Pantjasila (Ki Hadjar Dewantara)/Bab 4
IV. Kemanusiaan dan Ketuhanan.
Setelah mengetahui, apa jg. mendjadi „inti” atau „sari” dari pada Pantja - sila sewutuhnja (jaitu sifat, bentuk serta isinja) dan sebelum membitjarakan tjara penglaksanaannja jang pernah saja sebut „wirama"-nja, maka masih perlnlah kiranja kita menjelidiki lebih landjut akan arti atau tafsiran oleh chalajak diberikan pada tiap-tiap bagian dari pada Pantja-sila jg berlima-djenis itu. Ini perlu, karena guna penglaksanaan jg baik, masih perlu orang mengetahui segala imbangan timbal - balik antara kelima-limanja bagian Pantja-sila djuga imbangan antara Pantja-sila tadi sewutuhja, dgn suasana, jg meliputi chalajak seumumnja. Perlu pula diingati akan sikap mereka, jg berkewadjiban atas penglaksanaan itu. Sikap jg subjectif, jg bertali dengan sifat pribadinja fihak jg saja maksudkan sebagai „wirama"-nja laku. Wirama inilah jg nanti masih akan memberi tjorak - warna jg pasti dan tertentu, sesuai dengan watak mereka jg melakukan. Djadi jg saja maksudkan jaitu bahwa baik-buruknja penglaksanaan sesuatu rantjangan usaha itu tidak sadja bergantung pada dan atau terbatas oleh sifatnja, bentuknja dan isinja, namun pasti akan dapat pengaruh pula dari keadaan atau suasana jg melingkungi atau meliputi terlaksananja rantjangan usaha tadi, dalam mana termasuk sifat pribadi dari pada mereka jg melakukan penglaksanaan itu. Tegasnja ialah bahwa untuk dapat mengerti bagaimana nanti terwudjudnja Pantja-sila itu belum tiukuplah kita hanja memahami benar2 arti, isi maksud dan tudjuan Pantja - sila' tadi, namun masih perlulah kita mengenali suasana jg meliputi seluruh masjarakat kita jang kini sedangnja berdjuang itu, pula watak dari bangsa kita pada umumnja.
Marilah kita mulai dengan menindjau lebih dulu, apakah jg terkandung dalam arti - perkataan 2 bagian jg terpenting dari pada Pantja-sila jaitu: Kemanusiaan dan ke-Tuhanan, jg dua-duanja benar² saling berhubungan sangat erat. Perkataan ,kemanusiaan" mengandung arti keluhuran serta kehalusan, jaug tampak didalam hidup manusia, baik ig bersifat batin maupun lahir. Bila dibanding dengan hidup hewani, maka disitulah nampak luhur dan halusnja hidup manusia. Sebagai machluk, hewan itu berdjiwa djuga, akan tetapi segala gerak-gerik djiwa hewan semata-mata dikuasai oleh kekuatan kodrat - alam, jg ada diluarnja. Sebaliknja, djiwa manusia mempunjai sifat istimewa, mempunjai kekuatan² didalamnja, jang dapat mengalahkan serta menguasai kekuatan-kekuatan kodrat, baik jang ada didalam maupun diluar djiwanja. Tidak sadja manusia itu itu dapat menguasai kekuatan kekuatan/ kodrat-alam, jang melingkungi hidupnia, namun ada satu tabi'at jang istimewa didalam djiwa manusia, jaitu tertariknja djiwa manusia itu kepada segala sifat jang luhur dan jg. halus. Karena itulah djiwa manusia, asal sudah melalui batas ketjerdasan jg tertentu, lalu bersifat djiwa jg luhur dan halus dan djiwa inilah jg disebut budi Karena budi inilah, manusia lalu dapat mewudjudkan hidup, baik lahir maupun batin, jg. bersifat luhur dan halus pula, dan inilah jang disebut „kebudajaan", jang berarti „buah-budi".
Dalam hubungan ini baiklah diketahui, bahwa ada aliran, jg. menggerombolkan hidup manusia dalam gerombolan hidup hewan semata-mata. Artinja, manusia tidak dianggap sebagai machluk, jang oleh Tuhan ditakdirkan setjara chusus dan istimewa. Menurut adjaran seorang filosoof Darwin, manusia itu berasal dari beralihnja sekonjong-konjong seekor hewan, jg bertingkat - hidup tinggi, mendjadi „manusia jg pertama". Barang tentu adjaran Darwin ini ditentang hebat oleh adjaran agama, karena agama menetapkan bahwa manusia machluk jg terpilih dan oleh Tuhan diberi kodrat-iradat lain dari pada hewan. Seorang filosoof materialist lain, Ernst Häckel, dengan „evolusi - theorie"-nja menganggap, bahwa kemadjuan hidup-tumbuh manusia itu melalui fasen (tingkatan waktu) jg terdapat dalam hidupnja semua jg tumbuh setjara „cellen-systeem". Djadi dalam hal ini sama dengan tumbuhnja hewan, pun sama dengan tumbuhnja segala tumbuh-tumbuhan pula. Begitulah benih manusia bertumbuh melalui semua fasen itu, hanja sadja karena terkandung hingga lama, jaitu 10 bulan, didalam kandungan ibu-nja, maka machluk jg kemudian lahir itu agak berbentuk sempurna, berlainan sifat dari pada machluk hewan biasa. Aliran ini boleh kiranja dianggap sebagai theorie jg menengah - nengahi adjaran agama dan aliran jang menganggap manusia itu sebetulnja hewan semata-mata, berasal dari se-ekor „kera". Seperti kita mengetahuinja, maka sedjak lama hingga sekarang, para penjelidik dalam ilmu biologi masih terus mentjahari sisa djenis manusia (terkenal dengan nama „missing link", atau bentuk peralihan jg masih harus diketemukan) jg boleh dipandang sebagai bukti adanja tingkatan hidup manusia, jg masih merupai dienis hewan (kera). Mengetahui adanja aliran jg „materialistis” atau „naturalistis" itu ada perlunja, meskipun hanja utk diketahui sadja.
Kembalilah kita pada pokok pembitjaraan kita, jaitu bahwa hidup manusia itu bersifat luhur dan halus. Keluhuran dan kehalusan itulah jang menjebabkan timbulnja sifat perikeadaban dan kesusilaan, sedang kedua²nja sifat itulah jang mendjadi pangkal pengertian perikemanusiaan.
Dalam sifat perikemanusiaan ini termasuk segala sifat² luhur dan sifat2 halus, diantaranja bagian Pantja-sila, jang dengan sengadja disusun mendjadi satu gabungan dengan nama „Pantja-sila" itu, teristimewa karena digunakan untuk suatu tudjuan jang tertentu, jaitu memberi djiwa serta tjorak-warna jang pasti kepada perdjoangan bangsa Indonesia, sedjak bangunnja pada tahun 1908, sampai lahirnja negara kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sifat perikemanusiaan lainnja, jang harus pula selalu kita insjafi dan kita djundjung tinggi (walaupun tidak tersebut didalam Pantja-sila), ialah misalnja kesusilaan, keadaban, kesutjian. kedjudjuran, kebidjaksanaan, kebaktian, kebudajaan, rasa-tang-gung-djawab, belas-kasihan, budi-derma, tjinta-kasih kepada sesama machluk, kepada orang-tua dan Tuhan dll. sebagainja. Itulah sebabnja menurut pandangan saja dimuka, sila „perikemanusiaan" itulah jang sebaiknja dianggap sebagai dasar jang paling luas, luhur serta dalam, djuga bagi Pantjasila, jang setiara chusus diperuntukkan guna kepentingan perdjoangan dan kenegaraan itu. Sekali lagi saja pesankan kepada sekalian saudara sebangsa: sila kemanusiaan mewadjibkan kepada kita semua, untuk mendjundjung tinggi semua sifat-sifat keluhuran dan kehalusan, seperti jang didjelaskan dimuka tadi, walaupun ta' disebut dalam Pantja-sila Dalam pada itu hendaknja di-ingati, bahwa banjak dari pada sifat² tadi sebetulnja sudah termasuk dalam atau boleh dianggap sebagai bagian perintjian dari pada apa jang termaktub didalam Pantja-sila, jaitu: ke Tuhanan, Kebangsaan, Kedaulatan Rakjat, Keadilan Sosial dan pangkal-induknja ja'ni Kemanusiaan.
Marilah kini kita menindjau so'al ke-Tuhanan. Apakah itu? Apakah maksud serta tudjuannja? Tjita-tjita apakah jg boleh dianggap sebagai bagian perintjian dari pada KeTuhanan, ig termaktub dalam Pantja - sila sebagai sila jang pertama itu? Saja mulai dengan mengingatkan, bahwa sebetulnja sila tadi selengkapnja harus berbunji: kepertjajaan kepada Tuhan jang Maha Esa. „Esa" berarti „Satu", sedangkan perkataan „satu" itu dalam ilmu atau kesenian bahasa, atjap kali terpakai dalam arti „sempurna". Djadi „Tuhan Jang Maha Esa" boleh diartikan sebagai „Tuhan jg semata-mata Satu" (tidak dua, tiga atau lebih), namun boleh pula diartikan sebagai Tuhan Jang Maha - Sempurna". Dalam hubungan ini hendaknja dimengerti, bahwa perkataan „satu" dan „sempurna" itu memang ada hubungannja. Sesuatu jg sempurna itu selalu merupakan kebulatan jg wutuh dan satu bukan kumpulnja bagian jg terpetjah belah atau bertjerai-berai.
Kepertjajaan kepada Tuhan. . . . . . dalam so'al ini pun harus sebelumnja kita mengetahui akan adanja aliran², jang tidak suka menerimanja. Kaum „vrijdenkers" misalnja, jang kebanjakan menjebut dirinja dengan nama „materialis" (hanja pertjaja pada alam- kebendaan), atau dengan sebutan „naturalis" (hanja pertjaja pada kodrat - alam atau natuur) tidak suka menerima Ke - Tuhanan. Kalau dalam so'al ini kita ambil pokoknja sadja, maka sebenarnja manusia itu, baik ia seorang beragama maupun seorang materialis atau naturalis, pertjajalah dia terhadap adanja kekuatan atau kekuasaan jg sempurna, jg wutuh, jg maha - besar, jg menjebabkan adanja alam dunia jg bersifat serba „rahasia" ini. Adanja bintang² jg ta' dapat terhitung, matahari jg amat adjaib, adanja tumbuh²an jg semuanja dikuasai oleh kodrat-alam, lalu dapat tumbuh setjara tertib, hingga manusia jang berbudi dapat menemukan hukum2-nja tumbuh, adanja manusia jg sangat gaib sifat hidupnja dan bahwa hanja sebagian sadja rahasia² jang telah dapat diterangkan setjara njata oleh ilmu pengetahuan . . . dan lain2 isi seluruh alam-dunia jg serba rahasia itu, semuanja tadi ta' boleh tidak mendorong manusia untuk pertjaja akan adanja kekuatan atau kekuasaan, jang sempurna, jg berpangkalan menjebabkan segala keadaan dan kedjadian dunia ini. Disinilah timbul pengertian „Tuhan" dalam kalangan orang2 jg beragama. Dalam pada itu kaum materialis dan naturalis tidak suka menerima pengertian dan sebutan „Tuhan" tadi, dengan hukum takdirnja. Mereka mengadakan hukum sendiri, jang dinamakan Hukum „Hukum sebab dan dan kedjadian" (Wet der Causaliteit), jg menganggap, bahwa tidak ada kedjadian jg tidak ada sebabnja, atau sebaliknja: tiap2 sebab tentu mengakibatkan kedjadian. Pengertian Tuhan diganti dengan „Natuur".
Bagaimanakah laku fikiran para penganut adjaran agama? Dalam pokokoja sama, ta' berbedaan! Agama mengadjarkan, bahwa termasuk dalam kodrat - iradatnja manusia, ialah mentjahari Tuhan, menjembah - njembah Tuhan, jakin sebelumnja (à priori) akan adanja Tuhan, jg Maha-Kuasa, jg Maha Esa, jg Maha Agung, jg Maha - Adil. Adanja Tuhan dianggap sebagai suatu „dogma" atau „wet" kenjataan-pasti, jg ta' dapat dibantah. Para tjerdik - pandai jg beragama, se, djak dahulu, senantiasa menjelidiki dan mempeladjari segala rahasia2 alam lalu menetapkan hukum2 alam, hukum kedjadian, hukum kenjataan (kasunjatan), hukum hidup-kemanusiaan, dll. Dengan demikian lambat-laun dapat terbentuk systeem peladjaran, systeem ilmu-pengetahuan dan filsafat-systeem kenjataan, jg semuanja dinamakan Agama. Sebelum manusia menginsjafi, mengetahui dan mengarti hukum2 tadi, biasanja manusia menjembah2 benda2, jg olehnja dianggap bahwa disitulah letaknja kekuatan dan kekuasaan jg maha-agung. Disitulah timbulnja Animisme, jg menganggap, bahwa semua benda2 di alam dunia ini berdjiwa serta dapat menjebabkan keselamatan, kebahagiaan, dan kebalikan2-nja: kesengsaraan, ketjelakaan dsb.
Bukankah laku - fikiran ini dalam pokoknja sama dgn laku - fikiran para naturalis dan materialis? Kalau ada perbedaan, maka perbedaan itu terletak pada bedanja nomenclatuur (nama-nama dan istilah), bedanja beberapa kesimpulan (sebagai akibat analyse-nja masing2) dan . . . . . (disinilah, letaknja pokok perbedaan) perbedaan adjaran kebadjikan, kesusilaan, keadaban, ig dlm bahasa asing disebut Ethik dan Moral. Inipun adalah akibat jg dengan sendirinja terdjadi karena bedanja tjara analyse (jaitu tjaranja memetjah - petjah persoalan). Dalam hal ini saja sendiri berkejakinan, bahwa masih selalu dapat diadakan djembatan, untuk menjambung kedua2-nja aliran tadi. Jaitu apabila segala pertikaian jg dapat memetjah - belah bangsa dan negara kita itu, kita pulihkan pada satu lapangan jg pokok, jaitu . . . . dasar Kemanusiaan.
Tentang sifat „Esa" atau „Satu", termasuk dalam Pantja - sila ada orang jg mengira, bahwa mungkin disini nanti timbul pertikaian antara golongan2 agama Islam, Kristen, Jahudi dan lain2 agama, jang hanja pertjaja pada adanja Satu Tuhan sadja menurut monotheisme, dengan agama Hindu, Buddha dan lain2 jang dianggap mempunjai beberapa atau banjak Tuhan (polytheisme). Anggapan itu tidak benar, sebab agama2 jg dalam systeem adjarannja nampak seakan-akan pertjaja akan adanja lebih dari pada „Satu Tuhan", sebenarnja tidak begitu. Didalam systeem2 jg dianggap „polytheisme" itu, selalu ada anggapan akan adanja Satu Kekuasaan jang melingkungi seluruh bagian² kekuasaan tadi. Sebutan „Sanghjang Tunggal" misalnja membuktikan adanja Kesatuan; „Sanghjang Wenang" menundjukkan adanja „Kekuasaan jg tertinggi". Baik di Djawa maupun di Bali, dimana masih terus hidup kejakinan2 jg berhubungan dengan agama2 Hindu dari zaman dahulu, hal itu dapat kita saksikan.
Djika kita menjelidiki, apakah kiranja jg mendjadi pokok isi atau adjaran, ig ada didalam sila „Ke-Tuhanan" itu, maka teringatlah kita pada satu perkataan, jg dipakai sebagai nama - sifat untuk semua kitab2 pokok keagamaan di seluruh dunia, seperti Al-Kor'an, Indjil, Taurét, Bhagawad-Gita, dll. sebagainja. Kitab2 itu semuanja dapat sebutan „Kitab - Sutji". Sehingga bolehlah kesutjian itu dianggap sebagai pokok", sebagai „sari" atau „inti" dalam sifat Ke-Tuhanan.
Dimuka telah kami djelaskan adanja hubungan jg erat „Kemanusiaan dan Ke-Tuhanan". Bolehlah sekarang saja terangkan disini, bahwa segala isi jg terkandung dalam pengertian „Kemanusiaan", itu sebenarnja djadi isinja, sarinja dan pokoknja pula dari pada pengertian „Ke-Tuhanan". Kemanusiaan boleh dianggap sebagai dasarnja keluhuran dan kehalusan hidup manusia, sedangkan Ke-Tuhanan adalah laksana sinar matahari dan air jg memberi hidup, serta merupakan sendi jg perlu adanja, agar segala benih2 kemanusiaan semua dapat terus tumbuh dengan sehat dan subur, serta kuat dan teratur, hingga dapat berkembang dan berbuah sebaik-baiknja. Sekali lagi: „Ke-Tuhanan" adalah sebagai sinar dan air jang sutji (bersih dan djernih) serta sebagai sendi (pagar - rambatan) atau tulang punggung), jg menjuburkan dan menguatkan hidup tumbuh segala benih2 perikemanusiaan.
——————