Pantjasila (Ki Hadjar Dewantara)/Bab 1

I. Sifat Pantja - Sila

KITA tahu apa jang disebut "Pantja-sila": 5, pokok tjita-tjita jang jang termaktub didalam ,,Mukodimah" atau „Purwaka", ,,Kata-pembuka" atau ,,Preambule" dalam Undang2 Dasar negara kita Republik Indonesia. Pantja-sila itu ialah:


  1. Ketuhanan,
  2. Peri-kemanusiaan,
  3. Kebangsaan,
  4. Kedaulatan Rakjat,
  5. Keadilan sosial.


Pantja-sila tak kurang dan tak lebih menundjukkan sifat keluhuran serta kehalusan budi bangsa kita, menggambarkan dengan singkat, namun djelas, apa jang hidup didalam djiwa bangsa kita. Pantja-sila mendjelaskan serta menegaskan tjorak-warna atau watak rakjat kita sebagai bangsa: bangsa jang beradab, bangsa jang berkebudajaan, bangsa jang menginsjafi keluhuran dan kehalusan hidup manusia, serta sanggup menjesuaikan hidup kebangsaannja dengan dasar peri-kemanusiaan jang universal, meliputi seluruh alam kemanusiaan tjiptaan Tuhan.


Pantja-sila lahir bersama-sama dengan lahirnja negara kita Republik Indonesia, bersama-sama dengan timbulnja bangsa kita sebagai bangsa jang merdeka dan berdaulat, bersama-sama dengan tertjiptanja ,,Undang-undang Dasar" negara kita. Pantja-sila masuk kedalam U.U.D. kita sebagai isi Mukodimah, dengan begitu memasuki U.U.D., ja'ni peraturan negara kita jang pokok, jang mendjadi dasar segala usaha kita, baik dalam hubungan kebangsaan maupun hubungan kenegaraan. Pantja-sila sebagai isi dan inti, sebagai sari dan puntjak U.U.D. kita, harus kita taati, harus senantiasa mendjadi pedoman kita, baik dalam segala langkah-laku kita sebagai rakjat bersama, maupun dalam hidup kepribadian kita masing2.


Pantja-sila dalam hakikatnja merupakan djiwa bangsa kita, sifat pribadi rakjat kita dalam lingkungan kenegaraan. Pantja-sila sebenar-benarnja menghidupkan U.U.D. kita, karena zonder Pantja-sila itu U.U. D. kita hanja merupakan „Peraturan Besar” atau „Statuten” semata-mata, jang boleh djadi tjukup berisi peraturan2 jang penting, boleh djadi pepak dan lengkap, namun tidak berdjiwa, tidak hidup. Banjak tjontoh peraturan2, statuten dan reglementen jang sungguh-pun „organisatorisch” boleh disebut lengkap, namun ,,organisch" tak berharga, karena tidak berdjiwa, tidak hidup, sebaliknja hanja berlaku setjara mesin atau pesawat, jang tak berfikir dan tak berperasaan. Peraturan jang sedemikian itu biasanja tak dapat memberi semangat, sebaliknja seringkali menimbulkan akal muslihat dalam kalangan jang berkepentingan, untuk menghindarkan diri dari pada lingkungan pengaruhnja.


Dalam pandangan ini njatalah, bahwa Pantja-sila sebagai putjuk permulaan U.U.D. negara kita, tidak sadja berisi perintah atau andjuran, larangan atau pembatasan tentang segala apa jang harus kita lakukan atau harus kita djauhkan dari hidup kita bersama sebagai rakjat, namun Pantja-sila, mempunjai sifat ,,pedoman" pula, jang dalam beberapa hal memberi petundjuk jang djelas dan tegas kepada kita semua. Dengan begitu Pantja-sila mendidik rakjat kita ke-arah kemadjuan lahir dan batin, kemadjuan menudju ke-arah adab peri-kemanusiaan dalam arti jang seluas-luasnja, kemadjuan pula dalam arti kenegaraan pada chususnja.


Apabila kita menindjau kembali segala apa jang telah kedjadian disekitar 17 Agustus 1945 jang beriwajat itu, maka teranglah, bahwa tertjiptanja Undang-undang Dasar kita itu adalah salah satu peristiwa jang maha penting. Tidak sadja ,,constitusi" kita menundjukkan hasrat ,,jang positif" dan ,,construktif" dari pemimpin-pemimpin kita, jang merasa bertanggung djawab atas berdirinja Republik kita sebagai negara hukum, tetapi susunan serta isi U. U. D. kita itu membuktikan adanja kebidjaksanaan pada mereka semua, para pentjipta dan perantjang, jang sangat berdjasa itu. Barang tentu tidak semua golongan menjetudjui seratus persen segala isi peraturan dasar negara kita itu. Ada jang ingin mengubah, mengurangi atau menambah U. U. D. tadi, dan bolehlah dipastikan, bahwa nanti, kalau sudah ada „Madjelis Permusjawaratan Rakjat", jang dibentuk menurut undang pemilihan umum, tentu grondwet" kita itu akan diperubah, dalam arti diperbaiki atau disempurnakan. Bagaimanapun djuga, apa jang kini ada dalam U.U.D. kita itu, ternjata didjundjung tinggi oleh segenap golongan masjarakat kebangsaan kita seluruhnja.


Kalau tentang isi U.U.D. kita, masih ada keinginan untuk mengubah, menambah atau mengurangi, misalnja jang berkenaan dengan peraturan kewarganegaraan, keagamaan, pemerintahan, ke-ekonomian, pertahanan d.l.l. sebagainja, maka itu tidak berarti adanja perbedaan faham tentang pokok atau garis besarnja, jang ada dalam U.U.D. jang sekarang ini. Kesatuan faham itu lebih nampak njata, selama kita tidak mempersoalkan isi U.U.D. kita satu demi satu. atau memperbintjangkan garis besar dan pokok²nja peraturan, tetapi selama kita meresapkan sari, jang ada dalam constitusi kita itu. Sari tadi tidak lain dari pada Pantja-sila, lima sari jang termaktub dalam ,Purwaka" atau ,,Mukodimah" dalam U.U.D. kita. Itulah jang mulai diproklamirkannja kemerdekaan negara dan bangsa kita, hingga saat ini, mendjadi dasar filosofi kenegaraan kita jang chak dan kita akui sepenuhnja. Pantja-sila kita sungguh² adalah djiwa jang menghidupkan U.U.D. kita, dan mendinamiseer negara kita.


Sebagai kita semua mengetahuinja, maka Pantja - sila kita itu kerapkali dengan terang-terangan dipakai sebagai ,,dasar" atau sendi" atau pembatasan", misalnja dalam menjusun ,,anggaran- dasar" atau peraturan lainnja, baik oleh fihak partikulir maupun oleh badan pemerintah jang resmi. Banjak orang membitjarakan, menindjau atau mempeladjari isi, maksud dan tudjuan Pantja-sila, karena mereka ingin menjelami dan menginsjafi sedalam-dalamnja, apa jang mendjadi tulang punggung dan djiwa dari pada kemerdekaan nusa dan bangsa Indonesia. Semua itu membuktikan betapa seluruh rakjat tertarik serta membenarkan dan mendjundjung tinggi isi Pantja-sila, dan sedapat-dapat menjesuaikan dirinja dengan apa jang terkandung didalamnja,


Apakah gerangan jang menjebabkan sangat populèrnja Pantja-sila itu? Menurut kejakinan saja tidak lain karena didalamnja dapat diketemukan sifat² jang pokok dari pada keluhuran dan kehalusan hidup manusia, baik dipandang dari sudut keagamaan, maupun sudut kebudajaan dan kemasjarakatan dalam arti jang seluas²nja.

Meresapkan isi, maksud dan tudjuan Pantja-sila, merupakan suatu „confrontasi” antara diri kita dengan pusat-kebatinan „geweten” kita sendiri, seolah-olah kita melihat kedalam katja benggala, dan melihat disitu gambar badan dan wadjah kita sewadjarnja. Gambar jang menundjukkan beberapa keindahan dan keburukan, kebenaran dan kesalahan, kebersihan dan kekotoran, jang ada pada tubuh kita. Memang sebenarnja, Pantja-sila mempeladjarkan dan menundjukkan ke pada kita, bagaimana seharusnja kita berpendirian, bersikap dan bertindak, tidak sadja sebagai warga-negara jang setia, melainkan djuga sebagai manusia jang djudjur dan bidjaksana.

Didalam membitjarakan maksud dan tudjuan Pantja-sila. kadang-kadang ada jang memadjukan pertanjaan: bagian apakah dari Pantja-sila itu jang terpenting; mana jang boleh dianggap mendjadi pusatnja atau sarinja dan sudah betulkah urut-urutan, jang biasa terpakai, jaitu :

  1. Ketuhanan jang Maha Esa;
  2. Perikemanusiaan;
  3. Kebangsaan Indonesia:
  4. Kerakjatan atau Demokrasi:
  5. Keadilan sosial.

Urut-urutan jang sedemikian itu barang tentu tidak tersusun setjara tiba-tiba, sebaliknja boleh dianggap sebagai gambaran dan tjorak-warna dari pada djiwa si-pentjipta. Susunan tadi memberi alasan untuk menduga, bahwa pengarang Pantja-sila kita itu pasti ada seorang, jang mempunjai dasar Keagamaan, jang sangat dalam dan positif. Bukan keagamaan jang memusatkan angan2nja kepada mystik, kegaiban, occultisme d.l.l., jang biasa disebut „kebatinan” tetapi atjap kali bersifat sangat leluasa dan kadang2 bersuasana „lalamunan” atau chajal jg speculatif. Keagamaan jg bersysteem „ke-Tuhanan”, apa lagi ke-Tuhanan jg Maha Esa adalah ke-agamaan jg bersifat positif dan „dalam” pula„

Selain itu maka urut-urutan Pantja-sila menundjúkkan kepada kita, bahwa pentjiptanja adalah seorang jg berpandangan luas, lubur dan dalam. Barang siapa mendasarkan hidupnja kepada Perikemanusiaan, pastilah ia ada seorang jang beradab", seorang jang „bertjita-tjita”, seorang jang „berbudi”.

Sila jg ke-3 ta'usah kita bitjarakan dengan pandjang lebar. Tidak sadja si-pentjipta Pantja-sila, tetapi kita semua merasai dalam dada kita, dalam hati-sanubari kita, bahwa kita dengan bangga dan dengan sedar menginsjafi akan kebangsaan kita, ialah Kebangsaan Indonesia jg wutuh bulat, tidak terpetjah-belah atau bertjerai-berai. Kita berbangsa satu, bernegara satu dan berbahasa satu.

Sila jg ke-4, ja'ni Kerakjatan membuktikan bahwa si-pentjipta Pantja-sila bukan sadja seorang „patriot” pentjinta bangsa, akan tetapi seorang „nasionalis”, jg dengan njata berwatak „marhaen” dan menjatukan diri dengan rakjat umum, rakjat murba, rakjat djelata. Azas Kerakjatan atau „Demokrasi”, jg olehnja dimasukkan kedalam Pantja-sila-nja, tidak memungkinkan adanja haluan „kapitalisme”, sikap „imperialisme” atau „fascisme”, semangat „feodalisme” atau „aristokrasi” dalam djiwa si-pentjipta tadi.

Sila jg ke-5, jg mengutamakan so'al Keadilan sosial, menggambarkan suatu tjorak jg istimewa pula dalam idam-idaman si-pentjipta Pantja-sila. Mungkin dia mengalami sendiri, betapa seringkali meluap-luapnja sentiment „kerakjatan” itu, hingga melalui batas2nja demokrasi sendiri. Betapa meluap-luapnja sentiment demokrasi itu, hingga menimbulkan matjam2 „instincten” atau „hawa-nafsu” jg rendah2, misalnja kemurkaan diri, tindak semau-maunja setjara fascistis, meninggalkan sifat2 keadilan, rasa kasihan atau tjinta kasih terhadap manusia lain, demikian seterusnja. Itulah sebabnja maka sila „Keadilan sosial” tadi termasuk dalam Pantja-sila. Dan inilah merupakan isi jg terpenting dalam Pantja-sila seluruhnja; tidak sadja dalam sila „ jalan" sadja, jg biasa disebut dengan perkataan "demokrasi". suatu perkataan dari bahasa asing, jg kerap kali menimbulkan salah faham. Empat sila lain2-nja: ke-Tuhanan, Perikemanusiaan, Kebangsaan dan Kerakjatan, memang sebenarna lebih merupakan „batas-batas” dari pada ,,isi", dan pada umumnja rakjat djelata ta' dapat menginsjafinja dengan sedar dan positif. Keadilan sosial sebaliknja adalah satu kenjataan. jg dapat dikenjam oleh rakjat murba seluruhnja.

Dengan begitu maka boleh dianggap sempurnalah Pantja-sila itu sebagai buah atau hasil perdjoangan rakjat kita sedjak „Hari Kebangunan Nasional” (20 Mei 1908) sampai „Hari Proklamasi 17 Agustus '45”