Pantjasila (Ki Hadjar Dewantara)/Bab 6

VI. Demokrasi dan Keadilan Sosial.

„Demokrasi" dan „Keadilan - sosial" adalah dua bagian dari Pantja-sila, jang kedua-duanja tidak sadja memberi isi jang chusus, namun memberi tjorak-warna jang tegas pula kepada sila „Kebangsaan". Seperti sudah saja terangkan lebih dahulu, kebangsaan itu kadang² meluap-luap atau berkobar-kobar, dalam mana bukan sifat kemanusiaan jang lubur dan halus, tetapi sebaliknja hawa nafsu jang rendah dan kasarlah jang tampak. Boleh djadi, disini haluan kapitalisme menguasai penghidupan kebangsaan; disana feodalisme jang meliputi suasana kemasjarakatan seluruhnja; dilain negeri „nasional-socialisme" á la Hitler-Mussolini menekan djiwa-kemerdekaan rakjat. Dengan Demokrasi dan Keadilan-sosial sebagai garis² pembatasan hidup kebangsaan, maka terdjaminlah sifat keluhuran dan kehalusan budi manusia dalam hidup kebangsaan tadi. Aapakah arti dan maksud Demokrasi dan Keadilan-sosial itu, sebagai jang terkandung dalam Pantja-sila ?

Demokrasi berasal dari perkataan Junani-kuno „demos", jang berarti „rakjat" dan „krasi", jang berarti ,,kekuasaan" Biasanja terdjemahan dalam bahasa kita berbunji: „kedaulatan rakjat". Menurut perkataannja ini memang benar, karena „kedaulatan" berarti „kekuasaan". Akan tetapi perkataan „kedaulatan" dan „kekuasaan" itu adalah perkataan² modern, jang terpakai dalam hubungan² kenegaraan setjara modern, sehingga bagi mereka, jang belum kenal dan belum memahami maksud dan tudjuan systeem kenegaraan jang modern tadi, mudah menimbulkan salah-faham. Misalnja ada setengah orang iang mengira, bahwa haluan kedaulatan-rakjat itu memberi hak kepada rakjat untuk berbuat semau-maunja, karena rakjatlah jang berkuasa. Mereka itu belum insjaf, bahwa sifat kedaulatan-rakjat itu terbatas dengan beberapa peraturan jang chusus, jang mengatur setjara tertib bagaimana kedaulatan rakjat tadi harus dilaksanakan. Adanja „trias-politica", jang menetapkan harus adanja 3 bagian hak-kenegaraan, jaitu hak membuat undang², hak melakukan pemerintahan dan hak-pengadilan, belumlah mereka pahami benar-benar, Adanja peraturan2 jang harus mendjamin hak-diri dan hak-milik perseorangan, pula jang membatasi kemerdekaan dan kebebasan segenap rakjat, misalnja dengan larangan tiap2 orang berbuat sewenang-wenang d. 1. 1. sebagainja, semuanja itu belum mereka insjafi. Itulah sebabnja demokrasi tadi sering kali berlaku setjara salah atau keliru, lebih-lebih kalau sila jang utama itu disebut dengan perkataan „kedaulatan" atau „kekuasaan" rakjat. Menurut hemat saja, lebih baik dipakainja sebutan „kerakjatan"- Walaupun Undang² Dasar Republik kita memuat pasal2 jang tegas mengenai haluan demokrasi itu, tetapi didalam Mukodimah atau Purwakanja dimasukkan sila „kedaulatan rakjat" bersama-sama dengan „keadilan sosial" tadi, itu pasti ada maksudnja. Maksud itu ialah, djangan sampai rakjat tertekan atau tertindas; djuga sebaliknja djangan sampai rakjat menekan atau menindas.

Marilah kini kita kupas kedua-duanja sila itu dengan menghubungkan so'alnja dengan hidup kedjiwaan atau kebatinan rakjat kita. Rakjat jang sedjak zaman dahulu kala senantiasa mendjundjung tinggi dasar perikemanusiaan serta sendi ke-Tuhanan, mustail tidak memiliki haluan kerakjatan dan keadilan sosial, seperti jang dimaksudkan dalam Pantja-sila itu. Perkataan2 jang biasanja terpakai untuk itu, ialah misalnja: „sesama machluk", atau „sesama manusia" (bhs. Djawa: sepada-pada), jang selalu mengandung maksud, bahwa semua manusia itu untuk Tuhan sungguh sama. Dalam zaman baru, zaman pergerakan, ada salah seorang kawan-perdjoangan jang terkenal, jaitu marhum saudara Mas Marko (jang meninggal dunia dialam-pembuangan di Boven-Digul), jang memakai rangkaian perkataan, untuk mendjelaskan haluhan jang sama dengan apa jang termasuk didalam Pantja-sila itu. Rangkaian perkataan itu ialah: „sama rata sama rasa". Pemilihan perkataan itu menurut pendapat saja sungguh tepat sekali dan patut kita bébérkan disini. Saja jakin bahwa kita semua dapat merasai samanja arti „demokrasi" dan „keadilan sosial" tadi dengan sebutan „sama rata dan rasa". Sama rata berarti tidak membeda-bedakan sama orang jang satu dengan jang lain. Akan tetapi kadang-kadang terbukti, bahwa „sama rata” itu belum tentu bersifat „adil”. Kalau didalam satu keluarga misalnja, jang beranggauta 10 orang, hanja ada beras 1 kilo sadja, dan menurut azas „demokrasi” atau „sama rata” tiap2 anggauta dapat se-per-sepuluh kilo atau 1 ons, maka sangat boleh djadi lalu ada salah seorang jang menjatakan: „Ibu, saja ta'usah makan saja ta' begitu lapar; berikanlah bagian saja kepada adik itu, jang lebih memerlukan makan nasi dari pada saja . . . . .” Sangat boleh djadi ketetapan itu dipudji atau dimufakati oleh beberapa anggauta lainnja, jang mungkin ingin djuga menjerahkan bagiannja kepada adik2 jang ketjil atau jang sedangnja sakit. Disini terbukti, bahwa „sama rata” itu belum pasti berarti „sama rasa” djuga. Memang tidak adil bila seorang jang sakit harus diperlukan sama dengan orang jang sehat. Karena itulah azas „demokrasi”, jang semata-mata mementingkan sama-ratanja sesuatu, harus dilakukan setjara „keadilan social”, jang menghendaki sama-rasanja.

Mungkin orang mengemukakan, bahwa demokrasi itu seharusnja telah mengandung maksud keadilan, akan tetapi selama demokrasi, jang biasa disebut demokrasi setjara Barat atau demokrasi modern masih paling mementingkan „kesamaan”, misalnja kesamaan hak dalam segala hal, serta biasaannja mengabaikan harga dan nilai benda lahir atau batin, maka dengan sendiri demokrasi itu kerap kali tidak merupakan keadilan sosial. Hal itulah tentunja, jang mendjadi alasan bagi si-pentjipta Pantja-sila, untuk memasukkan keadilan sosial” disamping „kedaulatan rakjat”.

Suatu tjontoh lagi. Dalam zaman sekarang telah umum mendjadi kebiasaan, bahwa didalam rapat untuk menetapkan sesuatu keputusan, harus dipungut suara dari segenap anggauta, dengan peraturan, bahwa jang dianggap keputusan jang sah, ialah. jg dimufakati oleh sebagian besar dari pada para anggauta. Biasanja kemenangan satu suara sudah dianggap beralasan tjukup, untuk memutuskan sesuatu ketetapan. Di situ sama sekali tidak dibedakan suara dari orang2 baik jangtjerdik-pandai dan berbudi, maupun jang ta' berpengetahuan dan ta' berwatak. Tidak sadja systeem itu sering menjebabkan adanja putusan jang tidak bidjaksana, namun jang pasti ialah diakui haknja pihak jang kuat dan dikalahkannja pihak jang lemah. Djadi merupakan bentuk baru dari sifat keadilan tjara kuno, jang terkenal dengan sebutannja : „het recht van de sterkste”. Jang dibenarkan bukanlah jang „hak” (benar), tetapi jang kuat, meskipun hanja kuat dalam suara sadja. Kebidjaksanaan disitu tidak terpakai sebagai sjarat pembatasan ataupun ukuran-penghargaan nilai suara pendapatan, jang dikeluarkan. Kalau jang kalah itu golongan jang agak besar, jang hanja karena kekalahan satu, dua atau tiga suara sadja dipaksa takluk (biasanja mereka disebut „een groote minderheid”), dapatlah mudah dimengerti, bahwa rasa tidak puas pada mereka itu kadang² sangat besar, hingga merupakan kegusaran. Dengan begitu gampanglah timbul benih2 perpetjahan. Kalau pihak jang kalah tadi hanja sebagian ketjil, biasanja mudah orang dapat „mengalah”, jaitu menjerah dengan ichlas, karena biasanja ada keinsjafan, bahwa sudah selajaknja golongan jang ketjil harus berkorban guna kepentingan golongan jang besar.

Dalam hidup kemasjarakatan dan kebudajaan bangsa kita tentang so'al ini ada adat-istiadat, jang boleh dianggap petundjuk jg berharga dan patut kita perhatikan. Sebutan „kata sepakat” misalnja, berarti harus adanja kemufakatan jg penuh, jg menurut adat tsb, (jg misalnja di Minangkabau masih didjundjung tinggi) dianggap sjarat mutlak untuk memelihara keadilan sosial dan kesatuan jg wutuh. Bolehkanlah disini saja memberi tahukan, bahwa adat itu didalam golongan kami (jaitu golongan Taman Siswa) selalu dipakai Bila orang bertanja apakah peraturan jg sedemikian itu misalnja dimana seharusnja ada keputusan, lalau tidak dapat, maka hendaknja diketahui, bahwa untuk so'al2 jg penting dan jg harus segera ada keputusan, dapat diadakan atjara menjetem jg tidak berdasarkan „kata sepakat” namun tidak pula mengakui absahnja kemenangan dengan satu suara. Jaitu menetapkan, bahwa untuk itu harus ada kemenangan 2/3 dari semua suara jg dikeluarkan. Dan hendaknja disini diketahui pula, bahwa didalam kalangan kami tsb ada pula tradisi, jg disebut „Demokrasi dan Leiderschap”, jg berarti harus adanja „demokrasi”, akan tetapi disampinhnja harus pula ada „pimpinan”. jg oleh sebagian besar (jaitu 2 dari pada segenap anggauta, dianggap tjukup bidjaksana untuk menetapkan sesuatu putusan, dimana pengeluaran-suara dapat memberi keputusan menurut peraturan. Hak „veto” ini didalam organisasi Taman Siswa tidak bersifat leluasa, karena dibatasi dengan beberapa sjarat; 1. hanja boleh dilakukan dalam saat2 jg memerlukan adanja keputusan segera. lebih2 bila ada bahaja mengantjam; 2. tidak boleh menjalahi dasar2 dan azas2 jg termaktub dalam peraturan besar; 3. pimpinan tetap bertanggung djawab kepada penguasa jg tertinggi, ja'ni Rapat Besar. Dalam dunia organissai jg modern dan jg meliputi sebagian besar dari negara2 sedunia, kegandjilan tradisi mengeluarkan suara-pedapat dengan „stem-steman” jg mengakibatkan hidupnja kembali hukum kuno, „het recht van de sterkste” tadi, diinsjafi djuga. Hak „veto”, jg dipakai dalam sidang2 U. N. O. atau P. B. B. itu, rupa2nja diadakan pula, untuk mendjaga djangan sampai ada keputusan2 jg mengenai so'al2 penting, jg dipaksakan oleh „meerderheid” kepada „minderheid”. Sajangnja, hanja 5 negara jg paling besar sadja, jaitu: Rusia, Amerika Inggris, Perantjis dan Tiongkok jg. mempunjai hak itu.

Sekianlah uraian kami tentang „demokrasi”, dalam mana kami membanding-bandingkan so'al tsb. sebagai jg hidup didalam alam modern dan alam kuno, atau alam kedjiwaan Barat dan Timur. Tentang sila „Keadilan sosial”, jg sudah kami kupas pula, bolehlah kiranja disini kami mengingatkan bahwa untuk rakjat, jg ber-ke-Tuhanan, ada baiknja, bila kita memahami sifat „keadilan” dari pada Tuhan jg Maha Kuasa melakukan kekuasaannja, tidak terlepas dari sifatt Keadilan, sedangkan ke-adilan Tuhan adalah keadilan dari, Dhat jg Maha-Kasih dan Maha-Murah.

Lihatlah sebagai tjontoh sifat sang Matahari, jang telah ditetapkan oleh hukum kodrat-alam, atas kehendak Tuhan menurut adjaran agama, untuk memberi sinarnja; sinar matahari jg diperlukan untuk hidup tumbuh segala machluk dan tumbuh2-an diseluruh alam-duniai ini. Sang Matahari tidak membeda-bedakan; pun Matahari tidak memaksa atau melarang digunakannja, jang bersipat sakti tadi. Matahari memberi sinarnja kepada semua tumbuh2an dan machluk, jg. memerlukan sinarnja. Pemberian sinar matahari berlaku dengan merata dan adil. sesuai dengan sembojan „demokrasi” dan „keadilan sosial, jang dapat diganti dengan utjapan :


„Sama Rata, Sama Rasa.„






_______