Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat/Bab 6

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat

6

BIOGRAFI DAN KARYA GUS TF SAKAI

Biografi

  Lebih kurang dari dua puluh lima tahun yang lalu Gus tf Sakai mulai mempublikasikan karya fisiknya. Publikasi karya pertamanya terdapat pada media cetak yang terbit di ibu kota, Jakarta. Pada waktu itu, Gus tf, yang masih saat-saat tertentu menambahkan katasakai di ujung namanya, masih berusia belasan tahun dan bermukim di negeri asalnya di sebuah kampung kecil di perdalaman Sumatera Barat. Gustrafizal Busra adalah nama lengkap lelaki yang berperawakan dan berbadan sedang ini. Ia lahir pada tanggal 13 Agustus 1965 di Kota Nan Gadang, sebuah nagari yang ada di salah satu kota di Sumatera Barat, yaitu Payakumbuh.

  Gus tf dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga Islam yang patuh. Ayahnya bernama (Alm.) Bustamam yang dalam kehidupan sehari-hari menghidupi anak dan istrinya dengan bertani. Namun sayang, umurnya tidak lama di usia kurang lebih lima puluh tahun ia dipanggil oleh Yang Kuasa pada tanggal 18 Februari 1969 pada saat Gus masih berusia tiga tahun. Ibunya(Amak) bernama Ranyuna berusaha mencukupi dan menghidupi keluarganya setelah suaminya meninggal dengan vcara berjualan di Pasar Ibuh, pusat perdagangan di Kota Payakumbuh. Pada saat ini beliau masih dalam keadaan sehat dengan umur berkisar antara delepan puluh sampai delepan puluh lima tahun.

 Gus tf yang lahir dan dibesarkan dengan bimbingan hanya dari Amaknya adalah anak bungsu dari sepuluh orang bersaudara (sepasang kakknya sudah meninggal). Sepuluh orang bersaudara terdiri ataS lima laki-laki dan lima perempuan. Mereka tinggal di Koto Nan Gadang. Disebabkan kondisi perekonomian keluarga yang hanya mengandalkan

134

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat

kekuatan dari Amak saja, Gus berusaha mendapatkan uang dengan cara mengandalkan hobinya yang suka menulis puisi dan mengirimnya pada media cetak. Pada saat Gus masih menduduki skeolah menengah atas, ia telah bisa menghasilkan uang sebanyak dua puluh lima ribu rupiah yang sebahagian diberikannya kepada Amaknya dan sisanya ia pergunakan untuk mentraktir makan teman-temannya. Di kala itu, nilai nominal uang sebanyak itu sangat tinggi dan berlebih bagi seorang anak sekolah.

  Perempuan yang beruntung mendapatkan dan dipersunting oleh sastrawan berbakat ini adalah Ir. Zurnaiti. Istri tercinta dari pengarang muda ini adalah seorang perempuan sederhana dan mau mengerti tentang "kegilaan" Gus tf terhadap dunia sastra. Ia bisa menerima ritme kerja suaminya yang amat sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan ritme kerja laki-laki lainnya dalam mencari nafkah untuk keluarga. Ia bisa menerima kehadiran suaminya yang saban hari selalu berada di rumah dan tidak melakukan aktivitas lainnya di luar rumah. Zurniati atau dalam kesehariannya dipanggil Cul itu mampu memahami bahwa suaminya bukanlah pegawai negeri yang bisa memberikannya gaji di awal bulan, namun suaminya adalah seorang kurator sastra dengan penghasilan dan pendapatan yang tidak dapat diduga sama sekali.

  Ibu dari tiga anak ini menamatkan kuliahnya di Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang pada tahun 1987. Ia lahir pada tanggal 2 juli 1962, putri dari pasangan Tarmizi Wahid dan Rosna Burhana, lahir dan dibesarkan di kota yang sama dengan Gus, yaitu Payakumbuh. Ia dinikahi Gus pada hari Senin, tanggal 19 Maret 1990. Perkawinan iyu dikarunia tiga orang anak, satu anak laki-laki dan dua anak perempuan. Putera-puteri mereka adalah Abyad Barokah Bodi(Abi)(alm) yang lahir pada tanggal 9 Maret 1991, Khanza Jamalina Bodi(Khanza)yang lahir pada tanggal 5 Februari 1995, dan Kuntum Faiha Bodi yang lahir pada tanggal 23 Oktober 1997. Bodi yang menyertai nama anak-anak mereka merupakan nama suku yang ada di Minangkabau yang melekat dan diturunkan dari pihak ibu.

 Sebagai seorang bapak dari tiga orang anaknya. Gus mengajarkan keluarganya bersikap demokratis. Sufat demokratis ini ditanamkan Gus di dalam diri anak-anak dan keluarganya agar mereka saling menghargai pendapat masing-masing. Selain mencurahkan kasih sayangnya sebagai seorang suami dan bapak yang baik, Gus selalu mendiskusikan sesuatu dengan keluarganya. Gus menghargai setiap keputusan yang

135

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera

diambil oleh anak-anaknya dan jika anak-anaknya berada dalam keraguan, Gus berusaha memberikan ide ataupun pendapat guna mendapatkan jalan terbaik.
  Bagi Gus istrinya merupakan teman setianya di setiap kesibukannya. Isterinya adalah mediator (penghubung) ke khayalak pembaca ketika Gus baru saja menyelesaikan salah satu katya sastranya. Istrinya pembaca pertama untuk karya sastra terbaru yang dihasilkan oleh Gus. Gus beranggapan bahwa ibu (mami) dari tiga orang putera-puterinya ini mampu mewakili khayalak umum pembaca novelnya. Dengan kata lain, apabila sang istri mampu memahami jalan cerita dari tulisan baik itu novel atau cerita pendek yang ia tulis, yang ia tulis itu dapat diterima oleh masyarakat atau penikmat sastra.
  Laki-laki dengan penampilan yang sederhana ini setiap hari biasanya mengendarai sepeda menuju Pasar Ibuh untuk membeli salah satu koran nasional agar ia dan keluarga tidak tertinggal informasi yang terjadi di negeri ini. Dengan kasih sayang dan perhatian yang ia curahkan untuk keluarganya, Gus menjalani kehidupan rumah tangganya di daerah yang jauh dari ibukota provinsi Sumatera Barat. Mereka menetap dan membesarkan putra-putri mereka di Kota Nan Gadang, Payakumbuh, sebuah kota kecil yang berjalan sekitar 30 kilometer dari Kota Bukittinggi, Sumatera Barat itu. Di sana mereka memilih bermukim dan mendiami sebuah rumah sedrhana, di Jalan Sudirman, Gang Melayu Nomer 10/A, Balai Baru, Payakumbuh. Keputusan untuk menetap di Payakumbuh itu diambil sejak tahun 1996 ketika puteri keduanya berumur 10 bulan.
 Gus mengawali pendidikannya di taman kanak-kanak(TK). Gus yang masih kecil itu sangat akrab dengan teman-teman sebayanya. Setelah tamat dari Tk, Gus melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu di Sekolah Dasar Kota Nan Ampek, Payakumbuh. Pemuda cilik ini sudah senang membaca buku-buku cerita dan mulai menyenangi dunia sastra. Proses kreativitas dalam dunia tulis-menulis berkembang sejak ia masih kanak-kanak. Kesenangan dengan dunia sastra(tulis-menulis)mulai terlihat ketika ia yang masih berstatus pelajar di sekolah dasar menyenangi dan hobi membaca buku-buku sastra. Salah satu tempat yang paling sering ia kunjungi demi keinginan membacanya adalah Taman Bacaan Wen yang terletak di Kampung Cino(Kampung Cina) di Kota Payakumbuh. Di tempat itu, Gus kecil mengenal buku-buku sastra yang berbobot. Di usia yang belum genap dua belas tahun,

136

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatera Barat

Gus sudah terbiasa "melahap" buku karangan Mark Twain, atau Boris Pastermak dengan Dokter Zhivago-nya. Kegemarannya terhadap dunia tulis-menulis ia ungkapkan ke dalam buku harian yang selalu menjadi media proses kreativitas Gus. Kegemarannya itu berbuah manis dengan berhasilnya Gus sebagai pemenang pertama sayembara mengarang cerita pendek yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kotamadya Payakumbuh untuk cerita pendeknya yang berjudul "Usaha Kesehatan di Sekolahku". Ketika itu Gus masih duduk di bangku kelas lima sekolah dasar. Selain menyenangi dunia tulis-menulis, Gus dikenal sebagai siswa yang pintar. Ini dibuktikan dengan predikat juara umum yang selalu ia kantongi di setiap kenaikan kelas selama ia duduk di SD. Predikat itu ia pertahankan sampai di kelas satu sekolah menengah atas.
 Setelah selesai sekolah dasar, Gus melanjutkan pendidikannya ke salah satu sekolah menengah pertama terfavorit yang ada di kampungnya, yaitu SMP Negeri 1 Payakumbuh. Predikat sebagai siswa terbaik di SMP selalu dipertahankannya. Hobinya membaca buku, baik sastrawan maupun nonsastra tetap ia tekuni. Berbagai macam buku ia jumpai di perpustakaan sekolahnya. Penyandang juara umum di sekolahnya ini sudah menulis dan mengirimkan puisi dan cerpennya ke berbagai media masa surat kabar, majalah, ataupun sayembara puisi. Untuk pertama kalinya, karya Gus diterima dan layak dimuat di majalah remajaHai dan ia menerima honor yang besar, jauh melebihi uang sakunya.
 Dengan bermodalkan kepintaran dan kecakapan, Gus berhasil lolos dan diterima sebagai siswa di Sekolah Menengah Tingkat Atas Negeri 1 Payakumbuh. Ia makin terpesona dunia sastra. Meskipun memilih jurusan ilmu pasti di sekolahnya. Gus tetap menuangkan daya kreatifnya ke dalam bentuk puisi ataupun cerpen. Gus muda sangat terkesima dengan kemampuan mengajar seorang guru bahasa Indonesia bernama Bapak Syaukarni. Guru itulah yang mengajarkan Gus akan keindahan yang bisa diciptakan di dalam ataupun yang dapat ditemui di luar karya sastra. Gus mengagumi dan mencari kelebihan pengarang lain dengan banyak membaca buku dan tidak ragu untuk mengulangi kembali membaca buku yang telah ia baca. Selain memiliki buku-buku karangan penyair dan sastrawan yang ada di Indonesia. Gus muda juga memiliki koleksi buku pengarang yang mendapatkan penghargaan dan juga menyimpan buku-buku karya sastrawan Rusia.
 Walaupun menyenangi dunia sastra, Gus tidak melalaikan tugasnya sebagai seorang pelajar. Ini dibuktikannya dengan berhasilnya ia lolos

137

sebagai mahasiswa yang diterima di Universitas Negeri Andalas Padang melalui program PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). Uniknya, formulir PMDK tidak diisi oleh Gus sendiri, tetapi oleh salah seorang teman karibnya. Hal itu disebabkan Gus tidak berkeinginan melanjutkan kuliah mengingat kondisi keuangan keluarganya tidak mencukupi untuk mendanai sekolahnya esok. Hanya satu yang menjadi motivasi Gus, yaitu keinginan untuk hijrah ke Jakarta dan membulatkan tekad untuk bisa menjadi seorang sastrawan terkenal di kemudian hari.

 Atas bujukan teman-temannya, Gus mendaftarkan diri sebagai mahasiswa undangan di Universitas Andalas dengan program studi peternakan pada tahun 1985. Dengan status sebagai mahasiswa, Gus mulai merambah dan mengukuhkan dirinya sebagai pengarang remaja Gramedia. Di sela-sela kesibukannya sebagai mahasiswa dan pengarang remaja, Gus menyempatkan diri menyediakan waktu satu hari dalam seminggu untuk membalas surat-surat dan kritikan yang ia terima dari penggemarnya. Kehidupannya yang diibaratkan seperti air mengalir dijalani Gus dengan tenang dan bersahaja. Setiap ritme di dalam perjalanan kehidupannya ia terima dan hadapi serta diungkapkan dalam bentuk puisi, dan nove!. Apa pun yang ditemui di sekitarnya ia tuangkan dengan bahasa yang bagus dan tertata rapi ke dalam bentuk novel remaja. Untuk jangka waktu yang cukup lama, akhirnya Gus bisa selesai kuliah di fakultas peternakan pada tahun 1994. Penyandang gelar sarjana peternakan ini telah menghasilkan tiga novel remaja. Di samping itu. ia juga telah mengukuhkan namanya sebagai pengarang buku remaja Gramedia yang memang digemari oleh remaja pada waktu itu.
 Gus telah memilih jalan hidupnya untuk bergelut di dunia yang asing bagi keluarganya, Kepiawaian Gus dalam mengolah dan menata bahasa dengan lugas merupakan modal baginya untuk unjuk kebolehan dalam bidang sastra. Hidupnya dicurahkan untuk “menghidupi” sastra Indonesia. Sebaliknya, ia pun hidup dari sastra. Satu hal yang membedakan Gus dengan sasirawan dan pengarang lainnya adalah bahwa bagi Gus menulis bukanlah suatu “pekerjaan”, yang menjadi pekerjaannya adalah membaca. Inilah modal utama Gus untuk merengkuh dunia sastra. Setiap harinya, enam puluh persen dari waktunya adalah untuk membaca. Membaca yang ia maksudkan itu tidak saja membaca buku dengan kategori yang beraneka ragam, ia juga membaca fenomena yang ada dalam masyarakat. Ketika dirinya telah tersugesti untuk menulis pasca-membaca, barulah ia tuangkan dalam


138 bentuk tulisan. Ia pun tidak menargetkan kapan harus menyelesaikan tulisannya dan kapan pula ia harus mulai menulis suatu karya karena menurut Gus menulis bukanlah sebuah alat untuk mencetak uang.
 Yang menjadi ciri khas dan menarik dari diri Gus tf Sakai bukan karena “t” pada namanya yang harus ditulis dengan huruf kecil, bukan pula karena kepalanya plontos. Akan tetapi, ciri khas dapat kita jumpai pada kemampuan Gus “membelah” diri menjadi dua nama, “Gus tf” dan “Gus tf Sakai”. Orangnya satu, tetapi dengan dua nama yang (dalam dunia sastra Indonesia) sama terkenalnya. Padahal, nama aslinya adalah Ir. Gustrafizal Busra. “Gus tf” adalah nama (pena) untuk karya sastranya berjenis puisi, sedangkan “Gus tf Saka?” adalah nama untuk karya sastra jenis prosa. Kedua nama inilah yang memberi sugesti bagi diri Gus Sehingga ia tidak punya cukup waktu untuk menekuni hal-hal lain selain Sastra. Bagi Gus, waktu 24 jam sepertinya tidak cukup untuk mempertahankan eksistensi kedua nama tersebut.
 Penekanan bahwa menulis bukanlah “pekerjaan” yang ia geluti tercermin dari karya sastra yang telah ia lahirkan sejak dua puluh lima tahun lebih. Ia baru menghasilkan dua belas buku. Namun demikian, Gus berkeyakinan bahwa apa pun profesi tidak mungkin tidak ada penghargaan. Buku yang telah dihasilkan Gus adalah tiga buku kumpulan Puisi, yaitu Sangkar Daging (1997), dan Daging Akar (2005), dan Akar Berpilin (2009). Ia juga menghasilkan tiga kumpulan cerpen, yaitu Istana Ketirisan (1996), Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999), serta Laba-Laba (2003). Selebihnya, sebanyak enam buku, yakni Segi Empat Patah Sisi (novel remaja, 1990), Segi Tiga Lepas Kaki (novel remaja, 1991), Tambo Sebuah Pertemuan (2000), Tiga Cinta, Ibu (2002), dan Ular Keempat (2005). Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Yayasan Lontar. Buku ini Sudah tiga kali meraih penghargaan bergengsi, yaitu Penghargaan Sastra Lontar dari Yayasan Lontar (2001), Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (2002), dan penghargaan SEA Write Award dari Kerajaan Thailand, sebuah penghargaan bergengsi di Asia Tenggara. Buku ini direncanakan menjadi salah satu buku yang diprioritaskan Menjadi bacaan wajib bagi pelajar tingkat sekolah menengah umum.
 Gus tertegun dan tidak percaya ketika mengetahui dan mendapat kabar ia memperoleh SEA Write Award dan menuturkan bahwa rasa tidak percaya itu datang bukan karena kemudaan usianya. Saat mendapati Penghargaan itu Gus genap berumur 39 tahun, tetapi juga karena

139

sebenarnya Gus tidak terlalu yakin pada pilihan terhadap apa yang telah

ia tulis dalam buku tersebut. Buku Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta dinilai Gus sebagai buku ajaib, sebab buku itu merupakan kumpulan karya pertama Gus yang ditulisnya pada awal tahun 1990-an. Dalam kurun waktu 14 tahun kemudian barulah buku itu diapresiasi. Barangkali, untuk karya semacam itu memang berlaku hal demikian.
 Meski Gus merupakan putra Minangkabau dan banyak menulis dengan latar budaya Minangkabau, laki-laki berkaca mata itu tidak semata-mata mempersoalkan masyarakat etnik Minangkabau dalam seluruh karya sastranya. Gus mampu menyajikan persoalan masyarakat di luarnya. Etnik Minangkabau dalam cerita Gus diposisikan sebagai pandangan orang luar. Oleh karena itu, persoalan masyarakat Indonesia disajikan Gus dengan apik dalam karya sastranya. Ini pun tergambar dalam Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, Gus berhasil melintasi wilayah sosial, budaya, dan geografis Minangkabau. Empat belas cerita pendek dalam buku ini sebagian besar menyajikan problem masyarakat perkotaan: individu dari keluarga sibuk tanpa komunikasi, tidak mampu saling memahami, dan dicekam kesunyian. Gus juga melintasi wilayah gender karena buku antologi itu didominasi oleh kisah dan problem perempuan, wilayah asing yang sering kali sulit untuk diselami oleh penulis laki-laki.
 Harta terpenting dan paling berharga untuk Gus selain keluarganya adalah buku. Gus memiliki kekayaan berupa buku sekitar 3.000 judul yang memenuhi dua kamarnya. Suatu kebanggaan dan sudah menjadi tradisi bagi Gus sekeluarga adalah membeli buku, apalagi ketika Gus selesai menghasilkan sebuah buku.
 Arti penting sastra bagi Gus adalah “melintas”. Sastra dapat mempertemukan manusia yang berlainan suku, agama, ras, dan segala bentuk perbedaan karena kemampuannya dalam melintas itu. Begitu pula, sastra bisa mempertemukan beragam bidang, seperti sains, psikologi, atau filsafat karena kemampuannya dalam melintas. Hanya dengan kemampuan melintas sastra mampu menciptakan sebuah dunia, setiap kali membacanya, kita akan terjun lebih dalam dan semakin jauh terengkuh menelusuri ke dalam, lalu mempertanyakan kembali keberadaan diri kita sebagai manusia. Karya sastra mempunyai pesona yang lahir dari dalam diri karya sastra itu sendiri. Ia bisa membuat dan dibuat sebagai dunianya sendiri. Shakespeare, misalnya, hampir tidak bisa berdampingan dengan karya-karya lain, kecuali dengan sastra.

140 Dengan pandangan dan opini yang demikian serta didukung keseriusan Gus dalam berkarya, hampir semua karya yang dihasilkannya memenangi berbagai perlombaan. Ia telah mengoleksi lebih kurang 40 kali gelar juara mengarang cerita pendek, menulis puisi, mengarang novel, serta meraih lima penghargaan.
 Sumatra Barat boleh bangga telah banyak melahirkan dan membesarkan sastrawan yang orisinil dan murni. Murni yang dimaksudkan adalah ia lahir, besar, dan berhasil dengan segala upayanya dalam hal kepenulisan dan menekuni dunia sastra itu di ranah kelahirannya Sumatra Barat. Salah satunya adalah Gustrafizal Busra, Gus tf, atau Gus tf Sakai.

Karya-Karya Gus tf
 Berbagai karya sastra telah lahir dari tangannya, seperti novel remaja, cerpen, dan puisi yang telah diterbitkan dan dimuat di berbagai media massa. Selain karyanya yang telah banyak dibaca oleh pecinta dan pegiat sastra, Gus tf juga dikenal sebagai sastrawan yang acap kali menerima penghargaan maupun menjadi pemenang dalam berbagai lomba mengarang cerita pendek ataupun novel/novelet. Pada bagian berikut akan dikemukakan karyanya dan jenis penghargaan yang telah diterima oleh Gus yang bermula dari kiprah pertamanya menerima penghargaan pada saat masih duduk di bangku sekolah dasar.
 Karya dan penghargaan pengarang didaftarkan menurut jenisnya, baik itu berupa buku maupun berupa karya yang diterbitkan secara lepas dan diurutkan sesuai dengan tahun pertama, kedua, ketiga, dan Seterusnya.

  1. Juara I lomba mengarang cerpen dalam rangka peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 1979 tingkat Kotamadya Payakumbuh dengan judul cerpen “Usaha Kesehatan di Sekolahku”.
  2. Pemenang kedua “Lomba Cipta Cerpen Remaja (LCCR) Anita Cemerlang VII”, untuk kategori cerpen dengan judul “Kisah Pinokio dan Cinderella”, 1985.
  3. Pemenang satu “Sayembara Mengarang Fiksi Majalah Kartini" untuk kategori novelet dengan judul “Ngidam” pada tanggal 4 April, 1986.
  4. Juara ketiga “Sayembara Mengarang Fiksi Majalah Kartini" untuk kategori cerita pendek dengan judul “Nenek” 4 April tahun 1986.
  5. Pemenang harapan “Sayembara Mengarang Cerpen Majalah Tiara"


141

 untuk kategori cerita pendek dengan judul “Tiga Pucuk Surat Buat Muhammad”, tahun 1987.
  1. Dimuatnya salah satu karya Gus dalam buku Kumpulan Buku Surat-Surat Cinta yang diterbitkan oleh Yayasan Bhakti Sarinah, Jakarta tanggal 31 Juli 1987.
  2. Pemenang “Ucapan Kreatif Majalah Hai" pada tanggal 21 Mei 1987 Diundang untuk menghadiri acara “Forum Puisi Indonesia tahunm1987” pada tanggal 3—5 September 1987 oleh Dewan Kesenian Jakarta bertempat di Pusat Kesenian TIM, Jakarta.
  3. Pemenang ketiga “Sayembara Mengarang Cerpen Majalah Estafet” untuk kategori cerita pendek dengan judul “Gun”, tahun 1983.
  4. Pemenang kedua, “Sayembara Mengarang Fiksi Majalah Kartini” untuk kategori novel dengan judul Buram Berlatar Suram pada tanggal 31 Mei 1988.
  5. Juara kedua “Lomba Cipta Novelet Mini Majalah Anita” dengan Judul Dutch Doll (misteri), tahun 1989.
  6. Juara satu sayembara penulisan naskah puisi dari Direktorat Kesenian Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk kategori puisi dengan judul “Didaktisme Catur Lima Episode”, tahun 1989.
  7. Pemenang harapan satu sayembara penulisan raskah puisi dari Direktorat Kesenian Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk kategori puisi dengan judul “Menunggu”, tahun 1989.
  8. Pemenang sepuluh terbaik sayembara penulisan puisi yang diselenggarakan oleh Sanggar Minum Kopi Bali untuk kategori puisi dengan judul “Tentang Tuan Rumah dan Tamu yang Dibunuhnya”, tahun 1990.
  9. Pemenang puisi terbaik “Lomba Tulis Puisi Islami Ke-2” untuk kategori puisi dengan judul “Bola Salju”, tahun 1990.
  10. Pemenang nomine “Sayembara Mengarang Cerpen Suara Merdeka” untuk kategori cerita pendek dengan judul “Urban”, tahun 1991.
  11. Juara satu, “Lomba Novelet Majalah Gadis” untuk kategori novel dengan judul Ben tahun 1991.
  12. Pemenang harapan pertama “Sayembara Mengarang Cerpen Bali Post” untuk kategori cerita pendek dengan judul “Sebuah Lembah Setelah Lebah Pindah”, tahun 1991.
  13. Juara tiga “Lomba Sayembara Fiksi Majalah Kartini” untuk kategori
novelet dengan judul Lembah Berkabut, Maret 1992.
  1. Penenang sepuluh terbaik sayembara penulisan puisi oleh Sanggar Minum Kopi Bali untuk kategori puisi dengan judul “Aforisme Anggur”, 1992.
  2. Pemenang sepuluh terbaik sayembara penulisan puisi oleh Sanggar Minum Kopi Bali untuk kategori puisi dengan judul “Perkawinan Mawar”, 1992,
  3. Pemenang ketiga sayembaram penulisan budaya oleh Panitia Pekan Budaya Minangkabau untuk kategori esai dengan judul “Asketik, Holistik, Pradigma “Modemity””, tahun 1993.
  4. Pemenang sepuluh terbaik sayembara penulisan puisi dari Sanggar Minum Kopi Bali untuk kategori puisi dengan judul “Tak Pernah Kubutuh Sebuah Telepon”, tahun 1993.
  5. Pemenang sepuluh terbaik sayembara penulisan puisi oleh Buletin Sastra Budaya Kreatif Baru untuk kategori puisi dengan judul “Daun yang Baik”, tahun 1994.
  6. Pemenang sepuluh terbaik sayembara penulisan puisi oleh Yayasan Taraju Sumatra Barat untuk kategori puisi dengan judul “Seseorang dalam Lorong Bernama Zaman,” tahun 1994.
  7. Pemenang harapan sayembara mengarang cerpen remaja oleh majalah Matra untuk kategori cerita pendek dengan judul “Tak Ada Topeng dalam Diary”, 1996.
  8. Juara kedua sayembara penulisan esai oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dengan judul “Bentuk Budaya dalam Masyarakat Multietnik”, 1996.
  9. Pemenang harapan sayembara mengarang cerita bersambung oleh majalah Femina untuk kategori novel dengan judul Jilid Laki-laki untuk Ibu, 1998.
  10. Pemenang nomine “Cerita Pendek Terbaik di Koran-Koran Indonesia” edisi tahun 1998 oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk kategori cerita pendek dengan judul “Lukisan Tua, Kota Lama”, dan “Lirih Tangis Setiap Senja”, 1999.
  11. Pemenang nomine “Cerita Pendek Terbaik di Koran-Koran Indonesia” edisi tahun 1998 dari Dewan Kesenian Jakarta untuk kategori cerita pendek dengan judul “Sungguh Hidup Begitu Indah”, 1999.
  12. Pemenang lomba “Cerita Pendek Pilihan” oleh Kompas untuk kategori cerpen dengan judul “Ulat dalam Sepatu”, 1999.
  13. Pemenang sembilan terbaik “Sayembara Penulisan Puisi Perdamaian” oleh Panitia Lomba Cipta Puisi Perdamaian “Art and Peace” untuk kategori puisi dengan judul “Peristiwa Menanam”, tahun 1999.
  14. Juara kedua sayembara mengarang cerita pendek dari Pusat Kajian Humaniora Universitas Negeri Padang dan Program Bahasa Indonesia Universitas Deakin, Melbourne, Australia untuk kategori cerita pendek dengan judul “Kupu-Kupu”, tahun 1999.
  15. Pemenang “Lomba Cerita Pendek Pilihan” oleh Kompas untuk kategori cerita pendek dengan judul “Laba-Laba”, tahun 1999.
  16. Pemenang sepuluh unggulan sayembara mengarang cerita pendek oleh Pusat Kajian Humaniora Universitas Negeri Padang dan Program Bahasa Indonesia Universitas Deakin, Melbourne, Australia untuk kategori cerita pendek dengan judul “Karena Kita tak Bersuku”, tahun 2000.
  17. Pemenang “Lomba Cerita Pendek Pilihan” oleh Komnas untuk kategori cerita pendek dengan judul “Upit”, tahun 2001.
  18. Pemenang harapan “Sayembara Mengarang Novel Remaja” oleh Penerbit Mizan untuk novel dengan judul Garis Lurus, Putus, tahun 2002.
  19. Pemenang “Lomba Cerita Pendek Pilihan” oleh Kompas untuk kategori cersta pendek dengan judul “Gambar Bertulisan “Kereta Lebaran”, tahun 2002.
  20. Pemenang harapan pertama sayembara mengarang novel oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk kategori novel dengan judul Ular Keempat, tahun 2003.

Buku-Buku yang Diterbitkan

Kumpulan Pursi

  1. Sangkar Daging, 1997
  2. Daging Akar, 2005
  3. Akar Brpilin, 2099.

Kumpulan Cerita Pendek

  1. Istana Ketirisan, 1996
  2. Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, 1999
  3. Laba-Laba, 2003 Novel
  4. Segi Empat Patah Sisi (novel remaja), 1990
  5. Segi Tiga Lepas Kaki (novel remaja), 1991
  6. Ben (novel remaja), 1992
  7. Tambo, Sebuah Pertemuan, 2000
  8. Tiga Cinta, Ibu, 2002
  9. Ular Keempat, 2005

Gus sebagai seorang kolektor dan pekerja cerpen telah mengumpulkan cerpennya semenjak tahun 1996. Sebagai seorang Cerpenis, Gus selalu menambahkan kata “Sakai” di setiap karya sastrayang lahir sebagai karya kreatifnya. Kumpulannya cerpen tersebut adalah Istana Ketirisan (1996), Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999), dan Laba-Laba (2003). Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta memenangi “Hadiah Sastra Lontar” pada tanun 2001 dan “Penghargaan Sastra” dari Pusat Bahasa pada tahun 2002, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh The Lontar Foundation dengan judul The Barber and Other Short Stories tahun 2002, serta mendapat penghargaan “South East Asean (SEA) Write Award” -Penghargaan Sastra Asia Tenggara-dari Putra Mahkota Kerajaan Thailand, Pangeran Maha Vajiralongkom yang pelaksanaan seremomalnya diadakan pada minggu kedua bulan Oktober 2004.

Gus merupakan sastrawan Sumatra Barat ketiga yang mewakili Republik Indonesia untuk menerima penghargaan bergengsi itu. Gus tf Juga adalah orang Indonesia pertama yang meraih penghargaan Asean tersebut dengan usia termuda di antara para sastrawan yang telah meraih Penghargaan itu. Di usianya yang ketiga puluh sembilan, Gus telah diakui kepiawaiannya dalam dunia sastra. Dengan demikian, umur bukanlah Penentu dalam meraih kesuksesan, itu semua akan didapat melalui proseskreativitas yang ditekuni. Pendapat ini diyakini oleh Gus.

Gus sebagai seorang novelis telah banyak melahirkan karya sastra berupa novel, baik itu novel untuk remaja maupun novel untuk umum. Novel remaja yang ditulis oleh Gus tf dan telah diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Segi Empat Patah Sisi (1990), Segi Tiga Lepas Kaki (1995), dan Ben (1992). Ketiga buku tersebut diterbitkan oleh penerbit PT Gramedia, Jakarta. Meskipun beberapa novel lainnya memenangi dan dimuat sebagai cerita bersambung di beberapa media, namun yang diterbitkan dalam bentuk buku hingga kini hanya tiga novel, yaitu Tambo Sebuah Pertemuan; Tiga Cinta, Ibu; dan Ular Keempat. Tambo Sebuah Pertemuan (2000) diterbitkan oleh PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo). Tambo Sebuah Pertemuan diterbitkan dalam edisi berbahasa Inggris oleh Metafor Publishing. Tiga Cinta, Ibu (2002) diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta. Ular Keempat (2005) diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas.


Gus sebagai pekerja puisi dan anggota redaksi Jurnal Puisi telah menorehkan banyak puisinya di berbagai media baik itu di dalam maupun di luar Sumatra Barat. Sejumlah puisinya pernah memenangi sayembara, di antaranya pemenang I "Sayembara Penulisan Puisi" yang diselenggarakan oleh Dircktorat Kesenian Ditjen Kebudayaan RI tahun 1990 dan peraih "SIH Award" dari Jurnal Puisi pada tahun 2002. Kumpulan puisi-puisi lepas yang telah dibukukan berjudul Sangkar Daging (1997) merupakan kumpulan sajak-sajak Gus yang "lahir" sejak tahun 1980—1995 dan merupakan buku puisinya yang pertama. Buku tersebut memuat 60 sajak dari lebih 100 sajak yang telah ia tulis sejak tahun 1980 sampai tahun 1995. Sajak pertamanya dimuat di majalah Hai pada awal tahun 1980. Buku puisinya yang kedua adalah Daging Akur. Kumpulan puisi tersebut menggunakan dwibahasa, Indonesia-Inggris, diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas.


Selain menggunakan bahasa Inggris, sejumlah puisi Gus juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Jerman. Beberapa puisi dalam buku Sangkar Daging pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris, dan Jerman. Karya sastra berupa puisi amatlah banyak yang dapat dijumpai pada majalah ataupun surat kabar.


Dari ke-60 sajak Gus yang diterbitkan itu, ternyata dibagi dalam dua kelompok, yakni Langkah Batu (1980-1995) dan Luka Metamorfosa (1982-1992). Pada bagian kelompok Langkah Batu (1980-1995) terdapat 33 sajak, yaitu "Langkah Batu" (Payakumbuh 1980), "Salam" (Payakumbuh 1981), "Manusia Cacing" (Payakumbuh 1980—1981), "Cermin (I) di Stasiun" (Payakumbuh 1980—Prapat 1982), "Mendaki Sebuah Denyut Aku Teringat Kepada Bisu" (Payakumbuh 1984), "Alkisah" (Kandis 1982—Bangkinang 1984), "Undangan Bila Merajuk" (Lubuk Bangku 1980—Duri 1985), "Sirkus (Lubuk Bangku—Pasirringgit 1985), "Komunikasi Dua Arah" (Medan 1982—Rengat 1985), "Apologi Kanak-Kanak untuk Sapardi" (Padang 1985), "Menunggu" (Dumai 1982-Rengat 1985—Padang 1987), "Penyair Ompong" (Padang 1985—Payakumbuh 1987), "Peristiwa
Puisi" (Padang 1987), "Tentang Tuan Rumah dan Tamu yang Dibunuhnya" (Selat Malaka 1982—Singkarak 1987), "Isme Kejadian" (Selat Malaka 1982—Jakarta 1987), "Omong Kosong yang Kumiliki" (Jakarta 1988—Padang 1988), "Seseorang dalam Lorong Bernama Zaman" (Jakarta 1989), "Tumbuh dengan Dungu" (Payakumbuh 1990), "Lupakan Ayah Bunda yang Bernama Perubahan" (Padang 1988—Jakarta 1990), "Si Pemikul Bernama Entah" (Padang 1991—1993), "Mantel" (Payakumbuh 1993), "Ingin Lupa" (Ketapang 1992—Padang 1993), "Berpikir tentang Kesuburan" (Payakumbuh 1990—Jakarta 1994), "Pergeseran Dirinya dengan Hari" (Jakarta 1994), "Kita Pernah" (Jakarta 1994—Padang 1994), "Serangga dari Jendela Lantai 12" (Jakarta 1995), "Skizofrenia" (Padang 1995), "Bualan Ganjil" (Jakarta 1994 Padang 1995), "Tukang Pos Gaib" (Padang 1994—Payakumbuh 1995), "Gema" (Baturaja 1995), "Dunia dalam Sebuah Kamar" (Padang 1995), "Rindu kepada Laut" (Padang 1994—1995), dan "Malam Kawan-Kawanku" (Payakumbuh 1995).


Pada bagian kelompok Luka Metamorfosa (1982—1992) terdapat 27 sajak yaitu "Luka Metamorfosa" (Minas 1982), "Bau Kelahiran" (Payakumbuh 1982—1983), "Kubutuh Setiap Subuhmu" (Singkarak 1984), “Kubur Peladang" (Rengat 1985—Padang 1987), “Musuh Seorang Kawan" (Rengat 1985—Payakumbuh 1987), "Telah Ditulis Sejak Lama" (Padangtarab 1986—Jakarta 1987), “Selalu Bertanam" (Padang 1987-Jakarta 1987), “Daun yang Baik" (Padang 1987—Payakumbuh 1988), "Tak Perlu Aku Berdering" (Merak-Bakauheni 1987—Jakarta 1988), "Sekali Sehari Tiga Kali Berevolusi” (Padang 1987—Jakarta 1988), "Perkawinan Mawar" (Tembilahan 1985—Singkarak 1989), "Dalam Tamanmu" (Bukittinggi 1988—Payakumbuh 1989), "Daerah yang Kulupakan" (Payakumbuh 1989), "Berangkat Menuju Tangis" (Padang 1987—1990), "Sangkar Daging" (Payakumbuh 1988—Jakarta 1990), "Kulalui Jalan Ini" (Jakarta 1990), "Orang-Orang yang Selalu Berlayar" (Jakarta 1990), "Tirai Laut" (Payakumbuh 1991—Padang 1991), "Bertahun-Tahun Aku di Taman" (Payakumbuh 1989—Padang 1991), "Tentang Tuan Rumah (II) dan Tamu Yang Dibunuhnya" (Jakarta 1990—1992), "Cermin (II) di Stasiun" (Jakarta 1991—Padang 1992), "Tiga Bait di Tiga Pagi" (Payakumbuh 1992), Lubang (Padang 1992), "Anak dalam Diriku" (Gilimanuk 1992—Padang 1992). "Pemandangan" (Jakarta 1992). "Rimba" (Jakarta 1992), dan “Lokasi Tak Kutahu" (Padang 1992).  Pada bagian berikut, ditampilkan sinopsis dan analisis beberapa karya Gus tf Sakai yang meliputi novel dan puisi yang ditinjau dari segi Struktur karyanya. Penganalisisan hanya dilakukan terhadap aspek-aspek yang menonjol saja. Karya yang dianggap mewakili genrenya akan dianalisis secara menyeluruh.

 Mathew Arnold, seorang penyair Inggris, mengatakan bahwa puisi itu adalah kritik kehidupan (poetry is the criticism of life). Membaca puisi memang sesuatu yang mengasyikkan, bukan saja kita tertarik dengan kaitan kata-katanya, tetapi juga terhadap makna yang terkandung di dalam puisi itu. Ada suatu pengajaran, peringatan, himbauan, larangan, dan berbagai masalah lainnya dalam kehidupan. Begitu banvak penyair yang menulis puisi tentang kritik kehidupan. Hal itu bisa kita temukan pada sajak dan puisi Gus tf yang bercerita tentang kehidupan, salah satu contohnya ia memakai papan catur sebagai media pengungkapan.

 Puisi-puisi lepas Gus tf sangat menarik dengan gaya yang begitu bersahaja dan pendek-pendek. Gus tf menggarap puisinya secara runut dan tuntas terhadap ide ataupun tema sehingga tidak ada yang bersifat menggantung tema atau dibiarkannya terbengkalai di tengah jalan. Membaca dan menikmati sajak Gus seperti menikmati rabaan yang lembut, suci, dan jujur dari kasih sayang seorang ibu kepada anaknya atau diibaratkan seperti kenikmatan kita dalam mendapatkan dedikasi yang penuh dari seorang ibu. Hakikat perasaan kita yang terdalam disentuhnya dengan penuh ketenangan dan sejuk, lalu secara tidak sadar dan sukarela kita akan “mengikuti” apa keinginan sang penyair.

 Ketika pada tahun 1987 Gus diundang untuk menghadiri “Forum Temu Penyair Muda Indonesia” di Taman Ismail Marzuki Jakarta, ia tidak menggurui sesuatu kepada kita dengan paksa, baik mengenai kebajikan dan keburukan, pahala dan dosa, benar atau salah. Dengan sajaknya, Gus tf hanya memberikan “cermin” untuk dirinya sendiri, seperti monolog antara “ruh/wujud dia” dan “diri dia sebenarnya”. Hal itu bertujuan agar dia mengetahui ke mana pula dirinya harus digerakkannya dan berproses? Inilah yang mengendap dalam dirinya, seperti yang diucapkannya, “Begitu saya percaya bahwa setiap profesi pada hakikatnya akan menghantarkan kita kepada manusia utama, maka saya merasa beruntung terhadap pilihan hidup saya. Dengan menulis puisi, saya lebih sering berdialog dengan diri.”

 Hal itulah yang memancar melalui sajak-sajaknya, di mana diri harus menyadari realitas dan perubahan yang ada. Gus tf berusaha

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

meyakinkan dirinya agar bisa menerima kenyataan serta tidak terjebak dalam kegelisahan yang tidak beralasan dan berkesudahan. Dia begitu optimis dan bijaksana untuk menerima perubahan apa pun yang menghadang di depannya, yang bagi orang lain barangkali (telah) menimbulkan kecemasan dan kesangsian yang dalam. Kritikus sastra Alm. Prof. Dr. Mursal Esten pernah mengatakan bahwa Gus tf cukup arif memandang dunia, semuanya ditanggapinya dengan tersenyum.


Puisi-puisi yang dianalisis pada bagian berikut diambil dari buku puisinya yang pertama berjudul Sangkar Daging, yaitu “Didaktisme Catur Lima Episode”, “Menunggu”, “Sangkar Daging”, dan “Bola Salju”. Judul puisi yang terakhir ini merupakan salah satu karya Gus tf yang belum diterbitkan dalam bentuk buku. Keempat karyanya ini bisa mewakili genrenya dan merupakan sampel dari puisi Gus tf. Berikut ini dibahas satu per satu.


DIDAKTISME CATUR LIMA EPISODE

episode satu

menipak hitam menipak putih, menipak-

petak-petak catur menyusun baris, hitam putih-
hitam putih — hitam putih mengatur filsafat
rahasia catur dari kayu dan garis-garis, dari
sentuhan dan ukur-ukur: hitam putih — hitarn putih

episode dua
kalkulasi dan strategi mendentang-dentangkan jam catur
menusuk sehabis-habis papan meja dan kursi yang kaget
menyentuh dinding waktu, “mana kesempatan?" tanyanya
sang waktu menggoyang tangan

di papan catur yang diperhitungkan hanya kedudukan
satu petak satu buah catur. daun menandai akar, dan
pertarungan tak perah diucapkan. kenyataan. o
sering membuat bidak tak mampu jalan
—rasa kubawa naik, lewat petak-petak, periksa
kubawa turun, sisi-sisi itu jadi lengkap


149

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


petak petak-petak papan catur digariskan, bila bidak maju
tak boleh mundur. sedang para perwira
bebas bergerak ke mana suka

di atas papan catur kusaksikan
hanya jalan dan pukul
sampai habis buah catur

episode tiga
selalu di bidak, catur seperti tampak
dalam petak. ya bidak, ya bidak
catur menyampaikan lewat petak. buah catur menyampaikan
lewat tindak. dari teknik dan penguasaan para bidak. sehari,
waktu permainan menyuguhkan partai-partai koneksi

air menangisi laut, angin menangisi badai

di papan catur tiada hampa suara bidak. serak-serak basah
ataupun lembut-lembut serak. dari fitrah dan keinginan yang tak
lepas akan hendak. sehari, waktu permainan sempit mendesak
menyuguhkan partai-partai dalam mimpi

—bidak-bidak, serdadu berjalan sunyi. Memenuhi
petak-petak, dari sisi ke sis:

ya bidak: sebuah lagu wajib
perjalanan semesta catur

episode empat
mahligai maut, siapa hari ini?
terbujur di petak catur, bidakkah?

raja menteri benteng gajah kuda, lalu bidak dan dengan
petak-petak lengkaplah apa yang kaubilang-bilang
hitam putih dengan sudut dan sisi, lalu dengan garis-
garis tengkaplah apa yang kaueja setiap bisu
betapa tak bergunanya tangismu


150

berseberangan meja dengan papan catur di atasnya
kau menatap jendela dan aku menghitung
lubang anginnya

tak perlu air mata walau senja
kecuali gerimis

episode lima
: air kembali ke laut, angin kembali ke badai

saat daun menatap tampuknya, bunga pun layu
runduk ke tanah. dan burung-burung mencabut bulu
di sayapnya, gugur di petak-petak

buah catur punya gerak lebih kuat dari tindak
sebab pikirnya satu dan sombong dengan waktu

kecuali situasi, beradat hidup atau mati. Perhitungan maut
yang tak memperhitungkan tepi, menandai usianya sendiri

kulihat benteng kulihat raja, kulihat menteri kulihat bidak
kulihat gajah kulihat kuda, tersentak di pctax-petak
papan catur yang menentukan partai
di garis permainan akhir, terkait dari
petak-petak yang terangkai rapi: sampai jua
kulihat benteng kulihat raja
kulihat bidak kulihat menteri

kulihat gajah kulihat kuda
beriring menuju sepi

tinggal petak-petak
semakin berjarak

(1984-1985-1986)

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Puisi "Didaktisme Catur Lima Episode" berhasil keluar sebagai puisi terbaik dari 1642 naskah puisi yang ikut dilombakan pada sayembara penulisan puisi Indonesia pada tahun 1989—1990. Puisi itu menjadi pemenang hadiah pertama penulisan puisi yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Puisi "Didaktisme Catur Lima Episode" membicarakan masalah permainan catur dalam bingkai yang konotatif. Masyarakat yang lemah selalu dikalahkan oleh masyarakat yang kuat. Dalam permainan catur dikatakannya hanya ada istilah memukul dan dipukul. Tidak ada istilah damai dan berbagi rasa. Dengan demikian, kritik sosial dalam puisinya sangat kuat. Hal itu bisa terbaca melalui puisi ini pada episode dua:/ kalkulasi dan strategi mendentang-dentangkan jam catur/menusuk sehabis-habis papan meja dan kursi yang kaget/ menyentuh dinding waktu, "mana kesempatan?" tanyanya/ sang waktu menggoyang tangan/ di papan catur yang diperhitungkan hanya kedudukan/ satu petak satu buah catur, daun menandai akar, dan/ pertarungan tak pernah diucapkan. kenyataan, o/sering membuat bidak tak mampu jalan/—rasa kubawa naik, lewat petak-petak, periksa/kubawa turun, sisi-sisi itu jadi lengkap/petak petak-petak papan catur digariskan, bila bidak maju/tak boleh mundur, sedang para perwira/bebas bergerak ke mana suka/di atas papan catur kusaksikan/hanya jalan dan pukul/sampai habis buah catur//.

Namun demikian, betapa pun busuknya permainan catur dunia ini, menurut Gus tf pada akhirnya semua akan menuju sunyi (mati) untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya selama ini. Ia pun menutup puisi itu dengan kata-kata/kulihat benteng kulihat raja, kulihat menteri kulihat bidak/ kulihat gajah kulihat kuda, tersentak di petak-petak/papan catur yang menentukan partai/di garis permainan akhir, terkait dari/petak-petak yang terangkai rapi; sampai jua/kulihat benteng kulihat raja/kulihat bidak kulihat menteri/kulihat gajah kulihat kuda/beriring menuju sepi/tinggal petak-petak/semakin berjarak//.

MENUNGGU

barangkali stasiun memang ingin mengenalku, ketika kami mengamati kau datang dan pergi, lalu datang lagi dan menggelosohkan
diri di peron ini, barangkali stasiun tertarik kepadaku, ketika aku


152

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


mengajakmu bermain dadu, lalu main kartu dan bertengkar
begitu seru: tentang sesuatu yang kita tunggu

barangkali stasiun tertarik pula kepadamu, ketika kau
menghardik jam peron agar berjalan lebih laju, lalu menantangku
lomba menunggu. barangkali stasiun juga suka kepadamu, ketika
kita
memintal cerita, lalu bersiul dan tertawa seraya
kerdipkan mata: waktu bukan apa-apa

barangkali stasiun belum lupa. barangkali kami aku kau dan kita

adalah orang yang sama: sedang menunggu siapa?
barangkali sedang menunggu yang lupa

(Dumar,1988; Rengat,1985; Padang,1987)


Pada sajak “Menunggu” yang ditulis Gus di Dumai (1982), Rengat (1985), dan Padang (1987), kita disodori berlapis-lapis imaji sehingga terjalin komunikasi yang mengasyikkan. Bait pertama sajak dimulai dengan baris: barangkali stasiun ingin mengenalku ketika kami/. Di sini terlihat penjungkir-balikkan makna dengan kata-kata yang ambigu “stasiun memang ingin mengenalku” merupakan nilai tambah untuk membiarkan pembaca masuk ke dalam puisi tersebut secara total.

Baris pertama bait ke dua: /barangkali stasiun tertarik pula kepadamu, ketika kau/ kata-katanya lebih tajam lagi sehingga membuat Suasana lebih demokratik. Stasiun, dengan kata lain tertarik kepada siapa saja. Pertanyaan menarik yang diantarkan Gus adalah: apa yang tertarik pada siapa atau siapa yang tertarik pada apa? Vokal u yang dibangun pada kalimat terakhir pada bait pertama, yaitu kepadaku, dadu, seru dan tunggu masih diperkuat pula oleh kata-kata lain dalam kalimat dan frasa itu: aku, mengajakmu, lalu, kartu, begitu, dan sesuatu.

Cara Gus memilih dan menggunakan diksi merupakan suatu hal yang bersifat mendasar dalam penulisan puisi. Makna dan tera mungkin juga menjadi tidak demikian penting ketika apa pun sesungguhnya menjadi dan dijadikan tema puisi. Bagaimana mengungkap dan mengucapkan tema apa pun, itulah persoalan utama seorang penyair. Namun demikian, disanalah letak kekuatan Gus dalam melahirkan sajak/


153

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


puisi. Ini terlihat dari penjungkir-balikkan makna yang dilakukan bukan untuk beraneh-aneh, namun sebaliknya mendatangkan makna baru, bahkan sejumlah makna baru. Kata stasiun sebagai lambang (bukan tanda!) sering dan selalu digunakan. Di tangan Gus tf, kata tersebut menemukan makna baru, bahkan dihidupkan sehingga seolah-olah menjadi makhluk yang mempunyai roh. Pada hakikatnya seorang penyair memang memberi “roh” bagi kata atau penyair menciptakan kata, menghidupkan bahasa.
 Keempat bait (masing-masing terdiri atas lima, lima, dua, dua dan satu baris) bahkan setiap kalimat atau frasa (dua pada bait satu, dua dan tiga) sajak “Menunggu” ini dimulai dengan kata barangkali. (Walaupun barangkali scdang menunggu yang lupa// (baris dan bait akhir) sebagai jawaban langsung terhadap pertanyaan /sedang menunggu siapa?/ Dalam puisi “Menurggu” ini terdapat semangat dan optimisme yang tentu saja bertolak dari sikap hidup yang jelas (yang dipaparkan dan didukung oleh kalimat-kalimat aktif). Semangat dan optimisme dipilih dan ditentukan setelah /bertengkar dengan begitu seru/ pada bait pertama dan lalu menantang untuk berlomba menunggu/ pada bait dua.
 Citraan-citraan itu sengaja dipetik untuk mengukuhkan perjuangan penyair dalam menghadirkan suasana menunggu walaupun tidak memerlukan penjelasan, tetapi tentu saja bisa dirasakan. Dalam kata-kata sehari-hari, sering kita ujarkan “menunggu ita membosankan”. Betapa lagi pekerjaan 1u adalah “menunggu yang lupa” merupakan suatu aktivitas yang dapat memeras daya ingat secara hebat dan menuntut kesabaran yang tinggi sekali. Hal itu berarti jika diaplikasikan dalam kescharian manusia dan merupakan fenomena yang universal.
 Puisi-puisi Gus memang kaya akan nilai kerohanian meskipun hal itu dilukiskannya secara tersirat atau hanya menyembul keluar dari jiwa puisinya serta dipadu dengan nilai-nilai sosial yang kental dan bersahaja. Puisi “Sangkar Daging” barangkali bisa menguatkan hal itu.


SANGKAR DAGING

berselisih laku, aka kcmbali
ke pelangkahan-di pembenihan, orang-orang mengaji
ihwal akar dan daun

154

tumbuh
gugur

berselisih laku, orang-orang kembali
pindah dari satu rumah ke lain rumah, menyemai benih
dari satu ladang ke lain ladang. tetapi, hanya bau tanah
dan napasmu: daging, daging

oh, anyirnya darah

”beri aku akar,” ujarmu. padahal kita telah diberi biji
”beri aku daging,” rakusmu. padahal kita telah diberi ruh
keabadian

berselisih laku, aku kembali
ke pengaduan—di penyeberangan, orang-orang
menghilirkan
doanya yang kacau dan pedih, dalam sangkar-sangkar

(Payakumbuh, 1988— Jakarta, 19909)

Puisi “Sangkar Daging” di atas jelas menyoroti problema perjuangan manusia ke alam keabadian yang menurut pandangan Gus penuh dengan liku-liku dan godaan dunia yang bermacam-macam pula. Semua manusia harus mampu menempuh jalan hidupnya masing-masing yang telah digariskan oleh Yang Maha Kuasa.

Dengan menggunakan lirik yang panjang, Gus mengungkapkan pikirannya dengan jelas, tetapi tetap dengan jeda puisinya yang pendek-pendek sesuai dengan kekhasannya dan gayanya karena memang di situlah dunia dan kejiwaan Gus sebagai seorang penyair dalam melahirkan karyanya. Di dalam buku Ketika Kata Ketika Warna (In Words in Colours), yang diterbitkan oleh Yayasan Ananda dalam rangka memperingati Ulang Tahun Emas Kemerdekaan Republik Indonesia dan memuat karya 50 penyair Indonesia sejak Hamzah Fansuri, pada acara itu, Gus merupakan penyair paling muda.

Gus, yang dalam usia 22 tahun diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk mengikuti Forum Puisi Indonesia 1987 dan sejak itu mulai Sering menghadiri berbagai pertemuan penyair, di antaranya “Istiqlal International Poetry Reading 1995”, memang seorang penyair yang menitikberatkan karyanya pada kritik sosial dan menggunakan gaya lirik sosial dalam puisinya. Gus tidak akan pernah puas ataupun berhenti untuk sekadar mendedahkan kelenturan estetika, tetapi lebih jauh mengembara ke alam hakiki atau filosofis, seperti yang terdapat pada puisi “Bola Salju”.


BOLA SALJU

kumampatkan hati yang lewat, sesuara berbuih
dalam gelasku. dalam cinta, segala peristiwa jadi
deras lantunnya. kupegang kembali mulutmu
 :kebajikan, kembang yang tak pernah layu

bila hari bertambah, kau selalu merasa
seperti, ada yang kian sudut. berulang-ulang kita
katakan, betapa gampangnya mengundang kebahagiaan.
hanya dengan menyiasati keinginan: hanya...

tegur peristiwa, “dulanglah cinta sehabis-habis
dulang, “mengingatkan bahwa tak pemah ada
yang hilang. hanya kesinambungan dan perubahan:
hanya...

kita pergi jauh, selalu kembali, kita pergi
jauh, sebetulnya kembali. kita pergi jauh:
hanya kedalam diri

dalam cinta, kita serahkan diri kepada apa saja.
dalam nurani, kebajikan akan tetap abadi.
kumpulkan mereka., simpulkan mereka:
lalu...”"hanya kewajiban.”

di bumi, kita menginap dan berziarah
setiap membersihkan ruang. ruang
dalam rumah, aku digamit dan
digamit: untuk istirahat

156

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


 Melalui puisi ini, Gus ingin menyampaikan pesan kepada kita bahwa hidup ini mengalami perubahan dan mengalir. Kata “mengalir” yang dimaksud adalah kemampuan kita dalam menyikapi hidup kita sendiri dan mengaliri hidup kita dengan berbuat kebajikan. Betapapun jauhnya manusia berjuang, pada akhirnya ia akan kembali ke asalnya.
 Kata hanya... yang menggantung di ujung kalimat puisi “Bola Salju” pada bait kedua menunjukkan betapa teguhnya keyakinan sang penyair akan dirinya. Selanjutnya: //dalam cinta, kita serahkan diri kepada apa saja/dalam nurani, kebajikan akan tetap abadi./kumpulkan mereka, simpulkan mereka:/lalu...”hanya kewajiban.'”//. Frasa “hanya kewajiban” yang ditempatkan dalam dua tanda petik semakin mengagumkan kita betapa besarnya kearifan sang penyair serta betapa pentingnya kita untuk selalu mampu bersifat dan bertingkah laku tenang dan menempatkan dalam diri dan keseharian hidup kita. Pada akhirnya itu semua akan mengantarkan kita kepada kesadaran diri kita tentang kehidupan di dunia ini hanya sebagai tempat persinggahan: /di bumi, kita menginap dan berziarah/setiap membersihkan ruang, ruang/dalam rumah, aku digamit dan/digamit: untuk istirahat/.
 Oleh karena itu, menurut Gus lebih baik berbuat kebajikan karena kebajikan tetap bernilai abadi. Tidak ada guna untuk bertindak serakah karena keserakahan hanya akan membuat hidup kerohanian kita sengsara dan juga di alam keabadian nantinya, “di bumi, kita (hanya) menginap dan berziarah,” tulis Gus. Lalu pada akhirnya kita akan didera rasa capek dan penat serta ingin istirahat, bahkan istirahat untuk selamanya di alam yang telah disediakan oleh Allah Swt. Secara tidak sengaja, ada beberapa kebijaksanaan yang ditawarkan oleh Gus kepada kita, yaitu mengapa kita terlalu merisaukan perubahan yang datang hingga menimbulkan kontroversi, padahal kematian jauh lebih penting untuk dipikirkan dan perlu adanya persiapan untuk menyambutnya karena memang itulah hal yang paling penting. Pada suatu saat nanti, kita akan lebih sunyi dan Satu-satunya yang akan menolong kita adalah Allah Swt dan iman: “kebajikan, kembang yang tidak pernah layu”, kata Gus tf pada salah Satu sajaknya.
 Novel yang telah ditulis Gus tf (Sakai) sejak awal kepengarangannya sampai sekarang dan telah diterbitkan dalam bentuk buku ada lima. Tiga dari lima novel tersebut merupakan novel remaja yang diterbitkan oleh penerbit yang sama, yaitu PT Gramedia Jakarta. Ketiga novel itu adalah Segi Empat Patah Sisi (1990), Segi Tiga Lepas

157

Kaki (4991), dan Ben (1992). Ketiga novel remaja itu sengaja ditampilkan pada tulisan ini karena mewakili kiprah Gus sebagai salah seorang mantan “pengarang remaja Gramedia” dalam dunia tulis-menulis di khazanah sastra, khususnya untuk mengingat debut perdananya melahirkan novel remaja. Nama Gus tercatat sebagai sastrawan cerita pendek atau novel remaja yang digemari pada era sembilan puluhan.

Novel Remaja : Segi Empat Patah Sisi

Penerbit : PT Gramedia Jakarta, Juni 1990

Tebal : 144 halaman

Segi Empat Patah Sisi (SEPS) merupakan novel perdana Gus yang diterbitkan oleh penerbit Gramedia yang memang pada awal penerbitan perdananya pada tahun 1990 mencuri hati dan menjadikan bacaan kawula muda. Novel ini merupakan awal rentetan panjang keberadaan Gus di blantika kepengarangan nasional. Rentetan perjuangan satu-satunya putra Minangkabau (Sumatra Barat) pada tahun itu yang terus menerus menapaki keberhasilan demi keberhasilan.

Gus tidak melupakan daerah dan tanah kelahirannya. Novel Segi Empat Patah Sisi memilih Kota Padang sebagai tempat kejadian cerita dan Gus sebagai pengarangnya tidak berlupa diri untuk membawa budayanya. Untuk mendukung tokoh dan tempat Gus pun memuat istilah Minang sebagai petuah pengatur langkah bagi tokoh-tokohnya di dalam novel ini:

Mamalingkan badan ka arah angin

Tulang manggigie dek kadinginan

Kalaulah barado di dunia lain

Jan lupo jo kampung halaman

memalingkan badan ke arah angin

tulang mengigil karena kedinginan

kalau telah berada di dunia lain

jangan lupa pada kampung halaman

Novel Segi Empat Patah Sisi bercerita tentang kisah percintaan remaja. Lazimnya novel remaja lainnya yang selalu menampilkan tema yang happy ending untuk mempersembahkan kebahagiaan pada pembacanya sebagai hiburan, tidaklah demikian halnya dengan novel SEPS. SEPS bahkan tidak “meloloskan” rasa cinta tokoh-tokohny3 sehingga menimbulkan putusnya hubungan pertemanan yang dulunya akrab menjadi tercerai-berai. Pembaca tidak disuguhi perasaan hanyut

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


akan sebuah kegagalan ketika membaca novel ini, namun menerimanya sebagai suatu kewajaran. Ini disebabkan sikap yang diambil tokoh-tokohnya merupakan jalan terbaik dari sebuah arti kedewasaan seorang remaja.
 Ungkapan rasa kesosialan yang tinggi dari sebuah penderitaan akibat bencana alam menjadi dasar cerita ini. Bencana alam galodo Gunung Marapi tanggal 30 April 1979 yang melanda negerinya membuat sepasang sahabat kecil hidup sebatang kara setelah terhindar dari bencana alam dan “diselamatkan” oleh kehidupan. Nini, Gaga, Bondi, dan Garna merupakan nama tokoh dalam novel ini. Nini seorang perempuan yang hidupnya seorang diri terpisah dari keluarga karena bencana alam itu. Bondi adajah laki-laki yang juga hidupnya seorang diri, korban yang selamat dari musibah bencana alam meluapnya Batang Kuranji pada tahun 1960. Nimi tinggal dengan orang tua angkatnya hingga ia menjadi seorang mahasiswi di Universitas Andalas Padang. Bondi adalah kakak angkat Nini yang memendam cinta padanya, namun dalam kesehariaannya Bondi selalu memunculkan sikap memusuhi Nini. Ketika Bondi mengetahui kalau ia senasib (sama-sama korban bencana) dengan Nini, dirinya merasa terpukul, apalagi sikapnya selama ini yang selalu memusuhi adik angkatnya itu. Di tengah aktivitas Nini sebagai seorang mahasiswi, ia bertemu dengan Gaga, seorang pengarang kesukaannya yang tidak lain merupakan teman masa kecilnya dulu. Perkenalannya dengan Gaga merupakan bantuan dari Garna, satu-satunya teman perempuan Nini. Namun, Garna sahabatnya itu memendam cinta pula pada Gaga, sebuah cinta yang tidak diinginkan oleh pengarang itu.
 Bahasa Gus sebagai pengarang novel remaja ini indah, penuh dengan perumpamaan, dan tetap bersikukuh dengan EYD sehingga berkesan mendukung proses kedewasaan seorang sastrawan dalam penuturan, pemikiran dalam masalah, kedewasaan dalam menerima masalah, serta bagaimana menyikapi masalah.
 Sebagai bacaan remaja, novel itu memang agak berat karena biasanya remaja menyukai bacaan yang ringan-ringan, Dalam novel SEPS Gus berhasil memadu dua jenis karya sastra, yaitu puisi dan novel dalam suatu sajian yang penuh dengan ajaran-ajaran atau prinsip hidup dan kehidupan. Tidak heran kalau Gus sendiri mengatakan bahwa novel ini diperuntukkan bagi remaja yang mulai mapan dalam arti kedewasaan atau buat remaja yang matang, sebab novel SEPS ini penuh makna dalam penulisannya, cara pengungkapan yang berbeda, dan dengan bahasa yang puitik.

159

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


 SEPS dimulai dengan prolog tentang peristiwa banjir bandang Gunung Merapi, 30 April 1979 dan memaparkan cerita tentang Lenggani (Nini), Nono Lenggano (Gaga), Garna, Dodi, Papa Hendri, dan Mama Lala. Novel ini membahas realitas konkret seakan-akan dihadapkan kepada pembaca dan SEPS menghubungkan ceritanya dengan peristiwa nyata. Fakta dan peristiwa nyata serta tempat kejadian seakan mengukuhkan pengkonkretan cerita. Oleh karena itu, tidak mungkin pembaca novel ini akan mengatakan hal itu adalah kejadian yang tidak sebenarnya. Hubungan realitas konkret dan realitas imajinatif dijalin dengan sebegitu rupa sehingga SEPS seakan-akan adalah peristiwa bukan imajinatif. Pengarang (Gus) berusaha untuk menghilangkan batas atau garis pemisah antara fiksi dan nonfiksi. Para tokoh serta jalinan ceritanya adalah fiksi, sedangkan galodo Gunung Merapi tanggal 30 April 1979, bencana meluapnya Batang Kuranji 1966, longsor Bukit Tui Mei 1987, kampus Unand, dan sebagainya adalah realitas yang nyata atau konkret.
 Bencana Bukit Tui bulan Mei 1987 adalah realitas konkret, tetapi Gaga berada di Bukit Tui pada peristiwa Galodo Mei 1987 bukan merupakan realitas konkret, tetapi realitas imajinatif. Realitas konkret telah berubah dan ditransformasikan menjadi realitas imajinasi. Oleh sebab itu, pengarang/SEPS itu sendiri tidak melakukan manipulasi.
 Hal itu terlihat dari awal atau lembaran pertama buku SEPS ini yang menyatakan bahwa SEPS adalah fiksi, tetapi fiksi tersebut disajikan seolah-olah nonfiksi. Keterangan di atas memperlihatkan dengan jelas bahwa pembaca novel fiksi tidak dibohongi sebab sudah dijelaskan sebelumnya.
 Novel SEPS menggunakan gaya perulangan untuk bagian-bagian yang dianggap perlu untuk ditekankan yang menurut pandangan pengarang membawa misi, amanat, solusi, dan nasihat. Bagian-bagian yang diulang itu antara lain: nasihat mama Lala (SEPS:11, 55, 134), pendapat papa Hendri tentang fiksi (SEPS:2, 4, 26), dan lain-lain. SEPS juga menggunakan gaya yang sama dengan gaya surat-menyurat sebagaimana bisa kita temukan pada karya Hamka, seperti Di bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Novel-novel tersebut pada masa mereka telah melahirkan teknik baru, yaitu alur sorot balik. SEPS tidak berbeda dengan yang telah digariskan oleh pendahulunya. SEPS juga menyodorkan pembaca dengan filsafat kehidupan: bagaimana memandang kehidupan dan setiap persoalan serta tentang arti sebuah persahabatan (SEPS:50). Bab penutup buku ini juga

160 penuh dengan kesimpulan dan nasihat.

Novel Segi Tiga Lepas Kaki

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1991

Tebal : 136 halaman

 Cinta segi tiga teramat sering diangkat menjadi ide suatu cerita, apalagi ide untuk sebuah novel. Akan tetapi, dalam novel Segi Tiga Lepas Kaki ini cerita cinta segi tiga yang dihadirkan begitu memikat karena kekuatan imajinasi pengarangnya. Kita sebagai pembaca tidak hanya diajak merasakan bahwa cinta terkadang begitu rumit dan berbelit-belit. Lebih dari itu, pengarang novel ini tampaknya ingin mengajak kita merenungi hidup lewat rasa cinta yang dianugerahkan pada setiap insan.

 Tokoh-tokoh yang terlibat cinta segi tiga ini adalah dua orang Saudara sepupu, Rani dan Meri. Mereka sama-sama jatuh cinta pada seorang pemuda, yakni Bani Suntang. Rani adalah seorang pelajar sebuah sekolah menengah atas negeri di Payakumbuh, demikian juga dengan Meri. Rani ditampilkan sebagai tokoh yang penuh perhatian, sedangkan Meri memiliki sifat yang lincah dan ceria. Bani adalah seorang pemuda tampan yang memiliki daya tarik pada sorot mata yang tajam sehingga mampu menghipnotis seorang gadis untuk jatuh cinta pada dirinya. Pada awal cerita, tidak hanya Rani dan Meri yang menyukai Bani, tetapi gadis lain juga terpikat dengan mata elang Bani. Hal itu dialami oleh Sheila, seorang gadis cantik yang berusaha menarik perhatian Bani dengan harapan bisa mendapatkan cintanya. Namun sayang, usaha Sheila sia-sia, ia melakukan bunuh diri hanya karena gagal “memiliki” mata malaikat itu. Inilah yang membuat Bani pindah ke Payakumbuh dari sekolahnya yang lama di Dumai. Rani adalah teman sebangku Bani. Rani memberikan perhatian yang amat besar pada Bani mungkin karena ia juga telah terpikat dan diam-diam Rani juga menaruh harapan serta mencintai Bani karena pancaran tajam mata berkabut itu.

 Meri, saudara sepupu Rani menganggap Rani bisa membantunya untuk mendapatkan Bani teman sebangkunya itu. Bani menolak Meri sehingga membuat gadis itu terpukul karena semula ia menganggap Bani telah memberikan harapan kepadanya melalui tatapan lembut matanya. Rani yang tahu akan hal itu ikut juga merasakan kesedihan saudara sepupunya itu. Dipicu naluri keperempuanannya, akhirnya Rani pun marah kepada Bani. Rani menyesali tindakannya itu karena setelah kemarahannya itu membuat Bani membolos untuk waktu yang cukup lama. Rani semakin menyesali tindakannya dan merasa bersalah ketika ujian kenaikan kelas mereka sudah di ambang pintu. Rani khawatir jika Bani gagal menempuh ujian karena terlalu sering meninggalkan bangku sekolah. Pada saat Bani datang dan mulai mengikuti pelajaran di sekolah, ia mengutarakan apa yang telah dirasakannya pada Rani. Ternyata, Bani mencintai Rani. Gadis itu serasa mendapat durian runtuh, ia memang tidak menduga kalau mata elang itu akan memilihnya sebagai tambatan hati. Rani bahagia karena Bani juga mencintainya sehingga gadis ini tidak bisa meluapkan kebahagiaan kecuali dengan meneteskan air mata bahagia. Cerita novel segi tiga ini tidak diakhiri dengan terpilihnya Rani sebagai gadis pilihan Bani, namun berakhir dengan kepergian Bani meninggalkan dua orang gadis itu. Bani pergi meninggalkan semua peristiwa cintanya yang tercerai-berai.

Bahasa novel Segi Tiga Lepas Kaki ini ibarat air mengalir dengan lancar. Gus tidak memilih bahasa prokem sehingga membuat cerita ini terkesan lebih kuat dan tajam. Apalagi, novel ini bisa dianggap novel dengan penceritaan yang romantis. Sangatlah tepat kiranya pengarang novel ini memilih sudut pandang orang pertama untuk pelaku utama. Tokoh aku (Rani) menjadi lebih kuat dan tajam karena dipaparkan dengan gaya pemaparan pengarang yang puitis.

Novelet Ben

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1992

Tebal : 88 halaman

Novelet Ben merupakan pemenang I sayembara novelet majalah Gadis pada tahun 1991. Latar lokasi cerita adalah Payakumbuh. Sebagai seorang pengarang, dalam melahirkan ceritanya Gus tidak hanya mengandalkan imajinasinya saja, tetapi juga mengambil bahan dari bacaan lain, misalnya meliltat kebiasaan suatu tempat, filsafat ataupun adat istiadat suatu daerah. Dalam Ben, tampak pengetahuan Gus tentang alam matrilineal Minangkabau yang dideskripsikannya sedang dilanda arus modernisasi. Pengarang cerita ini menulis dan menyuguhkan karyanya dengan pengamatan psikologis yaang mengena, tokoh-tokohnya ditampilkan dengan motivasi yaang masuk akal dan matang. Keistimewaan novelet Ben terdapat pada struktur cerita: mula-mula menanjak sampai ke puncak, terjadi arus balik yang tiba-tiba menanjak lagi untuk sampai ke puncak akhir. Puncak akhir yang sifatnya sementara

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


sebab cerita belum berakhir.
Ben, novelet remaja dengan tebal 88 halaman ini diberi catatan pengantar oleh kritikus sastra H.B. Jassin. Ben mengisahkan pertentangan dua generasi dan pandangan antara orang tua dan anak yang selalu tidak sama, bahkan acap kali bertentangan. Ben adalah seorang siswa sekolah menengah tingkat atas. Ben memutuskan memilih jurusan A4 (menitikberatkan pada bidang studi bahasa dan budaya), tetapi ketika ia mengutarakan keinginannya itu pada ayahnya, ternyata ia tidak mendapat restu. Keyakinan ayah Ben adalah Ben tidak akan memperoleh apa pun pada jurusan yang dipilihnya itu. Hal itulah yang menjadi dasar utama tidak terpenuhinya keinginan Ben. Ayahnya menginginkan Ben memilih jurusan ilmu eksakta, tetapi Ben tetap pada keputusannya karena jurusan yang dipilihnya tidak ada di sekolahnya dan juga sudah langka di sekolah lain. Ben mengalihkan pilihannya pada jurusan sosial (A3), namun ayahnya pun tetap tidak menyetujui rencana Ben sehingga ia tidak lagi mempedulikan Ben. Sebagai siswa SMA, Ben memang mengagumkan karena ia mengenal Albert Camus, Hemingway, Steinbeck, Kawabata, Sionil Jose, dan karya-karya mereka. Ia memang berbeda dengan siswa SMA lain yang pada umumnya mempunyai pengetahuan yang sangat minim mengenai karya sastra, sastra, dan seni. Sewaktu Ben terpilih sebagai juara umum di sekolahnya, ayah Ben enggan untuk hadir menerima penghargaan atas keberhasilan putranya. Hal itu merupakan sesuatu yang aneh bagi teman-temannya. Pandangan aneh dari teman-temannya inilah yang menjadi motivasi bagi Ben yang tidak mau “diprogram” oleh ayahnya, seperti yang dialami oleh tiga orang kakaknya.
 Persoalan serius yang harus dihadapi Ben adalah ia sudah ditunangkan sejak kecil oleh ayahnya dengan keluarga teman sepermainan di masa kecilnya, yaitu keluarga Pak Ridwan, Ben dilanda kegelisahan dan kegalauan karena ia belum pernah berkenalan dengan tunangannya itu. Ben hendak menolak pertunangan itu. Sewaktu keluarga Pak Ridwan, calon mertua Ben, datang ke rumah, Ben mengikuti kemauan ayahnya. Ia menerima kunjungan perdana calon mertuanya itu. Ben sangat kagum dengan kelebihan yang dimiliki oleh Yulia yang semula dikira Ben sebagai calon tunangannya. Ha! itu terlihat dari ucapan Ben pada Martin sahabatnya bahwa Ben ingin menerima pertunangan itu. Namun, dugaan Ben keliru karena Yulia bukanlah calon tunangannya. Ben ditunangkan dengan adik Yulia, Yaya yang secara fisik mengalami

163

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


cacat di kakinya. Ketika mengetahui ihwal sebenarnya, Ben bisa menerima keadaan fisik calon tunangannya itu dan ia merasa amat tertarik dengan kepribadian yaang dimiliki oleh gadis tersebut. Sebaliknya, ayahnya kembali tidak menyetujui karena ia tidak mau Ben mendapat calon istri cacat.
 Itulah cerita yang disampaikan oleh Gus dalam novel ini. Gus tf Sakai yang sudah mulai menulis sejak ia berusia tiga belas tahun dan telah menulis sejumlah novel, novelet, dan cerpen yang bagus dengan gayanya yang khas. Walaupun dia menulis untuk kaum remaja dalam buku Seri Pengarang Remaja Gramedia, namun dia tidak terhanyut dengan gaya penulisan yang cengeng. Dalam karya ini sangat jelas terlihat pertentangan dua generasi dan pandangan antara orang tua dan anak selalu tidak sama, bahkan sering bertentangan. Hal itu jelas tergambar pada tokoh Ben dan ayahnya. Ben yang ingin memilih jurusan A4 ditentang oleh ayahnya karena menganggap Ben tidak akan mendapatkan ilmu di jurusan itu, sedangkan menurut Ben, “Di sana kita akan berkenalan dengan manusia dan seluk beluknya. Memahami kehidupan, kemasyarakatan, dan...” (hlm.19)
 Tokoh Ben sangat mengagumkan karena ia mampu berpikir logis. Untuk menyelesaikan pertikaian dengan ayahnya, Ben berusaha mengambil jalan tengah. Ia tetap memenuhi obsesi ayahnya untuk berbesan dengan Pak Ridwan dan Ben memilih Yaya sebagai pendamping hidupnya, bukan Yulia. Namun, hal itu ditentang oleh ayahnya. Pertentangan antara ayah dan anak ini memang belum usai karena cerita ini juga belum selesai, seperti yang diungkapkan oleh H.B. Jassin dalam catatan pengantar buku ini.
 “Dalam novel ini, Gus berusaha mengemukakan persoalan kehidupan dan mencoba untuk menyiasatinya. Gus tidak menjawab persoalan yang dihadapi Ben dengan memberikan solusi, lazimnya karya sastra lainnya yang berakhir dengan happy ending. Gus membiarkan Ben (tokoh utama) “berteriak” dalam diam ketika menghadapi dan menerima keputusan sang ayah. Hal itulah yang membuat pembaca tertipu dengan menyangka cerita akan berakhir bahagia, namun ternyata sebaliknya. Persoalan serius dan berwawasan yang disampaikan Gus dengan kata-kata ringan, enak, dan komuniktif, tanpa harus menggurui dapat terlihat dari novelet Ben dan “ditangkap” sebagai suatu makna yaang tersirat. Bagaimana orang tua tidak mau dan tidak mampu memahami pikiran, perasaan, kemauan, kehendak, minat, dan cita-cita


164

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


anak mereka. Akibat semua itu mungkin akan mematikan kreativitas sang anak, tetapi sebaliknya mungkin juga akan menghidupkannya. Namun, kemungkinan yang pertama akan lebih besar apabila dibandingkan dengan kemungkinan kedua. Keegoisan orang tua tanpa mau memahami sang anak menggunakan dalih untuk kebaikan dan masa depan sang anak. Padahal, sering kali hanya untuk memuaskan ego orang tua, Keadaan ini bukan tidak mungkim akan mengakibatkan sang anak akan “mati pucuk” atau mentalnya akan terkebiri.
 “Pertanyaan yang muncul adalah “Apakah masih ada orang tua yang memaksakan kehendaknya pada anaknya pada zaman sekarang meskipun sekarang bukan lagi zamannya Siti Nurbaya?” Jawabnya, “Mungkin pada zaman sekarang tidak ada yang tidak mungkin (sejauh dalam konteks manusia) sebab sejarah selalu berulang. Persoalan lain yang dapat dilihat adalah bahwa generasi muda berkemungkinan besar tidak lagi dijajah oleh kehendak orang tua, tetapi oleh kehendak zaman hedonisme sehingga generasi (remaja zaman sekarang) bergerak dalam sistem fatamorgana materialistik yang mengosongkan spiritualnya dari persoalan kemanusiaan.”
 Meskipun nama Gus lebih dikenal sebagai salah seorang mantan Pengarang Remaja Gramedia di era tahun 80-an, namun seiring berjalan dengan waktu, Gus mulai menancapkan kepiawaiannya dalam mengolah bahasa. Ia menuturkan kritik tentang kehidupan ke dalam bentuk cerita pendeknya. Ini terbukti dengan terbitnya tiga buah buku kumpulan cerita pendek. Dalam kurun waktu kurang dari satu dasawarsa, tiga buku kumpulan cerita pendek telah diterbitkan, yaitu Istana Ketirisan 1996), Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999), dan Laba-Laba (2003).
 Kumpulan cerita pendek yang dianalisis pada bagian berikut diambil dari buku kumpulan cerita pendek yang kedua, yaitu Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999). Cerpen yang terdapat di dalam kumpulan itu mampu mewakili genrenya dan merupakan sampel dari kumpulan cerita pendek Gus tf Sakai.

Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1999

Tebal  : 126 halaman

 Salah satu permasalahan yang sering dibicarakan dalam hubungan antara sastra dan perempuan adalah posisi perempuan dalam karya sastra. Pada umumnya, posisi perempuan dalam karya sastra hanya sebagai

165

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


objek. Perempuan adalah tokoh yang selalu dikalahkan dan terpinggirkan. Ia mengalami penderitaan secara fisik dan psikis serta terkungkung oleh adat dan kebiasaan yang sulit diubah. Sosok perempuan yang demikian dapat dijumpai dalam novel awal Indonesia, seperti Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya dan Layar Terkembang. Sosok perempuan yang demikian juga dapat kita temui dalam cerpen Gus yang tergabung dalam antologi Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (KCPB). KCPB memuat 14 cerita pendek yang semuanya telah dipublikasikan pada sejumlah media masa dan sebahagian besar dari cerpen dalam antologi itu menghadirkan perempuan sebagai tokoh utama. Kata perempuan bahkan dihadirkan sebagai bagian dari judul.
 Cerpen “Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta”, sebagai judul buku antologi itu, berkisah tentang seorang perempuan yang ditemui oleh seorang lelaki tua pencari rotan di pinggir hutan. Seorang perempuan muda, berkulit halus, dan berwajah terang bagai bercahaya, namun matanya buta. Ja sosok perempuan yang menarik, namun kebutaan perempuan tersebut tentu merupakan suatu kekurangan meskipun diimbangi dengan kemampuan yang lain yang cukup mengagumkan. Perempuan ini rnampu menebak umur orang yang ditemuinya hanya dari helaan napas sehingga dengan pasti ia dapat menyapa pencari rotan tersebut dengan sebutan "Pak Tua”. Ia juga mengetahui bahwa pencari rotan tersebut menyandang buntalan dan mengingatkan bahwa sesuatu akan tercecer atau jatuh dari buntalan tersebut dalam perjalanan Pak Tua itu. Perempuan buta ini juga menyapa seorang lelaki separo baya yang ditemuinya dengan sebutan “Abang Pemburu”.
 Tokoh perempuan juga ditemukan dalam cerpen “Santi” pada antologi KCPB. Cerpen itu bercerita tentang penderitaan sosok Santi, seorang perempuan yang scdang melamar pekerjaan. Santi adalah seorang gadis yang menjadi tulang punggung keluarga setelah kematian ibunya walaupun ayah kandungnya masih hidup. Bagi Santi, Ayah merupakan sosok yang menakutkan bagai hantu. Ayahnya mantan pekerja pabrik yang enggan mencari kerja lain. Ia seorang pemabuk yang tenggelam dalam komunitas malam di pelabuhan. Cerpen ini menampilkan sosok ibu sebagai perempuan yang didera penderitaan. Meskipun masih bersuami, ia adalah pencari nafkah tunggal dalam keluarga, Lebih jauh lagi, ibu harus menyediakan uang rokok untuk ayah. Salah satu faktor pernicu kematian ibu adalah tekanan batin yang selalu dialaminya saban hari. Setelah ibu meninggal, perlakuan yang

166

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


selama ini dialami oleh ibu kembali menimpa Santi. Ayah menguras semua uang peninggalan ibu yang dimilikinya. Ketiadaan uang mengakibatkan ia harus berhutang demi melanjutkan usaha dagang yang telah dirintis oleh ibunya. Tempat curahan hati Santi hanyalah buku hariannya. Pengalaman pahit yang mengakibatkan Santi tumbuh menjadi gadis yang pesimis, tidak ceria, dan selalu murung. Keadaan itu menyebabkan hilangnya rasa percaya diri Santi. Ini menjadi beban yang berat bagi Santi ketika ia mengikuti wawancara dalam penerimaan tes pegawai. Dengan kegamangan dan rendahnya rasa percaya diri, Santi mengurungkan niatnya mengikuti wawancara tersebut. Harapannya untuk memperoleh pekerjaan sima sudah. Pupusnya harapan tersebut merupakan penderitaan lain yang harus ditanggung oleh Santi.
 “Susi yang Sunyi” merupakan cerpen yang mengisahkan seorang anak yang merasa kesepian karena orang tuanya sering tidak berada di rumah. Keadaan ini membuatnya selalu mengurung din di rumah. Satu-satunya sahabat Susi adalah topi yang tersangkut pada salah satu dinding kamarnya. Jika dalam cerpen Santi tokoh utama cerita selalu berbagi cerita dengan buku hariannya, tokoh Susi dalam cerpen ini menempatkan topi jerami sebagai teman berdialog. Ketergantungan Susi terhadap topi jerami jelas tergambar ketika suatu hari topi jerami tidak berada lagi di tempatnya. Susi berusaha mencarinya. Bahkan, ia, yang selama ini hanya berkurung diri di dalam kamar sangat membenci keramian dan jalan raya, akhirnya menempuh jalan raya tersebut dengan harapan dapat bertemu kembali dengan si topi jerami. Pada akhir cerita Susi digambarkan sebagai orang tua gila yang dipanggil dengan sebutan “Nek Gila” oleh anak-anak. Penderitaan ini ditanggung oleh Susi sampai akhir hayatnya.
 Adakalanya tangis dapat menjadi ungkapan kebahagiaan, namun pada umumnya tangis merupakan simbol kesedihan dan penderitaan. Hal itu tergambar dari “lirih tangis” dalam cerpen “Lukisan Tua, Kota Lama” dan “Lirih Tangis Setiap Senja” yang menghadirkan perempuan sebagai tokoh utamanya, seorang perempuan yang keluar dari sebuah lukisan.
 “Perempuan dalam bingkai, bingkainya bergerak, mulanya mengerjap-ngerjapkan mata, lalu menghirup udara. Begitu pelan. Begitu lama. Dan akhirnya: ia sibakkan gaun, diangkatnya lutut, melangkah turun dari lukisan.”
 Cerpen ini bercerita tentang perempuan yang menjadi korban

167

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


perkosaan. Ia berusaha untuk lari dan melawan, namun apalah daya seorang perempuan yang ingin melepaskan diri dari empat orang laki-laki yang mempermainkannya dan memperkosanya secara bergiliran. Usahanya untuk mencoba meloloskan diri menjadi suatu permainan yang mengasyikkan bagi keempat laki-laki tersebut. Penderitaan perempuan tersebut begitu nyata disuguhkan Gus dalam cerpennya ini.
 “Perempuan, tangannya ke belakang, terikat. Mulutnya diplester, melenguh-lenguh menendang-nendang”. “Tak lagi punya ia tenaga. Saat terkaman berikut menyergapnya, lututnya goyah untuk kembali tegak. “Tak lagi ia punya harapan. Bahkan saat plester itu direnggutkan dari mulutnya, suaranya telah jatuh ke kerongkongan. Antara sadar dan tidak, ia diseret ke gedung tua. Berkali-kali ia pingsan, tapi ketika ia sadar, ia masih juga ditindih, digigit-gigit, dilipat-lipat”.
 Cerpen kelima dalam antologi ini adalah “Permintaan Sasa” yang juga menghadirkan sosok perempuan sebagai tokoh utama cerita. Cerpen ini menghadirkan tiga perempuan dari tiga generasi. Laki-laki hanya diwakili oleh satu orang tokoh bemama Dio, seorang anak yang duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Kehadiran tokoh Ayah (Sasa) juga disebut, namun tidak dihadirkan dengan lengkap. Hanya berupa gambaran scorang lelaki yang sukses dalam pengembangan bioteknologi, sehingga ia terlalu sibuk. Setiap hari ia selalu menghadiri seminar baik dalam negeri maupun Juar negri.
 Cerpen ini mengungkapkan tentang pertentangan antargenerasi. Pertama, generasi tua yang masih percaya pada mistik dan takhayul (Nenek Sasa). Kedua, generasi yang lebih modern, tinggal di kota sehingga sudah mengabaikan masalah yang bersifat mistik tersebut (Ibu Sasa). Disebabkan kesibukkan dirinya, Leha (Ibu Sasa) mendatangkan ibunya (Nenek Sasa) untuk mengawasi anak-anaknya. Di luar dugaan. sang nenek “membuai” cucunya dengan takhayul dan mistik yang masih dipercayainya. Salah satunya adalah kicauan burung murai di siang hari sebagai pertanda ada orang dekat yang akan meninggal dunia.
 Cerita sang nenek menimbulkan keinginan Sasa untuk dapat menyaksikan dan mendengarkan kicauan burung murai tersebut sekaligus mendengarkan berita kematian dari orang yang dekat dengan mereka, Suatu keinginan dari seorang anak itu masih dianggap wajar. Untuk memenuhi permintaan Sasa tersebut, mereka harus kembali ke kampung. Jakarta yang menjadi latar cerpen ini sudah dipenuhi dengan bangunan sehingga tidak ditemukan lagu nyanyian murai yang berkicau

168

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


di siang hari. Ibu Sasa memenuhi permintaan buah hatinya setelah ia mendapatkan cuti dari kantor. Setelah beberapa hari di kampung, Sasa memang mendengarkan kicauan murai di siang hari, namun cerita tentang ada orang mati tidak kunjung didengarnya. Sasa tidak menemukan kebenaran dari cerita sang nenek. Dengan kekecewaan yang memuncak, Sasa mengajak ibunya untuk kembali ke Jakarta.
 Cerpen “Semua Tamu (Tidak) Harus Pergi” menampilkan tokoh perempuan bernama Rahmi yang memutuskan untuk memetik kebahagiaan dari rumahnya saja sebagai seorang ibu dan seorang istri. Ia menghabiskan waktunya untuk mengabdikan diri sebagai ibu dan istri yang baik. Sesuai dengan keinginannya, Rahmi memang memetik kebahagiaan tersebut, namun tidak belangsung lama. Hal itu disebabkan hadirnya tokoh Maskur dalam kehidupan rumah tangga mereka. Maskur adalah sahabat lama suaminya yang juga kenalan Rahmi ketika ia masih di desa dulunya. Ia seorang tamu yang membuat keadaan rumahnya menjadi berantakan dan memberikan pekerjaan ekstra bagi Rahmi.
 Sosok perempuan yang mengalami penderitaan kembali dihadirkan lewat tokoh yang bernama Lasiem dalam cerpen yang berjudul sama dengan tokoh utamanya. Lasiem adalah perempuan yang berasal dari keluarga transmigran yang bermukim di daerah perkebunan dan memilih bekerja di kota sebagai seorang pembantu. Pekerjaan itu banyak digemari oleh penduduk desa itu karena kehidupan seorang pembantu cukup menggembirakan. Keadaan menjadi berbeda ketika emak Lasiem meninggal. Lasiem harus kembali ke desa dan meninggalkan pekerjaannya di kota. Sesungguhnya, itu merupakan pilihan yang sulit bagi dirinya karena ia lebih menikmati kehidupan di kota daripada kehidupan di desa. Keadaanlah yang memaksanya untuk memilih tinggal di perkebunan. Rumah yang ditempati oleh keluarganya adalah milik perusahaan. Sebuah peraturan ditetapkan oleh perusahaan perkebunan, yaitu untuk terus menetap di rumah itu harus ada salah satu dari anggota keluarga yang bekerja di perkebunan. Lasiem pun harus kembali ke perkebunan karena setelah emaknya meninggal tidak seorang pun dari keluarganya yang bekerja di perkebunan. Sebuah pilihan yang rumit bagi dirinya, namun di sisi lain ia harus mempertahankan rumah tersebut sebagai tempat berteduh bagi neneknya yang sudah uzur.
 Ketokohan perempuan disuguhkan oleh Gus dalam cerpen “Boneka”. Meskipun tokoh cerpen ini boneka, tetap saja boneka dengan jenis kelamin perempuan. Bahkan, ia juga dilahirkan dari sebuah boneka

169

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


pula. Tokoh ayah merupakan sosok yang asing karena selalu sibuk dengan pekerjaan dan meninggalkan rumah untuk kurun waktu yang cukup lama.
 “Minggu, bulan, dan tahun berlalu dalam beku. Pada hari-hari tertentu, sekali atau dua kali dalam sebulan, ayahnya muncul, dengan keakraban yang asing. Maka hari-hari ini akan menjelma jadi hari yang asing. Jadwal-jadwal, privat-privat, semua dicek oleh ayahnya tak ubahnya seperti seorang akuntan”, sedangkan Ibu adalah sosok yang sangat akrab dengan anaknya. “Ia pun tumbuh subur dan besar, semuat cahaya bersama ibunya. Mereka saling berhubungan, berkomunikasi, seperti halnya juga dua boneka”.
 Keterbatasan yang dimiliki perempuan dapat diikuti dalam cerpen terakhir yang dimuat dalam antologi KCPB ini dengan judul “Pahlawan”. Cerpen ini mengisahkan perampokan yang terjadi di dalam bus antarkota di Lintas Sumatra. Merampok bus merupakan sebuah sumber mata pencaharian dan penghidupan bagi penduduk di sekitar daerah yang dilewati bus antarkota di kawasan lintas itu. Namun, akhir-akhir ini usaha tersebut nyaris gagal karena para sopir bus tidak mau lagi menghentikan laju kendaraannya meskipun mereka telah melempari kaca jendela bus dengan batu. Upaya untuk menghentikan perjalanan bus tersebut melahirkan ide untuk memanfaatkan perempuan, dengan berpura-pura sebagai calon penumpang. Namun, ide ini urung dilaksanakan karena pekerjaan tersebut dianggap menjadi wilayah kerja laki-laki. "Banyak juga yang setuju, tapi ibu muda itu tidak. Bukan karena ia tak berani, tapi karena adat mereka tidak melazimkan urusan yang menjadi milik lelaki dicampurtangani oleh perempuan”.
 Superioritas Jaki-laki dalam cerpen ini dimunculkan dengan adanya peraturan pembagian kerja menurut jenis kelamin. Ada sejumlah pekerjaan yang hanya layak dikerjakan oleh laki-laki. Apabila pekerjaan tersebut telah dilakukan oleh perempuan, maka kaum laki-laki harus mencari kembali mencari pekerjaan lain. Pekerjaan lain tersebut dinamakan dengan pekerjaan laki-laki.
 Membaca cerpen Gus tf Sakai yang terdapat dalam antologi KCPB seperti menyaksikan sejumlah penderitaan perempuan apabila ditinjau dari sudut penokohan yang sebagian besar menampilkan tokoh utamanya seorang perempuan. Meskipun perempuan tampil sebagai tokoh utama dalam antologi ini, namun mereka bukanlah perempuan yang bahagia. Mereka adalah perempuan yang didera oleh penderitaan. Penderitaan

170

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


yang beraneka ragam baik itu berupa fisik seperti tercermin dalam cerpen “Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta” maupun penderitaan psikis, seperti kegilaan yang dialami oleh Susi dalam cerpen “Susi yang Sunyi”. Trauma yang mengakibatkan kegagalan dalam melanjutkan perjuangan hidup dialami oleh Santi. Penderitaan disebabkan tidak terkabulnya keinginan Sasa dalam cepen “Permintaan Sasa”. Penderitaan disebabkan oleh keadaan atau peraturan yang dibuat oleh laki-laki baik secara tertulis maupun secara lisan yang telah diwarisi secara turun temurun dalam cerpen “Lasiem” dan “Pahlawan”. Penderitaan seorang perempuan yang disebabkan oleh tingkah laku dan perlakuan laki-laki dalam cerpen “Lukisan Tua”, “Kota Lama”, “Lirih Tangis Setiap Senja”, dan “Semua Tamu (Tidak) Harus Pergi”.
 Buku kumpulan KCPB sangatlah jelas melihatkan kemahiran Gus dalam menggambarkan sebuah dunia yang hanya bisa ditempuh oleh satu atau dua orang pengarang. Gus dengan baik berhasil melintasi wilayah sosial, budaya, dan geografisnya. Empat belas cerpen dalam buku ini sebagian menyajikan problem masyarakat perkotaan, individu dari sebuah keluarga yang sibuk tanpa adanya komunikasi satu dan yang lainya. Terdapat ketidakmampuan untuk saling memahami dan selalu dicekam oleh kesunyian, Masyarakat modem, dalam antologi, ini adalah kumpulan manusia terasing dalam keramaian. Telepon yang menghubungkan Bang Tagor dengan rekan bisnisnya justru memutuskan komunikasi antara dia dan Delia, istrinya. Delia tidak memahami mengapa laki-laki bersikap serba praktis dan tidak melihat pentingnya kehadiran pembantu bagi ibu rumah tangga seperti Delia.
 Cerpen “Susi yang Sunyi” (him. 12—16) menggambarkan kesunyian yang mematikan perkembangan psikologi Susi. Sejak kakek dan neneknya meninggal, dunia Susi adalah kesunyian yang menghimpitnya sepanjang hayat. Untunglah ada topi jerami, teman yang rajin mengangguk dan menjawab tanyanya. Rambutnya telah putih ketika Susi menyusuri kota mencari topi jeraminya yang hilang. Hingga seusia itu, Susi masih juga kanak-kanak yang merindukan kasih sayang.
 Antologi cerpen ini dibagi dalam empat subbab: Gadisku, Rumah Masa Lalu, Sendiri, dan Apatah Bisu. Dilihat dari segi tanggal penulisannya, cerpen dalam sub-kedua ditulis paling awal dan menyajikan persoalan psikologis individual. Tiga cerpen pada bagian ini bercerita tentang kesunyian yang berawal dari konflik keluarga: konflik batin seorang ibu yang bingung memahami anak-anaknya,

173

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat


tentang istri yang kesepian karena suami memilih persahabatan, serta ibu rumah tangga yang kebingungan dan merasa bersalah terhadap pembantu rumah tangganya.
 Pada subbab keempat, pengarang melangkah ke problem psikologis dalam lingkungan sosial, bahkan dialog antaretnik. Cerpen “Pahlawan” dalam bagian ke empat ini memberikan isyarat perjalanan kreatif pengarang menuju antaretnik. Gus menyajikan suatu persoalan, menghindari pelabelan, evaluasi, apalagi penghujatan. Dengan cara seperti itu, Gus berhasil menampilkan cerita yang menumbuhkan simpati tanpa adanya unsur pemihakan.
Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta merupakan hasil pengalaman dan kemampuan pengarang dalam menjelajah dunia tulis-menulis (proses kreatif). Kepekaan visual Gus terwujud dalam bentuk deskripsi yang disajikan dengan sedetil-detilnya tentang gerak, rona, bahkan ruang batin tokah-tokohnya. Pengalamannya sebagai pengarang remaja Gramedia muncul dalam teknik penyusunan alur yang tertata dengan baik, mengalir dengan lancar, dan menggugah rasa ingin tahu pembaca meskipun persoalan yang disajikan sangat kompleks. Dengan menggunakan bahasa yang padat, imajinasi yang liar ditampilkan melalui monolog batin yang kaya akan inspirasi. Berbekal itu, Gus mengantarkan kisah cerpennya dalam bahasa puitik yang berasal dari relung batin tokoh-tokoh sunyi dan terasing. Itu semua menggugah kita untuk melakukan sebuah perenungan.

Tanggapan Kritikus terhadap Karya Gus tf Sakai

 Gus tf Sakai menerima penghargaan sastra SEA Write Award pada tanggal 7 Oktober 2004 dari Putra Mahkota Thailand. Gus yang menjelajahi puisi, cerita pendek, dan novel ini dapat dikategorikan sebagai sastrawan kontemporer yang menggali inspirasinya dari khazanah lokal.
 Tentu saja bukan karena menggali ilham setempat yang menjadikannya hadir sebagai sastrawan besar. Nilai terbesar yang ada dalam karya-karya Gus adalah eksplorasinya terhadap bahasa bercerita. Ketika para pengarang lain menggunakan bahasa hanya sebagai alat pengungkap atau pembawa ide, Gus mengolah bahasa secara kreatif sehingga bahasa tidak sekadar dipakai sebagai pengungkap atau pembawa ide cerita.
 Berikut ini pernyataan esais Goenawan Mohamad tentang

172

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

kemampuan verbal Gus tf, khususnya untuk karya cerpennya yang berjudul “Laba-Laba”. "Laba-Laba Gus tf Sakai mencuatkan kemampuan verbalnya dengan arah yang berbeda dengan pengarang lain, yaitu tidak hanya mendeskripsikan tapi juga membangkitkan sebuah suasana dengan intensitas yang tinggi. “Laba-Laba” lebih merupakan perjalanan ke lanskap interior (disugestikan dengan ruang tahanan), ke dunia trauma dan khayal, mungkin halusinasi,” tulis Goenawan.
 Lebih jauh, penyair “Hiroshima, Cintaku” itu menguraikan bahwa Gus tidak perlu menguraikan “realitas” di luar sel dalam cerpennya. Dengan demikian, cerita Gus tidak menjadi statis karena ia digerakkan oleh dialog yang mungkin imajiner dan disebabkan oleh ekspresi perasaan yang berubah-ubah. Tentu saja Gus masih memiliki kelemahan dalam menulis cerita “Laba-Laba” ini. Sebab, seperti yang dituturkan dalam harian umum Haluan tanggal 10 Agustus 2004 bahwa “Laba-Laba” menjadi lemah karena adanya komentar-komentar yang di dalamnya memuat ide-ide yang naif. Semestinya, menurut Goenawan, Gus harus tetap bertahan di antara alegori dan pengalaman sureal atau lazimmnya disebut sedikit lebih abstrak yang posisinya berada di atas realisme. Sebagai contoh cerpen Gus yang berjudul “Pot Na Enga Tako” yang berkisah tentang perdagangan gelap mumi dari mayat-mayat kuno di Tana Toraja adalah prototipe dongeng Gus yang meleburkan unsur realisme dan surealisme.
 Kalimat penutup cerita “Laba-Laba” dianggapnya bombastis atau begitu meledak-ledak. Kalimat penutup cerita itu berbunyi, “aku harus melawan. Aku Manusia. Manusia! Dan aku percaya, Tuhan tak melahirkan manusia ke dunia — kalau hanya untuk sia-sia.”
Laba-Laba bukanlah satu-satunya karya Gus sebab ia telah banyak melahirkan karya dari tangan kreatifnya. Karyanya yang lain, seperti Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta jauh lebih bermutu apabila dibandingkan dengan Laba-Laba. Oleh karena itu, karya Gus tersebut diterjemahkan ke bahasa Inggris dan memperoleh dua penghargaan sastra dari Yayasan Lontar pada tahun 2001 dan dari Pusat Bahasa pada tahun 2002.
 Korrie Layun Rampan dalam harian Pelita, Minggu tangggal 11 Desember 1994 mengomentari puisi Gus tf. “Sajak-sajak Gus tf memperlihatkan peran dan fungsi kata yang digunakan secara efisien. Meskipun belum menerbitkan kumpulan sajak sendiri, sejumlah sajaknya diikutkan dalam berbagai antologi yang pada akhirnya media ini turut

173

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

mencarikan warna dan pola kepenyairan Gus.”
 Sejumlah sajaknya yang dibicarakan oleh Korrie ini diambil dari berkas “Delapan Penyair Baca Puisi”, yaitu puisi-puisi yang dibacakan delapan penyair di Taman Ismail Marzuki Jakarta pada tanggal 27—28 Oktober 1994. Puisi yang dibacakan merupakan puisi pilihan yang secara utuh memperlihatkan konsep dan penemuan penyair ini pada bahasa puisi yang dipilihnya.
 Hal utama yang muncul dalam sajak-sajak Gus tf adalah upaya untuk menjelaskan suatu makna yang dijadikan pokok pikiran di dalam sajaknya. Sapardi Djoko Damono menjelaskan secara tepat hubungan penciptaan dengan kata-kata dan makna sajak “Komunikasi Dua Arah” seperti yang dituturkannya bahwa “Dalam sajak itu citraan, metafora, dan paradoks bersusun-susun menawarkan makna sekaligus menampilkan makna sebab makna sajak itu tak lain adalah cara pengungkapannya.”
 Untuk sajaknya “Komunikasi Dua Arah” itu, Sapardi Djoko Damono memberikan ulasan berupa catatan yang berguna untuk menyusun gambaran umum mengenai perkembangan puisi yaang ada di tanah air. Ulasan itu dimuat pada harian umum Semangat (saat ini tidak terbit lagi), Rabu, 30 November 1994. Menurut pengarang buku Sosiologi Sastra itu, Gus tf tidak suka menggunakan banyak kata. Itu sebabnya Gus gemar memotong-motong kalimat dengan menggunakan tanda baca koma atau titik. Dengan demikian, bagian kalimatnya seperti meloncat-loncat, dengan pola pemikiran yang tercerai-berai. Namun, ia memaksa kita sebagai pembaca untuk berusaha memusatkan pecahan pikirannya itu ke dalam suatu bentuk konsep yang telah ia buat dengan jelas. Konsep yang jelas tersebut ditampilkannya dalam bentuk majas yang memang sangat sulit untuk dipahami dan diciptakan oleh orang lain. Penciptaan dan pemahaman konsep diuraikan Gus dalam sajaknya berupa ironi dan paradoks. Konsep yang ada tersebut mungkin sekali bersumber pada satu hakikat saja, yaitu kata. Kata bagi Gus tf merupakan alat komunikasi, namun ternyata bukan sesuatu hal yang gampang untuk dipahami. Dalam puisinya “Komunikasi Dua Arah”, kata tersebut bagi Gus adalah manusia atau kemanusiaan itu sendiri, sekaligus merupakan benda ciptaan manusia.

174

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

KOMUNIKASI DUA ARAH

 
 Kita menggapai-gapai kata, seperti pancingan yang menggena
 lantas kita bercakap-cakap tentang lidah
 tak bertulang. “bibirmu amat pucat, saudaraaku.”
 dari dua arah, waktu bercakap dengan usia musim bercakap
 dengan cuaca, kitalah kanak-kanak dari percakapan
 yang tak kunjung habis. “kata bukan milikmu, saudaraku.”

 di luar jalanan penuh, pinokio berpawai menyambut kata
 di Juar suara penuh, cinderella membangun kisah dari kata
 selarut ini, kita seperti bocah mengumpulkan abjad

 dari mesjid ke gereja mencari tuhan dari sisa kata
 surau tanpa a bunyi tanpa I

 mulut siapa yang bergantung di pojok kamboja
 masih bercakap-cakap dengan talinya?

 Sajak ini menurut Sapardi Djoko Damono adalah metaforis. “Ia adalah rangkaian metafora yang mendesak dan berusaha saling meniadakan dan sekaligus saling mendukung sehingga tersusun makna keseluruhan yang pada hakikatnya merupakan kumpulan metafor yang paradoksal. Paradoks yang diciptakan oleh Gus tf terasa sangat tajam sebab metafora yang disusunnya merupakan citraan yang bermakna. Dalam sajak “Komunikasi Dua Arah” itu citraan, metafora dan paradoks bersusun saling kait-mengait menawarkan sebuah makna sekaligus menampik sebuah makna. Hal itu disebabkan makna sajak itu tak lain adalah cara pengungkapannya, keduanya itui tak bisa untuk dipisahkan.
 Dalam menulis puisi, Gus tf membebaskan imajinasinya secara total dan menyeluruh. Tanpa adanya penguasaan bahasa yang baik, bisa dipastikan, puisinya cenderung longgar dan tanpa pumpunan. Akan tetapi, penyair ini tampaknya sangat yakin bahwa ia bisa mengendalikan imajinasinya yang bebas itu tanpa adanya halangan ataupun hambatan sebab ia memang memiliki kemampuan berbahasa yang sangat baik.
 Pada novel Tambo Sebuah Pertemuan dengan 170 halaman terdapat tangggapan dan kritik dari seorang kritikus sastra senior, yaitu Umar

175

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Junus. Ahli teori sastra yang lahir di Silungkang, Sumatera Barat yang memutuskan menetap di Malaysia tersebut memberi kata pengantar dalam novel itu dengan judul “Membawa Diri ke Dunia Lampau: Mengantar Tambo Gus tf Sakai”. Pengarang buku Dongeng Tentang Cerita, Mitos dan Komunikasi, dan Resepsi Sastra itu menyatakan bahwa “dunia lampau adalah dunia masa lalu yang hanya mungkin diziarahi melalui ingatan yang kita gali dari ingatan. Untuk masa sebelum kita lahir, apalagi jauh sebelumnya, atau dari tempat lain, kita meminjam ingatan orang. Kita membentuk ingatan berdasarkan berita yang diceritakan, cerita yang diberitakan, kata kabar yang diminangkan menjadi kaba”.
 Rido sebagai “aku Sutan” dalam novel Tambo mencari tukang kaba untuk mengkabakan Kaba Bundo Kanduang sehingga ingatan aku Sutan melayang kepada ibu kandungnya. Hal itu membawanya kepada Bundo Kanduang, ibunya pun menjelma menjadi Bundo Kanduang, sedangkan aku Sutan jadi “Sutan Balun”, tokoh dunia lampau. Ia gerakkan dunia lampau bersama tokoh dunia lampau lainnya. Umar Junus memberikan sedikit penekanan pada novel ini bahwa sepanjang pengetahuan dan ingatannya, ia menyatakan sebagai berikut. “Tidak pernah ada Kaba Bundo Kanduang. Bundo Kanduang biasanya hanya dihadirkan pada Kaba Cindua Mato, tidak dalam tambo. Dengan menghadirkan Kaba Bundo Kanduang dengan cerita sejarah (tambo: tentang Iskandar Zulkarnain, Sutan Balun, dan Majapahit), Gus Sakai “sengaja” mencampurkan beberapa “sumber sejarah”. Pertama, Tambo yang mengasalkan Raja-raja Pagaruyung kepada Iskandar dan cerita tentang Sutan Balun serta cerita mengenai adu kerbau antara kerajaan Minang dan Majapahit. Kedua, peninggalan sejarah, yaitu berupa arca Adityawarman. Ketiga, Kaba Cindua Mato, meskipun Gus hanya menghadirkan Bundo Kanduang. Gus baru menyebut Kaba Cindua Mato pada bab “Alangkah Banyaknya Diriku”, di mana pada waktu yang bersamaan ia menolak apa yang ia katakan sebelumnya, sehingga masa lampau pada Tambo jadi “kacau”.
 “Ini dimungkinkan dan disebabkan oleh cara kita mengingat masa dan dunia lampau karena ingatan tentang dunia lampau tidak pernah objektif. Bercerita/cerita tentangnya tak pernah bebas dari campur tangan penerjemah oleh pencerita/pemberita. Seorang pencerita/pemberita baru bisa memindahkan suatu peristiwa kepada berita/cerita setelah menerjemahkannya (ke dalam wacana yang menerjemahkan peristiwa

176

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

nonverbal ke verbal). Meskipun orang berusaha menerjemahkannya secara obyektif, namun hal itu tidak pernah tercapai. Penerjemah hanya melihat titik tertentu peristiwa yang dilaporkan. Hakikat ini juga diakui Gus. Kaba-kaba bagi Gus hanya bercerita tentang dunia lampau dan tak menyebut ada kaba yang bercerita tentang peristiwa kini, “mencampurkan” sejarah (dunia nyata) dengan dongeng (dunia khayal).
 “Tokoh dunia kini, ibu si aku Sutan, menjelma menjadi Bundo Kanduang dan ia sendiri jadi Sutan Balun, tokoh dunia tambo. Tambo sebagai cerita “sejarah” dikacaukan dan dikesankan sebagai sejarah. Dalam Tambo berdasarkan konsep kini, kita bisa mendapati “aku Sutan” menghidupkan diri pada dunia lampau dengan mencantumkan tahun yang berasal dari dunia kini. Namun, bila dibandingkan dengan Tambo sabagai sejarah, pencantuman tanggal dan tahun ini hanya bisa kita temui ketika pemuka adat berbicara. Oleh karena itu, sangatlah wajar apabila cerita/berita kaba atau tambo tak pernah bebas dari persepsi kini. Ia bisa kita interprestasikan sesuai dengan dunia kini kita.
 “Dunia lampau biasa kita pertentangkan dengan dunia kini. Dalam hal ini, dunia lampau terlihat sebagai suatu kesatuan. Oleh sebab itu, tidak heran, jika dalam khayalnya, Rido, “aku Sutan” mengacaukan masa sejarah Iskandar dan Majapahit, sehingga kita pun ikut terbebani dengan “kekacauan”: apakah raja-raja Pagaruyung keturunan kerajaan Iskandar atau Majapahit, pesta adu kerbau tidak antara kerajaan Minang dan Majapahit, tetapi antara kerajaan Minang dan Pasai. Ini terjadi karena “aku Sutan” menyusuri jalur raja-raja Pagaruyung kepada Iskandar dan Majapahit dan oleh karena itu, tidak wajar apabila ada adu kerbau antara kerajaan Minangkabau dan Majapahit. Kita pun tidak perlu kaget jika ada “fakta sejarah” yang lain dari yang kita kenal dan ketahui sebelumnya. Kita pun tidak mungkin menyalahkan fakta sejarah Gus karena fakta yang kita punyai hanya kita peroleh dari tambo, yang kesejarahannya biasa dipertanyakan.
 “Bila tambo biasa dipahami sebagai dunia lampau, dan kita sepenuhnya hidup dalam dunia lampau, tak demikian halnya dengan Tambo Gus. Kita mondar-mandir antara dunia kini dan dunia lampau. Kita hidup dalam dialog antara dunia kini dan lampau. Kita pun tidak perlu heran apabila dunia lampau dalam novel ini diidealisir sehingga ada kesan Gus ingin membawa kita menghidupi/menghidupkan kembali dunia lampau dan ini ditolaknya apabila ia menyadarkan kita untuk membedakaan dunia harapan dan kenyataan. Sesuatu yang indah hanya

177

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

ada dalam dunia khayal, bukan dalam realitas. Ini diterangkan Gus pada “Serpihan 7” dan Lini yang “saya” adalah seorang perempuan, berbeda jenis kelamin dari “aku Sutan” yang laki-laki. Lini juga lain dari Elin yang “saya” pada “Serpihan 3”, Melalui pengalaman buruk kini “saya Lini” seolah-olah diciptakan akibat adanya kelemahan sistem yang sebelumnya diidealisir oleh “aku Sutan”. Hal itu dilakukan oleh Gus dengan menolak apa yang selama ini dianggap konvensional novel, menandai genre novel sehingga ada yang mempertanyakan kenovelan Tambo.
 “Ketakpuasan terhadap dunia kini menyebabkan “aku” mengembara ke dunia lampau dan mengidealisirnya. Ia lari ke dunia lampau karena kekaburan sejarah lampau yang tak punya tahun. Oleh karena itu dicantumkannya tahun kepada peristiwa sejarah yang diceritakannya. Tapi ini tidak menyelesaikan karena bagaimanapun bagusnya dunia lampau, ia tetap tidak akan bisa merubah dunia kini. Dengan demikian, Gus membawa kita menghidupi realitas kini, bertindak sesuai dengan realitas kini, bukan menghidupi dan hidup dalam “keindahan dunia lampau yang diimpikan”.
 “Untuk melaksanakan permainan realitas dan impian dalam novel ini, Gus bercerita dengan “aku” dan “saya” yang tak mengharuskannya menamakan pelakunya. Hanya ketelitian kita membaca yang memungkinkan kita tahu “aku” adalah Rido, dan “saya” adalah Lini atau Elin. Hal itu dimungkinkan karena bahasa kita memang mengenal kedua kata ganti itu dan Gus telah berhasil meng-eksploitasi-kan kemungkinan yang disediakan oleh bahasa kita.
 “Ada lagi “konvensi” novel yang dilanggar oleh Gus adalah novel yang biasa dikaitkan dengan cerita, bercerita tentang sesuatu. Ada bagian Tambo yang lebih terasa sebagai esai ... atau laporan sejarah yang bisa dikategorikan sebagai berita ketimbang cerita. Dan ini dimungkinkan oleh hakikat tidak adanya perbedaan antara berita dan cerita. Apalah bedanya antara bercerita dan berberita yang disarankan juga oleh kata kaba dalam budaya Minang. Ia bisa dianggap sama dengan kabar yang tak berhubungan dengan satu genre sastra. Tapi ia juga bisa dianggap suatu istilah yang merujuk suatu genre sastra. Dan Gus dalam Tambo Sebuah Pertemuan bisa dikatakan berkaba dan berkabar.
 “Usaha Gus sesuai dengan hakikat perkembangan novel, yang lebih berupa suatu novelty, sesuatu yang baru dan selalu memperbarui diri. Hanya dalam perkembangan kajian sastra orang mencoba merumuskan

178

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

hukumnya karena orang lebih bicara tentang genre sastra, bukan tentang kekuatan yang menggerakkan novel dan kehidupan sastra.
 Dalam pengantar buku novel Tambo Sebuah Pertemuan, ia menyatakan kesediaannya menerima catatan kaki yang dicantumkan Gus dalam novelnya karena Umar Junus berpendapat dengan adanya catatan kaki itu tak menghalanginya untuk menilai kualitas novel yang dilahirkan oleh sastrawan muda ini.
 Umar Junus memaparkan bahwa catatan kaki Tambo digunakan Gus untuk menerangkan sesuatu atau untuk memperjelas pada khalayak pembaca. “Catatan kaki lebih berfungsi untuk memperjelas dan ini bisa disinonimkan dengan hakikat diri Gus. Ini bisa kita temui ketika Gus mengutarakan pandangannya tentang sejarah Minangkabau dalam Tambo Sebuah Pertemuan (pada bagian awal novel ini). Gus berusaha untuk menjelaskan bagaimana sistem adat Minang terbentuk dan ini dilakukannya sebagai usaha menentang kritik orang. Baru pada akhir novel ini ia menyangsikan/meragukan hakikat ini. Ia tolak hakikat penceritaannya sebagai sejarah. Ia hanya bicara tentang tambo sesuai dengan sajak Rusli Marzuki Saria “Beri Aku Tambo Jangan Sejarah”. Ini membawa kita berpikir setelah kita menuntaskan membaca buku novel Gus, Tambo Sebuah Pertemuan."
 Gus tf Sakai adalah salah satu dari pengarang yang mau dan mampu melintasi wilayah sosial, budaya, dan etnik dari negerinya yang jauh. Ia telah menghasilkan karyanya dengan menguraikan berbagai macam tradisi ctnik yang ada di dalam masyarakat Indonesia sehingga pada karya sastranya kita dapat menjumpai dialog antaretnik. Hal itu menjadi sesuatu yang amat jarang/langka kita temui. Opini ini diungkapkan oleh Ivan Adila, salah seorang kritikus sastra Sumatra Barat. Melalui beberapa cerpen yang terdapat dalam bukunya Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, Gus mampu melintasi wilayah gender karena karyanya ini di dominasi oleh kisah dan problem perempuan, sebuah wilayah yang sering kali sulit diselami oleh penulis laki-laki. Masyarakat dalam buku kumpulan cerpen ini adalah kumpulan manusia terasing yang kelelahan dalam tumpukan tugas sehingga tak memiliki kesempatan berdialog dengan teman seatap: anak, isteri, orang tua, apalagi orang sekitarnya.
 Antologi cerpen Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta adalah contoh terbaik bagaimana Gus tf Sakai behasil menggubah imajinasi liar secara memikat, dengan teknik penceritaan menarik dan bahasa yang

179

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

intens sehingga Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta menjadi antologi yang “ajaib”. Karya ini mengantarkan penulisnya meraih Penghargaan Sastra Lontar, Penghargaan Buku Terbaik dari Pusat Bahasa, dan kini membawa Gus tf Sakai meraih penghargaan SEA Write Award, sebuah penghargaan sastra bergengsi untuk Asia Tenggara.
 Pengajar Fakultas Sastra Universitas Andalas itu berpendapat bahwa Gus adalah “Seniman Petualang”. Petualang ini berkaitan dengan tiga hal. Pertama, berkaitan dengan proses kreatif. Proses perjalanan merupakan ruang yang subur bagi proses kreatifnya sehingga banyak sajaknya yang lahir saat ia berada dalam perjalanan. Kedua, karirnya di dunia kesenian. Gus memasuki dunia kesenian melalui seni rupa, kemudian sajak, novelet, cerita pendek, dan novel. Pada setiap halte perjalanannya, Gus menorehkan jejaknya. Torehan itu berbentuk prestasi yang diraihnya melalui berbagai sayembara penulisan dalam berbagai genre sastra maupun melalui penerbitan karyanya. Ketiga, petualangannya tersebut mendapat tempat khusus dalam karya-karyanya, khususnya untuk sajak. Petualangan Gus dalam sajak-sajaknya muncul melalui bentuk narasi, simbolik, dan tema.
 Etnik Minangkabau dikenal sebagai bangsa yang suka merantau, bahkan dorongan untuk merantau itu disediakan dalam sistem sosial mereka. Merantau bukanlah sekadar mengunjungi wilayah dan budaya lain. Tradisi itu merupakan cara pengembangan diri sehingga keberhasilan perantau diukur dari usaha dan kemampuannya untuk mengambil manfaat dari proses perantauan. Wilayah rantau merupakan ruang belajar dan ujian proses kehidupan seorang laki-laki. Karenanya, kemampuan mengambil manfaat dari proses perjalanan merupakan hal yang penting. Satu hal yang menarik adalah pernyataan Ivan yang menyebutkan Gus adalah “perantau yang tak pergi”. “Meskipun senang melakukan petualangan, Gus bukanlah seorang perantau”. Gus tidak pernah cukup lama berada di luar daerah asalnya untuk berjuang hidup. Akan tetapi, merantau dan petualangan melibatkan perjalanan, perpindahan, pergerakan, dan proses yang justru mendapat perhatian dalam karya-karya Gus tf. Perantauan yang dilakukan oleh Gus bukanlah perantau fisik saja, namun lebih dari itu, ia melakukan perantauan intelektual dan mental. Gus melakukan pilihan yang unik dalam hidupnya dan keluarga yang dicintainya. Secara fisik, Gus tetap tinggal di Payakumbuh, kampungnya, akan tetapi secara mental dan intelektual ia sudah melakukan perantauan yang jauh. Melalui karya sastranya, Gus

180

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

telah melakukan perantauan mental melalui renungan dan pertanyaan yang ia kemukakan dalam karyanya.
 “Perantauan intelektual Gus terlihat pada cerpen-cerpennya yang melintasi wilayah budaya tempat ia hidup. Perantauan itu terbaca dengan jelas pada antologi cerpen Laba-Laba. Antologi ini menyajikan perantauan penulis ke wilayah budaya yang jauh dan berbeda. Lebih dari separuh dari cerita dalam antologi ini mengambil latar dan problem etnik di luar Minangkabau. Mulai dari Timor-Timur, Papua, Bima, Sulawesi Selatan, dan lainnya. Berbeda dengan penulis lain yang menjadikan wilayah etnik sebagai latar pengisahan, Gus tf Sakai justru masuk dan menyajikan problem dari etnik yang menjadi latar ceritanya. Ia mempelajari problem masa kini kemudian mencari akarnya pada mitos. Mitos tersebut tidak hanya dirasionalisasi, tetapi justru difungsikan untuk melihat dan mendapatkan solusi dari masalah tersebut. “Tuge” sebagai salah satu cerpen Gus yang menceritakan tentang mitos benda budaya di Papua yang dieksploitasikan untuk kepentingan ekonomi. Namun, dengan memahami akar mitos, tokoh utama cerita ini mampu menggagalkan perang antarsuku. Begitu juga dengan “Lowe Lomo” yang mengungkapkan kisah ironi yang dialami oleh masyarakat nelayan yang terjerat ulah rentenir untuk berhutang kapal layar motor. Kita bisa menjumpai gejala yang sama pada “Pot Na Enga Tako”, “Lembah Tabbena”, “Kupu-kupu”, dan “Kurir”. Cerita-cerita tersebut menegaskan bahwa Gus tf Sakai menghela mitos masa lalu untuk mendapatkan solusi dan akar dari masalah masa kini. Sebuah usaha yang bahkan tidak banyak dilakukan oleh para pengarang dari tempat asal mitos tersebut dikenal.”
 Karya-karya Gus terdiri atas puisi, cerita pendek, novel untuk remaja dan nonremaja, serta novelet. Di samping itu, Gus tf sakai juga seorang kurator untuk bidang sastra. Dia juga aktif sebagai seorang awak redaksi Jurnal Puisi yang merupakan jurnal triwulanan yang memuat puisi asli ataupun terjemahan, ulasan buku puisi, agenda, kronik kegiatan perpuisian, serta berita penerbitan buku puisi. Kemampuan atau proses kreatif Gus tidak datang tanpa sebab. Bakat yang dimilikinya terpupuk sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar dan didukung oleh kegemarannya membaca beraneka ragam buku. Talenta yang ada dalam diri Gus dicurahkan ke dalam bentuk tulisan sebagai sikap apresiasinya terhadap fenomena yang muncul dalam masyarakat. Kebiasaannya saban hari menulis dalam buku harian merupakan titik awal dari proses kreatif.

181

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

Selain talenta, satu hal terbesar yang mengantarkan Gus menjadi seorang sastrawan adalah keinginannya untuk membantu meringankan beban orang tuanya. Ini terbukti, di setiap jenjang pendidikannya, mulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi, Gus selalu mampu menambah uang sakunya dengan memenangkan berbagai macam sayembara yang diikutinya.
 Dari riwayat hidupnya dapat diketahui bahwa Gus tf Sakai adalah seorang yang pintar dan cakap. Kesederhanaan selalu terpancar dalam kesehariannya. Laki-laki ini memang mengabdikan dirinya untuk sastra. Lebih jauh lagi, ia merupakan segelintir dari sastrawan yang memang hidup dari menulis. Lebih dari sebelas buku telah ia hasilkan dalam kurun waktu dua puluh lima tahun sejak awal proses kreatifnya ia tekuni.
 Pengalaman menghadapi sebuah buku bagi Gus dimulai ketika ia duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Pertama, tahun 1981. Pada saat itu ia membaca buku karangan Al Ghazali, itulah buku pertama di luar sastra yang ia baca. Buku-buku sastra, fiksi popular, dan ratusan jilid cerita silat sudah dilahapnya ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar di Payakumbuh. Setelah membaca buku Al Ghazali tersebut, Gus mulai memahami tentang manusia dan sekaligus tidak mengerti. Saat ini, selain memiliki koleksi buku sekitar 3000 judul buku, Gus juga memiliki ribuan kliping koran. Semua buku didapatkannya dengan cara membeli dan ada juga ada beberapa puluhan judul buku yang langsung ia minta ke penerbit terutama ke Gramedia ketika ia sedang berkunjung ke Jakarta. Gus tidak memiliki anggaran khusus untuk membeli buku. Pada saat ia baru menerima honor karangan, Gus langsung menyisihkan dana untuk membeli buku, terutama buku fiksi yang belum ada di lemari koleksinya. Ia menyukai buku apa saja, baik buku sastra, filsafat, psikologi, dan cerita silat. Hal itu didasari dengan kegiatan membaca yang dianggap Gus sebagai pekerjaan rutin. Membaca tidak mungkin dilepaskan dari dunianya sebagai pengarang. Ia sering merasa ada yang kurang kalau tidak membaca. Dalam satu hari, minimal ia membaca majalah dan koran.


Simpulan

Sungguh tidak enak jika kita disebut orang “bagak di kandang” atau jagoan di rumah sendiri. Apalagi, kalau kita unjuk kebolehan, orang akan berkata dan berpandangan sinis pada kita. Hal itu bisa terjadi karena kesalahan kita sendiri. Mungkin mereka mengganggap kita tidak berani

182

Antologi Biografi dan Karya Lima Sastrawan Sumatra Barat

ke luar rumah, ke luar kampung, atau pergi ke daerah lain memeragakan kepandaian dan keterampilan yang telah kita miliki. Masyarakat “urang awak" ini, katakanlah di Sumatra Barat, mempunyai “kekhasan” dalam hal menghargai orang lain. Misalnya, betapapun hebatnya kita, tetapi Jika hanya memperlihatkan kehebatan itu di daerah kita sendiri, belumlah hebat dalam pengertian yang sesungguhnya. Memang dikatakan juga hebat, tetapi dalam konotasi yang lain, “iya hebat dia, namun di kandangnya saja”. Urang awak akan menganggap kita “bertuah” atau “hebat” apabila pengakuan itu datang dari orang lain yang bukan berasal dari daerah Sumatra Barat.
 Tidak demikian halnya dengan Gus tf Sakai. Ia adalah salah satu dari sastrawan yang mengukuhkan dirinya dari kampung halamannya tanpa ada keinginan untuk menetap di luar daerahnya. Gus merupakan satu di antara segelintir sastrawan yang menolak anggapan bahwa seniman ataupun sastrawan akan lebih mungkin berhasil apabila merantau ke ibu kota, sementara di negeri tempat ia dilahirkan tidak akan dihargai. Lebih dari satu dasawarsa ia menghabiskan waktu dan umurnya dengan melahirkan karya sastra yang cukup terkenal. Anggapan bahwa sastrawan lebih berhasil jika hijrah ke ibu kota telah ditepisnya dengan membuktikan telah diterbitkannya buku-buku dan karya sastranya. Gus sering memenangi lomba penulisan puisi dan prosa yang diadakan media cetak. Ia merupakan satu-satunya sastrawan Sumatra Barat yang hidup dan menghidupi diri dan keluarganya dengan cara menulis. Ia tidak mempunyai pekerjaan tetap selain bergulat sebagai seorang sastrawan yang mengandalkan pikiran dan kemampuan proses kreativitasnya dalam dunia tulis-menulis.