Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia/Bab 2

Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia
oleh Bank Indonesia
Bab 2: Di Kala Pengawas Mengawasi Bank

Hari Jumat, 7 Nopember 2008, pkl. 23.00 WIB. Lampu ruang kerja di Gedung “A” Bank Indonesia Lantai 6 masih terang benderang. Biasanya lampu di lantai itu sudah padam paling telat pkl. 20:00. Apalagi bila hari itu menjelang akhir pekan. Tapi, sejak beberapa hari ini, kesibukan di Lantai 6 memang sedang intens tinggi. Beberapa pegawai masih sibuk membolak-balik dokumen. Maklumlah, sehari sebelumnya, ada sebuah bank swasta nasional yang diputuskan Rapat Dewan Gubernur BI masuk dalam pengawasan khusus (special surveillance unit/SSU). Seorang pengawas sedang serius membaca dan membuat catatan terhadap laporan keuangan dan dokumen lainnya dari bank SSU tadi. Ia adalah salah satu dari sekitar 700 pengawas bank di BI. Beberapa kali ia menguap dan menyeruput secangkir kopi yang sudah dingin. Rasa kantuk dan lelah berusaha ditahannya. Gassruuttt .......... pensil yang dipakai untuk membuat coretan atas dokumen bank sekarat tadi terjatuh di ubin. Sesaat ia terhentak dan tersadar. Lalu, melanjutkan lagi pemeriksaan dokumen. Apa yang dilakukan si pengawas hingga larut malam barulah sebagian kecil gambaran tugas keseharian seorang pengawas bank, apalagi situasi saat itu memang sedang puncaknya krisis keuangan. Bank-bank pun kecipratan imbasnya. 125 bank yang diawasi BI hampir merata melorot likuiditasnya, terimbas dampak krisis. Pengawasan bank pun semakin diperketat. Dewan Gubernur BI pun memberlakukan Crisis Management Protocol. Situasi perbankan sedang Siaga-1 alias genting. Dalam kondisi seperti ini, bila ada satu bank kecil sekali pun yang rontok dikhawatirkan akan mengoyak psikologi pasar dan menimbulkan kepanikan. Teori domino efek akan berlaku. BI pun memprioritaskan menjaga kesehatan bank sebagai lembaga kepercayaan. Ini mengingat bank beroperasi dengan modal kepercayaan masyarakat yang menempatkan dana mereka di bank. Jadi, menjaga kepercayaan dan menjaga keamanan dana masyarakat adalah prioritas BI. “Tugas pengawas bank adalah memastikan bahwa semua aturan main perbankan sudah dijalankan sebagaimana mestinya, sedangkan mengupayakan dan menjaga agar bank yang dikelola menjadi sehat adalah tugas direksi bank,” tandas Deputi Gubernur Senior (DGS) BI Darmin Nasution. Adalah amanat dua undang-undang (UU) ketika BI melakukan tugas pengawasan bank. UU No.10 Tahun 1992 tentang Perbankan yang direvisi menjadi UU No.7 Tahun 1998 Pasal 29 mengatakan, “tugas pembinaan dan pengawasan bank dilakukan BI.” Hal senada juga disebutkan dalam UU No.23 Tahun 1999 tentang BI sebagaimana direvisi UU No.3 tahun 2004, bahwa tugas bank sentral adalah mengatur dan mengawasi bank. Berbekal dua payung hukum inilah, BI melakukan tugas pengawasan bank-bank. Secara teknis ada dua pendekatan pengawasan yang lazim dilakukan, yakni pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance based supervision/CBS) dan pengawasan berdasarkan risiko (risk based supervision/RBS). CBS adalah model pengawasan berdasarkan kepatuhan bank untuk melaksanakan rambu-rambu yang ditetapkan BI dan prinsip kehati-hatian terkait dengan operasi dan pengelolaan bank. Contoh pengawasan CBS, pengawas bank akan memanfaatkan laporan yang dikirimkan oleh pihak bank, berisi pelaksanaan rambu-rambu yang telah ditetapkan BI. Misalnya, laporan batas maksimum pemberian kredit (BMPK), laporan komisaris, laporan posisi devisa netto (PDN), dan laporan lainnya. Seandainya ditemukan adanya keganjilan atau pelanggaran rambu-rambu, UU memberi amanat dan mandat agar BI segera mengambil tindakan-tindakan. Sebagai contoh, pengawas BI menemukan persoalan yang membelit Bank Century, bank hasil leburan tiga bank (Bank CIC, Bank Danpac dan Pikko), yakni tingkat kredit macet atau NPL (non- performing loan) di atas 5%. Bank diminta untuk membuat rencana tindak penyelesaian NPL tersebut dan segera membentuk pencadangan kerugian. Tambahan pencadangan tersebut memberikan konsekuensi pemegang saham pengendali (PSP) dan pemegang saham (PS) untuk menyetorkan tambahan modal. Sedangkan prinsip kerja pengawasan berdasarkan RBS adalah pendekatan fungsi pengawasan yang melihat ke depan (forward looking). Pendekatan pengawasan ini difokuskan pada risiko-risiko yang melekat (inherent risk) pada aktivitas fungsional bank serta sistem pengendalian risiko (risk control system). Dengan model pengawasan RBS ini memberi ruang bagi pengawas bank BI untuk bertindak lebih proaktif dalam mencegah potensi masalah yang akan timbul. Intinya, semua potensi risiko akan diteropong mulai dari risiko kredit (kemungkinan gagal bayar), risiko pasar (fluktuasi suku bunga dan nilai tukar), risiko likuiditas (kemampuan memenuhi kewajiban jatuh tempo), risiko operasional (kesalahan manusia, kegagalan sistem), risiko hukum dan lainnya. Ambil contoh manakala pengawas BI menemukan adanya surat-surat berharga (SSB) valas di Bank Century yang tidak memiliki rating dan berpotensi bermasalah ke depan menurut konsep RBS. SSB itu lalu diminta untuk segera dijual. Surat berharga tersebut bisa dikategorikan macet apabila sampai batas waktu yang ditentukan ternyata tidak dapat dijual. Penurunan kolektibilitas ini dapat membuat kondisi CAR bank menjadi negatif. Pihak manajemen bank dapat mengajukan proposal penyelesaian SSB melalui penjaminan tunai (cash collateral) dari pemegang saham pengendali. Melalui skema ini, setiap SSB jatuh tempo akan langsung dibayarkan. Skema penyelesaian seperti ini merupakan salah satu alternatif penanganan masalah bank yang dapat dilakukan. Dalam menindaklanjuti setiap temuan dari hasil pemeriksaan dan pengawasan bank di lapangan, BI memiliki langkah-langkah penyehatan bank sebagai kerangka acuan untuk mengedepankan upaya menyelamatkan dana masyarakat luas dan mempertahankan peran bank sebagai lembaga kepercayaan. Bila kepercayaan publik sudah runtuh terhadap satu bank saja, sangat mungkin akan membawa efek domino (contagion effect) ke sistem perbankan. Kalau pun sampai harus dilakukan pencabutan ijin usaha bank, hal itu adalah pilihan terakhir yang mesti diambil, bila memang alternatif lain seperti tambah modal, merger atau akuisisi bank sudah tidak berjalan. Bila menengok kebelakang sesaat, sejarah perbankan pernah tergores tinta hitam ketika terjadi aksi rush masyarakat pasca penutupan 16 bank pada November 1997. Ketika itu krisis ekonomi dan keuangan sedang membelit Indonesia hingga menjadi pasien International Monetary Fund (IMF). Dalam kalkulasi Pemerintah, ketika itu, penguasaan aset ke-16 bank yang hanya 3% dari total aset perbankan, memang terbilang kecil. Bila bank-bank tersebut ditutup diperkirakan tidaklah terlalu membawa goncangan berarti. Tapi, siapa yang menyangka bahwa tindakan melikuidasi tadi justru memukul keseluruhan sistem perbankan dan keuangan. Rupanya, yang alpa diperhitungkan ketika itu, Indonesia tidak memiliki skim penjaminan dana nasabah. Depresiasi rupiah berlangsung fluktuatif dan ekstrem dan tidak ada kepastian pasar keuangan. Nah, manakala gejala krisis yang mirip tahun 1997/1998 muncul juga pada krisis global 2008, BI pun merespon cepat dengan merelaksasi 16 aturan hanya dalam rentang waktu 3 bulan. Hal ini agar perbankan lebih memiliki daya tahan menghadapi gempuran krisis. Misalnya, Giro Wajib Minimum (GWM) dilonggarkan dari awalnya 7% menjadi hanya 5%. Dengan relaksasi kebijakan GWM diharapkan memberi ruang bagi perbankan memiliki dana tunai untuk tetap memainkan peran intermediasi. Juga BI menyempurnakan ketentuan untuk memfasilitasi bank yang butuh pembiayaan darurat atau pembiayaan jangka pendek. Semua kebijakan ini dimaksudkan untuk mengamankan sektor perbankan dan melindungi dana masyarakat serta mengurangi dampak krisis.

Apa Yang Dilakukan Pengawas Bank

sunting

Ketika ada sebuah bank masuk unit gawat darurat pengawasan BI, publik pun mulai bertanya-tanya. Apa saja yang dilakukan pengawas bank sampai ada bank yang sempoyongan. Apa pengawas tak melihat gelagat atau indikasi bakal ada bank yang mulai akan limbung sehingga dapat diambil tindakan cepat untuk mengantisipasinya. Publik seperti ingin mengetahui apa sih persisnya yang dilakukan pemeriksa dan pengawas bank dalam tugas kesehariannya. Bila melihat amanat UU Perbankan dan BI, dikatakan dalam tugas pengawasan BI melakukan supervisi secara tidak langsung (off-site supervision) langsung melalui pemeriksaan bank (on-site supervision). Pengawasan tidak langsung dimulai dengan menganalisa sejumlah laporan berkala yang disampaikan bank ke Laporan inilah yang dipakai untuk mendiagnosis kondisi bank. Unsur-unsur apa yang didiagnosis? Data informasi terkait modal, kualitas aset, manajemen, laba rugi, likuiditas, dan risiko pasar. Dari semua proses di atas, dihasilkan profil risiko yang akan menjadi acuan tindakan pengawasan selanjutnya. Selain memelototi laporan berkala bank, para pengawas bank juga masih disibukkan dengan tugas-tugas lain seperti pembukaan dan penutupan jaringan kantor bank, ijin produk baru perbankan, pengangkatan serta pemberhantian pejabat dan pimpinan bank. Pengawas akan melakukan fit and proper test terhadap calon pemilik, pengurus dan pimpinan bank. Latar belakang (track record) setiap kandidat akan dipelototi betul, apakah yang masuk daftar orang tercela (DOT) dan daftar kredit macet (DKM) atau tidak. Sejalan dengan pengawasan berbasis risiko, pengawas melakukan simulasi ketahanan bank (stress-testing) terhadap perubahan faktor-faktor ekonomi. Melalui hasil analisis ketahanan ini, pengawas BI memperoleh gambaran mengenai kewajaran dan ketahanan kinerja bank dalam berbagai skenario makro ekonomi yang ada. Hasil stress test tersebut akan digunakan dalam diskusi antara pengawas dengan banknya. Sebagai contoh, apabila dari hasil stress test diketahui bahwa bank terlalu ekspansif tanpa didukung oleh permodalan yang cukup, maka bank akan diminta untuk meninjau ulang rencana ekspansi tersebut. Bila masih saja ada bank yang menabrak seruan bank sentral itu, Pengawas Bank BI akan meminta penjelasan dari manajemen bank tersebut. Jadi, hubungan antara Pengawas Bank BI dengan pihak bank yang diawasi itu ibarat seorang dokter yang sedang mendiagnosis pasien. Meski dokter mengetahui gejala umum terhadap suatu penyakit, tapi dibutuhkan keterbukaan pasien terkait informasi mengapa sampai terkena penyakit itu. Barulah dokter dapat menuliskan resep obat untuk menyehatkan si pasien. Namun kesembuhan pasien tersebut tentu tidak hanya tergantung dari tindakan penyembukan yang diberikan dokter melainkan perilaku pasien itu sendiri. Pelanggaran terhadap program penyehatan pasien tentu akan semakin memperburuk penyakitnya. . Meminjam analogi dari si pasien tadi, ada beberapa perangkat dalam rangka memelihara disiplin program penyehatan bank. Misalnya, tindakan pengawasan bank oleh internal audit, direktur kepatuhan, komisaris independen, dan tentu saja pemilik secara umum. Bila mekanisme pengawasan internal ini berjalan baik, bank pun akan berjalan sesuai koridor rambu-rambu kehati-hatian. Dalam menjalankan tugas pengawasan bank sebagaimana diamanatkan UU, Pengawas Bank BI akan melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank yang diawasi (on-site supervision) setidaknya setahun sekali. Tujuan dari pemeriksaan tersebut tidak lain adalah mengkonfirmasi kebenaran dan akurasi laporan yang disampaikan bank. Pemeriksaan tersebut dilakukan berdasarkan identifikasi risiko yang dihasilkan dari proses diagnosis data dan informasi bank. Sebagai contoh, dari laporan yang disampaikan bank, diketahui bahwa terdapat lonjakkan NPL yang cukup drastis. Pemeriksaan faktor tersebut akan difokuskan pada apakah terdapat perbaikan yang signifikan terhadap kebijakan dan prosedur pemberian kredit, penyelesaian kredit bermasalah yang dilakukan dan penilaian kewajaran penetapan kualitas kredit yang dilakukan oleh bank. Apabila ditemukan bahwa Bank melakukan praktik yang tak wajar dalam menurunkan NPL-nya, pengawas tetap akan menilai bahwa bank tersebut memiliki risiko yang tinggi. Selain mengkonfirmasikan laporan yang diterima, pemeriksaan juga berguna untuk mendapatkan informasi lain yang susah atau tidak mungkin diperoleh dari laporan off-site. Misalnya saja, melalui pemeriksaan pengawas dapat mengungkap adanya surat berharga berkualitas buruk yang dimiliki Bank Century. Hal tersebut tidak dapat secara langsung diketahui dari data pengawasan. Untuk menilai kontrol dalam proses perdagangan surat berharga, pengawas perlu melakukan observasi dan pengamatan langsung terhadap proses yang terjadi di bank yang meliputi kebijakan dan prosedur pembelian surat berharga, proses pencatatan dalam pembukuan bank serta penetapan kualitas surat berharga tersebut secara periodik. Apabila diketahui bahwa bank menyalahi kebijakan dan prosedurnya, misalnya dalam pembelian surat berharga yang tidak memiliki rating, pengawas selanjutnya akan melakukan penilaian terhadap jenis risiko yang terkait dengan aktivitas tersebut. Metode pemeriksaan berdasarkan risiko sebagaimana dijelaskan di atas memungkinkan pengawas untuk bekerja lebih efektif, langsung ke titik permasalahan, dan efisien dalam pemanfaatan tenaga dan waktu. Hasil pemeriksaan tersebut pada akhirnya akan digunakan kembali sebagai bahan untuk memutakhirkan profil risiko dan strategi pengawasan bank. Barangkali cukup menarik juga bila mengutip cuplikan dari film Avatar yang disutradarai James Cameron. Pada tahun 2154 manusia harus melanglang menuju planet Pandora yang dihuni oleh para Na’vi. Pandora memiliki hutan liar, penuh binantang buas dan ganas. Namun di dalamnya terdapat sumber mineral unobtanium yang menjadi incaran manusia bumi. Tokoh antagonis Kolonel Quatrich sebagai kepala keamanan planet Pandora selalu menyambut manusia yang bergabung dalam planet Avatar dengan kata-kata “you are not in Kansas anymore. You are on Pandora”. Sang tokoh antagonis kerap berujar bahwa “Pandora adalah dunia yang sangat ganas. Sebagai kepala keamanan planet ini, saya bertanggung jawab atas keselamatan kalian semua. Sejak saya mendapat tugas ini saya tahu bahwa saya tidak akan berhasil karena saya tidak bisa menyelamatkan SEMUA orang. Beberapa dari kalian akan mati. Untuk itu, kalianlah yang harus mampu menjaga diri kalian sendiri dengan cara mematuhi aturan yang ada”. Seorang pengawas bank yang menyaksikan film itu terhenyak. Seperti itulah tugas yang selama ini diembannya. Dia diberi tanggung jawab untuk menjaga agar kegiatan bank dapat berlangsung dengan baik, tapi dia sadar bahwa ada kemungkinan dia tidak bisa menjaga “keselamatan” SEMUA bank. Karena yang lebih penting dari itu adalah kemampuan bank-bank itu sendiri dalam menjaga keselamatannya dengan cara selalu mematuhi rambu-rambu yang sudah ditetapkan dan prinsip kehati-hatian yang berlaku. Luas dan lebarnya aspek pengawasan bank yang mesti dijelajahi oleh Pengawas Bank BI menyebabkan Bank Indonesia tidak dapat bekerja sendirian untuk menjamin ketahanan seluruh bank yang diawasi. Harapan publik bahwa seorang Pengawas Bank BI bertindak bak “malaikat” yang memiliki kemampuan memelototi setiap jengkal langkah manajemen bank, jelas sebuah pengharapan yang terlalu tinggi dan mustahil dilakukan. Ibarat ada sebuah pencurian di sebuah rumah, apa iya polisi yang disalahkan? Kan tidak. Kenapa yang punya rumah tidak melakukan tingkat pengawasan dan pengamanan rumah secara ketat. Namun demikian, Pengawas Bank BI tetap berusaha bekerja secara profesional dalam menjalankan tugas. Memang diperlukan waktu untuk mengendus adanya sebuah tindakan fraud di bank. Dalam hal tindakan sederhana seperti membuat air minum teh manis saja diperlukan waktu untuk membuatnya, seperti memasak air dulu, menunggu sampai teh mulai mengeluarkan aromanya hingga proses penyuguhan. Jadi, untuk segala sesuatu ada waktunya. Tidak kalah pentingnya adalah peranan dari bank itu sendiri dan berada di dalam koridor yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Selain itu, penjaminan dana yang diberikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) seharusnya tidak menjadi pembenaran bagi bank untuk melakukan aktivitas usahanya tanpa perhitungan yang matang berdasarkan prinsip kehati-hatian dan ketentuan yang berlaku. Mari kita ambil contoh. Suatu ketika, ada indikasi bahwa pemegang saham pengendali (PSP) sebuah bank swasta nasional melakukan perbuatan melanggar hukum. Padahal si PSP itu sedang mengajukan permohonan merger dua bank lain yang ia miliki. Meski baru indikasi, pengawas BI berusaha mencari tahu kebenaran informasi yang dilakukan dengan mengecek langsung ke lapangan sampai diperoleh bukti otentik, apakah ada pelanggaran itu atau tidak. Diperlukan waktu untuk melakukan cross-check informasi tersebut termasuk tindakan on-site supervision ke manajemen bank tersebut. Mengingat pengawas bergerak hanya dalam ranah prinsip kehati-hatian dengan kewenangan menjatuhkan sanksi mengevaluasi fit & proper, maka pengawas tidak dapat langsung melakukan penyidikan. Pengawas Bank BI sadar betul bahwa mandat tugas mereka hanyalah pada item mengawasi dan memeriksa bukan melakukan penyidikan yang adalah domain penyidik (polisi dan jaksa). Atau, contoh lain. Suatu ketika diketahui adanya figur seseorang yang bukan pengurus sah sebuah bank yang menjadi tokoh sentral dibalik layar yang mengendalikan operasional sebuah bank swasta nasional. Secara yuridis formal, tidak ada nama yang dimaksud di dokumen resmi bank dan BI. Tapi, secara faktual figur misterius tadi diindikasikan aktif dan terlibat langsung dalam mengambil keputusan-keputusan penting di bank tersebut. Pengawas BI pun memburu bukti-bukti otentik hingga akhirnya ditemukan sebuah dokumen berupa shareholders agreement yang memperlihatkan bahwa antara figur misterius tadi dan salah seorang pemegang saham adalah pemilik sah mayoritas saham di bank tersebut. Dengan ditemukannya bukti tersebut, maka pengawas memasukkannya sebagai PSP dan diberikan sanksi. Dalam hal melakukan pendalaman terhadap suatu aspek tertentu, misalnya transaksi valas suatu bank, pengawas tidak cukup hanya melakukan pemeriksaan umum. Suatu pemeriksaan yang lebih mendalam dan khusus akan digelar. Jika dalam pemeriksaan khusus tersebut ditemukan adanya unsur pidana, BI akan melakukan pemeriksaan investigatif yang hasilnya akan ditindaklanjuti kepada kepolisian. Sebagai contoh, dalam kasus Bank Century, setelah ditenggarai adanya tindak pidana yang dilakukan Robert Tantular, PSP bank tersebut, BI selanjutnya melakukan pemeriksaan investigatif dan hasilnya telah diserahkan kepada kepolisian. Robert Tantular pun akhirnya divonis 5 (lima) tahun penjara oleh pengadilan banding.

Kok Masih Ada Bank Bermasalah

sunting

Ketika ada sebuah bank yang dinyatakan sebagai bank gagal dan masuk dalam skema bank berdampak sistemik yang perlu diselamatkan, telunjuk tangan masyarakat langsung mengarah ke muka pengawasan bank BI. Padahal, untuk mengetahui adanya kejahatan kerah putih yang multi-kompleks dalam bisnis bank—seperti yang dipertontonkan pada kasus Bank Century—yang sudah tertintegrasi dengan pasar modal, asuransi dan pasar keuangan, sungguh bukanlah pekerjaan ringan dan dapat dilakukan cepat seperti membalik telapak tangan. Setidaknya, ada dua tantangan besar yang dihadapi pengawasan bank. Pertama, perkembangan transaksi keuangan yang relatif cepat dengan terintegrasinya bank dengan lembaga keuangan lain. Kedua, pesatnya pertumbuhan industri perbankan, baik dari sisi volume, jenis produk maupun variasi transaksi telah menimbulkan kompleksitas antara transaksi pasar uang dan pasar modal. Nah, dalam situasi di mana seorang pengawas bank tidak bisa lagi melihat sebuah transaksi bank an sich dari sudut perbankan saja, tapi itu kemungkinan terkait erat dengan sektor pasar modal, asuransi atau pasar keuangan adalah kenyataan yang kompleks yang dihadapi seorang pengawas. Kalau sudah begini, urusan pengawasan pun jadi lebih rumit. Bukankah terbuka sekali kemungkinan, kegagalan di pasar saham atau pasar uang yang berdampak hebat pada kinerja bank. Misalnya, ada sebuah bank yang dalam portofolio investasinya menempatkan dana cukup besar pada saham-saham perusahaan yang masih ada keterkaitan dengan bank tersebut. Ketika harga saham-saham itu nyungsep hingga 60% dari nilai buku seiring dengan krisis ekonomi dan keuangan global, bank pun kelimpungan mencari dana untuk menutup kerugian main saham tadi. Bila tidak ada setoran dana tunai, kerugian saham akan memukul kinerja modal bank. Dalam kondisi bank menjadi bagian integral dengan pasar modal, pasar uang dan asuransi global, memang bukan perkara mudah lagi melakukan pengawasan bank. Sedikit saja ada kegagalan di sektor keuangan, kondisi bank akan meradang. Kenyataan inilah yang kini dihadapi pemeriksa dan pengawas bank BI. Untuk membongkar indikasi adanya praktik busuk eksekutif atau PSP bank, sulit bagi pemeriksa dapat mengetahui hanya dari audit umum saja. Hanya melalui audit investigasi kebusukan itu bisa terbongkar. Tapi untuk mengelar audit investigasi memerlukan waktu, kerja keras dan SDM handal. Disinilah BI menyadari untuk meningkatkan kualitas SDM pengawas agar memiliki kemampuan cepat menangkap sinyal-sinyal sebuah bank akan mengalami masalah. Yang mungkin masih menimbulkan kegamangan pengawas bank di BI adalah bila terjadi “kebakaran” di wilayah pasar modal. Misalnya, dalam kasus Bank Century, pengawas BI sudah mengetahui adanya indikasi praktik reksa dana “gelap” (baca: tidak terdaftar di Bapepam), kemudian pengawas melaporkan temuan itu ke Bapepam untuk ditindaklanjuti. Belakangan ketika para investor reksa dana “gelap” tadi tak terbayarkan, telunjuk tangan para investor tadi langsung menuding muka pengawas bank BI. Publik lupa, sumber apinya ada di mana. Meski model pengawasan bank yang dilakukan BI sudah merujuk kelaziman (best practise) yang berlaku di bank-bank sentral sejagad, setiap ada bank bermasalah, menjadi sebuah momentum untuk memeriksa diri: apa yang sudah dan alpa dilakukan. “Kami akui masih adanya kelemahan dalam pengawasan bank. Setiap kelemahan dalam hal pengawasan bank akan kami perbaiki,” ujar Deputi Gubernur Senior BI Darmin Nasution merespon berbagai kritikan publik terhadap sistem pengawasan bank sentral yang dianggap sebagai biang keladi setiap ada kegagalan tanpa melihat apa sumber masalah bank. Sebagai bank sentral yang diberi mandat UU BI dan UU Perbankan untuk membina, mengatur dan mengawasi bank, amanah itu dilakukan dengan satu niatan, yakni menjaga dan mempertahankan bank sebagai lembaga kepercayaan publik sekaligus menjaga keamanan dana nasabah yang terhimpun dan tersimpan di bank. Terkadang BI mesti mengambil peran sebagai “pemadam kebakaran” yang sumber apinya berada di luar pagar sektor perbankan. Oleh karena itu, saat ini BI telah membuat kesepahaman dengan Bapepam selaku otoritas bursa. Inti kesepahaman, tukar menukar informasi, pemeriksaan bersama dan pembinaan dan pengembangan SDM. Apa pun nama peran yang dimainkan BI, sepanjang akhirnya sektor perbankan dapat diselamatkan dan kepercayaan publik terhadap perbankan nasional tetap terpelihara, disanalah para pengawas bank BI akan selalu berada. Tapi, yang jelas, BI tidak bisa mengambil peran sebagai “malaikat” yang serba tahu akan sepak terjang manajemen bank. (*)