Bumiku Yang Subur oleh A. Damhoeri
Bab 5: Raksasa itu tumbang, rimbapun bertumbangan

5. Raksasa itu tumbang, rimba pun bertumbangan.

Ada sebatang pohon yang amat besar. Dahan-dahan dan ranting-rantingnya banyak. Buahnya seperti buah embacang. Tetapi ini bukannya embacang, mungkin keluarga dari embacang. Di desa kami nama pohon ini 'taeh'. Sehingga tempat ini pun dinamakan Taeh pula.

Embacang ialah sejenis mempelam juga. Buahnya bulat dan berserabut. Ketika masih putik banyak getahnya tetapi enak dijadikan ulam pemakan nasi. Dan Taeh buahnya agak kecil dari embacang dan lebih bulat. Rasanya tidak semanis buah embacang.

Tetapi raksasa yang bernama si taeh ini batangnya sudah berlubang. Sudah tentu batangnya sebagai penyangga pohon yang puluhan ton beratnya itu semakin lemah. Dan pada suatu hari sampailah ajalnya. Batangnya yang besar itu roboh ke tanah. Namun tempat itu dinamakan juga oleh orang kampung dengan Taeh. Untungnya dekat tempat itu ada lagi sebatang taeh yang tidak sebesar taeh yang pertama.

Dulu tempat itu dijadikan tempat berteduh oleh orang-orang yang pergi ke hutan. Jauhnya kira-kira seperempat jam perjalanan dari desa kami,- desa Lurah Bukit.

Sebelah bawahnya mengalir batang Mangkisi. Airnya mendesau-desau sepanjang siang dan malam. Memecah kesunyian rimba. Memercik gembira kian kemari di sela-sela batu. Di sela-sela batu itulah banyak ikannya.

Dari pinggir batang Mangkisi itu mendakilah tanahnya sampai ke lereng sebuah bukit yang jauh sebelah atasnya. Ada kira-kira setengah kilo meter jauhnya. Tanahnya subur.

Itulah dulu bekas ladang gambir Tu' Layau, nenek moyang kami. Gambirnya beberapa batang masih ada. Bekas-bekas pondok tempat 'mengampo' gambir itu masih ada. Disana sini terdapat ngalau-ngalau kecil yang dijelujuri akar-akar dan urat-urat batang beringin.

Sekarang bekas ladang gambir itu sudah menjadi rimba kembali. Semak belukarnya amat rapat sehingga sukar untuk dimasuki. Orang merasa takut dan ngeri untuk menjelajah daerah rimba itu. Sebab pada lazimnya rimba itu banyak didiami oleh berbagai binatang buas. Juga ular. Binatang buasnya yang paling ditakuti ialah harimau alias macan. Ularnya yang paling besar ialah: ular sanca. Kalau sudah lanjut umurnya ular sanca itu bisa mencapai sebesar batang pinang malahan ada yang sampai sebesar pohon kelapa. Hiiiih, sungguh mengerikan!

Selain itu binatang-binatangnya ialah: babi. Babi termasuk warga hutan yang paling banyak sensusnya. Jenis binatang ini termasuk perusak yang nomor wahid. Bila malam tiba mereka datang berombongan. Dan hancur musnahlah singkong, pisang atau apa saja yang ditanam penduduk desa dalam kebunnya.

Itulah kini yang menyelimuti lereng bukit yang tidak berapa tunggang itu. Berbagai jenis kayu, sulur-suluran dalam berbagai bentuk dan tingginya tumbuh dengan suburnya.

Tetapi kayu-kayuan ini hanya baik untuk dijadikan kayu api. Untuk mendapat kayu yang dapat dijadikan ramuan harus masuk hutan lebih jauh lagi. Apalagi mencari kayu yang terbilang baik yang bernama 'banio'.

Berat juga pekerjaan mengolah pekayuan itu. Kayu yang sudah layak dijadikan pekayuan di tebang. Kemudian di potong-potong. Lalu dinaikkan keatas galangan. Diatas galangan itulah kayu itu di arit. Untuk dijadikan tonggak, papan, dan pekayuan lainnya.

Sesudah siap dibawalah ke desa dengan jalan menjunjungnya diatas kepala. Heran kita melihat tenaga anak arit itu. Pekayuan seberat itu dengan seenaknya dijunjung diatas kepala dan dibawa dalam jarak berkilo meter.

Jadi di bekas tanah peladangan Tu' Layau itu semak belukar yang rapat yang ada. Pohon yang agak besar hanya satu-satu. Berjenis-jenis pula nama-nama kayu yang tumbuh dalam rimba belukar itu. Yang Lis ketahui tidak berapa macam, antaranya: jirak, palangeh, laban, kasai-kasai, sapek, mahang, bangalan, cemantung, kubung, juluk-juluk hantu, damang, kandung, kangkung musang, puar, d.l.l. Antaranya terdapat pula petai dan jaring (jengkol), cempedak dan durian.

Sifat-sifat kayu itu bermacam-macam pula.

Damang, kayunya keras, tidak lurus, tetapi gampang dibelah baik sekali dijadikan kayu api.

Kandung, kayunya lunak tidak baik dipakai untuk ramuan. Biasanya kayu itu dijadikan membuat perangkap harimau.

Jirak, kayunya lurus-lurus baik untuk membuat pagar.

Cemantung, daunnya luou, sebelah bewarna hijau dan sebelah yang lainnya bewarna putih.

Demikianlah setiap jenis kayu itu mempunyai sifat yang berbeda-beda.

Ada lagi sebangsa suluran yang namanya 'unak' (onak). Onak ini berduri yang kait mengait. Dan puluhan akar-akaran, suluran yang menjerait di pohon-pohon kayu. Ada sejenis akar yang besar. Kalau tumbuhnya disini, maka ujungnya berada kira-kira lima puluh meter dari tempat tumbuhnya. Kadang-kadang bentuknya seperti seekor ular besar.

***

Lalu tibalah hari mainnya. Suatu permainan yang sudah disusun papa dan mak dengan rapi. Kami hanya mengetahui ketika permainan itu akan dimulai.

Dan supaya jangan meragukan jalannya kisah ini awal permainan ini dimulai kira-kira tiga atau empat tahun yang lalu. Ketika itu Lis masih duduk di kelas III S.D. Jadi apa yang sudah diceritakan diatas tadi berlakunya ialah setelah beberapa tahun kemudian sesudah apa yang akan di kisahkan berikut ini.

Sebenarnya kisah ini sudah pernah juga kami kisahkan. Yang bercerita ialah Uda Men. Tetapi entah apa sebabnya cerita itu tidak sampai kepada masyarakat. Atau dengan kata lain: Bukunya tidak jadi diterbitkan. Dan sekarang Lis yang peranan untuk mengisahkannya kembali. Sebab soal-soal pembangunan dan ini di bidang pertanian sangat penting artinya bagi pembangunan bangsa.

Dan marilah kita mulai!

Malam itu mak asyik memasak-masak di dapur. Ia dibantu oleh beberapa orang perempuan tetangga kami. Dua ekor ayam yang gemuk-gemuk sudah disembelih. Kami hanya melihat saja ingin tahu.

Kami bertiga mengadakan diskusi kecil.

"Barangkali papa atau mak akan ber ulang tahun," kata Uni Des.

"Ah, tak mungkin." bantah Uda Men. "Rasanya tak ada antara papa dan mak yang ber ulang tahun..."

"Ya, antara kitapun tidak,...."

"Mungkin papa dan mak ada ber nazar,...."

Selain membuat sambal-sambal mak juga membuat kolak dengan nasi putih. Yang dimaksud dengan nasi putih disini ialah beras ketan yang di kukus kemudian digelimangkan dengan santan.

"Mak mau kenduri?" tanya Lis yang tak dapat lagi menahan hati.

"Ya, mak mau mengadakan kenduri besaaaar,..." jawab mak dengan senyumannya yang khas.

"Kenduri apa?"

"Lihat saja besok. Kalian semua boleh ikut. Bukankah besok hari Minggu dan kalian tidak sekolah?"

"Ya,...ya,..."

Semalaman kami diliputi teka teki yang tak dapat jawabannya yang pasti.

Besok paginya kami lekas-lekas bangun. Papa dan mak juga sudah bersedia-sedia. Gaya papa bukan main. Ia memakai celana tebal usang tapi kuat, baju kaus lusuh, pakai topi, sepatu karet dan di pinggangnya terselip sebilah parang. Laksana seorang pahlawan yang akan maju ke medan tempur saja.

Semua kami mendapatkan tugas. Ada yang membawa cerek dengan cangkir, ada yang membawa bungkusan, dan entah apa lagi. Pokoknya: tak ada yang berlenggang kangkung saja.

Lalu kamipun berangkat. Tujuan rupanya ialah ke Taeh. Disana ada sebuah batu besar yang datarannya luas sebagai batu ampar. Disanalah semua pembawaan kami dikumpulkan. Beberapa orang laki-laki sudah menunggu kami disana. Rupanya mereka sudah duluan berangkat. Semuanya lengkap dengan alat perkakasnya kebanyakan membawa parang. Tetapi ada juga yang membawa kapak. Huuh, sebagai suatu angkatan perang yang sudah siap untuk maju ke medan perang.

Uda Men barangkali sudah mendapat angin juga. Ia ada pula membawa sebuah parang.

Beberapa orang laki-laki datang pula menyusul. Semuanya terdiri dari kaum keluarga kami juga dan tetangga-tetangga.

"Barangkali kita sudah cukup." kata papa sambil melihat jam tangannya. "Marilah kita mulai!"

"Bismillah," ujar papa dan mulai membabatkan parangnya. Itu upanya sebagai tanda bahwa pekerjaan sudah boleh dimulai. Tebangan pertama itu disusul oleh laki-laki yang ada itu. Kira-kira ada sepuluh orang banyaknya. Semuanya itu tidak di upah. Kepada mereka nanti hanya diberi makan dan minum serta rokok. Begitulah semangat ke gotong royongan yang masih bersemi di desa-desa. Kabarnya pada zaman dahulu semangat gotong royong itu lebih kuat lagi.

Misalnya si A. ingin hendak membangun rumah. Tiang-tiang rumahnya dan pekayuan yang lain sudah berserakan di jalan untuk ditarik ke perumahannya. Lalu setiap orang yang lewat di jalan itu menarik tiang-tiang itu seberapa disanggupinya. Tanpa diperintahkan, tanpa mendapat upah. Semakin terkenal orangnya, semakin baik pergaulannya semakin kuat dorongan ke gotong royongan itu.

Uda Men ikut pula membabat semak itu. Setiap beberapa tetak robohlah sebatang. Menebangnya harus ada pula taktiknya. Tidak ditetak dengan tepat tetapi miring.

Kian lama daerah yang sudah ditebang semakin luas juga. Lis melihat ada juga antara mereka yang punya siasat hebat juga. Ia menetak pohon-pohon yang kecil-kecil tetapi tidak sampai putus atau rebah. Hanya di takuk-takuk saja. Kemudian dipilihnya sepohon yang agak besar. Tetapi condongnya harus ke tumpak belukar yang sudah di takuk-takuknya tadi. Pohon ini ditebangnya sampai roboh dengan bahana yang gemuruh. Dan ketika batang yang besar ini roboh dibawa lalunya tumpak yang sudah di takuk tadi dengan iringan suara yang gemuruh.

Sebelum tengah hari sudah luas daerah yang ditebang pohon-pohonnya. Disana sini sudah bergelimpangan pohon besar kecil, ber tumpang tindih.

Menebang pohon yang besar tidak dengan parang tetapi dengan kapak. Raksasa yang sudah berdiri dengan tegap dan kukuhnya selama bertahun-tahun kini harus takluk kepada tangan manusia. Ibarat dalam peperangan. Musuh yang tidak melawan itu harus bertekut lutut, kalah dengan tidak bersyarat.

Dalam pada itu mak sudah menyediakan nasi dan gulainya. Tengah hari pekerjaan dihentikan dan semua yang bekerja itu lalu makan. Waaah, enak sekali makan mereka tampaknya. Kamipun ikut merasakan bagaimana nikmatnya makan sesudah bekerja dan dibawah sungkupan langit. Berleleran keringat kami karena makan besar.

Menjelang pukul empat sore barulah pekerjaan berhenti. Ratusan pohon besar kecil sudah tiarap ke bumi. Terbukalah sebuah daerah yang cukup luas. Tetapi pekerjaan belum berakhir. Itu baru permulaannya. Dan kelanjutannya akan semakin berat serta berbagai-bagai coraknya.

Dan penebangan itu belum selesai pula. Harus dilakukan pembabatan beberapa kali lagi sampai dapat luas yang di rencanakan.

Sebelum mereka pulang sore itu orang-orang yang bekerja itu minum pula sekali lagi. Dan makan kolak dengan sepulut. Huuh, lain pula sedapnya!


. // .