Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia/Bab 3
Tatkala krisis moneter global semakin memperlihatkan dampak yang mendalam di Indonesia di tahun 2008 lalu, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) Bank Indonesia melakukan analisa peringatan dini (early warning analysis) melalui simulasi ketahanan industri perbankan (stress testing) dan melaporkan hasilnya kepada Rapat Dewan Gubernur BI. Dengan adanya laporan ini akan memberi informasi memadai mengenai kondisi dan kerentanan sistem keuangan dan perbankan guna mengambil keputusan yang bertujuan untuk mencegah krisis dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Dari hasil simulasi ketahanan bank ini diketahui gambaran umum kondisi perbankan nasional. Informasi ini bisa menjadi langkah awal untuk mengetahui kondisi faktual lapangan terhadap 125 bank yang diawasi oleh BI. Pengawas Bank pun akan mencermati profil bank-bank yang memperlihatkan indikasi penurunan kinerja likuiditasnya. Misalnya, hingga Februari 2009, setidaknya ada 19 bank berpotensi masuk pengawasan intensif BI karena angka kredit macet (NPL) di atas 5%. Meski tidak ada satu pun bank yang masuk dalam pengawasan khusus (SSU). Apa penyebab bank-bank tadi mengalami pemburukan aset kredit atau masalah lainnya, setidaknya dapat diteropong dalam beberapa aspek.
Setidaknya, ada dua aspek sumber masalah yang dihadapi bank sebagai unit usaha bisnis yang tak lepas dari berbagai risiko. Kedua aspek itu bisa karena persoalan di internal bank atau eksternal. Faktor internal bank bisa menjadi sumber bank mengalami masalah bila bank itu dikelola dengan tidak hati-hati khususnya dalam manajemen risiko, lemahnya pengendalian internal, campur tangan pemilik dalam operasional bank atau adanya kesalahan penetapan strategi yang bermuara bank mengalami kerugian. Sedangkan faktor eksternal bank seperti perubahan lingkungan bisnis. Contoh senyatanya adalah krisis moneter yang mendera medio tahun 2008 hingga memasuki tahun 2009 yang banyak memukul kinerja usaha debitor bank yang mengalami kesulitan untuk membayar bunga dan pokok kredit mereka. Gagal bayar debitor bank ini memukul tingkat pendapatan bank dari bunga kredit fee based income) dan memaksa bank untuk menyisihkan pencadangan yang menguras likuiditas hingga struktur permodalan pun terancam melorot. Masih banyak faktor eksternal lainnya sangat berpotensi mempengaruhi kinerja bank. Sebut misalnya, perubahan kebijakan pemerintah. Perubahan kebijakan yang tak terduga berpeluang besar memukul pemburukan kualitas kredit debitur bank sehingga mempengaruhi likuiditas bank. Ambil contoh kebijakan Pemerintah mengurangi pagu ekspor minyak kelapa sawit untuk setiap industri pengolahan minyak sawit di dalam negeri guna memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Kenyataan ini sudah barang tentu berpotensi memukul industri sawit dan mengancam kelancaran pembayaran angsuran kredit ke perbankan. Sebab lain bisa juga karena faktor perubahan situasi politik dan tingkat persaingan antar bank itu sendiri. Masih panjang daftar risiko-risiko yang mesti dipikul perbankan. Sebuah bank dikatakan bermasalah atau mengalami kegagalan bila sudah tidak mampu lagi memenuhi kewajiban deposan dan kreditur. Gagal bayar ini bersumber pada persoalan likuiditas bank. Dalam menjalankan roda bisnis, bank menghimpun dana masyarakat dalam bentuk tabungan, deposito dan giro yang umumnya berjangka waktu pendek (kurang dari setahun). Dana yang terkumpul tadi akan dimanfaatkan bank untuk membiayai kredit korporasi atau penempatan pada instrumen-instrumen investasi lain yang umumnya berjangka waktu lebih dari setahun. Disinilah bank secara alamiah menghadapi apa yang disebut maturity gap pada struktur keuangannya. Maksudnya, antara kewajiban membayar dana nasabah dan hasil penempatan, jatuh temponya tidaklah sama. Sekali bank gagal memenuhi kewajiban kepada deposan, reputasi bank itu sedang dipertaruhkan. Bukan tak mungkin akan mengalami rush oleh nasabah. Kalau sudah begini, bank sebesar dan sesehat apapun akan kolaps. Dalam menangani bank bermasalah mestilah dilihat situasi dan kondisi ketika itu. Bila ada bank bermasalah hingga ditetapkan sebagai bank gagal dan setelah dikaji tidak berdampak sistemik dalam situasi tidak sedang ada krisis, putusan terang benderang: likuidasi. Selanjutnya tugas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk membayar dana masyarakat yang masuk dalam skim penjaminan. Lihat saja ketika BI menutup Bank IFI atau Uni Bank. Dalam kondisi sedang tidak ada krisis, penutupan bank-bank tersebut berjalan secara alamiah tanpa menimbulkan goncangan psikologi massa nasabah bank. Namun sebaliknya, ketika ada bank bermasalah dalam situasi krisis (entah itu moneter atau ekonomi), jelaslah pendekatan dan penanganan menjadi berbeda. Mengapa? Ya, karena ada krisis yang berpotensi mengoyak psikologi pasar yang berdampak ikut (baca: sistemik) merontokkan bank-bank lainnya. Ambil contoh kasat mata, penyelamatan Bank Century. Bank yang tergolong kecil yang bermasalah dalam hal likuiditasnya ini dalam kondisi normal akan divonis mati alias likuidasi. Ya, karena kecil saja peran bank ini terhadap totalitas sistem perbankan. Dalam kondisi yang sedang tak normal didera krisis, bukan lagi faktor-faktor kuantitatif yang dominan akan menjadi bahan pertimbangan mengambil keputusan (judgement). Tapi unsur kualitatif atau judgement yang mempertimbangkan dengan cermat dampak psikologi pasar. Memang haruslah diakui, wilayah ini adalah debatable. Tapi, kalau belajar dari krisis moneter tahun 1997/1998, bukankah faktor psikologi pasar yang merontokkan perbankan nasional hingga harus direkapitalisasi dana triliunan rupiah.
Bank Dalam Pengawasan Intensif
suntingBank Indonesia sebagai otoritas moneter sangatlah hati-hati dalam mengkomunikasikan kondisi sebuah bank kepada publik. Pasalnya, isu kondisi sebuah bank sangatlah sensitif apalagi ditengah situasi sedang krisis. Sedikitnya saja isu atau rumor yang menerpa sebuah bank, seketika itu juga bank itu biasanya akan mengalami “pendarahan” akibat penarikan besar-besaran deposan. Disinilah bank sentral akan berperan menjaga kepercayaan publik agar tak luntur terhadap perbankan. Terhadap sebuah bank sedang bermasalah, katakanlah bank mengalami lonjakkan kredit macet (NPL) hingga menembus batas aman yakni 5% seperti yang mendera 19 bank. Apa yang akan dilakukan BI? Bila memang masalah di sebuah bank hanya sebatas peningkatan NPL, Pengawas Bank BI akan memasukkan bank itu dalam Pengawasan Intensif. Pengetatan pengawasan dilakukan dengan serangkaian arahan tindakan koreksi yang akan direkomendasi oleh Pengawas Bank. Langkah koreksi ini dimaksudkan agar kondisi bank mengalami pemulihan dalam waktu tidak terlalu lama sehingga status bank dalam status pengawasan intensif pun dapat dicabut. Langkah-langkah koreksi yang direkomendasikan BI antara lain meminta bank melaporkan hal-hal tertentu, misalnya, informasi profil kredit bermasalah yang membuat bank dalam kondisi terancam kelangsungan usahanya. Selain itu, Pengawas BI akan meminta manajemen bank membuat tindakan (action plan) perbaikan terhadap NPL agar bisa kembali di bawah 5%. Apabila pengawas bank menyetujui proposal untuk memulihkan bank tadi dari ancaman kredit bermasalah. Bila semua rencana tindakan koreksi bank tadi dijalankan dengan seksama oleh manajemen bank serta mengembalikan kondisi bank tersebut pada rambu-rambu kehati-hatian, maka status pengawasan intensif pun dicabut.
Bank Dalam Pengawasan Khusus
suntingNamun apabila kinerja bank dalam pengawasan intensif tidak juga bergerak memperlihatkan perbaikan, status pengawasan pun ditingkatkan lagi menjadi bank dalam pengawasan khusus (special surveilance unit/SSU). Predikat bank SSU biasanya tidaklah membuat nyaman manajemen bank. Seperti sudah digambarkan, informasi ini beredar di publik plus ditambah rumor dan bumbu-bumbu cerita serem yang membuat bulu kuduk deposan merinding, aksi rush tidak terelakan lagi. Menurut Wimboh Santoso, bank dalam pengawasan khusus biasanya tingkat persoalannya lebih berat lagi. Misalnya, sudah bermasalah dengan kinerja modal (CAR) bank yang melorot di bawah 8% plus ditambah NPL yang juga atas 5% dan sangat mungkin ada tambahan masalah seperti tingkat profitabilitas yang ikut menurun. Terhadap pasien unit gawat darurat pengawasan bank ini, biasanya BI akan memerintahkan manajemen atau Pemeggang Saham Pengendali (PSP) untuk membuat rencana (action plan) secara tertulis terhadap perbaikan modal. BI juga akan secara ketat mengawasi manajemen bank dan PSP untuk memenuhi kewajiban tindakan perbaikan (mandatory surverpisory actions). Selain itu, akan dimintakan kepada PSP bank untuk mengambil langkah-langkah seperti menganti dewan komisaris atau dewan direksi bank. Menghapus buku kredit yang tergolong macet dan memperhitungkan kerugian dengan modal bank. Saran tindakan lain adalah melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain. Bila upaya merger belum juga ketemu jodoh, PSP bank diminta untuk menjual bank kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh atau sebagian kewajiban bank. Bisa juga menyerahkan semua atau sebagian kerugian bank kepada pihak lain. Kalau itu juga belum memadai, BI akan meminta bank menjual harta yang dimiliki untuk menutup kerugian. Pengawas juga akan meminta PSP atau manajemen bank untuk membekukakan usaha tertentu bank yang berpotensi merugikan bank. Sungguh tak nyaman memang bila bank masuk dalam unit gawat darurat pengawasan bank ini. Ya, persis unit gawat darurat sebuah rumah sakit ketika menangani pasien gawat darurat yang perlu mendapat pertolongan segera. Semua alat dan tindakan medis akan diambil. Begitu pula dengan BI, ketika ada bank masuk SSU, ya itu tadi semua arahan dan action plan ini dan itu guna menyehatkan bank dimintakan kepada PSP dan manajemen bank. Itu belum termasuk adanya pantangan dan larangan untuk “berpuasa” melakukan pembayaran distribusi modal seperti pembagian bonus atau dividen. Bank juga dilarang untuk melakukan transaksi atau memberikan kompensasi terhadap pihak terkait atau pihak lain yang ditetapkan oleh BI. Pertumbuhan aset untuk sementara mesti dihindari dulu. Begitu juga larangan bank untuk membayar pinjaminan subordinasi. BI memberi waktu kepada manajemen bank untuk melaksanakan semua action plan dan pantangan tersebut selama tiga bulan bagi bank sudah terdaftar di bursa saham (listed bank) dan enam bulan bagi bank belum go public. Jangka waktu itu bisa diperpanjang satu kali atau paling lama tiga bulan.
Penanganan Bank Gagal
suntingJika sampai di sini upaya-upaya tadi tidak juga membuahkan hasil, maka bank tersebut akan ditetapkan sebagai bank gagal oleh Dewan Gubernur BI. Tinggal dilihat, apakah bank gagal tadi berdampak sistemik atau tidak. Ketika Bank IFI ditetapkan sebagai bank gagal dengan predikat non-sistemik, maka urusan penggarapan selanjutnya diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Antara BI dan LPS sudah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang “Koordinasi Pertukaran Data dan Informasi Dalam Rangka Mendukung Efektifitas Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan”. SKB yang ditandatangani Ketua Dewan Komisioner LPS dan Pejabat Sementara Gubernur BI pada 22 Oktober 2009 ini, intinya mengatur perihal tata cara sebuah bank gagal (sistemik atau nonsistemik) yang untuk selanjutnya akan diserahkan ke LPS. Dalam menangani bank gagal tidak sistemik pihak LPS akan melakukan kajian dan memutuskan apakah akan diselamatkan atau tidak. Jika biaya penyelamatan lebih mahal dari pada melikuidasi, maka penyelesaian singkat saja, bank diusulkan dicabut izin usahanya lalu dilikuidasi dan LPS membayar klaim atas simpanan masyarakat. Apabila LPS memutuskan bank gagal untuk diselamatkan, maka berlaku dua perlakuan berbeda. Terhadap bank gagal nonsistemik, tindakan penyelamatan tidak akan melibatkan pemegang saham lama. Artinya, semua biaya yang timbul dari tindakan penyelamatan itu akan ditanggung oleh LPS. Sedangkan penanganan bank gagal sistemik dapat dilakukan baik dengan melibatkan pemegang saham lama atau tanpa melibatkan mereka didalamnnya. Bila pemeggang saham lama terlibat didalamnya, maka LPS mewajibkan menyetor dana setidaknya 20% dari total biaya penyelamatan yang telah dikeluarkan LPS. Dalam hal menangani bank gagal dalam skim apa pun, pihak LPS mendasari tidakan tersebut berdasarkan mandat Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang LPS. Penanganan bank gagal yang dipertimbangkan untuk diselamatkan akan diambil langkah-langkah bahwa kewenangan mengadakan RUPS dan pengelolaan bank sepenuhnya diambilalih LPS. Terhadap bank gagal yang diselamatkan, LPS akan melakukan penyertaan modal sementara (PMS). Selain itu, LPS juga dapat melakukan merger dan konsolidasi dengan bank lain. Hal yang masih sering rancu dipahami publik bahwa ketika LPS melakukan penyelamatan sebuah bank gagal entah itu sistemik atau nonsistemik seperti pada kasus Bank Century, publik akan cepat menyimpulkan telah terjadi kerugian uang negara. Bahwa tindakan penyelamatan bank yang melalui mekanisme PMS oleh LPS tidaklah semua dana hilang. Misalnya, PMS Bank Century senilai Rp6,76 triliun. Semua biaya yang timbul akibat melakukan penyelamatan suatu bank akan diperhitungkan sebagai penyertaan sementara. Kurun waktu 2-3 tahun LPS akan melogo saham bank tersebut untuk mengembalikan biaya penyelamatan tadi.
lama apabila terbukti pemeggang saham lama melakukan kelalaian atau perbuatan melawan hukum sehingga bank menjadi gagal. Yang lalu menjadi pertanyaan, apakah bila ada bank yang akhirnya ditetapkan sebagai bank gagal, hal ini bersumber dari kesalahan Pengawasan Bank BI. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar tapi juga tidak sepenuhnya keliru. Yang sering dilupakan publik bahwa tugas pengawas bank adalah memastikan bahwa pengelolaan sebuah bank mengikuti prosedur atau koridor yang ditentukan agar bank dikelola secara hati-hati. “Jadi tugas pengawas bank itu hanya sebatas mengingatkan manajemen bank bahwa ada rambu yang dilanggar. Sedangkan urusan bank itu menjadi sehat atau tidak ya sepenuhnya tugas direksi bank, karena untuk itulah mereka dibayar mahal,” tandas Deputi Gubernur Senior BI Darmin Nasution. (*)