperti pakolahan, pasambahan (tradisi lisan), dan pepatah-petitih yang Siadakan dalam berbagai upacara, seperti kelahiran, pernikahan, kematian, dan alek (pesta) nagari. Hal yang menarik bagi Darman adalah bahwa bentuk-bentuk tradisi lisan beserta upacara yang membingkainya Masih tetap dilakukan oleh masyarakat, meskipun dalam suasana perang Saudara PRRI sekalipun.


Darman tamat SMP pada tahun 1967. Setelah itu, ia memasuki Pendidikan menengah atas di SSRI (Sekotah Seni Rupa Indonesia) di Kota Padang. Sesungguhnya, Darman ingin bersekolah di SMA Negeri di Batusangkar, tetapi ayahnya menyarankan agar ia menekuni seni rupa Sesuai dengan bakatnya. Darman mengikuti keinginan ayahnya karena ia sendiri pun berkehendak berdiam di tempat yang lebih jauh dan ramai. Bersekolah di SSRI pada tahun 1967—1970 adalah langkah awal bagi Darman Moenir dalam berkiprah di dunia kesastraan. Meskipun Memasuki jurusan seni lukis, tetapi Darman malah menekuni penulisan Puisi dan karyanya itu dimuat di majalah sekolah.


Di sekolah itu pula Darman berkenalan dengan Wisran Hadi, Seorang budayawan Sumatra Barat yang menjadi gurunya di sana. Hubungan antara murid dan guru itu di kemudian hari membuahkan Dersahabatan akrab yang tetap terjalin utuh sampai akhir hayat, meskipun Waktu yang dilewati demikian panjang. Darman dan Wisran Hadi bersama-sama menjadi tokoh yang berperan aktif dalam kehidupan kebudayaan, khususnya kesusasteraan Minangkabau di Provinsi Sumatra Barat, Darman memiliki kesan sangat mendalam terhadap mantan gurunya itu ketika ia masih bersekolah di SSRI, yakni ketika siswa dan guru SSRI pergi bersama-sama ke Lembah Harau di Payakumbuh untuk melukis alam di sana. Dalam perjalanan, gurunya itu hanya memakai celana jeans, berkaus oblong, dan ia duduk di lantai bus karena bangku sudah penuh. Bagi Darman, sangat tidak beretika jika murid duduk di bangku, sedangkan gurunya di lantai. Namun, bagi Wisran Hadi itu merupakan hal wajar karena ia mendahulukan kepentingan siswanya, bukankah bus itu tidak akan membuang penumpangnya yang tidak mendapat bangku.


Ketika bersekolah di SSRI, Darman mulai mengikuti kursus bahasa Inggris. Ketika itu pula, Wisran meminjaminya buku Seven Arts (disunting oleh Fernando Puma dan diterbitkan oleh Doubleday&Company Inc.) dan memintanya menerjemahkan buku itu ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahan dalam bahasa yang kaku tersebut akhinya dimuat pula di surat kabar. Menurut pengakuan Darman, Seven Arts tidak penah dikembalikannya lagi ke Wisran Hadi. Selain kepada Wisran Hadi, Darman juga rajin meminjam aneka buku silat serta buku-buku karya Iwan Simatupang, Motinggo Boesye, dan Boris Pasternak di kios sewaan buku “Maran” di sudut Museum Negeri Adityawarman, Jalan Diponegoro, Padang. Darman mendapat pinjaman buku pula dari kawan satu kos dengannya, yakni orang sekampungnya yang berprofesi sebagai guru, bemama Sjafiri Dali alias Wan Piri. Ia bahkan dipinjamkan pula mesin ketik dari kantornya oleh Wan Piri. Teman-teman satu kos yang telah berstatus mahasiswa pun meminjaminya buku, di antaranya buku Teknik Mengarang karangan Mochtar Lubis.


Ketika masih bersekolah di SSRI, tepatnya pada tahun 1969, Darman menghasilkan cerpen pertama berjudul “Senja Penentuan” yang dipublikasikan di surat kabar harian Haluan, Padang. Cerpen tersebut berlatar pengalaman Darman berkenalan dengan gadis cantik yang sekelas dengannya. Ia sangat menyukai gadis itu, tetapi untuk mengakrabkan diri dengannya, Darman tidak punya nyali. Keakraban dengan gadis itu hanya dinikmati Darman dalam angannya hingga lahirlah cerpen itu. Sayangnya, sebagai kolektor yang baik, Darman tidak memiliki lagi dokumen cerpen publikasi pertamanya itu karena dipinjam oleh Alm. Anas Kasim dan tidak pernah dikembalikan padanya.


Pada tahun 1970, Darman Moenir mulai serius menerjunkan diri sebagai sastrawan. Dunia sastra yang pada awalnya dirintis Darman dengan menulis puisi dilanjutkannya dengan lebih mengembangkan kemampuan menulis berbagai jenis karya kreatif. Selain puisi, Darman pun menulis prosa, kritik, dan esai. Pada tahun 1971, surat kabar harian Indonesia Raya yang ketika itu dipimpin oleh sastrawan Mochtar Lubis, memuat cerpen Darman yang berjudul “Gantunganku Sudah Putus”. Majalah sastra Horison pun memuat esai Darman yang berjudul “Surat dari Padang”.

 Setelah tamat dari SSRI Negeri Padang pada tahun 1970, pada tahun 1971 Darman melanjutkan kuliah di ABA (Akademi Bahasa Asing) Prayoga di Padang. Pada awalnya, ia ingin melanjutkan ke ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) Yogyakarta, tetapi ayah, Umi, dan Bak Tuo-nya enggan mengizinkannya sekolah terlalu jauh mengingat fisik Darman yang tidak sempurna. Masa-masa kuliah benar-benar merupakan saat yang menyenangkan bagi Darman. Kesan menerima honor perdana dari “Senja Penentuan” di Haluan dan dilanjutkan dengan tulisan lain di Aman Makmur, Semangat, Singgalang, dan Padang Post menyebabkan ia semakin bersemangat menulis. Ketika berkenalan dengan Rusli Marzuki Saria (Papa) yang ketika itu mengasuh Ruang Budaya di Haluan, ia pun berkesempatan bertandang ke rumah penyair gaek tersebut untuk meminjam buku dan bundel Horison. Pada saat dan tempat bersamaan, ia berkenalan dengan sastrawan A.A. Navis. Sastrawan itu menanggapi kiprah Darman dengan lugas bahwa jika ingin menjadi sastrawan ternama, publikasikanlah tulisan Anda di koran dan majalah ibu kota, kalau perlu gunakanlah nama besar A.A. Navis sebagai rekomendasi. Navis juga menasihati Darnman agar bekerja keras dan banyak belajar untuk menjadi penulis mumpuni. A.A.Navis bahkan memberi Darman uang (untuk ukuran tahun 2011) senilai Rp100.000,00. Darman tidak dapat mengartikan tujuan pemberian uang tersebut: Sekedar tambahan uang sekolah bagi pemuda yang sedang bersekolah, Untuk membeli buku, ataukah memang begitu cara Navis menyemangati anak-anak muda yang berbakat di dunia kepengarangan.

 Pada awalnya, Darman belum memiliki rasa percaya din untuk mengirim tulisannya ke media cetak di Jakarta. Namun, akhimya ia mencoba juga mengirimkan cerpen berjudul “Nasib” ke surat kabar Indonesia Raya dengan surat pengantar yang menyatakan bahwa karyanya itu dikirimkan atas saran dari Navis. Mochtar Lubis yang ketika itu menjadi pemimpin redaksi koran tersebut memuat cerpen “Nasib” dengan mengubah judulnya menjadi “Gantunganku Sudah Putus”. Ketika Darman menemui Navis untuk membuat pengakuan bahwa ia mengirim cerpen dengan membawa-bawa nama pengarang “Robohnya Surau Kami” itu, sastrawan satiris itu malah menanggapi dengan gaya cemoohnya, kira-kira demikian, “Waang (Kamu) pengecut. Untuk cerpen yang bagus, tidak perlu membawa nama saya dan memang harus dimuat di koran Jakarta.”

Pada tahun 1973, Darman memimpin kelompok studi sastra Kerikil Tajam. Kelompok studi sastra yang berdiri atas saran Navis pula itu beranggotan orang-orang yang memiliki perhatian besar terhadap dunia sastra. Kelompok tersebut sering mengadakan kegiatan kesastraan yang berpengaruh kuat terhadap perkembangan kesastraan. Kerikil Tajam pun berhasil menjadi semacam wadah pembekalan bagi anggotanya untuk mengantarkan mereka kelak menjadi “pekerja sastra”. Kerikil Tajani mengukir sejarah tersendiri bagi perkembangan kesastraan Sumatra Barat, khususnya kesastraan Kota Padang. Sebagian besar anggota kelompok studi sastra itu akhimya menampakkan sosok mereka sebagai pekerja sastra yang berpotensi. Kedua belas anggota kelompok tersebut adalah Darman Moenir, A. Chaniago H.R., Asneli Luthan, Susianna Darmawi, R. Lubis Zamaksyari, Azwaldi Busando (nama pena Wall Paragoan), Yalvema Miaz, Harris Effendi Thahar, Sjahida Siddiq, Zulfikar Said, Tabah S. Rawisati.

Darman Moenir menyelesaikan sarjana muda sastra Inggris di ABA Prayoga Padang pada tahun 1974. Berbekal ijazah itu, Darman diberi kesempatan oleh A.A. Navis untuk menjadi guru bahasa Inggris di Ruang Pendidik INS Kayu Tanam, Sumatra Barat. Semenjak menjadi wartawan Haluan pada tahun 1975-1982, berkali-kali ia mengirim tulisan ke media cetak ibu kota, meskipun tidak seluruhnya dimuat. Majalah sastra Horison edisi 1 Januari 1975 pertama kali memuat dua puisi Darman yang berjudul “Shelly Kecil” dan “Kutak Simak Baris-Baris Gerimis” setelah dua tahun sebelumnya, Sapardi Djoko Damono (anggota redaksi) menyurati bahwa karya itu akan dimuat. Menyusul kedua sajak terdahulu, Horison edisi 3 Maret 1976 pun memuat puisi-puisi lain Darman. Lagi lagi atas prakarsa Navis, puisi “Shelly Kecil” diterbitkan dalam bentuk buku kecil di INS Kayu Tanam dengan judul yang diambil dari salah satu baris dalam puisi tersebut, yakni "Kenapa Hari Panas Sekali?"

A.A. Navis tampaknya memang orang yang memiliki andil besar dalam karier kepengarangan Darman. Navis pula orang yang memberi kesempatan pertama pada Darman untuk berkunjung ke Pulau Jawa, ke Jakarta. Bersama belasan sastrawan Sumatra Barat, Navis mengajak Darman ke “Pertemuan Sastrawan II” di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1974. Pertemuan itu membuat Darman berkenalan dengan sastrawan-sastrawan terkenal di Indonesia, seperti Rendra, Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Muhammad, Saini K.M., dan Wing Kardjo. Navis pula yang memberi kesempatan pertama pada Darman untuk bepergian dengan pesawat terbang. Bersama Armansyah Nizar, Darman mengikuti “Lokakarya Penulisan Cerita Anak Anak” yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Cipanas, Jawa Barat pada tahun 1975. Ketika itu, Darman Moenir baru saja menikahi gadis pilihannya yang sekarang bernama lengkap Dra. Hj. Darhana Bakar pada tanggal 18 Mei 1975.

Perkenalan Darman dan Darhana dimulai semenjak tahun 1973 ketika gadis itu masih belajar di PGA (Pendidikan Guru Agama). Oleh Navis, Darman lagi-lagi diberi kesempatan perdana, kali ini berkunjung ke luar negeri, bersama istri pula. Mereka berdua berangkat ke Ipoh Malaysia untuk menghadiri “Hari Sastra: Konferensi Sastra dan Kebudayaan” pada tahun 1980. Perkawinan Darman-Darhana membuahkan enam orang putra putri, yakni: Tahtiha Darman Moenir (30 Mei 1976), Haiyyu Darman Moenir (21 Desember 1980), Alm. Abla Darman Moenir, Hoppla Darman Moenir (14 Desember 1982), Tastafti Darman Mocnir (29 Mei 1984), dan Asthwa Darman Moenir (23 Juni 1994). Keistimewaan istrinya itu menurut Darman adalah dia dapat menjadi teman diskusi yang menarik dan dengannya Darman merasa mendapat pendamping yang seimbang untuk berbagi dalam berbagai hal.

Semenjak tahan 1976 sampai tahun 1982, Darman Moenir turut mengasuh Grup Bumi bersama Wisran Hadi, Raudha Thaib, Hamid Jabbar, Harris Effendi Thahar, dan Herisman Is. Ia juga menjadi penasihat kelompok yang bergerak di bidang teater, seni, dan sastra di Kota Padang tersebut. Grup Bumi yang kemudian berkembang menjadi yayasan pada tahun 1983 didirikan dan diketuai pula oleh Darman Moenir.

Pada tahun 1981, Darman kembali memasuki dunia perkuliahan di Fakultas Sastra Universitas Bung Hatta, Padang untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S-1. Namun, pada tahun 1983 ia pindah dari perguruan tinggi tersebut. Setelah diterima sebagai pegawai negeri sipil di Museum Negeri Adityawarman pada tahun 1984, ia melanjutkan kuliah kembali di STBA (Sekolah Tinggi Bahasa Asing) Prayoga, Padang. Ia menyelesaikan pendidikan Sarjana Sastra Inggris pada tahun 1989.

Semenjak tahun 1982 sampai tahun 1991, Darman menjadi wartawan lepas dan kolumnis yang menulis di berbagai media cetak, baik regional maupun nasional. Pada tahun 1992, Darman kembali menjadi editor dan wartawan tetap di surat kabar harian Semangat dan berakhir ketika surat kabar tersebut ditutup pada tahun 2002.

Karier Darman Moenir sebagai PNS berakhir pada tahun 2008 ketika tiba saatnya usia pensiun. Pensiun bukan berarti berhenti menulis baginya, ia tetap sastrawan dan budayawan yang berkarya di berbagai bidang kesenian. Ia tetap aktif sebagai penyair, cerpenis, esais, kritikus, dan partisipan kebudayaan Minangkabau yang dikenal di Indonesia dan mancanegara.

Sosok Darman Moenir sebagai sastrawan besar ditandai oleh karakternya yang khas, yaitu selalu serius dan ingin sempurna dalam mengerjakan sesuatu. Ketika memasuki perguruan tinggi, ia tekun mempelajari bahasa asing yang dipilihnya sebagai jurusan studi sebab ia sangat yakin bahwa dengan penguasaan bahasa asing sebagai bahesa kedua akan meningkatkan wawasannya terhadap dunia sastra yang ditekuninya. Darman tidak mau setengah-setengah dalam berbagai hal. Ketika menggarap suatu fiksi, baik cerpen maupun novel, Darman selalu melakukan perbaikan berkali-kali untuk sampai pada kesempurnaan yang memberinya kepuasaan.

Darman Moenir juga memiliki keunikan. Ia hanya akan mengirim tulisan kepada suatu media apabila ia sudah yakin bahwa karya tersebut akan lulus dari meja redaksi untuk diterbitkan. Artinya, ia tidak pernah membuat tulisan asal jadi. Hal itu dapat dimaknai sebagai kesungguhan Darman dalam menulis. Boleh jadi, hal tersebut pun menjadi penanda khas bagi Darman bahwa ia selalu memberikan yang terbaik yang ia punya untuk pembacanya dan ia juga orang yang bisa menebak selera calon pembaca (redaksi) dengan tepat.

Dalam buku yang disunting oleh Pamusuk Eneste, Danman Moenir menegaskan bahwa ia menulis dalam rangka mengkonkretkan yang abstrak dan semakin mengkonkretkan yang sudah konkret. Artinya, ia menulis yang benar-benar sudah dikenalinya, bukan yang dikenalinya setengah-setengah, atau yang dikenalinya secara sedikit. Menurut Darman, ia tidak pandai mengada-ada dalam menulis, “konyol” barangkali kata yang tepat digunakan jika penulis seperti Darman menuliskan “sesuatu” yang bukan dikenalinya sejak lama dan intensif.

Dalam menulis puisi, Darman mengakui bahwa ia terpengaruh gaya penyair lain, seperti Chairil Anwar dan Goenawan Mohamad, tetapi ia berusaha sekuat mungkin membebaskan diri dari bayang-bayang kedua penyair tersebut. Menulis puisi baginya adalah memindahkan yang ia ingat dan rasakan menjadi tulisan yang ia tidak ketahui bagaimana proses kata kata, larik-larik, dan bait-bait terangkai sehingga menjadi sebuah Puisi. Ia bisa saja menulis sajak berdasarkan keindahan alam yang memesonanya, lolongan anjing, suasana yang menggelitik atau mencekam, bahkan senyuman penuh makna yang ia renungkan sedalam- dalamnya.

Dalam menulis prosa, menurut Darman, ia terangsang oleh “sesuatu” yang tidak mudah dirumuskan dengan kata-kata. Ketika menulis novel Bako misalnya, ia tersadar dari ketidakbiasaan yang dilakoninya bersama keluarganya, yakni tinggal di rumah keluarga asal ayahnya (biasa berlaku dalam masyarakat patrilineal) di tengah Masyarakat Minangkabau yang matrilineal. Uniknya, ia tidak dianggap Orang asing, dikucilkan, atau ditolak oleh keluarga ayahnya, bahkan Oleh masyarakat. Hal seperti itulah yang mendesak untuk ditulisnya Meskipun menulis bukanlah pekerjaan yang mudah dan simpel. Ketika menulis novel Gumam, ia juga menuliskan hal konkret, di antaranya pada cerita mengintip perempuan mandi dari menara mesjid, sesuatu yang pernah diperbuat bersama teman-temannya di masa kecil dulu.

Pengalaman menulis novel Dendang dan Aku Keluargaku Tetanggaku bagi Darman adalah hasil pematangannya dalam menggunakan bahasa. Ia dengan teliti menggunakan bahasa dan mencermati pemakaian kaidah bahasa yang baik sehingga naskahnya tidak perlu lagi disunting oleh penerbit. Suatu kerja serius dan keyakinan kemampuan berbahasa yang dipertaruhkan Darman dalam karier kepengarangannya.

Ada beberapa cerita menarik tentang Darman dan kecmpat novelnya yang telah terbit itu (Gumam, Bako, Dendang, dan Aku Keluargaku tetanggaku). Gumam adalah novel yang ia kirim ke Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta, 1976. Novel itu adalah satu di antara delapan novel yang direkomendasikan layak terbit oleh dewan jurt, meskipun tidak menang. Gumam kemudian dimuat di koran Sinar Harapan. Darman juga menulis ulangnya dengan perubahan judul menjadi Kampung Kecil (diterbitkan bersambung di surat kabar harian Haluan, Padang, 1977); Batu (diterbitkan bersambung di surat kabar harian Haluan, Padang, 1977); Riak Kecil (dimuat bersambung di surat kabar harian Pelita, Jakarta, 1993); dan Riak yang Lain (dimuat bersambung di surat kabar harian Pelita, Jakarta, 1993).

Bako yang diubah oleh Darman dari judul Mendiang telah disuntingnya sampai lima kali sebelum dipublikasikan. Ia mencoreti, mengubah, menambah, mengurangi, menyalahkan, dan membetulkan karyanya itu sebelum ia merasa puas membacanya. Ia mengirim karya tersebut ke Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta, 1980. Ia memperoleh hadiah utama dan namanya pun disejajarkan dengan sastrawan besar Budi Darma (novel Olenka) dan Nasjah Djamin (novel Harapan). Sebelum diterbitkan Balai Pustaka, Pustaka Jaya berencana menerbitkan Bako dengan memintanya mengubah judul karena istilah bako belum familiar bagi masyarakat Indonesia, tetapi Darman keberatan. Bako kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka (cetakan pertama 1983) yang redaktur pelaksananya pada waktu di antaranya adalah Subagyo Sastrowardojo, Abdul Hadi WM, dan Hamid Jabbar.

Dendang yang merupakan novel tanpa suntingan dari penerbit itu juga diterbitkan oleh Balai Pustaka, 1988. Novel itu tidak dikirimkannya untuk ikut sayembara apa pun juga. Hal itu dilatarbelakangi oleh kritik Nashar, seorang pelukis, yang menyatakan bahwa alangkah lebih berharganya sebuah karya seni (termasuk karya sastra) yang tidak diciptakan oleh dorongan mengikuti sayembara, semata-mata lahir sebagai karya kreatif “murni”. Cerita tentang kritik ini terurai lebih lengkap pada bagian “Tanggapan Pengamat terhadap Karya Darman Moenir.”

Aku Keluargaku Tetanggaku adalah novel yang ia kirim ke lomba penulisan novel yang diadakan majalah Kartini, Jakarta (1987) dan memenangi hadiah kedua. Meskipun sudah dikritik Nashar, godaan sayembara merupakan motivasi yang luar biasa bagi dunia kepengarangan seorang Darman Moenir. Novel Aku Keluargaku Tetanggaku pernah dimuat di surat kabar harian Suara Pembaruan, Jakarta (1987) dengan judul Kemelut dan diterbitkan oleh Balai Pustaka (1994) juga dengan judul Kemelut dan tanpa disunting oleh penerbit. Novel itu kemudian dengan judul Jiran dimuat secara bersambung di koran Republika. Sesungguhnya, Jiran adalah judul paling awal dari novel tersebut. Dalam karier kesastraannya, Darman Mocnir dikenal sebagai sastrawan Indonesia yang aktif tampil di pertemuan-pertemuan sastrawan nasional, Asia, maupun internasional. Daftar kegiatan kesastraan yang diikuti Darman Moenir secara rinci tercantum dalam daftar berikut.

A. Dalam Negeri

  1. Peserta “Konferensi Pengarang Indonesia Kedua”, di Jakarta (1974)
  2. Peserta “Penataran Pertama Cerita Anak di Cipanas”, Jawa Barat (1975)
  3. Peserta “Penataran Kedua Cerita Anak di Cisarua”, Jawa Barat (1976)
  4. Peserta “Konferensi Kedua Sastrawan Kepulauan”, Jakarta (1979)
  5. Peserta “Penataran Kemahiran Periklanan”, Jakarta (1980)
  6. Peserta “Pertemuan Seminggu Kesenian Sumatra”, Medan (1981)
  7. Peserta “Konferensi Sastrawan Daerah” di Pekanbaru (1982)
  8. Panitia “Konferensi Tingkat Tinggi Penyair ASEAN”, di Bali (1983)
  9. Peserta “Pertemuan Penyair Indonesia”, di Jakarta (1983)
  10. Pembicara “Pertemuan Pengarang Kedua Forum Dialog Utara” di Medan (1984)
  11. Pimpinan rombongan Teater Bumi dari Padang ke Jakarta (1985)
  12. Sekretaris II Komite Organisasi Festival Teater Indonesia 1986 di Padang (1986)
  13. Pembaca tunggal “Pembacaan Puisi IKJ (Institut Kesenian Jakarta)” (1986)
  14. Peserta “Kursus Studi Museologi Direktorat Permuseuman-Reindwardt Academy, Netherland” di Padang (1991)
  15. Peserta “Kongres Kebudayaan” di Jakarta (1991)
  16. Peserta “Musyawarah Dewan Kesenian se-Indonesia III” di Ujungpandang (1992)
  17. Pembaca puisi “Pembacaan Puisi Bosnia Kita oleh Penyair Indonesia” di Jakarta (1992)
  18. Pimpinan rombongan Teater Dayung-Dayung dari Padang ke Jakarta (1992)
  19. Pembaca puisi “Pembacaan Puisi Bosnia Kita oleh Penyair Indonesia” di Surabaya (1993)
  20. Pimpinan rombongan Teater Bumi dari Padang ke Jakarta (1993)
  21. Pembaca puisi “Baca Puisi di Bulan Ramadhan oleh Penyair Indonesia” di Jakarta (1994)
  22. Pembaca puisi “Festival Pembacaan Puisi "Dari Negeri Poci” di
  23. Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

 Tegal (1994)

  1. Pimpinan rombongan “Pembacaan Puisi Keliling di Beberapa Kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur” (1994)
  2. Pembicara dan pembaca puisi “Pertemuan Sastra di Padang, Pekanbaru, Jambi, Bengkulu, dan Lampung” (1995)
  3. Anggota rombongan Teater Bumi dari Padang ke Jakarta (1995)
  4. Peserta “Kongres Kesenian Indonesia I” di Jakarta (1995)
  5. Peserta “Seminar Informal tentang Eksperimen dan Kebebasan” yang diselenggarakan oleh Association of American PublishersLontar Foundation di Ciloto, Jawa Barat (1996)

B. Luar Negeri

  1. Pembicara pada “Hari Sastra: Konferensi Sastra dan Kebudayaan” di Ipoh, Malaysia (1980)
  2. Pembicara pada “Konferens: Pengarang ASEAN Kedua” diselenggarakan PEN Club di Manila, Philipina (1981)
  3. Peserta “Program Kunjungan Kebudayaan” di Bangkok, Thailand (1981)
  4. Peserta “Pertemuan Simposium Dunia Melayu” di Malaka, Malaysia (1982)
  5. Peserta “Simposium Internasional Melayu” di Kuala Lumpur, Malaysia (1983)
  6. Peserta “Pesta Penyair Kepulauan” di Singapura (1983)
  7. Peserta “Hari Sastra Konferensi Sastra dan Kebudayaan” di Johor, Malaysia (1983)
  8. Peserta “Program Kunjungan Internasional” di Amerika Serikat (1988)
  9. Peserta “The Intemational Writing Program” di TOWA City, Amerika Serikat (1988)
  10. Peserta “Konferensi Ketujuh Sastrawan Kepulauan” di Singapura (1991)
  11. Pembicara pada “Konferensi dan Pelatihan Sastrawan ASEAN” di Pulau Penang, Malaysia (1992)


Karya-Karya Darman Moenir

Darman Moenir menulis berbagai ragam karya sastra, mulai dari puisi, cerpen, novel, kritik, artikel, laporan penelitian, hingga karya terjemahan. Dari karya-karya tersebut, ada yang telah dan ada pula yang


108 belum diterbitkan. Beberapa karya puisi Darman Moenir antara lain sebagai berikut.

  1. Kenapa Hari Panas Sekali? Kumpulan Puisi (INS Kayu Tanam, 1975)
  2. Tanpa Makna: Kumpulan Puisi Pilihan (tidak dipublikasikan, 1982)
  3. Beberapa puisi dalam Antologi "Tonggak" Puisi Indonesia (editor: Linus Suryadi A.G.)
  4. Beberapa puisi dalam Dari Negeri Poci 2: Antologi 45 Puisi Indonesia (editor: F. Rahardi)
  5. Beberapa puisi dalam Dari Negeri Poci 3: Antologi 49 Puisi Indonesia (editor: Adri Darmadji Woko)
  6. Beberapa puisi dalam Kumpulan Puisi Penyair Sumatra Barat 1999 (Dewan Kesenian Sumatra Barat, 1999)
  7. Beberapa puisi yang dimuat di berbagai media di Jakarta (majalah sastra Horison, Titian, majalah mingguan Tribun, surat kabar harian Pelita, dan Sinar Harapan) dan media di Padang (surat kabar harian Angkatan Bersenjata, Aman Makmur, Haluan, Semangat, dan Singgalang)

Darman Moenir telah menulis berbagai cerpen dan novel. Karya- karya prosa hasil proses kreatif Darman Moenir tersebut dipublikasikan di berbagai media cetak dan dibukukan, berikut ini daftar karya-karya tersebut.

  1. Gumam diterbitkan bersambung di surat kabar harian Sinar Harapan bulan Mei-Juni 1976 atas rekomendasi Institut Kesenian Jakarta dan diterbitkan CV 28 28 Padang (1984).
  2. Batu diterbitkan bersambung di surat kabar harian Haluan, Padang (1977).
  3. Kabut diterbitkan bersambung di surat kabar harian Haluan, Padang (1979).
  4. Kampung Kecil diterbitkan bersambung di surat kabar harian Huluvan, Padang (1981).
  5. Bako penerima hadiah utama "Lomba Penulisan Novel" yang diadakan oleh Institut Kesenian Jakarta (1980) dan diterbitkan Balai Pustaka, Jakarta (1983-1984).
  6. "Tambo" tidak dipublikasikan (1985).
  7. Membangkit Batang Terendam dimuat dalam majalah sastra triwulan Kalam (1996).







109

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat
  1. Dendang diterbitkan Balai Pustaka, Jakarta (1988-1989-1993).
  2. Aku, Keluargaku, Tetanggaku penerima hadiah kedua lomba penulisan novel yang diadakan majalah Kartini, Jakarta (1987), dimuat di surat kabar harian Suara Pembaruan, Jakarta (1987) dengan judul Kemelut dan diterbitkan Balai Pustaka, Jakarta (1994).
  3. Riak Kecil dimuat bersambung di surat kabar harian Pelita, Jakarta (1993).
  4. Riak Yang Lain dimuat bersambung di surat kabar harian Pelita, Jakarta, (1993).
  5. Surat dari Seorang Pejuang 45 Kepada Cucunya diterbitkan Angkasa Raya, Padang (1992).
  6. Sketsa dimuat bersambung di surat kabar harian Suara Pembaruan, Jakarta (Agustus—Oktober, 1993).
  7. Lagu Tanah Pustaka penerima hadiah ketiga “Lomba Penulisan Novel” yang diadakan majalah Kartini, Jakarta (1993—1994).
  8. Di Lembah Situjuh Batur novel Anak-Anak vzng diterbitkan oleh CV Tiga Sri Utama, Padang (1986).
  9. “Senja Penentuan” dimuat di surat kabar harian Haluan, Padang (1970).
  10. “Gantunganku Sudah Putus” dimuat di surat kabar harian Indonesia Raya, Jakarta (1971).
  11. Adik Bertanya tentang Laut kumpulan cerpen anak-anak yang diterbitkan Pemerintah Daerah Sumatra Barat (1976).
  12. “Pusaka Tinggi” dimuat di majalah sastra bulanan Horizon, Jakarta (1983).
  13. “Kongo” dimuat di majalah sastra bulanan Horizon, Jakarta (1980).
  14. “Rumah Pasir" dimuat di surai kabar harian Singgalang, Padang (1985).
  15. “Tambo” dimuat di majalah sastra bulanan Horizon, Jakarta (1986).
  16. “Sahabatku” dimuat di majalah sastra bulanan Horizon, Jakarta (1980).
  17. “Amri Sang Pahlawan” penerima hadiah lomba penulisan cerpen yang diadakan oleh majalah Pertiwi, Jakarta (1986).
  18. “Perburuan” penerima hadiah lomba penulisan cerpen yang diadakan oleh majalah Pertiwi, Jakarta (1986).
  19. “Telaga di Kaki Bukit" penerima hadiah tomba penulisan cerpen yang diadakan oleh majalah Pertiwi, Jakarta (1986).
  20. “Jelaga Rumah Tanggaku” penerima hadiah lomba penulisan cerpen


110 yang diadakan oleh majalah Pertiwi, Jakarta (1987).

  1. "/Niyan/": dalam Antologi Cerpen Indonesia Mutakhir, editor: Suratman Markasan, Dewan Pustaka dan Bahasa, Kuala Lumpur, Malaysia (1991).
  2. "Titik Nol" dimuat di surat kabar harian Kompas, Jakarta (1993).
  3. "Wantewa" dimuat di surat kabar harian Republika, Jakarta (1994).
  4. "Sekam" dimuat di surat kabar harian Republika, Jakarta (1995).
  5. "Nyanyian Kacang" dimuat di surat kabar harian Media Indonesia Minggu, Jakarta (1995).
  6. "Putri Manis" dimuat di surat kabar harian Kompas, Jakarta, (1996).
  7. Beberapa judul lain: dimuat di surat kabar harian Aman Makmur; Angkatan Bersenjata; Haluan; Semangat; dan Singgalang (Padang), serta Suara Karya; Republika; Media Indonesia; Kompas; dan Bisnis Indonesia (Jakarta).
  8. "Jelaga Pusaka Tinggi" dimuat di surat kabar harian Indonesia Raya, Jakarta (1971).
  9. "Amrus Wahab", dalam Kumpulan Cerita Pendek Pilihan yang dimuat di surat kabar harian Suara Pembaruan, Jakarta (21 Februari 2002).
  10. Beberapa judul lain: dimuat di surat kabar harian Aman Makmur; Angkatan Bersenjata; Haluan; Semangat; dan Singgalang (Padang), serta Suara Karya; Republika; Media Indonesia; Kompas; dan Bisnis Indonesia (Jakarta).

Berupa tulisan berupa kritik yang ditulis Darman Moenir dipublikasikan pula di berbagai media cetak, baik media cetak nasional maupun lokal. Berikut adalah kritik dan artikel-artikel tersebut.

  1. Pembicaraan Buku "Siul" Sajak-Sajak Abrar Yusra" dimuat di surat kabar harian Kompas, Jakarta (1975).
  2. Pembicaraan Buku "3 Kumpulan Sajak Rusli Marzuki Saria" dimuat di surat kabar harian Kompas, Jakarta (1975).
  3. "Ceramah Idroes di Pusat Kesenian Padang: Konflik Timur dan Barat dalam Empat Novel Indonesia" dimuat di surat kabar harian Kompas, Jakarta (1977).
  4. "A Short Point of View on The Potency of Kaba in Minangkabau Literature" dimuat dalam buku ASEAN Writers on Literature and Justice, Manila, Philipina, (1982).
  5. "Fantasy and Reality" dimuat di terbitan berkala Asosiasi Pelajar
 Indonesia Duta Bangsa, IOWA City, USA (1988).

6. Pembicaraan Buku “Siul” Sajak-Sajak Abrar Yusra” dimuat di surat kabar harian Kompas, Jakarta (1975).

7. Beberapa judul lain dimuat di surat kabar harian Aman Malanur, Angkatan Bersenjata, Haluan; Semangat; dan Singgalang (Padang), serta Suara Karya; Republika; Media Indonesia; Kompas, dan Bisnis Indonesia (Jakarta).

 Dalam kariernya sebagai sastrawan dan pegawai negeri di Museum Negeri Adityawarman Padang, Darman Moenir menghasilkan beberapa tulisan yang merupakan hasil penelitiannya. Karya-karya tulis ilmiah tersebut diurutkan berikut ini,

  1. “Sintaksis Bahasa Kerinci”, tidak dipublikasikan (1973).
  2. “Fonologi Bahasa Sunda dan Bahasa Minangkabau”, tidak dipublikasikan (1973).
  3. “The Poem of Rusli Marzuki Saria” tidak dipublikasikan (1975).
  4. Pelaminan diterbitkan Museum Negeri Adityawarman, Padang (1985).
  5. Pakaian Tradisional Padang Magek diterbitkan Museum Negeri Adityawarman, Padang (1985).
  6. Bunga Rampai Permuseuman dan Museum Adityawarman diterbitkan Museum Negeri Adityawarman, Padang (1985).
  7. “The Preserving and Revitalizing of Minangkabau Classical Tambo”, studi lapangan atas biaya Ford Foundation, tidak dipublikasikan (1986)
  8. “The Language Unused in the Tambo: A Prelimanary Study on Minangkabau Classical Work” tidak dipublikasikan (1988).

 Darman Moenir bukan hanya seorang sastrawan yang sangat peduli terhadap pemakaian kaidah bahasa Indonesia pada tulisannya, ia juga seorang sarjana bahasa asing yang mengaplikasikan ilmunya dengan menerjemahkan karya-karya dalam bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, Berikat ini adalah karya terjemahan yang telah ditulis oleh Darman Moenir.

  1. Museum dan Permuseuman: Cakrawala Baru Indonesia, terjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, diterbitkan Museum Negeri Adiyawarman, Padang (1985).
  2. “Tambo Mimangkabau” (alih aksara dari huruf Arab ke huruf Latin dan terjemahan dari bahasa Minangkabau ke bahasa Indonesia, tidak

dipublikasikan (1985).

3. Negeri Hujan, terjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia novel Monsoon Country karya Pira Sudham (Thailand) nomine hadiah nobel kesastraan, diterbitkan Yayasan Obor Indonesia (1999).

Berikut ini adalah telaahan terhadap karya-karya Darman Moenir, baik berupa puisi, cerpen, novel, kritik dan artikel, penelitian dan buku-buku, maupun terjemahan. Dua di antara puluhan puisi Darman Moenir dianalisis berikut ini, yakni “Shelly Kecil” dan “Perburuan III”.

(1) Judul Kumpulan: Mengapa Hari Panas Sekali
Penerbit : INS Kayu Tanam, 1975

SHELLY KECIL

Shelly kecil bertanya padaku
Kenapa hari panas sekali?
Aku tidak menjawab
Dan dia menangis

Pagi tadi Shelly bangun cepat
Tampaknya gelisah sekali
Sesudah mandi dia bertanya lagi
Apakah hari panas terus-menerus?

Biarlah hari panas, jawabku
Dia heran dan melihat almanak
Aku paham dan menatap
Tapi Shelly tidak bertanya lagi
(Maret 1972)


Sajak-sajak Darman Moenir adalah suara kesadaran seorang nanusia yang menyadari kedekatannya dengan sesama manusia, keakrabannya dengan alam, dan memasrahkan dirinya di hadapan Sang Pencipta. Sajak “Shelly Kecil” adalah dialog “aku” dengan gadis kecil bernama Shelly tentang keadaan alam semesta. Dialog tersebut Membicarakan tentang cuaca yang panas, barangkali karena ketiadaan hujan akibat musim kemarau: tentang anak kecil yang rewel karena

113

kegerahan; tentang anak kecil itu yang menanyakan apakah hawa panas itu akan terjadi terus-menerus; dan tentang jawaban aku yang mengajak agar pasrah saja menghadapi cuaca demikian. Sajak "Shelly Kecil" dapat saja bermakna bahwa memang benar-benar "cuaca" yang panas akibat hujan tidak turun atau dapat saja merupakan makna konotasi. Barangkali, "suasana" pergaulan di rumah yang diceritakan “panas" akibat buruknya hubungan antarpenghuni rumah. Kepasrahan "aku" dan ketidakmengertian anak kecil tentang cuaca yang panas menggambarkan ketidakberdayaan manusia menghadapi kesulitan yang sedang dihadapi serta ketidakmengertian anak kecil terhadap hal itu dan menanggapinya dengan diam.

(2) Judul Kumpulan:
Kumpulan Puisi Penyair Sumatra Barat 1999
Penerbit: Dewan Kesenian Sumatra Barat, 1999


PERBURUAN III

dengan rindu kami berangkat
ke sabana-sabana tak bertepi

dengan kejujuran kami babat
hutan perawan di Kalimantan

dengan nyanyian kami serakkan
benak di sepanjang jalan raya

dengan nafsu kami memecah
dunia seperti Yugoslavia

dengan kesombongan kami
menapik dada seperti Amerika

dengan nyinyir kami umbar janji
seperti terjadi di dunia ketiga

dengan kata kami membujuk
arti agar kembali pada makna
dengan apa

kita merebahkan
diri sendiri?

(Padang, 1995)


Sajak "Perburuan III" adalah sindiran Darman Moenir kepada kesombongan dan kemunafikan manusia saat ini. Manusia kini yang selalu bersembunyi dalam kedok kemanusian, sedangkan perbuatannya sangat bertentangan dengan slogan-slogan yang diteriakannya.

Manusia sombong dengan segala kelakuannya, hutan Kalimatan dibabat, perpecahan dan pembunuhan dilakukan, janji-janji sudah menjadi permainan bibir yang tidak pernah ada realitasnya, dan rakyat kecil yang memikul penderitaan atas semuanya ini.


Sajak ini menyindir penguasa yang curang, sombong, dan menipu rakyat. "Perburuan III" menyuarakan protes terhadap kezaliman yang terus-menerus terjadi. Darman Moenir meneriaki manusia (penguasa) agar berhentilah merobohkan segala tatanan masyarakat yang sudah semakin porak poranda, bercerminlah pada diri sendiri. Ia pun ingin mengajak semua manusia agar merobohkan keangkuhan diri masing-masing serta mendengar bisikan hati nurani agar kembali kepada hakikat kemanusiaan.


Bagian berikut khusus menelaah novel Darman Moenir. Novel yang akan ditelaah adalah novel monumental berjudul Bako dan novel lain berjudul Dendang.

(1) Judul  : Bako
Penerbit : Balai Pustaka, 1983


Novel Bako ditokohi oleh Aku (Man) yang mengisahkan kehidupan masa kecilnya berdiam di kampung ayahnya bersama-sama keluarga asal ayahnya, yakni bersama bako-nya (saudara perempuan ayah) yang ia panggil Umi. Cerita mengenai kehidupan tokoh Aku bersama ibu dan adik-adiknya di rumah bako mereka adalah cerita yang menarik. Meskipun mereka berstatus "menumpang" di rumah itu dan berstatus pendatang di kampung tersebut, mereka sesungguhnya tidak diperlakukan dalam status demikian. Mereka diterima dengan baik oleh Umi sekeluarga, orang kampung pun bersikap demikian. Hanya ibu Aku yang tidak nyawan dengan kondisi itu. Barangkali, ketidaklaziman bertempat tinggal di rumah suami yang membuat tokoh ibu merasa begitu, ditambah lagi dengan statusnya yang sudah janda ketika dinikahi ayah Man. Penyakit maruyan atau postnatal syndrome, yakni gangguan psikologis setelah melahirkan memperparah depresi ibu sehingga membuatnya menjadi gila.

 Aku mengalami cacat di kakinya akibat penyakit polio yang diderita sewaktu bayi. Umi memperlakukannya dengan kasih sayang seorang ibu, apalagi Umi tidak memiliki anak dan keluarganya tergolong punah. Bak Tuo, kakak kandung ayah memperlakukannya pula dengan baik. Apalagi Gaek yang sebetulnya bukan anggota keluarga, ia hanya seorang bijak yang dianggap mamak karena kepribadiannya yang luhur, sering membawa Aku mengenal alam dan kehidupan. Gambaran tokoh Gaek tampak dalam kutipan di bawah ini.

 Umi menceritakan, gaek adalah seorang laki-laki dari keluarga lain yang pertaliannya dengan umi hampir-hampir sudah tidak jelas lagi. Kalau tidak sekampung, mungkin saja di antara mereka tidak terkait rasa apa-apa. Entah kalau pada mereka, muncul suatu rasa kebangsaan dan nasionalisme yang kuat dan tinggi. Tapi yang terjadi sungguh lain. Aku tidak menyangka bahwa Gaek adalah laki-laki pendatang.

 “Dulu,” ujar umi,”ia memunyai keluarga yang amat miskin. Sedih sekali aku melihatnya. Dan ia sering, malahan selalu mengerjakan sawah-sawah kita. Aku menyenangi justru ia tidak banyak tingkah dan rajin. Ia tidak berbicara mengenai upah, berapa diberi diterimanya sehinggga pada akhirnya aku sudah menjadikannya sebagai salah seorang anggota keluarga kita. Sampai kini. (Bako, 1983:96)

 Alur novel Bako mengalir dengan datar, dimulai dengan gaya sorot balik (flash back), yaitu ketika menceritakan nasib sebuah biola yang berdebu. Kisah diolah kemudian menjadi pengantar kepada kisah ayah dengan pernikahannya, kehidupan rumah tangga ayah, nasib Aku beribukan seorang perempuan gila, dan nuansa hidup seorang anak pisang di rumah bako.

 Penerimaan anggota keluarga bako terhadap anak pisang dan ipar perempuan yang sebenarnya adalah sebuah ketidaklaziman di M, dalam novel ini tidak menghadirkan konflik. Padahal, semestinya ketidaklaziman yang terjadi adalah sebuah kekuatan besar pemicu konflik pada cerita ini. Tidak ada konflik yang tajam pada cerita ini, kecuali peristiwa-peristiwa kecil yang tidak mempengaruhi alur cerita ini secara keseluruhan. Aku hidup dengan damai bersama bako yang juga dengan rela menerimanya. Tidak ada momen yang menjadi penanda khusus pada alur novel Bako. Tidak ada peristiwa-peristiwa yang memunculkan bentrokan antara dua kekuatan yang bersaing dan berpontensi menciptakan klimaks. Ketidakmengertian Gaek terhadap prilaku Ibu yang dengan suka rela dan dengan tumitnya yang telah rusak oleh luka. memasukkan air sawah pada dinihari, mengakhiri cerita ini tanpa konflik, tanpa klimaks.

“Dan pula, gaekku menemukan kelegaan kecil yang lain lagi ketika menyadari bahwa genangan air itu bukanlah semata persiapan air yang ia sediakan kemarin. Tapi pekerjaan ibuku yang memasukan air ke sawah itu di Subuh buta ketika burung hantu mesih berbunyi-bunyi di pokok beringin sana.

“Pada suatu pagi, gaekku tidak pergi ke pancuran, dan artinya ia tidak minum-pagi di Iepau, tetapi langsung ke sawah.

““Kenapa bini si Guru terus saja ke sawah Subuh-Subuh?”, tanyanya di dalam hati, dalam perjalanan. Untung ada bulan-dini neremangi pematang. Sehingga dengan langkah-langkah yang pas ia bisa berjalan lebih pasti, tak canggung akan masuk bandar.

“Pada beberapa piring sawah sebelum sampai di sawahnya, ia menampak sesosok tubuh di dekat munggu. Darahnya berdesir, bulu kuduknya bergidik, jangan-jangan itu adalah maling atau apa. Tetapi ia melanjutkan juga perjalanan. Dan ketika sudah dekat, ia tersintak, dan Sanubarinya tersentuh, yang berada disana adalah ibuku.

“Mengapa ia datang kesini pagir-pagi begini? pikirnya dalam hati lega. Ketika sudah berada pada jarak beberapa depa, pikiran itu ia dengungkan dalam satu kalimat tanya yang benar-benar ingin tahu.

““Tapi memasukan air,” balas ibu tertawa, mundur beberapa langkah dan berbalik, seperti hendak meninggalkan persawahan itu.

“Biar aku saja yang bekerja membenahi sawah ini. Tak usahlah kau datang Subuh-subuh seperti ini,” usul gaek ramah. Ada bunyi jengkerik bersahut-sahutan, hampir hilang ditelan suara katak yang entah merindukan apa.

““Entah gila!” seru ibu pasti dan meJangkahkan kakinya, meninggalkan kakek, meninggalkan medan persawahan. Ia tidak Menoleh lagi, sedikitpun tidak. Dan gaekku terpana. Heran, sedih, dan Serba-takmengerti adalah perasaan-perasaan yang berbaur di dalam dirinya,

“Ia biarkan saja udara dingin memaguti sekujur tubuhnya.

“Dan ia pun pulang. (Bako, 1983:101-—102)  Penghadiran tokoh novel Bako ini menampilkan tipe watak yang mewakili nilai atau permasalahan yang dituntut oleh tema. Tokoh-tokoh seperti Umi dan Bak Tuo yang merupakan bako bagi Aku tidak menghadirkan konflik dengan kedatangan Aku dan Ibu yang semestinya tidak lazim menurut adat. Jadi, tema novel ini adalah penerimaan yang ikhlas dari bako terhadap anak pisang dan ipar perempuan mereka di rumah keluarga asa! mereka, sesuatu yang tidak lazim terjadi di tengah masyarakat M yang menganut kekerabatan matrilineal.

 Tokoh Umi digambarkan memiliki karakter yang sangat bzik. Umi adalah seorang perempuan separuh baya terhormat, hidup dari warisan yang banyak peninggalan suami-suaminya yang merupakan orang-orang terpandang. Umi adalah seseorang yang menolak poligami, ia memilih hidup sendiri dengan kesibukan berorganisasi dan mengurusi anak saudara laki-lakinya (anak pisang). Ia tidak berkeberatan mengurusi dan mecembelanjai hidup Aku dan Ibu. Ia juga bisa menerima ketidaksukaan Ibu yang tidak beralasan pada Umi. Tokoh Umi benar- benar mewakili judul Bako, yakni bako yang keluar dari kelaziman yang berlaku di tengah masyarakat M. Biasanya, Bako tidak memiliki kewajiban penuh, baik moril maupun materil terhadap anak-anak dari saudara laki-lakinya. Jika ia bersedia memberi tumpangan kepada saudara laki-lakinya beserta keluarganya, itu sifatnya hanya sementara. Tepat juga ketika penulis novel ini pada awalnya memberi judul Mendiang terhadap bako sebagai penghormatan terhadap tokoh-tokoh faktual yang ia fiktifkan melalui karyanya itu.

 Latar sosial novel Bako adalah sebuah keluarga yang sudah berubah dalam suatu masyarakat yang masih memegang adat dengan kuat. Tokoh-tokoh utama dalam keluarga bako adalah orang-orang maju yang berpendidikan. Bak Tuo seorang pensiunan kepala sekolah, Ayah juga guru, dan Umi seorang organisatoris.

 Ketiga tokoh utama itu tidak mempersoalkan tuntutan adat tama yang menabukan membawa istri dan anak-anak bertempat tinggal di rumah saudara perempuan.

Dendang
 Novel Dendang diterbitkan Balai Pustaka, 1993. Novel ini berkisah tentang Aku dengan segala lika-liku kehidupannya. Aku adalah salah seorang penduduk urban di kota P yang datang dari daerah. Ia menikah dengan Han yang pada awalnya sangat manis dan manja. Han berubah menjadi istri yang pemarah dan kasar setelah beberapa tahun pernikahan mereka. Perubahan sikap Han membuat Aku tidak lagi berbahagia, padahal ia sudah mencurahkan seluruh waktu dan tenaganya pada pekerjaan dan melanjutkan sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya.

 Kisah novel Dendang ditutup dengan ketidakberdayaan Aku mengatasi kemelut di dalam rumah tangganya. Aku seperti berdendang menyuarakan kepedihan hatinya.

 Cerita ini sering menggunakan arus sorot balik (flash back). Pada setiap bagian cerita yang hanya berjumlah dua sampai lima halaman seringkali terdapat unsur cerita lain yang masuk melengkapi cerita yang Sedang disajikan. Penokohan Saya adalah seorang lelaki muda berjiwa seni yang melakoni kehidupan dengan jujur dan sungguh-sungguh. Saya/Aku adalah sosok pekerja seni yang sedang memperjuangkan namanya untuk mendapat tempat di tengah masyarakat. Tokoh Aku berusaha menjalani hidupnya secara tegar dengan bekerja keras. Ia ingin menghadirkan kehidupan yang lebih baik bagi anak dan istrinya. Sayangnya, akibat ambisi untuk mencapai hal yang lebih baik, rumah tangga Aku mengalami kemelut. Bagi Aku, kemelut itu adalah neraka yang membuatnya sangat sengsara. Aku tidak mampu menyelesaikan problem rumah tangganya.

 Tokoh Han adalah tipe istri yang berubah sikap akibat kemiskinan yang ia hadapi di rumah tangganya. Kondisi kehidupan yang morat-marit menenggelamkan Han dalam pola berpikir yang sangat dangkal. Lingkungan tempat tinggal mereka ikut berpengaruh bagi Han dalam berpikir dan bersikap.

 Tokoh Aku dan Han adalah korban keadaan. Seandainya Aku memberikan perhatian dan waktu yang cukup untuk keluarga, tentu Han tidak akan merasa terpenjara dalam rumah tangganya. Di lain pihak, jika Aku tidak bekerja dan tidak melanjutkan kuliah yang menghabiskan waktunya di Juar rumah, maka ia tidak akan dapat mengubah kemiskinan mereka. Dilema seperti inilah yang dihadapi tokoh novel Dendang.

 Tempat yang melatari terjadinya peristiwa dalam novel Dendang adalah kota P. Dinarasikan bahwa Aku berhubungan dengan Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi. Jadi, kota P adalah ibu kota suatu provinsi, Aku berasal dari kota PP yang terkenal sebagai Masyarakat kebudayaan M. Jika ingin menerjemahkan simbol nama tempat yang tersembunyi dalam inisial tersebut, bisa saja diartikan P adalah Kota Padang, ibukota Provinsi Sumatra Barat. Kota PP adalah Padangpanjang dan masyarakat budayanya disebut Minangkabau.

 Novel Dendang menyajikan tema ketidakberdayaan menghadapi kemelut. Berdasarkan rangkaian peristiwa yang dialami tokoh Saya/Aku, didapatkan amanat novel tersebut, yakni setiap orang mesti sabar dan tawakal menghadapi cobaan serta memiliki kesadaran untuk mempertanggungjawabkan jalan yang dipilihnya.

 Kepiawaian Darman Moenir dalam menulis karya prosa tidak hanya dituangkannya dalam bentuk novel, Dari tangannya telah dihasilkan belasan judul cerita pendek. Dua di antara cerpen Darman Moenir, yakni yang berjudul “Amrus Wahab” (harian Suara Pembaharuan, 21 Februari 2001) dan “Nyanyian Siang dan Nyanyian Malam” ditelaah berikut ini.

 Amrus Wahab adalah seorang guru kepala sekolah di SMU 1. Meskipun jabatannya memungkinkannya berbuat tidak jujur demi kepentingan pribadi, namun ia adalah seorang guru yang selalu berpegang teguh terhadap nilai-nilai kejujuran yang telah diperolehnya semenjak kecil.

 Suatu kali Amrus Wahab menerima telepon dari Nyonya Ari, istri gubernur, penguasa tertinggi di ibukota provinsi tempat Amrus tinggal. Nyonya gubernur meminta kesediaan Pak Guru Amrus Wahab untuk menerima anaknya bersekolah di SMU 1 yang dipimpin Amrus. Setelah menerima telepon itu, esok harinya Amrus dikunjungi oleh utusan istri gubernur di sekolah. Amrus Wahab menyatakan bahwa anak tersebut tidak dapat diterima karena nilainya rendah. Meskipun ditegaskan dan diingatkan oleh utusan tersebut bahwa anak itu adalah putra seorang gubernur, Amrus tetap pada pendiriannya.

 Akibat penolakan Amrus Wahab terhadap keinginan istri gubernur tersebut, ia dipindahkan ke sekolah yang mutunya jauh lebih rendah daripada SMU 1, yakni SMU 4. Amrus menolak peluang menjadi kepala sekolah di sekolah yang baru tersebut, ia lebih memilih menjadi guru biasa saja di sana. Pada kesempatan menjelang pensiunnya, Amrus Wahab berharap tidak akan menjumpai lagi persoalan seperti itu.

 Alur cerpen “Amrus Wahab” dibentuk oleh sejumlah peristiwa yang berlangsung secara kronologis. Dalam setiap peristiwa perjalanan hidup Amrus Wahab selalu didasari nilai-nilai kemanusian yang luhur. Ia adalah seorang rendah hati yang selalu menampilkan tindak-tanduk yang santun, baik di rumah tangganya maupun di lingkungan kerja. Amrus ternyata dibesarkan oleh ayahnya yang menjadi panutan bagi Amrus. Ayah Amrus

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Seorang yang konsisten dan konsekuen dalam menjalani kehidupannya yang juga guru. Sebagian watak ayah Amrus selalu menjadi ingatan yang sering terngiang-ngiang bagi Amrus Wahab. Kutipan di bawah ini menggambarkan watak ayah Amrus Wahab.

“Tugas mendidik itu amanah. Dan seorang guru tak memungkinkan S€seorang menjadi kaya”, sebut ayah Amrus Wahab yang meninggal dunia beberapa tahun setelah Amrus Wahab diwisuda.

............................................

“Dan Amrus pun teringat ayahnya yang terlanjur memasukan nama adiknya yang bungsu ke dalam daftar gaji untuk dimintakan tunjangan anak, Padahal, usia adiknya sudah lewat batas, dalam arti kata, adik Sudah tamat sekolah. Dan tanpa ba-bi-bu, ayahnya langsung memulangan Sejumlah uang itu ke kas negara.”

Akhir cerita memperlihatkan watak tokoh Amrus Wahab yang tetap memegang teguh prinsip hidupnya dan ia menyadari bahwa ia berhadapan dengan kebobrokan moral masyarakat dan penguasa. Keluhuran dan keteguhan sikap tokoh Pak Guru Amrus Wahab dapat diketahui dari kutipan di bawah ini.

“Bagi Amrus Wahab, kedatangan orang yang mengaku utusan istri Pejabat sesungguhnya tak aneh. Sudah sering ia menerima permintaan, Imbauan, saran, perintah, malah sogokan dengan segepok uang atau ancaman agar seorang atau beberapa orang diterima di sekolah yang ia Pimpin. Namun, selama ini, semua ia Jadeni dengan perlakuan yang Sama bahwa diterima atau tidaknya seorang calon siswa ditentukan oleh nilai masing-masing. Sogokan ia tolak mentah-mentah. Uang sogokan ta kembalikan. Sikap dan konsistensinya untuk hanya menerima pelajar dengan nilai standar, memungkinkan sekolahnya bermutu dan dikenal. Lagi pula ia mengerahkan guru-guru untuk mengajar dan mendidik Secara lebih baik dan sempurna.”

Cerpen “Amrus Wahab” membentangkan tema keluhuran budi Pekerti seorang guru. Keikhlasan seorang guru menerima risiko dari keteguhannya menjunjung tinggi kebenaran. Amtus teguh dengan Pendiriannya untuk tidak menerima anak seorang gubernur yang tidak memenuhi nilai standar, ia pun sadar terhadap konsekuensi yang harus dijalani akibat keputusan tersebut. Ia memilih menjadi guru biasa di Sekolah yang baru agar tidak berhadapan lagi dengan masalah KKN (korupsi, kolusi, dan kepotisme). Amrus memilih hati nuraninya dan Mmengenyampingkan jabatan. Suatu karakter yang sudah sangat langka

121

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


didapati di negeri ini, Indonesia.
 Cerpen “Nyanyian Siang Nyanyian Malam” terbit dalam tabloid Nova, No.729/XIV, 21 Februari 2001.
 Reno adalah perempuan desa yang hidup sangat bersahaja di kampungnya yang sunyi di kaki Gunung Merapi. Di sana Reno hidup seorang sendiri berakrab diri dengan lumpur, pematang sawah, dan padi yang diharapkannva akan menjadi penunjang kebutuhan hidup sehari-hari.
 Reno adalah perempuan malang kerban kekejaman kota. Ia pernah nyaris terjerumus ke dalam kehidupan laknat yang akan merenggut kesuciannya. Ketika ia tersasar di kota, nasib baik masih menghampirinya. Reno akhirnya kembali ke desanya.
 Reno pernah menikah dengan seorang tentara yang mau menerima Reno apa adanya. Namun, nasib malang masih menimpa Reno, suaminya meninggalkan Reno untuk selama-lamanya ketika ia ikut berperang di Aceh. Reno akhirnya sendiri lagi, dia tidak peduli pada usianya yang masih muda, dan pada kecantikannya yang masih tersisa. Dia menjalani kehidupannya seperti nyanyian yang selalu berganti bagai waktu, ada siang, ada malam yang terus bergulir bergantian.
 Alur cerpen “Nyanyian Siang Nyanyian Malam” dapat diterangkan sebagai berikut. Bencana angin limbubu yang menerpa sawah penduduk desa sangat menyengsarakan perasaan Reno. Padi yang dua-tiga pekan lagi akan dipanen telah rebah karena angin yang tiba-tiba saja datangnya tadi malam tanpa disangka-sangka. Sawah yang merupakan harapan hidupnya dan merupakan warisan dari suaminya tidak bisa lagi ia harapkan untuk dipanen. Ingatan pada padi melayangkan juga ingatan Reno pada masa lalunya. Ia teringat nasibnya ketika pernah terdampar sesaat di kota. Ketika seorang laki-laki datang menata kembali kehidupan yang nyaris hancur, lelaki ini pula yang datang hanya sesaat, kemudian pergi untuk selama-lamanya.
 Peristiwa yang hadir pada cerita pendek ini sangat sedikit. Cerita ini tidak mengandung konflik yang tajam. Jumlah peristiwa yang sedikit tidak memungkinkan masuknya tokoh antagonis yang menghalangi tokoh utama. Ketiadaan konflik menjadikan ketiadaan klimaks.
 Tokoh Reno digambarkan sebagai seorang perempuan yang pasrah menerima kehidupan yang telah digariskan Sang Khalik untuknya. Ha! ini dibuktikan ketika ia dengan ikhlas menatap ke padinya diterjang angin badai. Meskipun sedih, ia segera tersadar bahwa kehidupan ini

122

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Senantiasa bergantian seiring dengan berlalunya waktu. Tidak akan selamanya senang dan tidak selamanya pula susah. Kutipan berikut memperlihatkan watak Reno yang pasrah dan sadar terhadap irama kehidupan yang mesti dilaluinya.
 “Hari ini panas kembali garang”, gumam Reno pasti, memandang ke langit yang bersih, sangat biru, sangat cewang, tanpa sebongkah pun awan-gemawan menghias.


 Penggambaran latar ada yang berfungsi mendukung gejala fisik dan ada pula yang mendukung gejala mental. Penggambaran latar mental terdapat dalam kutipan berikut.
 “Nyanyian siang nyanyian malam sesungguhnya adalah nyanyian mentari dan nyanyian rembulan. Dan kedua nyanyian yang tak mau menyatu itu berdendang dan bersenandung ke setiap telinga anak manusia yang terpasah di lorong-lorong yang jauh, di bukit-bukit yang tandus, di lereng-lereng yang curam dan di hati Reno yang terlempar ke bumi tanpa dapat minta persetujuan atau penolakan.
 “Ya, betapa dunia dan alam penuh nyanyian.”


 Penggambaran latar yang berhubungan dengan gejala fisik adalah Sebagai berikut.
 “Dan nyanyian itu adalah nyanyian puting beliung yang melanda hamparan sawah dengan padi menguning di kaki Gunung Merapi. Tak Siapa pun kuasa menyeru arah cuaca. Pekan-pekan sebelum hujan turun teratur. Siang cewang, senja gabak, dan malam hujan. Ketika langit tak berawan, angin tak bergerak, saat itu mentari leluasa menikamkan Cahayanya. Tanaman-tanaman takjub.
 “Namun, senja itu langit tiba-tiba bersiap diri menyatuhkan Bumpalan-gumpalan hitarn, pekat, dan berat. Langit hendak runtuh. Burung sedari tadi pulang ke sarang. Ternak piaraan lebih awal dimasukkan ke kandang. Anak-anak tak lagi bermain di halaman, Dan Orang-orang lebih senang bermain di rumah masing-masing.
 “Dan, sesaat saja malam tiba, sebelum jatuh melayang-layang di lereng gunung, daun-daun menimbulkan deru hebat. Lantas desingan keras, derat-derit ranting-ranting dan dahan-dahan patah serta gedebak-gedebum batang-batang kayu yang tumbang dan desau angin limbubu,Yang saling berebut mengisi angkasa. Rumput dan ilalang di ladang dan tanaman padi di persawahan tak mampu bertahan tegak dan bahkan

123

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

langsung menjilapak, rebah.”
 Cerpen “Nyanyian Siang Nyanyian Malam” menyuguhkan tema kepasrahan menghadapi kehidupan. Amanat cerpen ini adalah bahwa kesedihan dan kebahagian akan datang secara bergantian, tidak dapat ditebak oleh manusia. Kesedihan tidak selamanya menimpa, demikian juga bahagia akan datang pula tiba-tiba dalam kehidupan setiap orang.
 Darman Moenir menulis kritik dan artikel dalam jumlah yang cukup banyak. Dua di antara kritik dan artikel tersebut ditelaah pada bagian berikut.


“3 Kumpulan Sajak, Sajak-Sajak Rusli Marzuki Saria”
 Artikel yang berjudul: “3 Kumpulan Sajak, Sajak-Sajak Rusli Marzuki Saria” (Study Grup Sastra Chairil Anwar) adalah tulisan Darman Moenir yang dimuat di surat kabar harian Kompas, tanggal 9 September 1975. Dengan gaya kritik yang tajam, subjektif, dan teratur, Darman membedah sajak-sajak Rusli Marzuki Saria dengan gaya tulisan yang teoretis, namun mudah dipahami. Darman Moenir memperlihatkan kemampuannya mengkomunikasikan pendapatnya secara tertulis kepada pembaca dan sekaligus memberikan pembuktian bahwa: Darman Moeni: adalah seorang akedemisi sastra yang kompeten dalam keilmuannya.
 Pada artikel tersebut Darman memberikan tanggapannya terhadap “3 Kumpulan Sajak Rusli Marzuki Saria” yang terbit tahun 1974, sebagai bagian dari kegiatan Grup Studi Sastra Chairil Anwar. Menurut Darman Moenir, sajak Rusli Marzuki Saria adalah sajak yang biasa-biasa saja, sentimentil, penyampaian ide yang mendesak sehingga hadirnya sajak sebagai sesuatu yang terpaksa. Sajak Rusli pun tidak memiliki kewajaran puitik, kata-katanya tidak memiliki daya gugah yang mengelitik, dan rata-rata miskin imaji. Dari Sajak-Sajak Parewa menurut Darman Moenir, parewa itu bisa jadi personifikasi Rusli sendiri yang dimaksud oleh teori Freud (psikolog yang teorinya dipakai untuk menganalisis psikologi sastra) sebagai perisau dan penggaduh. Darman Moenir tidak terlalu yakin bahwa parewa adalah personifikasi Rusli. Baginya mungkin saja wujud parewa adalah superego seorang Rusli Marzuki Saria yang tertindas dalam kesehariaannya dan lahir melalui puisinya.
 Kesimpulan tulisan Darman Moenir terhadap puisi Rusli Marzuki Saria adalah meskipun tidak mengkomunikasikan, tidak terlihat kekonstanannya dari era ke era, namun ia sangat produktif. Rusli Marzuki Saria adalah seorang penyair yang berbicara tentang alam dengan gaya

124

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Santai dan bila menyajikan imajinasi, akan dihadapkan secara berlapis kepada pembacanya.


“Memrotes Dansa”
 Artikel yang berjudul “Memrotes Dansa” adalah tulisan Darman Moenir yang dimuat di surat kabar harian Singgalang, Padang, tahun 2002. Tulisan ini adalah sebuah kritik. Darman Moenir menulis kritik tersebut sehubungan dengan acara tatap muka antara DPRD Sumatra Barat Gengan Manejer TVRI Stasiun Padang, Syafei Sikumbang, pada hari Selasa, 13 Agustus 2002.
 Sebagai layaknya kritik, Darman Moenir dengan gaya bahasa yang tajam menyoroti tindakan dewan legislatif tersebut yang disebutnya Sebagai asal protes dan asal bunyi. Berikut ini kutipannya:
 Dikira, anggota DPRD tidak perlu asal protes dan asal bunyi. Dengan gaji bulan ke bulan yang sangat besar itu, banyak pekerjaan lain yang bisa dilakukan, tentu saja demi kemaslahatan rakyat.”
 Darman Moenir tidak setuju dengan dua butir pernyataan DPRD Padang, yaitu protes terhadap acara hiburan “Dansa Yo Dansa (DYD)” yang disiarkan TVRI Stasiun Pusat Jakarta, dan imbauan agar TVRI Padang memperbanyak tayangan budaya Minangkabau. Bagi Darman Moenir, protes terhadap acara DYD bukanlah hai baru, berbagai kalangan Iermasuk Pemerintah Daerah Sumatra Barat juga telah melakukan hal yang serupa. Ada kalangan lain yang di masyarakat yang berpikir dua kali sebelum melayang protes. Pada artikel ini terlihat, Darman Moenir termasuk masyarakat yang berpikir dua kali tersebut, menurut Darman dasar pikiran untuk memprotes acara yang bersangkutan tidak begitu kuat. Jika acara tersebtu diprotes karena merusak, siapa yang dirusak, apakah anggapan bisa dibuktikan, bisa jadi protes yang disampaikan DPRD itu hanya sebagai aksi demo tentang kepedulian mereka terhadap rakyat? Begitulah Darman Moenir menulis dengan penanya yang tajam dan mengenai sasaran.
 Lebih jauh, sebagai seorang jurnalis, Darman Moenir juga memperlihatkan tugas utamanya sebagai pemberita yang dapat memberikan masukan yang disampaikannya berdasarkan ketajaman analisis terhadap persoalan yang sedang disorotnya. Darman Moenir memberikan jalan keluar atas protes terhadap acara DYD san gat masuk akal dan sederhana sekali: pindah saja ke canel lain, atau berdzikir untuk Mendapatkan ketenangan jiwa. Untuk permintaan anggota DPRD agar

125

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

TVRI Padang memperbanyak tayangan budaya Minangkabau, Darman Moenir malah menyikapi dengan nada sinis. Darman Moenir mempertanyakan budaya Minangkabau seperti apa yang dimaksud, jika ingin menayangkan kesusastraan daerah Minangkabau, siapakah sastrawan daerah yang handal untuk proses kreativitas itu?
 Tulisan Darman Moenir tersebut memang keras dan pedas, tetapi adalah hal yang wajar karena sifatnya kritik. Darman Moenir mengakhiri tulisannya dengan saran agar DPRD Sumbar memikirkan cara yang lebih jitu untuk pendidikan generasi muda melalui persidangan dengan beberapa pakar pendidikan dan televisi untuk menghasilkan rumusan tontonan yang mendidik dan bagus, misalnya.
 Bagian berikut mengkaji dua laporan penelitian Darman Moenir tentang kebudayaan Minangkabau, yakni “Pelaminan” Laporan Penelitian pada Museum Negeri Sumatra Barat Adhityawarman Padang, Tahun 1985 dan “Pakaian Tradisional Padang Magek”.
 Laporan penelitian yang berjudul “Pelaminan” adalah karya Darman Moenir yang memuat tentang perangkat pesta perkawinan suku bangsa Minangkabau. Pelaminan adalah tempat duduk pengantin Minangkabau yang bentuknya sangat semarak dengan berbagai hiasan. Di Nusantara, perangkat pesta perkawinan tradisional yang paling semarak adalah pelaminan suku bangsa Minangkabau.
 Pesta perkawinan sebagai salah satu perangkat hidup dan kehidupan bagi masyarakat Minangkabau sarat dengan kandungan makna simbolik. Pemahaman terhadap arti dan makna simbol yang terdapat pada pelaminan sangat penting untuk memahami masyarakat dan kultur Minangkabau, Dalam simbol-simbol tersirat ungkapan-ungkapan tentang ajaran, pendidikan, pandangan hidup, dan liku-liku keminangkabauan secara menyeluruh dan utuh dirumuskan.
 Laporan penelitian “Pelaminan” ditulis Darman Moenir dalam profesinya sebagai karyawan Museum Adhityawarman Padang: Penelitian terhadap pelaminan disajikan Darman secara deskriptif, data dikumpulkan dengan cara penelitian lapangan. Sebagai laporan penelitian yang bersifat ilmiah, penyajian “Pelaminan” cukup baik. Darman Moenir sangat memperhatikan kaedah bahasa Indonesia dan taat memakai teori penulisan karangan ilmiah yang benar. Darman Moenir menyajikan informasi yang bersifat pemaparan ini dengan cermat, teliti, dan sungguh-sungguh.

126

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


Pakaian Tradisional Padang Magek
 Buku yang berjudul Pakaian Tradisional Padang Magek (Museum Negeri Sumatra Barat Adhityawarman Padang. 1985) adalah Karangan Darman Moenir dalam kapasitasnya sebagai tenaga teknis pada museum Adhityawarman Padang. Melalui studi lapangan, Darman Moenir menulis buku tersebut dengan cara pemaparan (deskriptif). Dalam kecermatannya berbahasa Indonesia tulis, Darman menyajikan informasi Secara tepat pada buku Pakaian Tradisional Padang Magek.
 Padang Magek adalah nama suatu daerah di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat. Sebagaimana diketahui, di Provinsi Sumatra Barat, suku bangsa Minangkabau dikenal memiliki keanekaragaman adat yang terdapat pada berbagai wilayah atau daerah yang secara geografis dan secara budaya berbeda. Di wilayah Agam yang secara budaya disebut Luhak Agam dan secara geografis disebut Kabupaten Agam, pakaian adat yang terdapat pada wilayah tersebut sangat beragam. Di salah satu Negeri yang terdapat di Agam, misalnya Padang Magek, terdapat pakaian adat atau pakaian tradisional tersendiri. Demikian juga nagari yang lain, Seperti Kurai, Padang Lua, dan Maninjau, memiliki ciri khas yang berbeda pula masing-masingnya. Kekhasan pakaian tradisional Padang Magek itulah yang ditulis oleh Darman Moenir sebagai salah satu khazanah kekayaan budaya Agam, Minangkabau, dan Indonesia pada umumnya.
 Darman Moenir pernah menerjemahkan novel pemenang hadiah Nobel bidang sastra yang ditulis oleh Pira Sudham, seorang sastrawan asal Thailand. Ia juga mengalihaksarakan dari aksara Arab ke Latin Sebuah Tambo Minangkabau. Kedua tulisan itu disajikan dengan bahasa yang cermat dan memperlihatkan keseriusan Darman Moenir dalam Penggunaan bahasa Indonesia.


Negeri Hujan (Terjemahan)
'
 Novel ini terjemahkan oleh Darman Moenir dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Novel Negeri Hujan (diterbitkan Yayasan Obor, 1999) adalah karya sastra pemenang Hadiah Nobel bidang kesastraan, karya Pira Sudham asal Thailand.
 Novel ini terjemahkan oleh Darman Moenir dengan bahasa Indonesia yang pas dengan tidak meninggalkan warna Thailand. Cerita Mengalir dengan lancar dan enak untuk terus disimak. Dalam terjemahkan ini Darman Moenir melihatkan kepiawaiannya sebagai

127

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


sarjana sastra Inggris dan kehalusan bahasanya sebagai sastrawan yang handal.
 Nama-nama tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel Negeri Hujan adalah Kum Surin, Boonliang Surin, Kiang Surin, Piang Surin, Prem Surin, Kumjai, Toon Puthaisong, Rit, Dhani Philakoi, Helmut von Regnitz, Reinhard von Regnitz, dan Wilhelm Hagenbach.
 Kum Sunn adalah seorang petani di desa Napo, sebuah desa di perdalaman Thailand. Kum Surin mempunyai seorang istri yang bernama Boonliang Surin. Lahirlah tiga orang anak. Anak pertama bernama Kiang Surin (laki-laki), yang ke dua Piang Surin (perempuan), dan ke tiga Prem Surin (laki-laki).
 Mereka adalah petani miskin yang hidup di daerah tandus. Hujan menjadi tumpuan harapan mereka untuk kelangsungan hidup mereka yang mengandalkan hasil pertanian. Desa Napo dikepalai oieh seorang kepala desa yang secara tradisi memerintah dengan sikap ctoriter. Basi masyarakat Napo, seorang kepala desa adalah pemimpin yang wajib dipatuhi tanpa bisa dicela dan dilurusan kesalanannya. Dalam menjual hasil bumi, warga Napo pun mengalami ketidakadilan kerena mereka dikuasai oleh pedagang yang mempunyai uang dan membeli dengan curang.
 Prem Surin lahir ditengah kemiskinan desa dan keluarganya yang hidup dalam kebodohan karena tidak adanya pendidikan. Prem terlahir sebagai anak yang lambat berbicara dan perasa. Prem lebih banyak berdialog dengan dirinya sendiri dan dengan kerbaunya dibandingkan dengan orang lain. Prem si anak bungsu keluarga Surin perah sakit keras sehingga untuk menyembuhkannya ia mesti diserahkan kepada roh setan. Menurut kepercayaan setempat, anak yang sudah siserahkan ke setan tersebut akan selalu dipelihara dari segala bahaya oleh setan tersebut. Akibat hal itu, Prem dikucilkan, dimusuhi, dan ditakuti sebagai anak setan sehinggga Prem semakin menjadi pendiam.
 Suatu kali desa Napo didatangi oleh seorang pemuda idealis yang bernama Kumjai. Kumjai menjadi guru dan mengajak warga desa mendirikan sekolah di Napo. Berkat kegigihan Kumjai, Napo mulai memiliki anak-anak terdidik dan sekolah yang lumayan memadsi. Di sekolah ini Prem bersekolah bersama Kiang dan Piang. Di sekolah ini pula Prem bersua dengan Toon Puthaisong yang kelak menjadi perempuan pertama yang ada di hati Prem

128

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


 Kumjai melihat kepintaran pada Prem Surin, lalu Kumjai mengirim Prem untuk melanjutkan sekolah dengan menumpang hidup pada sebuah kuil di daerah lain. Prem berhasil mengatasi kesulitan yang ditemuinya selama di kuil tersebut. Di kuil ini Prem berkenalan dengan Rit, yang juga seorang pendatang dari daerah lain: Rit adalah orang yang kelak mengajarkan ketabahan dan keuletan memperjuangkan kehidupan pada Prem.
 Prem kemudian memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi ke Inggris. Dalam proses belajar ke luar negeri tersebut, Prem dibantu oleh seorang ilmuwan Thailand yang bernama Prakam Philakol. Di Inggris, Prem tinggal sekamar dengan anak ilmuwan tesebut yang bernama Dani Philakol. Dani pula membawa Prem berlibur ke Jerman. Di Jerman, Prem berkenalan dengan Reinhard von Regnitz, kawan akrab Dani. Mereka tinggal di rumah keluarga Regnitz. Ayah Reinhard adalah Seorang komposer tersohor yang bernama Helmut von Regnitz. Perjalanan ke Jerman dan perkenalan dengan Helmut mengubah Perjalanan hidup Prem.
 Suatu hari Helmut meninggal dengan meninggalkan sebuah karya besar dan terakhir yang diberi judul “Tod” atau “Kematian”. Syair Tod disempurnakan oleh Prem, kemudian diberikannya kepada konduktor yang bemama Wilhelm Hagenbach. Wilhelm Hagenbach mementaskan karya besar ini menjadi sebuah pegelaran agung yang sangat diminati Penonton
 Syair Tod sangat mempengaruhi jalan pikiran Prem Surin. Dalam renungannya yang panjang tentang kehidupan yang dijalaninya, Prem menjadi sosok yang merdeka dalam berpikir dan bertindak. Ia berkelana darj satu negeri ke negeri yang lain untuk mendapatkan kepuasan batin. Ia merasa kaya dengan penggambaran yang banyak memberikan hikmah tentang keduniawian.
 Prem Surin akhirnya kembali ke Napo, desa yang sudah lama ditinggalkannya. Di Napo, ia menemui semua perubahan karena berjalannya waktu. Prem akhirnya menjalani pemberkatan menjadi Anggota terhormat di kuil mereka. Prem memilih hidup di tanah kelahirannya dan menjadi warga desa terpandang di Napo dan siap untuk Membawa pembaharuan demi kemajuan bagi masyarakat Napo.
 Novel Negeri Hujan beralur konvesional, cerita disajikan secara berkesinabungan dan terurut. Tema cerita ini adalah tentang kemiskinan hidup di perdesaan yang tandus, yang melahirkan seorang tokoh yang

129

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

kelak akan menjadi warga pembaharu bagi desanya. Kemiskinan hidup tidak selalu menimbulkan kemiskinan kearifan dan wawasan. Tema cerita ini menganjurkan pentingnya ilmu atau pendidikan bagi setiap orang. Kemakmuran hanya dapat dicapai dengan ilmu, taraf kehidupan hanya didapat dengan keluhuran budi.

Tambo Minangkabau
 Karya ini merupakan alih aksara dari tulisan Arab ke tulisan Latin, alih bahasa dari bahasa Melayu Minangkabau ke dalam bahasa Indonesia. Karya itu (1985) koleksi pribadi Darman Moenir, dan tidak dipublikasikan,
 Tambo adalah cerita rekaan yang diyakini oleh masyarakat tradisional Minangkabau sebagai cerita yang “benar-benar” ada kejadiannya. Tambo malahan dianggap sebagai sejarah atau asal-usul orang Minangkabau. Tambo memulai kisah nenek moyang orang Minangkabau dengan menghadirkan nama Iskandar Yang Agung di Macedonia. Kisah berawal dari peristiwa banjir besar di zaman Nabi Nuh, dan kebesaran-kebesaran sejarah dunia yang lain.
 Tambo ditulis dalam aksara Arab dan berbahasa Melayu. Darman mengalihaksarakan dari aksara Arab ke aksara Latin dan mengalihbahasakan dari bahasa Melayu ke dalam bahasa Indonesia. Dengan penguasaan bahasa yang tepat Darman Moenir menyempurnakan wujud tambo dalam tulisan Latin dan bahasa Indonesia tersebut tanpa merusak keutuhan isi tambo.
 Darman Moenir patut diberikan penghargaan khusus karena sebagai sastrawan ia selalu taat menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Darman Moenir adalah seorang yang selalu rajin mengikuti perkembangan bahasa Indonesia dan selalu belajar kaedah bahasa sesungguhnya. Jika kita membaca karyanya, dengan mudah dapat dipahami kandungan isi karyanya tersebut. Penguasaan bahasa yang baik membuat hasil karyanya menjadi karya-karya yang bersifat sangat komunikatif.

Tangrapan Pengamat terhadap Karya Darman Moenir
Wisran Hadi
 Wisran Hadi, seorang sastrawan dan budayawan yang terkenal kritis memberikan tanggapan terhadap karya-karya yang telah dihasilkan oleh Darman Moenir. Melalui koran Singgalang 28 Oktober dan 2 November


130 1998, Wisran menulis tanggapan yang berjudul “Pembicaraan terhadap Empat Novel Darman Moenir: Sastra di Antara Fiksi dan Biografi”. Empat novel yang diulas melalui tulisan tersebut adalah Gumam, Bako, Dendang, dan Aku Keluargaku Tetanggaku. Wisran menulis bahwa sangat sulit untuk mengatakan bahwa karya-karya prosa Darman adalah Otobiografi atau karya fiksi (rekaan) sebab persoalan-persoalan yang dikemukakan Darman adalah persoalan yang ada di sekelilingnya. Seandainya Darman bukan seorang Minangkabau, menurut Wisran, dia tidak akan mampu menghayati, mendalami, serta memahami visi dan misi kebudayaan Minangkabau dengan cermat. Mungkin saja dia dapat menganalisis dan memaparkan budaya yang tidak ia ketahui, namun itu hanya sebatas kerja otak, tidak ada pemahaman yang mendalam pada tulisannya. Darman lahir, besar, menetap, dan berasal dari Minangkabau sehingga mampu melahirkan novel seperti Bako beserta latar sosial budayanya secara pas, teliti, dan menarik. Darman dapat menulis novelnya yang berlatar sosial budaya Minangkabau karena dia lahir, hadir, dan memamah persoalan kehidupan Minangkabau semenjak dari benih yang disemaikan ayahnya ke dalam rahim ibunya, demikian Wisran menulis.


Bill Watson
 Bill Watson dari Universitas Kent, Inggris mengaku bahwa ia sangat terkesan dengan bagian pembukaan novel Bako yang ia baca berulang-ulang. Watson mengatakan bahwa dia sudah berkali-kali mengulas Bako secara panjang lebar. Nampaknya, Watson sangat terkesan dan memiliki perhatian luar biasa pada novel Darman tersebut.


Nashar
 Seorang lagi yang mengkritisi karya Darman Moenir adalah pelukis Nashar, Dalam suatu pertemuan di antara mereka di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta, Nashar menyatakan bahwa pada prinsipnya, ia tidak terlalu mengapresiasi karya-karya seni (termasuk karya sastra) yang lahir dari suatu sayembara atau lomba. Bagi Nashar, produk lomba itu tidak Murni karena tidak berasal dari sanubari si seniman. Mereka mencipta karena dorongan dari luar yang tentu saja tidak bisa melepaskan diri dari unsur “pesanan”. Nashar berpendapat, lebih baik seniman berkreasi karena panggilan hati nurani dan dia menyebut beberapa nama besar yang tidak mau mencipta di bawah rangsangan tabel sayembara.

131

Atas kritikan Nashar, pada awalnya Darman berniat tidak akan lagi menulis untuk disayembarakan. Maka, lahirlah novel Dendang dan ia menulisnya dengan bahasa yang benar-benar terjaga sehingga ketika karya tersebut berada di tangan penerbit, Darman dapat bersikukuh bahwa karyanya tersebut tidak memerlukan suntingan lagi. Namun, godaan sayembara ternyata merupakan motivasi tersendiri bagi Darman dalam menulis sehingga ketika menulis novel Aku Keluargaku Tetanggaku, ia kembali mengikutkannya dalam lomba penulisan novel majalah Kartini, Jakarta (1987), dan memenangi lomba tersebut sebagai juara kedua.

Simpulan

Dari uraian mengenai riwayat hidup dan analisis terhadap karya Darman Moenir dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, Darman Moenir menjadi seorang sastrawan adalah berkat ayahnya memiliki banyak buku, membolehkannya membaca sesuka hati, dan minat bacanya yang memang tinggi. Selain itu, ia juga memiliki bakat menulis. Kebiasaan membaca berkait kelindan dengan kebisaan Darman menulis.

Kedua, pendidikan di SSRI makin membuat Darman lebih bergairah menulis akibat perkenalan dengan gurunya, Wisran Hadi, sastrawan besar Indonesia itu. Pertama kali sajaknya dipublikasikan adalah melalui majalah dinding di sekolah tersebut. Bersama-sama Wisran Hadi, ia menyemarakkan kegiatan kesastraan di Sumatra Barat

Ketiga, keseriusan Darman mempelajari segala sesuatu melalui bacaan makin memperkaya wawasannya dan menjadi modal baginya untuk menulis apa pun. Keseriusannya belajar di perguruan tinggi yang khusus mempelajari kebahasaan dan kesastraan juga menjadi fondasi baginya untuk semakin menekuni dunia tulis-menulis.

Keempat, dalam karier kepengarangannya, Darman banyak menulis berdasarkan pengalaman hidupnya sendiri, baik yang ditokohi dirinya atau manusia-manusia di sekelilingnya. Ia menangkap realitas yang dilihatnya, merenungkannya, lalu menuliskan secara imajinatif Mengikutsertakan karya pada sayembara sastra merupakan motivasi tersendiri bagi Darman. Uniknya, ia hanya mengirimkan karyanya ke panitia sayembara jika ia yakin bahwa karya tersebut akan menang.

Kelima, selain menulis berpuluh sajak, cerpen, kritik, artikel, esai, novel, karya terjemahan, dan laporan penelitian, Darman juga memperoleh beberapa anugerah sastra, Anugerah sastra bersifat monumental yang diraih Darman dalam karier kesastraannya adalah sebagai Pemenang Utama Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1980. Hadiah yang diraihnya melalui karya novelnya berjudul Bako itu menjadi sejarah emas pula dalam kehidupan seorang Darman Moenir.