Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern 1920-1960/Bab 7
BAB VII
PENUTUP
Barangkali citra manusia tak mungkin sepenuhnya terungkap dalam sajaksajak Indonesia periode 1920—1960. Atau, mungkin juga citra manusia telah sepenuhnya terungkap dalam puisi Indonesia periode 1920—1960, tetapi kita belum mampu menangkap seutuhnya bayangan citra manusia itu.
Terlepas dari tertangkap atau tidaknya bayangan citra manusia yang terungkap dalam sajak-sajak Indonesia periode 1920—1960, yang penting di sini adalah mencoba menangkap citra kita sebagai manusia yang terungkap dalam puisi. Citra manusia dalam hal ini lebih membayangkan kualitas manusia. Dengan demikian, Jika dalam sajak-sajak Indonesia yang mengemukakan masalah hubungan manusia dengan Tuhan sama sekali tidak kita temukan corak pengingkaran, itu bukan berarti kualitas religius manusia yang terungkap dalam puisi sudah dapat dibanggakan. Setidaknya ada dua macam kualitas religius yang terungkap dalam puisi Indonesia. Pertama, citra manusia yang memberi kesan dogmatis. Kedua, citra manusia yang sampai kepada-Nya setelah melalui pergulatan religius yang intens. Kedua citra manusia itu tentu saja menyarankan kualitas religius yang berbeda, yang tidak dapat disamakan begitu saja. Sedikit banyak hal ini mungkin juga mencerminkan wajah kita sehari-hari. Hampir dapat dipastikan tak ada di antara kita yang tak beragama, paling tidak dalam KTP. Namun, kualitas keberagamaan kita pasti akan berbeda-beda.
Dalam hubungan manusia dengan alam, ternyata lebih banyak sajak yang mengungkapkan corak pendayagunaan. Yang menarik dari sajak corak terakhir ini adalah bahwa dalam sejumlah sajak, alam temyata dipandang sebagai sumber inspirasi yang menggerakkan laku manusia. Dengan demikian, manusia tidak hanya terkait dengan alam dalam kehidupan sehari-hari, tetapi alam juga menggerakkan, memotivasi laku manusia.
Sesuai dengan situasi zamannya, sajak-sajak periode 1920—1940 banyak yang mengemukakan obsesi penyairnya tentang kemerdekaan yang diangankan, keinginan dan cita-cita untuk berbakti kepada tanah air, atau suatu kehidupan baru yang lebih penuh harapan, yang lebih menjanjikan. Itu semua tergambar dalam sajak-sajak yang mengungkapkan hubungan manusia dengan masyarakat. Sajak-sajak yang mengemukakan hubungan manusia dengan manusia lain ternyata didominasi corak kerja sama. Hal ini dapat diartikan cerminan masyarakat kita yang lebih mencari keselarasan dengan sesamanya dalam pola hubungan sosialnya.
Dalam hubungan manusia dengan diri sendiri dalam puisi Indonesia periode 1920—1940, corak pengendapan ternyata mengungguli corak konflik batin. Corak konflik batin yang lebih sedikit terungkap itu banyak menghadirkan citra manusia yang tak berdaya, citra manusia yang menjadi korban situasi dirinya.
Itulah gambaran selintas tentang citra manusia yang hadir dan terungkap dalam sajak-sajak Indonesia periode 1920—1940. Dari sejumlah sajak periode 1940—1960 yang dibicarakan itu diperoleh citra manusia sebagai berikut. Pertama, dalam hubungan manusia dan Tuhan tampak adanya citra manusia dengan ketakwaan yang sangat kuat. Ketakwaan itu terlihat dalam gambaran manusia yang beribadah, mengagungkan nama Tuhan, dan mengaku dosa. Pengingkaran terhadap Tuhan tidak dibenarkan oleh para penyair karena manusia yang ingkar pada Tuhan itu digambarkan secara ironis oleh para penyair, misalnya sajak Purwa Atmadja "Surat Talqin" dan sajak Mohammad Ali "Aku".
Kedua, sajak-sajak yang mengungkapkan masalah hubungan manusia dengan alam pada umumnya menampilkan citra manusia yang cinta pada bangsa dan tanah air, misalnya sajak "Diponegoro", "Krawang—Bekasi", dan "Pahlawan Tak Dikenal". Cinta tanah air adalah perwujudan kedekatan dan kecintaan manusia pada alam. Beberapa penyair juga mengungkapkan alam sebagai alat untuk melukiskan hubungan manusia dengan Tuhan karena alam dengan keindahan dan kegaibannya memang dapat dipandang sebagai cerminan kebesaran Tuhan. Selain itu, penggambaran alam kadang-kadang juga digunakan penyair sebagai perlambangan kegelisahan jiwa manusia dalam menghadapi permasalahan hidupnya.
Ketiga, dalam hubungan manusia dengan masyarakat tampak adanya citra manusia yang berbakti kepada bangsa dan negara, yang memiliki rasa solidaritas yang kuat terhadap sesama bangsa. Dari rasa solidaritas itu terungkapkan bahwa sebagian besar bangsa Indonesia saat itu masih menderita karena keadaan sosial ekonomi ketika itu masih menyedihkan. Hal itu, antara lain, ditandai dengan banyaknya manusia yang terpaksa menjual diri di malam hari untuk menyambung hidup. Sementara itu, pengingkaran terhadap masyarakat yang terungkap dalam sajak-sajak periode 1920—1960 mengemukakan penolakan terhadap tradisi masyarakat yang membatasi hak individu orang yang berpikiran maju.
Keempat, dalam hubungan manusia dengan manusia lain sajak-sajak itu umumnya mengemukakan hubungan yang bercorak kerja sama, yang terwujud dalam kasih sayang antara orang tua dan anak, hubungan cinta antara dua kekasih, dan juga hubungan persahabatan. Juga dikemukakan jalinan batin yang terjadi karena rasa belas kasihan dan rasa perikemanusiaan terhadap orang lain. Dengan demikian, dalam puisi periode 1940—1960 banyak terungkap citra manusia yang pengasih. Namun, dari sejumlah sajak itu terungkap juga citra manusia yang tidak berbudi, seperti Atmo Karpo dalam sajak "Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo" yang akhirnya mati terbunuh di tangan anaknya.
Terakhir, dalam hubungan manusia dengan diri sendiri, antara lain, terungkap sajak yang mengemukakan pandangan hidup, misalnya "Aku" Chairil Anwar yang mencerminkan individualisme. Selain itu, dapat dikatakan terdapat dua corak yang mewarnai hubungan manusia dengan diri sendiri, yaitu introspeksi dan konflik batin. Sajak-sajak yang mengungkapkan corak introspeksi berguna bagi manusia dalam menyadari kekurangan dan keterbatasan dirinya. Sementara itu, sajak-sajak yang mengungkapkan konflik batin mengemukakan pertentangan diri yang dialami manusia karena pelanggaran terhadap nilai moral dan agama yang dilakukannya. Bisa juga, konflik batin itu terjadi karena seorang manusia menemukan kekosongan dan kebuntuan dalam jalan hidupnya.