Pantjasila (Ki Hadjar Dewantara)/Bab 5

V. Kebangsaan didalam Pantja - Sila.

Tjita² „Kebangsaan" ada salah satu bagian dari pada Pantja-sila, jg paling dikenali oleh chalajak umum, meskipun boleh djadi hanja dikenali sebagai nama atau pengertian umum. Memang sebenarnja sudah lama perkataan itu dipakai sehari-hari oleh bangsa kita, lebih² oleh mereka, jg ikut serta dalam pergerakan rakjat, baik dilapangan politik dan ekonomi, maupun dalam lingkungan kebudajaan atau lain'nja. Sedjak timbulnja pergerakan rakjat setjara modern, ja'ni dengan mendirikan perhimpunan² serta mengadakan rapat² untuk membitjarakan kepentingan² umum, tjita² Kebangsaan itu meliputi segala usaha pergerakan rakjat tadi. Berdirinja perhimpunan „Budi - Utomo", atas kegiatan para peladjar ketabiban di S. T. O. V. I. A. dibawah pimpinan marhum Dr. Sutomo, pada hari 20 Mei 1908 di Djakarta, dinjatakan sebagai saat kebangunan nasional. Bahkan sekarang hari itu oleh seluruh pergerakan rakjat didjundjung sebagai „Hari Kebangsaan Umum". Ini terbukti pada tahun 1948, ketika semua perhimpunan jg meliputi seluruh pergerakan rakjat (politik, agama, sosial, ekonomi, pendidikan, pemuda, kewanitaan, kepanduan dll.) serentak mengadakan „peringatan" bersama, baik di- Ibu - Kota Republik Jogjakarta, maupun di-lain² tempat diseluruh Indonesia. Pada saat itu segenap golongan, jg tersebut tadi, menjatakan rasa kesatuannja didalam ikatan kebangsaan, ialah Kebangsaan Indonesia. Golongan² Islam, Kristen, Katholik dan jang memelihara hidup keagamaan lain²nja, golongan politik-termasuk mereka, jang berdjiwa „socialis”,bahkan „komunis” —mengakui adanja rasa -kesatuan dalam ikatan „kebangsaan” itu. Dlm upatjara peringatan resmi di Gedung - Presidenan, pada waktu itu di-ikrarkan oleh Presiden Sukarno, bahwa „hari-kebangsaan umum”, tanggal 20 Mei itu, untuk seterusnya akan diperingati setjara besar - besaran tiap² 10 tahun sekali. Jang perlu di-constateer disini, jaitu bahwa pada waktu itu tali rasa "kebangsaan dirasai oleh seluruh masjarakat kita, sebagai tali "persatuan umum untuk semua golongan, dengan ta' ada ketjualinja.

Rahasia apakah jg terkandung dalam perkataan dan pengertian „Kebangsaan” tadi? Apakah sebenarnja rasa Kebangsaan itu? Bagaimanakah sifatnya, bentuknja. dan apakah jang mendjadi isinya? Marilah semua itu kita selidiki.

Sebenarnja perkataan „bangsa” itu pada mulanya berarti „djenis”. Masih sering kita dengar pertanjaan: itu bangsanja apa? Jaitu kalau orang melihat sesuatu barang, sesuatu keadaan, sesuatu machluk jg belum ia kenali. Djawab atas pertanjaan itu biasanja ialah antara lain: o, itu bangsanja bahan makanan ; o, itu bangsanja pasar - derma: o, itu bangsanja kera: d.l.l. sebagainja. Teranglah disitu perkataan „bangsa” terpakai dengan pengertian „djenis”. Didalam djawaban tadi terbukti, bahwa senantiasa ada kesamaan sifat² jang pokok, jg asli, jg murni, jg semuanja dalam perbandingan. kita itu tampak sebagai pertalian kesatuan jg wutuh. Tali kesatuan sifat tadi dirasai dengan sendiri, serta segera, sebelum kita menjelidiki. Sesudah dilakukan penjelidikan, biasanja terdapat djuga sifat², bentuk² serta isi dan laku² jg sama pada barang², keadaan² atau machluk², jg mendjadi object atau bahan perbandingan kita itu. Kesamaan inilah jaitu sama pada pokok²nja—jg menentukan pengertian „djenis”. Begitulah pula dalam perkataan „bangsa” pasti ada dasar² kesatuan, yang nampak dengan segera, serta kemudian akan dapat dibuktikan adanja dan ternjata mendjadi sifat pokoknja „kebangsaan”.

Kebangsaan itu didalam hidup manusia dalam masjarakat dan negerinja, memang menundjukkan adanja „kesamaan” dan adanja „tali-kesatuan” djenis dlm arti jang luas dan umum. Dan djenis jang sedemikian itu ta' bukan dan ta' lain ialah sifat peradaban dan kebudajaan. Memang sebenarnja „kebangsaan” itu pada tingkat jang pertama adalah pengertian kultureel, pengertian adab dan kebudajaan. Baru sesudah itu „kebangsaan” nampak sebagai pengertian politik. Seorang jang disebut „nasionalis” adalah pertama - kalinja orang jang tjinta bangsa, jang mendjundjung tinggi bahasanja sendiri, keseniannja sendiri, adat-istiadatnja sendiri dsb dan barulah kedua kalinja ia ada seorang, jang ta' suka didjadjah bangsa lain dan sanggup mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negaranja sendiri. Dalam pada itu betul dan benar. menurut kejakinan saja sendiri, ialah harus adanja berbarengan kedua-duanja sifat tadi. Bersendi pada djiwa perasaan memang „kebangsaan” itu soal kebudajaan, namun djiwa pikiran kita menuntut termasuknja arti - politik dalam perkataan „kebangsaan” tadi.

Sebenarnja Kebangsaan itu ada salah satu „lingkaran” atau „cirkel”, ja'ni „alam”, jang melingkungi hidup tiap² manusia. Sebagai „machluk jang terpilih” maka tiap² manusia mempunjai „hidup - diri”, djuga mempunjai „hidup-keluarga”, pula „hidup-masjarakat”. Tiap-tiap bentuk hidup tadi merupakan satu lingkaran jang wutuh satu, dalam mana tiap² manusia mendjadi titik - pusatnja. Tiap² lingkaran tadi mewudjudkan satu alam jang wutuh pula, sedangkan semua lingkaran tadi bersama - sama merupakan suatu susunan jang „concentris”, jaitu bertitik - pusat satu: titik - pusat ini ialah hidup - diri tiap² manusia tadi. Begitulah manusia mempunyai hidup -diri, hidup- keluarga, hidup- kebangsaan, hidup-kemanusiaan, dalam mana ia merasa bersatu dengan lain² manusia, jang bersamaan - hidup, bersamaan-alam atau bersamaan-lingkaran dengan dia sendiri.

Biasanja manusia itu hanja dapat merasai satu alam sadja pada sesuatu saat. Misalnja seseorang, jang sedangnja joang untuk kepentingan bangsanja, biasanja lupa atau tidak ingat, kurang atau tidak memperhatikan akan hidup kelurganja. Baru kalau didalam alam - keluarganja ada apa-apa jang sangat menarik djiwanja (misalnja anaknja (misalnja anaknja meninggal), perhatiannja beralih kepada lingkaran - keluarganja, untuk sementara waktu. Pada saat ia merasai alam-keluarganja itu, biasanja ia lupa atau kurang memperhatikan alam-kebangsaannja. Dia lupa djuga biasanja akan alam dirinja dan alam-kemanusiaannja. Memang manusia itu sangat terbatas kesedarannja dalam lingkungan kedjiwaan, jang ia insjafi pada satu saat. Gampang misalnja seseorang menegakkan pendiriannja sebagai manusia jang „luhur" dan „sutji", tetapi. . . . . . selama didalam alam-keluarganja, alam-dirinja dan alam-kebangsaannia tidak ada apa², jang mengganggu pikiran dan perasaannja. Dalam pada itu djangan dilupakan adanja dasar chusus didalam djiwa manusia masing². Ada orang² misalnja, jang memang mempunjai dasar kedjiwaan, jang disebut „individualis" „egois" dan karenanja sangat kuat „rasa-aku"-nja, lalu tidak gampang berpendirian „sosial" atau „nasional"; lebih² bersikap „perikemanusiaan" sukarlah baginja. Demikian pula ada orang², jang memang mempunjai dasar „kemasjarakatan" atau „kebangsaan" atau „kemanusiaan" jang amat kuat. Sifat² kedjiwaannja atau „watak"nja, „karakter"nja jang chusus itulah jang nampak sehari-hari. Hanja djika ada apa² jang sangat menarik perhatiannja, barulah ia tertarik kedalam alam jang lain.

Dalam so'al alam²-kedjiwaan manusia ini, (mulai alam-diri sampai alam-kemanusiaan) ada satu alam, satu lingkaran, jang biasanja sangat mempengaruhi pikiran serta perasaan manusia, (lebih dari pada lain²-nja) jaitu alam-kebangsaan, jang kini sedang kita bitjarakan itu. Rasa Kebangsaan tidak sadja dirasai lebih kuat oleh seluruhnja chalajak dari pada lain²nja, namun rasa kebangsaan itu meliputi chalajak jang lebih besar dan umum dan lebih luas dari pada lingkungan lain²nja. Agar ta' menimbulkan salah faham, hendaknja dimengerti, bahwa ada rasa kedjiwaan atau kebatinan lain, jang sangat kuat dan kerap kali menguasai sepenuh djiwa kita, kadang² bahkan setjara berkobar-kobar. Jaitu misalnja rasa-keagamaan dan rasa-kepolitikan, pendek kata segala „rasa-kebatinan", jang telah meningkat mendjadi „pendirian - hidup" jang pokok. Namun hendaknjalah diingati bahwa jang kami maksudkan jaitu luas lebarnja lingkungan jang diliputi oleh rasa „kesatuan bangsa". Seluruh masjarakat, jang merupakan satu negara dan satu bangsa, dengan sendirinja termasuk dalam satu lingkungan, ialah lingkungan Kebangsaan tadi. Rasa Kebangsaan dapat meliputi segala golongan itu, karena Kebangsaan mempunjai dasar jg. sangat luas, luhur dan dalam. Dasar Kebangsaan bukan lain dari pada „Kemanusiaan". hal mana nanti akan kami terangkan lebih djelas.

Factor lain, jg, menjebabkan rasa - kebangsaan itu berpengaruh besar kepada djiwa manusia, ialah karena rasa-kebangsaan itu merupakan lipat-gandanja rasa - diri dari orang² jang bersamaan nasib, djadi menurut adjaran masa-psychologi, bersifat sangat kuat dan sangat keras, hingga dapat melenjapkan rasa - diri perseorangan. Demikian pula rasa - kemanusiaan, jg termasuk dalam lingkungan - alam jg lebih luas dari pada lingkaran-kebangsaan, ta' dirasai sekeras rasa - kebangsaan, dan oleh karenanja tidak mudah dapat melemahkan rasa-kebangsaan. Untuk mendjaga, djangan sampai gerak-gerik rasa-kebangsaan tadi melampaui batas - peri- kemanusiaan atau menjalahi kodrat - iradatnja hidup - pribadi manusia, maka perlulah sebaliknja, kita selalu menginsjafi benar², adanja hubungan jang erat antara sifat hidup - kebangsaan, tidak sadja dengan hidup - diri - pribadi, namun pula dengan hidup-perikemanusiaan. Sjukurlah didalam Pantja-sila, tjita² kebangsaan itu telah terbatas dengan sendiri, karena adanja sila-sila lainnja. Dalam pada itu sebaiknjalah kita menarik garis² sebagai jang berikut:

  1. djangan sampai hidup-kebangsaan itu melanggar atau bertentangan dengan sjarat „perikemanusiaan"; insjafilah, bahwa kebangsaan" itu bentuk chususnja „kemanusiaan";
  2. djangan sampai hidup-kebangsaan menindas „hidup pribadi" manusia; baik lahir maupun batin; ingatlah pada sila² kedaulatan rakjat" dan „keadilan sosial";
  3. hendaknjalah kita senantiasa bersendi kesutjian seperti terkandung dalam sila „ke-Tuhanan". Selain itu hendaknja di-ingati pula, bahwa „Kebangsaan" jang tersebut dalam Pantja -sila itu, sewutuhnja berbunji: „Kebangsaan jang wutuh satu". Ini berarti bahwa hanja „Kebangsaan Indonesia"-lah jang ada, bukan kebangsaan² dari daerah nja. Kesatuan Bangsa Indonesia. . . . . hanja itulah, jang dapat mendjamin tegak - tetapnja Kemerdekaan kita untuk selama² - nja.

Sesudah kita memberi batas² tadi, sesuai dengan adjaran Pantja-sila seumumnja, maka insja - Allah, rasa - kebangsaan seperti jang dimaksudkan dalam Pantja-sila itu, akan dapat memperteguh hidup - kenegaraan kita serta memperkembangkan hidup - kebangsaan kita. Tidak sadja rakjat lalu setjara insjaf dan sadar akan sanggup mempertahankan kedudukan nusa dan bangsanja, sebagai negara dan rakjat jang merdeka dan berdaulat, tidak sadja rak'at akan ichlas dan ridla berkorban guna kepentingan negara dan bangsa, namun rakjat akan bersedia djuga untuk membangun hidup serta penghidupannja bersama, kearah keselamatan dan kebahagiaan rakjat setjara merata, adil dan sutji, karena berdasarkan „peri-kemanusiaan" dan bertiang-pangkal „ke-Tuhanan".

Peringatan-peringatan dan pembatasan² dlm. so'al hidup kebangsaan tadi, sangat perlu, oleh karena tidak kurang tjontoh2 jang buruk dan djahat dalam hidup kebangsaan pada umumnja. Tjorak-warna djiwa manusia, watak manusia, sifat hidup manusia, kadang2 semata-mata merupakan peluapan hawa nafsu hewani, perkobaran „instincten" dan „begeerten" melupakan arti dan peladjaran peri- kemanusiaan. Kalau sifat-hewani itu meluap-luap dan berkobar-kobar, lebih karena diperkuat setjara massa-psychologis didalam gabungan besar, gabungan „kebangsaan", maka pastilah akan hantjur lebur adab dan kebudajaan dalam hidup sesuatu bangsa. Disitulah akan hilang lenjap deradjat peri-kemanusiaan dalam bangsa itu, dan dengan demikian akan sirna dengan sendiri haknja atas sebutan „bangsa" dan „negara". Hanja rakjat jang beradab dan berkebudajaan, berhak bernama „bangsa" dan hanja negeri jang teratur setjara tertib dan damai, berhak atas sebutan „negara".


——————