Kisah Tuanta Salamaka/Bab 8
Berguru pada Syekh Abdul Kadir Jailani
Abu Yazid Bustami berkata pada Tuanta, “Saya ingin engkau pergi mencari rajanya para wali yang bernama Abdul Kadir Jailani. Beliau telah meninggal dunia 750 tahun yang lalu. Pasti Allah akan mempertemukanmu. Apabila engkau menemukan hal-hal yang membingungkan sandarkanlah dirimu pada Allah.”
Tuanta berjabat tangan kemudian pergi. Tidak berapa lama meninggalkan bukit itu ia pun telah banyak menyaksikan kekayaan dan kekuasaan Allah. Kalau ia menemukan binatang yang menakutkan, ia mencabut keris sambil mengayunkannya. Binatang buas itu pun lari. Pada suatu hari ia telah menghampiri bukit Jailani. Dalam hatinya ia berkata, “Mungkin di sinilah tempatnya raja wali itu.”
Setiba di atas dia melihat sebuah dangau bertiang sebatang pohon yang dikelilingi tanaman beraneka jenis. Ia lalu berjalan ke sana dan menemukan raja wali itu sementara salat. Tuanta lalu berdiri menunggu di belakangnya.
Selesai salat, Tuanta pun memberi salam, “Assalamualaikum” dan dibalas dengan “Waalaikumsalam.”
“Yusuf, apa maksud kedatanganmu kemari?” Tanya Abdul Kadir Jailani.
“Kedatangannya saya ke sini ingin menjadi murid Karaengku dunia akhirat. Berilah saya berkah,” Jawab Tuanta.
Berkatalah Abdul Kadir Jailani, “Saya kira engkau telah datang pada Imam empat, pada wali empat puluh, dan pada gurunya wali, Abu Yazid Bustami.” “Betul, Saya telah mendatangi semuanya, namun saya tidak merasa senang jika tidak mengunjungi Karaengku,” jawab Tuanta.
Abdul Kadir Jailani memahaminya kemudian berkata, “Baiklah Yusuf, tinggallah engkau padaku, saya angkat engkau anak dunia akhirat.”
Tinggallah Tuanta bersamanya. Setelah Magrib tiba, berkatalah Syekh Abdul Kadir Jailani, “Yusuf, berwudulah engkau di kolam.” Tuanta pun berpikir, “Kolamnya di mana?” Ia pun menoleh ke kiri dan ke kanan namun, tatapi melihat apa-apa. Ia tidak berani bertanya pada gurunya. Dalam keadaan demikian ia berserah diri pada Allah sambil tafakur dan memejamkan matanya. Sekitar setengah jam barulah ia membuka matanya. Dengan kekuasaan Allah kolam itu telah tampak di hadapannya, bentuknya sangat bagus dan airnya sangat jernih. Tuanta pun berwudu kemudian salat dua rakaat.
Setelah salat, makanan telah terhidang di belakangnya. Berkatalah Tuanta Abdul Kadir Jailani, “Hai anakku Yusuf, makanlah.” Setelah selesai, makanan itu pun lenyap. Ia pun berhenti dan saat itu pula lenyaplah makanan itu.
Keesokan harinya berkatalah Syekh Abdul Kadir Jailani, “Yusuf, berkemaslah kita pergi menjala ikan di kaki Bukit Jailani.”
Kaki bukit Jailani sekelilingnya dipagari kayu dalam bentuk segi empat kira-kira enam depa dari bukit. Yang paling dalam adalah sebatas leher dan yang paling dangkal sebatas paha. Adapun sebabnya dipagari sekelilingnya adalah karena kekuasaan Allah ingin diperlihatkan pada Tuanta.
Tuanta pun berjalanlah mengikuti gurunya. Setelah tiba pada tempat yang dipagari sekelilingnya, berkatalah Syekh Abdul Kadir Jailani, rajanya para wali, “Ambillah keranjang tempat ikan”
“Baik guru.” Kata Tuanta, padahal tak ada apa-apa yang dilihatnya. Sambil menutup mata ia pun memusatkan perhatian dan membayangkan bentuk keranjang yang dimaksud gurunya. Tiba-tiba ia telah memegang keranjang itu. Setelah itu ia membuka mata kemudian mengikuti gurunya. Raja wali itu pun membuang jalanya sedangkan Tuanta baru sampai di tempat itu.
Berkatalah gurunya, “Yusuf, turunlah engkau ke dalam air kemudian doronglah jala itu naik lalu saya menariknya.”
Mendengar kata gurunya, Tuanta pun turun. Ia menyangka air itu dangkal. Ternyata air itu sangat dalam sehingga Tuanta harus berenang. Ia merasakan air itu sangat dingin.
Berkatalah gurunya, “Yusuf, lepaskanlah kaki jala itu karena tersangkut di batu sehingga sangat berat kutarik.”
Tuanta berkata dalam hati, “Bagaimana saya bisa menariknya padahal air sangat dalam.” Tuanta kembali memejamkan mata kemudian dan berserah diri pada Allah sambil memusatkan pikiran, bermunajat kepada Allah supaya jala itu lepas. Bersamaan dengan dibukanya matanya ia pun berteriak, “tariklah jala itu guru.”
Sambil ditarik oleh gurunya, ia pun mendorong jala itu naik ke pinggir pantai. Alangkah banyaknya ikan yang mereka peroleh. “Yusuf, masukkanlah ikan-ikan itu ke dalam keranjang.” Perintah gurunya.
Tuanta pun memasukkan ikan-ikan ke dalam keranjangnya, namun baru tiga ekor ikan, keranjang itu sudah penuh. Tuanta kemudian naik ke kaki bukit Jailani untuk mencari rumput menjalar sebagai alat penusuk ikan. Apa yang dilakukan Tuanta diperhatikan oleh gurunya sembari bertanya, “Mau ke mana engkau Yusuf?”
Ia pun menjawab, “Saya akan mengambil rumput menjalar.” “Untuk apa rumput itu, Yusuf? Kalau ikan sudah tak termuat dalam keranjang, lepaskan saja. Walaupun dilepas, ikan itu tetap kita yang punya karena Allah telah mengadakannya untuk kita saja,” kata gurunya. “Sayang sekali kita telah mendapatkannya baru dilepaskan lagi,” bisik Tuanta dalam hati.
Namun, karena takut pada guru, ikan-ikan itu pun dilepaskannya. Setelah itu ia pun berhenti menjala kemudian kembali ke rumahnya. Setiba di rumah, berkatalah gurunya, “Bakar ikanmu itu lalu kamu makan.” Berkatalah Tuanta dalam hatinya, “Bagaimana saya membakarnya sedangkan api tidak ada dan malam pun sudah gelap.”
Selanjutnya, gurunya berkata, “Yusuf, pergilah mengambil api.” “Di mana saya dapat api?” bisik Tuanta lagi dalam hati.
Tuanta berjalan dalam suasana gelap gulita. Setelah berjalan agak jauh, ia melihat seorang orang tua sedang duduk mencangkung meniup api. Orang tua itu menoleh lalu melihat Tuanta.
Orang tua itu menyapanya, “Cucuku Yusuf, mau ke mana engkau dan apa yang engkau cari?”
Berkatalah Tuanta, “Saya ingin minta api, Nek.”
“Saya tidak dapat memberimu api kalau kamu tidak beli,” jawab sang nenek.
“Dengan apakah saya pakai membeli karena saya tak memiliki apa-apa, kecuali keris. Hanya inilah yang saya punya, Nek,” kata Tuanta lagi.
Orang tua itu berkata, “Saya tidak biasa menerima harga dengan keris.” Berkatalah Tuanta, “Apa sebenarnya yang Nenek inginkan?” “Biji matamulah yang ingin kuambil,” kata nenek itu.
Setelah mendengar ucapan orang tua itu, Tuanta pun mencungkil biji matanya yang sebelah kiri lalu memberikannya kepada orang tua itu.
Orang tua itu lalu berkata, “Saya tidak ingin kalau hanya sebelah, saya menginginkan kedua biji matamu itu, baru saya beri api.”
Tuanta kembali mencungkil mata kanannya kemudian menyerahkannya kepada orang tua itu. Maka butalah kedua mata Tuanta dan ia pun diberi api. Setelah itu ia kembali ke gurunya dan orang tua itu pun pergi. Sebenarnya, orang tua itu adalah penjelmaan gurunya sendiri.
Jadi, setelah tiba di tempat gurunya membawa api, Syekh Abdul Kadir Jailani mendapati Tuanta sudah buta. Pada bekas matanya masih mengalir darah sampai ke dadanya.
Bertanyalah gurunya, “Yusuf, mengapa mukamu berdarah dan matamu buta?” “Guru, saya menemukan seorang orang tua di tengah hutan sementara meniup api lalu saya minta apinya. Orang tua itu tidak mau memberikan apinya kecuali kedua biji mataku kuserahkan padanya sebagai harga apinya.
Itulah sebabnya saya buta karena kedua biji mataku, kiri dan kanan, sudah kucungkil. Ia lalu dipegang oleh gurunya sambil diusap-usapnya dan memujinya, “Kau benar-benar orang hebat, Yusuf, di dunia dan akhirat. Engkau telah masuk ke dalam bilangan sufi dan wali. Engkaulah muridku yang paling kucintai dunia akhirat. Engkaulah muridku yang paling kuanggap duduk di selangkaku sambil memeluk kepalaku karena ketinggian kesufianmu. Engkau jagalah yang telah mempersatukan Kutubu Tajulkhalwatiyah Qaddasallahu Sirruhu. Tak ada lagi yang akan mencapai rahmat Allah sepertimu.”
Setelah itu berkata lagi gurunya, “Ambillah ikan itu dan bakarlah kemudian pergilah makan.” Setelah itu ia membakar ikan itu lalu pergi makan.
Setelah makan, ia dipanggil lagi oleh gurunya lalu berpesan, “Yusuf, kalau engkau bangun tidur untuk salat subuh dan telah berwudu kemudian azan lalu berniat, pejamkanlah matamu bersamaan ketika engkau mengucapkan Allahu Akbar.”
Dalam hatinya Tuanta bertanya-tanya, “Apa yang akan saya pejamkan, biji mataku tak ada lagi.”
Berkata lagi gurunya, “Kalau engkau telah bertakbir ihram, bukalah matamu.”
Tuanta kembali berbisik dalam hati, “Apa yang akan kubuka saya sudah tidak melihat lagi.”
Ketika waktu subuh telah masuk, Tuanta pun terbangun. Lalu ia berwudu kemudian azan. Setelah itu ia iqamat lalu berniat dengan ucapan usalli. Pada saat ia mengucapkan usalli pardassubhi rakaataini adaan Lillahi Taala sambil mengucapkan Allahu Akbar, ia memejamkan matanya. Setelah takbiratul ihram, ia pun membuka matanya. Dengan kekuasaan Allah kedua matanya telah pulih kembali, lalu ia mengatakan, “Inilah sifat kemuliaan Allah.”
Setelah menyempurnakan salatnya, ia membaca tahmid sambil tafakur dan berdoa kepada Allah, mendoakan seluruh umat Muhammad Saw. Sesudah rampung salat dan zikirnya, ia pergi berjabat tangan dengan gurunya sambil minta maaf dan berkata, “Guru, tolonglah saya dan berilah saya berkah.”
Berkatalah gurunya, “Yusuf, ilmu dan pengenalanmu pada dirimu sudah sangat dekat dengan Allah sampai hari kiamat. Namun demikian, saya ingin menambahkannya dengan ilmu tasawuf.
Setelah diajari Syekh Abdul Kadir Jailani berkata, “Yusuf, ketahuilah bahwa semua wali, tupanrita, dan ulama tak ada lagi yang lebih tinggi daripada engkau. Tak ada lagi yang lebih mulia daripada engkau. Engkau jugalah yang paling dekat dengan Rasulullah. Saya beritahukan juga bahwa semua muridku, semua wali hanya menginjak permukaan kakiku, tak mencapai lututku. Akan tetapi, engkau berdiri pada kedua selangkaku sambil memeluk kepalaku. Namun demikian, barulah cukup dan sempurna ilmu tasawufmu dan kesufianmu kalau engkau pergi mencari kuburan Rasulullah Saw.”