Hal Bunji Dalam Bahasa-Bahasa Indonesia/Bab 16

HUKUM BUNJI JANG BERLAKU
DENGAN TJARA MUTLAK.

342. Djika orang mempeladjari hubungan bunji dalam bahasa² Indonésia, maka hubungan bunji itu menimbulkan kesan, bahwa bahasa Indonésia mengenai gedjala² bunjinja kurang konsekwén kalau dibandingkan dengan bahasa² Indogerman. Tetapi salah paham itu tidak selalu disebabkan oleh bahasa, mungkin djuga kaum penjelidiklah jang mengambil kesimpulan² jang salah.

I. Hal jang se-kali² bukan gedjala bunji, dikemukakan sebagai gedjala bunji benar. 'Kalau kata mari dalam bahasa Melaju dan bahasa² Indonésia lain adalah mai dalam bahasa Bugis, maka dikatakan bahwa dalam bahasa Bugis bunji r hilang. Tetapi hal itu adalah satu-nja hal tentang hilangnja bunji r dalam bahasa Bugis. Kata mari (= ma + ri) ialah kata kerdja jang diturunkan dari kata depan (préposisi) setempat i jang bukan berarti ,,mari", tetapi pergi". Djadi dalam kata mai dalam bahasa Bugis se-kali² tak terdapat gedjala bunji.

II. Penjelidikan menurut ilmu bahasa jang salah. Dalam kamus tentang bahasa Diawa kuno, Djilid IV hal. 226 kata pula (menanam) dalam bahasa Djawa kuno dihubungkan dengan kata pambulan (Kebun) dalam bahasa Dajak. Tetapi kata pambulan ialah hubungan awalan p(a) + imbul (menanam) + achiran an. Menurut hukum bunji jang berlaku benar dalam bahasa Dajak bunji i dalam kata imbul berasimilasi dengan bunji a dari achiran (lihat keterangan dibawah nomor 247).

III. Gedjala² bunji salah ditundjukkan. Tunu (membakar) dalam bahasa Indonésia purba ialah tun dalam bahasa Pampanga. Menurut Conant dalam monografinja ,,Monosyllabic Roots im Pampanga", (Journal of the American Oriental Society, 1911 hal. 391) dalam kata tun (= unu) dengan' djalan apokopé (membuang bunji pada achir kata) bunji u itu hilang. Tetapi hilangnja bunji u itu ialah satu²-nja hal apokopé pada suatu kata dasar dalam bahasa Pampanga, oleh sebab itu tiap- penjelidik tentang bahasa² Indogerman tak akan hal hukum bunji berlaku dengan konsekwén benar. „Tampak benar, bahwa perubahan bunji terdjadi menurut hukum: bunji m pada achir kata dalam bahasa Indogerman purba misalnja mendjadi -n dalam bahasa Junani. (Brugmann dalam karangannja „Kurze vergleichende Grammatik dec, indogermanischen Sprachen” ). Begitu djuga halnja tentang bunji -m dalam bahasa Indonésia purba jang berubah men­djadi na (n + vokal-penjangga) dalam bahasa Howa, misalnja dalam kata inuna (= inum (minum) dalam bahasa Indonésia purba).

344. Pada satu pihak dalam banjak hal dalam bahasa² Indonésia hukum² bunji berlaku dengan konsekwén benar, pada pihak lain tampak djuga hal sebaliknja, tetapi hal² jang menjimpang dan hukum bunji itu terdapat djuga dalam bahasa² Indogerman, sama banjak dan matjamnja.

345. Dalam bahasa² Indonésia seperti dalam bahasa² Indogerman terdapat beberapa gedjala bunji jang tidak diharapkan akan berlaku dengan tjara mutlak, misalnja gedjala métathesis, asimilasi, disimilasi, dsb. Tetapi sungguh dalam hal itu dalam bahasa² Indonésia hukum bunji umumnja berlaku dengan konsekwén (lihat keterangan dibawah nomor 241).

346. Agak banjaklah kata dalam bahasa² Indonésia jang terdjadi dengan djalan onomatopoetis (me-niru² suara); bahwa dalam membentuk kata² sematjam itu orang tidak selalu berpegang pada hukum bunji, hal itu telah dikemukakan dibawah nomor 17. Untuk menjatakan suara memukul, mengetuk dan menumbuk dalam ber-bagai² bahasa Indonésia dipakai kataseru (interjéksi) tuk, duk, puk atau bug. Diantara kata² seru itu banjaklah jang diturunkan dari kata dasar jang berarti „memukul”, dsb. atau menjimpang artinja dari pengertian-pokok itu. Tjontoh : dalam bahasa Karo terdapat kata tuktuk (mengetuk), dalam bahasa Gayo tumbuk (memukul), dalam bahasa Melaju tumbuq (menumbuk), dalam bahasa Djawa Kuno gebug (memukul), dalam bahasa Karo batuk (batuk), dalam dialék Malagasi tútuka (paruh), dalam bahasa Djawa kuno tutuk (mulut), dalam beberapa idiom tuktuk (burung pelatuk), dalam bahasa Karo pukpuk (bekerdja keras sehingga mendjadi lelah), dalam bahasa Ton­témboa sinduk (tepung jang telah ditumbuk) dalam bahasa Djawa pupugan (fragmén).

Dalam hal itu misalnja tidak terdapat hubungan bunji menurut hukum bunji antara duk dalam kata sinduk dalam bahasa Tontémboa menerima baik keterangan Conant itu. Sebenarnja dengan djalan métathesis (perubahan tempat bunji) kata tunu dalam bahasa Indonésia purba mendjadi tuun dan dengan djalan kontraksi tuun mendjadi tun.

IV. Arti kata² kurang diperhatikan. Conant mengemukakan hal jang kedua tentang apokopé dalam kata sut disamping kata suta dalam bahasa Bisaja. Tetapi menurut Bergaño kata sut berlainan benar artinja dengan suta, sehingga kedua kata itu tak dapat dibandingkan antara sesamanja.

V. Sangkaan, bahwa hukum bunji kurang tegas berlaku dalam bahasa² Indonésia kalau dibandingkan dengan hukum bunji dalam bahasa² Indogerman, ditimbulkan oleh prakték jang tertentu dilapangan penjelidikan tentang bahasa² Indonésia jang sendiri tidak salah, tetapi mengandung kekurangan² dan menjesatkan. Kaum penjusun kamus biasanja pada kata² jang dimuat dalam kamusnja menambahkan kata² jang sedjenis menurut ilmu étimologi (etymologische slagwoorden), tetapi tak diterangkannja apakah kata² dari bahasa lain jang ditambahkan untuk mem-banding²kan itu menurut hukum bunji benar² sama atau dalam beberapa hal hanja bertali sadja dengan kata² jang ditambahi. Tjontoh: Dalam „Tjatatan tentang bahasa Belanda—Kawi—Bali” pada halaman 313 terdapat: kata panas terdapat dalam bahasa Melaju, bahasa Sunda dan bahasa Madura, dalam bahasa Bima terdapat pana dan dalam bahasa Malagasy fana jang sama artinja. Menurut hukum bunji kata panas, pana dan fana itu sebangun (kongruent). Pada halaman 302 terdapat: „makan” dalam bahasa Sunda ialah hakan, dalam bahasa Madura kakan, dalam bahasa Melaju makan. Menurut hukum bunji kata itu tidak kongruent, sebab tak mungkin bunji h dalam bahasa Sunda itu terdjadi dari bunji p dalam bahasa Djawa kuno; hal itu mengenai pembentukan kata² dari kata dasar kan jang terdapat dalam banjak bahasa Indonésia. Dalam bahasa Djawa kuno dari kata kan itu dengan menambahkan suku kata-pembentuk pa dibentuk kata pakan, dalam bahasa Sunda dari kata kan dengan tambahan ha terdjadi hakan. Kaum penjusun kamus dikemudian hari harus lebih teliti dalam hal itu.

343. Sebenarnja gedjala bunji dalam bahasa² Indonésia tidak berlaku dengan tjara kurang konsekwén daripada gedjala² bunji dalam bahasa² Indogerman. Dalam bahasa Indonésia dalam banjak dengan buq dalam kata tumbuq dalam bahasa Melaju, oléh sebab tak mungkin bunji d dalam bahasa Tontémboa terdjadi dari bunji b dalam bahasa Melaju.

347. Dalam bahasa² Indonésia dan bahasa Indogerman hukum bunji atjapkali ditjampuri pengaruh analogi dan étimologi rakjat. Pengaruh étimologi rakjat tampak benar dalam nama² binatang, terutama nama² binatang jang terdiri atas tiga suku kata seperti dalam kata ameise dalam bahasa Swis dan dalam kata alipan (lipan, kelabang) dalam bahasa Djawa kuno.

348. Dalam penjelidikan tentang bahasa² Indogerman beberapa gedjala jang tertentu dan dinamai variasi akar kata, déterminasi akar kata, dsb. menimbulkan kesukaran. (lihat (lihat karangan Brugmann „Kurze vergleichende Grammatik der indogermanischen Sprachen”). Hal itu mengenai bentuk kata dalam bahasa² Indogerman seperti trep, trem, tres, misalnja dalam kata trepidus (takut), tremere (gemetar) dalam bahasa Latin dan dalam kata trasati (= treserti) dalam bahasa India kuno. Kesukaran sematjam itu terdapat djuga dalam bahasa² Indonésia; dalam bahasa Tontémboa misalnja terdapat berdampingan bentuk kata rém, rěs, rep dalam kata urěp (menutupi), rěrěp (mentjapai), urěm (meliputi), tirěm (melingkungi), kērēs (meliputi), kurěs (menjengkeling). Gedjala² itu sukar diterangkan. Tak dapat ditentukan, apakah dalam hal itu terdapat soal² bunji.

349.Dalam bahasa² Indonésia dan bahasa² Indogerman terdapat beberapa gedjala bunji jang menimbulkan pertanjaan seperti berikut: apakah gedjala itu kebetulan menjimpang dari hukum bunji, atau tak dapatkah kaum penjelidik memahamkan ratio gedjala itu. Pertanjaan itu timbul pada kami ketika tampak, bahwa bunji t dalam bahasa Indonésia purba digantikan oléh bunji lain dalam bahasa Bima dan bunji k dalam bahasa Indonésia purba berubah mendjadi bunji lain dalam bahasa Nias.

I. Bunji t dalam bahasa Indonésia purba :

Bahasa Indonésia purba
tanda
tanah
r2atus
batu

Bahasa Bima
tanda
dana
ratu
wadu

II. Bunji k dalam bahasa Indonésia purba.

Bahasa Indonésia purba
karaŋ
kanda
kima
kasau
kěn
kait
kayu
kulit

Bahasa Nias
kara
kandra (kandang)
gima (remis)
gaso
xo (ke)
xai
eu
uli

350. Hukum² bunji dalam satu bahasa lebih tegas berlaku daripada dalam bahasa lain, dalam bahasa Minangkabau dengan tjara lebih konsekwén daripada dalam bahasa Bima. Bagi suatu bunji (misalnja bunji sengau) hukum bunji itu berlaku lebih tegas daripada bagi bunji lain (misalnja bunji-lebur (liquida), sehingga benarlah kata Bopp dalam karangannja „Ueber die Verwandtschaft der malayisch-polynesischen Sprachen mit den indisch-europäischen”, hal.66: tentang pasang surut bunji-letus (liquida).

351. Atjapkali kami memperoleh kesan, bahwa bunji pada permulaan kata dalam bahasa² Indonésia berubah dengan tjara konsekwén, tjenderung akan menudju kearah suatu tudjuan, akan tetapi tudjuan itu belum ditjapai. Dalam bahasa Bugis, tudjuan itu ialah : „Bunjiletus takbersuara (tenues) pada permulaan kata tjenderung akan hilang”.

I. Bunji k pada permulaan kata dalam sebagian besar kata² jang bersangkutan hilang, seperti dalam kata uliq (= kulit dalam bahasa Indonesia purba).

II. Bunji p pada permulaan kata hilang dalam dua buah kata, jaitu kata uso (hati; = pusu dalam bahasa Indonésia purba) dan kata uro (burung pujuh; = puruh dalam bahasa Indonésia purba).

III. Tentang bunji e dan t pada permulaan kata jang hilang, tak terdapat suatu tjontoh jang tentu.