BAB II.
PERKEMBANGAN TENTERA NASIONAL INDONESIA.



Djepang bertekuk-lutut.

LAMA sebelum proklamasi kemerdekaan diumumkan, dan lama sebelum Djepang berkapitulasi. maka Rakjat Kalimantan telah mempunjai semangat perdjuangan jang ditanam oleh almarhum Pangeran Hidajat, Muruhum Anom, . Lambung Mangkurat, dan lain-lain pahlawan Kalimantan jang berdjuang mati-matian untuk melawan pendjadjahan Asing. Sedang Proklamasi kemerdekaan tidak sadja pendorong semangat jang lebih keras, melainkan djuga menuntut pertanggungan-djawab jang lebih besar pada rakjat dan bangsa Indonesia untuk menjempurnakan kemerdekaan jang telah dimilikinja.

Walaupun dalam masa pendjadjahan Belanda, rakjat Kalimantan sama sekali kurang perhatiannja terhadap perdjuangan bersendjata, masuk djadi serdadu Belanda, bukanlah berarti rakjat Kalimantan tidak sanggup berdjuang, melainkan karena bentjinja terhadap apa jang dinamakan serdadu Belanda. Bagi rakjat Kalimantan jang mempunjai tradisi lain daripada rakjat Indonesia Iainnja, masuk mendjadi serdadu Belanda itu sangat diharamkan dan adalah satu dosa.

Tetapi ketika Djepang masuk ke Kalimantan, mereka tidak dapat menghindarkan diri untuk tidak memasuki gelanggang perdjuangan bersendjata sekalipun hanja sebagai Kaigun Heiho, terpaksa karena kebutuhan hidup. terpaksa karena antjaman Djepang dan sebagainja. Semangat pahlawan dan keperdjuritan jang ditanamkan Djepang, mendjelang djandji Indonesia merdeka — sekalipun hanja djandji kosong sadja — membulatkan tekad rakjat untuk menentukan nasibnja sendiri. Pegangan dan pedoman perdjuangan ketika itu nampaknja tidak karuan, karena lepas dari hubungan keperdjuritan jang di-organisecr oleh Peta (Pembela Tanah Air) jang ada di Djawa.

Proklamasi kemerdekaan jang mengumandang keseluruh tanah air, menjetuskan semangat perdjuangan rakjat Kalimantan untuk mentjari sasaran siapa jang harus dikorbankan, kalau bukannja Djepang sendiri. Saat membalas dendam terhadap Djepang terbuka kesempatan jang seluas-luasnja, untuk merebut sendjata dan memusnakannja. Di Kalimantan Barat Djepang dengan sukarela" menjerahkan pimpinan pemerintahan ketangan bangsa Indonesia, karena untuk tidak berbuat demikian, mereka tidak sanggup untuk menahan kemarahan rakjat jang telah meluap-luap itu. Didesa-desa dimana ada Djepang, disitulah ia menemui adjalnja. Suku Dajak jang selama beberapa abad memperlihatkan kepatuhan dan kesetiaannja terhadap bangsa asing, kini kelihatan amat buas, membalas dendam kepada Djepang, dengan djalan menjembelih mereka. Siapakah jang tidak mengetahui, bahwa jang memaksa Komandan Djepang untuk menjerah adalah mereka dari golongan dari suku Dajak. Tentera rakjat jang chusus terdiri dari golongan Dajak jang dipimpin oleh Panglima Burung menjerbu Markas Besar Tentera Djepang di Pontianak.

Huru-hara jang terdjadi di Kalimantan Barat itu mempunjai segi jang berliku-liku, sedang kekatjauan dan propokasi meradjalela tentang kabar jang amat mengchawatirkan, karena dari pihak Tionghoa sendiri timbul kehendak untuk merebut Kalimantan Barat untuk kepentingan bangsanja sendiri, jaitu setelah mempropokasikan kemungkinan datangnja Tentera Tiongkok di Kalimantan Barat. Pihak Tionghoa telah membentuk suatu badan ,,Persatuan anti Djepang” jang berkedudukan di Singkawang, sedang tjabangnja bersebar dalam beberapa kota di Kalimantan Barat.

Sedang dari pihak Indonesia sendiri telah dibentuk suatu badan ,,Pendjaga Keamanan Umum” jang meliputi seluruh kebutuhan masjarakat, dalam mana tergabung didalamnja bekas-bekas Kaigun Heiho, pemuda-pemuda kaum pergerakan dan sebagainja, Kedua pihak ini mempertahankan nama bangsanja masing-masing dalam hal sudah barang tentu rakjat Kalimantan Barat tidak ingin melihat adanja pertjobaan dari pihak Tionghoa untuk menguasai daerahnja, sekalipun untuk itu mereka terpaksa mengangkat sendjata. Rakjat Kalimantan Barat didalam kesibukannja mengatur dan mendjaga keamanan, jang pada umumnja perdjuangan merampas sendjata Djepang belum lagi selesai, terpaksa harus melawan golongan Tionghoa.

Beberapa minggu sebelum Tentcra Australia datang ke Kalimantan Barat, pertentangan “Indonesia-Tionghoa bertambah runtjing dan achirnja terdjadi »Wuurcontact" jang pertama di Pontianak, Singkawang, Sedau dan Djintan. Beruntunglah keuletan semangat rakjat jang dibantu oleh golongan Dajak dapat menguasai keadaan, sekalipun belum berarti, bahwa mereka telah mendapat kemenangan dari lawannja Djepang dan Tionghoa, Dalam perdjuangan melawan Tionghoa ini, mereka tidak kepalang tanggung untuk melakukan pembakaran pasar dan desa-desa orang Tionghoa jang amat banjak terhadap disekitar Pontianak dan Singkawang. Sementara itu tentera Australia dalam bulan Agustus telah mendarat di Kalimantan Barat, jang ternjata dibontjengi oleh tentera Nica. Pihak Australia melihat keadaan jang itu lalu mengundang masing-masing pihak dengan maksud untuk mendamaikannja, akan tetapi oleh pihak Nica jang berpakaian tentera Australia membisikan supaja keadaan demikian dibiarkan berdjalan terus.

Rupanja pertentangan rakjat dengan Tionghoa ini membuka kesempatan bagi Nica untuk mengadu-dombakan, agar dengan demikian perhatian rakjat jang seharusnja ditumpahkan terhadap penjelundupan tentera Nica agak berkurang. Adapun terhadap tentera Djepang jang masih bersembunji dihutan-hutan adalah sudah mendjadi kewadjiban pihak Australia untuk melutjuti sendjatanja, tetapi sementara itu pihak Nica mengalirkan tenteranja lebih banjak ke Kalimantan Barat. Dalam permulaan bulan September 1945 Nica telah mendatangkan pemerintahan sipilnja dengan mendudukkan Residen-residen di Pontianak dan Singkawang.

Rakjat Kalimantan Barat jang melihat kenjataan-ketjataan pahit jang dihadapkan oleh tentera Belanda Nica, jang hendak mengembalikan pendjadjahannja, lebih dahulu harus melalui beberapa majat dan darah rakjat jang bersedia untuk mempertahankan kemerdekaannja. Belum lagi selesai perdjuangan melawan Djepang dan kemudian melawan pihak Tionghoa, sekarang mesti dan wadjib pula bertempur dengan pihak Belanda. Apa boleh buat, karena panggilan tanah-air, karena tuntutan proklamasi kemerdekaan jang tidak memandang djenis, dan suku bangsa dan dimana sadja ada bangsa Indonesia, maka ia harus menggegap-gempitakan semangat perdjuangan kemerdekaan untuk bangsa dan nusa.

Pertempuran jang pertama jang terdjadi di Kalimantan Barat antara rakjat dengan serdadu Nica ialah Sambas pada tanggal 27 Oktober 1945, jaitu beberapa bari sebelumnja rakjat dan pemuda mengadakan: demonstrasi menuntut penurunan bendera Belanda, dan diganti dengan bendera nasional. Peristiwa penggantian bendera harus dibajar mahal dengan djiwa dan raga, dan untuk ini tiga pemuda telah mati ditembak Belanda Nica. Sedjak itu Belanda Nica mulai mengadakan pembersihan dikalangan rakjat dan pemuda serta melakukan beberapa penangkapan.

Perlawanan rakjat tidak terbatas kepada kota sadja, melainkan djuga dipedalaman Kalimantan Barat dilakukan gerakan aksi dibawah tanah untuk melumpuhkan kekuatan Belanda. Perhubungan tilpon, djembatan dan lain-lain sebagainja dirusak dan dihantjurkan, Peristiwa-peristiwa selandjutnja jang terdjadi ialah dikota Bengkajang dalam Kabupaten Singkawang, dimana rakjat melakukan pemberontakan terhadap Belanda jang berhasil merebut Bengkajang dan mendudukinja untuk waktu beberapa hari lamanja. Pemberontakan tersebut dilakukan pada tanggal 7 Oktober 1945, sedang korban djatuh diantara kedua belah pihak tapi pada tanggal 10 Oktober, tiga bari kemudian Belanda mendatangkan bala-bantuan dari Singkawang dan menjerang pertahanan rakjat. Dalam pertempuran itu dari pibak rakjat telah gugur 2 orang, dan lainnja mengundurkan diri kehutan-hutan menanti saat jang lebih baik untuk menjerang kembali.

Sementara itu putera Kalimantan jang tinggal di Djakarta atas kemauan sendiri minta dikirim ke Kalimantan Barat, telah mengadakan hubungan dengan Gubernur Kalimantan Ir. M. Noor di Bandung, jang dalam hal ini memberikan dorongan untuk mengirimkan pemuda-pemuda itu kedaerahnja masing-masing. Pertengahan bulan Desember 1945 oleh Gubernur tersebut dilakukan perundingan dengan Menteri Penerangan Mr. Amir Sjarifuddin jang djuga membenarkan atas pengiriman tersebut dengan tjatatan, bahwa mereka jang dikirim itu adalah sebagai propagandis Indonesia merdeka, dengan mandaat penuh untuk memberi penerangan, membentuk TKR, membentuk KNI, Pemerintah Daerah, dan dapat mempergunakan segala alat sendjata, uang, kendaraan dan lain-lain bagi penglaksanaan Indonesia merdeka didaerah Kalimantan Barat.

Rombongan pertama jang terdiri dari 43 orang pemuda-pemuda Kalimantan Barat telah berangkat dengan dua buah perahu motor dari pelabuhan Tegal pada tanggal 23 Nopember 1945, sedang jang turut menghantarkan ialah Gubernur Noor sendiri dan beberapa orang pemuka-pemuka Kalimantan. Inilah rombongan pertama kedaerah seberang jang dengan resmi dikirim oleh Pemerintah Republik. Rombongan ini selain membawa tugas tertentu dari Pemerintah, djuga membawa bahan-bahan makanan untuk dibagikan kepada rakjat jang menderita.

Dalam perahu selama dalam perdjalanan menudju pantai Kalimantan Barat telah terdjalin satu tekad jang bulat dari segenap rombongan untuk menghadapi segala kemungkinan- kemungkinan, apabila bersua dengan tentera Belanda. Pada tanggal 30 Nopember 1945 rombongan pedjuang mendarat disungai Sirih, 20 Km dari Ketapang. Sedang rombongan lainnja jang terpisah perahunja diperintahkan untuk menjusur pantai menudju Pontianak.

Setelah beberapa hari lamanja di Kabupaten Ketapang, maka rombongan telah dapat menginsjafkan penduduk tentang maksud dan tudjuan daripada proklamasi kemerdekaan Indonesia. Rentjana rombongan ialah untuk memasuki Ketapang jang diduduki oleh tentera Belanda. Akan tetapi sekalipun demikian, rentjana didjalankan terus, ialah untuk membakar tangsi Nica, dan setelah itu mengadakan serbuan dengan bantuan rakjat.

Hanja sajangnja rentjana didahului oleh tentera Nica karena mereka telah mengetahui dari kaki-tangannja, bahwa tentera Republik sudah berada disungai Sirih. Pada tanggal 7 Desember 1945 pagi-pagi buta ketika rombongan akan bergerak menudju Ketapang, maka ditengah djalan berdjumpa dengan tentera Nica jang terdiri dari 12 orang. Para pedjuang masuk hutan mengintai dari tjelah-tjelah pohon karet, dimana kesempatan jang baik dipergunakan menjerang Nica. Dalam pertempuran ini dari rombongan 3 gugur dari Nica 2 orang, sedang dari pihak rakjat terdapat beberapa korban.

Tiap kali ada pertempuran, tiap kali pula Belanda Nica mengadakan pembersihan terhadap kampung atau desa dimana terdjadi pertempuran, rombongan pedjuang jang pada umumnja tidak mempunjai alat sendjata, ketjuali bambu runtjing lalu mengundurkan diri kepulau Bawal, sedang bagian lain dari rombongan telah berhasil merampas beberapa putjuk sendjata dan sebuah motor di Kandawangan sebelah Utara Ketapang. Dipulau Bawal rombongan pedjuang telah diblokir oleh kapal-kapal ketji jang berisi penuh serdadu Nica, tetapi mereka tidak melakukan serangan, karena belum mengetahui betapa sebenarnja kekuatan rombongan itu.

Rombongan pedjuang jang hidup dari satu pulau kepulau lain jang selalu dikedjar-kedjar serdadu Nica , achirnja sampai disalah satu pulau dibagian Kalimantan Selatan, dan disana bertemu dengan pedjuang dari Pangkalan Bun jang ternjata belum lagi dapat dikuasai Belanda Nica. Rombongan tersebut membawa alat-alat sendjata dan bahan makanan untuk membantu pedjuang dari Djawa dalam menggempur kembali kedudukan Belanda di Ketapang.

Djumlah rombongan pada waktu itu kurang-lebih 150 orang, karena terdapat persesuaian fikiran untuk menjerang Ketapang, maka achirnja kembali menudju ke Pangkalan Bun. Keadaan ketika itu dalam bulan Desember 1945 telah berkibar bendera nasional, sedang rakjat bergolak menuntut supaja Sultan Kotawaringin meletakkan dan turun dari tachta keradjaannja, karena dianggap sudah tidak lajak lagi duduk sebagai radja dalam negara Indonesia jang telah merdeka. Untunglah para rombongan dapat menginsjafkan kepada rakjat, bahwa tudjuan kemerdekaan Indonesia djangan ditjemarkan oleh pekerdjaan jang mengenai perseorangan, karena jang demikian ini menanam benih kebentjian antara bangsa Indonesia, sedang perdjuangan kemerdekaan baru mulai. Dengan mandaat jang ada pada rombongan inilah dipergunakan kesempatan untuk meng-activeer perdjuangan rakjat, membentuk Tentera Keamanan Rakjat, membentuk Komite Nasional Indonesia, dan membentuk Pemerintah Daerah, sedang Sultan didjadikan penasehat Tentera Keamanan Rakjat.

* * *

Suka-duka dalam gerilja.

Untuk menggambarkan keadaan di Kalimantan umumnja dalam waktu sebelum proklamasi kemerdekaan, djauh berbeda dengan apa jang terdjadi di Dajwa. Karena dalam bulan Djuni 1945 sebenarnja tentera Sekutu telah dapat merebut Balikpapan, Tarakan dan umumnja daerah Kalimantan Timur dari tangan Djepang. Keadaan jang demikian ini djuga berlainan dengan apa jang terdjadi di Kalimantan Barat dan Selatan. Di Kalimantan Timur rakjat mendjadi bingung tentang situasi peperangan, sedang proklamasi kemerdekaan belum terdengar sama sekali hingga mendjelang bulan September.

Sudah barang tentu kesempatan jang baik tidak dapat dipergunakan rakjat, misalnja untuk merebut sendjata dari tentera Djepang, membentuk Badan Keamanan Rakjat, sedang tentera Sekutu sendiri jang melakukan perlutjutan sendjata terhadap Djepang. Tetapi setelah rakjat mengetahui tentang proklamasi kemerdekaan, serta melihat kegiatan tentera jang berselimut Nica, maka djuga telah terdjadi beberapa insiden untuk menundjukkan, bahwa rakjat Kalimantan Timur tidak sudi didjadjah Belanda kembali.

Tetapi perlawanan rakjat ini segera dapat dipatahkan oleh kekuatan sendjata Nica, karena mereka djuga tidak ingin melihat hangusnja kapital asing jang tersimpan dalam BPM Balikpapan dan Tarakan. Hanja pertumpahan darah jang hebat terdjadi ialah di Pangkalan Bun, karena ditempat-tempat jang telah dikuasai rakjat sedapat-dapatnja dipertahankan dengan sekuat-kuatnja. Perlawanan rakjat Kalimantan Selatan, baik jang dilakukan setjara terang-terangan, maupun setjara gerilja, mendapat bantuan sepenuhnja dari pedjuang-pedjuang Kalimantan jang ada di Djawa, dan dalam kesempatan jang terbuka pedjuangpedjuang ini menjeberang ke Kalimantan untuk membantu saudara-saudaranja melawan tentera Nica.

Kedatangan Nica di Bandjarmasin tanggal 27 September 1945 telah disambut rakjat dengan perkelahian sendjata. Demikian djuga dilain-lain tempat, ketjuali daerah Pangkalan Bun, Kotawaringin, Kumai, Pembuan, umumnja dalam Kabupaten Kotawaringin Belanda belum berani datang. Karena ditempat inilah terletak kekuatan rakjat, jaitu gabungan dari rombongan bersendjata jang mengadakan infiltrasi ke Kalimantan.

Para pemimpin segera menjusun siasat perdjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan negaranja. Di Pangkalan Bun dihadiri oleh segenap lapisan rakjat diadakan upatjara pelantikan Residen dan meresmikan berdirinja Tentara Republik Indonesia pada tanggal 1 Djanuari 1946. Sementara itu diberbagai daerah para pemimpin rakjat telah membentuk badan-hadan perdjuangan jang bermatjam-matjam tjorak bentuknja itu, tapi satu dalam hakekat tudjuan didukung oleh segenap rakjat. Satu dan lainnja melakukan kerdjasama dengan erat sekali, sedang perbedaan suku tidak mendjadi soal. Mereka hanja satu sebagai bangsa Indonesia jang sedang menghadapi kembalinja tentera Belanda.

Sikap pemuda jang tegas dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan mendorong para pemimpin politik untuk mengadakan persiapan dalam lapangan pemerintahan menudju pendjelmaan kemerdekaan jang sesungguh-sungguhnja. Langkah jang diambil kemudian ialah membentuk Pemerintah Republik daerah Kalimantan Selatan. Dengan dihadiri oleh ribuan rakjat Bandjarmasin pada tanggal 10 Oktober 1945 diadakan upatjara peresmian berdirinja pemerintah Republik untuk daerah Kalimantan Selatan. Pada mulanja pemerintahan ini tidak mau diakui oleh tentara Sekutu, karena berbagai sebab, terutama mengenai keamanan. Akan tetapi melihat kenjataan jang diperlihatkan pemerintah Kalimantan jang didukung oleh seluruh rakjat, maka tentara Sekutu dengan perasaan ketjewa dapat mengakui pemerintah ini, dengan pengetjualian tidak dapat menerima pengibaran bendera Indonesia. Dengan kedjadian ini maka timbul kcsangsian dalam kalangan rakjat terhadap gerak-gerik Belanda, karena mereka inilah jang sebenarnja pegang peranan penting dalam tentara Sekutu di Kalimantan, sebelum tentaranja sendiri datang, maka tindakan-tindakan jang diambilnja seakan-akan tidak djauh bedanja dengan kehendak rakjat. Apa maksud mereka mengakui Pemerintah Republik, tapi tidak mau mengakui benderanja. Sedjak itu rakjat bersikap tenang dan waspada dan selalu mengikuti segala tindakan pihak Belanda.

Benar djuga apa jang disangsikan rakjat tidak lama kemudian tampak kenjataannja, bahwa dalam rombongan tentara Sekutu jang terus mengalir, ikut djuga tentara Nica, Untuk sekedar menutupi kehendak jang sebenarnja. pada mulanja Belanda-belanda ini benar-benar mengurus soal tawanan bangsanja sendiri, tetapi lambat-laun setelah dirasanja ada kesempatan dan kekuatan padanja, mercka mulai mendjalankan politiknja untuk menindas gerakan rakjat.

Disamping tentara Sekutu asjik mendjalankan kewadjibannja untuk mentjari orang-orang Djepang dan membebaskan tawanan-tawanan Sekutu, maka orang-orang Belanda-Nica mempergunakan segala tjara dan taktiknja untuk menanam kekuasaannja kembali. Pemerintah Republik untuk daerah ini jang tadinja diharapkan untuk tempat bernaung seluruh rakjat, terpaksa harus dibubarkan dengan perasaan sedih karena antjaman sendjata Belanda. Pembubaran pemerintah ini didahului oleh suatu perkelahian bersendjata antara pasukan-pasukan rakjat dengan serdadu-serdadu Nica.

Sedjalan dengan tindakan Belanda, maka dari pihak tentera Sekutu telah dikeluarkan suatu maklumat, jang sebenarnja sudah harus diumumkan sedjak mendaratnja tentera Sekutu ke Kalimantan, tetapi karena pintar busuknja Belanda, maka maklumat tersebut baru diumumkan sebulan setelah Sekutu datang. Adapun bunjinja proklamasi jang ditandatangani oleh Djenderal Sir Thomas Albert Blamey itu adalah sebagai berikut:

PROKLAMASI:

,,Tentera Serikat telah membinasakan segala kekuatan Djepang baik didarat, dilaut dan diudara, serta keradjaan bangsa Djepang seluruhnja telah menjerah dengan tidak bersjarat kepada tentara Serikat, Angkatan-angkatan perang dibawah perintah Djenderal Thomas telah tiba dinegeri ini, dan telah menerima penjerahan tentera Depang atas nama tentera Serikat, Tentera Serikat akan melindungi penduduk dan keamanannja sampai waktu kembalinja pemerintah Belanda jang sah.

Atas perintah Djenderal Thomas, pemimpin tertinggi kekuatan Serikat didaerah ini, maka undang-undang Hindia-Belanda jang telah diketahui oleh segenap penduduk, akan dipakai dan didjalankan oleh tentara Nica, jang sekarang berada dalam daerah ini. Demikian djuga segala peraturan jang didjalankan oleh pemimpin tertinggi tentera Serikat untuk mendjaga keamanan dan ketertiban”,

Maklumat sematjam ini tidak sadja untuk daerah Kalimantan, akan tetapi djuga untuk daerah-daerah, Timor, Sulawesi, Menado, Ternate, Maluku, Kepulauan Kei, Aru dan Tanimbar. Sementara itu dari pihak Nica djuga dikeluarkan suatu maklumat jang antara lain berbunji:

a. Tentera Nica memberikan advies kepada Komandan Tertinggi Tentera Sekutu, tentang keadaan dalam negeri jang didudukinja.

b. melakukan pemerintahan Balatentera dalam daerah itu atas nama Komandan tersebut.

c. memberikan pertolongan dan keringanan penghidupan kepada penduduk dalam soal ekonomi, memberikan bantuan dan pendjagaan kepada mereka jang mendapat luka, pelarian dan kaum miskin dan sebagainja.

d. memberikan pertolongan dan mengusahakan kepada mereka jang meninggalkan tempat kediamannja dengan terpaksa untuk kembali ketempat-ketempat asalnja, agar mereka dapat pula melakukan pekerdjaan penghidupannja seperti sediakala, mendirikan badan-badan setempat untuk menjelesaikan pekerdjaan tersebut supaja didapat kerdjasama untuk perbaikan dengan setjara perembukan dan permusjawaratan guna perbaikan bersama.

Dengan pengumuman ini makin djelas rakjat, bahwa maksud Belanda datang ke Kalimantan, tidak dapat dilepaskan dari hubungan hendak mendjadjah Indonesia kembali, Usaha untuk mendekati rakjat dengan bermatjam-matjam tipu muslihat budjukan dan adjakan, sebenarnja adalah suatu sunglapan daripada kehendak jang sesungguhnja. Apabila Belanda berhasil dengan akal busuknja ini, maka dengan mudah mereka dapat mempergunakan orang-orang jang dapat dibudjuknja untuk didjadikan perisai bagi penglaksanaan tjita-tjita kolonialismenja. Dengan pengumuman itu Belanda ingin memutar atau memindahkan perhatian rakjat apa jang diperdjuangkannja untuk Republik Indonesia, tetapi sebaliknja bagi rakjat jang telah bulat tekadnja, memandang pengumuman itu sebagai suatu perkosaan terhadap tjita-tjita rakjat, dan oleh karena itu kebentjian makin bertambah dalam terhadap Belanda.

Pemuda-pemuda dengan barisannja sudah siap untuk mengadakan perlawanan, sedang bagian barisan lainnja telah disiapkan menjingkirkan diri keluar kota untuk menjusun barisannja lebih teratur dan merentjanakan penggempuran terhadap Belanda dalam kota. Pertempuran jang kedua kalinja jang terdjadi pada tanggal 9 Nopember 1945, adalah pertempuran jang agak hebat, dimana rakjat telah dapat membakar rumah Pendjara Bandjarmasin jang isinja penuh dengan tahanan-tahanan pedjuang-pedjuang Republik, Setiap ada kemungkinan untuk mengadakan serangan, dalam mana ada kelihatan kelengahan dan kesempatan, maka pihak Belanda selalu mendjadi sasaran granat pedjuang-pedjuang Republik.

 Pemerintah Republik untuk daerah Kalimantan jang dibentuk pada tanggal 10 Oktober 1945, djustru pada saat Belanda telah ada disini, tidak mendjadikan halangan bagi Pemerintah untuk bekerdja terus, asal sadja seluruh rakjat masih memperlihatkan usahanja untuk menjokong Pemerintah itu. Sementara itu perahu-perahu terus mengalir datang dari Djawa membawa rombongan-rombongan pedjuang Republik untuk daerah Kalimantan jang sengadja dikirimkan untuk menghadapi Belanda. Bermatjam organisasi pedjuang Republik jang dikirimkan ke Kalimantan itu, disebar keseluruh pedalaman Kalimantan dengan tugas tertentu, ialah untuk mendjalankan aksi gerilja terhadap Belanda dan kaki tangannja.

 Disetiap kota dan desa. dimana pedjuang-pedjuang ini datang, maka disana mereka membentuk badan-badan perdjuangan, menginsjafkan rakjat tentang betapa beratnja perdjuangan jang dilakukan oleh Republik Indonesia, dan karena itu sekaranglah saatnja seluruh rakjat mendermakan baktinja untuk bangsa, nusa dan agama.

 Komite Nasional Indonesia jang telah dapat dibentuk di Pangkalan Bun, Sampit, Kotawaringin, dengan masing-masing mempunjai badan pemerintahan melakukan kewadjiban dengan sebaik-baiknja sekalipun belum begitu lantjar sebagaimana mestinja. Diseluruh daerah ini berkibar bendera Merah Putih dengan megahnja, tapi dalam kelandjutan hidupnja dihari depan masih disangsikan akan dapat dipertahankan terhadap serbuan tentara Nica.

 Tetapi satu demi satu bendera Republik Indonesia itu diturunkan Belanda, sedang pemerintahnja dibubarkan, terutama sekali didaerah Bandjar, dimana Belanda dengan kekuatan sendjata membubarkan pemerintah, dengan disertai tindakan-tindakan pembersihan terhadap rakjat. Dalam daerah Sampit jang seluruh kekuasaan ada dalam tangan Pemerintah Daerah, Belanda mendjatuhkan surat selebaran, dalam mana dinjatakannja, bahwa pemerintah Hindia Belanda akan kembali kedaerah itu. Boleh dikatakan setiap hari kapal-kapal terbang Belanda mendjatuhkan selebaran-seleharan didaerah-daerah jang masih dikuasai oleh pihak Republik, dengan maksud untuk mempengaruhi pemerintahan dan mengatjaukan suasana.

 Usaha Belanda ini agaknja membawa hasil, karena sedjak itu timbul keragu-raguan dalam sementara anggauta-anggauta pemerintahan daerah, disatu pihak ingin menjerahkan pemerintahan itu kepada Belanda, sedang dilain pihak lagi mempertahankannja, walau sekalipun apa jang akan terdjadi. Dalam keadaan seperti itu dapatlah difahami, bahwa perasaan takut dan tjemas telah mempengaruhi djiwa sebagian mereka, sedang jang lainnja dalam menghadapi revolusi tidak bersandarkan untung atau rugi, melainkan terserah kepada kenjataan apa adanja.  Pro dan kontra terhadap Pemerintah Republik didaerah tersebut dipergunakan sebaik-baiknja oleh pihak kaki tangan Belanda, dan sedjak itu pertentangan dan perselisihan selalu timbul hingga datang saatnja Belanda datang dengan sedjumlah serdadu menggempur daerah itu, jaitu pada tanggal 8 Djanuari 1946. Retak-retak jang telah ditanam Belanda dalam daerah tersebut, mempermudah robohnja pertahanan rakjat, dan mempermudah bagi Belanda untuk menguasai daerah seluruhnja.

 Berita tentang djatuhnja daerah Sampit ketangan serdadu-serdadu Belanda, menimbulkan suasana jang agak tegang dalam daerah Kotawaringin, Pangkalan Bun dan sekitarnja jang masih dikuasai oleh pedjuang-pedjuang Republik. Akan tetapi karena didaerah tersebut mendjadi pusat dari gerakan bersendjata gerilja Republik, maka keadaan kegelisahan dapat diatasi, jaitu karena mereka jang mengendalikannja ada djaminan untuk mempertaruhkan djiwa raganja guna mempertahankan dan menghadapi serangan-serangan dari pihak Belanda. Segenap bagian-bagian dari alat-alat pemerintah Republik jang terdiri dari BKR, KNI, Palang Merah dan organisasi-organisasi pemuda memusatkan perhatiannja terhadap kemungkinan-kemungkinan jang akan ditimbulkan oleh Belanda.

 Didaerah Kumai jang letaknja dipersimpangan perairan jang bermuara kelaut Djawa mendjadi tempat pertahanan rakjat, dan disinilah berkumpul segenap rombongan pedjuang jang dikirim dari Djawa. Pada tanggal 1l Djanuari 1946 djam 17.00 datang suatu utusan dari Sampit dengan sebuah motor, terdiri atas beberapa orang Indonesia jang ingin mengadakan perundingan dengan pihak Republik, Kedatangan utusan Sampit itu menimbulkan ketjurigaan, namun demikian perundingan dilakukan, jang mengenai pokok bagaimana untuk menghadapi Belanda, djika sewaktu-waktu Belanda datang menjerbu. Setelah perundingan itu selesai, maka utusan Sampit kembali pada malam hari itu djuga. Akan tetapi alangkah ketjewanja karena dimuara telah kelihatan 3 buah kapal perang Belanda dalam ukuran sedang, penuh dengan serdadu. Ketiga kapal ini memakai tanda bendera Merah Putih, jaitu untuk sekedar mengabui mata rakjat, sampai kemana pengetahuannja tentang ketiga kapal jang akan mendarat itu.

 Pasukan-pasukan Republik jang telah siap menantikan apa jang akan terdjadi, lebih-lebih waspada dan mentjurahkan segenap pandangan dan perhatiannja kepada kapal jang mendarat itu, dan dalam keadaan jang demikian tiap pedjuang sudah tidak tahan menahan nafsunja, segera melepaskan tembakan kearah kapal itu, karena diketahui didalam kapal itu bukan bala bantuan dari Republik Indonesia, — sekalipun kapalnja memakai tanda Merah Putih — melainkan berisi serdadu-serdadu Nica. Tembakan dari darat dibalas dari pantai dan dalam sekedjap mata pertarungan sendjata berdjalan terus. Bendera Merah Putih segera diturunkan dan diganti dengan bendera Belanda, dengan demikian makin terang bagi rakjat, bahwa mereka benar-benar telah berperang melawan Belanda.

 Dalam waktu hanja 3 djam daerah Kumai djatuh ketangan Belanda setelah menelan korban berpuluh-puluh orang dari pihak pedjuang dan rakjat, sedang dari pihak serdadu mati beberapa orang. Pasukan Republik mengundurkan diri ke Pangkalan Bun serta mempersiapkan pertahanan di Kotawaringin, sedang ketika itu Belanda dengan beberapa buah sepeda motor jang diiringi oleh berpuluh-puluh serdadunja menudju arah Pangkalan Bun. Ditiap djalan jang dilalui serdadu Nica ini sepandjang djalan diletakkan pohon-pohon karet, sebagai penghalang, sedangkan pihak BKR bersembunji dibalik pohon karet dalam kesempatan menjergap Belanda jang lewat. Sepandjang djalan bergelimpangan majat dari penduduk, karena Belanda sudah tidak dapat membedakan antara rakjat jang tidak berdosa dengan pasukan-pasukan BKR main tembak sadja.

 Pertempuran selandjutnja jang terdjadi didaerah Pangkalan Bun dan Kotawaringin ialah pada tanggal 12 dan 13 Djanuari 1946, dalam pertempuran ini banjak sekali korban jang diderita oleh pihak Republik dan penduduk. Demikianlah seluruh daerah Kalimantan Selatan telah djatuh kembali ketangan kolonialisme Belanda, Pasukan gerilja lalu mengundurkan diri kepedalaman Kalimantan, sambil menanti waktu jang baik guna melandjutkan perlawanan gerilja.

 Dalam keadaan demikian itu anggauta-anggauta rombongan jang pertama dan jang kedua bertjerai-bcrai, satu sama lainnja tidak mengetahui mereka ada dimana, jang oleh tentera Nica ditjerai-beraikan sedjak tedjadinja pcrtempuran Ketapang, dan kemudian Kumai, Pangkalan Bun dan Kotawaringin. Tidak diketahui berapa diantara mereka jang masih hidup, berapa jang ditangkap, sedang jang matipun tidak diketahui lagi. Hanja jang diketahui ada satu kelompok ketjil jang terdiri atas 8 orang terus-menerus dikedjar serdadu Nica. Rupanja mereka jang dikedjar-kedjar ini adalah dari staf rombongan jang mempunjai dokumentasi penting tentang keadaan dan kedudukan tentera Belanda di Kalimantan.

 Perdjalanan jang mereka lakukan antara Pangkalan Bun ke Kuala Pembuang memakan waktu tiga hari tiga malam, melalui hutan belukar, sungai, bukit dan sebagainja. Sedang jang mendjadi hahan makanan ialah ubi-ubi kaju, umbut-umbut muda, minum air telaga. Dan kalau waktu malam mereka tidur diatas pohon-pohon kaju, Sewaktu-waktu mereka dapat menemukan dangau, gubuk petani ditengah-tengah ladang, dan disanalah mereka dapat makan dan minum seadanja. Kuala Pembuang jang mendjadi tudjuan pertama dari mereka, ialah untuk minta bantuan kepada penduduk supaja menjediakan perahu untuk terus berangkat ke Djawa buat melaporkan kepada Pemerintah Republik, bagaimana keadaan Kalimantan ketika itu.

 Sehari setelah mereka mentjapai Kuala Pembuang, maka oleh penduduk segera disiapkan satu perahu motor dan dibekali dengan bahan-bahan makanan dan sebagainja. Pagi-pagi benar tanggal 20 Djanuari 1946 mereka berlajar menurut terusan sungai Pembuang menudju Tegal. Ditempat laut selama berhari-hari lamanja senantiasa bertemu dengan kapal perang Nica, tetapi untunglah pelajaran tersebut tidak kurang suatu apa, sekalipun makan, tidur dan minum amat dibatasi, dan karenanja tidak luput dari mengantuk, haus dan lapar. Keadaan di Djawa ketika itu tidak diketahui dengan pasti: apakah Tegal, Pekalongan dan Semarang telah diduduki Belanda, karena tudjuan ialah ke Tegal dan dari sana akan terus ke Djakarta untuk mengundjungi Pemerintah Republik Indonesia.

 Tetapi ketika hampir mendekati pantai Djawa, maka didapat keterangan dari nelajan-nelajan, bahwa baik Semarang, Tegal dan Pekalongan telah diduduki oleh Belanda, sedang pemerintah Republik Indonesia berkedudukan di Jogjakarta. Maka dengan demikian mereka mengarahkan perahunja menudju ke Djuana, akan tetapi sesampainja mereka disana oleh pasukan ALRI ditahan, karena dianggap mata-mata musuh, apalagi karena ketika itu mereka tidak dapat membuktikan, bahwa mereka dari gerilja jang berdjuang di Kalimantan, sedang ,,potongan” mereka tidak dapat melepaskan dugaan tentang mata-mata Nica itu.

 Waktu mereka dibawa kepihak atasan dari ALRI di Bodjonegoro, dan mereka minta supaja diperkenankan untuk mengadakan pembitjaraan telepon dengan Gubernur Kalimantan di Jogja, maka barulah pendjaga pantai Djuana itu mengetahui, bahwa mereka bukanlah mata-mata musuh, melainkan adalah pedjuang-pedjuang jang pertama dikirim oleh Pemerintah Republik ke Kalimantan.

 Pada tanggal 30 Djanuari mereka jang berdjumlah 8 orang itu sampai di Jogja dan langsung mengadakan hubungan dengan Gubernur Kalimantan, dalam mana mereka melaporkan situasi Kalimantan, baik sebelum dan sesudah melakukan pertempuran dengan pihak serdadu Nica, Keesokan harinja mereka diantarkan oleh Gubernur untuk mengundjungi Presiden Sukarno di Istana Merdeka Jogjakarta pada mana mereka diterima dengan baik selama setengah djam lamanja.

 Maka sedjak waktu itu, satu demi satu pasukan bersendjata dari berbagai organisasi jang ada di Djawa jang chusus terdiri atas putera-putera Kalimantan menjiapkan diri berangkat dengan tudjuan jang satu ialah menegakkan kemerdekaan di Kalimantan, Mereka itu adalah dari pasukan bersendjata Pesindo, Hizbullah, ALRI Kalimantan, Ikatan Perdjuangan Kalimantan dan M.N, 1001, Lasjkar Rakjat Kalimantan dan Biro Perdjuangan Seberang.

...

Perang Kolonial.

 Walaupun perdjuangan kemerdekaan didaerah Kalimantan tidak dapat disetarafkan dengan perdjuangan kemerdekaan jang terdjadi di Djawa, mengingat tipisnja tenaga perdjuangan, dan kurangnja alat persendjataan untuk menghadapi serdadu Belanda jang lebih lengkap alat persendjataannja, akan tetapi nilai daripada perdjuagan kemerdekaan itu, pada hakekatnja sama sadja, jaitu untuk mengusir pendjadjahan Belanda dari bumi Indonesia. Kesulitan-kesulitan jang dihadapi para pedjuang tidak sadja karena duduk keadaannja, melainkan djuga kesulitan untuk dapat membedakan dengan tegas, siapa lawan dan siapa kawan. Daerah jang tersendiri jang dikuasai oleh pihak Republik tidak ada di Kalimantan, ketjuali daerah hutan belukar dipedalaman jang djarang diindjak manusia, jang sebenarnja tidak berarti sama sekali untuk melandjutkan perdjuangan.

 Perdjuangan hanja dapat dilandjutkan, apabila dalam hutan belukar seperti di Kalimantan itu terdapat banjak bahan makanan, banjak desa jang dapat didjadikan desa perdjuangan. Ketjuali dalam daerah Kalimantan Selatan jang memungkinkan hidupnja barisan gerilja, karena didaerah ini hampir bersamaan dengan daerah Pasundan di Djawa. Akan tetapi didaerah Kalimantan Barat dan Timur, maupun Tenggara, maka mustahil kiranja gerilja dapat hidup, tidak sadja karena kekurangan bahan makanan, melainkan djuga tanah-tanah rawa jang penuh dengan penjakit-penjakit, tidak memungkinkan akan berlangsungnja perdjuangan kemerdekaan itu, Itulah sebabnja kaum gerilja banjak diantaranja jang tidak dapat hidup demikian, lalu memasuki kota dengan maksud sekedar untuk mengatjaukan keadaan.  Keadaan jang demikian ini amat mempengaruhi perdjuangan, dan oleh sebab itu perdjuangan gerilja hanja terdapat dalam daerah Kalimantan Selatan, sedang di Kalimantan Timur dan Barat hampir dihadapi, ialah banjaknja mata-mata musuh jang dapat mengenal satu persatu anggauta-anggauta perdjuangan, sedang apabila mereka jang tinggal dihutan-hutan itu tidak mau menjerahkaa dirinja, maka kaum keluarga dan familinja diantjam.

 Tetapi bagaimanapun djuga sulitnja keadaan perdjuangan didaerah ini, namun perdjuangan gerilja tetap dilandjutkan dengan berbagai ragam dan tjara, samata-mata mengingat kepada keadaan dan kenjataan. Amat banjak kedjadian jang menjedihkan dalam waktu revolusi itu, karena tidak ada keseimbangan antara jang melandjutkan perdjuangan dengan mereka jang lebih banjak djumlahnja jang terdiri atas kaum avonturier jang melakukan kerdjasama dengan Belanda.

 Untunglah daiam hal ini keinsjafan terhadap bangsa dan nusa lebih besar djumlahnja, terutama bagi putera-putera Kalimantan jang ada di Djawa dengan sukarela menjumbangkan darah-dagingnja untuk membantu perdjuangan rakjat di Kalimantan. Tiga kota besar di Djawa. Surabaja, Solo, Jogja jang mendjadi pusat organisasi pemuda-pemuda pedjuang Kalimantan lebih banjak mengirimkan bala-bantuannja. Tidak kurang 1000 orang telah pergi ke Kalimantan dengan hanja mempergunakan perahu lajar, tidak menghiraukan bahaja-bahaja jang mungkin didapatnja ditengah laut, karena laut Djawa ketika itu didjaga keras oleh kapal-kapal perang Belanda.

 Dalam menjelenggarakan perdjuangan itu, amat besar sumbangan jang diberikan oleh Pemerintah Republik, jaitu dengan menginzinkan berdirinja Biro Perdjuangan untuk daerah Seberang, Alri Divisi Kalimantan jang mendapat anggaran belandja sendiri. Sedang bantuan lainnja ialah berupa bahan-bahan makanan jang berton-ton djumlahnja untuk melandjutkan perdjuangan gerilja di Kalimantan. Dalam bulan Maret hingga Desember 1946 adalah saat-saat jang baik bagi pengiriman tentera, dan karena itu rakjat Kalimantan hilang kechawatirannja, lenjap kesangsiannja terhadap Republik jang dikiranja selama itu dibiarkan sendiri berdjuang melawan Belanda.

 Pendjagaan pantai oleh serdadu Belanda bertambah kuat. Ditiap pangkalan dan dipesisir pantai ditempatkan sedjumlah serdadu, sedang kapal peronda siang malam mendjalankan tugasnja, mengamat-amati perahu-perahu dan motor-motor jang menjeberang ke Kalimantan. Dalam hal ini sudah barang tentu sukar untuk dihindarkan pertarungan sendjata. Sampai achir tahun 1946 djumlah kaum pedjuang jang menjelundup ke Kalimantan berdjumlah lk. 1500 jang terbagi dalam beberapa angkatan, dan masing-masing rombongan menggabungkan diri dengan kaum gerilja, sedang jang lainnja masuk kota untuk melakukan pekerdjaan penjelidikKan dan sabotage, Pasukan-pasukan seperti Pesindo, Alri divisi IV, Biro Perdjuangan Seberang satu dan lainnja senantiasa mempunjai hubungan jang rapat. Diantara mereka banjak djuga jang tertangkap dan kemudian dibuang ke Nusakambangan atau Tjipinang, Sekalipun pertempuran bersendjata antara pihak gerilja dengan serdadu Belanda tidak sehebat perdjuangan gerilja di Djawa, akan tetapi perlawanan berlangsung untuk menundjukkan kepada Belanda, bahwa mereka akan tetap berdjuang mempertahankan Tanah Air dan Bangsa.  Meskipun seluruh kota-kota di Kalimantan telah dikuasai oleh serdadu Belanda, demikian djuga sepandjang pantai jang menjusur dipesisir didjaga keras, tapi bagian pedalaman Kalimantan tidak demikian halnja. Daerah pedalaman dikuasai oleh Republik, dan sewaktu-waktu mengadakan aksi gerilja terhadap kubu-kubu pertahanan Belanda dalam kota. Memang perdjuangan gerilja tidak begitu kedengaran keluar daerah, karena berita-berita pertempuran itu sengadja ditutup Belanda untuk tidak menimbulkan kesan, bahwa dalam daerah penedudukan Belanda terdjadi kekatjauan dan pemberontakan.

 Dalam melandjutkan perdjuangan gerilja rakjat Kalimantan senantiasa „berkiblat” ke Jogjakarta, memperhatikan pasang surutnja perdjuangan, sekalipun hubungan tertentu dan langsung tidak ada antara Djawa dengan Kalimantan. Ketika pihak Belanda mengumumkan „politionele actie” terhadap Republik Indonesia, maka perdjuangan gerilja Kalimantan dapat mentjurahkan segenap perhatiannja, sambil mentjari kemungkinan-kemungkinan untuk memperlemah kedudukan Belanda. Keadaan jang ditimbulkan Belanda dengan gerakan militernja itu, pada hakekatnja menghindupkan kembali semangat perdjuangan rakjat Kalimantan Barat dan Timur jang tadinja seakan-akan lemah semangatnja.

 Sebagai akibat gerakan militer itu, pada umumnja daerah pendudukan di Seberang bergolak, dan sedjak itu pertarungan sendjata terdjadi sekalipun masih setjara ketjil-ketjilan, tapi tjukup mentjemaskan Belanda. Di Kalimantan Barat telah dapat dibentuk suatu organisasi illegaal Tengkorak Putih jang berpusat di Singkawang, sedang tjabang-tjabangnja ada di Sambas, Pemangkat, Pontianak dan Bengkajang. Sedang tjabang istimewa ada di Singapore jang selalu mengirimkan alat-alat sendjata, dan mempunjai hubungan langsung dengan Ibu-kota Republik Indonesia. Tempat persembunjian sendjata disimpan di Pasir Pandjang 18 KM dari Singkawang, dan kemudian diangkut ke Sedau daerah jang lebih dekat dengan Singkawang.

 Karena kekurangan pengalaman dan koordinasi dalam pimpinan gerakan Tengkorak Putih, maka dengan mudah kaki tangan musuh mengetahui tentang gerakan jang membahajakan itu, dan karena itu mereka djalankan aksi pembersihan, penangkapan dan sebagainja, sedang dokumen-dokumen dirampas. Dalam daerah Kalimantan Timur, terutama dipegunungan Samarinda, Tanah Gerogot telah terdjadi pemberontakan terhadap Belanda dan demikian djuga di Balikpapan tanggal 15 Maret 1946 tangsi Belanda diserang rakjat, dan pada tanggal 26 Djanuari 1947 oleh rakjat dilakukan perebutan kekuasaan di Sanga-sanga dan berhasil mendudukinja selama dua bari, dengan korban jang tidak sedikit. Hari jang ketiga, jaitu tanggal 29 Djanuari Belanda kembali merebut Sanga-sanga, dan untuk ini mereka mempergunakan kapal perang. Djumlah rakjat gugur karena serangan ini lebih-kurang 100 orang.

 Pertempuran lainnja jang terdjadi didaerah Kalimantan Tenggara, ialah di Pegatan ketika pada tanggal 17 Pebruari 1946 dimana Belanda dengan mudahnja menduduki daerah itu setelah mengorbankan sedjumlah 36 orang rakjat. Sekalipun dimana-mana tempat Belanda mendapat perlawanan dari rakjat tetapi aksi jang demikian ini mudah sadja dipatahkan, Hanja di Kalimantan Selatan, terutama didaerah Hulu Sungai dan sekitarnja perlawanan masih dilandjutkan.

 Dalam sedjarah kemerdekaan dan dalam sedjarah ketenteraan Nasional Indonesia, maka satu kedjadian jang tak dapat dilupakan, jang baru pertama kali terdjadi ialah tentang pendaratan tentera Pajung Republik Indonesia di Kalimantan. Kissah tentera Pajung Republik penuh dengan suka dan duka, karena dilakukan oleh pedjuang-pedjuang jang masih muda dalam pengalaman, tapi besar hasrat untuk menjumbangkan darma baktinja terhadap perdjuangan kemerdekaan di Kalimantan. Rentjana untuk mendaratkan tentera pajung di Kalimantan, didahului oleh perundingan antara opsir-opsir Kalimantan jang ada di Jogja dengan Commodore Suriadarma, betapa berfaedahnja apabila pesawat-pesawat Dakota dipergunakan untuk mengangkut dan menurunkan tentera pajung di Kalimantan. Maka dengan seizin Kementerian Pertahanan berangkat sedjumlah 13 orang perwira dan beberapa penerbangan untuk melakukan tugasnja ditempat jang diperingatkan. Mereka jang akan diturunkan itu telah mendapat latihan serba sederhana, dan mereka sungguh-sungguh siap untuk melakukan kewadjibannja untuk didjatuhkan atau diterdjunkan dimana sadja.

 Demikianlah hari jang bersedjarah pada malam tanggal 16 Oktober 1947 djam 23.50 mendjelang tengah malam mereka bertolak dari Hotel Tugu menudju kelapangan terbang Maguwo. Pasukan pajung jang terdiri atas 13 orang dengan pakaian jang sederhana, lengkap dengan alat sendjata, sudah bersedia disebelah pesawat, Tengah malam buta mereka dengan tegak berbaris didepan Kepala Staf Angkatan Udara untuk menerima perintah. Mereka jang akan berangkat itu tidak diperkenankan oleh K.S,ALU, untuk berdjabatan tangan, karena K.S.A.U, jakin dan pertjaja, bahwa mereka anak-anak buahnja akan kembali dengan hasil jang gilang-gemilang.

 Djam 02.30 malam pesawat mulai bergerak dan lama kelamaan lenjap ditelan udara malam, Alam gelap gulita, hanja suara motor terdengar menderu-deru, membawa merka ketempat jang tingginja 9000 kaki. Dengan tidak memakai „meteo check" jang sempurna terlebih dahulu, dengan tidak adanja perhubungan „radio ground to air" dan dengan tidak memberi posisi tiap-tiap setengah djam untuk keperluan S.A.R., mereka terus menudju keangkasa dengan „koers 31", Mendjelang waktu fadjar pesawat mereka telah melajang-lajang diatas rawa-rawa di Kalimantan Selatan. Setelah beberapa menit lamanja melajarng dengan amat rendah untuk mentjari tempat atau perkampungan jang agak datar, namun tidak djuga bersua. Keadaan dalam pesawat Dakota itu agak sedikit paniek terutama karena tiada tempat lapangan jang harus ditudju. Sambil bersenda-gurau sekedar untuk menenangkan perasaan jang gelisah, antara mereka sendiri timbul pertanjaan „turunkan sadja disini". Tetapi kepastian belum djuga ada, sekalipun dihadapan mereka terletak sebuah peta Kalimantan, jang sebentar dimiringkan kekanan dan kekiri kalau-kalau sudah berapa ditempat jang semestinja.

 Sedang pilotnja selalu melihat djam dan djarum bensin, apakah mereka masih dapat pulang Djam 7 pagi tepat mereka melajang diatas bukit jang berderet-deret dan sebelah utaranja 5 mil ada ladang kasar, jang disekitarnja masih terdapat amat banjak tunggak-tunggak bekas tebangan pohon-pohon kaju, dan disinilah mereka akan diturunkan. Mula-mula pesawat itu berputar-putar untuk melihat keadaan dibawah. Setelah itu bel pertama lima orang satu persatu terdjun kebawah. Dan bel jang kedua semuanja terdjun, sedang seorang diantaranta tidak mau turun, mungkin karena takut dan ia dalam keadaan jang amat putjat berdjongkok dipodjok belakang pesawat dan achirnja ia terdjun djuga.  Tugas dari mereka semata-mata untuk memperkuat pasukan gerilja di Kalimantan dan untuk mendirikan station radio darurat, membentuk markas gerilja jang akan mendjadi pusat gerakan dan penjerangan terhadap Belanda. Karena keadaan alam jang amat buruk dalam hutan rimba didaerah dimana mereka diturunkan, ternjata kemudian mereka turun ditempat jang salah jaitu ditengah hutan rimba Sambi Kotawaringin, mestinja harus turun didaerah Sopan Biha daerah Muara Mandjul. Sekalipun tempat ini amat berbahaja bagi pasukan mereka, tetapi sjukurlah kesulitan dapat diatasi, sehingga ketiga belas mereka dapat mengindjak tanah dengan selamat. Hanja alat-alat termasuk persendjataan dan pelor dan lain-lain bahan makanan jang telah didjatuhkan tidak dapat didjumpai, sedang alat-alat radio jang amat dibutuhkan untuk mengadakan hubungan dengan Jagjakarta terpaksa terputus.

 Sedjak mereka diturunkan itu belum sekali djuga bertemu dengan sasarannja, sekalipun perdjalanan ketika itu sudah hampir sebulan lamanja. Berpuluh-puluh hari lamanja mereka mengembara dalam hutan rimba dengan menahan penderitaan jang tak terhingga, karena selama itu sekedar untuk menahan lapar dan dahaga terpaksa mengunjah daun-daun kaju dan umbut-umbut muda, Berpakaian tjompang-tjamping dan jang hanja dibadan sadja, tapi sendjata mereka jang amat ditjintai dipelihara dengan sehaik-baiknja.

 Dengan susah pajah mereka naik gunung turun gunung, menjeberangi sungai dan kali, memotong djalan hutan rimba, dengan tudjuan kearah sebelah Timur, hingga achirnja tiba didaerah Rantaupulut bagian Serujan Hulu, Setelah tiba didaerah itu seorang diantara mereka tidak sanggup lagi menahan laparnja, minta izin kepada kepala pasukannja untuk memasuki salah satu kampung dengan maksud untuk mentjari beras dan makanan, akan tetapi setelah beberapa hari tidak kembali sedang kabarnjapun tidak ada.

 Berhubung dengan lenjapnja salah seorang teman mereka itu, jang besar kemungkinan ditangkap oleh Belanda, mereka bertambah waspada dan hati-hati djangan sampai diketahui musuh. Pihak Belanda jang telah mengetahui tentang adanja pasukan pajung, lalu memberikan perintah kepada alat-alat kekuasaannja. polisi dan patroli tentera untuk menjelidiki sampai kemana benarnja berita tentang pasukan pajung itu. Segenap kepala-kepala kampung dalam daerah Kalimantan Selatan digerakkan untuk mentjari mereka.

 Dengan tidak mengetahui tentang persiapan serdadu-serdadu Belanda tersebut, maka kedua belas tentera pajung Republik itu melandjutkan perdjalanan mereka kedaerah Mudjang dan tiba ditempat itu pada tanggal 22 Nopember 1947. Dikampung ini agaknja mereka diterima baik oleh Kepala Kampung dan penduduknja dan memberikan pertclongan mengantarkan mereka ketempat persembunjian dalam sebuah pondok di Sungai Manahan.

 Akan tetapi karena nasib malang bagi pahlawan-pahlawan pajung itu, karena sebenarnja mereka telah masuk perangkap musuh, scbab beberapa saat setelah mereka tiba ditempat itu. Wakil Kepala Kampung telah melaporkan kedjadian itu kepada Belanda dan segera mengerahkan pasukannja untuk mengepung pondok jang didiami oleh pasukan pajung. Djam 5 pagi Belanda adakan serangan tiba-tiba, tapi pasukan pajung melawan dan mempertahankan diri membalas tembakan-tembakan serdadu Belanda. Dalam pertempuran itu 3 orang dari pihak pasukan pajung gugur, sedang Jainnja ditangkap dan disiksa..............  Daerah Kalimantan jang dianggap Belanda mendjadi daerah kekuasaannja, dimana mereka telah dapat memperkuat kedudukan militernja dengan adanja pasukan K.M., K.L. dan KNIL dengan Sultan Hamid sebagai Djenderal Majornja, maka sebenarnja djuga sudah dapat menguasai seluruh keadaan, Akan tetapi tidak demikian halnja, Belanda tidak dapat mengembalikan „rust ea orde” didaerah Kalimantan. Tenteranja tidak tjukup banjak untuk dapat mendjaga akan „memelihara keamanan”, lebih-lebih dilapangan militer tidak amat menjenangkan baginja. Bagaimana untuk mendjaga keamanan dengan hanja 80.000 serdadu untuk seluruh Tadonesia? Untuk daerah Kalimantan sadja Belanda harus mempergunakan sebagian dari tenteranja untuk menghadapi gerilja jang sewaktu waktu menjerang mereka.

 Perang kolonial jang pertama dan jang kedua pada hakekatnja merugikan Belanda, karena dengan demikian mereka menambah kegusaran internasional, dan kebentjian rakjat didaerah pendudukannja. Mereka ditjap sebagai agressor, sebagai penindas gerakan kemerdekaan jang sudah mendjadi hak tiap manusia dan bangsa. Perang kolonial telah mendjelmakan semangat perdjuangan rakjat Kalimantan jang sesungguhnja. Mendjelmakan pahlawan muda seperti Hassan Basry jang hidup matinja mempertaruhkan djiwa raganja untuk bangsa dan agamanja.

 Jang amat menguntungkan bagi perdjuangan kaum gerilja Kalimantan, ialah bahwa bagi mereka tidak mengenal apa jang dinamakan „cease fire”, „demarcaticlijn” dan „penghentian permusuhan”. Bagi mereka tidak ada jang mengikat, tidak ada jang melarang untuk membinasakan Belanda, bergerilja terus siang dan malam. Kaum gerilja jang dipimpin oleh Hassan Basry jang pada mulanja hanja bersendjata bambu runtjing, pedang dan sumpitan, telah bertukar dengan sendjata-sendjata modern jang dapat dirampasnja dari serdadu Belanda. Mereka telah dapat menimbulkan keonaran dan huru-hara dalam kalangan serdadu Belanda. terutama dalam kalangan KNIL, sehingga diantara mereka itu ada jang menjerah dan menggabungkan diri dengan kaum gerilja.

 Dipinggiran kota-kota di Hulu Sungai dan sebelah pedalamannja dikuasai oleh kaum gerilja, terutama karena semangat ke-Islaman daerah ini sedjak dulu terkenal tidak ingin didjadjah oleh Belanda, memberikan bantuan jang besar terhadap kaum gerilja dan oleh karena itu, bagi Belanda daerah itulah jang dipertahankannja. Sementara itu daerah Kalimantan Timur, sekalipun nampaknja Belanda telah dapat menguasai seluruh keadaan, akan tetapi ada bagian-bagian jang merupakan bahaja bagi Belanda, jaitu daerah Tanah Gerogot, sedang di Kalimantan Barat perdjuangan gerilja menundjukkan pasang surutnja.

 Mendjelang tahun 1949 sedang tentera Belanda masih menduduki daerah Republik Indonesia, maka di Kalimantan Barat pada tanggal 10 Djanuari 1949 telah terdjadi lagi suatu pertumpahan darah, karena pada malam harinja pasukan gerilja melakukan serbuan dalam tangsi serdadu Belanda di Sambas. Dalam pertempuran itu pihak gerilja kehilangan beberapa anggautanja jang gugur, sedang jang lain mengundurkan diri masuk hutan. Keesokan harinja Belanda mengadakan patroli dan pembersihan dikampung-kampung, dalam mana banjak diantara rakjat jang tidak berdosa ditangkap dan dikurung.

 Pada tanggal 1 Mei Markas Bataljon ALRI Divisi IV telah dapat dibentuk di Sungai Tatas bagian Kuala Kapuas, dan pada tanggal 17 Mei 1949 Hassan Basry telah memproklamirkan berdirinja pemerintahan militer Republik Indonesia daerah Kalimantan Selatan, sedang ia sendiri mendjadi Gubernur Militernja. Proklamasi itu dinjatakannja dalam daerah perbatasan Hulu Sungai. Dan bagi Belanda perbuatan kaum gerilja itu adalah satu tantangan jang maha hebat. Sedjak waktu itulah berturut-turut terdjadi pertempuran jang amat hebat didaerah Kuala Kapuas, dan daerah lainnja, jaitu pada tanggal 1 dan 17 Djuni 1949. Bagi Pemerintah militer Hassan Basry adalah kesempatan jang sebaik-baiknja untuk menggalang persatuan dalam kalangan kaum gerilja jang berpuluh-puluh djumlahnja dalam satu tampuk pimpinan. Sekalipun persetudjuan militer antara Indonesia-Belanda sudah tertjapai, jaitu dengan penarikan mundur tentera Belanda dari bekas daerah Republik, namun bagi Pemerintah gerilja Kalimantan dipergunakan sebagai suatu saat jang baik sekali untuk membinasakan serdadu Belanda. Lebih-lebih setelah missi militer Republik Indonesia datang ke Kalimantan pada tanggal 28 Agustus 1949 jang diwakili oleh Djenderal Major Suhardjo untuk sesuatu tugas, maka nampaknja kaum gerilja tidak ingin mengadakan kompromi dengan Belanda untuk mentjari penjeleseian di Kalimantan.

 Misi militer Republik jang demikian itu tidak sadja bagi daerah Kalimantan Selatan, akan tetapi djuga untuk daerah Kalimantan Timur dan Barat. Saat-saat jang demikian baiknja itu menambah keberanian dan kebulatan tekad rakjat untuk membalas dendam pada pihak musuh, tetapi mudjurlah atas kebidjaksanaan misi militer Republik keadaan jang tidak diinginkan dapat dihindarkan.

 Pada tanggal 4 Oktober 1949 perdjuangan kemerdekaan rakjat Kalimantan diakui dengan resmi oleh Pemerintah Pusat Republik Indonesia dengan djaian mengresmikan adanja ALRI Div. IV oleh Djenderal Major Suhardjo di Kalimantan Selatan dan Timur. Letnan Kolonel Hassan Basry pada ketika itu diresmikan dalam pangkatnja itu, begitu pula pemimpin-pemimpin lainnja pada ketika itu.

 Pada tanggal 10 Nopember 1949, dengan suatu upatjara resmi di Kandangan oleh Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala, Ketua Delegasi Militer Republik Indonesia, jang bertindak sebagai wakil Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia, ALRI Div. IV dilebur mendjadi satuan Angkatan Darat, diberi nama Divisi Kembung Mangkurat dengan Letnan Kolonel Hassan Basry sehagai panglimanja, sedang wilajahnja dibagi atas daerah-daerah komando, jaitu Komando dangan, Negara dan Rantau sekarang) dan Komando Daerah Selatan.

Daerah Utara (Hulu Sungai Utara), Komando Daerah Tengah (District Kan-

 Bersamaan dengan ini dimulailah mengatur kembali anggauta organisasi Territorial dari pemerintahan ALRI Div. IV jang hingga ketika itu belum mendapat sesuatu kedudukan jang tegas. Kepala-kepala daerah dari Pemerintah Militer ALRI Div. IV ketika itu diresmikan mendjadi Komandan-komandan Onderdistrict dari administrasi Belanda pada ketika itu.

 Kepala-kepala pangkalan, jaitu saingan dari Kepala-kepala Kampong Belanda ketika itu, didjadikan Komandan dari P.K.R. (Pembantu Keamanan Rakjat) dikampongnja masing-masing, jang mana anggauta-anggautanja terdiri dari anggauta-anggauta ALRI Div, IV sewaktu gerilja. Tugas jang diberikan kepada Komando Onderdistrict Militer pada waktu itu adalah meneruskan tugasnja sewaktu gerilja jaitu mengumpulkan pemberian-pemberian rakjat untuk bahan makanan anggauta-anggauta gerilja. Untuk membantu Delegasi Militer R.I. dan pimpinan Divisi Lembung Mangkurat dalam hal membiajai anggauta-anggauta Divisi ini, maka di Bandjarmasin pada tanggal 30 September 1949 didirikan P.P.T.N.I. (Panitia Penolong Tentara Nasional Indonesia). Tugas dari panitia ini adalah mengumpulkan sumbangansumbangan itu adalah dengan perantaraan tjabang-tjabangnja jang berada dalam tiap-tiap ketjamatan. Delegasi Militer R.I. dan Pimpinan Div. Lembung Mangkurat menganggap, bahwa dengan djalan demikian supply dari anggauta-anggauta Divisi Lembung Mangkurat dapat diatur setjara centraal di Bandjarmasin. Dengan demikian dikeluarkanlah suatu peraturan jang melarang fihak Komando Onderdistrict Militer untuk mengumpulkan langsung sokongan-sokongan dari rakjat ditempatnja masing-masing. Dengan izin dari pihak P.P.T.N.I. Pusat mereka boleh pada waktu-waktu jang tertentu mengambil dari tjabangnja P.P.T.N.I. setempat uang dan bahan jang diperlukan untuk anggauta-anggauta Divisi Lembung Mangkurat jang berada dalam wilajahnja.

Bersamaan dengan diserahkannja Kedaulatan atas Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, oleh Pimpinan Angkatan Perang Pusat, Kalimantan didjadikan satu territorium, disebut Tentera dan Territorium VI, dengan Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala sebagai Panglima. Tentang Divisi Lembung Mangkurat dengan sendirinja ditiadakan dan Letnan Kolonel Hassan Basry, ditundjuk sebagai Komandan Sub Territorium Militer II (Brigade B) Kalimantan Selatan.

Berhubung makin lama makin bertambahnja kesulitan-kesulitan jang ditimbulkan akibat masih adanja suatu organisasi bersendjata jang tidak termasuk dalam kontrole dari Pimpinan ketenteraan di Kalimantan, diantaranja apa jang dinamakan „Divisi Tengkorak Putih” jang menjebabkan adanja kekatjauan, terutama disekitar Hulu Sungai, terdjadinja pentjulikan-pentjulikan dan pemerasan-pemerasan oleh anggauta „Tengkorak Putih” ini terhadap golongan-golongan rakjat, jang menurut istilah mereka, adalah bekas atau masih mendjadi kaki tangan dari kekuasaan Belanda.

Di Bandjarmasin kesulitan-kesulitan ini berwudjud penjerangan-penjerangan terhadap perseorangan, konvooi-konvooi dan asrama-asrama KNIL jang pada ketika itu masih ada di Bandjarmasin dan Pleihari. Akibat-akibat dari ini adalah timbulnja tindakan-tindakan pembalasan dari fihak KNIL jang dapat dianggap sangat merugikan rakjat dan TNI pada ketika itu.

Untuk mengatasi soal ini oleh Panglima TT. VI telah ditundjuk dua orang jang dianggap berpengaruh didaerah Selatan, tetapi pihak pertama dalam tindakannja sangat ragu-ragu, sedang jang kedua hanja mentjari kesempatan untuk memperluas pengaruhnja didaerah Bandjarmasin dan Kalimantan Timur Tenggara, jang sudah barang tentu ditindjau dari segi-segi militer sangat merugikan.

Disamping kesulitan-kesulitan dengan „Tengkorak Putih”, alat-alat Pemerintah waktu itu harus pula menghadapi pelbagai matjam pengatjauan lainnja. „Divisi Tengkorak Putih” memulai dalam propagandanja memakai istilah „murba” dan kemudian istilah ini selalu mendjadi mode untuk pengatjau-pengatjau lainnja.

Mereka jang diperintahkan untuk menjelesaikan soal „Tengkorak Putih” tidak memberi hasil jang diharapkan, maka disamping tindakan-tindakan keras, usaha penjelesaian setjara bidjaksana tidak dilupakan, usaha ini telah berhasil sebahagian untuk Hulu Sungai, dimana sebagian anggauta-anggauta Tengkorak Putih telah diresmikan mendjadi TNI sebanjak satu kompi, sedangkan untuk daerah Bandjarmasin, sesudah dengan pelbagai tjara kebidjaksanaan pada bulan Pebruari 1950, sebanjak 1 kompi dimasukkan formatie Bataljon 605.

Beberapa hari sebelum penjerahan kedaulatan, berpuluh-puluh barisan dan pasukan gerilja jang bermatjam-matjam tjoraknja itu satu demi satu dilebur dan diresmikan mendjadi Tentara Nasional Indonesia dengan Hassan Basry sebagai Letnan Kolonelnja. Dalam perkembangan ketenteraan di Kalimantan dapat ditjatat adanja perbedaan dengan Djawa dan Sumatera, karena sedjak proklamasi hingga penjerahan kedaulatan sebenarnja tidak ada TNI di Kalimantan. Jang ada hanja organisasi-organisasi bersendjata seperti M.N. 1001, ALRI Kalimantan, Tengkorak Putih dan berpuluh-puluh pasukan pemberontakan.

* * *

Mengembalikan Keamanan.

Ketjuali daerah Hulu Sungai Kalimantan Selatan jang masih menundjukkan adanja gangguan keamanan, maka didaerah Kalimantan Barat Pemerintah tidak begitu repot, karena daerah bekas Sultan Hamid itu gangguan keamanan hampir tidak ada. Sesungguhnja daerah Kalimantan Barat mendjadi tjermin bagi daerah lainnja dalam soal keamanan. Dan daerah inilah jang termasuk aman diseluruh Indonesia. Sudah tentu akan timbul pertanjaan „apa sebabnja keamanan di Kalimantan Barat demikian baik”? Apakah karena tjukup kuatnja pendjagaan dari pihak polisi dan tentera, ataukah karena keinsjafan rakjat sendiri, padahal rakjat Kalimantan Barat djuga terlibat dalam pertarungan sendjata dengan pihak Belanda?

Dalam babak jang lalu telah dikemukakan tentang suasana dan iklim daerah Kalimantan Barat. Tumbuhnja organisasi gerilja dalam zaman kolonialisme Belanda, sebenarnja adalah karena terpaksa tidak tahan menderita siksaan dari pihak pendjadjah, karena itu mereka memaksakan diri untuk melawan kekuasaan Belanda setjara gerilja. Melihat keadaan di Kalimantan Barat, sesungguhnja tidak memungkinkan untuk hidup langsung suatu organisasi gerilja jang ada dihutan-hutan, tidak sadja karena kekurangan bahan makanan, akan tetapi djuga karena bahaja binatang buas. Dalam daerah jang „kurus kering” jang tidak menghasilkan apa-apa, ketjuali kelapa dan getah, sedang beras jang dihasilkan oleh ladang dan sawah tidak terdapat tjukup di Kalimantan Barat. Oleh karena itu apakah mungkin gerilja itu hidup sepandjang masa, atau menantikan bantuan dari lain daerah untuk melandjutkan perdjuangannja?

Daerah Kalimantan Barat jang terpentjil kedudukannja membahajakan bagi kehidupan kaum gerilja, kalau dalam perdjuangan gerilja itu tidak terdapat rentjana jang tjukup lengkap. Ketjuali dalam menghadapi Belanda, kaum gerilja dapat mendjalankannja dalam batas waktu jang tertentu, karena terdorong oleh kejakinan jang besar, bahwa sewaktu-waktu Belanda dengan sendirinja akan pergi dari Kalimantan Barat. Sebaliknja apabila mereka mendjalankan gerakan gerilja dalam Negara jang sudah merdeka dan berdaulat, terhadap pemerintah bangsanja sendiri dengan tidak mempunjai batas waktu jang pasti, sedang untuk hidup setjara gerilja sama sekali tidak memungkinkan, maka dengan sendirinja tidak ada orang jang mengambil risico demikian besar untuk melakukan gerakan gerilja.  Dari lain sudut dapat dilihat, bahwa djumlah rakjat Kalimantan Barat dalam melakukan gerilja terhadap Belanda dahulu terbatas dalam djumlah jang amat ketjil, kalau dibandingkan dengan perdjuangan gerilja di Kalimantan Selatan. Dengan lain perkataan, bahwa gerakan bersendjata dalam hubungan kekeluargaan amat mempengaruhi djiwa-raganja dan oleh karena itu setelah penjerahan kedaulatan mereka kembali kemasjarakat dengan tidak ada membawa sesuatu tuntutan. Mungkin karena djumlah terlalu ketjil tidak tjukup besar untuk menarik perhatian Pemerintah, sekalipun mereka pernah menundjukkan keanehan dalam susunan pemerintahan daerah dan dalam lapangan APRIS.
 Dalam hubungan ini maka faktor-faktor psychologis dan historis bagi rakjat Kalimantan Barat amat berpengaruh dan tidak dapat dihilangkan demikian sadja. Misalnja djiwa ketenteraan tidak dapat hidup dalam tubuh masjarakat Kalimantan Barat, baik sedjak zaman Belanda, Djepang dan sekarangpun dapat dihitung berapa djumlah mereka jang masuk dalam gelanggang ketenteraan. Dalam zaman Belanda dulu tidak seorangpun dari rakjat Kalimantan Barat jang mendjadi serdadu Belanda, sedang dalam zaman Djepang karena takut beberapa orang djumlahnja terpaksa mendjadi Kaigun Heiho. Ini bukan berarti, bahwa mereka tidak mempunjai semangat perdjuangan dan kepahlawanan, melainkan pekerdjaan jang mengikat dalam ketenteraan itulah jang sukar diterima oleh mereka dan oleh kaum keluarga mereka.
 Demikian djuga faktor-faktor ekonomis, mereka tidak amat menderita tentang kesukaran itu , karena pada umumnja penduduk Kalimantan Barat mempunjai tanah dan kebun kelapa dan karet, serta usaha-usaha lain jang dapat meringankan beban penghidupannja. Keamanan di Kalimantan Barat pada hakekatnja melantjarkan djalannja pemerintahan daerah, dan rakjat bersedia untuk membantu pemeliharaan keamanan . Tetapi karena banjaknja djumlah bangsa asing di Kalimantan Barat jang mempengaruhi djalannja perekonomian dan djalan penghidupan masjarakat, dengan usaha mereka melakukan penjelundupan barangbarang dari dan keluar Kalimantan Barat, maka kelihatan keamanan agak terganggu, sekalipun tidak mempunjai arti sama sekali. Kalau keamanan di Kalimantan Barat terganggu, maka amat mudah untuk mengetahuinja siapa sebenarnja jang melakukannja, kalau bukannja dari anasir-anasir asing sendiri, jang dengan segala matjam pertjobaannja untuk mengatjaukan perekonomian rakjat.
 Demikian djuga di Kalimantan Timur soal keamanan tidak begitu memusingkan kepala Pemerintah Daerah, sekalipun ada pihak tertentu jang berusaha untuk mengatjaukan keadaan, misalnja dengan pertjobaan badjak-badjak laut asing jang sengadja melakukan perampokan diperairan laut Kalimantan Timur. Masalah gerilja dalam zaman Belanda tidak nampak sekali, dan jang demikian ini tidak berarti, bahwa rakjat Kalimantan Timur tidak berdjuang melawan Belanda untuk kemerdekaan Bangsa dan Negara . Jang mendjadi soal sekarang ini ialah keamanan di Hulu Sungai, Kalimantan, jang belum dapat diselesaikan sebagaimana mestinja.
 Masalah gangguan keamanan di Hulu Sungai mengandung faktor-faktor psychologis, jang memang tidak dapat dihindarkan bagaimanapun djuga, sebagaimana lumrahnja diwaktu masa peralihan. Tiap-tiap saat peralihan, pemerintahmanapun djuga tidak dapat melepaskan atau menghilangkan kepintjangan. Karena soal psychologis inilah, bagi mereka jang memang belum luas pengalaman dan pengetahuannja, amat mudah didjerumuskan dalam perkara-perkara kedjahatan.

 Betapapun djuga pihak pemerintah tentu akan dapat mengambil djalan sebaikbaiknja bagi penjelesaian keadaan itu dengan pengertian, bahwa mereka jang telah melaporkan diri untuk ditampung masih mempunjai djiwa jang dapat diperbaiki dari kesalahan-kesalahan jang diperbuatnja. Mereka jang ingin ditampung itu, tentunja dengan kesedaran untuk mempertanggung-djawabkan segala perbuatannja, dan oleh karena itu pengembalian mereka kedalam masjarakat harus melalui saluran-saluran sebagaimana lajaknja.

 Sekalipun usaha-usaha pihak Pemerintah dan alat-alat kekuasaannja jang dilakukan dengan berbagai tjara dan dalam kemungkinan-kemungkinan jang dapat ditjapainja, namun buah usaha itu hanja dapat mengurangi ketegangan, dengan lain perkataan pengatjauan tidak dapat dibasmi sama sekali. Sedjak Letnan Kolonel Hasan Basry mengundurkan diri dari lapangan ketenteraan, maka tugas penjelesaian seluruhnja dipegang oleh Komandan Territorial VI overste Sukanda Bratamenggala, maka soal keamanan pula jang primair jang harus didahulukan penjelesaiannja.

 Sebenarnja usaha untuk menjelesaikan soal gerilja dan pengumpulan sendjata jang ada ditangan mereka di Kalimantan Selatan telah didjalankan sebelum maklumat Pemerintah tertanggal 14 Nopember 1950 diumumkan. Dan sedjak tanggal 1 Nopember bantuan militer untuk pembersihan di Hulu Sungai telah ditarik kembali setelah sebulan lamanja didjalankan. Sekalipun demikian kriminaliteit di Kalimantan Selatan bukan berturun, malah makin tinggi. Karena daerah Kalimantan Selatan amat luas dan besar hal itu menambah sukarnja bagi polisi dan tentera untuk mengawasinja. Sedjak bulan Pebruari 1950 djumlah anggauta gerilja jang ditampung sedjumlah 16.000 orang.

 Akan tetapi ternjata kemudian banjak diantara mereka jang mengundurkan diri dari ketenteraan, sehingga djumlah jang tadinja 16.000 orang, pada waktu itu, jaitu dalam Maret 1950 hanja tinggal 6000 orang jang tetap tinggal dalam formasi tentera sedang jang lainnja jaitu djumlah jang lebih besar kembali kemasjarakat, dan bahkan diantaranja banjak jang menggabungkan diri lagi dengan pasukannja dihutan-hutan. Oleh karena keadaan jang selalu pasang surut, jang menundjukkan kegontjangan dalam masjarakat, maka mau tidak mau djalan kekerasan didjalankan, jaitu dengan satu ultimatum jang dikeluarkan oleh pihak ketenteraan tanggal 15 Oktober 1950 supaja kaum bekas gerilja menjerahkan diri dengan sendjatanja. Hasil jang ditjapai dari ultimatum itu sedikit sekali, bahkan kaum gerilja lebih meradjalela melakukan aksinja membakar dan mengganggu keamanan. Soal keamanan di Kalimantan Selatan telah menarik perhatian demikian djauhnja, sehingga Pemerintah Pusat dan Parlemen merasa perlu untuk mengirimkan satu Komisi Penjelidik untuk mentjari bahan-bahan sekitar penggangguan keamanan itu. Akan tetapi hasilnja baru dalam tingkat mempeladjarinja sampai dimana ada kemungkinan untuk menjelesaikannja dengan tjara jang baik, dengan tidak sampai menumpahkan darah lebih banjak. Timbulnja gangguan keamanan memang tidak dapat dilepaskan dari soal „ontevredenheid" jang telah berurat-berakar dalam kalangan bekas tenaga pedjuang, dan bahwa keadaan demikian disebabkan akibat pengembalian kaum gerilja jang kurang sempurna kedalam masjarakat.

  Biar bagaimanapun djuga segala alasan dan saran-saran jang diterima oleh pihak jang berwadjib, tidak dapat membenarkan dugaan seakan-akan kekatjauan didaerah bagian Kalimantan Selatan itu mengandung tendens politik, akan tetapi jang lebih tepat ialah karena soal-soal jang berputar pada soal sosial dan ekonomis sebagian masjarakat dewasa itu. Kesukaran mentjari djalan penghidupan jang lajak didalam masjarakat mendjadi gara-gara apa sebabnja gangguan keamanan itu kian hari kian meningkat. Segala tindakan-tindakan jang keras, patroli-patroli jang kuat dan giat dari pihak polisi dan tentera, didjalankan untuk menghindarkan kesalah-fahaman jang terdapat dalam masjarakat.

 Pengembalian kaum gerilja kedalam masjarakat, serta penampungan mereka kedalam ketenteraan disatu pihak, sedang penempatan tenaga dari apa jang disebut kaum co dalam semua lapangan pemerintahan sipil dan militer dilain pihak, tidak dapat dipertemukan apalagi dipihak jang pertama jang selama dalam waktu-waktu revolusi mendapat pukulan keras dari pihak jang kedua, jang pada waktu itu mendjadi musuhnja, sekarang harus bersatu dalam ketenteraan.

 Untuk mengatasi soal keamanan didaerah ini, maka antara pihak ketenteraan dan pihak Pemerintah sipil telah dikeluarkan maklumat bersama, tentang pembagian pekerdjaan antara polisi dan tentera.

 Maklumat bersama masing-masing ditanda-tangani oleh Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala, dan oleh Gubernur Murdjani pada tanggal 1 Nopember 1951. Dan sedjak itulah keamanan berangsur baik, sekalipun masih belum dapat dikatakan sudah pulih sama sekali. Tetapi jang demikian ini mendorong kepada pemerintah untuk mengambil tindakan penghapusan SOB didaerah Kalimantan dan penghapusan itu diresmikan berlakunja pada tanggal 30 Djuli 1952, dan sedjak itu segala kekuasaan telah dikembalikan oleh pihak militer kepada pihak sipil.

 Peraturan SOB jang sebenarnja adalah peninggalan peraturan dari Pemerintah Belanda, menurut Staatsblad tahun 1940 ― 134 dengan beslit Gubernur Djenderal Hindia Belanda tanggal 10 Mei 1940 No. Iz, maka seluruh Indonesia dinjatakan dalam keadaan „Staat van Beleg". Pada tanggal 15 Djuli 1946 seluruh daerah Kalimantan keadaan „Staat van Beleg" ditjabut, dan mulai saat itu djuga dinjatakan berlakunja keadaan „Staat van Oorlog" bagi daerah Kalimantan, jaitu Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Pangkalan Bun, Sampit, Kuala Kapuas, Kapuas, Barito, Bandjarmasin, dan Pleihari.

 Selandjutnja pada tanggal 18 Desember 1948 oleh Pemerintah Belanda dinjatakan, bahwa daerah Hulu Sungai dalam keadaan „Staat van Beleg" sedang daerah Bandjar, Martapura dan Kota Baru dalam keadaan „Staat van Oorlog". Pada waktu penjerahan kedaulatan 27 Desember 1949, keadaan itu tetap tidak berubah, tetapi setelah selesai Operasi Merdeka jang didjalankan sedjak tahun 1950 sampai permulaan tahun 1952, jaitu dalam bulai Mei didaerah Hulu Sungai dan daerah Kalimantan Selatan pada umumnja, telah diambil tindakan untuk menstabiliseer daerah Komando Territoriaal VI guna menentukan status TT lebih landjut.  Untuk lebih menstabilisasikan keamanan didaerah Hulu Sungai, maka sedjak hapusnja SOB pihak ketenteraan masih menganggap perlu untuk memberikan bantuan untuk 6 bulan lamanja, mengingat tenaga dan alat-alat sipil masih belum lengkap, tetapi pada tanggal 24 Djanuari 1953 atas permintaan Gubernur Kalimantan mengingat djumlah tenaga pamongpradja dan polisi sudah tjukup untuk mendjaga keamanan, maka bantuan militer selama 6 bulan itu ditiadakan.

 Walaupun demikian, keredaan suasana masih menundjukkan ,,bahaja bagi masjarakat, dan Pemerintah belum dapat menguasai seluruh keadaan dalam arti kata jang seluas-luasnja. Penjabutan SOB, dan pergantian pengendalian keamanan dari tangan militer ketangan sipil pada hakekatnja menarik kepertjajaan rakjat seluruhnja terhadap kesanggupan Pemerintah untuk menjelesaikan keamanan. Kepertjajaan rakjat bertambah tebal terhadap Pemerintah, dengan demikian memberikan bantuannja, baik moreel dan materieel, misalnja dengan djalan bergotong -rojong menundjukkan tempat-tempat persembunjian para gerombolan.

 Melenjapkan perasaan takut jang dialami rakjat selama tahun-tahun jang lalu inilah jang amat penting, disamping usaha kerdjasama berbagai pihak untuk mengembalikan keadaan jang aman dan damai. Tjara bagaimana Pemerintah sekarang untuk mengatasi soal keamanan di Kalimantan Selatan ini, apakah akan melalui djalan-djalan jang telah dirintis oleh tentera ataukah akan melalui djalan lain. Hal ini baik kita mengikuti perkembangan-perkembangan seterusnja.

 Dalam hubungan ini Pemerintah telah mendjalankan kebidjaksanaannja dalam batas-batas kemungkinan untuk mengurangi ketegangan, misalnja dengan djalan memberikan tempat sebaik mungkin kepada bekas kaum gerilja dalam lapangan tentera, polisi dan pamongpradja.

* * *

Kembali ke Masjarakat.

 Sebagai akibat daripada penjerahan kedaulatan jang banjak mengandung segi-segi politis dan militer, terutama dalam lapangan ketenteraan, dalam mana peleburan daripada tentera KNIL kedalam APRIS, membawa ketegangan jang bukan ketjil, jang tidak sadja terdjadi dilain daerah, melainkan djuga di Kalimantan Selatan. Penjerahan kedaulatan jang amat luas pengertiannja itu, dimana seruluh alat-alat kolonial harus didjelmakan mendjadi alat-alat nasional. Proses likwidasi KNIL itu, sekalipun nampaknja berdjalan lantjar, akan tetapi tidak dapat dilepaskan daripada perasaan jang tumbuh dalam sementara anggautaanggauta pedjuang jang melihat, bahwa keadaan demikian itu adalah kurang bidjaksana.

 Oleh karena itu amat sukar untuk mengukur sampai kemana kepatuhan para pedjuang terhadap kemungkinan masuknja mereka dalam ketenteraan APRIS, karena mereka menganggap, bahwa masuknja bekas KNIL merupakan duri dalam daging. Perasaan tidak puas jang hampir meliputi seluruh anggauta pedjuang-pedjuang di Kalimantan Selatan, membawa ekses jang kurang baik dalam masjarakat. Dalam hubungan itu dapat difahami, apa sebabnja masih banjak diantara mereka jang melakukan perdjuangan melawan tentera Belanda, djustru pada saat setelah penjerahan kedaulatan, mereka masih tetap tinggal digunung dan dihutan, tidak bersedia memenuhi undangan Pemerintah masuk APRIS, selama mereka masih melihat keadaan-keadaan jang menjolok mata. Keadaan demikian ini timbul tidak sadja di Djawa, akan tetapi djuga di Sulawesi Selatan, dan bahkan di Kalimantan Selatan sendiri jang amat sukar menjelesaikannja.

 Bukan karena hendak menentang politik Pemerintah, dan bukan pula tidak insjaf terhadap panggilan bangsa dan tanah-air, melainkan mereka tidak dapat mengendalikan perasaannja. Tidak dapat menerima begitu sadja kerdja-sama dengan bekas-bekas serdadu Belanda jang didalam perdjuangan kemerdekaan merupakan musuh jang besar bagi mereka sendiri. Oleh karena itu mereka kaum gerilja sebagiannja tidak hendak menggabungkan diri dalam APRIS, sekalipun ketika itu sudah ada Divisi Lambung Mangkurat dengan Letnan Kolonel Hassan Basry selaku Komandannja. Berhubung dengan sikap jang keras dari sebagian kaum gerilja, jang sedjak itu dibalik dengan nama gerombolan jang hendak menentang politik ketenteraan Pemerintah, maka mau tidak mau Pemerintah terpaksa mengambil langkah-langkah kedjurusan mengurangi adanja ketegangan itu.

 Sedjak waktu itu Overste Hassan Basry selaku Komandan dan penjelesaian daerah Hulu Sungai menjerukan kepada segenap pedjuang-pedjuang bersendjata supaja melaporkan diri untuk ditampung dalam ketenteraan. Kembali kemasjarakat adalah djalan satu-satunja bagi bekas tenaga pedjuang, akan tetapi bagian lain jang melihat tidak adanja djaminan terhadap diri mereka, tetap tidak bersedia untuk kembali kemasjarakat, sebelumnja pihak ketenteraan meletakkan dasardasar djaminan terhadap mereka. Diantara mereka jang melaporkan diri telah berdjumlah 670 orang. Diantara mereka itu bukan sebenarnja semuanja orangorang jang bergerak dalam gerombolan bersendjata, hanja dengan tidak sadar „turut-turutan" oleh karena terpengaruh atau terpaksa oleh sesuatu keadaan.

 Kembali mereka kemasjarakat itu menundjukkan, bahwa keinsjafan dan kesadaran terhadap bangsa dan negara, lebih berat daripada menurutkan perasaan dan sentimen. Tetapi karena mereka itu patuh dan menginsjafi kesalahannja jang telah memberontak terhadap alat-alat kekuasaan negara, diusahakan sedapat-dapatnja supaja mereka itu dapat menjesuaikan dirinja dengan keadaan. Pokoknja asal mereka tobat dan tidak akan melakukan sesuatu perbuatan jangmelanggar hukum, maka mereka akan ditempatkan dalam ketenteraan dan kepolisian, selebihnja dikembalikan kemasjarakat.

 Tetapi walaupun demikian suasana Hulu Sungai masih tetap hangat, dan merupakan suatu daerah sasaran dari „operasi merdeka”. Djalan jang diambil oleh pihak ketenteraan dalam hubungan masih berlakunja S.O.B. di Kalimantan Selatan tidak mengurangi kehendak untuk menampung para bekas pedjuang jang telah membikin keonaran jang membawa akibat penderitaan rakjat. Karena itu hendaknja djangan dianggap, bahwa djalan kekerasan jang dilalui itu semata-mata karena berputus asa, jang demikian itu semata-mata hendak menundjukkan, bahwa pelanggaran hukum dimanapun djuga harus dibasmi. Pelanggaran hukum negara dan pelanggaran terhadap hukum Tuhan tidak akan dapat mempertahankan diri lebih lama terhadap keadilan dan kebenaran. Peralihan keadaan jang dihadapi oleh seluruh masjarakat Kalimantan harus membawa perubahan, karena tiap-tiap operasi akan mendatangkan perkembangan baru. Daerah Kalimantan Selatan jang djuga menghadapi penjelesaiannja, nampak memberikan harapan, tidak sadja bagi pihak Pemerintah, namun djuga terhadap masjarakat dan rakjat.

 Pihak Pemerintah bukan tidak menginsjafi, bahwa rakjat masih belum merasa puas dengan adanja susunan dalam kalangan Pemerintah dan ketenteraan, serta kepolisian. Dan oleh karena Pemerintah bersedia untuk membuka saluran-saluran keinginan-keinginan itu menjesuaikannja dengan keadaan dimana perlu , asal sadja tidak bertentangan dengan prinsip negara, jalah memelihara keamanan dan ketenteraman. Pemerintah mengetahui bahwa besarnja harapan rakjat, dan bahkan ada jang berkejakinan bilamana susunan pemerintahan dengan alat-alatnja disusun demikian rupa jang mendekati keinginan masjarakat, sekurangkurangnja akan dapat mengurangi ketegangan-ketegangan. Bukan rahasia lagi, bahwa keinginan rakjat daerah ini jang meminta supaja susunan alat-alat negara ditindjau kembali, dengan lain perkataan supaja bekas-bekas tenaga kolonial dinon-aktipkan.

 Walaupun jang demikian ini psychologis akan mempengaruhi keadaan, tetapi hal ini tidak dapat dibiarkan berdjalan terus, artinja harus dibatasi dalam batasbatas kemungkinan dan kesanggupan daripada alat-alat Pemerintah sendiri, Malah dapat diinsjafi, bahwa situasi jang timbul didaerah Kalimantan Selatan tidak dapat dilepaskan dari hubungan faktor-faktor jang terdjadi setelah penjerahan kedaulatan. Bagi pemerintah sendiri jang djuga merasakan betapa sulitnja menghadapi keadaan, sebagai akibat daripada penjerahan kedaulatan, hanja dapat dilalui satu djalan ialah mengusahakan pembersihan dikalangan para bekas pedjuang jang tidak tunduk kepada hukum-hukum negara.

 Kesukaran bagi Pemerintah untuk mendjalankan pembersihan itu, ialah harus dapat membedakan antara mereka jang mengganggu keamanan, dengan mereka jang karena terpengaruh oleh anasir-anasir bersendjata, merasa takut lalu turut-turutan, sehingga adalah sebagai suatu keadaan jang terpaksa sadja, untuk menjelamatkan diri dari gerombolan bersendjata. Dalam masjarakat jang bertjampur baur, tidak dapat dibedakan dengan tegas suatu garis pemisahan antara jang baik dengan jang djahat, sedang untuk mendjalankan tindakan pembersihan harus dilakukan dengan bidjaksana sekali, agar tidak sampai mempengaruhi kehidupan masjarakat. Akan tetai bagi orang jang tidak mau membohongi diri sendiri, dan mau mengambil pandangan jang luas, propaganda anasir-anasir bersendjata tidak gampang diterima oleh pikiran sehat. Tiap-tiap usaha atau gerakan jang sengadja hendak mengatjaukan keadaan, menghuru-harakan ketertiban umum, jang langsung menimbulkan kesulitan dalam masjarakat mustahil akan dapat tumbuh lebih lama.

 Sekalipun rakjat terbanjak masih buta terhadap „ideologie" jang dipaksakan oleh golongan bersendjata, tetapi djika keadaan demikian dibiarkan, maka usaha penghidupan rakjat mendjadi kotjar-katjir, jang achirnja menimbulkan rasa kurang pertjaja terhadap alat-alat negara, maka amat sukar mengendalikan keadaan, djustru pada saat Pemerintah hendak menjelesaikan soal keamanan.

 Tindakan pemeritnah untuk menjelesaikan soal keamanan di Kalimantan Selatan itu tidak sadja melalui saluran kemiliteran, melainkan djuga dirumuskan dalam tindakan-tindakan jang bersifat politik, bilamana jang demikian ini ada kemungkinan-kemungkinan. Pemerintah selalu berusaha untuk menghindarkan djalan kekerasan, dan apa boleh buat kalau tindakan Pemerintah didjalankan agak keras, semata-mata terdorong oleh kewadjiban untuk mendjaga keamanan dan ketertiban hukum. Pokok pangkal daripada kekeruhan di Hulu Sungai itu, disebabkan adanja anasir-anasir destruktip dari pihak ketiga jang sengadja hendak mengatjaukan keadaan, ialah semata-mata berkisar pada soal keketjewaannja satu golongan lain, sehabis revolusi.

 Dalam hubungan ini sudah barang tentu tidak dapat ditutup-tutup adanja sesalan rakjat terhadap alat-alat negara, bahwa tjaranja alat-alat negara itu bekerdja, belum dapat dipudjikan sebagai suatu mesin negara jang merdeka jang dapat memberikan djaminan dalam daerah sendiri, dimana masjarakat amat mengharapkan djaminan keamanan jang sesungguhnja. Sebagian rakjat jang ketjewa, ditambah pula dengan ketjerdasannja jang belum tinggi, maka tidaklah mengherankan, apabila mereka dengan begitu mudah dapat dihasut oleh lain golongan, sehingga mereka terlibat didalam pelanggaran-pelanggaran hukum jang mestinja didjaganja itu. Buktinja dapat dilihat dari keadaan tragik dibagian Kalimantan Selatan, dimana setelah tidak ada lain djalan jang harus ditempuh, maka mau tidak mau tindakan militer harus didjalankan untuk mengembalikan ketertiban umum.

 Suasana Hulu Sungai mendjadi tjermin besar bagi rakjat Kalimantan umumnja untuk perkembangan-perkembangan jang akan datang. Tetapi meski bagaimanapun djuga adanja gangguan keamanan, namun sebab-sebab jang menimbulkan kekeruhan itu harus dihilangkan dan atau setidak-tidaknja dikurangi. Soalnja apakah bertitik berat pada segi psychologis atau politis, ataukah berkisar pada belum sempurnanja alat Pemerintah mendjalankan kewadjibannja.

 Bila masjarakat belum dapat memberi penghargaan dan mengadakan perhitungan untung -rugi sebagai apa jang mendjadi tudjuan jang belum tertjapai itu adalah satu hal jang dapat dimaklumi.

 Sesungguhnja terdapat satu tudjuan sutji, apalagi sebagai perdjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, tidak boleh sekali-kali memikirkan achir akan akibat senjum-ketawa, tetapi djuga harus menerima hasil jang membawa duka -nestapa dan menjedihkan. Ichtiar dan usaha harus dipusatkan semata-mata kesatu titik, jaitu menjumbangkan tenaga sebanjak mungkin dengan tidak memikirkan kurban jang diberikan. Demikianlah tekad pedjuang, pedjuang jang selalu mengabdi kepada Nusa dan Bangsanja. Bangsa Indonesia telah sampai kesatu batas jaitu Kemerdekaan Nasional jang sudah berwudjud dan mendjadi kenjataan, dimana rakjat sudah dapat menarik nafas lega dan melakukan penjelidikan jang seksama untuk melantjarkan roda perdjuangan selandjutnja. Sekarang rakjat sudah dapat membetulkan sekrupsekrup jang longgar, meminjaki alat-alat jang sudah berkarat, memperbaiki apa jang rusak dan menghargai apa jang harus dihargai dimana telah menundjukkan gunanja selama ini.

 Satu hal jang tak dapat dimungkiri, bahwa selama masa pergolakan jang lalu dan sampai sekarangpun djuga rakjatlah jang paling banjak menderita dan mendjadi bulan-bulanan. Ingat sadja akan kekatjauan di Kalimantan Selatan jang terus-menerus tidak ada hentinja. Selain membikin seretnja perputaran roda pembangunan, rakjatlah jang langsung menderita malapetaka ini. Belum lagi kalau mau mengarahkan pandangan ke Djawa atau Sulawesi, dimana grajak, pengatjau dan entah apa pula namanja, selalu menarik kurban dari pihak rakjat, rakjat jang tadinja berdjuang turut menegakkan kemerdekaan negara, dengan pengharapan bisa makmur dan bahagia. Tetapi sebagian besar dari tjita-tjitanja itu dihumbalankan dan diruntuhkan oleh saudara sebangsanja jang djadi grajak dan pengatjau itu. Entah tadinja, diantara orang-orang ini, ada jang pernah bahu-membahu dimedan bakti sewaktu bergerilja. Begitulah di Djawa, begitu di Sumatera, begitu pula di Sunda Ketjil dan demikian halnja di Kalimantan.

 Lebih-lebih lagi selama berketjamuknja revolusi dan pertarungan sendjata jang merupakan total „people defence", rakjat telah memberi pengorbanan besar. Mereka djadi sasaran peluruh musuh, entah ikut bertempur atau tidak, entah pemanggul sendjata atau patjul, semua menambah djumlah kurban, kurban perang total. Demikianlah kurban-kurban itu makin bertambah angkanja, namun para pedjuang tak hiraukan ini. Tekad mengusir pendjadjahan asing terpateri teguh dalam hati-sanubarinja. Djatuh mendjadi kurban adalah lumrah. Dalam tiap-tiap pertarungan dan pergolakan tak dapat tidak mesti djatuh kurban, tetapi kalau tjita-tjita tertjapai, terpatjaklah Bendera Merah Putih se-Nusantara dan Merdekalah Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

 Dengan sampainja ketitik perhentian, dimana sudah ada kesempatan untuk memperbaiki dan membangun, maka diadakanlah perhitungan jang teliti mengenal perangkaan Angkatan Perang. Sama halnja dengan ditempat-tempat lain, maka Kalimantanpun demikian pula.

 Sekarang baru disadari betapa banjaknja tenaga jang telah dikerahkan mengusir musuh. Kalau djumlah sebanjak ini terus-menerus ditempatkan dalam Angkatan Perang pajahlah Negara, tak terbelandjai olehnja. Padahal keperluan lain timbul pula bermatjam-matjam semuanja menghendaki uang dan tenaga. Maklum Negara jang masih muda.

 Untuk menghindarkan pengeluaran jang dianggap dapat dielakkan ini, maka oleh Pemerintah dilakukan beberapa seleksi dikalangan ketenteraan:

  1. Pengembalian Bekas Pedjuang kedalam masjarakat.
  2. Demobilisasi (pengembalian bekas pedjuang bersendjata) kedalam masjarakat.

 Dimaksudkan dengan jang pertama (1) ialah mereka jang tadinja turut bertempur dalam medan gerilja waktu berevolusi, tetapi tidak sempat diresmikan sebagai Angkatan Perang, dan jang kedua (2) ialah pedjuang-pedjuang jang telah diresmikan. Golongan kedua ini sekarang dikenal dengan nama C.T.N. (Corps Tjadangan Nasional) ditaruh dibawah penilikan B.R.N. (Biro Rekonstruksi Nasional).

 Tjaranja mengembalikan pedjuang-pedjuang di Kalimantan (1) jaítu dengan memberikan tanda-djasa kepadanja dan uang sangu sebanjak Rp. 50.-. Tidak ada artinja memang, kalau dipandang dari sudut kebendaan, tetapi nilainja dalam mengabdi kepada Tanah Air, pedjuang-pedjuang ini boleh merasa bangga akan dharma bakti jang telah ditumpahkannja. Selembar kertas tanda-djasa berlampirkan uang Rp. 50.— adalah bikinan manusia, tetapi amal dan pengurbanan tetap dalam pengetahuan Tuhan.

Lepas dari prasangka apakah gerombolan-gerombolan bersendjata jang masih banjak djumlahnja di Kalimantan, tidak ada reaksi-reaksi dari bekas pedjuang jang dilikwideer tadi, tetapi njatanja, tidak semua bekas-bekas pedjuang itu selalu dimata Pemerintah.

Menurut statistik jang diperoleh dari B.R.N. sekarang sudah tertjatat 7000 orang pedjuang jang mendaftarkan diri kembali kepada Pemerintah. Mereka itu adalah bekas-bekas pedjuang jang tidak mempunjai mata pekerdjaan dan dengan perantaraan B.R.N. ditampung kembali untuk diberi pekerdjaan jang patut.

Mereka jang 7000 orang ini, sudah tentu bukan dari djumlah bekas pedjuang seluruhnja. Beribu-ribu jang lain lagi, mereka jang telah dapat berdiri sendiri, mendjadi pedagang, petani dan pegawai. Mereka golongan ini tidak perlu ditampung lagi, jang penting ialah bekas-bekas pedjuang jang menganggur, jang kerdjanja hilir-mudik tak menentu. Membiarkan orang-orang ini lama-lama ditengah masjarakat bebas, merugikan adanja. Banjak kemungkinan diperbuatnja sesuatu tindakan, karena dipaksa oleh perasaan kesal, sentimen dan dendam. Oleh sebab itu, penampungan B.R.N. seperti jang telah ada sekarang, dipandang dari segi politik dan ekonomi memang tepat sekali.

Usaha-usaha jang telah dan akan didjalankan ialah mendirikan „Jajasan Pemuda Kalimantan Membangun" dengan segala rentjana-rentjana pekerdjaan jang akan dilakukan. Jajasan ini telah mendapat kredit dari Pemerintah sebanjak 1 djuta rupiah. Dengan uang ini pertama-tama diusahakan ialah sebuah paberik gergadji kaju. Kemudian menjusul mendirikan koperasi dan lain-lain.

Keadaan bekas-bekas pedjuang ini sekarang telah dapat dipertanggung-djawabkan. Mereka sudah diikat dengan kewadjiban-kewadjiban baru dalam pekerdjaannja masing-masing. Makin lama makin timbul kembali djiwa pengurbanannja jang dahulu waktu revolusi pernah meluap-luap menguasai raganja. Sekarang dialirkan kepada djiwa membangun, djiwa tjinta dan patuh kepada pekerdjaan. Dengan demikian anasir-anasir jang bertanggung-djawab tidak gampang mempengaruhi djiwanja lagi.