Biografi Tokoh Kongres Perempuan Indonesia Pertama/Nyonya Badiah Muryati Goelarso

NYONYA BADIAH MOERJATI GOELARSO

Badiah Moerjadi Goelarso lahir pada tahun 1907 dengan nama Badiah Noerjati. Setelah ia menikah dengan pemuda Goelarso, pada tahun 1929 di Yogyakarta, namanya menjadi Badiah Moeryati Goelarso. Suami Badiah tersebut adalah seorang tamatan STOVIA.

Sebagai isteri seorang dokter, Badiah harus mengikuti suaminya ke mana ditugaskan. Beberapa bulan setelah perkawinannya, yaitu pada bulan Desember tahun 1929, Badiah Moerjati dan suaminya, Goelarso, meninggalkan Yogyakarta ke Semarang, karena Goelarso dipindahkan untuk menjadi dokter di Rumah Sakit Umum Semarang. Kepindahan Badiah ke Semarang, berarti juga meninggalkan berbagai kegiatan yang dilakukannya di Yogyakarta. Namun keadaan demikian tidak membuat ia sedih, karena kebahagiaan dalam perkawinan baginya adalah selalu berada di samping suami.

Bagi Badiah mengikuti suami bertugas di berbagai daerah cukup menyenangkan. Ia tetap bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang menarik minatnya di tempat tugas suaminya itu. Di Semarang, Badiah dan suaminya tinggal tidak sampai satu tahun. Karena suaminya Goelarso dipindahkan tugas ke Kalimantan Utara, menjadi dokter di daerah Bulongan, Berau dan Malinau.

Badiah Moerjati Goelarso sangat setia mengikuti suaminya bertugas. Selama berada di Kalimantan Utara, ia mengikuti suaminya bertugas ke daerah-daerah terpencil. Ia tidak merasa takut dan kesal bila perjalanan yang dituju mengandung resiko dan sangat melelahkan. Kadang untuk mencapai suatu daerah terpencil, mereka bisa memakan waktu sebulan bahkan lebih. Namun keadaan demikian tidak membuat Badiah Moerjati Goelarso menjadi jera. Malah ia tetap mengikuti perjalanan dinas suami, dan membantu suami dalam memberi bantuan kesehatan terhadap penduduk yang tempat tinggalnya terpencil.

Masa-masa mengikuti suami bertugas, bagi Badiah merupakan masa yang bervariasi dalam kehidupan perkawinannya. Karena pada waktu-waktu itulah ia merasakan suka dan dukanya hidup di samping suami. Masa perkawinan Badiah hingga kini (1989) telah melewati perkawinan emas. Kurang-lebih telah mencapai usia 60 tahun.

Pendidikan formal yang, dialami Badiah dimulai dengan masuk Holands Inlandsche School (HIS). Ia mulai menjadi murid Hollands Inlandsche School, pada waktu berusia antara 8 atau 9 tahun. Pada waktu Badiah Moerjati berusia 15 tahun yaitu tahun 1922 ia tamat dari Hollands Ilandsche School. Pada tahun yang sama, ia melanjutkan pendidikan ke Meisjes Kweek School di Salatiga. Meisjes Kweek School tersebut merupakan satu-satunya sekolah guru wanita di seluruh Hindia Belanda pada saat itu, sehingga mereka yang memasuki sekolah tersebut berasal dari berbagai daerah. Antara lain dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.

Selama di Maisjes Kweek School, Badiah merasakan hidup di asrama yang berlangsung kurang lebih 5 tahun. Pelajaran yang diperoleh Badiah dari Meisjes Kweek School tidak hanya mengenai ilmu pendidikan sebagai calon guru, tetapi juga belajar bergaul dengan teman-teman dari berbagai suku bangsa Indonesia. Dengan demikian ia dan teman-temannya saling mengenal kebudayaan mereka masing-masing dan juga menerima serta memberi apa yang mereka miliki.

Pendidikan Meisjes Kweek School dengan disiplin ketat, mempengaruhi perkembangan kepribadian Badiah. Ia menjadi seorang yang berdisiplin tinggi, yang tercermin dalam sikap-sikapnya. Selama mengikuti pendidikan di Meisjes Kweek School Badiah dan kawan-kawannya juga memperoleh pelajaran tentang rumah tangga, antara lain pelajaran masak-memasak jahit-menjahit dan membatik (batik tulis).

Meisjes Kweek School memberi pelajaran kerumahtanggaan, dengan maksud agar setelah tamat murid-muridnya tidak canggung menjadi ibu rumah tangga di samping sebagai guru. Dengan demikian ketika tamat dari Meisjes Kweek School tahun 1926 berarti Badiah telah mampu dalam pekerjaan rumah-tangga di samping kemampuannya untuk menjadi guru. Sebagai guru tamatan Meisjes Kweek School Badiah Moerjati ditempatkan di Lumajang Jawa Timur. Pada tahun 1928 ia pindah ke Yogyakarta untuk menjadi guru di Neutrale Meisjes School. Sementara itu hubungan dengan teman-temannya dari Meisjes Kweek School tetap terbina. Bahkan bersama teman-temannya ia membentuk persatuan. Pada waktu-waktu tertentu mereka mengadakan pertemuan yang bertujuan untuk mengobati rasa rindu ketika masa sekolah dulu.

Badiah Moerjati termasuk seorang wanita yang aktif berorganisasi. Keaktifannya tersebut tercermin ketika ia melanjutkan pendidikan di Meisjes Kweek School. Pada waktu Pengurus Besar Perkumpulan Jong-Java mengadakan propaganda, maka didirikanlah cabang Jong Java khusus wanita di dalam asrama Meisjes Kweek School. Pada tahun 1925 sampai dengan pertengahan tahun 1926 Badiah Moerjati yang menjabat sebagai ketua Jong Java cabang Salatiga, mengunjungi Kongres Jong Java. Dengan keaktifannya dalam berorganisasi ini banyak pelajaran dan pengalaman yang diperoleh Badiah.

Keaktifan Badiah Moerjati dalam organisasi semakin berkembang ketika-ia pindah ke Yogyakarta. Di Yogyakarta ia sempat menceburkan diri dalam berbagai organisasi. Di situlah Badiah Moerjati dapat berkenalan dengan beberapa tokoh Organisasi wanita, yang antara lain Ny. Kartowijono, Ny. Soekemi, Ny. Soenarjo Mangoenpoespito, Nyi Hajar Dewantoro, Ny. Soekonto. Kemudian Badiah Moerjati bergabung dengan mereka dalam kepanitiaan Kongres Perempuan, Indonesia yang pertama. Setelah kongres, dibentuk Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia. Badiah ditunjuk menjadi salah satu anggota pengurus dengan tugas mengelola majalah istri. Disamping itu ia pun mempunyai tugas menjadi pemimpin kepanduan Jong Java KURCACI.

Beberapa tahun setelah tahun 1928, kegiatan Badiah Moerjati dalam bidang sosial politik agak terhenti. Karena mengikuti suami yang berpindah-pindah tugas ke luar Pulau Jawa. Baru pada waktu suaminya dipindahkan kembali ke Pulau Jawa kira-kira pertengahan tahun 1935, Badiah aktif kembali dalam kegiatan sosial politik. Ia sempat mendirikan persatuan wanita di Karanganyar Jawa Tengah tempat suaminya bertugas. Perkumpulan itu diberi nama Sri Paniti, yang bertujuan sosial. Antara Jain bertujuan menambah keterampilan para ibu, serta memupuk persatuan di kalangan ibu.

Pada waktu isteri Bupati Karanganyar mendirikan organisasi ASIB (Algemene Steum Fonds voor Inlandsche Bihoeftigen), Badiah ikut sebagai pengurus. Tujuan organisasi tersebut adalah untuk menolong penduduk yang miskin dan tunawisma. Ketika Badiah Moerjati pindah ke Kebumen mengikuti suami bertugas, ia tetap meneruskan kegiatannya di ASIB. Di Kebumen ia mendirikan dan mengelola asrama untuk orang-orang miskin dan tuna wisma. Untuk kegiatan tersebut, Badiah mendapat subsidi dari pemerintah daerah.

Di Kebumen selain menjalankan kegiatan di ASIB, Badiah aktif pula dalam berbagai organisasi yang berlangsung antara tahun 1937 -- 1950. Kemudian Badiah juga menceburkan diri dalam organisasi perjuangan kemerdekaan. Pada zaman penjajahan Belanda yakni pada tahun 1937 -- 1941, Badiah Moerjati bersama teman-temannya sempat mendirikan organisasi wanita yang bertujuan sosial. Antara lain mendirikan sekolah Taman Kanak-Kanak, mendirikan kursus masak-memasak serta jahit-menjahit.

Pada masa pendudukan Jepang, berbagai perkumpulan dibubarkan. Untuk mengganti perkumpulan-perkumpulan itu terutama perkumpulan wanita, dibentuk Fujinkai. Badiah Moerjati termasuk salah seorang yang aktif dalam Fujinkai tersebut. Pada waktu itu sekolah-sekolah menengah ditutup dan murid-murid wanita tinggal di rumah. Atas permintaan orang-orang tua murid, didirikan kursus-kursus rumah tangga untuk menampung murid-murid wanita yang dirumahkan itu. Di samping mereka memperoleh kursus kerumahtanggaan, secara diam-diam juga diselipkan semangat perjuangan kemerdekaan. Badiah Moerjati Goelarso dan teman-temannya sangat bersemangat dan gencar dalam kegiatan tersebut.

Ketika kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno — Hatta, Badiah Moerjati terpilih sebagai anggota perwakilan rakyat Kabupaten Kebumen. Di samping itu ia diserahi tugas membentuk dapur-dapur umum di kota kabupaten dan kawedanan-kawedanan, yang kemudian diteruskan sampai ke keluruhan-kelurahan. Karena daerah Kebumen pada waktu itu menjadi status quo (perbatasan antara daerah pendudukan Belanda dan daerah Republik Indonesia), maka di Kota Kebumen itu dibentuklah sebuah pusat dapur umum dengan cabang-cabangnya (dapur-dapur pelaksana) untuk para pejuang pejuang yang menjaga dan mempertahankan daerah Kebumen.

Dapur umum yang dibentuk Badiah mempunyai 5 pasukan dapur, antara lain sebuah dapur khusus membuat lauk pauk tahan lama untuk dikirim ke garis depan. Sebagai ketua umum Badiah berkewajiban mengawasi semua pekerjaan dan menjadi penghubung dengan pihak pemerintah. Pada masa mempertahankan kemerdekaan tersebut, tidak sedikit para pejuang bangsa yang gugur. Sebagai pejuang garis belakang Badiah termasuk sibuk dalam mengurus mayat-mayat pejuang yang gugur.

Kesibukan Badiah tidak hanya itu saja. Ketika pemerintah menganjurkan penduduk Kebumen mengungsi, Badiah pun tidak tinggal diam. Sebagai isteri dokter, ia turut mengurus rumah sakit dan mengungsikan penderita-penderita yang sedang dirawat. Bila keadaan tenang kembali iapun sibuk membantu para pengungsi untuk kembali ke tempatnya. Kondisi demikian berlangsung cukup lama, namun Badiah tetap tekun dan bersemangat menjalankan tugasnya.

Pada waktu terbentuk sebuah badan oleh PMI untuk tukar menukar penduduk RI yang berada di daerah pendudukan Belanda dengan keluarga-keluarga bekas anggota KNIL, Badiah turut pula berpartisipasi. Ia menyediakan rumahnya yang cukup besar sebagai tempat bermalam bagi mereka yang akan meneruskan perjalanan ke Jakarta, atau sebaliknya ke Yogyakarta. Karena surat-surat mereka harus diperiksa oleh kedua belah pihak, maka mereka harus bermalam di Kebumen yang merupakan daerah tinggal Badiah Moerjati Goelarso.

Bila rombongan yang meneruskan perjalanan tersebut cukup banyak, Badiah tetap menyediakan tempat bagi mereka. Nampaknya partisipasi yang dilakukan Badiah tidak tanggung-tanggung. Ia tidak hanya menyediakan tempat saja, tetapi juga makanan. Bersama teman-temannya Badiah menyelenggarakan dapur umum untuk memberi makan para rombongan sesuai kebutuhan.

Pada waktu terjadi agresi militer Belanda II, rumah Badiah Moerjati dikepung oleh Belanda. Juga Rumah Sakit Kebumen yang dipimpin oleh suaminya bahkan suaminya sendiri pun ditawan hingga sore hari untuk diinterogasi. Keadaan demikian tidak membuat Badiah Moerjati merasa takut dan sedih. Ia berusaha menenangkan diri dan tetap berusaha membantu bekerja di rumah sakit.

Ketika diadakan perundingan penyerahan kedaulatan dan tentara Belanda harus mundur diganti dengan tentara Republik Badiah Moerjati Goelarso menyediakan rumahnya sebagai pelaksanaan perundingan untuk Kota Kebumen. Dalam perundingan itu hadir pejabat-pejabat sipil dan perwira-perwira tinggi dari kedua belah pihak. Dalam hal tersebut Badiah bersama teman-temannya pun mendapat tugas untuk membentuk panitia. Di Kota Kebumen tersebut, Badiah Moerjati bersama suaminya cukup banyak berperan dalam perjuangan bangsa. Kurang lebih 13 tahun mereka mengabdikan dirinya di Kota Kebumen dengan segala suka dukanya.

Sebagai orang yang mempunyai aktifitas tinggi, Badiah Moerjati sempat pula menggabungkan diri dengan Palang Merah Indonesia (PMI) yang dipimpin oleh lbu Sophie Sarwono. Ia bergabung dengan Palang Merah Indonesia, karena ingin meringankan penderitaan rakyat yang menjadi korban gerombolan DI TII yang pada waktu itu sedang merajalela. Badiah bersama teman-temannya, memberikan bantuan berupa makanan dan pakaian untuk para korban tersebut. Ketika berada di Tegal - Pekalongan mendampingi suaminya bertugas, Badiah juga aktif di Palang Merah Indonesia.

Ketika berada di Banjarmasin tahun 1952, ia pun tidak terlepas dari tugas yang diembankan padanya. Pada waktu itu Badiah mendapat tugas sebagai ketua Yayasan Usaha Kesejahteraan Ibu dan Anak (UKIDA), yang sebelumnya dijabat oleh Ny. Moersito. Badiah berusaha mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan tugasnya yang baru tersebut. Usaha kesejahteraan Ibu dan Anak (UKIDA) yang diketuai Badiah tersebut merupakan suatu badan yang melayani pemeriksaan wanita hamil dan anak-anak bayi hingga balita.

Selama di Banjarmasin Badiah berhasil membentuk Yayasan Kesejahteraan Ibu dan Anak di lima tempat. Rupanya masyarakat Banjarmasin telah menyadari kegunaan balai pemeriksaan ibu dan anak tersebut. Hal ini tercapai tidak terlepas dari usaha Badiah yang tidak pantang menyerah. Setiap tahun UKIDA yang diketuai oleh Badiah, mengadakan perlombaan bayi sehat. Kegiatan itu dapat ia lakukan berkat bantuan dari berbagai pihak. Bahkan UNICEF memberi sumbangan berbagai macam alat untuk kepentingan kegiatan yang diadakannya, karena UNICEF telah menyaksikan sendiri keberhasilan UKIDA di Kalimantan Selatan yang ia pimpin.

Badiah merupakan seorang wanita yang bertanggung jawab terhadap kegiatan yang ia lakukan. Setiap kegiatan baik yang bersifat sosial maupun politik ia usahakan hingga batas optimal. Badiah memang selalu melakukan kegiatan sosial dan politik secara bersamaan.

Ketika menjabat ketua UKIDA Badiah terpilih pula untuk menjadi anggota pengurus KOWANI. Selain itu ia juga ikut dalam kepengurusan asrama putri untuk karyawati-karyawati berbagai instansi. Rupanya di mana pun Badiah berada, ia selalu mengikuti berbagai aktivitas yang ada. Sehingga baginya tidak ada waktu yang terbuang percuma.

Pada tahun 1957 ketika Badiah Moerjati sudah menetap di Jakarta, kesibukan yang dijalankan sudah tidak banyak lagi. Ia lebih mengkonsentrasikan diri pada kegiatan yang bersifat sosial saja. Antara lain menjadi anggota pengurus koperasi di lingkungan tempat tinggalnya. Kemudian ia menjadi anggota pengurus Pusat Persatuan Kaum Ibu Kebayoran. Didalam Yayasan Bunga Kamboja, Badiah Moerjati Goelarso duduk sebagai komisaris untuk kelompok 110 yang berlangsung hingga tahun 1981. Sementara itu sebagai isteri dokter, dengan sendirinya Badiah menggabungkan diri dalam Ikatan Isteri Dokter Indonesia.

Pada saat ini, Badiah Moerjati Goelarso sedang menjalani masa tua, tidak banyak lagi kegiatan yang dapat ia lakukan. Ia kini mengalami penyakit lanjut usia, antara lain lututnya terasa sakit bila dibawa berjalan. Karena itu ia lebih sering berada di rumah. Sehari-harinya Badiah hanya beristirahat untuk menikmati hari tuanya.

Sebagai wanita yang aktif di masa perjuangan maupun sesudahnya, Badiah Moerjati Goelarso menyerahkan estafet perjuangan yang tak kunjung selesai ini kepada generasi muda. Generasi muda yang tidak lain terdiri dari kaum wanita pula, menjadi tumpuan harapan dari pejuang-pejuang terdahulu dalam meneruskan perjuangan untuk kejayaan bangsa dan negara.