Biografi Tokoh Kongres Perempuan Indonesia Pertama/Nyonya Siti Hajinah Mawardi
NYONYA SITI HAJINAH MAWARDI
Siti Hajinah dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1906. Ia merupakan putri seorang pengusaha batik yang terkenal bernama Haji Mohammad Narju. Saudara-saudara Siti Hajinah berjumlah 6 orang dan ia merupakan puteri yang ke-3. Masa kecil Siti Hajinah dilalui dengan riang gembira bersama-sama dengan saudara-saudaranya. Sebagai anak seorang pengusaha batik, Siti Hajinah merasa tidak mengalami kekurangan materi.
Ketika remaja Siti Hajinah telah mencenninkan seorang wanita yang cukup aktif di lingkungan pergaulannya. Ia termasuk wanita yang mempunyai pikiran cukup maju pada masa itu. Sebagai seorang wanita yang masih muda Siti Hajinah mempunyai anggapan, bahwa seorang wanita juga harus maju, dengan tidak mengabaikan kodratnya sebagai seorang wanita.
Siti Hajinah merupakan seorang wanita yang taat menjalankan ibadah dalam agamanya. Sebagai seorang muslim ia percaya bahwa seorang manusia yang telah dewasa wajib untuk menikah, dan jodoh bagi setiap orang ada di tangan Allah. Tidak terlepas dari kewajiban setelah dewasa Siti Hajinah melangsungkan perkawinannya pada tahun 1935. Pada waktu itu ia berumur 29 tahun.
Pemuda yang menjadi jodoh Siti Hajinah, bernama Mawardi Mufti berasal dari Banjarnegara, putera Haji Muhammad Mufti dan Murtiyah. Mawardi adalah seorang guru dan aktif di Muhammadiyah. Siti Hajinah bertemu dengan Mawardi ketika ia aktif juga di Aisyiyah yang merupakan Organisasi dalam ruang lingkup Muhammadiyah. Rupanya keaktifan mereka di Muhammadiyahlah yang mempertemukan jodoh mereka. Sejak menjadi isteri Mawardi, Siti Hajinah mencantumkan namanya menjadi Siti Hajinah Mawardi,
Perkawinan Siti Hajjinah dengan Mawardi cukup bahagia. Mereka dikaruniai 7 orang anak, yang bernama Harijadi, Rusdi, Darmadi, Parmadi, Kusnadi, Hartinah, dan Darmini. Kini 2 orang puteranya dan satu puterinya, yaitu Rusdi, Kusnadi, dan Hartinah telah meninggal. Bagi Siti Hajinah dan suami, putera-puteri yang mereka miliki merupakan harta yang sangat berharga. Mereka berusaha merawat dan mendidik putera-puterinya dengan baik dan penuh kasih sayang. Setelah putera-puterinya dewasa dan dan berumah tangga, satu persatu putera-puterinya tersebut berpisah dengan Siti Hajinah dan suami. Kini tiga orang puteranya menetap di Jakarta bersama keluarganya masing-masing, dan seorang puterinya menetap di Yogyakarta.
Siti Hajinah memperoleh pendidikan formal, dimulai dari masuk ke Hollands Inlandsche School (HIS) di Yogyakarta. Tamat dari Hollands Inlandsche School tersebut, kemudian Siti Hajinah melanjutkan ke Fur Huischoud School. Fur Huischoud School adalah semacam sekolah kepandaian putri (SKP). Dalam sekolah itu, Siti Hajinah Mawardi memperoleh pendidikan mengenai masak-memasak, jahit-menjahit, dan berbagai pendidikan lainnya yang berkaitan dengan kegiatan sehari-hari yang biasa dilakukan kaum wanita.
Tamat dari Fur Huischoud School, Siti Hajinah tidak melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Untuk selanjutnya Siti Hajinah hanya menjalankan pendidikan yang bersifat nonformal, dari orang tua maupun lingkungan sekitarnya. Dari orang tuanya yang haji, Siti Hajinah banyak mendapat pendidikan agama Islam, sehingga pengetahuan agama Islam yang ia peroleh cukup banyak. Siti Hajinah sangat interest dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan keagamaan. Pengetahuan dari Fur Huischoud School dan agama yang diperoleh Siti Hajinah dapat ia manfaatkan dalam pengabdiannya terhadap masyarakat.
Berkaitan dengan interestnya dalam hal keagarnaan (agama Islam). ia masuk menjadi anggota Aisyiyah yang merupakan organisasi wanita Muhammadiyah. Di samping bersifat keagamaan, Aisyiah juga bergerak untuk perjuangan bangsa. Pada tahun 1925 Siti Hajinah berumur 19 tahun. ia menduduki jabatan sekretaris Pimpinan Pusat Aisyiah. Sebagai sekretaris Pimpinan Pusat Aisyiah, Siti Hajinah berperan cukup aktif dalam perjuangan bangsa. Ia berusaha memberi semangat juang kepada para anggota Aisyiah, maupun kepada pejuang bangsa lainnya. Setelah menjabat sekretaris Pimpinan Pusat Aisyiah, Siti Hajinah tetap menduduki jabatan dalarn kepengurusan Aisyiah pada periode-periode berikutnya. Antara lain sebagai ketua Pimpinan Pusat Aisyiah, kemudian bendahara Pimpinan Pusat Aisyiah, dan terakhir sebagai penasihat Pimpinan Aisyiah.
Pada tahun 1928 ketika terbentuknya Kongres Perempuan Indonesia I, Siti Hajinah duduk sebagai anggota dalarn kepengurusan. Siti Hajinah duduk dalam kepengurusan kongres Perempuan Indonesia I, sebagai wakil dari Aisyiah. Pada waktu Kongres Perempuan Indonesia I tersebut , Siti Hajinah sempat pula menjadi salah seorang pembicara dalam kongres dengan judul makalahnya "Persatuan Manusia" . Siti Hajinah pada tahun 1928 itu berusaha 22 tahun. Pada usia itu ia tidak membuang kesempatan untuk berkeliling Indonesia dalam rangka perjuangan bersama-sama dengan para pejuang-pejuang Indonesia lainnya. Bagi Siti Hajinah dengan berkeliling Indonesia sangat menambah wawasannya. Ia menjadi mengenal tanah airnya yang tersebar di berbagai pulau. Di samping itu Siti Hajinah juga mengenal saudara-saudara setanah air alinnya.
Selain aktif dalam perjuangan, Siti Hajinah juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Antara lain ia mengajar agama Islam secara non formal terutama untuk kaum wanita. Kadangkala dalam mengajar, Siti Hajinah juga memberikan pengetahuan mengenai kepandaian putri yang dikaitkan dengan ajaran-ajaran Islam. Di samping mengajar agama Islam, Siti Hajinah aktif pula dalam persuratkabaran. Ia aktif di dalam surat kabar Soeara Aisyiyah dan menjabat sebagai ketua redaksi.
Surat kabar Soeara Aisyiyah yang dipimpin Siti Hajinah Mawardi, pada dasarnya menyuarakan ajaran Islam yang menjadi pedoman dalam kehidupan umat Islam. Dalam surat kabar Soeara Aisyiyah tersebut, Siti Hajinah Mawardi juga banyak memberikan tulisan-tulisan yang pantas dibaca oleh kaum wanita, antara lain mengungkapkan pokok pikirannya mengenai kaum wanita (terutama wanita Aisyiyah) dalam hidup beragama. Salah satu pokok pikirannya itu tercermin dalam tulisannya mengenai "kemajuan" (kemajengan").
Kutipan tulisan Siti Hajinah Mawardi mengenai "kemajuan" sebagai berikut. "Pembaca tidak salah, bahwa bangsa Jawa sekarang senang terhadap kemajuan atau senang maju. Tetapi sayang mereka belum mengerti benar apa yang dimaksud dengan kemajuan itu. Karena itu apabila mereka dilarang agar tidak bepergian atau berdandan (yang berlebihan), mereka akan menjawab, "Inikan jaman kemajuan". Bila disuruh menyapu lantai, mereka akan menggerutu, "Sudah maju masih disuruh nyapu". Apalagi bila diberi tahu bahwa ada tingkah lakunya yang tidak pantas. Seperti naik sepeda, potong polkah dan sebagainya. Mereka akan menjawab, "Kolot (kuno), Kolot!".
Sekarang sudah banyak wanita Eropa yang potong rambut (berambut pendek) lebih-lebih wanita-wanita Amerika. Pada hal rambut panjang (sanggul) itu "merupakan mahkota kecantikan wanita". Pepatah semacam ini sekarang tidak berlaku lagi. Dulu rambut yang indah itu merupakan kebanggaan. Karena wanita yang rambutnya sedikit berusaha untuk mengobatinya.
Menurut Siti Hajinah Mawardi dalam tulisannya itu kemajuan yang disebutkan di atas bertentangan dengan pergerakan kaum Aisyiah yang berdasarkan agama Islam. Menurut ia pergerakan Aisyiah mengajari penyucian hati. Karena itu sebaiknya kaum wanita terutama anggota Aisyiah perlu memakai kerudung.
Sebenarnya apa yang diungkapkan Siti Hajinah. dalam tulisannya tentang "kemajuan" itu, merupakan pokok pikirannya yang tidak setuju kaum wanita berambut pendek (memotong rambutnya). Ia mengharapkan kaum wanita terutama anggota Aisyiah berhati-hati, jangan cepat terpikat dengan sesuatu yang dianggap indah atau cakap.
Tulisan Siti Hajinah Mawardi lainnya yang cukup menarik, yaitu mengenai "Kewajiban Kita". Kutipan tulisan tersebut sebagai berikut : "Seperti kata seorang sarjana bahwa pengetahuan itu merupakan harta yang terbaik. Manusia mudah memperolehnya tanpa khawatir dicuri orang. Ilmu pengetahuan dapat diperoleh dengan belajar di sekolah. Sebelum sekolah anak-anak belajar dari orang tua dan teman-teman di sekitarnya. Karena itu menjadi seorang ibu itu tidak mudah, karena seorang ibulah yang akan memulai menggugah minat anak untuk belajar. Padahal permulaan inilah yang sulit, karena apabila salah akan berakibat fatal.
Seperti contohnya pada tanaman, akan kelihatan mana yang dirawat dengan baik dan mana yang tidak. Yang dirawat dengan baik pasti akan subur, sedangkan yang tidak dirawat akan mati. Demikian pula halnya pada seorang anak. Karena itu para kaum ibu perlu mengetahui dua hal : (1) Pengetahuan yang luas, dan (2) Rasa kemanusiaan dan kebangsaan. Dua hal tersebut bisa dipisah, karena orang yang pandai pun bila tidak memiliki rasa kemanusiaan/kebangsaan pasti tidak bahagia hidupnya. Demikian pula bila hanya memiliki perasaan saja tanpa pengetahuan juga tidak sempurna.
Sebuah rumah (maksudnya suatu rumah tangga) akan kelihatan susah atau senang, tergantung dari wanita yang menempatinya. Di dalam rumah itu wanita yang menjadi dasar kesenangan suami dan anak-anaknya. Agar di dalam rumah itu terasa nyaman dan bahagia, seorang isteri harus mengerti mengatur rumah. Menurut orang Belanda, kebahagiaan itu ada di dalam rumah itu sendiri. Hal demikian memang sudah menjadi kewajiban wanita. Hiasan rumah berupa gambar bunga-bungaan dan lain-lain menjadikan rumah tampak indah. Namun demikian harus disesuaikan dengan kondisi rumahnya, agar tidak menjadi cercaan orang yang mengerti mengatur rumah.
Kepada anak, seorang ibu (wanita) harus dapat menjadi teladan demikian juga terhadap pembantu rumah tangga yang biasanya hanya meniru perilaku majikannya.
Banyak orang dengan ketidaktahuannya, anak hanya dianggap mainan saja seperti boneka. Pada hal anak itu mempunyai nyawa. Karena itu sejak kecil anak harus dibimbing supaya kelak menjadi orang yang baik. Ibu merupakan orang yang setiap harinya dekat dengan anak, harus memperhatikan pergaulan anaknya dan menjaga agar tidak terjadi pertengkaran dengan temannya. Kebiasaan bertengkar pada anak-anak akan membentuk pribadi anak menjadi kurang baik.
Anak harus diajar berbicara yang jelas dan tegas. Diusahakan agar anak tidak bersikap lamban dan malas, karena sikap malas akan membentuk pribadi yang kurang baik pula. Bila anak menyakiti atau menyiksa binatang, harus dilarang, karena perbuatan itu dapat membentuk pribadi anak menjadi kejam. Bagi orang tua yang memiliki anak lebih dari satu tidak boleh pilih kasih: Jika salah seorang anaknya mengadu, harus diberi pengertian. Kalau tidak akan menjadi kebiasaan yang tidak baik. Masih banyak lagi kewajiban seorang ibu dalam hidup berumah tangga.
Tulisan Siti Hajinah Mawardi tentang "Kewajiban Kita" merupakan suatu peringatan terhadap kaum wanita agar dapat menjadi seorang ibu yang baik. Wanita dianggap orang yang mempunyai peranan dalam membentuk kebahagiaan rumah tangganya. Siti Hajinah merupakan seorang wanita yang selalu menjunjung kodrati wanita, namun demikian ia juga berpandangan, bahwa seorang wanita harus pula mempunyai wawasan luas. Hal ini dapat diperoleh wanita dalam keaktifannya di lingkungan masyarakat, maupun belajar secara formal.
Siti Hajinah Mawardi mempunyai keaktifan tidak hanya di ruang lingkup Aisyiah, tetapi juga di luar lingkungan Aisyiah. Antara lain ia aktif di BP4 (Badan Penasehat Perkawinan Perselisihan dan Perceraian), GOWII (Gabungan Wanita Islam Indonesia), BMOIWI (Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia). Dalam Badan Penasihat Perkawinan Perselisihan dan Perceraian (BP4), Siti Hajjinah mula-mula menjadi anggota kemudian menjabat sebagai ketua periodik dan selanjutnya sebagai penasihat. Dalam Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWJ), Siti Hajinah duduk sebagai anggota. Demikian pula dalam Gabungan Organisasi Wanita Islam Indonesia (GOWII), ia duduk sebagai anggota. Keaktifan Siti Hajinah Mawardi dalam berbagai kegiatan sosial merupakan suatu ujud dari kecintaannya terhadap bangsa dan tanah air Indonesia.
Bagi Siti Hajinah Mawardi beberapa aktivitas yang pernah ia lakukan pada masa-masa lalu merupakan pengalaman yang sangat berharga dalam kehidupannya. Ia merasa pengalamannya itu sangat bermanfaat dalam kehidupan yang ia jalani hingga hari tuanya. Pada masa menjelang tua, Siti Hajinah Mawardi paling banyak melakukan aktivitas dalam mengajar mengaji. Hari-hari tuanya diisi dengan mengajar mengaji di rumah, dan sesekali di luar rumah.
Tahun semakin bertambah demikian pula dengan usia Siti Hajinah Mawardi, ia telah tua. Kini aktivitas dalam mengajar mengaji tidak dapat ia lakukan lagi, karena ia sudah mulai pelupa di samping kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan lagi. Namun demikian tempat tinggalnya di Jalan Agus Salim 28 A Yogyakarta, kadang kala tetap dipenuhi oleh mereka yang belajar mengaji. Bapak Mawardi, suami Siti Hajinah, masih mampu untuk mengajar mengaji bagi mereka yang ingin belajar, sehingga kegiatan sehari-hari Siti Hajinah Mawardi diisi pula dengan menemani suaminya mengajar mengaji.
Pada masa tuanya kini, kehidupan materi Siti Hajinah Mawardi dan suaminya bergantung dari hasil pensiun pak Mawardi yang sebelumnya pemah menjadi guru sekolah. Di samping itu tentu pula dibantu oleh anak-anak mereka, sehingga Siti Hajinah Mawardi dan suaminya tidak merasa kekurangan. Lagi pula kehidupannya, sekarang lebih mengarah pada hal-hal yang bersifat akhirati. Hal yang bersifat duniawi tidak terlalu menjadi perhatiannya, terutama dalam hal materi.
Siti Hajinah Mawardi merupakan profil seorang wanita cukup gigih dalam mencapai keinginannya. Sebagai seorang wanita. pengabdiannya terhadap bangsa dan negara, telah ia tunjukkan dalam beberapa aktivitas yang dilakukan pada masa perjuangan maupun pada masa selanjutnya. Ia merupakan salah seorang wanita Indonesia yang dapat menjadi teladan bagi generasi penerus.