Aspek-aspek Arkeologi Indonesia No. 7

Aspek-aspek Arkeologi Indonesia No. 7  (1980) 
oleh Satyawati Suleiman

Aspek-aspek Arkeologi Indonesia
Aspects of Indonesian Archaeology


No.7
 1980


A FEW OBSERVATIONS
ON THE USE OF CERAMICS
IN INDONESIA


Satyawati Suleiman

  1. BEBERAPA CATATAN TENTANG
  2. PEMAKAIAN BENDA-BENDA KERAMIK
  3. DI INDONESIA

  1. A FEW OBSERVATIONS ON THE USE OF
  2. CERAMICS IN INDONESIA

  1. BEBERAPA CATATAN TENTANG
  2. PEMAKAIAN BENDA-BENDA KERAMIK
  3. DI INDONESIA


  1. A FEW OBSERVATIONS
  2. ON THE USE OF CERAMICS
  3. IN INDONESIA




  1. SATYAWATI SULEIMAN














  1. PUSAT PENELITIAN ARKEOLOGI NASIONAL
  2. DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

  1. Copyright
  2. PUSAT PENELITIAN ARKEOLOGI NASIONAL
  3. ISSN 0126 - 4141









Cetakan pertama, 1980
Cetakan kedua,1984


First edition, 1980
Second revised, 1984









  1. Printed by :
  2. PT. Guruh Kemarau Sakti-Jakarta
  3. Not For Sale

BEBERAPA CATATAN TENTANG PEMAKAIAN
BENDA-BENDA KERAMIK DI INDONESIA*


Penelitian keramik Indonesia masih ada pada tingkat permulaannya. Tuan Orsoy de Flines 1) yang telah membuat sebuah kumpulan keramik asing sebelum Perang Dunia II yang telah membuat beberapa laporan dan sebuah daftar. Saudara Abu Ridho2) yang telah mengikuti jejaknya sebagai kurator kumpulan keramik di Museum Pusat Jakarta telah menulis beberapa karangan juga dan baru-baru ini ditulisnya naskah untuk sebuah art album tentang koleksi ini.

Keramik lokal sudah pernah disebutkan dan dibuat deskripsinya oleh beberapa akhli prasejarah, yang telah melakukan survai-survai dan berbagai eksvakasi secara sistematis. Dr. H.R. van 3) Heekeren alm. adalah seorang diantara mereka itu. Para arkeolog Indonesia telah merasa beruntung bahwa mereka dapat bekerja sama dengannya sambil belajar daripadanya setiap kali ia datang di Indonesia. Dr. R.P. Soejono 4) , sekarang Kepala Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, bertahun-tahun dibimbing olehnya dalam penelitiannya, ketika ia mempersiapkan sebuah disertasi tentang cara-cara penguburan di Bali-kuno, berdasarkan data data yang telah dikumpulkannya. Periuk-periuk tembikar dan beberapa benda lain lagi yang ditemukannya sebagai bekal kubur di Gilimanuk disebutkannya dan dibuatkan deskripsi Juga para akhli prasejarah yang lebih muda sedang melakukan penelitian yang mendalam tentang keramik kuno itu. Pada masa kini sudah ada pandangan umum bahwa juga bidang-bidang lain di lapangan arkeologi dapat menarik keuntungan dari penelitian benda atau pecahan keramik yang telah ditemukan atau yang telah digali kembali dengan sengaja.

Beberapa ekskavasi yang baru-baru ini dilaksanakan oleh Bidang Arkeologi klasik dibawah pimpinan Dra. Satari dan oleh Bidang Arkeologi Islam yang dipimpin oleh Drs. Hasan Ambary, telah menghasilkan banyak pecahan keramik, lokal maupun asing yang kini diteliti secara mendalam agar situs-situs yang telah digali itu umurnya. dapat ditentukan.

Berhubung studi ini meliputi juga pemakaian barang keramik pada masa silam sampai masa kini, maka kami telah mencoba mengumpulkan data-data5) sambil menghubungkan pecahan-pecahan keramik dengan masalah-masalah sejarah situs-situs tempat penemuannya.

*Terjemahan Kertas Kerja: ”A few observations on the use of Ceramics in Indonesia”, untuk Hongkong Symposium on Trade Ceramics (1978)

KERAMIK LOKAL
PRASEJARAH

Pembuatan tembikar sudah ada pada tingkat mesolitik (masa berburu dan pengumpulan makanan tingkat sederhana) atau sub-neolotik. (lih. van Heekeren 1972)6)Pada masa itu manusia sudah mulai menetap di pantai laut dan di tepi danau atau di dalam gua dan tempat perlindungan di bawah batu karang.

Pada Guwa Lawa di daerah Ponorogo (Jawa Tengah), tembikar berhiasan pola tali ditemukan pada tempat yang dalam, bersama sudip dan tulang. Menurut van Heekeren, sudip-sudip ini dipakai untuk mengupas umbi-umbian liar atau yang sudah ditanam dengan sengaja maupun akar-akaran. Ada pula ditemukan beberapa rangka manusia yang sudah rusak, tetapi satu-satunya bekal kubur adalah kalung yang terbuat dari kerang-kerang yang dilubangi masih melingkari leher kerangka seorang anak kecil. Rupa-rupanya pada masa itu periuk-periuk yang dibuat dengan tangan belum menjadi bekal kubur.

Pada masa itu alat-alat dapur masih terdiri dari daun-daunan yang dipakai sebagai piring atau untuk membungkus dan memasak makanan. Lagipula orang masih memakai mangkuk yang dibuat dari kerang atau batok kelapa. Wadah air dibuat dari bambu, labu atau mungkin juga dari kerang yang besar (seperti di Maluku dan di Hawaii). Ada kemajuan dalam pembuatan keramik lokal itu pada tingkat Neolitik (masa bercocok tanam) ketika manusia sudah menetap, di permukiman yang permanen dan sudah bertani dan beternak.

Di Kendeng Lembu, Jawa Timur, van Heekeren menemukan beberapa kapak batu yang sudah dipoles (digosok licin) dan sejumlah pecahan tembikar. Tetapi rupa-rupanya tempat ini bukan tempat permukiman karena tidak ada bekas-bekas kehidupan desa, melainkan bengkel pembuatan kapak yang masih kasar (papan).

Di Kalumpang, di hulu Sungai Karama. Sulawesi Tengah di pantai Barat Laut ditemukan 706 potong pecahan tembikar yang berwarna coklat dan tak berhiasan. Barang-barang itu ditemukan bersama beberapa kapak persegi panjang, kapak lonjong, ujung lembing, anak mata panah, pisau, beberapa kapak batu yang belum selesai dan ”papan”, sebatang alat pemukul untuk kulit kayu dan sebagainya. Salah satu pecahan tembikar itu berhiasan gambar orang yang distilir.

Pada masa perundagian (logam awal), ketika nama-nama beberapa tempat di Indonesia sudah muncul pada berita-berita asing sekitar awal tarekh Masehi, penggunaan benda tembikar sebagai bekal kubur sudah biasa. Van Heekeren meneliti beberapa tempayan tembikar yang ditemukan oleh penduduk Anyer (Banten). Isinya : rangka-rangka manusia serta beberapa bekal kubur yang terdiri dari sebuah periuk, yang tingginya 2,92 cm, piring-piring dan sebuah periuk bulat. Di daerah yang sama pada penggalian yang dilakukan oleh Van Heekeren sendiri, ditemukannya pecahan-pecahan tembikar yang rupa-rupanya berasal dari sebuah tempayan kubur (urn ) bersama beberapa fragmen tulang-belulang dan tengkorak.

Rupa-rupanya orang terkemuka dikubur di dalam tempayan besar bersikap terlipat (flexed position) sedangkan orang biasa dikubur di dalam kuburan biasa, karena van Heekeren menemukan kuburan begitu di daerah yang sama juga. Rupa-rupanya tanah di tempat itu mengandung banyak tempayan kubur. Umur yang diperkirakan adalah abad kedua atau ketiga M. (Van Heekeren 1985)7)

Ada juga kuburan tempayan di Sumatra, antara lain di Lesung Batu, Tebing Tinggi, Sumatera Barat Daya. Tempayan-tempayan itu berisi tulang belulang manusia dan di dalam salah satu di antaranya ada sebuah periuk yang dipoles (digosok licin). Hiasan periuk itu terdiri dari meander dan pola duri ikan seperti yang lazim ditemukan pada benda-benda perunggu di Indonesia.

Di Sulawesi ditemukan berbagai tempat kuburan tempayan. Di Sulawesi Tengah, wadah batu yang besar yang bernama ”waruga” terkadang berisi kerangka orang. Di dalam waruga itu ada juga benda-benda tembikar, sedangkan waruga itu biasanya berdiri di dekat arca-arca tinggi. Pernah ditemukan sebuah tempayan tembikar yang tinggi 111 cm ), rupa-rupanya penduduk mempunyai kelaziman melakukan penguburan yang sekunder. Sisa-sisa orang di kubur dulu atau diletakkan pada suatu tempat tertentu sampai tinggal tulangnya saja. Baru kemudian tulang-belulang itu dimasukkan di dalam wadah kubur.

Van Heekeren menunjukkan juga kepada sebuah laporan dari Schröder pada tahun 1912, mengenai tiga buah tempayan tembikar yang terdapat di sebelah barat daya pulau Salayar. Isinya : tulang-belulang manusia yang sudah rusak dan perhiasan, manik-manik batu setengah permata, satu cincin, tiga gelang, sebuah anting-anting dari perunggu dan beberapa daun emas (hanya di dalam satu tempayan).

Penemuan yang penting terdiri dari suatu kuburan tempayan di Pulau Sumba. Tempayan-tempayan pada tempat itu berbentuk bulat, beberapa diantaranya berleher lurus, dan ada bermacam-macam ukuran mulut, dan ada juga yang lehernya semakin melebar ke atas. Tutupnya terdiri dari pecahan tembikar, periuk yang pecah, periuk terbalik atau botol. Botol-botol (flasks) tembikar yang ditemukan nampak dipoles (digosok licin), warnanya merah atau coklat, dan lehernya panjang dan sempit. Berhubung periuk-periuk itu berhiasan pola-pola yang biasanya terdapat pada benda-benda perunggu, maka waktu pembuatannya diperkirakan jatuh pada masa ketika sudah ada perunggu dan besi, meskipun di antara benda-benda itu masih ada beberapa kapak batu dari masa Neolitik. Sebuah alat pengantih menjadi bukti bahwa pada masa itu orang sudah dapat menenun. Di antara sisa-sisa manusia terdapat banyak tengkorak, inilah suatu bukti bahwa pada tempat itu dilakukan penguburan sekunder juga.

Di Gilimanuk, Bali (Soejono 1977), menggali banyak kuburan yang berisi rangka manusia yang berisi bekal kubur, yang terdiri dari kapak-kapak perunggu, perhiasan-perhiasan dan periuk-periuk tembikar. Penggalian-penggalian di Gilimanuk dilakukannya selama sepuluh tahun.

MASA SEJARAH

Keramik lokal masih dibuat dan dipakai ketika sudah ada keramik asing yang masuk di Indonesia, meskipun masih dalam jumlah yang kecil.

Pada relief-relief abad ke 9 di Jawa Tengah, seperti misalnya di Candi Borobudur dan Prambanan, keramik lokal nampak dipakai sebagai wadah makanan. Pada sebuah adegan yang termashur di salah satu relief Candi Borobudur, nampak beberapa orang wanita yang sedang mengambil air dari kolam. Di atas kepala mereka membawa periuk bulat yang kecil. Pada adegan yang lain Sujata membawa susu di dalam sebuah periuk bundar kepada Sang Buddha Gautama sebelum ia mencapai Nirwana. Ada pula sebuah adegan yang memperlihatkan tumpukan periuk-periuk di dalam semacam gudang dan sebuah adegan lain menggambarkan sebuah tempat pembuatan periuk (bengkel) dari tanah liat, tanpa roda, melainkan pakai tangan dan kayu (Bernet Kempers, 1977) 8

Pada penggalian di beberapa komplek candi muncullah juga periuk tembikar. Pada tempat yang tersuci pada komplek itu ada sebuah periuk tanah liat yang dikubur sebagai depot candi. Juga pada relief-relief di Jawa Timur nampak keramik lokal yang dipakai sebagai wadah air, (gentong). Di Trowulan, ialah situs ibu kota Majapahit abad ke 14 banyak periuk tanah liat yang masih terpendam di tanah. Pada suatu penggalian muncullah sebuah wadah tanpa dasar yang pernah menjadi bagian atas sebuah sumber air. Trowulan terkenal karena banyaknya arca dan hiasan terracotta dari masa Majapahit, yang dahulu dipakai sebagai hiasan rumah-rumah.

Arca-arca Majapahit yang dipakai sebagai arca perujudan raja-raja dan ratu-ratu diapit oleh setangkai lotus, yang keluar dari sebuah guci.9) Pada masa Singhasari (abad ke 13) lotus ini keluar dari umbinya. Rupa-rupanya guci itu bukan keramik lokal melainkan guci Cina, yang lazimnya disebut tempayan atau martavan. Di Kalimantan martavan begitu dipakai sebagai wadah pemakaman sisa-sisa manusia. Mungkin pada arca Majapahit itu ada asosiasi antara guci dengan mati dan lotus dengan hidup, karena hidup baru timbul dari apa yang sudah mati. 10)

Pada mesjid-mesjid kuno di Jawa, yang atapnya bersusun, puncaknya terdiri dari hiasan terracotta yang disebut ”mastaka”11)

MASAKINI

Meskipun teknologi modern sudah masuk di Indonesia, tetapi keramik lokal masih banyak dibuat dan dipakai. Pada pasar-pasar selalu ada tempat penjualan periuk besar (gentong) yang dipakai untuk wadah air. Ada lagi beberapa alat dapur yang lain seperti anglo, kendil, piring dari tanah liat. Kendil masih dipakai untuk memasak dan memang beberapa macam makanan Indonesia terasa lebih enak dimasak di dalam kendil, seperti misalnya gudeg Jogya. Serabi juga enak dibuat di dalam wadah tembikar yang bertutupan. Ikan pindang dibuat di dalam tempayan besar dan disimpan di dalamnya untuk dijual.

Pedupaan untuk membakar kemenyan dibuat dari tembikar dan begitu pula pot kembang dan celengan. Kendi masih dipakai sebagai wadah air di dalam banyak rumah tangga. Setelah seorang bayi lahir, ari-arinya yang dianggap sebagai adiknya dimasukkan ke dalam sebuah kendil dan dikubur di taman di dekat rumah.

Pada upacara perkawinan di Jawa, di saat ketemunya penganten pria dan wanita maka penganten wanita mencuci kaki penganten pria. Air yang dibuat harum dengan bunga-bungaan yang ada di kendi kemudian disiram pada kakinya setelah penganten pria itu menginjak sebuah telur. Pada saat pengantaran jenazah ke kuburan beberapa barang tembikar dipecahkan pada jalan yang dilalui jenazah sebelum masuk di kereta jenazah.

Juga pada beberapa upacara korban masih ada penggunaan tembikar. Terkadang hanya ada beberapa pecahan saja yang dikorbankan seperti pada ”korban tembaga” di Jawa Barat. Upacara itu dilaksanakan pada suatu saat sebelum pembangunan rumah baru, ialah bila tanah yang akan dibangun itu menurun ke arah selatan. Karena selatan dihubungkan dengan Batara Kala dan warna merah maka segala barang korban itu berwarna merah juga, seperti bunga merah yang diletakkan di atas talam tembaga merah, ayam yang berbulu merah, dan pecahan tembikar yang merah.12)

Rupa-rupanya keramik lokal itu di samping masih dipergunakan sebagai alat-alat rumah tangga, tetap dihubungkan dengan adat, tempat yang sakral dan peristiwa-peristiwa yang sakral-rituil seperti bermacam-macam upacara, yang diadakan berkesempatan dengan kelahiran, perkawinan atau kematian.

KERAMIK ASING

Di Museum Pusat Jakarta, terdapat banyak keramik asing yang sudah pernah diteliti oleh Orsoy de Flines (1949 dan 1974) dan Abu Ridho (1977 ). Bahkan ada juga keramik dari masa Han, ialah dari abad-abad pertama Tarekh Masehi. Keramik asing yang berasal dari Cina, Muang Thai, dan Vietnam telah ditemukan di seluruh Indonesia. Keramik asing itu kebetulan banyak ditemukan di pulau-pulau yang menghasilkan barang ekspor yang dahulu dan sekarang misalnya : kemenyan dan kapur barus di Sumatra Utara, merica di Lampung, emas di Sumatra tengah dan Barat, rempah-rempah di Maluku, cendana dan kayu-kayuan lain di pulau-pulau di sebelah timur Bali dan Sulawesi. Harus dicatat bahwa kebanyakan benda itu belum diketahui tempat penemuan yang asli sehingga tak dapat dipakai untuk penentuan waktunya keramik pada hubungan dagang dengan negara Cina.

Keramik asing mula-mula dipakai sebagai alat tukar-menukar atau sebagai hadiah untuk orang terkemuka. Baru berabad-abad kemudian benda-benda keramik asing itu dipergunakan sebagai alat rumah tangga, yang terdiri dari piring, mangkuk, bejana, pedupaan dan sebagainya. Barang itu termasuk barang yang lebih murah daripada apa yang dahulu diberikan sebagai alat tukar-menukar atau sebagai hadiah.

Pada beberapa tempat keramik asing dipakai untuk mengubur jenazah. Ini suatu kelaziman di Kalimantan di mana terdapat banyak kuburan ”martavan”, (tempayan besar 13). Martavan itu mula-mula dipakai untuk membuat tapai, karena itu namanya menjadi tempayan. Martavan itu dipakai juga sebagai wadah makanan atau air. Kemudian tempayan itu dipakai sebagai wadah jenazah, seperti pada masa prasejarah. Adat mengubur sisa-sisa manusia itu di dalam guci terdapat juga di Sulawesi Selatan, tetapi hanya untuk orang-orang terkemuka. Lagipula yang dimasukkan adalah abunya, karena sebelum Islam masuk pada awal abad ke 17 masih ada pembakaran jenazah raja-raja, sedangkan rakyat biasa dikubur dan jenazahnya diberi bekal kubur seperti ternyata di penggalian di Takalar.

Di Jawa ada pemakaian khusus dari porselen impor. Tegel porselen dimasukkan pada dinding sebagai dekorasi di Majapahit seperti yang ditemukan di Trowulan (lihat Abu Ridho)14). Pada dinding mesjid kuno di Demak ada juga tegel porselen yang berasal dari Annam. Di Cirebon, piring-piring porselen dimasukkan pada dinding beberapa bangunan pada keraton Kasepuhan dan Kanoman.

Pada dinding candi Induk Penataran di Blitar, Jawa Timur ada hiasan (pahatan batu) ceplokan berisi pola-pola hiasan, kebanyakan binatang. Hiasan yang demikian mungkin dibuat di bawah pengaruh kebiasaan memasukkan piring porselen impor di dalam dinding sebagai perhiasan15). Kebiasaan memasang piring-piring porselen pada dinding ada juga pada beberapa candi di Bali.

Di antara pusaka-pusaka orang Indonesia seringkali terdapat juga keramik asing. Barang begitu diperlakukan pemiliknya seperti keris atau tumbak pusaka. Benda-benda keramik itu dikeluarkan pada saat-saat tertentu dari tempat penyimpanannya dan dimandikan dengan air bunga.

Masalah sekarang adalah: sejak kapan keramik asing itu dipakai sehari-hari atau untuk upacara? Apakah ditemukannya banyak pecahan porselen pada suatu tempat berarti bahwa dahulu pernah ada permukiman Cina, ataukah banyaknya pecahan itu menunjukkan adanya perdagangan intensip dengan negara Cina? Masalah-masalah inilah yang akan diperbincangkan sekarang.

KERAMIK ASING YANG DAPAT MENGUNGKAPKAN
MASA YANG SILAM

Benda-benda keramik yang masih utuh memang indah untuk di pandang tetapi kita tak dapat mengetahui tempat penemuan asli di Indonesia setelah datang dari Luar Negeri, karena barang itu sudah berkali-kali berganti tangan pemilik. Hanya ada beberapa tempat saja di Indonesia di mana keramik asing yang utuh masih dapat dikeluarkan dari tanah, antara lain di Sulawesi Selatan.

Pecahan-pecahan keramik bila ditemukan dalam kelompok-kelompok dapat juga dipakai dalam usaha menentukan umur situs itu. Lagi pula segi-segi tertentu kehidupan ekonomi atau masyarakat pada masa yang silam dapat menjadi lebih jelas, karena temuan itu. Di karangan ini dibicarakan tiga daerah terpilih, karena tanahnya mengandung keramik atau di atasnya ada banyak pecahan keramik asing yang berserakan yang sudah pernah diteliti

atau digali. Ketiga daerah itu adalah : a) Sulawesi Selatan, b) Palembang dan Riau dan c) Pantai Utara Jawa Tengah sebelah Timur.

SULAWESI SELATAN

Orsoy de Flines pada tahun 1948 meneliti beberapa benda dan pecahan keramik. Kebanyakan temuan itu berasal dari abad ke 13 sampai ke abad ke 18, tetapi ada juga beberapa di antaranya dari masa sebelum abad ke 10. Di Bone ada beberapa mangkuk, kotak dan piring dari abad ke 14-15. Sebuah guci kecil setengah porselen, persegi panjang, berisi tulang-belulang sebagai .bekas pembakaran jenazah. Guci ini berasal dari Fu-Kien, bagian kedua abad ke 16. Di Watampone, 10% pecahan itu berasal dari benda-benda keramik yang halus dari Cina Tengah dan Timur, ialah porselen dan tanah liat yang sudah mirip ke porselen, dari abad ke 14 dan ke 15 dari Lun Tsuan, Te-Hua awal, Ying Tsing dan Cho T’ou. "Bukan keramik untuk orang biasa" demikian kata de Flines.

Suatu eksvakasi yang sistematis dilakukan pada tahun 1970 oleh Uka Tjandrasasmita di Takalar. Eksvakasi ini disponsori oleh suatu kelompok orang terkemuka di Jakarta, Indonesia maupun asing. Tidak lama kemudian beberapa anggauta kelompok itu mendirikan Himpunan Keramik Indonesia atau menjadi anggautanya.

Meskipun benda yang ada pada penggalian itu jumlahnya tidak begitu besar (benda itu termasuk jenis yang murahan) tetapi kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian itu penting sekali. Karena pada waktu itu diperoleh bukti bahwa benda-benda keramik yang berhasil digali kembali, pernah berfungsi sebagai bekal kubur. Hingga saat itu para penggali liar setelah mengeluarkan piring-piring dan periuk-periuk dari tanah, membuang sisa-sisa manusia, sehingga mengakibatkan perpisahan antara jenazah dan bekal kuburnya.

Masa pembuatan benda-benda keramik itu adalah abad ke 15-16. Tempat asalnya: Cina dan Annam. Karena keramik itu tak begitu mahal, maka kesimpulan adalah bahwa orang yang dikubur itu orang biasa, karena orang terkemuka dikubur (abunya) di dalam guci keramik asing. Gejala ini mengingatkan kepada Anyer (lihat di atas)17), di mana orang terkemuka pada Masa Prasejarah dikubur di dalam tempayan tembikar yang tinggi, sedangkan orang biasa dikubur di dalam kuburan. Bahwasanya abu orang terkemuka pada masa sebelum Islam masuk di Sulawesi Selatan (awal abad ke 17) dimasukkan di dalam guci keramik asing menunjukkan bahwa pada masa itu keramik asing sudah menjadi ”status symbol” (perlambang kedudukan).

H.R. Van Heekeren18) menunjuk kepada sebuah laporan oleh L. Van Vuuren dari tahun 1912. Katanya di desa Bukaka, di bawah pohon ada sebuah guci yang dipendam di dalam tanah. Guci itu berisi abu jenazah seorang raja Bone, yang bernama Tamupaga. Tidak jauh dari tempat itu di atas bukit yang puncaknya terdiri dari tanah datar, ada sebuah guci kubur di bawah pohon juga. Isinya: abu jenazah raja Bone yang ketiga yang naik takhta pada tahun 1398. Di dalam tanah bukit ini ada beberapa guci kubur yang lain lagi.

Kelaziman membakar jenazah raja-raja Bugis telah disebut juga di dalam naskah-naskah yang ditulis oleh bangsa Bugis sendiri, yang disebut ”lontara”. Meskipun bangsa Bugis itu tidak memiliki prasasti batu dan tembaga seperti di Jawa tetapi mereka meninggalkan banyak naskah. Mereka mencatat semua hal-ihwal, dimulai dari tindakan-tindakan administrasi, peristiwa politik, peperangan dan hubungan keluarga. Termasuk naskah-naskah itu ada buku-buku catatan harian dan kronik-kronik. Di dalam Kronik Kerajaan Wajo (Noorduyn 1955) ada sebuah berita bahwa seorang raja diperabukan di atas kumpulan perisainya. Karena itu ia memperoleh nama anumerta: yang berbunyi: ”Matinroe rikannana” (beliau yang beristirahat di atas perisainya"). Seluruh abu jenazahnya dikumpulkan dan dimasukkan dalam sebuah guci. ”Ini mungkin perabuan yang terakhir untuk seorang raja besar di Wajo” demikianlah komentar Noorduyn”19)

Peristiwa ini terjadi pada awal pengislaman Sulawesi Selatan (awal abad 17), Raja-raja setelah masa itu yang sudah masuk Islam dikubur dan jenazahnya tidak dibakar lagi.

Hadimuljono, seorang arkeolog, pernah melihat sendiri di Soppeng pada makam raja, sepotong keramik asing yang dipakai sebagai maesan. Benda keramik asing dipecahkan pada waktu pengucapan sumpah berhubung dengan penandatanganan sebuah naskah kerjasama antara dua orang raja. ”Apabila perjanjian ini dilanggar, akan pecah, hancurlah pihak yang melanggar sumpah, perjanjian ini sampai tujuh turunan”. Pecahan keramik itu kemudian ditanam dan di atasnya didirikan batu. (Hadimuljono, 1978).20)

Bagaimana peranan Sulawesi di dalam hubungan sejarah? Daerah itu sudah lama berhubungan dengan Jawa.21) Prapanca, pengarang Nagarakertagama yang ditulis pada tahun 1365 sebagai syair pujian untuk Raja Hayamwuruk dari Majapahit menyebutkan beberapa daerah yang harus mengirim upeti ke Jawa. Salah satu kelompok terdiri dari: Bantayan, Luwuk, Uda- Katraya, Makasar, Butun, Banggawi. Kunir, Galiya dan Salayar yang dapat dikenali kembali sebagai daerah-daerah Sulawesi selatan yang pada masa itu ada di bawah pengaruh kekuasaan Majapahit. Artinya para raja harus mengirim upetinya ke Majapahit, sedikitnya sekali setahun. Mungkin karena hubungan inilah ada pemakaian gelar-gelar atau nama-nama yang dipakai raja-raja di Jawa, meskipun di Sulawesi tidak ada penganut agama Hindu atau Budha. Misalnya dewa disebut dewata, raja bergelar batara. Manusia pertama yang turun dari langit adalah Batara Guru yang memperisterikan seorang wanita yang keluar dari Dunia Bawah, ialah, We Nyuli Timo (Noorduyn 1955, h. 48) Datu Luwu bergelar Dewaraja atau Raja Dewa (Noorduyn 1955, h. 70).

Mereka percaya bahwa ada Pencipta Semesta Alam yang Tunggal dan beberapa dewa yang lain. Kepercayaan itu ada juga pada suku-suku Toraja.22) Begitulah, meskipun bangsa Bugis itu bukan penganut agama Hindu dan Budda, mereka bukan ”animis” karena mereka sudah mengenal suatu pantheon yang terdiri dari dewa-dewa yang mereka sembahi dan malah panggil sebagai saksi bila ada pengangkatan sumpah. Para raja di Sulawesi Selatan masuk Islam agak lambat (awal abad ke 17) bila dibandingkan dengan raja-raja di pulau-pulau lain di Indonesia. Seperti dikatakan di atas masih ada pembakaran jenazah pada awal abad ke 17. Kelaziman membakar jenazah mungkin dipengaruhi orang Hindu atau Buddha dari Bali atau dari orang Cina yang menetap di Sulawesi.

Terdapatnya begitu banyak benda dan pecahan keramik, menunjukkan bahwa ada perdagangan yang intensif dengan orang Cina atau dengan negeri Cina, yang mungkin dilakukan oleh orang Bugis sendiri. Karena Sulawesi Selatan ada di pertengahan jalan antara pulau-pulau di Indonesia penghasil rempah-rempah dan kayu-kayuan wangi dan Cina (liwat Philipina) maka kita dapat menduga bahwa sejak dahulukala sudah ada banda-bandar yang ramai. Meskipun rakyat setempat tak membaca atau menulis Sansekerta, tetapi mereka beruntung karena memiliki abyad sendiri yang mereka pakai untuk berniaga dan untuk catatan politik dan administrasi.

Tetapi yang masih masalah ialah : seandainya ada perdagangan yang ramai itu, apakah sudah ada sebutan tentang tempat-tempat di Sulawesi Selatan dalam berita-berita Cina? Hal ini masih perlu diteliti.

B. PELEMBANG DAN RIAU

Meskipun Palembang dan Riau merupakan dua daerah yang terpisah, tetapi karena kedua daerah itu banyak dihubungkan dengan sejarah Sriwijaya kami menggabungnya menjadi satu.

G. Coedes23) adalah sarjana yang pertama kali mengidentifikasikan Pa lembang sebagai situs ibukota Sriwijaya pada abad ke 7 karena banyak prasasti telah ditemukan pada daerah itu. Meskipun banyak sarjana asing menerima pandangan ini (Krom24), De Casparis, Wolters) ada pula beberapa sarjana lain yang menempatkan pusat Sriwijaya itu pada tempat yang lain. Moens 25) ) mencarinya di Muara Takus, Riau, karena ia menunjuk kepada keterangan I-tsing ialah: "bahwa di kota Sriwijaya seorang manusia tidak ada bayangan pada jam 12 siang". Artinya tempat itu ada di khatulistiwa dan Muara Takus memang letaknya paling dekat ialah 0.20 Lintang Utara. Roland Braddell 26) mencari Sriwijaya di Semenanjung Melayu, sedangkan M.C. Chand 27) menempatkannya di Muang Thai Selatan, sekitar Chaiya.

Pada tahun 1974 sebuah team yang terdiri dari tiga orang arkeolog Indonesia dan tiga orang dari Universitas Pennsyivania (A.S) termasuk B. Bronson telah melakukan suatu ekskavasi yang sistematis pada beberapa tempat di Palembang. Mereka mengharapkan akan menemukan bekas-bekas kehidupan dari abad ke 7 yang terutama terdiri dari keramik asing. Dari hasil itu ternyata bahwa tidak ada pecahan keramik yang tua, karena ditemukan, baik di Bukit Seguntang maupun di Air Bersih. Geding Sarangwati hanya pecahan keramik Ming dan abad ke 15 dan ke 16.28)

Sebuah ekskavasi percobaan yang dilakukan oleh beberapa anggauta team itu pada tahun 1973 di Muara Takus (Riau) berhasil yang sama. Kali ini tidak ada juga pecahan keramik yang lebih tua daripada abad ke 15. 29) Hasil yang sama diperoleh lagi oleh sebuah team yang dikirim oleh Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional pada tahun 1976, karena hanya pecahan porselen Ming yang ditemukan lagi.30

Apakah hasil-hasil ini membuktikan bahwa Sriwijaya tidak terletak di Palembang atau Muara Takus? Ataukah ada suatu sebab sehingga tidak ada sisa-sisa benda yang seharusnya ada pada sebuah situs yang sudah berabad-abad lamanya didiami manusia? Ataukah penggalian harusnya dilakukan pada tempat-tempat lain, seperti misalnya di tepi sungai Musi? Ataukah pencarian benda harus dilakukan di dalam lumpur atau di dalam air, oleh karena kota dan desa yang terletak di tepi sungai mudah terkena banjir. Satu banjir saja dapat memusnahkan sawah-sawah dan desa-desa seperti masih sering terjadi di Sumatra. Ataukah kita belum dapat mengharapkan adanya sisa-sisa porselen Cina pada abad ke 7 karena masih terlalu pagi dan belum ada porselen yang diekspor (trade pottery) ke Nanyang (Asia Tenggara).*

Kami mengajukan beberapa usul: mungkin seribu orang musafir yang ada di Sriwijaya menurut I-tsing bukan orang Cina, melainkan kebanyakan orang Indonesia sendiri. Mereka tidak memakai porselen Cina karena mereka apalagi sebagai biarawan harus memakai bahan-bahan seadanya: ialah daun-daunan, bambu, kayu, batok kelapa, dan labu. 31) Pada masa itu orang belum membuat stupa-stupa dari batu atau batu bata, karena orang dapat memakai kayu yang begitu banyak ditemukan di dalam hutan hujan yang tropis. Kuil-kuil dan biara-biara dibuat dari kayu dan beratap ijuk seperti di Bali. "Sel-sel" untuk para biarawan terbuat dari kayu dan beratap ijuk juga dan berbentuk rumah panggung. Rumah panggung yang sederhana itu masih dipakai dalam beberapa pondok pesantren di Sumatra. Ada sebuah pondok pesantren di Purba Baru, Tapanuli Selatan, yang kebetulan team survey kami liwati pada bulan Juli tahun 1978. Dua ribu santri penghuninya. Setiap dua orang santri menghuni satu pondok yang sederhana untuk tidur, belajar, masak dan makan. Sebuah pondok pesantren yang serupa kami lihat pada tahun 1975 di Padang Lawas.32) Di dekat Biaro Bahal I ada pondok-pondok yang memenuhi satu komplek yang luas.33)

  • Setelah karangan ini ditulis pada tahun 1978 ternyata pada tahun 1978, 1980 dan 1982 ditemukan banyak pecahan porselen dari masa sebelum abad ke - 10 M di sekitar Talang Kikim di kaki Bukit Seguntang.

Biara-biara Sriwijaya pasti tidak banyak bedanya dengan pondok pesantren di Sumatra Utara itu. Lagipula para penghuninya pasti tidak akan meninggalkan sisa-sisa kehidupan, karena alat-alat mereka terbuat dari bahan-bahan yang lekas musnah. Begitu pula keadaan ”kota” yang letaknya di tepi atau malah di atas sungai Musi. Penduduk hidup dengan cara yang sama seperti penduduk Sungsang sekarang, ialah sebuah desa di Muara Sungai Musi, 90 km dari kota Palembang, yang kami kunjungi pada bulan Juli tahun 1978. Rumah-rumah penduduk dibangun di atas sungai dan di tepinya.

Di Muara Takus (lihat Bernet Kempers, 1959,g.198), bangunan-bangunan yang terbuat dari bata pada tempat itu belum tentu berasal dari abad ke 7. Komplek induk mungkin harus dicari di tempat lain, sedangkan penduduknya tinggal dalam rumah-rumah kayu yang beratap ijuk. pada abad ke 7. Soal lain adalah: seandainya Muara Takus sudah menjadi tempat sembahyang dan ziarah, belum tentu ibukota Sriwijaya terletak pada daerah itu juga. Misalnya di Jawa ibukota para raja Sailendra pada abad 8-9 mungkin tidak ada di sekitar Candi Borobudur, melainkan di lembah Prambanan. Di Majapahit, keratonnya terletak di Trowulan, tetapi Raja Hayamwuruk berziarah pada candi-candi di daerah Malang dan Blitar. Kemungkinan yang lain adalah bahwa pusat kerajaan Sriwijaya tidak selalu pada satu tempat saja melainkan berpindah-pindah.34)

C . JAWA TENGAH SEBELAH TIMUR LAUT

Orsoy de Flines pernah menulis sebuah laporan di Oudhcidkundig Verslag 1941 — 1947 mengenai suatu survai yang dilakukannya pada tahun 1940 pada beberapa tempat di Jawa Tengah sebelah Timurlaut. Daerah-daerah yang disurvai itu meliputi kabupaten Blora, Rembang, Pati, Jepara, Kudus dan Grobogan. Ada suatu permintaan khusus dari W.F. Stutterheim, yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Dinas Purbakala agar dilakukan penelitian tanah sekitar suatu daerah yang menurut dongengan rakyat setempat pernah menjadi wilayah keraton Mendang Kamulan (Medang), di sebelah timur Grobogan. Hasil-hasil survai ini ternyata negatif: karena apa yang ditemukan hanya terdiri dari beberapa pecahan keramik dari abad ke 9 sampai abad ke 10. Yang mengejutkan adalah kenyataannya bahwa banyak sekali pecahan porselen ditemukan di hutan jati di dekatnya yang berasal dari akhir abad ke 8 sampai ke 11.

Pada beberapa desa banyak penemuannya, sedangkan di desa yang lain sedikit sekali. Kadang-kadang ada pecahan keramik Cina, kadang-kadang Sawankhalok. Pecahan-pecahan itu terdiri dari porselen abad ke 9 sampai ke 17. Hal ini dapat membawa kesan bahwa daerah itu menjadi daerah permukiman selama beberapa abad terus-menerus. Soal masa permukiman itu diteliti pada tahun 197535).

Sebuah team yang terdiri dari beberapa orang arkeolog Indonesia dan Amerika Serikat pernah menggali di daerah Rembang. Mereka meneliti 50 situs dan membuat 40 kelompok kumpulan keramik lokal dan asing, ialah dari masa 1) T’ang-Sung akhir, 2) Sung-Ming akhir, 3 ) Ming dan sedikit Ch’ing dan 4 ) Ch’ing dan Eropa.

Para penulis laporan itu bertanya: ”mengapa bukti bahwa pernah ada hubungan dengan India dan Cina muncul begitu lambat? Di Muang Thai dan Vietnam Selatan hubungan itu sudah begitu intensif sejak tahun 200 ketika kota-kota besar seperti Oc- Eo telah mulai nampak. Jadi mungkinkah Indonesia 400- 500 tahun terbelakang dibandingkan dengan benua Asia? (Laporan Rembang h.112). Kemudian team itu, habis meneliti situs Binangun, berpendapat bahwa : ”daerah itu sudah ikut serta dalam perdagangan asing sejak tahun 700 M. Letaknya pada suatu daerah yang tak baik untuk melakukan pertanian. Karena itu Binangun kami anggap sebagai suatu bandar dagang purba. Inilah bandar pertama yang ditemukan di Jawa yang umurnya jatuh dalam milenium pertama pada awalnya atau di tengahnya” (h. 112d).

Binangun ini yang terletak di atas puncak sebuah bukit yang mudah dipertahankan karena di sebelah timur ada daratannya, sedangkan di sebelah utaranya ada teluk, di sebelah utara Gunung Lasem (Laporan Rembang 1975:112d) sudah pernah dilaporkan oleh Orsoy de Hines (1941—1947) sebagai daerah rawan dalam hal pecahan keramik.

Team Rembang telah mempertimbangkan banyaknya gerabah lokal, untuk menunjukkan bahwa daerah ini memang pernah menjadi permukiman.

Buat latar belakang sejarahnya: daerah yang pernah disurvai oleh Orsoy de Flines, termasuk Rembang, memang pernah menjadi bagian Jawa Tengah yang penting. Ada nama-nama tempat yang mengingatkan kami kepada berita-berita Cina dan lokal . Nama Waru sama seperti apa yang pernah dieja sebagai Po-lu-kia-se36), yang menurut berita T’ang tempat perpindahan keraton nenek moyang raja Ho-ling yang bernama Ki-Yen sekitar tahun 750. Nama itu pernah dibaca sebagai Waru-yasik, sedangkan Pelliot menganggapnya sebagai Waruh- Gresik atau Waruh di pantai pasir.

Loram Kulon37) di Kudus sama dengan Luaram pada prasasti Airlangga tahun 1041, yang memuat berita tentang penyerangan oleh raja Wurawari yang datang dari Luaram, Serangan ini telah memusnahkan keraton Dharmawangsa dan mungkin tindakan ini didukung oleh Sriwijaya dengan bantuan raja Jawa (Coedes 1968 : 144) Wurawari adalah sebuah tempat di Pekalongan (Schrieke 1957 a : 211 cf) .
Maka setelah kami bicarakan penemuan pecahan keramik asing di daerah ini, perlu kami mengajukan beberapa persoalan :
  1. Apakah tidak adanya keramik asing, terutama keramik Cina berarti bahwa belum ada bandar-bandar perdagangan asing sebelum abad ke 10 ?
  2. Masalah hubungan Jawa dengan Sriwijaya.
  3. Para pengarang laporan Rembang bertanya: apakah Indonesia terbelakang, karena belum ada bandar semacam Oc Eo , dan karena belum ada bukti bahwa sudah ada hubungan dengan India dan Cina (Laporan Rembang, h.112c).

Kami juga bertanya: mengapa terutama keramik Cina muncul begitu lambat? Apakah memang belum ada perdagangan dengan Cina? Tetapi sebaliknya berita-berita Cina melaporkan utusan-utusan dari tempat-tempat yang letaknya oleh banyak sarjana dicari di Indonesia. Lain tentu soalnya seandainya tempat-tempat itu yang bernama She- li- fo- she,Ho- lo- tan, Holing, She-p'o dan sebagainya harus dicari di luar Indonesia dan mungkin di Semenanjung Melayu.

Bukti bahwa memang sudah ada hubungan dengan India sesungguhnya ternyata dari prasasti-prasasti sejak abad ke 5 (Kutei dan Jawa Barat), arca-arca kuno seperti kedua arca Wisnu dari Cibuaya (abad ke 7) dan prasasti-prasasti Sriwijaya (abad ke 7). Ada juga seni bangun dan seni patung di Jawa Tengah (abad ke 8 dan 9). Lagipula ada beberapa prasasti di Jawa Tengah dari abad ke 9 yang sudah menyebutkan orang-orang asing yang berasal dari India atau Asia Tenggara.

Beberapa keramik dari Masa Han dan banyak dari Masa T’ang ditemukan di beberapa tempat di Indonesia tetapi adanya benda-benda itu belum berarti bahwa kita dapat menarik kesimpulan bahwa benda-benda itu berasal dari permukiman yang kuno atau dari perdagangan dengan Cina. Tetapi soal mengapa pada beberapa tempat tidak ada keramik Cina dan apakah hal itu berarti bahwa belum ada bandar niaga sebelum abad ke 10, dapat dijawab oleh Wolters, dalam bukunya: ”The Fall of Sriwijaya” yang pernah dikutip oleh Hall (1970,h.61-62). ” Dr O.W. Wolters baru-baru ini telah mencoba menafsirkan kenyataan itu dengan mempergunakan pengetahuan yang telah ada tentang pola-pola yang berobah di dalam perdagangan Asia, serta terutama semakin pentingnya perjalanan di seberang laut oleh bangsa Cina. Dr Wolters melihat bahwa sampai akhir abad ke 11 , Cina tergantung dari kapal-kapal asing dalam perdagangannya dengan Nanyang. Perdagangan harus dilaksanakan sesuai dengan sistem ”upeti” yang telah digariskan oleh istana kaisar dalam hubungannya dengan negara-negara asing masing-masing. Artinya, perdagangan dengan Cina tidak terbuka dan bebas untuk setiap pedagang manapun, baik orang Cina atau orang asing. Perdagangan itu terbatas kepada ”utusan-utusan pembawa upeti” yang dikirim kepada Kaisar oleh raja-raja barbar yang dianggap ”vasalnya”, atau sedikitnya kepada mereka yang disebut ”vasal”, ”demikianlah Hall.

Dr Wolters berpendapat bahwa Sriwijaya penting kedudukannya karena peranannya sebagai bandar perantara (entrepot) yang diperlukan oleh para pedagang yang berniaga ke Cina atau dari Cina.

Kemudian Hall menulis: ”(mengutip Wolters): ”Semua ini berobah selama Masa Sung Selatan (1127-1278). Ketergantungan mereka dari perdagangan laut menyebabkan pembukaan perdagangan dengan Nanyang dengan pemakaian kapal-kapal Cina dan kapal-kapal Cina itu mulai berdagang tanpa perantara lagi dengan bandar-bandar di Asia Tenggara. Misalnya ChauJu- Kua memberitakan pada tahun 1225, bahwa pedagang-pedagang Cina mengunjungi Jawa, sedangkan sebuah berita lain mengatakan bahwa mereka mengunjungi Teluk Siam. Ada beberapa negara lain yang mengikuti jejaknya dan kita dengar tentang beberapa pedagang dari Tamil dan Kairo yang berlayar ke Sumatra Utara secara langsung untuk mencari kapur barus”.

Kesimpulan apakah yang dapat kita ambil? Bahwa sebelum abad ke 12 perdagangan di Indonesia dan ke Cina kebanyakan ada di tangan para pedagang dan pelaut Indonesia sendiri. Hal ini dapat menjawab pertanyaan mengapa pecahan-pecahan keramik purba tidak ada pada situs-situs kuno (seperti di Palembang dan Riau). Karena orang Indonesia pasti memakai alat-alat tembikar buatan sendiri dan bila tiada tanah lihat (seperti di kepulauan Polinesia), penduduk memakai daun-daunan, kayu, bambu dan labu atau kerang laut38)

Adanya pecahan-pecahan keramik Cina yang purba belum berarti sudah ada permukiman Cina. Boechari39) pernah menunjukkan bahwa di Jawa terdapat pedagang-pedagang asing yang ikut serta dalam perdagangan internasional karena mereka disebut di dalam sebuah prasasti: ”Orang-orang Cham, Khmer, Thai, Burma, Srilanka dan orang-orang yang berasal dari berbagai daerah di India (yang disebut ”warga kilalan ”penduduk asing”). Kita dapat melihat bahwa di antara mereka belum ada orang Cina.

Airlangga yang menitah di Jawa Timur antara tahun 1019—1049 mempertahankan suatu politik keseimbangan kekuasaan dengan Sriwijaya. Di dalam suasana ini ia dapat mengembangkan perdagangan di laut. Orang-orang asing yang disebutkan di dalam prasastinya40) ialah : Kling, Aryya, Simhala, Pandikiria, Dravida, Campa, Remen, Kmir (dan pada tempat lain : Karnataka). Di sini pun tiada orang Cina. Rupa-rupanya pada waktu itu belum ada orang Cina yang sudah menetap, meskipun sudah ada beberapa pedagang Cina. Krom malah mengira bahwa perdagangan sudah dipegang oleh orang-orang Cina (Krom 1931 : 226). Tetapi bila ditemukan banyak sekali pecahan keramik pada satu tempat pada masa kemudian, maka hal ini menunjukkan bahwa sudah ada permukiman orang Cina yang disebut Kota Cina atau pecinaan.

2. Masalah hubungan-hubungan antara Jawa dan Sriwijaya.

Setelah kesimpulan bahwa memang ada bandar kuno pada pantai Utara Jawa Tengah, kita sekarang membicarakan hubungan-hubungan antara Jawa dan Sriwijaya. Pada umumnya Sriwijaya disebut sebagai kerajaan ” maritim ” dan Jawa sebagai kerajaan ”agraris”. Pandangan itu tidak dapat kami setujui. Karena: bagaimanakah sebuah kerajaan maritim dapat hidup tanpa suatu darah pertanian di pedalamannya? Atau bagaimanakah suatu kerajaan ”agraris” seperti kerajaan Sailendra di Jawa Tengah dapat hidup dan menjadi makmur dan membangun monumen-monumen yang megah tanpa hasil-hasil dari perdagangan lautnya? Karena bukan dari beras saja dapat diperoleh kemakmuran yang begitu besar.

Sumber-sumber yang dapat mengungkapkan masa yang silam terdiri dari prasasti-prasasti, yang kebanyakan ditemukan di Jawa Tengah pada abad ke 8 dan ke 9 pada daerah yang banyak candi dan arcanya. Tetapi hasil tanpa penelitian keramik pengetahuan kita yang hanya berdasarkan prasasti-prasasti itu mungkin tidak lengkap. Karena justru pecahan-pecahan keramik itulah yang dapat menambah bahan-bahan yang masih langka tentang kehidupan politik dan ekonomi di Jawa Tengah.

Ada juga suatu masalah yang menarik, yang selalu menggugah perhatian banyak orang sarjana: ialah perpindahan pusat kekuasaan secara mendadak dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Tetapi sebelum kita sampai kepada perincian-perincian, baiklah kami memberi suatu gambaran yang ringkas tentang perkembangan politik di Jawa Tengah antara tahun 732 dan 930.41)

Ada dua keluarga raja atau dua sayap dari keluarga raja yang bertitah selama dua abad. Raja yang paling awal hidupnya adalah Sanjaya seorang yang beragama Hindu yang menerbitkan sebuah prasasti pada tahun 732 M., ketika ia mendirikan lingga di Gunung Wukir. Beberapa tahun kemudian mulailah prasasti-prasasti Sailendra yang berlangsung sampai sekitar tahun 830 M. Berlainan dengan Sanjaya dan raja-raja yang dianggap sebagai penggantinya, mereka beragama Buddha. Mereka membangun candi Borobudur dan banyak candi yang lain. Para raja Sanjaya, meskipun hidup dalam keadaan terdesak, tetapi mereka tetap membantu dalam usaha pembangunan candi-candi keluarga Sailendra

Pramodhawarddhani, seorang putri dari keluarga Sailendra bersuamikan seorang pangeran dari keluarga Sanjaya, ialah Rakai Pikatan. Perkawinan ini mengakibatkan terhentinya kekuasaan para Sailendra di Jawa. Adiknya, Balaputra diusir dari Jawa setelah ia berperang dengan kakak perempuan dan suaminya. Ia menjadi raja di Suwarnadwipa. Namanya disebut di dalam sebuah prasasti tembaga yang ditemukan pada sebuah situs purba di wiharanya yang dibangun di Nalanda sekitar tahun 860 M.42)

Setelah Rakai Pikatan, ada beberapa raja yang lain lagi di Jawa Tengah sampai awal abad ke 10. Kemudian secara tiba-tiba setelah ada prasasti pada tahun 929 di Jawa Tengah, muncullah beberapa prasasti Raja Sindok di Jawa Timur. Beberapa sarjana sudah pernah mempersoalkan perpindahan secara tiba-tiba ini . Van Bemmele n43) berpendapat bahwa pernah ada satu letusan gunung yang ditempatkannya pada saat keraton Dharmawangsa diserang oleh raja Wurawari yang keluar dari Luaram. Schrieke44) berpendapat bahwa penduduk menjadi jemu karena harus terus-menerus memikul beban yang berat, ialah menjadi karyawan dalam pembangunan candi-candi. Maka mereka berbondong-bondong pindah ke Jawa Timur, dan hal ini akhirnya menyebabkan perpindahan keraton ke Jawa Timur juga. De Casparis45) berpendapat, bahwa karena ada perasaan takut terhadap para Sailendra yang telah diusir dari Jawa dan lagipula karena ada pertimbangan bahwa perdagangan akan lebih menguntungkan di Jawa Timur di delta sungai Brantas karena lebih dekat dari kepulauan yang menghasilkan rempah-rempah dan kayu-kayuan wangi, itulah penyebab perpindahan itu. Katanya :

”Para pedagang Jawa Timur pergi ke Indonesia bagian Timur untuk menukar beras dan beberapa hasil bumi yang lain dengan rempah-rempah dan cendana. Barang itu mereka angkut ke Sriwijaya, tempat mereka berjumpa dengan para pedagang asing. Barang mereka ditukar dengan barang-barang asing seperti emas, sutra, porselen dari Cina, pakaian dari India, kemenyan dari negara Arab dan sebagainya. Perdagangan ini membuat Jawa Timur makmur”. Demikianlah De Casparis.

Ada suatu hal yang De Casparis tidak melihat, ialah: seandainya ada rasa takut terhadap para Sailendra, bagaimana mungkin ada perdagangan antara para pedagang di Jawa Timur dengan Sriwijaya yang telah dikuasai para Sailendra sejak pangeran Sailendra, Balaputra, telah diusir oleh kakak perempuannya sendiri ialah Pramodhawardhani dan suaminya Rakai Pikatan pada tahun 856 M? (Casparis 1956). Lagipula Jawa dan Sumatra selalu bergulat untuk mendapat hegemoni di lautan dan monopoli perdagangan dengan Cina. Utusan-utusan mereka tidak pernah datang pada waktu yang sama, seperti pernah dicatat oleh Wolters46). Sriwijaya (She-li-fo-she) mengirim perutusan ke Cina dari tahun 670-742, Jawa (Ho-ling) dari tahun 640, 648 sampai ke tahun 666 dan kedua kalinya sebagai Ho-ling antara tahun 768— 818. Kemudian sebagai She-P'o dari 820 sampai ke tahun 873;Sriwijaya (San- fo- ts’i) dari tahun 904 - 983. Ada juga enam perutusan antara tahun 960 dan 988 . Kemudian ada perutusan dari Jawa pada tahun 992, tetapi tidak ada lagi selama seratus tahun, sedangkan dari Sriwijaya ada lagi antara tahun 1003 dan 1008.

Maka tidak adanya perutusan dari Jawa (873-992), jatuh pada masa perpindahan pusat kekuasaan serta masa pemerintahan raja Sindok dan raja-raja lain sampai ke Dharmawangsa. Sebab-sebab perpindahan itu adalah:

1) musibah alam atau2) sebab-sebab politik.

Boechari ( 1977) telah memperbincangkan masalah ini di dalam sebuah karangan. Ia sependapat dengan Van Bemmelen yang mengatakan bahwa sebabnya perpindahan pusat kekuasaan itu adalah letusnya Gunung Merapi. Tetapi ia tak sependapat tentang masa terjadinya musibah itu. Van Bemmelen menghubungkan musibah itu dengan ”pralaya”, ialah ketika keraton Dharmawangsa dimusnahkan pada tahun 1016/1017. Boechari menempatkannya sekitar 930, ialah ketika di Jawa Tengah prasasti-prasasti berhenti dikeluarkan secara tiba-tiba.

Kami sendiri sefaham dengan Van Bemmelen tentang letusan Gunung Merapi, tetapi sefaham juga dengan Boechari tentang waktu perpindahan keraton. Ada satu bukti: Candi Sambisari47) yang terletak di lembah Prambanan digali kembali pada tahun 1969 dari empat meter abu gunung berapi. Langgam hiasan pahatan dan arca-arca berasal dari masa Candi Prambanan dibangun atau sedikit lebih lambat. Ada beberapa petunjuk bahwa letusan gunung itu menutupi daerah luas antara Borobudur dan Prambanan (catatan dari beberapa kawan geolog).

Pada waktu letusan gunung Merapi itu banyak daerah subur, desa dan jalan dapat musnah dalam sekejap mata. Pada masa kini bila kita berjalan ke Borobudur setelah baru terjadi suatu letusan Gunung Merapi, kita dapat melihat betapa rusaknya jalan-jalan dan jembatan-jembatan oleh batu dan lava. Sekarang dengan peralatan yang modern jalan-jalan dan jembatan-jembatan dapat dibangun kembali dengan mudah, tetapi keadaannya lain pada abad ke 10. Jalan raya yang mungkin ada di sekitar Prambanan yang menghubungi ibukota kerajaan dengan bandar-bandar ramai di pantai Utara Jawa Tengah setelah musnah tetap dalam keadaan rusak. Bahwa memang pernah ada jalan raya dapat dibuktikan oleh prasasti Mantyasih, yang menyebutkan bahwa jalan harus dilindungi oleh para patih Mantyasih. Boechari berpendapat, bahwa jalan yang dimaksud itu adalah jalan raya yang menghubungi lembah Kedu dengan pantai utara liwat Parakan (Boechari 1976 : 9).

Pada hemat kami, ketika jalan raya itu musnah oleh letusan Gunung Merapi, maka para pangeran yang menjadi penguasa bandar-bandar di pantai utara Jawa Tengah, merasa bebas dari para raja di pedalaman, dan dapat berdagang dengan leluasa dengan Sriwijaya. Dengan demikian mereka tak perlu membayar sebagian dari hasil perdagangan itu kepada raja-raja di pedalaman. Raja-raja Sriwijaya masih tetap mereka hormati setelah Balaputra diusir dari Jawa , karena raja-raja Sriwijaya itu berasal dari keluarga raja Sailendra.

Raja-raja di pedalaman karena tak lagi menikmati hasil perdagangan itu terpaksa pindah ke Jawa Timur, tetapi menetapnya mereka di sana belum berarti bahwa mereka dapat mengembangkan perdagangan dengan kepulauan di sebelah timur pulau Jawa, yang menghasilkan rempah dan cendana. Ada kemungkinan besar bahwa para pangeran di pantai utara Jawa Tengah menghalangi kapal-kapal dari Jawa Timur untuk berlayar ke pulau-pulau itu . Kapal-kapal dari Jawa Tengahlah yang masih membawa komoditi ke Sriwijaya yang mengirim perutusan-perutusan ke Cina. Karena memang sejak tahun 873 tidak ada lagi perutusan dari Jawa. (tidak lama setelah Balaputra diusir dari Jawa). Terhentinya perdagangan antara Jawa dan Cina berlangsung sampai ke tahun 992 ketika seorang pedagang Cina sampai di Cina bersama tiga orang duta Jawa dan rombongannya.

Utusan pertama sejak lebih dari satu abad rupa-rupanya jatuh pada masa ketika Raja Dhannawangsa memperlihatkan agresinya lawan Sriwijaya. Seorang duta dari Sriwijaya yang kebetulan ada di Cina tak sempat kembali ke negerinya karena diduduki oleh tentara Jawa antara tahun 990—992. Para duta dari Jawa yang tiba di Cina pada tahun 992 mengatakan kepada tuan rumahnya bahwa negara mereka dan San- fo- ts'i selalu berperang.

Hilangnya satu abad dari medan perdagangan dengan Cina mungkin disebabkan oleh monopoli para pangeran di bandar-bandar Utara Jawa Tengah yang menjadi sekutu Sriwijaya. Inilah sebabnya pecahan-pecahan keramik berasal dari masa sekitar abad ke sepuluh sampai ke abad ke 17. Seandainya seluruh perdagangan itu pindah ke Jawa Timur pada abad ke 10 bersama

pusat kekuasaan, pecahan-pecahan itu tak akan memperlihatkan kesinambungan yang demikian.

KESIMPULAN

Banyaknya pecahan keramik pada sesuatu tempat berarti bahwa ada banyak penduduk dan mungkin sudah ada pecinaan.

Tidak adanya pecahan keramik pada abad-abad sebelum dinasti Sung ( 1127 - 1278) seperti misalnya di Sumatra tidak berarti bahwa tidak ada permukiman karena orang Indonesia memakai bambu, batok kelapa, kayu, labu air dan kerang untuk alat-alat rumah tangganya. Seperti pernah dikatakan oleh orang Cina tentang P'o-ni: karena tidak ada tanah liat penduduk memasak dalam bambu dan daun palem. (Krom 1931, h. 236).

Melihat kenyataan-kenyataan di atas, teranglah bahwa pecahan-pecahan keramik sangat berguna untuk menetapkan angka tahun situs-situs permukiman, bahkan untuk menemukan hubungan-hubungan dagang dan politik.

Pemakaian keramik lokal maupun asing pada upacara-upacara berarti bahwa penduduk Indonesia menganggap benda-benda itu sebagai penolak bahaya dan dalam hal keramik asing sebagai status-symbol.

CATATAN


1). Orsoy de Flines : 1946 1947, 1948, 1949, 1972.

2). Abu Ridho : 1977, 1978.
3). Van Heekeren : 1958, 1974.
4). Soejono, 1977.
5). Beberapa keterangan juga diperoleh dari "Marlavans in Indonesia"publikasi Himpunan Keramik Indonesia.

6). Van Heekeren, The Stone Age in Indonesia, h. 151.

7). Van Heekeren, The Bronze-Iron Age in Indonesia, h. 80-89; Urn cemeteries.
8). Bernet Kempers, 1977, pl. 175, 176 (Mendut) pl. 179. Prambanan. pl.177.
9). Bernet Kempers, Ancient Indonesian art, pol. 248. Arca perujudan seorang ratu Majapahit. Dari Candi Rimbi.
10). Kami bertanya; apakah abu jenazah raja dan ratu disimpan di dalam martavan atau pot-pot keramik asing yang lain seperti sisa-sisa badan para kepala suku di Kalimantan atau para raja di Sulawesi sebelum menjadi Islam. Soekmono dalam disertasinya "Candi. Fungsi dan Pengertiannya" (1976) berpendapat bahwa abu jenazah dilempar ke laut seperti di Bali, tetapi kami pernah melihat guci-guci abu jenazah para raja Kamboja di dalam istana raja di Phnom Penh. Maka timbullah pertanyaan pada kami apakah kebiasaan begitu ada juga pada raja-raja Majapahit? Jika begitu kita dapat mengerti mengapa arca perujudan raja di Masa Majapahit diapit oleh dua martavan. Mungkin abu jenazah disimpan di dalam guci (seperti di Sulawesi) jadi tidak di dalam kuil sehingga tidak ada abu manusia di dalam kotak berlubang sambilan yang ada di dalam sumur di bawah arca.
11). Uka Tjandrasasmita,: The Islamic antiquities of Sendangduwur h. 10. Tetapi mastaka di Senangduwur terbuat dan tembaga.
12). Mme Viviane Sukanda-Tessier ( 1977) h. 1128:Le triomphe de Sri en pays soundanais.
13). De Flines (1949) p. 37-3 8 : S. Adyatman. (1977 )
14). Abu Ridho (1977) , pl. 88.; Berita Penelitian Purbakala no. l (Demak) g. 122
15). Bernet Kempers, ( 1959 ), pl. 282.
16). De Flines (1950), h. 12. Adanya porselen yang halus di Bone menimbulkan kesan, bahwa Bone pernah menjadi pusat yang terpenting di
seluruh Sulawesi berabad - abad lamanya. Kami bertanya apakah toponim yang dieja oleh Orang-orang Cina sebagai P’o-Ni,yang diperkirakan harus dibaca sebagai Brunei di Kalimantan Barat— laut, mungkin Bone di Sulawesi Selatan. Juga deskripsi negara P’o-Ni cocok dengan keadaan di Bone. Misalnya: karena tidak ada tembikar mereka memasak dalam bambu dan daun palem; mereka mengirim surat yang terdiri dari daun kepada Kaisar Cina (Krom (1931)., h. 236. Raja memiliki armada yang ada 100 kapal perangnya. Krom (1931), h. 305. Mereka maju dalam hal berhitung dan akuntansi (Krom (h. 399).
Keterangan ini cocok dengan kenyataan bahwa: Orang Bugis sudah lama, malah berabad-abat lamanya menjadi pelaut, mereka memiliki aksara sendiri, dan naskah-naskah mereka disebut ”lontara”, artinya daun tal (semacam pohon palem). Akuntansi tak mengherankan dari bangsa yang berniaga dan pelaut. Masak dalam bambu dan daun masih dilakukan di Sulawesi.
Di dalam karangan Grace Wong (1978) tentang porselen biru-putih ada urutan nama bandar-bandar yang disinggahi kapal-kapal Cina ketika sudah ada jalur laut sebelah Timur:
ialah: San-yu, Ma-ri, Hai- dan (di Philippina), Bo-ni dan Mao-luo-ju (Maluku) dan di dalam berita lain: San-dao, MaTi-lu, Su-lu (di Philippina), kemudian: Dong-chong-gu-la (Tanjungpura?) atau Donggala?) Wan , nian-gang (P’o-ni), Wen-lao-gu (Maluku) dan Wen- dan (Banda?).
Kesan bahwa P’o-ni atau Bone diperkuat karena letaknya antara Sulu di Philippina Selatan dan Maluku.
17). Van Heekeren: (1958), h. 88.
18). Van Heekeren (1958) , h. 80.
19). Van Heekeren (1958) , h. 84. Noorduyn (1955) h. 92. Hadimuljono(1972) h.7. menyebutkan nama anumerta seorang Bone, ialah "La Tenrirawe Bongkangngeri Gucinna (yang tidur dalam gucinya. Dari Sejarah Wajo (1963) dan Sejarah Goa (1967) oleh A . A . Patunru.
20). Hadimuljono h. 12. Ia menyebutkan juga beberapa cara pemakaian yang lain lagi.
21). Nagarakertagama, bait 14:4, 5. Pigeaud 1960) I, h. 12. Hubungan dengan pulau Jawa mungkin sudah ada lebih dahulu, ialah pada masa raja-raja Hindu dan Buddha di Jawa Tengah (abad ke 8- abad ke 10) Orang dapat kesan bahwa dua inskripsi yang berbahasa Melayu kuno diterbitkan oleh raja-raja yang berdarah ”asing” yang berlum tentu
asal dari Sumatra, tetapi mungkin dari Sulawesi. Orang Bugis mungkin menjadi tentara sewaan di laut untuk raja-raja di Jawa . Mungkin ada yang kawin dengan putri-putri Jawa.
22). Lihat A.C. Kryut (1938), h. 422-494. Sulawesi suatu contoh yang baik sesuatu masyarakat yang telah berhasil mengembangkan pola sendiri dalam agama dan lembaga kenegaraan tanpa mengalami proses ”Hinduisasi”, dan konsep tentang dewa-dewa dan tentang tenaga sakti seorang raja asli mungkin seperti di Polynesia yang rajanya memiliki ”mana (tenaga yang seperti sakti).
23). Coedes: The Indianized States of Southeast Asia.
24). Krom (1934), De Casparis, (1956).
25). Braddell: Notes on Ancient Times in Malaya,
25). Braddell: Notes on Ancient Times in Malaya (1951)h. 1-27).
26). Moens, (1937).
27). M.C. Chand. Kertas Kerja pada "International Association of Historians on Asia (IAHA) di Yogyakarta (pada ”Sixth International Conference”).
28). Archaeological Research in Sumatra (1974)
29). Laporan Penelitian Arkeologi di Sumatra (1973).
30). Laporan masih dipersiapkan untuk Berita Penelitian Arkeologi.
31). Seperti orang P'o-Ni pada abad ke 10, Krom (1931) h.236.
32). Survai Sumatra Utara (1976), h . 14: ini mungkin tempat yang sama seperti yang dahulu dipakai oleh sebuah vihara (kebiksuan) Buddha Mahayana.
33). Biaro Bahal I . Survai Sumatra Utara g. 16. Bernet Kempers (1959) g. 223.
34). Ibukota Sriwijaya mungkin berpindah-pindah beberapa kali. Musibah alami atau penghancuran oleh musuh dapat mendesak para raja untuk mencari tempat kediaman yang lain; apalagi tetap tinggal pada satu tempat yang pernah mengalami musibah dianggap sial. Mungkin, seperti raja-raja di Jawa mereka pun percaya bahwa ada ”cyclus-cyclus” tertentu. Lihat Boechari (1977) yang menunjuk ke Schrieke (1957): Ruler and Realm in Early Java.
35).Laporan Penelitian Rembang (1957).
36).Krom (1931)h. 145. Coedes (1968)h. 90, 107, 301.
37).Krom (1931), h. 239, 240.
38).National Geographic Magazine, December, 1940, h . 745 ( di depan gambar berwarna) ”Bekal untuk di laut: umbi-umbi, buah-buahan, kacang-kacangan, ikan kering dan labu yang berisi air, memungkinkan
orang-orang Polynesia untuk hidup terus pada perjalanan yang dua bulan lamanya".
39). Boechari (1976), h. 7.
40). Krom, (1931), h. 264.
41). Inscripties uit de Çailendra-tijd.
42). De Casparis (1950), membandingkan pada halaman 133 daftar Sanjayavamça dengan Çailendravamça. Raja-raja Sanjaya disebutkan di dalam prasasti Belitung, 907 M . Krom (1.931 )h. 187.
43). Van Bemmelen (1947). Serangan kepada keraton Dharmawangsa dahulu ditetapkan oleh para sarjana pada tahun 1006 M., sampai Damais merobah angka tahun itu menjadi 1016/1017 Bulletin Ecola Française d'Extieme Orient (1952), h. 64: 2.
44) .Schrieke (1941) 1957 b.
45) .De Casparis : (1950) dan (1958) : Erlangga.
46) .Wolters (1967) h. 214.
47) .Sri Kusumobroto: ”Preliminary Note on Sambisari” (1969).

BIBLIOGRAPHY

Adiyatman — Lammers
 1977
- Martavans in Indonesia. Jakarta
Asmar — Bronson - Mundarjito Wisseman; 1975 - Laporan Penelitian Rembang. Jakarta.
Bemmelen, R.A. van
 1949
- The Geology of Indonesia Vol I. General Geology of Indonesia and adjacent Archipelagoes. The Hague
Bernet Kempers, A.J.
 1959
- Ancient Indonesia Art. Amsterdam, Cambridge, Masachusetts.
Bernet Kempers, A.J.
 1976
- Ageless Borobudur. Wassenaar
Boechari
 1976
- Some Considerations of the problem of the shift of Mataram's Center of Government from Central to East Java in the 10th century A.D. Jakarta.
Braddell, Dato Sir Roland
1951
- Notes on ancient times in Malaya JMBRAS Singapore.
Bronson - Wisseman
 1974
-
-
Archaeological research in Sumatra.
A preliminary report.
Casparis, J.C. de
 1950
 1956
 1958
-
-
-
Inscripties uit de Qiilendra-tjid.

Bandung.
Prasasti II. Bandung
Erlangga. Pidato pada penerimaan jabatan Guru Besar pada PTPG di Malang.

Coedes.G.
 1968
- The Indianized States of Southeast Asia. Kuala Lumpur, Singapore.
Hall.D.G.G.
 1970
- History of South East Asia. New York.
Hadimuljono
 1978
- "Sumbangan keramik asing bagi penelitian arkeologi di daerah Sulawesi Selatan" Jakarta. Lokakarya Arkeologi.
Heekeren, H.R. van

1972

The stone age of Indonesia. The Hague.

1958

The bronze-iron age of Indonesia The Hague.

Kusumobroto, Sri

Freliminary Note on Tjandi Sambisari. Ithaca 1969 pp. 1 - 4 .

Krom, N.J. 1931

Hindoe - Javaansche Geschiedenis's Gravenhage.

Kruyt, A.C. 1938

De West Toradjas op Midden Celebes. Amsterdam

Leur, J.C. van 1955

Indonesian Trade and Society. The Gague, Bandung.

Moens, J.L. 1974

Çrivijaya, Java en Kataha. Batavia

Noorduyn, J. 1955

Een achttiende eeuwse kroniek van Wadjo. s'Gravenhage.

Orsoy de Flines, E.W. van 1947

Oudheidkundig Verslag 1941-1947. Jakarta.

1950

Oudheidkundig Verslag 1948. Jakarta.

1949

Gids voor de Keramische Verzameling. Jakarta.

1972

Guide to the ceramic collection. Jakarta. Museum Pusat.


Pigeaud, Th 1960

Java in the fourteenth century. Vol.I-The Hague

Ridho, Abu 1977

Arti Keramik asingyang didapati di Indonesia bagi kegiatan arkeologi. Seminar Arkeologi. Cibulan, 2-6 Pebruari 1976. Jakarta.

The collection of foreign ceramic in the Museum Pusat. Oriental ceramics Volume 3. The world's great collections. Kodansha. Schrieke, B. 1957 ― Ruler and realm in Early Java, Indonesian Sociological Studies, part two pp. 3 — 267. The Hague

1957 The end of classical Hindu Javanese Culture in Central Java,Indon. Soc. studies, part two, pp. 287 - 301. The Hague

Soejono, R.P. 1977 ― Sistim-sistim penguburan pada masa prasejarah di Bali. Jakarta.(diss).

Soekmono 1976 ― Candi, Fungsi dan Pengertiannya (dissertation). Jakarta

Sukanda ― Tessier ― Viviane 1977 ― Le Triomphe de Sri en Pays Soundanais. Paris

Tjandrasasmita, Uka 1970 ― The South Sulawesi Excavation Project. Archaeological Foundation. Jakarta.

Wolters, O.W. 1967 ― Early Indonesian Commerce. Ithaca.

Wolters, O.W. 1970 ― The fall of Sriwijaya in Malay History. Kuala Lumpur Singapore.

Wong, Grace 1978 ― Chinese Blue and White Porcelain and its place in the maritime trade of China. in : Chinese Blue and White Ceramics. Singapore. Mrs. Satyawati Suleiman graduated at the Faculty of Letters, University of Indonesia in 1953, while working as a staff member of the Archaeological Service.

Except an interruption of 5½ years, when Serving as a Cultural Attache in India and the United Kingdom, she has been with the Archaeological Service until now. She has participated in several research projects as well as in national and international seminars and conferences. She is also the author of several books and articles on the ancient history and archaeology of Indonesia.

 ***


Arca perwujudan seorang Ratu Majapahit yang diapit oleh dua bejana Cina abad ke 14 dari Candi Rimbi Jawa Timur.


Portrait Statue of a Majapahit Queen flanked by two Chinese jars 14 th Century from Candi Rimbi.

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia karena dipublikasikan dan/atau didistribusikan oleh Pemerintah Republik Indonesia, berdasarkan Pasal 43 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta meliputi:

  1. Pengumuman, Pendistribusian, Komunikasi, dan/atau Penggandaan lambang negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli;
  2. Pengumuman, Pendistribusian, Komunikasi, dan/atau Penggandaan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh atau atas nama pemerintah, kecuali dinyatakan dilindungi oleh peraturan perundang-undangan, pernyataan pada Ciptaan tersebut, atau ketika terhadap Ciptaan tersebut dilakukan Pengumuman, Pendistribusian, Komunikasi, dan/atau Penggandaan;
  3. ...
  4. Penggandaan, Pengumuman, dan/atau Pendistribusian Potret Presiden, Wakil Presiden, mantan Presiden, mantan Wakil Presiden, Pahlawan Nasional, pimpinan lembaga negara, pimpinan kementerian/lembaga pemerintah non kementerian, dan/atau kepala daerah dengan memperhatikan martabat dan kewajaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.