Laporan Hasil Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana/Bab 3

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN YANG TERKAIT DENGAN

PERAMPASAN ASET


A. Pengaturan Perampasan Aset Tindak Pidana Melalui Mekanisme Perdata Di Indonesia

Dari pengaturan selama ini terdapat beberapa masalah dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara melalui perampasan aset yaitu Konstruksi sistem hukum pidana di Indonesia belum menempatkan penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana sebagai bagian penting dari upaya menekan tingkat kejahatan di Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dari uraian berikut ini:

  1. KUHP membagi dua kelompok sanksi pidana yaitu kelompok pidana pokok dan pidana tambahan. Berdasarkan pembagian tersebut, penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana255 dimasukkan ke dalam kelompok pidana tambahan dan bukan pidana pokok.
  2. Definisi penyidikan di dalam KUHAP adalah “untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Dari definisi tersebut terlihat bahwa penelusuran hasil dan instrumen tindak pidana, yang memungkinkan penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana, belum merupakan


——————————————————————

255 Di dalam KUHP pasal 10 huruf b angka 2 disebut sebagai “perampasan barang-barang tertentu”. bagian penting dari penyidikan tindak pidana di dalam KUHAP.

  1. Kewenangan yang dimiliki penyelidik dan penyidik dalam di dalam KUHAP belum memungkinkan para penyelidik dan penyidik untuk melaksanakan penelusuran hasil dan instrumen tindak pidana dengan baik. KUHAP, misalnya, belum mengatur secara jelas mengenai kewenangan penyelidik dan penyidik dalam mengakses sumber-sumber informasi yang diperlukan dalam rangka mengidentifikasi dan menemukan hasil dan instrumen tindak pidana, terutama akses terhadap sumber-sumber informasi yang dilindungi dengan ketentuan kerahasiaan.
  2. Dalam KUHAP, pengertian instrumen tindak pidana terbatas kepada benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan atau untuk mempersiapkan suatu tindak pidana.256 Padahal, konsep yang berkembang saat ini, instrumen tindak pidana tidak hanya mencakup sarana yang secara langsung dipergunakan dalam suatu tindak pidana tetapi juga sarana yang memungkinkan terlaksananya suatu tindak pidana.
  3. KUHAP tidak mengatur kemungkinan untuk merampas harta dan instrumen tindak pidana dalam hal terdapat hambatan yang dapat menghalangi pelaksanaan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan maupun eksekusi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

——————————————————————

256 KUHAP Pasal 39 huruf b menyatakan bahwa “yang dapat dikenakan penyitaan adalah benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya”. Dalam perkembangan terakhir di dunia internasional, penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana menjadi bagian penting dari upaya menekan tingkat kejahatan, seperti yang tercantum dalam UNTOC, UNCAC, yang keduanya telah diratifikasi oleh Indonesia, namun Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang sejalan dengan perampasan aset berdasarkan dua konvensi internasional tersebut, sehingga upaya pengembalian aset tindak pidana yang berada di luar negeri menjadi sulit untuk diimplementasikan karena belum adanya ketentuan yang sama.


Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini dinilai belum secara komprehensif dan rinci mengatur tentang perampasan aset yang terkait dengan tindak pidana, dan masih memiliki banyak kekurangan (loophole) jika dibandingkan dengan Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) yang direkomendasikan oleh PBB dan lembaga-lembaga internasional lainnya. NCB digunakan apabila proceeding pidana yang kemudian diikuti dengan pengambilalihan aset (confiscation) tidak dapat dilakukan, yang bisa diakibatkan oleh beberapa hal, antara lain: (i) pemilik aset telah meninggal dunia; (ii) berakhirnya proses pidana karena terdakwa bebas; (iii) penuntutan pidana terjadi dan berhasil tetapi pengambilalihan aset tidak berhasil; (iv) terdakwa tidak berada dalam batas jurisdiksi, nama pemilik aset tidak diketahui; dan (v) tidak ada bukti yang cukup untuk mengawali gugatan pidana.


Memperhatikan perkembangan hukum pidana internasional di atas, maka konsekuensi dari ratifikasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, maka perlu dirumuskan ketentuan-ketentuan yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan bila sudah ada aturannya dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, maka perlu disesuaikan dengan hukum pidana internasional dengan perluasan, penambahan dan penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku saat ini di Indonesia. Hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan sehingga perlu dibuat undang-undang tersendiri yang secara khusus digunakan untuk merampas aset yang terkait dengan tindak pidana.


Perampasan aset yang diatur di Indonesia selama ini dilakukan masih terkait dengan penanganan pidana dan perdata (tetap mendasarkan pembuktian pidana terlebih dahulu), jenis kejahatan juga masih terkait dengan korupsi atau pencuian uang, yang mekanismenya menuntut pembuktian terhadap terjadinya kejahatan dan akibat kejahatan terlebih dahulu kemudian ditujukan kepada individu (in personam), dan merupakan bagian dari sanksi pidana yang dikenakan kepada Terdakwa. Merupakan bagian dari sanksi pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terhadap Terdakwa. Dilakukan bersamaan dengan pengajuan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Perampasan aset disandarkan pada pembuktian kesalahan Terdakwa atas tindak pidana yang terjadi. Hakim harus menyakini bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana. dan kalu pun melalui mekanisme perdata mengarah penggunaan mekanisme sesuai dengan Hukum Acara perdata, yang konsekwensinya akan lama dan berlarut larut, penjangnya waktu tersebut dapat menyebabkan suatu aset kehilangan nialai barang atau rentan untuk di pindah tangankan.


Pengaturan Mekanisme perampasan aset selain dengan mekanisme pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, undang undang Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (UU TP Pendanaan Terorisme). Dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).


1. Perampasan aset dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Dalam undang undang ini menyediakan dua instrumen hukum mengenai pemulihan kerugian negara akibat perbuatan korupsi, yaitu melalui instrumen pidana dan perdata.257 Mekanisme melalui instrumen pidana diatur melalui:


(1) putusan pengadilan yang menyatakan barang bukti dirampas untuk negara, baik dalam bentuk uang, tanah gedung dan sebagainya yang merupakan aset terpidana berdasarkan pasal 18 ayat 1 huruf a Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yang menyatakan

——————————————————————

257 Abdul Rahman Saleh, “Peran Kejaksaan dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi”, makalah disampaikan pada Seminar “Sinergi Pemberantasan Korupsi: Peranan PPATK dan Tantangan Asset Recovery” dalam rangka Ulang Tahun ke-4 PPATK, Ruang Chandra, Gedung Bank Indonesia Lt. 6, Kebon Sirih, Jakarta, 4 April 2006. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang tersebut;

(2) pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi (pasal 18 ayat 1 huruf b). Jika terpidana tidak mampu membayar uang pengganti tersebut, maka berdasarkan pasal 18 ayat 2 paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untu menutupi uang pengganti tersebut (penyitaan harta benda terpidana sebagai pembayaran uang pengganti tersebut berbeda dengan penyitaan pada saat penyidikan, karena penyitaan tersebut tidak memerlukan lagi izin dari Ketua Pengadilan Negeri). Demikian juga dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalan Pasal 18 ayat 1 huruf b, maka berdasarkan pasal 18 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, gugatan perdata dapat dilakukan apabila dalam penyidikan, ternyata penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur TIPIKOR tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan berdasarkan Pasal 32 Ayat 1. Demikian pula halnya jika pengadilan menjatuhkan putusan bebas, maka tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara (Pasal 32 ayat 2). Dan jika saat penyidikan maupun pemeriksaan di sidang pengadilan tersangka atau terdakwa meninggal dunia, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka gugatan perdata ditujukan kepada ahli warisnya dengan cara penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan berdasarkan Pasal 33 dan 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.


mekanisme melalui gugatan perdata dengan menggunakan peran jaksa pengacara negara berdasarkan Pasal 30 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, yang menyatakan:

“... di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalan maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah” Sebenarnya pengembalian kerugian negara melalui mekanisme tersebut di atas sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah diatur (Pasal 34 Ayat (3)), namun demikian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 melengkapinya dengan memberikan ketentuan dalam hal pembayaran uang pengganti, dengan pengganti berupa pidana penjara yang tidak boleh melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya. Lain halnya dengan mekanisme melalui instrumen perdata, hal tersebut memang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971.


Selain itu, Pasal 37 Ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juga mengatur tentang kewajiban terdakwa menerangkan asal-usul harta bendanya, baik seluruh berupa harta benda atas namanya sendiri maupun milik istrinya, anaknya dan harta pihak lain yang diduga mempunyai hubungan dengan perbuatan korupsi yang didakwakan kepadanya dan apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa hartanya (yang tidak seimbang dengan penghasilannya) bukan berasal dari korupsi, maka hartanya dianggap diperoleh dari perbuatan korupsi (illicit enrichment) dan hakim berwenang merampasnya.


Konsekuensi logis dari pengunaan instrumen pidana adalah membawa harta atau aset koruptor ke dalam sidang pengadilan tentunya harus didahului dengan tindakan penyitaan oleh penyidik dalam tahap penyidikan. Aset koruptor yang disita penyidik itu, oleh jaksa penuntut umum diajukan ke depan persidangan lazim disebut sebagai barang bukti. Dan upaya paksa berupa kewenangan penyitaan aset para koruptor ini, meskipun merupakan diskresi yang diberikan undang-undang, tetapi prakteknya tidaklah mudah, mengingat para koruptor dengan berbagai cara, jauh-jauh hari telah mengamankan aset-aset tersebut, termasuk dengan cara menggunakan rekayasa finansial (financia engineering) yang sering terjadi dalam praktek bisnis, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Oleh karena itu, dalam tahap penyidikan perkara korupsi dibutuhkan strategi yang tepat untuk mengidentifikasi (indentifying) dan menelusuri (tracing) aset yang diduga terkait langsung atau tidak langsung dengan perkara korupsi. Lebih-lebih, jika harta hasil korupsi tersebut disembunyikan di luar negeri. Salah satu cara menelusuri kemana hasil korupsi itu dikaburkan oleh koruptor, adalah dengan membina kerjasama dengan berbagai negara, khususnya negara yang rawan menjadi tempat pelarian para koruptor atau menyimpan harta hasil jarahannya.258

2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (UU TP Pendanaan Terorisme)

Pengertian yang terkait dengan Perampasan aset, pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (UU TP Pendanaan Terorisme) adalah Pertama, mengenai pengertian Aset yang mirip dengan pengertian Dana dalam Pasal 1 ayat 7 UU TP Pendanaan Terorisme, Bahwa dana adalah semua aset atau benda bergerak atau tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh dengan cara apa pun dan dalam bentuk apa pun, termasuk


————————

258 Abdul Rahman Saleh, Op. Cit. dalam format digital atau elektronik, alat bukti kepemilikan, atau keterkaitan dengan semua aset atau benda tersebut, termasuk tetapi tidak terbatas pada kredit bank, cek perjalanan, cek yang dikeluarkan oleh bank, perintah pengiriman uang, saham, sekuritas, obligasi, bank draf, dan surat pengakuan utang.


Pengertian dana tersebut ternyata dimaknai luas oleh pembentuk undang undang, dalam kamus besar bahasa indonesia maka dana adalah259 pertama, dimaknai uang yg disediakan untuk suatu keperluan, biayaseperti dana kesejahteraan, dan kedua, dana dimaknai pemberian, hadiah, derma. Sedangkan pendanaan adalah penyediaan dana: negara itu tidak perlu disangsikan lagi di bidang pendanaan. Sehingga pengertian dana memang agak kurang tepat dengan makna dana secara harfiah. Jika dihubungkan dengan aset dalam perampasan aset maka, pengertian dana sebenarnya sama dengan pengerian Aset yaitu semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud dan mempunyai nilai ekonomis.


Kedua, mengenai pengertian Pemblokiran, dalam Pasal 1 ayat 8, Pemblokiran adalah tindakan mencegah pentransferan, pengubahan bentuk, penukaran, penempatan, pembagian, perpindahan, atau pergerakan Dana untuk jangka waktu tertentu. Aktifitas pemblokiran juga dilakuan dalam permpasan aset, sehingga pengertian pemblokiran dalam pendanaan terorisme dapat diharmoniskan dengan pemblokiran dalam pengaturan perampasan aset.


Ketiga, ruang lingkup perampasan aset mirip dengan ruang lingkup UU TP Pendanaan Terorisme, dimana dalam UU

______________________

259 Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa kementerian Pendidikan Nasional Republik indonesia, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php TP Pendanaan Terorisme Pasal 2 ayat 1 bahwa UU TP Pendanaan Terorisme berlaku terhadap:

  1. Setiap Orang yang melakukan atau bermaksud melakukan tindak pidana pendanaan terorisme di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
  2. Dana yang terkait dengan Pendanaan Terorisme di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ruang lingkup dana yang terkait pendanaan terorisme,260 secara jelas memang juga menunjukkan aset dari suatu kejahatan, tetapi kejahatannya sudah secara spesifik ditentukan yaitu kejahatan terorisme. Sehingga pengaturan mengenai perampasan aset tidak perlu lagi mengatur terkait dengan kejahatan terorisme.


Mekanisme pemblokiran Dana merupakan tindakan salah satu kegiatan penting dalam hal pendanaan terorisme, Mengenai Pemblokiran pada UU TP Pendanaan Terorisme, diatur dua hal yaitu:

  1. Tindakan Pemblokiran dan
  2. Keberatan Terhadap Pemblokiran.

Dalam pengaturan mengenai tindakan pemblokiran didahului dengan ketentuan umum Pasal 22, bahwa Pemblokiran dilakukan terhadap Dana yang secara langsung atau tidak langsung atau yang diketahui atau patut diduga digunakan atau akan digunakan, baik seluruh maupun sebagian, untuk Tindak Pidana Terorisme.


————————

260 Dalam UU TP Pendanaan Terorisme, Pendanaan Terorisme adalah segala perbuatan dalam rangka menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud untuk digunakan digunakan untuk melakukan kegiatan terorisme, dan/atau yang diketahui akan organisasi teroris, atau teroris. Yang melaksanakan pemblokiran adalah261 PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan meminta atau memerintahkan PJK atau instansi berwenang untuk melakukan Pemblokiran. melakukan Sedangkan pemblokiran dalam perampasana adalah Jaksa aset Pengacara yang Negara. Pemblokiran dilakukan dengan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk meminta atau memerintahkan PJK atau instansi berwenang untuk melakukan Pemblokiran.262

Khusus Permintaan berwenang untuk PPATK melakukan ke PJK Pemblokiran atau instansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindakan administrasi.263

Permintaan pemblokiran harus tertulis dilakukan secara dengan menyebutkan secara jelas mengenai:264

  1. nama dan jabatan pejabat yang meminta atau memerintahkan;
  2. identitas orang atau Korporasi yang Dananya akan diblokir;
  3. alasan Pemblokiran; dan d. tempat Dana berada.

PJK atau instansi berwenang wajib melaksanakan Pemblokiran segera setelah surat permintaan atau perintah Pemblokiran diterima dari PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim.265

Jangka waktu Pemblokiran dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.266 Dalam hal jangka waktu Pemblokiran berakhir, PJK wajib mengakhiri Pemblokiran

——————————————————

261Pasal 23 ayat 1, UU TP Pendanaan Terorisme

262Pasal 23 ayat 2, UU TP Pendanaan Terorisme.

263Pasal 23 ayat 3, UU TP Pendanaan Terorisme

264Pasal 23 ayat 4, UU TP Pendanaan Terorisme

265Pasal 23 ayat 5, UU TP Pendanaan Terorisme

266Pasal 23 ayat 6, UU TP Pendanaan Terorisme demi hukum.267 Kemudian PJK atau instansi berwenang wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan Pemblokiran kepada:

  1. PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim; dan
  2. pihak yang diblokir,

jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan Pemblokiran.268 Dana yang diblokir harus tetap berada pada PJK atau instansi berwenang yang bersangkutan.269

Kemudian terdapat perlindungan terhadap instansi berwenang dalam melakukan pemblokiran bahwa PJK atau instansi berwenang yang melaksanakan perintah Pemblokiran tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, dalam pelaksanaan Pemblokiran berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang.270

Dalam pengaturan Keberatan Pemblokiran, Setiap Orang dapat mengajukan keberatan terhadap pelaksanaan Pemblokiran.271 Pengajuan keberatan terhadap pelaksanaan Pemblokiran disampaikan kepada PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim.272 Jangka waktu pengajuan keberatan dilakukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diketahui adanya Pemblokiran.273 Keberatan disampaikan secara tertulis dan dilengkapi dengan alasan keberatan disertai penjelasan mengenai hubungan atau kaitan pihak yang

——————————————————

267Pasal 23 ayat 9, UU TP Pendanaan Terorisme

268Pasal 23 ayat 7, UU TP Pendanaan Terorisme

269Pasal 23 ayat 8, UU TP Pendanaan Terorisme

270Pasal 24, UU TP Pendanaan Terorisme.

271Pasal 25 ayat 1, UU TP Pendanaan Terorisme

272Pasal 25 ayat 2, UU TP Pendanaan Terorisme

273Pasal 25 ayat 3, UU TP Pendanaan Terorisme mengajukan keberatan dengan Dana yang diblokir dan bukti, dokumen asli, atau salinan yang telah dilegalisasi yang menerangkan sumber dan latar belakang Dana.274

Jika keberatan diterima, maka harus dilakukan pencabutan pelaksanaan Pemblokiran oleh PJK atau instansi berwenang yang melakukan Pemblokiran berdasarkan permintaan PPATK atau perintah dari penyidik, penuntut umum, atau hakim.275 Dalam hal keberatan ditolak, pihak yang mengajukan keberatan dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan.

Apabila tidak ada orang dan/atau pihak ketiga yang mengajukan keberatan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Pemblokiran, PPATK atau penyidik menyerahkan penanganan Dana yang diketahui atau patut diduga terkait Tindak Pidana Terorisme ke pengadilan negeri.276

Kemudian dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diumumkan:277 terdapat pihak yang keberatan, pengadilan negeri melakukan pemeriksaan guna memutuskan Dana dikembalikan kepada yang berhak atau dirampas untuk negara. tidak ada pihak yang keberatan, pengadilan memutuskan Dana dirampas untuk negara atau dimusnahkan.

Terhadapa pengadilan memang diatur dalam pasal 36 hingga pasal 40. Tetapi lebih pada mekanis melalui jalur pidana, berbeda dengan perampasan aset yang melalui mekanisme perdata karena fokus pada inrem atau benda bukan kepada person atau orang. Dalam pengaturan tersebut beberapa

——————————————————

274Pasal 25 ayat 4, UU TP Pendanaan Terorisme

275Pasal 25 ayat 5, UU TP Pendanaan Terorisme

276Pasal 25 ayat 1, UU TP Pendanaan Terorisme

277Pasal 25 ayat 1, UU TP Pendanaan Terorisme penambahan terkai hukum acara dalam peradialan yaitu mengenai:

  1. berwenang untuk meminta keterangan dari PJK, tidak berlaku ketentuan Undang-Undang yang mengatur rahasia bank dan kerahasiaan Transaksi keuangan lainnya. Mekanisme meminta keterangan dari PJK.
  2. Menambahkan alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik
  3. Pemeriksaan saksi dan ahli di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pendanaan terorisme dapat dilakukan melalui komunikasi jarak jauh dengan media audiovisua, dan syarat syarat dalam melakukan pemeriksaan tersebut.

Selanjutnya juga diatur dalam UU TP Pendanaan Terorisme mengenai kerja sama, baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Pengaturan khusunya mengenai Permintaan Bantuan Pemblokiran Berdasarkan Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris dari Negara Asing atau Yurisdiksi Asing. Yang juga sebaiknya diatur dalam perampasan aset.

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) yang kemudian disebut UNCAC, pada tanggal 18 April 2006, menjelasakan bahwa perampasan aset pelaku tindak pidana korupsi dapat dilakukan melalui jalur pidana dan jalur perdata. Proses perampasan aset kekayaan pelaku melalui jalur pidana melalui 4 (empat) tahapan, yaitu: pertama, pelacakan aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi, bukti kepemilikan, lokasi penyimpanan harta yang berhubungan delik yang dilakukan. Kedua, pembekuan atau perampasan aset sesuai Bab I Pasal 2 huruf (f) UNCAC 2003 di mana dilarang sementara menstransfer, mengkonversi, mendisposisi atau memidahkan kekayaan atau untuk sementara menanggung beban dan tanggung jawab untuk mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lain yang berkompeten. Ketiga, penyitaan aset sesuai Bab I Pasal 2 huruf (g) UNCAC 2003 diartikan sebagai pencabutan kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berkompeten. Keempat, pengembalian dan penyerahan aset kepada negara korban. Selanjutnya, dalam UNCAC 2003 juga diatur bahwa perampasan harta pelaku tindak pidana korupsi dapat melalui pengembalian secara langsung melalui proses pengadilan yang dilandaskan kepada sistem “negatiation plea” atau “plea bargaining system”, dan melalui pengembalian secara tidak langsung yaitu melalui proses penyitaan berdasarkan keputusan pengadilan (Pasal 53 s/d Pasal 57 UNCAC).278

Tentunya keberadaan instrumen internasional ini sangat penting, sebagai bukti adanya kerjasama intrnasional dalam pencegahan kejahatan dan peradilan pidana. Ratifikasi atas intrumen internasional tersebut sangat penting mengingat semakin dirasakan keprihatinan di Indonesia maupun pada negara-negara didunia terhadap semakin meningkatnya dan

——————————————————

278Philippa Webb, dalam Wahyudi Hafiludin Sadeli, loc.cit, hlm. 32. semakin berkembangnya kejahatan baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Perkembangan kejahatan saat ini bahkan telah bersifat transnasional, melewati batas-batas negara dan menunjukan adanya kerjasama kejahatan yang bersifat baik secara regional maupun internasional. Hal ini nampaknya merupakan hasil sampingan dari berkembangnya sarana teknologi informasi dan komunikasi modern.279

UNCAC memberikan dasar acuan pada Pasal 54(1) (c), yang mewajibkan semua Pihak Negara untuk mempertimbangkan perampasan hasil tindak kejahatan tanpa melalui pemidanaan. Dalam hal ini UNCAC tidak terfokus pada satu tradisi hukum yang telah berlaku ataupun memberi usulan bahwa perbedaan mendasar dapat menghambat pelaksanaannya. Dengan ini UNCAC mengusulkan perampasan aset Non-pidana sebagai alat untuk semua yurisdiksi untuk mempertimbangkan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagai sebuah alat yang melampaui perbedaan-perbedaan antar sistem. Tentunya berdasarkan keberlakukannya dalam ratifikasi yang dilakukan oleh negara-negara yang mengikuti dalam konvensi UNCAC tersebut, PBB selaku pihak penyelenggara dengan ini melanjutkan disposisional dalam bentuk pembuatan pedoman-pedoman (guidelines), standar-standar maupun model treaties, yang mencakup substansi yang lebih spesifik dalam upaya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dan upaya pemulihan terhadap dampak yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi tersebut.

——————————————————

279Ibid, hlm. 33.  UNCAC merupakan peraturan yang hanya memiliki ketentuan yang mengatur tentang perampasan in rem secara khusus, dan memberikan dasar hukum sebagai acuan untuk negara melakukan kerjasama internasional dalam permasalahan kejahatan maupun keuangan serta penggunaan teknologi antara sesama dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dalam hal upaya pengembalian aset. Ketentuan tersebut dituangkan pada Article 54 (1) (c) of UNCAC: "Consider taking such measures as may be necessary to allow confiscation of such property without a criminal conviction in cases in which the offender cannot be prosecuted by reason of death, flight or absence or in other appropriate cases". Pasal 54 angka 1 huruf (c) UNCAC ini merupakan pasal yang memberikan dasar hokum dalam hal penggunaan tindakan perampasan secara in rem pada tiap negara-negara yang melakukan kerjasama internasional dalam hal upaya melakukan pengembalian aset.280

 Dapat ditambahkan bahwa menelusuri harta koruptor di dalam negeri nampaknya lebih mudah untuk dilakukan. Lebih-lebih Inpres No. 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, di samping memberikan instruksi khusus kepada Jaksa Agung untuk mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara, juga ditekankan untuk meningkatkan kerjasama dengan Kepolisian, BPKP, PPATK dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat TIPIKOR. Sesuai dengan kewenangan yang ada pada Kejaksaan di dalam


______________________

280 Wahyudi Hafiludin Sadeli, Op. Cit., hlm. 35. melakukan penyidikan terhadap TIPIKOR, Kejaksaan RI di dalam melacak hasil korupsi lewat lalu lintas giral jasa perbankan, selalu bekerja sama dengan PPATK yang memang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk nenelusuri uang hasil kejahatan yang dicuci (money laundering).281

Selain pidana badan (penjara) dan/atau denda, juga dijatuhi pidana tambahan terhadap terpidana perkara korupsi, antara lain pembayaran uang pengganti. Sebagai pelaksana putusan pengadilan berdasarkan Pasal 270 KUHAP, di samping sebagai pengendali proses perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke pengadilan (procureur die de procesvoering vaststelt), Kejaksaan selalu dihadapkan dengan kendala sulitnya menagih pembayaran uang pengganti. Hanya segelintir yang dapat memenuhi kewajibannya, selebihnya hampir tidak ada yang membayar dengan berbagai dalih, misalnya tidak punya lagi uang atau aset. Sikap terpidana yang tidak mau atau tidak mampu membayar uang pengganti itu seyogianya sudah bisa diketahui oleh penyidik dan penuntut umum sejak sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan. Menghadapi terpidana seperti ini, tuntutan pidana maksimum sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang perlu diterapkan kepada para pelaku TIPIKOR. Mengingat, dalam praktek sering terjadi aset koruptor yang disita tidak sebanding dengan jumlah kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatannya.282

Dalam rangka penelusuran dan pengembalian hasil TIPIKOR di luar negeri, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK berwenang untuk: (i) meminta bantuan


_____________________________

281 Ibid.
282 Ibid. Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri (Pasal 12 huruf h), dan ii) melakukan kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi (Pasal 13 huruf f). Di samping itu, dalam Pasal 9 ayat (3) UU Bantuan Timbal Balik Dalam Hukum Pidana memberikan dasar bagi KPK untuk mengajukan permintaan bantuan ke negara lain (Dalam hal tindak pidana korupsi, permohonan bantuan kepada Menteri selain Kapolri dan Jaksa Agung juga dapat diajukan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Agar upaya penelusuran dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi lebih efektif dan optimal sudah saatnya seluruh institusi penegak hukum bersatu membangun sinergi dalam bentuk suatu gugus tugas khusus sebagai kekuatan baru untuk menanganinya, misalnya Asset Tracking and Recovery Task Force (ATRTF).


Pada tanggal 3 Maret 2006 Presiden RI telah nengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perjanjian Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Undang- Undang tersebut bertujuan memberikan dasar hukum bagi Pemerintah RI dalam meminta dan/atau memberikan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan pedoman dalam membuat perjanjian timbal-balik dalam masalah pidana dengan negara asing. Bantuan timbal balik dalam masalah pidana (MLA) menurut Pasal 3 ayat (1) Undang-undang merupakan permintaan bantuan berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan Negara Diminta. B. PENGATURAN PERAMPASAN DALAM UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

beberapa pengaturan mengenai perampasan atau Penyitaan barang dalam, sebagai berikut:

1. UUD NRI Tahun 1945 Terkait Hak Asasi Manusia:

Pasal 28C

  1. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
  2. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Pasal 28D

  1. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
  2. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Pasal 28G

  1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Pasal 281
  1. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Pasal 28J

  1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 10 ayat (2) huruf b uruf b mengatur tentang perampasan barang sitaan merupakan pidana tambahan yang ditetapkan oleh pengadilan.

3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

  • Pasal 39 mengatur tentang jenis barang-barang yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
  1. Harta kekayaan sebagai hasil dari tindak pidana;
  2. Harta kekayaan rampasan yang didapat dari terdakwa;
c. Benda atau tagihan yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai sebagai hasil dari tindak pidaana;

d. Digunakan langsung untuk tindak pidana atau mempersiapkannya;

e. Benda yang melakukan diperguakan untuk menghalangi-halangi penyidikan tindak pidana;

f. Benda yang dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

g. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

  • Pasal 40 perampasan atas barang-barang selundupan melanggara aturan pengawasan pelayaran.
  • Pasal 41 mengatur pidana pengganti atas perampasan aset yang dijatuhkan.
  • Pasal 44:
  1. Barang sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara.
  2. Penyimpanan barang sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk digunakan oleh siapapun juga.
- Pasal 45:
  1. Dalam hal penyimpanan tidak mungkin atau biaya mahal, maka dapat diambil tindakan sebagai berikut:
  2. Benda dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum.
  3. Bila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda dapat diamankan atau dijual lelang dengan persetujuan hakim.
  4. Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti.
  5. Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian dari benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
  6. Benda sitaan yang bersifat terlarng atau dilarang untuk diedarkan dirampas atau dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.

- Pasal 46:

  1. Benda yang dikenakan penyitaan harus dikembalikan jika,
  2. Benda tidak lagi diperlukan untuk tujuan penyidikan dan penuntutan,
  3. Perkara tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti;
  4. Perkara dikesampingkan untuk kepentingan umum atau ditutup demi hukum,


~186~
e. JIka perkara sudah diputus, benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan menurut putusan hakim kecuali benda itu dirampasn untuk negara,

- Pasal 273(3) mengatur bahwa "jaksa penuntut umum menguasakan benda kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang ...". Oleh karenanya, aset-aset rampasan harus dijual di kantor lelang negara.

4. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi yaitu:

  1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31 tahun 1999), dasar hukum yang dipergunakan penyidik, penuntut umum atau hakim untuk memblokir rekening milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil tindak pidana korupsi adalah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) huruf j atau Pasal 24 huruf i KUHAP.


~187~
Adapun yang dimaksud “memblokir” pada perumusan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (4) UU 31 tahun 1999 adalah tindakan yang dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim yang berupa permintaan kepada bank agar jangan sampai terjadi mutasi, baik keluar maupun ke dalam pada rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa. Kemudian, Penjelasan Pasal 29 ayat (4) UU 31 tahun 1999 menjelaskan yang dimaksud dengan rekening simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan hasil perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu, termasuk penitipan (custodian) dan penyimpanan barang atau surat berharga (safe deposit box), sedangkan rekening simpanan yang diblokir termasuk bunga, deviden, bunga obligasi, atau keuntungan lain yang diperoleh dari simpanan tersebut. Kemudian, pihak yang berwenang melakukan pemblokiran harta kekayaan yang terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Aturan tentang perampasan barang sitaan diatur dalam Pasal 18 dan Pasal 19, serta Pasal 38 B dan Pasal 38 C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Anti Korupsi menyebutkan bahwa pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa dalam perkara tindak pidana adalah pidana tambahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Anti Korupsi.

 Dari ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dapat diperinci bahwa pidana tambahan yang ditentukan terdiri dari:

  1. perampasan barang bergerak yang berwujud yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik di mana tindak pidana dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut, atau
  2. perampasan barang bergerak yang tidak berwujud yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut, atau
  3. perampasan barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
  4. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.



    ~189~

      e. penutupan seluruh perusahaan untuk paling lama 1 (satu) tahun atau penutupan sebagian perusahaan untuk paling lama 1 (satu) tahun.
      f. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

    Selanjutnya, Pasal 18 ayat (2) UU Anti Korupsi mengatur bahwa penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terpidana dan kemudian harta benda tersebut dilelang, baru dilakukan oleh jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan (Pasal 270 KUHAP) jika ternyata terpidana belum atau tidak membayar uang pengganti yang jumlahnya seperti yang dimuat pada putusan pengadilan dalam tenggang waktu yang telah ditentukan. Penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terdakwa tersebut tidak perlu terlebih dahulu meminta izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat atau sesudah melakukan penyitaan segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk mendapat persetujuan, karena penyitaan ini dilakukan bukan dalam rangka penyidikan, tetapi dalam rangka pelaksanaan putusan pengadilan. Jaksa dalam melakukan penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terdakwa tersebut harus memperkirakan harga dari benda yang disita, yang jika dilelang dapat menutupi jumlah uang pengganti seperti yang dimuat dalam putusan pengadilan. Pasal 19 ayat (1) UU Anti Korupsi menyatakan bahwa putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang kepunyaan terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan dirugikan. Selanjutnya, Pasal 19 ayat (2) UU Anti Korupsi menyatakan dalam hal putusan pengadilan meliputi perampasan barang-barang kepunyaan pihak ketiga yang beritikad baik, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan surat keberatan kepada pengadilan. Ketentuan ini sudah seharusnya diperhatikan oleh pengadilan sebelum menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang yang terkait dengan barang-barang kepunyaan pihak ketiga.


    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) merupakan ketentuan yang mengatur jika sesudah pengadilan menjatuhkan putusan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang ternyata terdapat barang-barang kepunyaan pihak ketiga yang didapat dengan itikad baik.


    Dari ketentuan dijelaskan bahwa dalam waktu paling lambat dua bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka untuk umum, pihak ketiga dapat mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan putusan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang yang ternyata terdapat barang-barang kepunyaannya yang didapat dengan itikad baik.


    Pasal 38B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menetapkan bahwa setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.

    Secara khusus Pasal 38B dan 38C UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, menetapkan bahwa:

      a. penuntut umum harus mengajukan tuntutan perampasan atas harta benda terdakwa pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok;
      b. terdakwa harus membuktikan bahwa harta benda bukan berasal dari tindak pidana korupsi pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi;
      c. hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa;
      d. pertimbangan apakah seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara diserahkan kepada hakim dengan pertimbangan

    prikemanusiaan dan jaminan hidup bagi terdakwa; dan,
    e. apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda harus ditolak oleh hakim.

    f. Benda-benda yang digunakan untuk tujuan pembuktian yang sifatnya mudah rusak dapat dijual lelang dan hasil pelelangan dapat digunakan sebagai pengganti untuk disampaikan di persidangan, sementara sebagian dari benda-benda tersebut sebagian dapat disisihkan untuk digunakan sebagai barang bukti.

    Sehubungan dengan kedua pasal tersebut di atas, definisi "benda-benda yang dirampas untuk negara" merupakan benda-benda yang harus diserahkan kepada departemen yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

    Dalam rangka penelusuran dan pengembalian hasil tindak pidana korupsi di luar negeri, maka sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK berwenang untuk: (i) meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri (Pasal 12 huruf h); dan (ii) melakukan kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi (Pasal 13 huruf f). Di samping itu, Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana memberikan dasar bagi KPK untuk mengajukan permintaan bantuan hukum ke negara lain.

    5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

    Pasal 67

    1. Dalam hal tidak ada orang dan/atau pihak ketiga yang mengajukan keberatan dalam waktu 20 (dua puluh) hari sejak tanggal penghentian sementara Transaksi, PPATK menyerahkan menyerahkan penanganan Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan.
    2. Dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, penyidik dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk memutuskan Harta Kekayaan tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak.
    3. Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memutus dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari.

    Pasal 77

    Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Pasal 78

    (1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

    (2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.

    Pasal 81

    Dalam hal diperoleh bukti yang cukup bahwa masih ada Harta Kekayaan yang belum disita, hakim memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melakukan penyitaan Harta Kekayaan tersebut.

    6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Anti Korupsi.

    Pasal 1 :

    (1) Mengesahkan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 66 ayat (2) tentang Penyelesaian Sengketa.

    (2) Salinan naskah asli United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 66 ayat (2) tentang Penyelesaian Sengketa dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

    Sedangkan ketentuan mengenai perampasan aset tanpa pemindanaan yang sejalan dengan konvensi atau perjanjian internasional antara lain:

    1. Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003 (United Nation Convension Against Corruption/UNCAC, 2003) yang telah diratifikasi dengan UU No.7/2006. Pasal 54 angka 1. huruf (c) UNCAC, 2003 dengan tegas meminta negara-negara: “Consider taking such measures as may be necessary to allow confiscation of such property without a criminal conviction in cases in which the offender cannot be prosecuted by reason of death, flight or absence or in other appropriate cases”.
    2. Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisir (United Nations Convention Against Transnational Organized Crimes/UN-CATOC) yang sedang dalam proses ratifikasi. Pasal 12 UN-CATOC dengan menyatakan, bahwa Negara-negara Anggota harus menerapkan langkah-langkah serupa di dalam sistem hukum dalam negerinya kearah pengembangan yang mungkin lebih luas selama diperlukan guna memungkinkan penyitaan atas: (a) Hasil-hasil kejahatan yang didapat dari pelanggaran-pelanggaran yang dicakup oleh Konvensi ini atau nilai kekayaan yang berhubungan dengan hasi-hasil tersebut; dan (b) Kekayaan, perlengkapan atau peralatan-peralatan lain yang digunakan pada atau ditujukan bagi penggunaan dalam pelanggaran yang dicakup oleh Konvensi ini.
    1. Standar Internasional di bidang pencegahan dan pemberntasan tindak pidana pencucian uang atau Financial Action Task Foroe (FATF) 40 Recommendations juga menggariskan pentingnya rezim perampasan aset tanpa pemidanaan. Rekomendasi No. 4 menyebutkan “Countries may consider adopting measures that allow such proceeds or instrumentalities to be confiscated without requiring a criminal conviction, or which require an offender to demonstrate the lawful origin of the property alleged to be liable to confiscation, to the extent that such a requirement is consistent with the principles of their domestic law”;

    7. Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia.
    Pasal 2

    Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.


    Hak Memperoleh Keadilan
    Pasal 17

    Setiap orang. tanpa diskiriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan. pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses



    ~197~

    peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.

    Pasal 19

    (1) Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman berupa perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah.

    Hak atas Kesejahteraan

    Pasal 36

    (1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
    (2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.
    (3) Hak milik mempunyai fungsi sosial.

    Pasal 37

    (1) Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2) Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.

    Kewajiban Dasar Manusia

    Pasal 67

    Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum intemasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia

    Pasal 69

    (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
    (2) Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggungjawab untuk menghormati hak asasi orang lain serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya.

    Pasal 70

    Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

    Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah
    Pasal 71

    Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini.


    ~199~

    peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang.diterima oleh negara Republik Indonesia.

    Pasal 72

    Kewajibandan tanggungjawab pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.

    Pembatasan dan Larangan

    Pasal 73

    Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan kebebasan terhadap dasar orang hak asasi manusia lain, kesusilaan, serta ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.

    Pasal 74

    Tidak satu ketentuanpun dalam undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah. partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak. Atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang ini.

    9. Terkait UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara :

    Pasal 1

    Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
    1. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

    ~200~

    Pasal 2

      Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :

    a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
    b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
    c. Penerimaan Negara;
    d. Pengeluaran Negara;
    e. Penerimaan Daerah;
    f. Pengeluaran Daerah;
    g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
    h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
    i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

    Pasal 3

    (1) Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis,efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.


    ~201~

      Di samping itu perlu dicatat bahwa Strategi Nasional (Stranas) Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Tahun 2002-2016 dengan tegas menyatakan perlunya pengefektifan penerapan penyitaan aset (asset forfeiture) dan pengembalian aset (asset recovery). Meskipun merupakan bagian dari strategi pemberantasan tindak pidana pencucian uang, namun strategi nasional tersebut mencakup penarikan kembali hasil dari berbagai bentuk kejahatan serta perampasan sarana yang memungkinkan terlaksananya berbagai bentuk kejahatan, tidak terbatas kepada kejahatan dalam bentuk tindak pidana pencucian uang.

    10. Terkait Dengan Hukum Acara Perdata

      Praktik peradilan perdata di Indonesia terdapat pada berbagai peraturan perundang-undangan. Hal ini terjadi oleh karena belum adanya produk nasional tentang peraturan Hukum Acara Perdata seperti halnya pada Hukum Acara Pidana melalui Undang-undang Nomor: 8 Tahun 1981 (LNRI 1981-76, TLNRI 3209). Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 6 Undang-undang Nomor: 1 drt. Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil maka dapatlah disebutkan bahwa sumber dasar penerapan Hukum Acara Perdata dalam praktik peradilan serta keterkaitannya dengan hukum positif lainnya adalah sebagai berikut:61)

    a. HIR (Het Herziene Indonesich Reglement Atau Reglemen Indonesia Baru, Stb. 1848-16, Ingevolge Stb. 1848-57 I.W.G. 1 Mei 1848, Opnieuw Bekend Gemaakt Bij Stb. 1926-559 En Stb. 1941-44)


    ~202~

      Pada ketentuan HIR yang mengatur Hukum Acara

    Perdata diatur dalam Bab IX tentang "Perihal Mengadili Perkara Dalam Perkara Perdata Yang Diperiksa Oleh Pengadilan Negeri" yang terdiri dari:

      Bagian Pertama tentang pemeriksaan perkara dalam persidangan mulai Pasal 115 sampai dengan Pasal 161.

      Bagian Kedua tentang bukti mulai Pasal 162 sampai dengan Pasal 177.

      Bagian Ketiga tentang musyawarah dan putusan mulai Pasal 178 sampai dengan Pasal 187.

      Bagian Keempat tentang banding mulai Pasal 188 dengan Pasal 194.

      Bagian Kelima tentang menjalankan putusan mulai Pasal 195 sampai dengan Pasal 224.

      Bagian Keenam tentang beberapa hal yang menjadi perkara-perkara yang istimewa mulai Pasal 225 sampai dengan Pasal 236.

      Bagian Ketujuh tentang izin berperkara tanpa ongkos perkara mulai Pasal 237 sampai dengan Pasal 245.

      Disamping Bab IX (Pasal 115 s/d 245 HIR) maka pada Bab XV (Pasal 372 s/d 395 HIR) merupakan "Peraturan Rupa-rupa" yang meliputi Acara Pidana dan Acara Perdata. Untuk itu Hukum Acara Perdata diatur dalam Pasal 372, 373, 374, 379, 380, 381, 388, 390, 391, 392 dan 393 HIR.

      Pada dasarnya dalam praktik peradilan ketentuan HIR diberlakukan untuk daerah Jawa dan Madura sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 19 Tahun 1964.62)


    ~203~

    b. RBG (Reglement Buitengewesten, Staatsblad 1927 Nomor: 227)

      Ditetapkan berdasarkan ordonansi 11 Mei 1927 dan berlaku sejak tanggal 1 Juli 1927 khususnya Bab II Pasal 104 sampai dengan Pasal 323 RBg dan diterapkan untuk luar jawa dan madura sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1099 K/SIP/1972 tanggal 30 Januari 1975 dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor: 3 Tahun 1965.

      Hanya Titel IV dan V yang berlaku dan terdiri dari Titel IV, yakni:

    Bagian I tentang pemeriksaan perkara dalam persidangan mulai Pasal 142 sampai dengan Pasal 188.

    Bagian II tentang musyawarah dan putusan mulai Pasal 189 sampai dengan Pasal 198.

    Bagian III tentang banding mulai Pasal 199 sampai dengan Pasal 205.

    Bagian IV tentang menjalankan putusan mulai Pasal 106 sampai dengan 258.

    Bagian V tentang beberapa hal mengadili perkara yang istimewa mulai Pasal 259 sampai dengan Pasal 272.

    Bab VI tentang izin berperkara tanpa ongkos perkara mulai Pasal 273 sampai dengan Pasal 281.

    Titel V tentang bukti mulai pasal 282 sampai Pasal 314 R.Bg.

    c. RV. (Rgelement Op De Burgerlijke Rechtsvordering Voorderaden Van Justitie Opa Java En Het Hoogerechtshof Van Indonesie, Alsmede Voor De Risidentiegerechten Op Java



    ~204~

    En Madura) yang lazim disebut reglemen Hukum Acara Perdata untuk golongan Eropa (Stb. 1847 Nomor: 52 jo Stb. 1849 Nomor: 63)

      Pada dasarnya Rv. merupakan reglemen yang berisi ketentuan-ketentuan hukum acara perdata berlaku khusus bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan dengan mereka untuk berperkara di muka Raad van Justitie dan Residentiegerecht.

    d. BW (Burgerlijk Wetboek)

      Burgerlijk Werboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), meskipun sebagai kodifikasi Hukum Perdata Mateiil, namun juha memuat Hukum Acara Perdata, terutama dalam Buku IV 5tentang pembuktian dan daluwarsa (Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993). Selain itu, juga terdapat dalam beberapa Pasal Buku I, misalnya tentang tempat tinggal atau domisili (Pasal 17 sampai dengan Pasal 25), serta beberapa Pasal Buku II dan Buku III (misalnya Pasal 533, Pasal 535, Pasal 1244, dan Pasal 1365).

    e. WVK (Wetboek Van Koophandel)

      Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), meskipun juga sebagai kodifikasi Hukum Perdata Materiil, namun didalamnya ada beberapa Pasal yang memuat ketentuan Hukum Acara Perdata (misalnya Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 32, Pasal 255, Pasal 258, Pasal 272, Pasal 273, Pasal 274, dan Pasal 275).

    f. Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29

      Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29 ini memuat ketentuan Hukum Acara Perdata tentang kekuatan pembuktian tulisan-



    ~205~

    tulisan dibawah tangan dari orang-orang Indonesia (Bumiputera) atau yang dipersamakan dengan mereka. Pasal-Pasal ordonansi ini diambil oper dalam menyusun Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg).

    g. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

      Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 adalah UndangUndang tentang Kekuasaan Kehakiman yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 29 Oktober 2009. Undangundang ini memuat beberapa Pasal mengenai hukum acara pada umumnya dan mengenai Hukum Acara Perdata khususnya.

    11. Terkait Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme

      Pengertian yang terkait dengan Perampasan aset, pada UU TP Pendanaan Terorisme adalah Pertama, mengenai pengertian Aset yang mirip dengan pengertian Dana dalam Pasal 1 ayat 7 UU TP Pendanaan Terorisme, adalah semua bergerak, baik aset atau benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh dengan cara apa pun dan dalam bentuk apa pun, termasuk dalam format digital atau elektronik, alat bukti kepemilikan, atau keterkaitan dengan semua aset atau benda tersebut, termasuk tetapi tidak terbatas pada kredit bank, cek perjalanan, cek yang dikeluarkan oleh bank, perintah pengiriman uang, saham, sekuritas, obligasi, bank draf, dan surat pengakuan utang.


    ~206~

      Pengertian dana tersebut ternyata dimaknai luas oleh pembentuk undang undang, dalam kamus besar bahasa indonesia maka dana adalah283 pertama, dimaknai uang yg disediakan untuk suatu keperluan; biayaseperti dana kesejahteraan; dan kedua, dana dimaknai pemberian; hadiah; derma. Sedangkan pendanaan adalah penyediaan dana: negara itu tidak perlu disangsikan lagi di bidang pendanaan. Sehingga pengertian dana memang agak kurang tepat dengan makna dana secara harfiah. Jika dihubungkan dengan aset dalam perampasan aset maka, pengertian dana

    sebenarnya sama dengan pengerian Aset yaitu semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud dan mempunyai nilai ekonomis.

      Kedua, mengenai pengertian Pemblokiran, dalam Pasal 1 ayat 8, Pemblokiran adalah tindakan mencegah pentransferan, pengubahan bentuk, penukaran, penempatan, pembagian, perpindahan, atau pergerakan Dana untuk jangka waktu tertentu. Aktifitas pemblokiran juga dilakuan dalam permpasan aset, sehingga pengertian pemblokiran dalam pendanaan terorisme dapat diharmoniskan dengan pemblokiran dalam pengaturan perampasan aset.

      Ketiga, ruang lingkup perampasan aset mirip dengan ruang lingkup UU TP Pendanaan Terorisme, dimana dalam UU TP Pendanaan Terorisme Pasal 2 ayat 1 bahwa UU TP Pendanaan Terorisme berlaku terhadap:


    283Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa kementerian Pendidikan Nasional Republik indonesia, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php


    ~207~

    a. Setiap Orang yang melakukan atau bermaksud melakukan tindak pidana pendanaan terorisme di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di

    luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia: dan/atau

    b. Dana yang terkait dengan Pendanaan Terorisme di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Ruang lingkup dana yang terkait pendanaan terorisme,284 secara jelas memang juga menunjukkan aset dari suatu kejahatan, tetapi kejahatannya sudah secara spesifik ditentukan yaitu kejahatan terorisme. Sehingga pengaturan mengenai perampasan aset tidak perlu lagi mengatur terkait dengan kejahatan terorisme.

    12. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.

    Bagian Kedua Barang yang Dikuasai Negara

    Pasal 68

    (1) Barang yang dikuasai negara adalah: a. barang yang dilarang atau dibatasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (4);

    b. barang dan/atau sarana pengangkut yang ditegah oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1); atau

    _____________________

    284Dalam UU TP Pendanaan Terorisme, Pendanaan Terorisme adalah segala perbuatan dalam rangka menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana, baik langsung maupuntidak langsung,dengan maksud — untuk — digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk melakukan kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris.

    c.barang dan/atau sarana pengangkut yang ditinggalkan di Kawasan Pabean oleh pemilik yang tidak kenal.
    (2) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b diberitahukan oleh Pejabat Bea dan Cukai secara tertulis kepada pemiliknya dengan menyebutkan alasan dan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diumumkan selama tiga puluh hari sejak disimpan di Tempat Penimbunan Pabean.
    (3) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan di Tempat Penimbunan Pabean.

    Pasal 69

    Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) yang:

    1. busuk segera dimusnahkan;
    2. karena sifatnya tidak tahan lama, merusak, berbahaya, atau pengurusannya memerlukan biaya tinggi sepanjang bukan merupakan barang yang dilarang atau dibatasi dapat segera dilelang dengan memberitahukan secara ertulis kepada pemiliknya; atau
    3. merupakan barang yang dilarang atau dibatasi dinyatakan menjadi barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73.

    Bagian Ketiga Barang yang menjadi Milik Negara

    Pasal 73

    (1) barang yang menjadi milik negara adalah:

    1. barang yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3) huruf c;
    2. barang yang dibatasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3) huruf d yang tidak diselesaikan oleh

    pemiliknya dalam jangka waktu enam puluh hari terhitung sejak disimpan di Tempat Penimbunan Pabean.
    c. barang dan/sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf b yang berasal dari tindak pidana yang pelakunya tidak dikenal;
    d. barang dan/sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf c yang tidak diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2).
    e. barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf c; atau
    f. barang dan/atau sarana pengangkut yang berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dinyatakan dirampas untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat 91) atau ayat (2).
    (2) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kekayaan negara dan disimpan di Tempat Penimbunan Pabean.
    (3) Ketentuan tentang penggunaan barang yang menjadi milik negara ditetapkan oleh Menteri.

    Pasal 109

    (1) Barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, Pasal 103 huruf d, atau Pasal 104 huruf a, barang ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102A, atau barang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102D yang berasal dari tindak pidana, dirampas untuk negara. (2) Sarana pengangkut yang semata-mata digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 102A, dirampas untuk negara.

    (2a) Sarana pengangkut yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102D, dapat dirampas untuk negara.

    (3) Barang sebagaimana dimaksud pada pada ayat (1) diselesaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 73.

    13. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

    Pasal 101

    (1) Narkotika, Prekursor Narkotika, dan alat atau barang yang digunakan di dalam tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika atau yang menyangkut Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas untuk negara.

    Penjelasan Ayat (1)

    Ketentuan ini menegaskan bahwa dalam menetapkan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dirampas untuk negara, hakim memperhatikan ketetapan dalam proses penyidikan penyidikan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.

    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hasilnya” adalah baik yang berupa uang atau benda lain yang diketahui atau diduga keras diperoleh dari tindak pidana Narkotika. (2) Dalam hal alat atau barang yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah milik pihak ketiga yang beritikad baik, pemilik dapat mengajukan keberatan terhadap perampasan tersebut kepada pengadilan yang bersangkutan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.

    (3) Seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan:

    a. pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika: dan

    b. upaya rehabilitasi medis dan sosial.


    Penjelasan Ayat (3)

    Perampasan harta dan kekayaan atau aset hasil tindak pidana pencucian uang berdasarkan putusan pengadilan yang tetap, dirampas untuk negara dan dapat digunakan untuk biaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta untuk pembayaran premi bagi anggota masyarakat yang telah berjasa mengungkap adanya tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika. Dengan demikian masyarakat dirangsang untuk berpartisipasi aktif dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Disamping itu harta dan kekayaan atau aset yang disita negara tersebut dapat pula digunakan untuk membiayai rehabilitasi medis dan sosial para korban penyalahguna Narkotika dan Prekursor Narkotika. Proses penyidikan harta dan kekayaan atau aset hasil tindak pidana pencucian uang dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubahdengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.

    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan harta kekayaan atau aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Pasal 102

    Perampasan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 dapat dilakukan atas permintaan negara lain berdasarkan perjanjian antarnegara.

    14. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

    Pasal 78

    Ayat (15) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.

    Pasal 79

    (1) Kekayaan negara berupa hasil hutan dan baranglainnya baik berupa temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dilelang untuk Negara.

    (2) Bagi pihak-pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan insentif yang disisihkan dari hasil lelang yang dimaksud.

    (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri.

    15. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

    Pasal 79

    (4) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana Pencucian Uang, hakim atas tuntutan penuntut umum memutuskan perampasan Harta Kekayaan yang telah disita.

    (5) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dimohonkan upaya hukum. (6) Setiap Orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

    Pasal 80

    (1) Dalam hal hakim memutus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3), terdakwa dapat mengajukan banding. (2) Pengajuan banding sebagaimana dimaksud pada ayat

    (1) harus dilakukan langsung oleh terdakwa paling

    lama 7 (tujuh) hari setelah putusan diucapkan.

    Pasal 81

    Dalam hal diperoleh bukti yang cukup bahwa masih ada Harta Kekayaan yang belum disita, hakim memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melakukan penyitaan Harta Kekayaan tersebut.

    16. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai Undang-Undang.

    Pasal 35

    (5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana terorisme, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan harta kekayaan yang telah disita.

    (6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (S5) tidak dapat dimohonkan upaya hukum. (7) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

    17. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

    Pasal 104 (1) Permohonan untuk membebaskan kapal dan/atau orang yang ditangkap karena melakukan tindak pidana di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada keputusan dari pengadilan perikanan dengan menyerahkan sejumlah uang jaminan yang layak, yang penetapannya dilakukan oleh pengadilan perikanan.


    (2) Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara.


    Pasal 105


    (1) Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dilelang untuk negara.


    (2) Kepada aparat penegak hukum yang berhasil menjalankan tugasnya dengan baik dan pihak-pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan insentif yang disisihkan dari hasil lelang.


    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian insentif diatur dengan Peraturan Menteri.


    C. KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM MASALAH PIDANA


    Kajian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana (UU MLA), akan sanyat terkait dengan mekanisme kerjasama internasional dalam pengaturan perampasan aset. Untuk itu perlu secara khusus digambarkan bagaimana pengaturan UU MLA saat ini  Asas atau prinsip bantuan timbal balik dalam masalah pidana yang dianut dalam Undang-undang MLA tersebut sebagai berikut285:

    1. Bantuan timbal balik dalam masalah pidana dapat dilakukan berdasarkan suatu perjanjian dan jika belum ada perjanjian, maka Bantuan dapat dilakukan atas dasar hubungan baik.
    2. Undang-undang tidak memberikan wewenang untuk mengadakan ekstradisi, penangkapan atau penahanan dengan maksud untuk ekstradisi, atau penyerahan orang, pengalihan narapidana, atau pengalihan perkara.
    3. Undang-undang memberikan dasar hukum bagi menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum dan HAM sebagai pejabat pemegang otoritas (central autority) yang berperan sebagai koordinator dalam pengajuan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dari Negara asing.

     Berdasarkan asas dan prinsip tersebut di atas, Undang-Undang MLA yang terdiri dari 60 Pasal terbagi dalam 6 Bab, dibentuk dengan pokok-pokok substansi sebagai berikut286 :

    1. Bentuk Bantuan

    _____________________
    285 Ibid.
    286 Ibid.



    ~217~

    Bentuk bantuan timbal balik dalam masalah pidana (Pasal 3 Ayat 2) dapat berupa :

    a. mengidentifikasi dan mencari orang;

    b. mendapatkan pernyataan atau bentuk lainnya;

    c. menunjukan dokumen atau bentuk lainnya;

    d. mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu penyidikan;

    e. menyampaikan surat;

    f. melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan;

    g. perampasan hasil tindak pidana;

    h. memperoleh kembali sanksi denda berupa uang sehubungan dengan tindak pidana;

    i. melarang transaksi kekayaan, membekukan aset yang dapat dilepaskan atau disita, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana;

    j. mencari kekayaan yang dapat dilepaskan, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana; dan atau

    k. bantuan lain yang sesuai undang-undang ini.

    2. Permintaan Bantuan Ditolak (Pasal 6) jika:

    a. permintaan bantuan berkaitan dengan suatu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atau pemidanaan terhadap orang atau tindak pidana yang dianggap sebagai: 1) tindak pidana politik, kecuali pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap kepala Negara/ kepala pemerintahan; atau

    2) tindak pidana berdasarkan hukum militer.

    b. Permintaan Bantuan berkaitan dengan suatu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap orang atas tindak pidana yang pelakunya telah dibebaskan, diberi Grasi, atau telah selesai menjalani pemidanaan;

    c. Permintaan Bantuan berkaitan dengan suatu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atau pemidanaan terhadap orang atau tindak pidana yang jika dilakukan di Indonesia tidak dapat dituntut;

    d. Permintaan Bantuan diajukan untuk menuntut atau mengadili orang karena alasan suku, jenis kelamin, agama, kewarganegaraan, atau pandangan politik;

    e. Persetujuan pemberian Bantuan atas permintaan Bantuan tersebut akan merugikan kedaulatan, keamanan, kepentingan, dan hukum nasional;

    f. Negara asing tidak dapat memberikan jaminan bahwa hal yang dimintakan Bantuan tidak digunakan untuk penanganan perkara yang dimintakan; atau

    g. Negara asing tidak dapat memberikan jaminan pengembalian barang bukti yang diperoleh berdasarkan Bantuan apabila diminta.

    3. Permintaan Bantuan dapat ditolak (Pasal 7) jika: a. Permintaan Bantuan berkaitan dengan suatu penyidikan, penuntutan, dai pemeriksaan di sidang pengadiian atau pemidanaan terhadap orang atas tindak pidana yang jika dilakukan dalam wilayah Indonesia, bukan merupakan tindak pidana,

    b. Permintaan Bantuan berkaitan suatu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atau pemidanaan terhadap orang atas tindak pidana yang jika dilakukan di luar wilayah Indonesia, bukan merupakan tindak pidana,

    c. Permintaan Bantuan berkaitan dengan suatu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atau pemidanaan terhadap orang atas tindak pidana yang terhadap orang tersebut diancam dengan pidana mati, atau

    d. Persetujuan pemberian Bantuan atas permintaan bantuan tersebut akan merugikan suatu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan di Indonesia, membahayakan keselamatan orang, atau membebani kekayaan Negara.

    Perlu dikemukakan bahwa menurut Pasal 8 UU MLA ini, sebelum menolak Bantuan, Menteri harus mempertimbangkan persetujuan pemberian Bantuan dengan tata cara atau syarat khusus yang dikehendaki untuk dipenuhi.

    4. Permintaan Bantuan dari Pemerintah RI (Pasal 9 s/dPasal 26). Menurut Pasal 9, Menteri dapat mengajukan permintaan Bantuan kepada Negara asing secara langsung atau melalui saluran diplomatik, berdasarkan permohonan dari Kapolri atau Jaksa Agung. Dalam hal tindak pidana korupsi, permohonan Bantuan kepada Menteri juga dapat diajukan Ketua Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 10 Undang-Undang ditentukan sejumlah persyaratan yang harus dipenuh untuk pengajuan permintaan Bantuan. Pengajuan permintaan Bantuan harus memuat:

    1. Identitas dari instansi yang meminta;
    2. Pokok masalah dan hakekat dari penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan yang berhubungan dengan permintaan tersebut, serta nama dan fungsi institusi yang melakukan penyidikan, penuntutan dan proses pengadilan;
    3. Ringkasan dari fakta-fakta yang terkait kecuali permintaan Bantuan yanc berkaitan dengan dokumen yuridis;
    4. Ketentuan UU yang terkait, isi pasal dan ancaman pidananya;
    5. Uraian tentang Bantuan yang diminta dan rincian mengenai prosedur khusus yang dikehendaki termasuk kerahasiaan;
    6. Tujuan dari Bantuan yang diminta; dan
    7. Syarat-syarat lain yang ditentukan oleh Negara Diminta;
    Dalam pasal-pasal berikutnya dimuat secara rinci ketentuan mengenai permintaan Bantuan untuk:

    a. Mencari atau mengidentifikasi orang;

    b. Mendapatkan alat bukti;

    c. Mengupayakan kehadiran orang di Indonesia;

    d. Permintaan dikeluarkannya surat perintah di negara asing dalam mendapatkan alat bukti yang meliputi mengeluarkan surat perintah pemblokiran, penggele-dahan, penyitaan atau lainnya yang diperlukan;

    e. Menindaklanjuti putusan pengadilan.

    Selain itu diatur pula mengenai pembatasan penggunaan pernyataan, dokumen dan alat bukti serta masalah yang berkaitan dengan transit.


    5. Permintaan Kepada Pemerintah RI (Pasal 27 s/d Pasal 55. Pasal 27).


    UU MLA menentukan bahwa setiap negara asing dapat mengajukan permintaan bantuan kepada pemerintah RI secara langsung atau melalui saluran diplomatik. Pengajuan permintaan bantuan tersebut, menurut Pasal 28 harus memuat:

    a. Maksud permintaan Bantuan dan uraian mengenai bantuan yang diminta;

    b. Instansi dan nama pejabat yang melakukan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan yang terkait dengan permintaan tersebut;
    1. Uraian tindak pidana, tingkat penyelesaian perkara, ketentuan undang undang, isi pasal, dan ancaman hukumannya;
    2. Uraian mengenai perbuatan atau keadaan yang disangkakan sebagai tindak pidana, kecuali dalam hal permintaan Bantuan untuk melaksanakan penyampaian surat;
    3. Putusan pengadilan yang bersangkutan dan penjelasan bahwa putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dalam hal permintaan Bantuan untuk menindak-lanjuti putusan pengadilan;
    4. Rincian mengenai tata cara atau syarat-syarat khusus yang dikehendaki untuk dipenuhi, termasuk informasi apakah alat bukti yang diminta untuk didapatkan perlu dibuat di bawah sumpah atau janji;
    5. Jika ada persyaratan mengenai kerahasiaan dan alasan untuk itu; dan
    6. Batas waktu yang dikehendaki dalam melaksanakan permintaan tersebut.

    Selain hal-hal tersebut di atas sejauh diperlukan dan dimungkinkan maka pengajuan permintaan Bantuan harus juga memuat:

    1. Identitas, kewarganegaraan, dan domisili dari orang yang dinilai sangguh memberikan keterangan atau pernyataan yang terkait dengan suatu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan;

    b.Uraian mengenai keterangan atau
    pernyataan yang diminta untuk didapatkan;

    c.Uraian mengenai dokumen atau alat bukti
    lainnya yang diminta untuk diserahkan,
    termasuk uraian mengenai orang yang dianggap
    sanggup memberikan bukti tersebut, dan

    d.Informasi mengenai pembiayaan dan akomodasi
    yang menjadi kebutuhan dari orang yang
    diminta untuk diatur kehadirannya di negara
    asing tersebut.

    Selanjutnya ditentukan bahwa Menteri dapat meminta informasi tambahan jika informasi yang terdapat dalam suatu pengajuan permintaan Bantuan dinilai tidak cukup untuk menyetujui pemberian Bantuan. Perlu ditambahkan bahwa pengajuan permintaan Bantuan, informasi atau komunikasi lainnya yang dibuat berdasarkan Undang-Undang ini dapat dibuat dalam bahasa Negara Peminta dan/atau bahasa Inggris serta dibuat terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

    Dalam hal permintaan Bantuan telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, maka menurut Pasal 29 Menteri meneruskan kepada Kapolri atau Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti. Menteri melakukan koordinasi dengan instansi terkait sebelum permintaan tersebut dipenuhi. Dalam hal permintaan Bantuan dari Negara Peminta ditolak, Pasal 30 menentukan Menteri memberitahukan dasar penolakan tersebut kepada Pejabat Negara Peminta. Dalam pasal-pasal berikutnya dimuat secara rinci ketentuan mengenai transit dan permintaan bantuan untuk:

    1. Mencari atau mengidentifikasi orang;
    2. Mendapat pernyataan, dokumen dan alat bukti lainnya secara sukarela;
    3. Mengupayakan kehadiran orang di Negara Peminta;
    4. Penggeledahan dan penyitaan barang, benda atau harta kekayaan;
    5. Penyampaian surat;
    6. Menindaklanjuti putusan pengadilan Negara Peminta.

    Mengenai segala biaya yang timbul akibat pelaksanaan permintaan Bantuan, menurut Pasal 50 Undang-Undang dibebankan kepada Negara Peminta yang meminta Bantuan, kecuali ditentukan lain oleh Negara Peminta dan Negara Diminta.

    Pengaturan dalam Undang-Undang tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana tidak mengurangi pelaksanaan kerjasama timbal balik dalam masalah pidana yang selama ini telah dilakukan melalui wadah International Criminal Police Organization-INTERPOL.

    Perlu ditambahkan bahwa menurut Pasal 57 UU MLA, Menteri dapat membuat perjanjian atau kesepakatan dengan Negara asing untuk mendapatkan pergantian biaya dan bagi hasil dari hasil harta kekayaan yanc dirampas:

    1. di Negara asing, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan berdasarkan putusan perampasan atas permintaan Menteri; atau
    b. di Indonesia, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan di Indonesia berdasarkan putusan perampasan atas permintaan Negara asing.

    Sejak ditandatanganinya United Nations Convention Againts Transnasional Organized — Crime (2000)287, para penegak hukum di negara-negara penandatangan konvensi punya harapan untuk saling membantu dalam pengembalian aset hasil kejahatan transnasional terorganisasi, termasuk hasil tindak pidana korupsi yang telah dibawa kabur ke Negara lain. Dalam Pasal 1 ayat (2) Konvensi tersebut antara lain dikemukakan, bahwa “Negara-negara anggota pada tingkat yang dibolehkan oleh Undang-Undang dalam negeri dan jika juga diminta, harus memberikan pertimbangan utama untuk mengembalikan hasil- hasil kejahatan atau kekayaan yang disita kepada Negara anggota Pemohon sehingga dapat memberikan kompensasi terhadap para korban dari kejahatan atau mengembalikan hasil kejahatan atau kekayaan tersebut kepada pemilik sah”. Kemudian Pasal 51 United Nations Conwentions Againts Corruptions (UNCAC) 2000288 mewajibkan Negara Pihak untuk memberikan satu sama lain kerjasama dan bantuan seluas mungkin dalam kaitan pengembalian aset-aset hasil korupsi yang merupakan prinsip dasar konvensi itu sendiri.

    Meskipun peluang untuk pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang telah dibawa kabur ke luar negeri cukup terbuka, namun masih ada sejumlah

    __________________

    287 Konvensi PBB ini telah diratifikasi dengan Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2009 tentang United Nations Convention Againts Transnational Crime tertanggal 30 April 2008.
    288 Konvensi PBB ini juga telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang UNCAC tertanggal 18 April 2006. tantangan yang perlu diatasi dalam pelaksanaan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2006 antara lain 289  :

    Pertama, salah satu asas MLA ialah bahwa MLA dapat dilakukan berdasarkan suatu perjanjian. Sampai saat ini Pemerintah Indonesia baru memiliki perjanjian MLA dengan Pemerintah Australia yaitu berdasarkan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Pengesahan Treaty Between the Republic of Indonesia and Australia on Mutual Asissiance in Crime Matters. Kemudian ratifikasi perjanjian antara Pemerintah RI dengan RRC mengenai Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam masalah Pidana yang telah ditandatangani pada tanggal 24 Juli 2000, telah disetujui bersama oleh DPR dan Pemerintah untuk disahkan menjadi undang-undang. Sedangkan ratifikasi perjanjian mengenai Bantuan Timbal Balik antara Negara-negara Asean yang telah ditandatangani pada tanggal 29 Nopember 2004 sedang diproses untuk diajukan kepada DPR. Selain ratifikasi perjanjian MLA tersebut di atas, Pemerintah RI perlu proaktif membuat perjanjian MLA dengan Negara- negara lain yang dijadikan sarang persembunyian para koruptor dan/atau tempat menyembunyikan aset hasil jarahannya. Membuat perjanjian MLA dengan Negara lain tidak mudah, lebih-lebih lagi dengan Negara yang mempunyai sistem hukum dan kepentingan yang berbeda dengan Indonesia. Bila perjanjian MLA dengan Negara tertentu belum ada, memang MLA dapat dilakukan atas dasar hubungan baik. Tetapi dalam praktek hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan lebih-lebih lagi bila menyangkut pengembalian aset hasil korupsi. Penyebabnya

    ——————————————————

    289 AA. Oka Mahendra, Op.Cit. antara lain karena tidak ada dasar hukum yang disepakati bersama oleh Negara pihak, terutama yang berkaitan dengan pengembalian aset hasil korupsi: hal itu menjadi hambatan administratif dan teknis yang tidak mudah untuk diatasi.

    Kedua, sulitnya mendeteksi, memantau dan memperoleh informasi mengenai aset hasil korupsi yang telah ditransfer lintas Negara, apalagi jika aset tersebut berhasil dicuci. Oleh karena itu sangatlah penting untuk memperkuat rezim pengaturan dan pengawasan internal yang komprehensif untuk bank dan lembaga keuangan non bank dalam rangka mencegah dan memberantas segala bentuk pencucian uang serta untuk menjalin kerjasama dan tukar menukar informasi pada tingkat nasional dan intemasional dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam hukum nasional masing-masing.

    Sehubungan dengan itu, penerapan Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Perjanjian Timbal Balik Dalam Masalah Pidana untuk mengoptimalkan pengembalian aset- aset hasil korupsi juga sangat ditentukan oleh profesionalisme dan integritas para penegak hukum kita Para penegak hukum yang terkait dengan pelaksanaan MLA, selain harus menguasai instrumen hukum yang terkait dengan pemberantasan korupsi dan mekanisme kerja lembaga-lembaga yang diberi wewenang untuk memberantas korupsi dan profesionalisme dalam menjalankan tugasnya, juga dituntut mampu menjalin kerja-sama pada tingkat nasional, regional maupun internasional.290

    ~oOo~

    ——————————————————

    290 Ibid.