Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960/Bab 4

Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960  (1993) 
Tim Penyusun Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960
Bab IV - Manusia dan Masyarakat

BAB IV

MANUSIA DAN MASYARAKAT


4.1 Pengantar

Manusia tidak mungkin lepas dari hidup bermasyarakat. Sementara ia tidak mungkin melepaskan diri dari masyarakat itu, ia tetap saja seorang manusia yang memiliki kepentingan-kepentingan pribadi, yang mungkin selaras dan barangkali juga berbenturan dengan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, dalam hubungan manusia dan masyarakat akan terdapat dua corak hubungan yang utama, yaitu keserasian/keselarasan dan konflik. Hubungan manusia yang selaras dengan masyarakat, misalnya, akan melahirkan citra manusia yang cinta dan mengabdi pada tanah air ataupun citra manusia yang mengabdi pada keluarga sebagai unsur terkecil dalam masyarakat. Sementara itu, konflik dalam hubungan manusia dengan masyarakat akan menampakkan citra manusia yang memberontaki kemapanan atau tradisi yang ada dalam masyarakat ataupun citra manusia yang resah terhadap situasi masyarakat.

Patut dicatat, di tanah air pada awal abad kedua puluh mulai bangkit semangat pergerakan nasional yang pertama. Kebangkitan pergerakan nasional, yang antara lain ditandai oleh berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908, dan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928, dapat dikatakan memiliki gemanya dalam kehidupan sastra awal abad ini. Semangat cinta tanah air, semangat patriotisme dicoba dikobarkan melalui sajak-sajak oleh sejumlah penyair. Oleh karena itu, dalam puisi sebelum kemerdekaan akan cukup banyak hadir citra manusia yang patriotik, yang cinta dan mengabdi kepada tanah airnya, seperti tampak dalam sajak-sajak Mohammad Yamin, misalnya "Tanah Air". Cukup banyak pula citra manusia yang terbuka mata hatinya ketika menyaksikan penderitaan rakyat yang terjajah lalu berusaha memperjuangkannya.

Setelah kemerdekaan Indonesia tercapai, citra manusia yang berpihak dan bersimpati kepada rakyat kecil masih juga tampak dalam puisi Indonesia. Rasa simpati kepada rakyat kecil dapat juga dilukiskan oleh penyair dengan menggambarkan rakyat yang menderita dalam puisi. Sekitar tahun-tahun kemerdekaan pun, sajak-sajak yang mengobarkan semangat patriotik masih tampak, misalnya "Pahlawan Tak Dikenal" karya Toto Sudarto Bachtiar dan "Krawang—Bekasi" karya Chairil Anwar. Semua itu menunjukkan bahwa citra manusia yang patriotik cukup mewarnai dalam hubungan manusia dengan masyarakatnya sebagaimana digambarkan oleh para penyair dalam sajak-sajaknya. Berikut ini akan diungkapkan citra manusia apa saja yang tampil dalam hubungan manusia dengan masyarakat itu dalam puisi Indonesia tahun 1920—1960. Dari data yang dikumpulkan, puisi yang mengungkapkan citra manusia dalam hubungan manusia dengan masyarakat terdapat 46 sajak.

4.2 Citra Manusia yang Patriotik

Kerelaan berkorban untuk bangsa dan negara serta penyerahan diri yang penuh pada tanah air adalah wujud konkret pengabdian pada masyarakat, yang pada umumnya tumbuh karena adanya keselarasan dalam hubungan seseorang dengan masyarakatnya. Dari sejumlah puisi tahun 1920—1960 yang mengemukakan masalah hubungan manusia dan masyarakat terdapat 25 sajak yang mengungkapkan citra manusia yang patriotik.

Sajak Hamka berikut ini, "Cintaku", memperlihatkan cinta si aku lirik pada tanah airnya:

....
O, kampungku, o halamanku, o kotaku,
O, tanah tempat darahku tertumpah ....
Aku cinta, sungguh aku cinta,
Aku tak dapat mendustai diriku.
Aku coba mendustai diriku, o ibu,
Aku coba melupakan dikau ... Tapi, ah!
Aku kikis, dan kau tetap terlukis,
Aku lupakan, dan kau tetap teringat,
Ia dalam hati, oh sahabat, sebab itu dia dibawa mati.

....

(Sunyi Puja, 1948)

Kecintaan si aku lirik pada tanah airnya melahirkan penyerahan diri yang penuh sehingga ia rela memberikan segala-galanya untuk tanah airnya. Dengan demikian, citra manusia yang terbaca dalam sajak "Cintaku" Hamka adalah manusia yang patriotik, yang bersedia mengorbankan jiwa raganya untuk tanah airnya.

Citra manusia yang cinta tanah air itujuga terdapat dalam sajak Mohammad Yamin "Tanah Air":

O, tanah, wahai pulauku
Tempat bahasa mengikat bangsa,
Kiiingat di hati siang dan malam
Sampai semangatku suiam dan silam;
Jikalau Sumatera tanah mulia
Meminta kurban bagi bersama
Terbukalah hatiku badanku rida
Memberikan kurban segala tenaga,
Berbarang dua kuunjukkan tiga
....

(Suryadi AG., 1987a: 25—27)

Dari larik-larik terakhir bait yang dikutip di atas terlihat kesediaan mengorbankan diri yang tiada tara untuk tanah air si aku lirik ('.../Berbarang dua kuunjukkan tiga'). Pengorbanan diri pada tanah air itu disertai bayangan bahwa pada akhirnya akan tercapai masa yang gemilang, seperti terbaca di bait terakhir:

....
Dengan lambatnya seperti tak'kan sampai
Menghalirlah ia hendak mencapai
Jauh di Sana teluk yang lampai;

Di mana dataran sudah dibilai
Tinggallah emas tiada ternilai.

(Suryadi AG., 1987a: 25—27)

Indonesia sebagai tanah air yang mulia dan jaya, yang padanya si aku lirik berikrar setia, juga terbayang dalam sajak Mohammad Yamin, "Indonesia, Tumpah Darahku":

....

Bangsa Indonesia bagiku mulia
Terjunjung tinggi pagi dan senja,
Sejak syamsiar di langit nirmala

Sampaikan malam di hari kelam
Penuh berbintang cahaya bulan;
....

Selama mentari di alam beredar
Bulan dan bintang di langit berkisar
Kepada bangsaku berani berikrar;
....

(Suryadi AG., 1987a: 27—29)

Cita-cita dalam suatu masyarakat yang belum tercapai mengakibatkan masyarakat atau anggotanya menjadi resah. Akan tetapi, keresahan itu akhirnya pupus karena adanya secercah harapan bahwa cita-cita itu. kemerdekaan itu pada saatnya akan datang, seperti diungkapkan Armijn Pane dalam sajaknya "Bintang Merdeka":

Dari jendela aku meninjau,
Bayangan pohon menggelap di mukaku,
Memagar hati dan pandanganku,
Hati mengeluh bertambah rusuh.

Mata menembus ke tempat jauh,
Bintang gemerlap di kelir putih,
Hati pun lega, mengimbau harapan,
Tenaga bertambah hendak berjuang.

Tegap dada korbankan tenaga,
Tembus keluh dan rusuh,
Tujukan mata ke tempat tujuan,
Di sana bersinar bintang merdeka.

{Gamelan Jiwa, 1960)
Obsesi kemerdekaan yang menyala-nyala—yang banyak terdapat dalam sajak-sajak Indonesia periode 1920—1940—adalah pertanda api patriotisme, semangat cinta tanah air yang berkobar-kobar di dada para penyair kita. Kecintaan yang dalam pada tanah air itu melahirkan rasa duka si aku lirik yang dimunculkan penyair ketika menyaksikan penderitaan rakyat, seperti tampak dalam sajak A. Hasjmy, "Tanah Ibuku:"

Di mana bumi berseri-seri,
Ditumbuhi bunga kembang melati,
Itulah dia Tanah Airku.
Tetapi:
Di mana bumi bermandi duka,
Dibasahi airmata rakyat murba,
Di situlah tempat tumpah darahku.

(Suryadi AG., 1987a: 196—197)

Tokoh lirik lain dari penyair yang sama menyaksikan penderitaan rakyat itu semakin bulat tekatnya untuk berjuang demi Ibu Pertiwi. Penderitaan rakyat, nestapa tanah air, menjadi cambuk bagi pemuda untuk mewujudkan kemerdekaan yang telah membayang, seperti terbaca dalam larik-larik sajak "Sumpah Setia":

—Satu lagi yang Ibu cemaskan,
Takut anakku berpatah hati,
Waktu menghadapi cobaan zaman,
Dalam menuju tanah tepi—

"Percayalah Ibu, percayalah Bunda,
Dengarlah sumpah sekali lagi:
Kami pemuda akan bekerja
Berpantang mundur walau sekaki."

(Dewan Sajak, 1941)

Pemuda pejuang yang perkasa, yang siap sedia menyibakkan masa kegelapan bangsanya menjadi masa kegemilangan tanah airnya, juga terbayang dalam sajak Samadi "Angkatan Baru":

Lihat, lihatlah wajah jilah berseri-seri tersenyum simpul,
Lihat, lihatlah barisan berleret-leret penuh dengan semangat baru,
Bernyanyi berlagu girang gembira kerja bersama,
Bernyanyi berlagu girang gembira berjuang,
Menuju persatuan dan kejayaan,
Kejayaan bangsa dan tanah air Indonesia.
Demikianlah kukhayalkan angkatan baru yang lagi dibentuk.

(Senandung Hidup, 1941)

Dapat dikatakan, penderitaan yang menyelimuti rakyat, masa kegelapan yang membayangi tanah air karena berada dalam belenggu penjajahan, menjadi obsesi yang menggugah para penyair masa sebelum kemerdekaan. Rustam Effendi, misalnya, lewat sajaknya "Mengeluh" menghadirkan sosok manusia yang mencita-citakan kemerdekaan negerinya, kebebasan rakyatnya, seperti terbaca dalam larik-larik berikut.

Bilakah bumi bertabur bunga,
disebarkan tangan yang tiada terikat,
dipetik jari, yang lemah lembut,
ditanai sayap kemerdekaan rakyat?

(Percikan Permenungan, 1953)

Sosok manusia yang mengangankan masa gemilang tanah airnya disertai kerelaan berkorban untuk tanah airnya membayang pula dalam sajak Hamidah, "Dengarkan...!":

Inilah yang beta nanti
Moga datang sinar nyaman
Dari balik gunung yang diam
O, Puspa berserilah dalam pelukan pagi.

(Suryadi AG., 1987a: 207—208)

Penderitaan rakyat yang terbayang-bayang, entah itu karena situasi penjajahan ataupun situasi lain, mengakibatkan banyak tokoh lirik yang larut dalam semangat perjuangan—perjuangan untuk kemerdekaan, untuk kehidupan baru yang lebih cerah. Paling tidak, situasi zaman telah mengilhami bara api perjuangan, seperti terbaca dalam sajak Asmara Hadi, "Hidup Baru".

Hidup baru berkobar dalamku
Segala indah dalam pandangan
Hidup zamanku jadi ilhamku
Zaman yang penuh perjuangan.

(Pujangga Baru, V/1, Juli 1937)

Keinginan berjuang untuk satu cita-cita mulia, pada gilirannya, melahirkan sosok manusia yang mengabdi secara penuh tanpa mengharapkan pamrih. Pengabdian yang dilakukan secara penuh itu ibarat perbuatan seorang penabur, yang senantiasa menaburkan benih tanpa memetik hasilnya. Seandainya ada hasil yang dapat dipetik, itu hanyalah kebahagiaan batin karena telah berjasa untuk masyarakat luas. Demikian yang terungkap dalam sajak Asmara Hadi, "Kami Penabur":

Kami bekerja di padang masa
Menabur benih cinta
Yang nanti akan senantiasa
Semerbakkan wangi bahagia-dunia

Tapi kami hanyalah penabur
Bila dunia berbahagia nanti
Kami sudah lama berkubur
Tiada dapat merasai lagi

Sungguhpun begitu kami ikhlas
Bekerja sekarang di padang masa
Kami tiada harapan balas
Bahagia kami ialah berjasa

(Pelopor Gerindo, April—Mei 1937)

Tahun-tahun 1940—1960 merupakan tahun-tahun revolusi yang membutuhkan pengorbanan sekaligus semangat berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan, mengisi, dan mempertahankannya. Kurun waktu tersebut juga merupakan ujian terberat bagi bangsa Indonesia yang baru saja memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1945. Oleh karena itu, berbagai bentuk ekspresi perjuangan dapat ditemukan, baik secara fisik maupun nonfisik.

Di antara para penyair yang muncul sekitar kurun waktu itu, antara lain, adalah Chairil Anwar, Rosihan Anwar, Usmar Ismail, B.H. Lubis, Amal Hamzah, Anas Ma'ruf, Bung Usman, Rendra, Ajip Rosidi, dan Subagio Sastrowardoyo. Pikiran-pikiran, ide-ide yang mereka lontarkan mencerminkan perjuangan, pengabdian, dan sekaligus ketidakpuasan mereka terhadap kondisi yang ada.

Pikiran yang terungkap dalam sajak-sajak para penyair periode 1940—1960 memperlihatkan solidaritas, pengorbanan, dan ketabahan masyarakat Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Semangat pengabdian yang tergambar dalam sajak-sajak yang muncul ketika itu terlihat sebagai nafas patriotisme dan solidaritas, seperti terungkap dalam sajak-sajak Chairul Anwar, Rosihan Anwar, dan B.H. Lubis, ataupun penyair-penyair lain yang hadir pada masa itu.

Dalam "Krawang-Bekasi", misalnya, Chairil Anwar dengan berapi-api menggambarkan perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Para pahlawan yang telah gugur seolah-olah tetap hidup menyaksikan para generasi muda meneruskan cita-cita perjuangan mereka demi tanah air tercinta. Mereka yakin betapa besar nilai pengorbanan yang diberikan, yang hanya dapat dirasakan dan dinilai oleh mereka yang masih hidup, seperti terbaca dalam sajak Chairil Anwar berikut ini.

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
Tidak bisa teriak merdeka dan angkat senjata lagi

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdekap hati

...

Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4—5
ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

(Kerikil Tajam, 1959)

Kegairahan bangsa Indonesia pada semangat perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan dan "ketidakbebasan" juga tercermin dalam puisi-puisi periode 1940—1960, terutama dalam puisi-puisi 45. Salah satu sajak yang memperlihatkan kegairahan perjuangan itu adalah "Untuk Saudaraku".

UNTUK SAUDARAKU



Setelah saudara bersusun madah
Tiada di hemat sanjungan puja
Merdu didengar buai nyanyian
Asia Raya jadi junjungan

Sudikah saudara periksa kembali
Biarpun bengis dibongkar hati

Sungguhkah diri pecinta bangsa
Terasa ke dalam terbayang luar?

Bukan sahaya permainan kata
Benar lantaran keyakinan jua
Hingga tak segan bila ketikanya
Hendak dikorban sekalipun jiwa.

(Jassin, 1969: 32)

Gaya ironi Rosihan Anwar yang amat sederhana dalam sajak itu adalah usahanya membangkitkan kesadaran masyarakat Indonesia yang "terbuai dengan propaganda busuk Jepang". Rosihan Anwar lewat sajak itu menggugah bangsa Indonesia yang kala itu "mabuk" dalam mimpi "Asia Timur Raya" dengan menyindir "benarkah kita mencintai bangsa?". Selanjutnya, tentu saja tidak hahya sampai di situ, tetapi jawaban yang lebih konkret adalah perjuangan dan kerelaan berkorban untuk nusa dan bangsa.

Gairah yang sama terlihat juga dalam sajak "Kisah di Waktu Pagi" yang mengisahkan semangat bekerja dan berjuang bangsa Indonesia lewat bidangnya masing-masing. Sajak "Lukisan" yang menggambarkan semangat kebersamaan dalam berjuang meraih kemerdekaan juga melukiskan gairah yang sama.

LUKISAN


Prajurit muda tiada dikenal
Walaupun engkau tidaklah tahu
Tapi di hati kutanam janji
Bersaudara kita semenjak kini

Mari bersama menyusun kemenangan!
Lamalah sudah bangsa menanti ....

(Jassin, 1969: 30)

Solidaritas yang digambarkan Rosihan Anwar dalam sajaknya itu merupakan solidaritas seorang individu terhadap perjuangan bangsanya. Artinya, si aku lirik dalam sajak tadi tidak hanya tinggal diam, menunggu kejayaan para pahlawannya, tetapi turut berjuang meraih kemenangan.

Berbeda dari solidaritas yang dilakukan oleh individu-individu atau masyarakat kebanyakan, solidaritas mereka tidak langsung diungkapkan secara fisik, tetapi diekspresikannya secara verbal. Selanjutnya, ekspresi yang terbaca dalam karya mereka merupakan renungan dan pandangan mereka terhadap masyarakat dan realitas yang mengelilingi mereka, seperti yang terbaca dalam sajak Usmar Ismail berikut ini.

KITA BERJUANG


Terbangun aku, terlonjak duduk
Kulayangkan pandang jauh keliling
Kulihat hari ’lah terang, Jernihlah falak,
Telah lamalah kiranya fajar menyingsing

(Jassin, 1969: 40)

Demikian pula sajak B.H. Lubis berikut ini.

RINDU


Dia dahulu telah kunanti
Saat gemilang mulia ini
Telah kutahu tentara perkasa
Akan menghunus pedang,
Menyerbu mati
Melintas lautan, memutus penjajahan

(Jassin, 1969: 59)

Kedua sajak di atas menyiratkan solidaritas para penyair, khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya, terhadap perjuangan bangsanya. Dalam sajak pertama, si aku lirik, secara simbolis, mengungkapkan solidaritas dan keinginannya turut berjuang membela kehormatan tanah airnya. Si aku lirik menggugah kesadaran bangsanya agar bangun dari tidur dan membuka mata terhadap nasibnya sendiri. Demikian juga sajak kedua. Dalam sajak itu si aku lirik menggugah kesadaran dan solidaritas masyarakat Indonesia terhadap perjuangan bangsanya. Kerelaan berkorban demi perjuangan mengusir penjajahan dari bumi tercinta merupakan bentuk untuk mencapai kemenangan.

Bukan hanya kerelaan berkorban untuk mencapai kemerdekaan, kesiapan dan semangat mempertahankan diri juga diperlukan untuk memelihara dan menjaga kemerdekaan itu, seperti dilukiskan Chairil Anwar dalam sajaknya "Cerita buat Dien Tamaela" yang penggalannya demikian:

Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama

Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,

Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.

{Deru Campur Debu, 1959)

Semangat perjuangan yang sejati tidak pernah padam. Keinginan untuk bertahan dalam kemerdekaan membuat semangat perjuangan tetap berkobar meskipun para pejuang itu tidak tahu bagaimana nasib bangsa ini kelak. Kesetiaan seorang pejuang adalah keteguhan hati pada cita-cita kemerdekaan, seperti terlihat dalam sajak berikut ini.


Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
Kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu ....
Waktu jalan aku tidak tahu apa nasib waktu!

(Kerikil Tajam, 1959)

Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia tercapai, keadaan masih saja suram. Situasi yang porak-poranda terjadi di sana-sini. Namun, bangsa Indonesia umumnya bersikap tabah menghadapi situasi yang demikian itu. Ketabahan bangsa Indonesia ini diungkapkan para penyair periode 1940—1960,di antaranya Rendra melalui sajaknya "Balada Sumilah."

Balada Sumilah mengisahkan ketabahan Sumilah dalam menghadapi berbagai cobaan hidup, meskipun telah menjadi korban fitnah dan kehilangan orang yang dicintainya. Ketegaran Sumilah membela kehormatannya ketika hendak dinodai serdadu Belanda dan akhirnya membunuh serdadu Belanda yang akan menodainya itu, dapat dikatakan merupakan simbol perjuangan bangsa Indonesia yang berhasil mempertahankan kemerdekaannya dari upaya Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Dengan demikian, tokoh Sumilah dalam sajak Rendra menggambarkan citra manusia yang mempertahankan martabat dan kemerdekaannya:

-Daku Sumilah daku mendukung duka!
Belanda berbulu itu membongkar pintu
dikejar daku putar-putar sumur tapi kukibas dia.
-Duhai diperkosanya dikau anak perawan!
-Belum lagi! demi air darahku merah: belum lagi!
Takutku punya dorongan tak tersangka
tersungkur ia bersama nafsunya ke sumur.
-O terolek kulitmu lembut berbungakan darah
koyak-koyak bajumu muntahkan dadamu
lenyaplah segala karna tiada lagi kau punya
bunga yang terputih dengan kelopak-kelopak sutra.
-Belum lagi! Demi air darahku merah; belum lagi.

(Balada Orang-Orang Tercinta, 1957)

Selain tema patriotisme, tema-tema kesabaran dan ketabahan banyak diangkat oleh penyair-penyair yang tergolong ke dalam "angkatan penerus", yaitu para penyair yang muncul setelah Chairil Anwar. Penyair itu pada umumnya mengangkat ratapan dan penderitaan sekaligus ketabahan rakyat Indonesia menghadapi kenyataan pahit yang menimpa, seperti terbaca dalam sajak berikut ini.

ANCAMAN



Kehidupan kosong
panas gurun yang hampa jiwa
namun mengancam
aku kecut dan tinggal terancam

Sendu terus lewat bersama, tapi lahir
duniaku yang sudah cair

(Suara, 1962)

Dalam sajak Toto Sudarto Bachtiar itu, si aku lirik yang dalam keadaan terancam akan tersekap dalam kehidupan yang tidak memberi harapan, tetap tabah dalam menjalani kehidupan seperti apa adanya. Bagi si aku lirik, kehidupan itu tidak mungkin berlangsung hanya dengan setumpuk khayalan karena dalam kehidupan yang penuh khayalan ia justru tidak bakal dapat melepaskan diri dari ancaman. Baginya, meskipun hidup ini penuh ancaman, bila manusia meyakini bahwa akan lahir kehidupan yang lebih baik, yang lebih menjanjikan harapan, dan lebih leluasa, persoalan-persoalan akan ditemukan jalan keluarnya.

Pada masa Jepang tema ketabahan tidak terlihat secara eksplisit. Ketabahan yang muncul pada sajak-sajak periode itu berkaitan dengan semangat perjuangan dan kerelaan berkorban, seperti terdapat dalam puisi berikut.

KEYAKINAN


Sekalipun dibanting seluruh tubuh
Disergap dari segenap penjuru
Pedih memar lahir dan batin

Namun jiwa tetap berani
Tiada gentar yakin ’lah hati
Selama masih nyala di dada
Alnur pegangan pada Illahi
Maha adil, Maha Kuasa!

(Jassin, 1969: 38)

Dalam sajak Rosihan Anwar itu, ketabahan menghadapi berbagai cobaan dan keyakinan akan kemenangan yang akan datang oleh si aku lirik disatukan dengan keimanan yang kokoh atas kekuasaan dan keadilan Tuhan. Ketakutan baginya merupakan sesuatu yang sia-sia karena masih ada yang lebih berkuasa daripada manusia. Oleh karena itu, bila keyakinan masih ada di dada dan pegangan iman tiada lepas, kemenangan akan datang juga atas kehendak Illahi. Pandangan semacam ini terlihat juga dalam sajak B.H. Lubis.

SIAP SEDIA



Matamu nanti kaca saja,
Mulutmu nanti habis bicara,
Darahmu nanti mengalir berhenti,
Tapi kami sederap mengganti
Terus berdaya ke masyarakat jaya.

(Jassin, 1969: 106)

Dalam sajak itu diungkapkan semangat dan tekad generasi penerus yang akan melanjutkan perjuangan para pendahulunya untuk mengantar bangsa dan negara ke arah kemenangan dan kejayaan abadi.

Tema-tema ketabahan banyak ditemukan dalam sajak-sajak antara 1945 hingga 1950-an. Lebih-lebih, pada masa antara 1945 hingga 1950-an situasi sosial ekonomi Indonesia masih penuh tantangan sehingga diperlukan ketabahan menghadapinya. Toto Sudarto Bachtiar lewat salah satu sajaknya melihat kemiskinan di mana-mana:

KESAN



jenis suara peri mengiang
hanya lagu orang-orang yang malang
dalam pengembaraan di bawah bintang
mengalir dari tiap sempat celah jendela
biar tak bertanggal hari, makin terkenang
kapak putih burung-burung dara
membawa cecah kedamaian dalam salju angin selatan
kapan hilang kedamaian

(Etsa,1958)

Sajak Toto yang lain, "Kepada Si Miskin", terlihat rakyat yang masih dirundung kemiskinan. Di tengah-tengah kemiskinan itu si aku lirik merasa sepenanggungan dengan mereka, seperti terbaca berikut ini.

KEPADA SI MISKIN



Rumah-rumah terlalu rendah
Dan tanganku hanya bisa menggapai
Di antara ruang tak berudara
Di mana keluh mengapung-apung
Takut mengguratkan fajar yang salah
Dan perjalanan masih jauh
Tapi antara kami
Tak ada yang memisahkan lagi

....

(Suara, 1962)

Demikianlah, dalam sajak itu rakyat yang masih menderita dalam kemiskinan tetap hidup dengan penuh kejujuran dan ketabahan (’Takut mengguratkan fajar yang salah’). Dan, biarpun cita-cita masyarakat adil makmur masih jauh dari

mereka, mereka tetap teguh pada cita-cita dan tujuan semula. Kekompakan di antara mereka pun (’Tapi antara kami/Tak ada yang memisahkan iagi’) semakin memperkuat ketabahan mereka dalam menghadapi situasi yang ada.

Dalam sajaknya "Kereta Mati", Toto Sudarto Bachtiar masih mengungkap penderitaan rakyat kecil yang selalu tersisih, tetapi selalu saja tabah dan bertahan hidup. Dilukiskan dalam sajak itu bagaimana seorang tukang becak yang sehari-hari mengayuh becak—karena warna hidupnya yang terlalu muram—bagaikan menunjukan hidupnya ke liang kubur, menunggu maut datang menjemput. Dan seandainya kematian pun datang, tak bakal ada yang menangisinya karena ia hanya sebagian dari rakyat kecil yang tersisih, yang tak masuk hitungan. Namun, ia tetap tabah menjalani hidupnya, mencari nafkahnya sehari-hari dengan mengayuh becak tanpa mengharapkan belas kasihan orang lain. Akan tetapi, biarpun ada kemuraman di mana-mana, dengan keyakinan dan kebersamaan yang kuat suatu cita-cita pasti akan tercapai, seperti yang terungkap dalam sajak Ajip Rosidi berikut.

ANGIN AGUSTUS



Angin bertiup bulan Agustus
Membangkitkan keyakinan
Usaha luhur
Tiada kan hancur

(Surat Cinta Enday Rasidin, 1960)

Dari sajak-sajak periode 1940—1960 yang dikemukakan di atas tampak bahwa sajak-sajak tersebut umumnya mengungkapkan pengabdian pada masyarakat, atau lebih luas lagi pada nusa dan bangsa. Meskipun situasi negara masih penuh dengan keresahan dan kemuraman, seperti yang terungkap dalam sajak-sajak periode 1940—1960, ketabahan dan keuletan masih saja memancar. Ketabahan dan keuletan dalam menghadapi situasi adalah sebagian dari perwujudan manusia yang mengabdi kepada nusa dan bangsanya.

4.3 Citra Manusia yang Mengabdi pada Keluarga

Pengabdian seseorang pada masyarakat, antara lain, terlihat melalui pengabdiannya pada keluarga sebagai tatanan terkecil dalam masyarakat. Dari sejumlah puisi Indonesia tahun 1920—1960 yang mengemukakan masalah hubungan manusia dan masyarakat hanya terdapat satu sajak yang menampilkan citra manusia yang mengabdi pada keluarga, yakni sajak Asrul Sani "Elang Laut". Berikut ini kutipan lengkap sajak "Elang Laut".

Ada elang laut terbang
senja hari
antara jingga dan merah
surya hendak turun,
pergi ke sarangnya.

Apakah ia tahu juga,
bahwa panggilan cinta
tiada ditahan kabut
yang menguap pagi hari?

Bunyinya menguak suram
lambat-lambat
mendekat, ke atas runyam
karang putih,
makin nyata.
Sekali ini jemu dan keringat
tiada akan punya daya
tapi topan tiada mau
dan mengembus ke alam luas.

Jatuh elang laut
ke air biru, tenggelam
dan tiada timbul lagi.

Rumahnya di gunung kelabu
akan terus sunyi.
Satu-satu akan jatuh membangkai
ke bumi, bayi-bayi kecil tiada
bersuara.

Hanya anjing,
malam hari meraung menyalak bulan
yang melengkung sunyi.

Suaranya melandai
turun ke pantai.

Jika segala senyap pula,
berkata pemukat tua:
"Anjing meratapi orang mati!"

Elang laut telah
hilang ke lunas kelam
topan tiada bertanya
hendak ke mana dia.
Dan makhluk kecil

yang membangkai di bawah
pohon eru, tiada pula akan
berkata:
"Ibu kami tiada pulang."

(Jassin, 1959: 89—90)

Sajak "Elang Laut" Asrul Sani itu secara alegoris mengisahkan perjuangan seorang ibu dalam menghidupi anak-anaknya. Tantangan kehidupan yang keras tak dihiraukannya demi cinta dan rasa tanggungjawabnya terhadap anak-anaknya hingga akhirnya ia sendiri menjadi korban. Dengan demikian, sajak "Elang Laut" Asrul Sani menyiratkan citra seorang manusia yang penuh pengabdian dan tanggung jawab pada keluarga.

4.4 Citra Manusia yang Menginginkan Pembaruan

Dari sejumlah sajak Indonesia tahun 1920—1960 yang mengemukakan masalah hubungan manusia dan masyarakat terdapat tiga sajak yang menampilkan citra manusia yang menginginkan pembaruan dalam masyarakatnya, antara lain sajak Sutan Takdir Alisjahbana, "Menuju ke Laut". Manusia yang menginginkan pembaruan dalam masyarakatnya dapat dikatakan lahir karena adanya konflik antara seorang manusia dengan masyarakatnya. Konflik antara manusia dan masyarakat pada umumnya muncul karena perbedaan kepentingan, aspirasi, cita-cita, dan pandangan hidup. Bisa juga konflik antara manusia dengan masyarakatnya lahir karena penolakan terhadap kemapanan atau sesuatu yang dipandang usang, seperti tampak dalam sajak Sutan Takdir Alisjahbana berikut ini, "Menuju ke Laut":

Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan.

Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat:

"Ombak ria berkejar-kejaran
di gelanggang biru bertepi langit.
Pasir rata berulang dikecup,
tebing curam ditantang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
dalam berlomba bersama mega."

Sejak itu jiwa gelisah,
Selalu berjuang, tiada reda,
Ketenangan lama rasa beku,
gunung pelindung rasa pengalang.
Berontak hati hendak bebas,
menyerang segala apa mengadang.

...

Tetapi betapa sukarnya jalan,
badan terhempas, kepala tertumbuk,
hati hancur, pikiran kusut,
namun kembali tiadalah ingin,
ketenangan lama tiada diratap.

....

(Suryadi AG., 1987: 63—64)

Larik-larik sajak "Menuju ke Laut" menghadirkan citra manusia pembaharu yang optimistis, yang dengan tekad bulat berani meninggalkan situasi yang mapan biarpun ’... betapa sukarnya jalan,/badan terhempas, kepala tertumbuk,/hati hancur, pikiran kusut,/....'. Dengan demikian, di sini kita temukan sosok manusia pembaharu yang berani menanggung risiko perjuangan, yang berani melawan arus yang ada dalam masyarakatnya.

Di samping sajak Sutan Takdir Alisjahbana "Menuju ke Laut" juga terdapat dua sajak Asmara Hadi yang mengungkapkan citra manusia yang menginginkan pembaruan, yaitu "Kuingat Padamu" dan "Hidup Baru". Sajak Asmara Hadi "Kuingat Padamu" merupakan sajak yang ditulis dalam semangat romantik: citraannya berangkat dari alam dan citraan yang demikian itu dominan mewarnai sajak. Hal ini mencerminkan sebuah sajak romantik yang berprinsip kembali kepada alam dan yang mencanangkan romantis—idealisme dengan bertitik tolak pada alam. Dalam sajak "Kuingat Padamu" itu si aku lirik——sebagai seorang penyair——merasa mengatasi zaman dan masyarakatnya, paling tidak sajaknya. Dengan puisi yang berhasil (yang diibaratkan sebagai ’puncak gunung puisi’) kita lebih dahulu dapat menangkap isyarat zaman, sementara dalam kehidupan sehari-hari kita pada umumnya masih diliputi kegelapan, seperti diungkapkan bait terakhir sajak berikut.

Seperti dari puncak gunung yang tinggi,
Kita lebih dahulu dapat melihat,
Cahaya fajar kemeiah-merahan,
Tanda matahari akan terbit,
Sedang jauh di dalam lembah,
Semuanya masih gelap-gulita,
Demikianlah jiwaku lebih dahulu,
Dari puncak gunung puisi,
Dapat melihat sinar memerah,
Sinar fajar kemenangan kita,
Sedang dalam kehidupan sehari-hari,
Semuanya masih gelap-gulita.

(Pujangga Baru: No. 2, Th. V, Agustus 1937)

Dengan demikian, karena melihat kehidupan sehari-hari yang masih diliputi kegelapan itu, secara tersirat sesungguhnya si aku lirik menginginkan pembaruan atas zaman dan masyarakatnya. Jadi, di sini terdapat citra manusia yang menginginkan pembaruan.

Sajak Asmara Hadi yang lain, "Hidup Baru", masih mengungkapkan citra manusia yang menginginkan pembaruan. Digambarkan dalam sajak itu bagaimana si aku lirik dalam dirinya dipenuhi semangat yang berkobar-kobar untuk menjalani hidup baru, hidup yang penuh perjuangan, seperti terungkap dalam bait pertama berikut ini.

Hidup baru berkobar dalamku
Segala indah dalam pandangan

Hidup zamanku jadi ilhamku
Zaman yang penuh perjuangan.

(Pujangga Baru, V/1, Juli 1937)

Jadi, sajak "Hidup Baru" dapat dikatakan masih merupakan kelanjutan sajak Asmara Hadi yang dibicarakan sebelumnya, "Kuingat Padamu".

4.5 Citra Manusia yang Berbenturan dengan Masyarakatnya

Citra manusia yang berbenturan dengan masyarakatnya pada umumnya tercipta karena adanya konflik manusia dengan masyarakatnya. Dari sejumlah puisi Indonesia tahun 1920—1960 yang mengemukakan masalah hubungan manusia dan masyarakat terdapat empat sajak yang menampilkan citra manusia yang berbenturan dengan masyarakatnya. Dalam keempat sajak itu perbenturan itu terjadi, antara lain, karena perbedaan kepentingan dan perbedaan pandangan.

Perbedaan kepentingan yang melahirkan benturan kepentingan itu terungkap dalam dua sajak M.R. Dajoh, yaitu "Tanah Jawi" dan "Orang Tani dan Saudagar." Kedua sajak Dajoh tersebut mengemukakan benturan kepentingan antarkelompok, yakni antara kelompok saudagar dan petani. Dalam sajak "Tanah Jawi" diungkapkan sekelompok petani yang menjadi korban kelicikan saudagar, seperti terbaca dalam larik-larik berikut.

Habis tanah kami dijual!
Tanah subur, tanah pusaka!
Kami ini amat sial,
habis kepunyaan belaka!

Habis kepunyaan bapak!
Bapak beri suar-lelahnya
pada kami adik-kakak,
tapi hilang semuanya!

Dimakan akal-busuk saudagar,
ditelan tipu-daya lintah.
Pusaka mahal kami tukar
dengan tipu berlimpah-limpah.

....

(Syair untuk A.S.I.B., tanpa tahun)

Dalam sajak "Orang Tani dan Saudagar" juga terungkap tentang orang tani yang menjadi korban kelicikan saudagar:

....

Saudagar mengguncang-guncang sakunya.
Uang peraknya berdering-dering.
Orang tani gemar mendengarnya,
merdu bunyinya sepeiti suling.
....

Demikianlah akal-busuk saudagar!
Tipu-daya menyambar kebodohan!
Padi di sawah yang subur-segar
dibeli murah, untuk Lebaran.
....

(Syair untuk A.S.I.B., tanpa tahun)

Dari dua sajak M.R. Dajoh itu terungkap sosok manusia yang menjadi korban konflik kepentingan yang terjadi dalam masyarakat, manusia yang resah dan barangkali diam-diam memprotes situasi yang ada dalam masyarakatnya.

Selanjutnya, konflik atau benturan manusia dengan masyarakat juga terjadi karena adanya perbedaan pandangan, seperti diungkapkan sajak Subagio Sastrowardoyo berikut.

KAMPUNG


Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena hawa di sini sudah pengap oleh pikiran-pikiran beku.
Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung
Di mana setiap orang ingin bikin peraturan
mengenai lalulintas di gang, jaga malam, dan daftar diri di
kemantren.

Di mana setiap orang ingin bersuara
dan berbincang tentang susila, politik, dan agama
seperti soal-soal yang dikuasai.
....

Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
Karena aku ingin merdeka dan menemukan diri.

(Simphoni, 1957)

Apa yang dikemukakan Subagio Sastrowardoyo dalam sajak di atas terungkap juga dalam sajak W.S. Rendra berikut ini, "Ballada Petualang":

....

- Orang cerita dua kubur di bukit.
+ Ya manis, ya ya —
- Anak lelaki tak tinggal di rumah pusaka.
+ Ya manis, ya ya —

Kerna akan diumpat detak jantungnya
tiada ia akan bisa balik
lalu ia pun menadah nasibnya.

Kampung tiada lagi berwarna yang dulu
berkata para tetangga:
- Anak lelaki yang baik itu
mengapa tiada balik-balik juga?

(Ballada Orang-orang Tercinta, 1957)

Dalam sajak Rendra di atas, si anak muda bertualang karena masyarakat kampungnya tidak dapat lagi menghargai pandangan-pandangan pribadinya. Ia bertualang untuk mencari dan menemukan diri. Dengan demikian, petualangan atau pengembaraan dalam sajak-sajak Indonesia seringkali berkonotasi pencarian atau penemuan diri. Pencarian atau penemuan diri lewat petualangan atau pengembaraan itu dilakukan karena biasanya masyarakat tak lagi memberi tempat untuk pandangan-pandangan hidup yang bersifat pribadi.

4.6 Citra Manusia yang Resah terhadap Keadaan Masyarakat

Keresahan yang timbul dalam masyarakat pada dasarnya timbul karena konflik antara manusia atau sekelompok manusia dengan masyarakat. Konflik di sini tidak semata-mata konflik karena perbedaan kepentingan, tetapi mencakupi juga konflik yang timbul karena perbedaan pandangan mengenai situasi tertentu dalam masyarakat. Oleh karena itu; perbedaan pandangan mengenai konsep-konsep moral, keadilan sosial, politik, ekonomi, misalnya, akan melahirkan konflik yang pada akhirnya juga akan menimbulkan keresahan sosial.

Dari sejumlah puisi Indonesia tahun 1920—1960 terdapat 14 sajak yang mengungkapkan citra manusia yang resah menghadapi situasi yang ada dalam masyarakat. Patut dicatat, sajak-sajak yang menampilkan citra manusia yang resah terhadap situasi masyarakat itu seluruhnya adalah sajak-sajak yang ditulis setelah masa kemerdekaan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keresahan yang terungkap dalam sajak-sajak tersebut timbul karena perbedaan pandangan tentang berbagai hal mengenai kehidupan kemasyarakatan, misalnya tentang kehidupan sosial, ekonomi, politik, ataupun moral.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara itu lebih mencuat ke dalam puisi Indonesia setelah kemerdekaan, karena setelah kemerdekaan masalah-masalah yang dihadapi—yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara—semakin kompleks dan rumit sehingga semakin membuka peluang bagi timbulnya perbedaan pandangan dan konflik, termasuk perbedaan pandangan tentang bagaimana seharusnya mengisi kemerdekaan itu. Di antara puisi setelah kemerdekaan yang mengungkapkan citra manusia yang resah itu adalah sajak Ajip Rosidi, "Cari Muatan", yang menggambarkan kemiskinan yang menimpa rakyat kecil:

....

siapa menembus gang menemui kami
memberi kami napas dan itu tak kami siakan
kami berikan apa yang bisa kami berikan
dan malam pucat menyisakan hujan

di warung kami tertawa bersenda-cubitan
sambil mengharap lonjakan tiba-tiba:
"mari!"

sudah mereka rampas sawah dan rumah kami
dan lelaki kami berangkat tak kembali

....

(Cari Muatan, 1959)

Ajip Rosidi dalam sajaknya yang lain, "Kota demi Kota" juga memunculkan si aku lirik yang hanya melihat kehidupan yang suram 'seperti lukisan dinding yang kabur':

KOTA DEMI KOTA


Tukang sayur berjajar sepanjang trotoar
mengantuk dalam lengan hari
Meski mulutnya bicara, tapi tiada suara
Tiba di telinga. Hanya gema
Mengumandangkan ulang berulang. Tanpa makna
Tangannya mengangkang menghalau anjing
Sebagian dari mimpi
Kala senja aku jalan-jalan di suatu kota
Jakarta, Bandung, Jogja, tak peduli.

(Cari Muatan, 1959)

Sementara itu, Ajip Rosidi dalam sajaknya yang lain yang berjudul "Tamu Malam" mengungkapkan pemimpin yang tidak tanggap terhadap peristiwa yang menimpa rakyat, seperti terbaca dalam larik-larik berikut ini.

III
Lihat betapa terang malam
Seluruh kampung benderang
karena kobaran api

....
Dengar! letusan-letusan menuli kuping
Dan teriakan putus asa
meratap Tuhan dan suami
Menangisi anak dan rumah
Karena renggutan tangan jahanam
....

V
Terengah-engah, lesu lelah
menghadap komandan jaga
yang memandang bertanya

....
Berapa yang datang semua?
Berapa mereka bawa senjata
Jam berapa mereka tiba
....

(Surat Cinta Enday Rasidin, 1960)

Sajak itu melukiskan rakyat yang menjadi korban keganasan gerombolan pengacau. Akan tetapi, pihak keamanan justru terlambat dalam menghadapi kejadian itu. Pihak keamanan baru mengirimkan tentara untuk memburu pengacau setelah rakyat manjadi korban. Hal-hal seperti itulah yang menjadi obsesi Ajip Rosidi daiam sajak-sajaknya, misalnya "Nyanyian Madhapi", "Kediam-diaman", "Istirahatlah Wahai", "Lagu Orang-orang Buangan", dan lain-lain. Sajak-sajak itu pada umumnya melukiskan ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penindasan yang mengakibatkan penderitaan rakyat, bahkan rakyat diperbodoh untuk mempertahankan kekuasaan dan menumpuk kekayaan.

Subagio Sastrowardoyo lewat sajaknya "Bulan Ruwah" mengemukakan sindiran terhadap manusia yang selalu dipusingkan formalisme agama, tetapi tidak mengamalkan ajaran-ajaran agama ketika hidup di dunia ini.

BULAN RUWAH


Kubur kita terpisah dengan tembok tinggi
sebab aku punya Tuhan, dia orang kapir

Di Yaumul akhir
roh kita dari kubur
akan keluar berupa kelelawar
dan berebut menyebut nama Allah
dengan cicit suara kehausan darah

Kita sudah siap dengan daftar tanya:
Tuhan, ya Robbulalamin!
adakah kau Islam atau Keristen

apakah kitabmu: Kor'an atau Injil
apakah bangsamu: seorang Rus, Cina, atau Jawa?

(Simphoni, 1957)

Padahal, seperti terungkap dalam "Bulan Ruwah"—Tuhan lebih menuntut amal nyata di dunia ini, bukan hal-hal remeh yang bersifat keduniaan, yang justru lebih menyita perhatian manusia. Dengan demikian, dalam sajak "Bulan Ruwah" terungkap citra manusia yang belum menemukan jalan Illahi, manusia yang masih terkungkung dalam urusan duniawi.

Citra manusia yang terpaku pada kehidupan duniawi terungkap pula dalam sajak Subagio Sastrowardoyo yang lain, "Simphoni". Dalam sajak itu keterpakuan manusia pada kehidupan duniawi menjadikannya buta, tidak lagi mampu membedakan antara kemajuan dan kemunduran.

SIMPHONI


...
Katakanlah
adakah kemajuan
kalau kita lebih banyak mendirikan
bang dan gedung
dari candi atau mesjid,

kalau kita lebih menimbang kasih orang
dengan uang dari hati
kalau kita lebih percaya kepada barang
dari bayang—atau kemunduran?
...

(Simphoni, 1957)

Di samping tema protes sosial, tema keresahan sosial banyak mewarnai puisi periode 1940—1960. Di antara para penyair yang banyak mengangkat tema keresahan sosial saat itu adalah Rendra dan Ajip Rosidi.

Salah satu tema keresahan sosial yang diangkat adalah yang berkaitan dengan masalah pelacuran yang pada umumnya disebabkan oleh tekanan ekonomi dan yang keberadaannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, menimbulkan keresahan masyarakat. Ajip Rosidi lewat sajaknya "Upik" mengungkapkan hal itu:

UPIK


Jalang mata derita tergores keras
senyumnya terbayang kehidupan malam

sebening gelas muka yang matang pengalaman
kepada siapa ia menjual dirinya

(Pesta, 1956)

Pelacuran tampaknya menjadi alternatif untuk mengatasi tekanan ekonomi dalam masyarakat yang kehidupannya notabene memang bobrok. Alternatif yang dilakukan dengan sadar untuk melarikan diri dari kegelisahan dan tanggungjawab itu tertuiis dalam puisi karya Ajip Rosidi.

HIDUP MALAM


Sungguh hidup lebih keamanan diri
melarutkan dirinya di malam-malam sepi
mendengungkan nada tiba di dunianya

(Pesta, 1956)

Keruntuhan kehidupan ekonomi ketika itu tidak hanya berpengaruh pada tata moral masyarakat, tetapi juga menyita kebahagiaan masa depan generasi yang sesungguhnya masih "suci" dan penuh harapan seperti nasib gadis dalam sajak Ajip Rosidi berikut.

RAMPAS


Lama bintang tak muncul
gadis di pelukan orang

dan sejuk angin ke dada
- pelukan hampa -

gadis tak kembali
dan bintang tak muncul-muncul

(Pesta, 1956)

Di sisi lain, Toto Sudarto Bachtiar lewat sajaknya "Tanya" mengungkapkan rasa frustrasi dan kesepian yang tidak menjanjikan apa pun. Si aku lirik dalam sajaknya melihat bahwa kesepian yang dilampiaskan pada pekerjaan yang tampaknya menarik dan menggairahkan itu sesungguhnya tidak bermanfaat. Oleh karena itu, ia menjadi sangsi dan bertanya-tanya, adakah yang lebih baik dan lebih bermanfaat daripada itu, yang lebih dapat mengobarkan dan membangkitkan semangat hidupnya, seperti terbaca dalam sajak berikut.

TANYA


Menggaris palu: nafsu yang murni
yang berdegup kesumba

membelai pusat dan dini hari
senandung hati yang jauh

Kepingin aku bertanya
alam larut yang bagaimana
Mengobarkan fajar musim-musimku
Gadis dan kita larut dalamnya

(Suara, 1962)

Kemerosotan moral, di samping terlihat dari adanya pelacuran seperti terungkap dalam beberapa sajak tadi, juga tampak dari menggejalanya ketidakpedulian sosial, seperti yang dilukiskan dalam sajak Djamil Suherman berikut ini.

JENDELA TUA


Kepergiannya tanpa saksi
biar dinding si tua ini
terlukis sebuah wajah
pucat tanpa nama
tanah kering sekeliling
daun dan bunga berguguran
Ah jendela setua ini
sudah lama tak bicara lagi

(Nafiri, 1983)

Dalam sajaknya yang lain, Djamil Suherman melukiskan kesedihan si aku lirik karena terasing dari masyarakatnya. Si aku lirik merasa sebatang kara karena tidak dipedulikan. Namun, si aku lirik tetap tinggi semangat hidupnya karena yakin bahwa suatu ketika akan mendapatkan kasih yang paling indah dan paling abadi, yaitu kasih Allah.

ELEGI


....

4
jangan harapkan fajar dilelap mimpi
tapi mawar akan berkisah tentang gurun

pasti kan lahir kebesaran pada saatnya
antara kealpaan penuh ampunan

....

(Nafiri, 1983)

Keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh kemerosotan moral juga dilukiskan oleh Subagio Sastrowardoyo dalam sajaknya berikut ini.

KAPAL NUH


Sekali akan turun lagi
kapal Nuh di pelabuhan malam
tanpa kapten
hanya suara yang berseru ke setiap hati:
"Mari!"
Kita berangkat
berkelamin, laki-istri
untuk berbiak di tanah baru yang berseri,
juga makhluk yang merangkak
di darat dan di langit terbang
masuk sejodoh-sejodoh. Masing-masing
mendapat ruang
di haluan, di buritan, di timbaruang
Kita semua. Sebab kasih itu murah,
bahkan bunga, emas dan perak
itu batu mulia
Yang memancar api rahmat
turut termuat.
Kalau bahtera mulai bertolak

dekat kita dengar bumi retak,
Bumi, yang telah tua
oleh manusia dan derita.

(Simphoni, 1957)

Secara alegoris melalui sajaknya itu penyair melukiskan bahwa keadaan masyarakat tidak ubahnya dengan situasi ketika Nuh menyelamatkan umatnya yang beriman di atas perahunya dari ancaman banjir yang melanda. Penyair melihat gejala itu terulang dalam masyarakat yang sedang terkikis iman dan moralnya. Dengan demikian, sajak "Kapal Nuh" mengingatkan keruntuhan yang mungkin terjadi apabila masyarakat tidak segera memperbaiki kebejatan dan kerusakan moral yang mereka lakukan.

Kesadaran untuk mengubah nasib dan bangkit dari kebodohan dan kemelaratan hidup masyarakat dikemukakan oleh Ajip Rosidi dalam sajaknya "Lagu Duka Masa Kini". Dalam sajak itu terbayang masyarakat yang terbelenggu ketidakadilan dan kegelapan hidup. Sementara itu, penguasa "dengan tenangnya" masa bodoh terhadap keadaan yang demikian, malah seolah-olah sengaja mempertahankan keadaan yang demikian untuk tujuan-tujuan tertentu. Namun, rakyat segera menyadari keadaan dan bangkit menuntut perubahan.

LAGU DUKA MASA KINI


II
Kalau kami bingung karena kebingungan
Buah daripada kemasabodohan
Kalau kami terhuyung tiada pegangan
Buah daripada pemujaan
Diri sendiri

(Adalah kau, kalian, kalianlah penegak tonggak
Guyah dalam ketidakpastian)

....

III
Kalau kami jalan di muka,
Adalah karena kesadaran,
Tiada yang lain mau turun tangan,
Menuju cahya

(Surat Cinta Enday Rasidin, 1960)
4.7 Simpulan

Sejumlah puisi Indonesia tahun 1920—1960 yang mengemukakan masalah hubungan manusia dan masyarakat ternyata menampakkan beberapa citra manusia, yaitu manusia yang patriotik, manusia yang mengabdi pada keluarga, manusia yang menginginkan pembaruan, manusia yang berbenturan dengan masyarakat, dan manusia yang resah terhadap situasi masyarakat. Citra-citra manusia tersebut pada dasarnya muncul karena adanya dua corak utama dalam hubungan manusia—masyarakat, yaitu keserasian/keselarasan dan konflik.

Sementara itu, timbulnya citra manusia yang patriotik tidak terlepas dari situasi sosial politik yang ada antara tahun 1920—1960, yang berusaha meraih dan mempertahankan kemerdekaan. Setelah kemerdekaan terwujud pada tahun 1945 gangguan politis yang berusaha menggoyahkan dasar-dasar negara merdeka masih muncul dari dalam dan luar negeri. Oleh karena itu, setelah kemerdekaan pun sajak-sajak yang bernafaskan patriotisme dan solidaritas masih dikobarkan oleh penyair.

Di tengah-tengah perjuangan politik yang mewarnai puisi Indonesia 1920—1960 yang berkaitan dengan masalah hubungan manusia dan masyarakat, terdapat pula puisi yang mengungkapkan masalah tanggung jawab pada keluarga dan puisi yang menggugat kemapanan yang ada dalam masyarakat (masing-masing diungkapkan oleh "Elang Laut" Asrul Sani dan "Menuju ke Laut" Sutan Takdir Alisjahbana). Manusia yang menggugat kemapanan yang ada dalam masyarakatnya muncul karena adanya konflik dengan masyarakat. Konflik yang lebih terbuka antara manusia dan masyarakat—seperti terlihat dalam puisi Indonesia 1920—1960—melahirkan citra manusia yang berbenturan dengan masyarakat. Di lain pihak, konflik yang antara lain terwujud dalam perbedaan pandangan, perbedaan aspirasi, dan perbedaan kepentingan, juga melahirkan citra manusia yang resah terhadap situasi masyarakat. Citra manusia yang resah terhadap situasi masyarakat terutama mulai muncul dalam puisi Indonesia setelah kemerdekaan