Kisah Tuanta Salamaka/Bab 7
Belajar pada Imam Empat
Dikisahkan ketika Tuanta telah berpisah dengan para penumpang lainnya di kapal, ia terus berjalan ke Mekah sendirian. Dalam perjalanan itu Tuanta membawa tiga keris dengan nama yang berbeda pula. Keris pertama dinamai I Pagerek, yang kedua dinamai I Dakkuik, dan yang ketiga I Cakkuik.
Keris yang bernama I Cakkuik adalah buatan Campagaya. Orang Gowa memuji keris itu karena pamor bisanya dengan sebuah ungkapan: Pandanglah pada si Cakkuik Dakkuiklah ambil contoh Sedang si Pagerek tak pernah menetap di dunia
Jika berjalan dalam hutan, Tuanta mencabut I Cakkuik dari sarungnya. Semua jenis binatang buas, seperti macan, ular raksasa, semua lari ketika melihat Tuanta. Oleh karena itu, Tuanta pun berjalan siang dan malam dengan aman.
Setelah sekian lama berjalan, akhirnya Tuanta sampai ke Mekah tepat pada hari Jumat. Matahari telah bergeser sedikit dan semua orang telah berada dalam masjid. Lalu, Tuanta pergi mengetuk pintu masjid.
Penjaga pintu pun bertanya, “Siapakah yang ada di luar pintu, orang Arab atau orang Jawi?”
Tuanta menjawab, “Saya orang Jawi.” Berkatalah penjaga pintu, “Walaupun engkau seorang Arab apalagi engkau orang Jawi, pintu tak dapat lagi dibuka karena sudah tertutup. Nanti di belakang hari engkau masuk ke masjid.”
Ia membalik badannya menghadap keluar, seperti orang yang sangat marah. Lalu, dimiringkannya songkoknya ke kanan. Dengan kebesaran Allah, masjid pun miring.
Semua orang yang ada dalam masjid merasa heran atas kejadian tersebut. Berkatalah para khalifah, para ahli hikmah, para cendekiawan (tupanrita), dan para wali, “Hidayah apakah yang diperlihatkan Allah di balik peristiwa ini. Barangkali perlu dilihat di kitab yang disimpan Rasulullah tentang tahun hijrahnya.”
Kitab itu pun dibuka, lalu dilihat tahun hijrah Nabi Saw. Khatib pun berdiri mengambil kitab itu di atas mimbar kemudian dibuka. Sampailah pada pembicaraan tentang pesan Sayidina Ali R.a. yang mengatakan, bahwa kalau sampai pada tahun 1095 H, akan datang seorang Jawi kemari, Yusuf namanya. Orang itu dikasihani Allah dan dialah yang paling tinggi kewaliannya dan kemakrifatannya. Andai kata ada Nabi sesudah nabi Muhammad, maka dia orangnya, tetapi sudah tak ada lagi. Oleh karena itu, ia disebut orang yang selamat di dunia dan di akhirat (Tuanta Salamaka).
Berkatalah semua ahli hikmah dan tupanrita, “Panggil dan tanyalah penjaga pintu itu.”
“Apakah engkau melihat orang yang berdiri di depan pintu?” Tanya Khalifah.
Penjaga itu menjawab, “Ada yang mulia.”
Lalu ditanya lagi, “Apakah dia menyebut dirinya?”
Penjaga itu menjawab, “Dia menyebut dirinya Jawi. Ia ingin masuk, tetapi pintu telah tertutup. Ia lalu berbalik sambil memiringkan songkoknya ke kanan sehingga masjid pun miring.”
Berkatalah para ahli hikmah dan tupanrita, “Tahun ini telah sampai hari dan bulannya hal yang disampaikan Rasulullah Muhammad Saw serta pesan pemimpin kita Sayidina Ali R.A.”
Berkatalah Khalifah, “Hai, Imam Syafi’i, lebih baik jika bidal disuruh menjemputnya.”
Bidal pun pergi menjemput Tuanta. Ketika itu Tuanta sedang memasak. Sebelah tangannya dijadikan periuk sedangkan sebelah tangannya lagi dijadikan kayu api. Ibu jarinya telah menyala, sedangkan kedua kakinya dijadikan dapur. Bidal memberi salam kemudian dibalas oleh Tuanta. Kemudian Tuanta berkata, “Hai, Bidal silakan duduk.”
Bidal berkata. “Anda disuruh jemput oleh Khalifah dan Imam Syafi’i. Tuan diminta bersama kami sekarang juga masuk ke dalam masjid.”
Berkatalah Tuanta, “Tunggulah saya sebentar, saya makan dahulu karena saya lapar sekali.”
Setelah selesai makan dia pun diantar masuk ke dalam masjid. Sesampai di dalam, Khalifah berkata, “Kami mengharap Tuan yang membaca khotbah. Kami ingin sekali mendengar Tuan membaca khotbah.”
Petugas pun meletakkan kudung khatib di depan Tuanta, lalu Tuanta memakainya. Setelah itu ia diantar oleh Bidal naik ke mimbar.
Setelah memberi salam, Tuanta menggunakan tiga macam lagu dalam khotbahnya. Pertama lagunya di sebut I Cakdi pokok, lagu keduanya disebut Timorok mata allona, dan lagu yang ketiga disebut lagu Maklonre-lonre, orang Melayu menyebutnya ikok-ikok.
Orang-orang yang ikut berjamaah dalam masjid merasa terharu mendengar suara Tuanta membaca khotbah. Air yang mengalir terhenti, daun kayu yang jatuh tersangkut karena enaknya kedengaran suara Tuanta.
Setelah selesai salat, Tuanta dijamu dengan makanan dan buah- buahan yang dianggap mulia. Setelah makan, Khalifah menoleh kepada Yusuf dan berkata, “Saudaraku Yusuf, saya ingin bertanya kepadamu, Buah apakah yang biasa dimakan dan dianggap mulia di daerahmu?”
Yusuf menjawab, “Cukup banyak, tetapi menurut saya ada dua macam buah-buahan yang aku anggap mulia, yaitu langsat dan durian.” Langsat itu hanya dapat dimakan oleh raja dan orang kaya, sedangkan orang miskin tidak. Durian hanya tiga macam orang yang dapat memakannya, yaitu raja, orang mulia, dan orang kaya.”
Para ahli hikmah dan Tupanrita pun lalu berkata, “Mungkin Tuan dapat mengadakannya supaya kami melihat dan merasakan bagaimana enaknya yang Tuan sebutkan itu.”
Berkatalah Tuanta, “Itu kehendak Allah, apakah bisa diadakan atau tidak.” Tuanta mulai tafakur kemudian mengayunkan tangannya ke kanan. Dengan kehendak Allah serta berkah Nabi Saw. tiba-tiba muncul dari lengan jubah Tuanta dua tangkai langsat. Lalu dikeluarkannya kemudian diberikan kepada Khalifah. Selanjutnya, buah itu dibagikan kepada para ahli hikmah dan tupanrita. Mereka lalu memakannya dan sisanya mereka tanam dekat rumahnya. Itu sebabnya sehingga ada juga buah langsat di sana.
Setelah itu mereka berkata, “Mungkin Tuan dapat juga mengadakan durian supaya kita dapat mengetahui bagaimana rupanya.” Tuanta mengayunkan tangannya ke kiri, tiba-tiba durian yang di sebut I Bukkuk muncul tiga buah keluar dari lengan jubahnya. Tupanrita mengambil buah itu kemudian mereka makan sebiji seorang. Masih ada sisanya itulah yang mereka tanam sehingga tanaman durian ada di sana.
Semua orang yang memakannya merasa senang karena enaknya buah tersebut. Oleh karena itu, semua syekh, para ahli hikmah, para tupanrita menghormat kepada Tuanta karena telah melihat kekeramatannya.
Setelah itu mereka kembali ke rumahnya masing-masing. Setelah itu, Tuanta mengunjungi Imam Syafii untuk berguru.
Setiba di sana Imam Syafi’i berkata, ”Apa maksudmu datang kemari?”
”Saya ingin meminta berkah,” Jawab Tuanta.
”Tak dapat lagi kau minta berkah dariku karena semua berkah junjungan kita Muhammad Saw. telah ada semua pada dirimu. Baiklah engkau pergi ke Imam Malik,“ Kata Imam Syafii.
Ia pun minta izin untuk pergi ke Imam Malik. Setiba di sana, berkatalah Imam Malik, ”Syekh, apa maksud kunjunganmu kemari?” Berkatalah Tuanta, “Saya berkunjung kemari, untuk minta berkah.”
Imam Malik menjawab, ”Pergilah engkau ke Imam Hambali.” Lalu, ia pamit pada Imam Malik dan terus pergi ke Imam Hambali. Setiba di sana bertanyalah Imam Hambali, “Yusuf, apa maksud kedatanganmu ke sini?” Berkatalah Tuanta, “Saya datang untuk memohon berkah.”
“Saya tak dapat lagi memberimu berkah, pergilah ke Imam Hanafi,” jawab Imam Hambali.
Setelah permisi, Tuanta pun menemui Imam Hanafi. Setiba di sana bertanyalah Imam Hanafi, “Syekh, apa maksud kunjunganmu datang kemari?”
Tuanta lalu menjawab, “Saya ingin diberi berkah. Saya telah mendatangi semua Imam, tetapi mereka menyuruh saya kemari.”
Berkatalah Imam Hanafi, “Yusuf, saya juga tak mampu memberimu berkah karena engkau sudah digelari Tusalama di dunia dan akhirat.
Baiklah engkau pergi mencari wali empat puluh. Mereka telah meninggal selama 225 tahun. Hanya mereka yang dapat memberimu berkah.”
Ia pun pamit pada Imam Hanafi kemudian kembali ke rumahnya. Keesokan harinya setelah salat subuh, ia pun berkemas untuk pergi mencari wali empat puluh itu. Ia berjalan siang dan malam menelusuri bukit. Di mana saja singgah istirahat, di sana dia salat jika waktu salat telah tiba. Setelah berjalan siang malam kira-kira 47 malam, maka ia pun ditakdirkanlah oleh Allah bertemu dengan wali empat puluh itu di atas bukit Aspa.
Ketika wali empat puluh melihatnya, berkatalah wali itu, “Syekh, apa maksud kunjunganmu kemari?”
Berkatalah Tuanta, “Saya ingin diberi berkah.” “Yusuf, apalagi yang akan saya berikan kepadamu, bukankah telah ada semua padamu? Kalau engkau ingin guru, pergi dan carilah gurunya para wali yang bernama Abu Yazid Bustami yang telah meninggal 500 tahun yang lalu.”
Setelah itu pergilah Tuanta mencari gurunya para wali yang bernama Abu Yazid Bustami. Setelah beberapa lama mencari, ia pun menemukannya di tengah-tengah bukit.
Ketika Abu Yazid Bustami melihat Tuanta, ia bertanya, “Yusuf, apa maksud kunjunganmu?”
Tuanta menjawab, “Tuanlah yang saya cari dan Allah menakdirkanku menemukanmu di tempat ini, berilah saya berkah.” Berkatalah Abu Yazid Bustami, “Hai anakku, apalagi yang engkau minta padaku. Ilmu yang ada padamu telah cukup.” “Walaupun demikian berkatilah saya.” Kata Tuanta.
“Jika demikian permintaanmu, mengangalah. Saya akan meniup mulutmu,” Kata Abu Yazid Bustami. Setelah itu, Tuanta pun membuka mulutnya.
Selanjutnya Abu Yazid Bustami berkata, “Yusuf, engkau telah dikasihani Allah bersama Nabi Muhammad Saw. Apa yang engkau niatkan dalam hati pasti akan dikabulkan.