6. Apa isinya kantong plastik itu?

Ketika Lis pulang dari sekolah hari itu 'dangau' sangat sepi. Suara adikku yang biasanya meramaikan rumah tidak kedengaran. Suara papa dan mak tidak ada pula. Lis makan sendirian. Lis amat lapar pulang dari sekolah. Rupanya sesudah makan alat pendengaran bertambah peka. Lalu terdengarlah suara-suara. Lalu Lis carilah arah suara-suara itu. Rupanya semuanya berkumpul dibawah sebatang manggis kecil di muka dangan ditepi sawah.

Semua tangan sibuk bekerja. Malahan si Ris kecil ikut bekerja. Lis memperhatikan apa yang dikerjakan mereka.

Dimuka mak teronggok se gunduk tanah kering yang sudah bercampur dengan pupuk kandang. Yang dimaksud dengan pupuk kandang ialah tahi lembu atau tahi kerbau yang sudah kering. Tanah dengan pupuk kandang itu diaduk sampai rata. Itulah yang terlonggok dimuka mak.

Disamping mak ada pula seonggok kecil kantong plastik. Dua buah sudutnya sudah dibuang sehingga terjadi lubang kecil pada sudut menyudutya. Kantong plastik itu diisi dengan tanah bercampur pur pupuk itu kira-kira tiga perempatnya. Kemudian kantong yang sudah berisi tanah dan pupuk itu disiram dengan air. Mak lalu menancapkan sebatang anak kopi yang masih kecil kedalam setiap kantong plastik itu. Kemudian disusun rapi-rapi ditegakkan dibawah pohon manggis itu. Sudah banyak juga yang tersusun. Taksiran Lis sudah ada ratusan kantong.

"Apa ini, mak?" tanya Lis. Adikku yang lincah menjawab:

"Uni tidak tahu? Ini kopi....."

"Bukan kopi tetapi anak kopi,..." tukas Lis. Adik marah Lis disiramnya dengan tanah. Ia sedang mengisi kantong dengan tanah. Akhirnya Lis terlibat pula dengan kesibukan mereka. Lis membantu memasukkan tanah bercampur pupuk itu kedalam kantong-kantong plastik. Tahulah Lis bahwa mak sedang membuat pembibitan kopi. Anak kopi itu nanti akan ditanam di ladang kami. Demikianlah caranya membuat bibit kopi.

Tidak lama Uda Men pulang pula dari sekolah. Iapun ikut membantu kami.

Pada zaman Gubernur Jenderal Van Den Bosch, yaitu pada pertengahan abad ke: sembilan belas, Pemerintah Belanda melakukan tatanaman paksa pada rakyat. Tidak sedikit hasilnya bagi Pemerintah Belanda. Pada masa itu orang membuat bibit kopi tentu belum seperti sekarang. Sebab kantong plastik belum ada pada masa itu. Namun kopi yang ditanam pada masa itu ada yang masih hidup dalam zaman ini. Begitulah lamanya sebatang kopi yang sehat dapat berumur lama.

Dan bagaimana pula nanti kopi yang akan ditanam oleh papa dan mak ini?

Bibit kopi itu harus disiram setiap hari. Meletakkannya hendaklah di tempat yang kelindungan, tidak boleh kena panas.

Kata mak: begitulah caranya membuat bibit kopi. Sebab kalau dibeli tentu akan banyak pula harganya. Nah, kalau sanggup membuatnya kenapa harus dibeli? Hebat juga jalan pikiran mak ini. Dan anak kopi itu dapat saja dicari dalam kebun kopi orang lain yang sudah ada.

Ketika kami asyik membuat bibit kopi itu terjadi juga sedikit kelucuan. Rupanya Uda Men yang mula-mulanya ikut membantu kemudian sudah duduk saja nongkrong dan memperhatikan kami bekerja.

Uda sudah menaksir jumlah bibit kopi yang dibuat mak itu lebih dari 2.000 batang banyaknya. Aduuuh, jika separo saja nanti dari bibit yang disediakan mak yang menjadi maka akan didapat .... seribu batang kopi. Jika sebatang kopi rata-rata memberi hasil kira-kira 5 kilo saja dalam sebulan maka akan berhasil 1.000 x 5 kg atau 5.000 kg atau lima ton. Dan jika harga kopi diambil paling rendah saja Rp 500,- per kilo nya akan diterima harganya dalam sebulan dua setengah juta rupiah. Waaah, bukan sebuah jumlah yang sedikit. Itu baru perkiraan yang minimal baik jumlah tanamannya dan harganya.

Ah, tentu papa takkan menolak untuk membelikan Men sebuah Honda Civic untuk berulang ke sekolah. Alangkah enaknya!

Uda Men sungguh amat asyik dengan lamunannya. Dia sedang ber khayal sebagai sudah mengendarai Hondanya di tengah jalan, dan ngebut dengan kecepatan 60 km se jam.

Hai, anak perempuan itu, buta atau tulikah dia? Seenaknya saja menyeberangi jalan sedang Men sedang lewat dan menambah gas untuk mencapai kecepatan 70 kilo se jam.... Oh, harus dielakkan anak bandel itu supaya jangan kena tabrak. Kalau tidak salah-salah bisa berurusan dengan polisi dan di tahan dalam penjara. Oh,... Uda Men memutar-mutar tangannya sebagai mengurangi gas dan kakinya menekan kemuka untuk menekan rem. Tubuhnya agak membungkuk untuk menjaga jangan sampai terjadi tubrukan yang hebat dan merenggut jiwa manusia......

Tetapi sial : Uda Men jatuh terjerembab terjatuh keatas tumpukan kantong plastik yang baru saja di isi dengan anak kopi.

"Hai Men, ada apa ini?" tanya mak sedikit jengkel. Dan Uda kembali ke alam kesadarannya.

"Men mengantuk, yaaa? Men mimpi yaaa?" tanya mak bertubi-tubi sambil membenahi kantong-kantong yang sudah berantakan itu. Ya, memang Uda Men bermimpi dan ber khayal dalam setengah tidur. Seibarat seorang penjual cendol yang menjadi kaya dan menyepakkan periuk cendolnya. Atau seorang yang berkhayal membeli kuda dan terjatuh dari atas batang kelapa.
Dengan malu Uda menceritakan apa yang menjadi lamunannya sebentar itu. Mak dan kami tertawa gelak-gelak.

"Belum apa-apa uda sudah berkhayal membeli Honda dengan hasil penjualan kopi," kata Uni Des dengan tawa cemooh. "Pada hal kopinya belum ditanam...."

"Sedang dia hanya ikut menonton saja," sambung Uni Des lagi.

"Tetapi kalau bibit ini sudah ditanam di ladang kita dan kemudian dipelihara baik-baik bila sudah berbuah maka khayalan Men itu akan menjadi kenyataan," kata mak. "Tetapi untuk sampai kepada waktu itu banyak yang harus dikerjakan dan menanti sampai tiba masanya. Tanah ladang harus di olah, bibitnya harus ditanam, kemudian dipupuk dan setelah tumbuh mesti disiang. Ladangnya harus diberi pagar jika tidak akan dihancurkan oleh ternak-ternak yang berkeliaran. Semuanya akan menelan biaya, tenaga dan tempoh. Kalau tidak dipelihara baik-baik jadinya akan kembali menjadi semak belukar.

Tetapi kalau dipelihara baik-baik ladang itu akan menjadi harapan tempat bergantung.....

Tetapi bila sudah berbuah dan mengeluarkan hasil, tidak Honda saja yang akan dapat, malahan membeli mobilpun bisa. Atau mendirikan gedung. Atau membiayai sekolah Men sampai ke Universitas walau Universitasnya berada di Amerika...."

Kami semua manggut-manggut membenarkan kata-kata mak. Apa yang dikatakan mak itu benar semuanya, 'tempat harapan bergantung....' .....

. / / .