Pengguna:Mnam23/Bak pasir

Sarinah
oleh Soekarno
Sarinah

KEWAJIBAN WANITA dalam PERJUANGAN

REPUBLIK INDONESIA

oleh

Ir. SOEKARNO

BAB I, II, III DAN IV

RADEN AJENG KARTINI

PELOPOR PEJUANG WANITA INDONESIA

KATA PENDAHULUAN

sunting

Pada cetakan pertama

Sesudah saya berpindah kediaman dari Jakarta ke Yogyakarta, maka di Yogya itu tiap-tiap dua pekan sekali saya mengadakan "kursus wanita". Banyak orang yang tidak mengerti apa sebabnya saya anggap kursus-kursus wanita itu begitu penting. Siapa yang membaca kitab yang saya sajikan sekarang ini, – yang isinya telah saya uraikan di dalam kursus-kursus wanita itu dalam pokok-pokoknya -, akan mengerti apa sebab saya anggap soal wanita itu soal yang amat penting.

Soal wanita adalah soal masyarakat!

Sayang sekali, bahwa soal wanita itu belum pernah dipelajari sungguh-sungguh oleh pergerakan kita. Sudah lama saya bermaksud menulis buku tentang soal itu, tetapi selalu maksud saya itu terhalang oleh beberapa sebab. Tetapi sesudah kita memproklamasikan kemerdekaan, maka menurut pendapat saya soal wanita itu perlu dengan segera dijelaskan dan dipopulerkan. Sebab kita tidak dapat menyusun Negara dan tidak dapat menyusun masyarakat, jika (antara lain-lain soal) kita tidak mengerti soal wanita. Itulah sebabnya saya, setiba saya di Yogyakarta, segera mengadakan kursus-kursus wanita itu.

Atas permintaan banyak orang, apa yang saya kursuskan itu kemudian saya tuliskan, dan saya lengkapkan pula.

Buku "Sarinah" inilah hasilnya.

Apa sebab saya namakan kitab ini "Sarinah"?

Saya namakan kitab ini "Sarinah" sebagai tanda terimakasih saya kepada pengasuh saya ketika saya masih kanak-kanak.

Pengasuh saya itu bernama Sarinah. Ia "mBok" saya.

Ia membantu Ibu saya, dan dari dia saya menerima banyak rasa cinta dan rasa kasih. Dari dia saya mendapat banyak pelajaran mencintai "orang kecil". Dia sendiripun "orang kecil".

Tetapi budinya selalu besar!

Moga-moga Tuhan membalas kebaikan Sarinah itu!

Kata Pendahuluan ini saya sudahi dengan mengucapkan banyak terimakasih kepada saudara Mualif Nasution, yang selalu bekerja keras menyelenggarakan kursus-kursus wanita itu, dan menyelenggarakan penerbitan kitab "Sarinah" ini pula.

Yogyakarta, 3 Nopember 1947.

BAB I: SOAL PEREMPUAN

sunting

Satu pengalaman, beberapa tahun yang lalu, waktu saya masih "orang interniran".

Pada suatu hari, saya datang bertamu bersama-sama seorang kawan dan isteri kawan itu pada salah seorang kenalan saya, yang mempunyai toko kecil. Rumah kediaman dan toko kenalan saya itu bersambung satu sama lain: bahagian muka dipakai buat toko, bahagian belakang dipakai buat tempat kediaman.

Dengan budi yang amat manis kami diterima oleh kenalan itu, dipersiIakan duduk. Kami, – yaitu kawan saya, isterinya, saya, dan tuan rumah -, duduk berempat dekat meja tulis toko itu. Sigaret dikeluarkan, teh dihidangkan. Sesudah bercakap-cakap sebentar, – "bagaimana kesehatan?", "bagaimana per-dagangan?" – maka kami (para tetamu) menerangkan kepada tuan-rumah, bahwa maksud kami datang, bukanlah untuk membeli ini atau itu, melainkan semata-mata hanya buat bertamu saja.

Isteri kawan saya menanyakan: bagaimanakah keadaan nyonyah rumah? – ia ingin ajar-kenal dengan nyonyah rumah.

Di sini tuan rumah nampak menjadi sedikit kemalu-maluan.

Rupanya ia dalam kesukaran untuk menjawab pertanyaan itu.

Sebentar telinganya menjadi kemerah-merahan, tapi ia menjawab dengan ramah-tamah: "O, terima kasih, ia dalam keadaan baik-baik saja, tetapi sayang seribu sayang ia kebetulan tidak ada di rumah, – ia menengok bibinya yang sedang sakit".

Isteri kawan saya menyesal sekali bahwa nyonyah rumah tidak ada di rumah; terpaksa ia belum dapat ajar-kenal dengan dia hari itu.

Tetapi ... tak lama kemudian ... saya, yang duduk berhadapan kain tabir yang tergantung di pintu yang memisah bagian toko dengan bagian rumah tinggal, saya melihat kain tabir itu ber-gerak sedikit, dan saya melihat mata orang mengintai. Mata orang perempuan! Saya melihat dengan nyata: kaki dan ujung sarung yang kelihatan dari bawah tabir itu, adalah kaki dan ujung sarung perempuan!

Dengan segera saya palingkan muka saya, berbicara dengan tuan rumah dengan memandang muka dia saja. Tetapi pikiran saya tidak tetap lagi. Satu soal telah berputar di kepala saya. Bukankah perempuan yang mengintai tadi itu isterinya tuan rumah? Mana bisa, tuan rumah toh mengatakan, bahwa isterinya sedang merawat orang sakit? Tetapi ... mengapa ia tadi kelihatan malu-malu, telinganya kemerah-merahan, tatkala ditanya di mana isterinya?

Saya ada dugaan keras, bahwa tuan rumah itu tidak berterus-terang. Rupa-rupanya, isterinya ada di rumah. Tetapi ia tak mau memanggilnya keluar, supaya duduk di toko bersama-sama kami. Sebaliknya ia tidak mau mempersilakan isteri kawan saya supaya masuk ke dalam, ke bagian belakang, tempat kediamannya sehari-hari. Barangkali memang tidak ada tempat penerimaan tamu yang layak, di tempat kediaman itu. Ia nyata malu ...

Sesudah bercakap-cakap seperlunya, kami bertiga permisi pulang.

Kami mengambil jalan melalui kedai-kedai, dan pasar pula.

Tapi pikiran saya terus melayang. Melayang memikirkan satu soal, – soal wanita.

Kemerdekaan! Bilakah semua Sarinah-Sarinah mendapat kemerdekaan?

Tetapi, ya – kemerdekaan yang bagaimana?

Kemerdekaan seperti yang dikehendaki oleh pergerakan feminismekah, yang hendak menyamaratakan perempuan dalam segala hal dengan laki-laki?

Kemerdekaan ala Kartini? Kemerdekaan ala Chalidah Hanum? Kemerdekaan ala Kollontay?

Seorang kawan saya, – guru sekolah di Bengkulu – , mempunyai seorang isteri yang ia cintai benar. Kedua laki-isteri ini saya kenal betul-betul, kedua-duanya saya anggap seperti adik saya sendiri. Sang suami di alam Bengkulu termasuk golongan "modern", tetapi isterinya kadang-kadang mengeluh kepada saya, bahwa ia merasa dirinya terlalu terkurung.

Di luar pengetahuan isterinya, saya anjurkan kepada kawan saya itu, supaya ia memberi kemerdekaan sedikit kepada isterinya. Ia menjawab: Ia tak mengizinkan isterinya ke luar rumah, justru oleh karena ia amat cinta dan menjunjung tinggi kepadanya. Ia tak mengizinkan isterinya ke luar rumah, untuk menjaga jangan sampai isterinya itu dihina orang. "Percayalah Bung, saya tidak ada maksud mengurangi kebahagiaannya; saya hargakan dia sebagai sebutir mutiara".

. . . "sebagai sebutir mutiara". . .

Ah, tidakkah banyak suami-suami yang menghargakan isterinya sebagai mutiara, – tetapi sebenarnya merusak atau sedikitnya mengurangi kebahagiaan isterinya itu?

Mereka memuliakan isteri mereka, mereka cintainya sebagai barang yang berharga, mereka pundi-pundikannya "sebagai mutiara", – tetapi justru sebagaimana orang menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pulalah mereka menyimpan isterinya itu di dalam kurungan atau pingitan. Bukan untuk memperbudaknya, bukan untuk menghinanya, bukan untuk merendahkannya, katanya, melainkan justru untuk menjaganya, untuk menghormatinya, untuk memuliakannya.

Perempuan mereka hargai sebagai Dewi, perempuan mereka pundi-pundikan sebagai Dewi, tetapi mereka jaga dan awas-awaskan dan "selalu tolong" juga sebagai satu makhluk yang sampai mati tidak akan menjadi akil-balig. Kalau saya memikirkan hal yang demikian ini, maka teringatlah saya kepada perkataan Professor Havelock Ellis yang berkata, bahwa kebanyakan orang laki-laki memandang perempuan sebagai "suatu blasteran antara seorang Dewi dan seorang tolol". Dipundi-pundikan sebagai seorang Dewi, dianggap tidak penuh sebagai seorang tolol!

Tidakkah masih banjak laki-laki yang men-dewi-tolol-kan isterinya itu? Malahan, tidakkah pada hakekatnya seluruh peradaban borjuis di negeri-negeri yang telah "sopan" pada waktu sekarang ini, terhadap kaum perempuan berdiri atas kenyataan "Dewi tolol" itu? Sebab, tidakkah seluruh hukum sipil dan adat-istiadat di negeri-negeri borjuis itu sebenarnya masih men-dewi-tolol-kan perempuan?

Kita, bangsa Indonesia, kita terbelakang di dalam banyak urusan kemajuan. Kita (terutama sekali di luar tanah Jawa) di dalam urusan posisi perempuan pun terbelakang, tetapi kebelakangan ini bermanfaat pula: Kita dapat melihat dari keadaan kaum perempuan di negeri-negeri yang lain, bagaimana soal perempuan harus kita pecahkan.

Kita dapat melihat mana yang baik bagi kita, dan mana yang buruk.

Yang baik kita ambil, yang buruk kita buang.

Adakah, misalnya hasil-hasil pergerakan feminisme di Eropa sudah memuaskan, – memuaskan kepada kaum perempuan Eropa sendiri? Adakah pergerakan neo-feminisme memuaskan pula kepada kaum perempuan Eropa itu? Saya mengetahui, di Indonesia ada wanita-wanita: feminis dan neo-feminis. Tetapi kepada mereka itu saya ingin bertanya: Tahukan tuan, bahwa kaum perempuan Eropa sendiri tidak puas lagi dengan hasil feminisme atau neo-feminisme itu?

Henriette Roland Holst, itu pemimpin yang berkaliber besar, pernah mengatakan; bahwa feminisme atau neo-feminisme tak mampu menutup "scheur" (retak) yang meretakkan peri -kehidupan dan jiwa kaum perempuan, sejak kaum perempuan itu terpaksa mencari nafkah di dalam perusahaan-perusahaan sebagai buruh: "scheur" antara perempuan sebagai ibu dan isteri, dan perempuan sebagai pekerja di masyarakat. Jiwa perempuan dahaga kepada kebahagiaan sebagai ibu dan isteri, tetapi peri -kehidupan sebagai buruh tidak memberi waktu cukup kepadanya, untuk bertindak sempurna sebagai ibu dan isteri. Pergerakan feminisme dan neo-feminisme ternyata tidak mampu menyembuhkan retak ini.

Lagi pula, tidakkah kita melihat ekses ("keliwatbatasan") pergerakan feminisme di Eropa itu, yang mau menyamaratakan saja perempuan dengan laki-laki, dengan tak mengingati lagi, bahwa kodrat perempuan memang tidak sama dengan kodrat laki-laki? Maksud feminisme yang mula-mula baik, yakni persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, maksud baik itu di-eksesi (diliwati batasnya dengan ekses) dengan mencari persamaan segala hal dengan kaum laki-laki: persamaan tingkah laku, persamaan cara hidup, persamaan bentuk pakaian, dan lain-lain sebagainya lagi. Kodrat perempuan diperkosa, dipaksa, disuruh menjadi sama dengan kodrat laki-laki. Ekses yang demikian itu tak boleh tidak tentu akhirnya membawa kerusakan!

Oleh karena itu, sekali lagi saya katakan, bahwa kita, di dalam segala kebelakangan kita itu, berada di dalam posisi manfaat pula, yaitu dapat mencerminkan masyarakat Republik Indonesia yang hendak kita susun itu, kepada pengalaman-pengalaman masyarakat perempuan di negeri-negeri yang telah maju. Pelajarilah lebih dulu dalam-dalam pergerakan-pergerakan perempuan di Eropa, sebelum kita mengoper saja segala cita-citanya dan sepak terjangnya! "Kita mempelajari sejarah untuk menjadi bijaksana terlebih dahulu", demikianlah perkataan John Seeley yang termasyhur. Perkataan yang ditujukan kepada arti mempelajari sejarah itu, boleh pula dipakai untuk menjadi pedoman di atas jalan perjoangan kaum perempuan di dalam Republik Indonesia Merdeka.

"Janganlah tergesa-gesa meniru cara modern atau cara Eropa, janganlah juga terikat oleh rasa konservatif atau rasa sempit, tetapi cocokkanlah semua barang dengan kodratnya". Inilah perkataan Ki Hajar Dewantara yang pernah saya baca. Saya kira buat soal perempuan kalimat ini pun menjadi pedoman yang baik sekali.

Benar atau tidakkah perasaan saya ini? Sinar mata yang mengintai itu seakan-akan satu simbul bagi saya, satu lambang. Sinar mata si nyonya rumah tadi itu adalah sinar mata sebagian besar perempuan-perempuan kita. Kasihan nyonya rumah tadi itu! Duduk di ruangan muka, di "tempat-umum", tidak boleh; tetapi ia dikurung, ditutup, dipingit; bukan ditempat yang luas, yang banyak sinar matahari, tidak, melainkan di satu tempat yang gelap, yang sempit, yang tidak terpelihara. Tidakkah masih banyak perempuan kita bernasib begini? Merdeka, melihat dunia, tidak boleh, – tetapi dikurung pun di satu tempat yang tidak selayaknya!

Ternak masih melihat dunia luaran, tetapi di beberapa daerah di Indonesia masih banyak Zubaida-Zubaida dan Saleha-Saleha yang dikurung antara dinding-dinding yang tinggi. Yang mereka lihat sehari-hari hanyalah suami dan anak, periuk nasi dan batu pipisan saja. Ya, sekali-sekali mereka boleh keluar, sekali-sekali, kalau Sang Suami mengizinkan. Cahaya matanya, yang dulu, waktu mereka masih kanak-kanak kecil, adalah begitu hidup dan bersinar, cahaya matanya itu, kemudian, kalau mereka sudah setengah tua, menjadilah cahaya mata yang seperti mengandung hikayat yang tiada akhirnya.

Cahaya mata, yang seperti memandang ke dalam keabadian!

Cahaya mata yang demikian itulah yang kulihat mengintai dari belakang tabir ...

Bagaimanakah pendirian Islam tentang soal perempuan ini? Apakah Islam tidak mempunyai hukum-hukum tertentu tentang perempuan, sehingga di dalam Islam tidak ada lagi soal perempuan?

Saya bukan ahli fiqh. Tentunya agama Islam mempunyai hukum-hukum tertentu tentang perempuan.

Tetapi saya mengetahui, bahwa di dalam masyarakat Islam, dulu dan sekarang, ada beberapa aliran tentang posisi perempuan. Ada yang "kolot", ada yang "modern". Ada yang "sedang". Semuanya membawa dalil-dalilnya sendiri. Mana yang benar? Mana yang salah?

Sekali lagi saya berkata: saya bukan ahli fiqh. Saya beragama Islam, saya cinta Islam, saya banyak mempelajari sejarah Islam dan gerak-gerik masyarakat Islam, tetapi sayang seribu sayang, saya bukan ahli fiqh. Walaupun demikian, saya telah mencari beberapa tahun lamanya di banyak buku-buku yang dapat saya baca, bagaimanakah sebenarnya posisi perempuan dalam Islam. Sebagai saya katakan tadi, tentang hal ini saya menjumpai banyak aliran. Sehingga bolehlah saya katakan di sini, bahwa di dalam masyarakat Islam pun masih ada soal perempuan. Kesan yang saya dapat daripada apa yang saya baca itu, adalah sama dengan kesan yang didapat oleh Miss Frances Woodsman sesudah beliau mempelajari posisi perempuan di dalam masyarakat Islam itu, yakni kesan, bahwa soal perempuan adalah justru bagian yang "most debated" – bagian yang paling menimbulkan pertikaian – di dalam masyarakat Islam.

Malahan seorang wanita Islam Indonesia sendiri, Encik Ratna Sari, yang dulu di Padang – di dalam satu risalah yang membicarakan soal perempuan, ada menulis: "Masyarakat kita pun masih megandung dilemma’s, soal-soal yang pelik, yang masih teka-teki sekarang, tapi sangat penting".

Demikianlah. Saya berpendapat, bahwa soal perempuan seluruhnya (juga dalam masyarakat Islam) masih harus dipecahkan. Masih satu "soal". Atau, jikalau, memakai perkataan Encik Ratna Sari: masih satu "dilemma", masih satu "soal yang pelik". Sekali lagi, soal perempuan seluruhnya, – dan bukan hanya misalnya soal tabir atau lain-lain soal yang kecil saja! Soal perempuan seluruhnya, posisi perempuan seluruhnya di dalam masyarakat, – itulah yang harus mendapat perhatian sentral, itulah yang harus kita fikirkan dan pecahkan, agar supaya posisi perempuan di dalam Republik Indonesia bisa kita susun sesempurna-sempurnanya.

Jadi: baik buat fihak yang meneropong soal perempuan dengan teropong fiqh Islam, maupun buat fihak yang meneropong soal ini dengan teropong Rasionalisme belaka, soal ini haruslah masih dipandang sebagai satu soal yang masih perlu kita pecahkan. Dipecahkan, difikirkan, dibolak-balikkan, bukan saja oleh kaum perempuan kita, tetapi juga oleh kaum laki-laki kita, oleh karena soal perempuan adalah memang satu soal masyarakat yang teramat penting. Dan tidakkah Nabi Muhammad s.a.w. pernah bersabda, bahwa:

"Perempuan itu tiang negeri. Manakala baik perempuan, baiklah negeri. Manakala rusak perempuan, rusaklah negeri"?

Kaum laki-laki, marilah kita ikut memikirkan soal perempuan ini! Dan marilah kita memikirkan soal perempuan ini bersama-sama dengan kaum perempuan!

Sebab di dalam masyarakat sekarang ini, saya melihat bahwa kadang-kadang kaum laki-laki terlalu main Yang Dipertuan di atas soal-soal yang mengenai kaum perempuan. Dia, kaum laki-laki, dia lah kadang-kadang merasa dirinya diserahi memikirkan dan memecahkan soal-soal semacam ini, dia lah kadang-kadang merasa dirinya cukup bijaksana untuk mengambil keputusan, – sedang kaum perempuan tidak diajak ikut bicara, dan disuruh terima saja apa yang diputuskan oleh kaum laki-laki itu. Tidakkah misalnya janggal, bahwa soal tabir di dalam rapat, yang dulu saya persembahkan ke dalam pertimbangan para pemimpin, diputuskan oleh satu majelis laki-laki saja, sedang fihak perempuan tidak ditanya pendapatnya sama sekali?

Sesungguhnya, kita harus belajar insyaf, bahwa soal masyarakat dan negara adalah soal laki-laki dan perempuan, soal perempuan dan laki-laki. Dan soal perempuan adalah satu soal masyarakat dan negara. Nanti, jikalau pembaca telah membaca uraian saya lebih lanjut, maka pembaca akan mengerti, bahwa soal perempuan bukanlah soal buat kaum perempuan saja, tetapi soal masyarakat, soal perempuan dan laki-laki. Dan sungguh, satu soal masyarakat dan negara yang amat penting!

Dan oleh karena soal perempuan adalah soal masyarakat, maka soal perempuan adalah sama tuanya dengan masyarakat; soal perempuan adalah sama tuanya dengan kemanusiaan. Atau lebih tegas: soal laki-laki-perempuan adalah sama tuanya dengan kemanusiaan. Seyak manusia hidup di dalam gua-gua dan rimba-rimba dan belum mengenal rumah, sejak "zaman Adam dan Hawa", kemanusiaan itu pincang, terganggu oleh soal ini. Manusia zaman sekarang mengenal "soal perempuan", manusia zaman purbakala mengenal "soal laki-laki". Sekarang kaum perempuan duduk di tingkatan bawah, di zaman purbakala kaum laki-laki lah duduk di tingkatan bawah. Sekarang kaum laki-laki yang berkuasa, di zaman purbakala kaum perempuan lah yang berkuasa. Kemanusiaan, di atas lapangan soal laki-laki-perempuan, selalu pincang. Dan kemanusiaan akan terus pincang, selama saf yang satu menindas saf yang lain. Harmoni hanyalah dapat tercapai, kalau tidak ada saf satu di atas saf yang lain, tetapi dua "saf" itu sama derajat, – berjajar – yang satu di sebelah yang lain, yang satu memperkuat kedudukan yang lain.

Tetapi masing-masing menurut kodratnya sendiri. Sebab siapa melanggar kodrat alam ini, ia akhirnya niscaya digilas remuk-redam oleh Alam itu sendiri. Alam benar adalah "sabar", Alam benar tampaknya diam, – tetapi ia tak dapat diperkosa, ia tak mau diperkosa.

Ia tak mau ditundukkan.

Ia menurut kata Vivekananda adalah "berkepala batu"!

BAB II: LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

sunting

Allah telah berfirman, bahwa Ia membuat segala hal berpasang-pasangan. Firman ini tertulis dalam surat Yasin ayat 36:l

"Maha mulia lah Dia, yang menjadikan segala sesuatu berpasang-pasangan";

dalam surat Az-Zuchruf ayat 1.2:

"Dan Dia yang menjadikan segala hal berpasang-pasangan dan membuat bagimu perahu-perahu dan ternak, yang kamu tunggangi";

dalam surat Adz-Dzariyat ayat 49:

"Dan dari tiap-tiap barang kita membuat pasang-pasangan, agar supaya kamu ingat". Perhatikan: Segala barang, segala hal.

Jadi bukan saja manusia berpasang-pasangan, bukan saja kita ada lelakinya dan ada wanitanya.

Binatang ada jantannya, bunga-bungapun ada lelakinya dan perempuannya, alam ada malamnya dan siangnya -, barang-barang ada kohesinya dan adhesinya, tenaga-tenaga ada aksinya dan reaksinya, elektron-elektron ada positifnya dan negatifnya, segala kedudukan ada these dan anti-thesenya.

Ilmu yang maha hebat, yang maha mengagumkan ini telah keluar dari Mulutnya Muhammad s.a.w. ditengah-tengah padang pasir, beratus-ratus tahun sebelum di Eropa ada maha-guru maha-guru sebagai Maxwell, Pharaday, Nicola Tesla, Descartes, Hegel, Spencer, atau William Thompson.

Maha bijaksanalah Mulut yang mengikrarkan perkataan-perkataan itu, maha hikmatlah isi yang tercantum di dalam perkataan-perkataan itu! Sebab di dalam beberapa perkataan itu saja termaktublah segala sifat dan hakekat alam!

Alam membuat manusia berpasang-pasangan. Laki-laki tak dapat ada jika tak ada perempuan, perempuan tak dapat ada jika tak ada laki-laki. Laki-laki tak dapat hidup normal dan subur tak dengan perempuan, perempuan pun tak dapat hidup normal dan subur tak dengan laki-laki. Olive Schreiner, seorang idealis perempuan bangsa Eropa, di dalam bukunya "Drie dromen in de Woestijn", pernah memperlambangkan lelaki dan perempuan itu sebagai dua makhluk yang terikat satu kepada yang lain oleh satu tali gaib, satu "tali hidup", – begitu terikat yang satu kepada yang lain, sehingga yang satu tak dapat mendahului selangkah-pun kepada yang lain, tak dapat maju setapakpun dengan tidak membawa juga kepada yang lain. Olive Schreiner adalah benar: Memang begitulah keadaan manusia! Bukan saja laki dan perempuan tak dapat terpisah satu daripada yang lain, tetapi juga tiada masyarakat manusia satupun dapat berkemajuan, kalau laki-perempuan yang satu tidak membawa yang lain. Karenanya, janganlah masyarakat laki-laki mengira, bahwa ia dapat maju dan subur, kalau tidak dibarengi oleh kemajuan masyarakat perempuan pula.

Janganlah laki-laki mengira, bahwa bisa ditanam sesuatu kultur yang sewajar-wajarnya kultur, kalau perempuan dihinakan di dalam kultur itu. Setengah ahli tarikh menetapkan, bahwa kultur Yunani jatuh, karena perempuan dihinakan di dalam kultur Yunani itu. Nazi Jerman jatuh, oleh karena di Nazi Jerman perempuan dianggap hanya baik buat Kirche-Kiiche-Kleider-Kinder. Dan semenjak kultur masyarakat Islam (bukan agama Islam!) kurang menempatkan kaum perempuan pula ditempatnya yang seharusnya, maka matahari kultur Islam terbenam, sedikit-sedikitnya suram!

Sesungguhnya benarlah perkataan Charles Fourrier kalau ia mengatakan, bahwa tinggi rendahnya tingkat kemajuan sesuatu masyarakat, adalah ditetapkan oleh tinggi rendahnya tingkat kedudukan perempuan di dalam masyarakat itu. Atau, benarlah pula perkataan Baba O’lllah, yang menulis, bahwa "laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung". Jika dua sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai puncak udara yang setinggi-tingginya; jika patah satu daripada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu samasekali.

Perkataan Baba O’lllah ini sudah sering kali kita baca.

Tetapi walaupun perkataannya itu hampir basi, – kebenarannya akan tinggal ada, buat selama-lamanya.

Jadi: laki-laki dan perempuan menetapkan sifat hakekat masing-masing. Tali hidup yang ditamsilkan oleh Olive Schreiner itu, bukan tali hidup sosial saja, bukan tali hidup yang karena bersatu rumah atau bersatu piring nasi saja. Lebih asli daripada pertalian perumahan yang satu dan piring nasi yang satu, adalah tali hidupnya kodrat alam sendiri. Tali hidup "sekse"! Laki-laki tak dapat subur jika tak ada tali sekse ini, perempuan pun tak dapat subur jika tak ada tali sekse ini. Dan bukan tali sekse yang tali seksenya fungsi biologis saja, tapi juga tali seksenya jiwa. Tiap-tiap sundal yang setiap hari barangkali menjual tubuhnya lima atau sepuluh kali, mengetahui, bahwa "tubuh" masih lain lagi daripada "jiwa". Dengan menjual tubuh yang sampai sekian kali setiap hari itu, masih banyak sekali sundal yang dahaga kepada cinta. Tali sekse jasmani dan tali sekse rohani, – itulah satu bagian dari "tali hidup" yang dimaksudkan oleh Olive Schreiner, yang mempertalikan laki-laki dan perempuan itu. Memang tali sekse jasmani dan rohani inilah kodrat tiap-tiap makhluk, dus juga kodrat tiap-tiap manusia. Manakala tali sekse rohani dihilangkan dan hanya tali sekse jasmani saja yang dipuaskan, maka tidak puaslah kodrat alam itu. Pada permulaan diadakan kultur baru di Sovyet Rusia, maka ekses perhubungan antara laki-laki dan perempuan adalah keliwat. "Tali sekse" dianggap sebagai suatu keperluan tubuh saja, sebagai misalnya tubuh perlu kepada segelas air kalau tubuh itu dahaga. "Teori air segelas" ini di tahun-tahun yang mula-mula sangat laku di kalangan pemuda-pemuda di Rusia. Madame Kollontay menjadi salah seorang penganjurnya. Siapa merasa dahaga seksuil, ia mengambil air yang segelas itu; – "habis minum", sudahlah pula. Beberapa tahun lamanya teori air segelas ini laku. Tetapi kemudian ... kemudian kodrat alam bicara. Kodrat alam tidak puas dengan segelas air saja, kodrat alam minta pula minuman jiwa. Kodrat alam minta "cinta" yang lebih memuaskan cita, "cinta" yang lebih suci. Lenin sendiri gasak teori air segelas ini habis-habisan dari semulanya ia muncul. Dan sekarang orang di sana telah meninggalkan sama sekali teori itu, orang telah mendapat pengalaman, bahwa Alam tak dapat didurhakai oleh sesuatu teori.

Semua ahli-ahli fiIsafat dan ahli biologi seia-sekata, bahwa tali sekse itu adalah salah satu faktor yang terpenting, salah satu motor yang terpenting dari peri-kehidupan manusia. Di samping-nya nafsu makan dan minum, ia adalah motor yang terkuat. Di samping nafsu makan dan minum, ia menentukan perikehidupan manusia.

Malahan ahli fiIsafat Schopenhauer ada berkata: "Syahwat adalah penjelmaan yang paling keras daripada kemauan akan hidup. Keinsyafan kemauan akan hidup ini memusat kepada fi’il membuat turunan," begitulah ia berkata.

Kalau tali sekse diputuskan buat beberapa tahun saja, maka manusia umumnya menjadi abnormal. Lihatlah keadaan di dalam penjara, baik penjara buat orang laki-laki, maupun penjara buat orang perempuan. Dua kali saya pernah meringkuk agak lama dalam penjara, dan tiap-tiap kali yang paling mendirikan bulu saya ialah keabnormalan manusia-manusia di dalam penjara itu. Percakapan-percakapan menjadi abnormal, tingkah laku menjadi abnormal. Sering saya melihat orang-orang di dalam penjara, yang seperti seperempat gila! Laki-laki mencari kepuasan kepada laki-laki, dan direksi terpaksa memberi hukuman yang berat-berat.

Pembaca barangkali tersenyum akan pemandangan saya yang "mentah" ini, dan barangkali malahan menyesali kementahannya. Pembaca barangkali mengemukakan nama orang-orang besar, nama Nabi Isa, nama Gandhi, nama Mazzini, yang menjadi besar, antara lain-lain karena tidak mempunyai isteri atau tidak mencampuri isteri. Ah, ... beberapa nama! Apakah artinya beberapa nama itu, jika dibandingkan dengan ratusan juta manusia biasa di muka bumi ini, yang semuanya hidup menurut kodrat alam? Kita di sini membicarakan kodrat alam, kita tidak membawa-bawa moral. Alam tidak mengenal moral, – begitulah Luther berkata. Beliau berkata lagi: "Siapa hendak menghalangi perlaki-isterian, dan tidak mau memberikan haknya kepadanya, sebagai yang dikehendaki dan dimustikan oleh alam, – ia sama saja dengan menghendaki yang alam jangan alam, yang api jangan menyala, yang air jangan basah, yang manusia jangan makan, jangan minum, jangan tidur!" Tali sekse itu memang bukan perkara moral. Tali sekse itu tidak moril, ia tidak pula immoril. Tali sekse itu adalah menurut kodrat, sebagai lapar adalah menurut kodrat, dan sebagai dahaga adalah menurut kodrat pula!

Apakah maksud saya dengan uraian .tentang tali sekse ini? Pembaca, nyatalah, bahwa baik laki-laki, maupun perempuan tak dapat normal, tak dapat hidup sebagai manusia normal, kalau tidak ada tali sekse ini. Tetapi bagaimanakah pergaulan hidup di zaman sekarang? Masyarakat sekarang di dalam hal inipun, – kita belum membicarakan hal lain-lain! – tidak adil kepada perempuan. Perempuan di dalam hal inipun suatu makhluk yang tertindas. Perempuan bukan saja makhluk yang tertindas kemasyarakatannya, tetapi juga makhluk yang tertindas ke-sekse-annya. Masyarakat kapitalistis zaman sekarang adalah masyarakat, yang membuat pernikahan suatu hal yang sukar, sering kali pula suatu hal yang tak mungkin. Pencaharian nafkah, – struggle for life – di dalam masyarakat sekarang adalah begitu berat, sehingga banyak pemuda karena kekurangan nafkah tak berani kawin, dan tak dapat kawin. Perkawinan hanyalah menjadi privilegenya (hak-lebihnya) pemuda-pemuda yang ada kemampuan rezeki sahaja. Siapa yang belum cukup nafkah, ia musti tunggu sampai ada sedikit nafkah, sampai umur tiga puluh, kadang-kadang sampai umur empat puluh tahun. Pada waktu ke-sekse-an sedang sekeras-kerasnya, pada waktu ke-sekse-an itu menyala-nyala, berkobar-kobar sampai kepuncak-puncaknya jiwa, maka perkawinan buat sebagian dari kemanusiaan adalah suatu kesukaran, suatu hal yang tak mungkin. Tetapi, ... api yang menyala-nyala di dalam jiwa laki-laki dapat mencari jalan keluar – meliwati satu "pintu belakang" yang hina -, menuju kepada perzinahan dengan sundal dan perbuatan-perbuatan lain-lain jang keji-keji. Dunia biasanya tidak akan menunjuk laki-laki yang demikian itu dengan jari tunjuk, dan berkata: cih, engkau telah berbuat dosa yang amat besar! Dunia akan anggap hal itu sebagai satu "hal biasa", yang "boleh juga diampuni". Tetapi bagi perempuan "pintu belakang" ini tidak ada, atau lebih benar: tidak dapat dibuka, dengan tak (alhamdulillah) bertabrakan dengan moral, dengan tak berhantaman dengan kesusilaan, – dengan tak meninggalkan cap kehinaan di atas dahi perempuan itu buat selama-lamanya. Jari telunjuk masyarakat hanya menuding kepada perempuan saja, tidak menunjuk kepada laki-laki, tidak menunjuk kepada kedua fihak secara adil. Keseksean laki-laki setiap waktu dapat merebut haknya dengan leluasa, – kendati masyarakat tak memudahkan perkawinan -, tetapi keseksean perempuan terpaksa tertutup, dan membakar dan menghanguskan kalbu. Perempuan banyak yang menjadi "terpelanting mizan" oleh karenanya, banyak yang menjadi putus asa oleh karenanya. Bunuh diri kadang-kadang menjadi ujungnya. Statistik Eropa menunjukkan, bahwa di kalangan kaum pemuda, antara umur 15 tahun dan 30 tahun, yakni waktu keseksean sedang sehebat-hebatnya mengamuk di kalbu manusia, lebih banyak perempuan yang bunuh diri, daripada kaum laki-laki. Jikalau diambil prosen dari semua pembunuhan diri, maka buat empat negeri di Eropa pada permulaan abad ke 20, statistik itu adalah begini:

Nama negeri Umur 15 – 20 tahun Umur 21 – 30 tahun
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
Jerman Denemarken Swiss Perancis 5,3% 4,6% 3,3% 3,5% 10,7% 8,3% 6,7% 8,2% 16 % 12,4%16,1 % 10,9% 20,2% 14,8% 21 % 14 %

Ternyatalah, bahwa di semua negeri ini lebih banyak perempuan muda bunuh diri daripada laki-laki muda.

Sebabnya? Sebabnya tak sukar kita dapatkan. Keseksean yang terhalang, cinta yang tak sampai; kehamilan yang rahasia, itulah biasanya yang menjadi sebab.

Adakah keadaan di negeri kita berlainan? Di sini tidak ada statistik bunuh diri, tapi saya jaminkan kepada tuan: enam atau tujuh daripada sepuluh kali tuan membaca khabar seorang pemuda bunuh diri di surat-surat khabar, adalah dikerjakan oleh pemuda perempuan. Di dalam masyarakat sekarang, perempuan yang mau hidup menurut kodrat alam tak selamanya dapat, karena masyarakat itu tak mengasih kemungkinannya. Di beberapa tempat di Sumatera Selatan saya melihat "gadis-gadis tua", yang tak dapat perjodoan, karena adat memasang banyak-banyak "rintangan, misalnya uang-antaran yang selalu terlalu mahal, kadang-kadang sampai ribuan rupiah. Roman mukanya gadis-gadis itu seperti sudah tua, padahal mereka ada yang baru berumur 25 tahun, 30 tahun, 35 tahun. Di daerah Indonesia yang lain-lain, saya melihat perempuan-perempuan yang sudah umur 40 atau 45 tahun, tetapi yang roman-mukanya masih seperti muda-muda. Adakah ini oleh karena perempuan-perempuan di lain-lain tempat itu barangkali lebih cakap "make-up" – nya daripada perempuan di beberapa tempat di Sumatera Selatan itu? Lebih cakap memakai bedak, menyisir rambut, memotong baju, mengikatkan sarung? Tidak, sebab perempuan di tempat-tempat yang saya maksudkan itupun tahu betul rahasianya bedak, menyisir rambut, memotong baju dan mengikatkan kain.

Tetapi sebabnya "muka tua" itu ialah oleh karena mereka terpaksa hidup sebagai "gadis tua", – tak ada suami, tak ada teman hidup, tak ada kemungkinan menemui kodrat alami. Di dalum bukunya tentang soal perempuan, August Bebel mengutip perkataan Dr.H.Plosz yang mengatakan, bahwa sering ia melihat, betapa perempuan-perempuan yang sudah hnmpir peyot lantas seakan-akan menjadi muda kembali, kalau mereka itu mendapat suami. "Tidak jarang orang melihat bahwa gadis-gadis yang sudah layu atau yang hampir-hampir peyot, kalau mereka mendapat kesempatan bersuami, tidak lama sesudah perkawinannya itu lantas menjadi sedap kembali bentuk-bentuk badannya, merah kembali pipi-pipinya, bersinar lagi sorot matanya. Maka oleh knrena itu, perkawinan boleh dinamakan sumber ke-muda-an yang sejati bagi kaum perempuan", begitulah kata Dr. Plosz itu.

Tetapi kembali lagi kepada apa yang saya katakan tadi: masyarakat kapitalistis yang sekarang ini, yang menyukarkan sekali struggle for life bagi kaum bawahan, yang di dalamnya amat sukar sekaIi orang mencari nafkah, masyarakat sekarang ini tidak menggampangkan pernikahan antura laki-laki dan perempuan. Alangkah baiknya sesuatu masyarakat yang mengasih kesempatan nikah kepada tiap-tiap orang yang mau nikah! Orang pernah tanya kepada saya: Bagaimanakah rupanya masyarakat yang tuan cita-citakan?" Saya menjawab: "Di dalam masyarakat yang saya cita-citakan itu, tiap-tiap orang lelaki bisa mendapat isteri, tiap-tiap orang perempuan bisa mendapat suami".

Ini terdengarnya mentah sekaIi, tuan barangkali akan tertawa atau mengangkat pundak tuan, tetapi renungkanlah hal itu sebentar dengan mengingat keterangan saya di atas tadi, dan kemudian katakanlah, apa saya tidak benar? Di dalam masyarakat yang struggle for life tidak seberat sekarang ini, dan di mana pernikahan selalu mungkin, di dalam masyarakat yang demikian itu, niscaya persundalan boleh dikatakan lenyap, prostitusi menjadi "luar biasa" dan bukan satu kanker sosial yang permanen yang banyak korbannya. Prof. Rudolf Eisler di dalam buku kecilnya tentang sosiologi pernah menulis tentang persundalan ini: "Keadaan sekarang ini hanyalah dapat menjadi baik kalau peri-kehidupan ekonomi menjadi baik, dan mengasih kesempatan kepada laki-laki akan menikah pada umur yang lebih muda, dan mengasih kesempatan kepada perempuan-perempuan yang tidak nikah, buat mencari nafkah sonder pencaharian-pencaharian tambahan yang merusak kehormatan".

Pendek kata: pada hakekat yang sedalam-dalamnya, soal perhubungan antara laki-laki dan perempuan, jadi sebagian daripada "soal perempuan" pula, bolehlah kita kembalikan kepada pokok yang saya sebutkan tadi: yakni soal dapat atau tidak dapat haknya keseksean, soal dapat atau tidak dapat alam bertindak sebagai alam. Di mana alam ini mendapat kesukaran, di mana alam ini dikurangi haknya, di situlah soal ini menjadi genting. Saya tidak ingin kebiadaban, saya tidak ingin tiap-tiap manusia mengumbar hantam-kromo saja meliwat-bataskan ke-sekse-annya, saya cinta kepada ketertiban dan peraturan, saya cinta kepada hukum, yang mengatur perhubungan laki-perempuan di dalam pernikahan menjadi satu hal yang luhur dan suci, tetapi saya kata, bahwa masyarakat yang sekarang ini di dalam hal ini tidak adil antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki minta haknya menurut kodrat alam, perempuan pun minta haknya menurut kodrat alam. Ditentang haknya menurut kodrat alam ini tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan. Tapi, dari masyarakat sekarang, lelaki nyata mendapat hak yang lebih, nyata mendapat kedudukan yang lebih menguntungkan. Sebagai makhluk perseksean, sebagai geslachtswezen, perempuan nyata terjepit, sebagaimana ia sebagai makhluk masyarakat atau makhluk sosial juga terjepit. Laki-laki hanya terjepit sebagai makhluk sosial saja di dalam masyarakat sekarang ini, tapi perempuan adalah terjepit sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk perseksean.

Alangkah baiknya masyarakat yang sama adil di dalam hal ini.

Yang sama adil pula di dalam segala hal yang lain-lain.

Saya akui, adalah perbedaan yang fundamentil antara lelaki dan perempuan. Perempuan tidak sama dengan laki-laki, laki-laki tidak sama dengan perempuan. Itu tiap-tiap hidung mengetahui-nya. Lihatlah perbedaan antara tubuh perempuan dengan tubuh laki-laki; anggauta-anggautanya lain, susunan anggautanya lain, fungsi-fungsi anggautanya (pekerjaannya) lain. Tetapi perbedaan bentuk tubuh dan susunan tubuh ini hanyalah untuk kesempurnaan tercapainya tujuan kodrat alam, yaitu tujuan mengadakan turunan, dan memelihara turunan itu.

Untuk kesempurnaan tercapainya tujuan alam ini, maka alam mengasih anggota-anggota tubuh yang spesial untuk fungsi masing-masing. Dan hanya untuk kesempurnaan tercapainya tujuan kodrat alam ini, alam mengasih fungsi dan alat-alat "kelaki-lakian" kepada laki-laki, dan mengasih fungsi serta alat-alat "keperempuanan" kepada perempuan: Buat laki-laki: memberi dzat anak; buat perempuan: menerima dzat anak, mengandung anak, melahirkan anak, menyusui anak, memelihara anak. Tetapi tidaklah perbedaan-perbedaan ini harus membawa perbedaan-perbedaan pula di dalam peri-kehidupan perempuan dan laki-laki sebagai makhluk masyarakat.

Sekali lagi: ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Tetapi sekali lagi pula saya ulangi di sini, bahwa perbedaan-perbedaan itu HANYALAH karena dan untuk tujuan kodrat alam, yakni HANYA-LAH karena dan untuk tujuan perlaki-isterian dan peribuan saja. Dan sebagai tadi saya katakan, kecuali perbedaan tubuh, untuk hal ini adalah perbedaan psikhis pula antara laki-laki dan perempuan, yakni perbedaan jiwa. Professor Heymans, itu ahli jiwa yang kesohor, yang mempelajari jiwa perempuan dalam-dalam, mengatakan, bahwa perempuan itu, untuk terlaksananya tujuan kodrat alam itu, adalah melebihi laki-laki di lapangan "emotionalitas" (rasa terharu), "aktivitas" (kegiatan), dan "kharitas" (kedermawaan). Perempuan lebih lekas tergoyang jiwanya daripada laki-laki, lebih lekas marah tetapi juga lebih lekas cinta lagi daripada laki-laki, lebih lekas kasihan, lebih lekas "termakan" oleh kepercayaan, lebih ikhlas. dan kurang serakah, lebih lekas terharu, lebih lekas meng-idealisirkan orang lain, lebih boleh dipercaya, lebih gemar kepada anak-anak dan perhiasan, dan lain sebagainya. Semuanya ini mengenai jiwa. Tetapi anggapan orang, bahwa perempuan itu akalnya kalah dengan laki-laki, ketajaman otaknya kalah dengan laki-laki, anggapan orang demikian itu dibantah oleh Prof. Heymans itu dengan tegas dan jitu: "Menurut pendapat saya, kita tidak mempunyai hak sedikitpun, buat mengatakan, bahwa akal perempuan kalah dengan akal laki-laki"...

Tiap-tiap guru dapat membenarkan perkataan Profesor Heymans ini. Saya sendiri waktu menjadi murid di H.B.S. mengalami, bahwa seringkali murid lelaki "payah" berlomba kepandaian dengan teman-teman perempuan dan malahan pula sering-sering "terpukul" oleh teman-teman perempuan itu. Pada waktu saya menjadi guru di sekolah menengah pun saya mendapat pengalaman, bahwa murid-murid saya yang perempuan umumnya tak kalah dengan murid-murid saya yang laki-laki. Profesor Freundlich, itu tangan kanannya Profesor Einstein di dalam ilmu bintang yang pada tahun 1929 mengunjungi Indonesia, dan kemudian menjadi maha guru di sekolah tinggi Istambul di dalam mata pelajaran itu pula, menerangkan, bahwa studen-studennya yang perempuan tak kalah dengan studen-studen laki-laki "Mereka selamanya boleh diajak memutarkan otaknya di atas soal-soal yang maha sukar". Profesor O’Conroy yang dulu menjadi maha guru di Universitas Keio di Tokyo, menceritakan di dalam bukunya tentang negeri Nippon, bahwa di Nippon selalu diadakan ujian-ujian perbandingan (vergelijkende examens) antara lelaki dan perempuan oleh kantor-kantor gubernemen atau kantor-kantor dagang yang besar-besar, dan bahwa selamanya kaum perempuan nyata lebih unggul daripada kaum laki-laki.

Ada-ada saja alasan yang orang cari buat "membuktikan", bahwa kaum perempuan "tak mungkin" menyamai (jangan lagi melebihi!) kaum laki-laki ditentang ketajaman otak. Orang katakan, bahwa otak perempuan kalah banyaknya dengan otak laki-laki! Orang lantas keluarkan angka-angka hasil penyelidikan ahli-ahli, seperti Bischoff, seperti Boyd, seperti Marchand, seperti Retzius, seperti Grosser. Orang lantas membuat daftar sebagai di bawah ini:

Berat otak rata-rata:

Menurut penyelidikannya Laki-laki Perempuan
Bischoff Boyd Marchand Retzius Grosser 1362 gram 1325 "1399 "1388 “1388 " 1219 gram 1183 “1248 "1252 "1252 "

Nah, kata mereka, mau apa lagi? Kalau ambil angka-angka Retzius dan Grosser, maka otak laki-laki rata-rata beratnya 1.388 gram, dan otak perempuan rata-rata 1.252 gram! Mau apa lagi? Tidakkah ternyata laki-laki lebih banjak otaknya daripada perempuan?

Ini jago-jago kaum laki-laki lupa, bahwa tubuh laki-laki juga lebih berat dan lebih besar daripada tubuh perempuan! Berhubungan dengan lebih besarnya tubuh laki-laki itu, maka Charles Darwin yang termasyhur itu berkata: "Otak laki-laki memang lebih banyak dari otak perempuan. Tetapi, jika dihitung dalam perbandingan dengan lebih besarnya badan laki-laki, apakah otak laki-laki itu benar lebih besar?" Kalau dihitung di dalam perbandingan dengan beratnya tubuh, maka ternyatalah (demikianlah dihitung) bahwa otak perempuan adalah rata-rata 23,6 gram per kg. tubuh, tetapi otak laki-laki hanya ... 21,6 gram per kg. tubuh! Jadi kalau betul ketajaman akal itu tergantung dari banyak atau sedikitnya otak, kalau betul banyak-sedikitnya otak menjadi ukuran buat tajam atau tidak-tajamnya fikiran maka perempuan musti selalu lebih pandai dari kaum laki-laki!

Ya, kalau betul ketajaman akal tergantung dari banyak sedikitnya otak! Tetapi bagaimana kenyataan? Bagaimana hasil penyelidikan otaknya orang-orang yang termasyhur sesudah mereka mati? Ada ahli-ahli fikir yang banyak otaknya, tetapi ada pula harimau-harimau fikir yang tidak begitu banyak otaknya! Cuvier, itu ahli fikir, otaknya 1.830 gram, Byron itu penyair besar, 1.807 gram, Mommsen 1.429,4 gram, tetapi gembong ilmu hitung Gausz hanya 1.492 gram, ahli faIsafah Hermann hanya 1.358 gram, (di bawah "nomor"!), gajah faIsafah dan ilmu hitung Leibniz hanya 1.300 gram (di bawah "nomor"!), jago phisica Bunsen hanya 1.295 gram (di bawah "nomor"!), kampiun politik Perancis Gambetta hanya 1.180 gram (malahan di bawah "nomor-perempuan" sama sekali!).

Sebaliknya, Broca, itu ahli fisiologi Paris yang termasyhur, pernah mengukur isi tengkorak-tengkorak manusia dari Zaman Batu, – dari zaman tatkala manusia masih biadab dan bodoh! – dan ia mendapat hasil rata-rata 1.606 cms, satu angka yang jauh lebih tinggi daripada angka-angka isi tengkorak dari zaman sekarang. Malahan teori "lebih banjak otak lebih pandai" ini ternyata pula menggelikan, sebab Bischoff pernah menimbang otak mayat seorang kuli biasa, – tentu seorang-orang bodoh -, dan dia mendapat record 2.222 gram!, sedang Kohlbrugge berkata, bahwa "otak orang-orang yang gila atau idioot sering sekali sangat berat"! Dari mana orang masih mau tetap menuduh bahwa orang perempuan kurang tajam fikiran, karena orang perempuan kurang banyak otaknya kalau dibandingkan dengan orang laki-laki?

Tidak, "alasan otak" ini adalah alasan kosong. "Alasan otak" ini sudah lama dibantah, dihantam, dibinasakan oleh ilmu pengetahuan! Bebel di dalam bukunya mengumpulkan ucapan-ucapan ahli wetenschap tentang "alasan otak" ini. Raymond Pearl berkata: "Tidak ada satu bukti, bahwa antara ketajaman akal dan beratnya otak ada perhubungan satu dengan yang lain"; Duckworth menetapkan: "Tidak ada bukti, bahwa manusia yang banyak otaknya itu tentu orang yang tajam akal"; dan Kohlbrugge menulis pula: "Antara ketajaman akal dan beratnya otak tidak ada pertalian apa-apa". Dan tidakkah ada cukup bukti, bahwa perempuan sama tajam fikirannya dengan kaum laki-laki, sebagai dikatakan oleh Profesor Heymans, Prof. Freundlich, Profesor O’Conroy itu tadi, dan boleh ditambah lagi dengan berpuluh-puluh lagi keterangan ahli-ahli lain yang mengakui hal ini, kalau kita mau? Tidakkah kita sering mendengar nama perempuan-perempuan yang menjadi bintang ilmu pengetahuan atau politik, sebagai Madame Curie, Eva Curie, Clara Zetkin, Henriette Roland Holst, Sarojini Naidu, dll?

Tuan barangkali akan membantah, bahwa jumlah perempuan-perempuan kenamaan itu belum banyak, dan bahwa di dalam masyarakat sekarang kebanyakannya kaum laki-lakilah yang memegang obor ilmu pengetahuan dan faIsafah dan politik. Benar sekali, tuan-tuan: Di dalam masyarakat sekarang! Benar sekali: di dalam masyarakat sekarang ini, di mana laki-laki mendapat lebih banyak kesempatan buat menggeladi akal-fikirannya, maka kaum laki-lakilah yang kebanyakan menduduki tempat-tempat kemegahan ilmu dan pengetahuan. Di dalam masyarakat sekarang ini, di mana kaum perempuan banyak yang masih dikurung, banyak yang tidak dikasih kesempatan maju ke muka di lapangan masyarakat, banyak yang baginya diharamkan ini dan diharamkan itu, maka tidak heran kita, bahwa kurang banyak kaum perempuan yang ilmu dan pengetahuannya membubung ke udara. Tapi ini tidak menjadi bukti bahwa dus kwalitas otak perempuan itu kurang dari kwalitas otak kaum lelaki, atau ketajaman otak perempuan kalah dengan ketajaman otak laki-laki. Kwalitasnya sama, ketajamannya sama, kemampuannya sama, hanya kesempatan bekerjanya yang tidak sama, kesempatan berkembangnya yang tidak sama. Maka oleh karena itu, justru dengan alasan kurang dikasihnya kesempatan oleh masyarakat sekarang kepada kaum perempuan, maka kita wajib berikhtiar membongkar ketidak-adilan masyarakat terhadap kepada kaum perempuan itu!

Bahkan terhadap fungsi kodrat dari kaum perempuan yang kita bicarakan tadi itu, yakni fungsi menjadi ibu, menerima benih anak, mengandung anak, melahirkan anak, menyusui anak, memelihara anak, – terhadap fungsi kodrat inipun dunia laki-laki masih kurang menghargakan kaum perempuan! Orang laki-laki membusungkan dadanya, seraya berkata-kita, kaum laki-laki kita maju ke padang peperangan, kita berani menghadapi bahaya- bahaya yang besar. "Apakah yang perempuan perbuat?" Orang laki-laki mengagul-agulkan kelaki-lakiannya menghadapi maut, mengagul-agulkan jumlah jiwa laki-laki yang mati guna keperluan sejarah, seraya berkata: "Bahaya apakah yang perempuan hadapi?" Orang lelaki yang demikian ini tidak mengetahui, bahwa dulu di zaman purbakala, tatkala hukum masyarakat belum seperti sekarang ini, ialah di dalam zaman "hukum per-ibuan" alias matriatchat, – yang di dalam Bab III dan. IV akan saya terangkan panjang lebar -, kaum perempuan-lah yang mengemudi masyarakat, kaum perempuanlah yang kuasa, kaum perempuanlah yang mengepalai peperangan, kaum perempuanlah memanggul senjata, kaum perempuanlah mengorbankan jiwanya guna sejarah. Dan lagi ... apakah benar peperangan lebih berbahaya daripada melahirkan anak? Apakah benar peperangan minta lebih banyak korban daripada melahirkan anak? Tiap-tiap ibu dapat menerangkan, bahwa melahirkan anak itulah yang sangat berbahaya di sepanjang hidup seseorang manusia. Tiap-tiap ibu pernah menghadapi maut sedikitnya satu kali dalam hidupnya, yakni pada waktu melahirkan anak, sudahkah kita pernah berhadap-hadapan muka dengan maut itu, sudahkah kita pernah merasakan nafasnya maut yang dingin itu menyilir di muka kita?

Terutama di negeri-negeri yang belum besar usaha kedokteran, seperti di Eropa di zaman dulu, atau di Asia di zaman sekarang, tidak sedikit jumlah perempuan yang jatuh di atas padang kehormatan melahirkan anak. Dulu di negeri Pruisen saja, (perhatikanlah, belum Jerman seluruhnya) antara tahun 1816 dan 1876, pada waktu ilmu kedokteran sudah mulai subur, jumlah perempuan yang meninggal karena melahirkan anak adalah 321.791 orang, – yakni rata-rata 5.363 setahun-tahunnya! Jumlah ini di negeri Inggeris antara tahun 1.847 dan 1.901 adalah 213.533, yakni, kendati waktu itu ilmu dan ikhtiar kedokteran telah maju pula, tak kurang dari 4.000 setahun tahunnya! "Coba orang laki-laki musti menanggung sengsara seperti perempuan ini, maka barangkali segala apa diributkan untuk menolongnya!", begitulah kata Profesor Herff. Di Eropa, jumlah-jumlah itu sekian besarnya! Betapa pula di kampung-kampung dan di dusun-dusun kita, di mana dokter belum dikenal orang! Betapa pula keadaan di kalangan Sarinah! Maka benar sekali konklusi August Hebel, kalau ia mengatakan, bahwa di dalam sejarah manusia ini, kalau dijumlahkan, lebih banyak perempuan melepaskan jiwanya di atas padang kehormatan melahirkan bayi, dari pada laki-laki melepaskan jiwanya di atas padang kehormatan peperangan.

Orang laki-laki! Ia selalu menghina saja kepada kaum perempuan. Ia mentertawakan perempuan yang hamil, ia meremehkan arti melahirkan bayi, ia tak ingat bahwa ia sendiri adalah hasil dari kesengsaraan dan kepedihan ibunya yang bertahun-tahun. "Bagi dia, bagi laki-laki";- begitulah Edward Carpenter, seorang pembela perempuan di negeri Inggeris, berkata – "bagi laki-laki maka persetubuhan itu adalah satu peringanan dan satu kenikmatan. Ia kemudian pergi, dan tidak ingat lagi akan perbuatannya itu. Tetapi buat perempuan fi’il ini adalah satu hal yang paling mulia dan paling berarti di dalam hidupnya, laksana satu perintah yang maha rahasia dan maha penting. Bagi perempuan, fi’il ini adalah satu perbuatan yang banyak akibat-akibatnya, satu perbuatan yang ia tak dapat hapuskan lagi atau lupakan lagi, – satu perbuatan yang ia terpaksa selesaikan dulu dengan segala akibat-akibatnya, sebelum ia bisa merdeka lagi ... Hanya sedikit kaum laki-laki, barangkali tidak ada seorangpun, yang insyaf akan dalamnya dan sucinya rasa-ibu di dalam kalbu seorang perempuan, tidak seorangpun yang ikut merasakan kebahagiaannya dan harapan-harapannya, atau keluh-kesahnya dan ketakutannya yang maha pedih. Bebannya kehamilan, kekhawatirannya pada waktu melihat, bahwa apa yang dikandungnya itu selalu berobah sifat; ketakutannya, kalau-kalau apa yang dikandungnya itu tidak selamat seperti yang diharap-harapkannya, keridlaannya buat kalau perlu menebus dengan jiwanya sendiri, asal saja si bayi itu bisa lahir dengan selamat, semua adalah hal-hal yang orang laki-laki tak dapat mengira-ngirakan atau meraba-rabakan. Kemudian, kemudian daripada itu, pengorbanan yang ibu itu kasihkan buat keselamatan sianak kecil; keletihan dan kepayahan yang bertahun-tahun, yang semasekali mendorong ke belakang segala fikiran-fikiran akan kesenangan diri sendiri serta rasa cinta dan rasa kasih, yang tak pernah orang dapat nilaikan dan hargakan betul ... dan kemudian lagi, rasa pilu dan rasa sunyi kalau nanti anak laki-laki dan anak perempuan itu masuk ke dunia ramai dan memutuskan tali perhubungan dengan rumah tangga. Di sini tali-tali kekeluargaan itu diputuskan, sebagaimana dulu tali ari-ari diputuskan pula. Buat segala hal yang sedih-sedih ini, perempuan tak boleh mengharap akan dapat rasa simpati dari fihak kaum laki-laki".

Begitulah perkataan Edward Carpenter. Moga-moga Allah melimpahkan rakhmad kepada semua ibu-ibu di dunia, yang semuanya, satu-persatu dilupakan orang. Moga-moga Allah limpahkan rakhmad kepada pembuat-pembuat kemanusiaan itu, kepada ini "Bouwsters der Menschheid" yang semuanya tidak ada yang minta dibalas jasa, tidak ada yang minta dibalas budi. Dan moga-moga Allah bukakan mata kita semua, agar supaya kita lebih menghormati dan menghargai kaum perempuan itu!

Janganlah kaum laki-laki lupa, bahwa sifat-sifat yang kita dapatkan sekarang pada kaum perempuan itu, dan membuat kaum perempuan itu menjadi dinamakan "kum lemah", "kaum bodo", "kaum singkat pikiran", "kum nerimo", dan lain-lain bukanlah sifat-sifat yang karena kodrat ada terlekat pada kaum perempuan, tetapi adalah buat sebagian besar hasilnya pengurungan dan perbudakan kaum perempuan yang turun-temurun, beratus tahun, beribu tahun. Di zaman dulu, sebagai saya katakan tadi, di zamannya matriarchat yang nanti di dalam Bab III dan IV akan saya terangkan lebih jelas, di zaman dulu itu sifat-sifat kelemahan itu tidak ada. Ilmu pegetahuan yang modern telah menetapkan pengaruh keadaan (milieu) di atas jasmani dan rohani manusia. Apa sebab kaum kuli dan tani badannya umumnya lebih besar dan kuat daripada kaum "atasan"? Oleh karena milieu kuli adalah mengasih kesempatan kepada badan si kuli itu untuk menjadi besar dan menjadi kuat. Apa sebab perempuan-perempuan kuli lebih kuat dan besar dari perempuan kaum "atasan"? Oleh karena milieu perempuan kuli adalah lain daripada milieu perempuan kaum atasan. Apa sebab bangsa-bangsa negeri dingin tabiatnya lebih dinamis, lebih giat, lebih ulet daripada bangsa-bangsa di negeri panas? Oleh karena milieu di negeri dingin memaksa kepada manusia supaya sangat giat di dalam struggle for life, sedang di negeri panas seperti misalnya di Indonesia sini manusia bisa hidup dengan setengah menganggur, – dengan tak berbaju, tak berumah, dengan tak usah banyak membanting tulang. H.H.Van Kol di dalam bukunya tentang negeri Nippon menerangkan, bahwa bangsa Nippon di zaman yang akhir-akhir ini adalah kurang cebol daripada dulu (kakinya menjadi lebih panjang dengan rata-rata 2 cm!), sesudah orang Nippon itu banyak meniru milieu Eropah, yakni duduk di atas kursi.

Maka begitu jugalah ada akibat milieu atas kaum perempuan. Dulu kaum perempuan tidak lemah-lemah badan seperti sekarang ini; dulu kaum perempuan sigap-sigap badan perawak-annya, jauh berbeda dengan badan-badan ramping dari misalnya puteri-puteri priyantun zaman sekarang.

Dulu perempuan-perempuan adalah cerdik dan tajam otaknya, lebar dan luas penglihat-annya, ulet dan besar tenaganya, menaklukkan kaum laki-laki, yang seakan-akan "mengambing saja di belakang mereka", sebagai ternyata buktinya dibanyak sejarah-sejarah. Dulu di zaman matriarchat perempuan-perempuan menjadi raja, menjadi panglima perang, menjadi ketua di rapat-rapat, menjadi kepala rumah tangga, menjadi prajurit, menjadi hakim, menjadi kepala agama. Dulu kaum perempuan tidak banyak berbedaan dengan kaum laki-laki, ya malahan ditentang beberapa sifat-sifat melebihi kaum laki-laki, mengalahkan kaum laki-laki.

Dan di zaman sekarangpun, di zaman kita ini, dapatlah kita tunjukkan, bahwa pada bangsa-bangsa, yang perempuannya tidak tertindas dan terkurung, kaum perempuan itu sigap-sigap badan, tangkas-tangkas gerak, perkasa-perkasa tabiat dan perangainya, cerdik dan luas fikirannya. Havelock Ellis memberi tahukan keterangannya Johnstone yang lama bergaul dengan bangsa-bangsa Andombies di Afrika, bahwa perempuan-perempuan Andombies itu kerja berat tetapi senang hidupnya, dan bahwa "seringkali mereka lebih kuat dari laki-lakinya, lebih subur, dan bentuk-bentuk badannya sigap dan menarik hati".

Dan tentang bangsa Manymema di Afrika itu pula, Parke menceritakan, bahwa bangsa ini "makhluk-makhluk yang sigap, yang perempuan-perempuannya sangat kenes dan sama kuatnya memikul beban-beban berat dengan kaum laki-lakinya". Menurut Duveyrier maka semangat dan ketangkasan wanita-wanita Tuareg di Afrika Utara sangat menakjubkan, malah Paul Lafargue mengatakan, bahwa tubuhnya wanita Tuareg itu lebih kuat dari tubuh laki-laki. Dan menurut Hearne, maka ada satu suku bangsa Indian yang perempuan-perempuannya lebih kuat dua kali ganda dari kaum laki-lakinya! Begitu pula di bagian Papua Timur adalah menurut Schellong suku-suku, yang perempuannya lebih kuat daripada putera-putera Adamnya. Di Sentral Australia orang laki-laki kalau memukul perempuan, seringkali mendapat balasan pukulan kontan-kontanan dengan rente dari perempuan itu, sehingga "kapok" ia buat selama-lamanya. (Karena perempuannya lebih kuat). Di Cuba, dan pada bangsa Pueblo di Amerika Utara, dan di Patagonia, dan pada banyak bangsa Rus, tidak ada perbedaan yang begitu besar antara tubuh laki-laki dan tubuh perempuan! Demikianlah keterangan-keterangan Havelock Ellis, itu ahli manusia yang kesohor. Maka dengan mengingat bukti-bukti dari zaman dahulu dan zaman sekarang itu, Henriette Roland Holst dapat menulis-kan konklusinya dengan jitu, bahwa: "Perbedaan-perbedaan tenaganya badan dan besarnya badan antara laki-laki dan perempuan, perbedaan-perbedaan tulang dan urat-urat, adalah jauh lebih kecil pada bangsa-bangsa yang biadab daripada pada bangsa-bangsa yang sudah sopan; apa yang orang namakan kelemahan kaum perempuan itu adalah buat sebagian besar satu sifat, yang ditumbuhkan padanya oleh keadaan keadaan hidupnya di zaman kekuasaan kaum laki-laki". Begitu juga pendapat August Bebel: "Pada umumnya, maka di zaman purbakala, perbedaan tubuh dan perbedaan kecerdasan kaum laki-laki dan kaum perempuan itu adalah jauh lebih kecil daripada dalam masyarakat kita sekarang ini. Pada hampir semua bangsa biadab dan bangsa-bangsa yang hidup liar, maka perbedaan antara besar dan beratnya otak laki-laki dan otak perempuan adalah jauh lebih kecil daripada pada bangsa-bangsa yang sudah beradab".

Maka oleh karena itu, tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, jika orang mengatakan, bahwa perempuan itu pada kodratnya di dalam segala hal berbeda dengan kaum laki-laki, di dalam segala hal kalah dengan kaum laki-laki. Tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan pula, jika orang mengatakan, bahwa sudah dibahagikan oleh alam kepada laki-laki buat berjoang di masyarakat, menduduki jabatan-jabatan masyarakat, menjadi kampiun-kampiun masyarakat, sedang sudah dibahagikan oleh alam pula kepada perempuan untuk menanak nasi saja di rumah, menjaga rumah tangga di rumah, menjadi benda saja yang selalu harus tinggal di rumah. Tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan jika orang mengatakan demikian itu dengan membawa alasan bahwa "sepanjang ingatan kita" perempuan selalu kerja di rumah, dan tidak di dalam masyarakat. Sebab perkataan yang demikian itu sama saja salahnya dengan perkataan, bahwa misalnya perempuan qua kodrat alam selalu rambutnya panjang, karena sepanjang ingatan kita, kita belum pernah melihat perempuan yang tidak berambut panjang. Dan bukan saja tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan! Orang demikian itu juga tidak melihat lebih jauh dari panjang hidungnya! Tidakkah di zaman yang akhir-akhir ini kita melihat dengan mata sendiri ribuan perempuan-perempuan Indonesia yang tidak mendekam di rumah, tetapi bekerja di kantor-kantor, di paberik-paberik tenun, di paberik-paberik rokok, di paberik-paberik teh, di kebon-kebon tebu, – menjadi kuli, menjadi mandor, menjadi klerk, menjadi komis, guru, dokter, wartawan dan lain-lain Tidakkah kita melihat saban hari dengan mata sendiri juga isteri si bapa tani berduyun-duyun keluar dari rumah tangganya, menuju ke kota dan ke pasar-pasar, dengan membawa macam-macam hasil kebunnya, untuk berdagang di kota-kota dan di pasar-pasar itu? Di manakah yang dinamakan penghidupan menurut kodrat alam mereka, untuk mendekam di rumah itu? Bahwasanya, memang di kalangan si Marhaen inilah, karena dorongan "struggle for life", kaum perempuan lebih merdeka, lebih tidak terikat di rumah daripada di kalangannya kaum-kaum yang agak mampu, yang kadang-kadang mengurung perempuannya itu seperti mengurung ternak di dalam kandangnya. Maka senantiasa kaum yang mengurung perempuannya itu mengasih alasan, bahwa mereka menutup isteri-isterinya dan puteri-puterinya itu ialah untuk memelihara mereka, untuk mengenakkan hidup mereka, untuk memuliakan kedudukan mereka. Ya ... "memuliakan" mereka ... tetapi "memuliakan" mereka dengan memperlakukan mereka sebagai blasteran dewi dan si tolol!

Adakah ini berarti, bahwa hidup si kuli perempuan atau si tani perempuan yang tidak sangat terikat kepada rumah tangga, sudah boleh dikatakan enak? Ah, perempuan Marhaen!

Ah, Sarinah! Pulang dari berkuli di paberik atau di kebun, pulang dari berdagang di pekan yang kadang-kadang berpuluh kilo meter jauhnya itu, masih menunggu lagi kepada mereka di rumah pekerjaan buat sang suami dan sang anak. Masih menunggu pada mereka lagi pekerjaan menanak nasi, mencuci pakaian, mencari kayu bakar, memasak gulai. Sang suami habis kerja merebahkan dirinya di balai-balai, ... tunggu dipanggil makan, tetapi Sarinah, – habis kerja di luar rumah masih adalah kerja lagi baginya di dalam dapur atau di dekat sumur. Bagi laki-laki adalah "kerja delapan jam sehari" atau "kerja sepuluh jam sehari". Tetapi bagi Sarinah zaman sekarang ini, hidup adalah berarti keluh-kesah terus-menerus, gangguan fikiran terus- menerus, dari fajar menyingsing sampai di tengah malam ...

Kapankah matahari akan bersinar lagi bagi Sarinah itu?

Dulu, di dalam kabutnya zaman purbakala, dulu pernah Sarinah itu menduduki takhta-takhta kerajaan, dulu pernah ia bernama Ratu Simha di negeri Kalinga atau Bundo Kandung di negeri Pagar Ruyung. Dulu pernah ia bernama Srikandi yang mengepalai peperangan. Dulu, di Nippon, ia, menurut Van Kol dan Prof. De Visser, pernah berabad-abad lamanya memegang kecakrawartian masyarakat: "Urusan rumah-tangga dan urusan anak-anak mereka serahkan kepada pelayan-pelayan, dan berlomba-lombalah mereka dengan orang-orang lelaki di atas lapangan ilmu dan perpustakaan. Di atas lapangan sya’ir mereka sama tingginya dengan kaum laki-laki, di atas lapangan prosa mereka memukul samasekali kaum laki-laki itu. Sehingga sampai di abad-abad yang kemudian pun, dan terutama sekali di zaman berkembangnya perpustakaan Tionghoa, maka kultur perpustakaan hampir semasekali di dalam tangannya "kaum lemah" itu ... Tidak kurang dari 10 Rajaputeri tercatat namanya di buku sejarah, (antaranya Rajaputeri Jinzo yang termasyhur, yang menaklukkan negeri Korea di abad yang ketiga), yang semuanya menjalankan rol yang penting di dalam sejarah. Di dalam buku-buku Tionghoa kuno, Nippon selalu disebutkan "negeri kaum perempuan" atau "negeri raja-raja puteri". Pada abad ke 10 dan ke 11 kaum perempuanlah yang membuat hukum-hukum negara; ahli-ahli sya’ir menamakan perempuan itu "semennya masyarakat". Di zaman-zaman kuno itu tak pernah perempuan Nippon menekukkan lututnya di muka laki-laki. Di zaman Heian, anak laki-laki dan anak perempuan mendapat warisan yang sama besarnya. Di dalam hukum-hukum negara Kamakura-shogun adalah ditetapkan, bahwa laki-laki yang meninggalkan isterinya, segala hak-hak miliknya jatuh kepada isterinya itu".

Dan bukan di Nippon saja Sarinah pernah berkuasa di dalam masyarakat. Di negeri-negeri lainpun, bangsa mana dan negeri manapun juga, – sejarah banyak mencatat nama-nama raja-raja puteri, nama-nama kepala-kepala pemerintah puteri, yang umumnya sangat baik pemerintahannya, begitu baik, sehingga misalnya Burbach berpendapat, bahwa sangat boleh jadi kaum perempuan itu lebih cakap buat urusan politik daripada kaum laki-laki.

Dulu! ... Tetapi sekarang bagaimana? Di Nippon yang dulu masyarakat mengasih kedudukan yang begitu tinggi kepada perempuan, kini kaum isteri menjadi sampah, pelayan laki-laki, budak laki-laki, yang tiada kekuasaan dan kemerdekaan sedikit juapun. Kini perempuan di Nippon itu, yang dulu begitu gagah dan sigap dan dinamis, menjadi satu makhluk yang tunduk, yang penurut, yang nerimo, yang taat di dalam segala hal baik dan buruk kepada kaum laki-laki. Siapa membaca tulisan-tulisan Van Kol, De Visser, O’Conroy, Lafcadio Hearn, dll, tentang ketundukan dan kenurutan isteri Nippon itu, ia niscaya terharu hatinya, ia niscaya sukar pula mengenang-ngenangkan di dalam ingatannya, bahwa ini makhluk-makhluk yang begitu menurut dan menerima, dulu di zaman sediakala adalah tunggak-tunggaknya masyarakat!

Ya, makin nyatalah kepada kita, bahwa penghidupan menurut kodrat yang menempatkan perempuan ke sisi periuk-nasi dan panci-gulai itu, tak lain tak bukan adalah bukan penghidupan menurut kodrat, bukan penentuan kodrat, (sebagai menerima dzat anak, mengandung anak, melahirkan anak, memelihara anak), tetapi adalah penghidupan yang masyarakat sekarang dan hukum masyarakat sekarang kasihkan kepadanya. Kalau hukum masyarakat ini tidak menempatkan perempuan itu ke sisi api dapur dan pipisan lada saja, kalau hukum masyarakat ini mengasih kelapangan kepada kaum perempuan buat berlomba-lomba di lapangan masyarakat, maka perempuan tidaklah seperti perempuan sekarang. Tidaklah ia "kaum lemah", tidaklah ia "kaum bodoh", tidaklah ia "penakut", tidaklah ia kaum singkat fikiran, tidaklah ia kaum "nerimo". Tidaklah ia makhluk yang mengambing saja sebagai ternak; tidaklah ia kaum yang selamanya harus dijagai dan ditolong saja sebagai "blasteran dewi dan si tolol". Tidaklah ia menjadi sebab, yang Plato, itu ahli faIsafah Yunani, tiap-tiap hari mengucap terima kasih kepada dewa-dewa, bahwa dewa-dewa itu melahirkan dia sebagai orang merdeka, dan bukan sebagai budak belian, sebagai laki-laki, dan bukan sebagai perempuan. Tidaklah ia menjadi sebab, yang orang Yahudi sekarang tiap-tiap pagi mengucapkan kalimat: "Terpujilah Engkau, ya Allah, Robbul’alamin, bahwa Engkau tidak membuat akan daku seorang perempuan". Tidaklah ia menjadi sebab, yang bangsa Inggeris tidak mempunyai kata buat manusia melainkan "man" (laki-laki), dan bangsa Perancis tak mempunyai perkataan buat manusia pula, melainkan "homme" (laki-laki)!

Pendek kata, soal perempuan tak dapat kita nilaikan betul-betul harganya buat masyarakat, kalau kita pisahkan dia dari sejarahnya masyarakat, sejarahnya perhubungan perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat.

Sejarah perempuan adalah bergandengan dengan sejarah laki-laki, soal perempuan tak dapat dipisahkan dari soal laki-laki.

Di muka telah berulang-ulang kita katakan, bahwa di zaman Matriarchat (peribuan), kedudukan perempuan adalah lain dari di zaman sekarang, berganda-ganda lebih tinggi dari di zaman sekarang.

Tetapi, apakah ini berarti, bahwa kita dus lebih senang kepada aturan matriarchat itu? Sama sekali tidak! Sebab manakala di zaman perbapaan (patriarchat) sekarang ini kaum isteri menjadi kaum yang tertindas, maka di zaman peribuan adalah kaum laki-laki kaum yang tertindas. Manakala patriarchat sekarang ini membawa ketidakadilan masyarakat kepada kaum perempuan, maka matriarchat adalah membawa ketidakadilan masyarakat kepada kaum laki-laki. Masyarakat tidak terdiri dari kaum laki-laki saja, dan tidak pula terdiri dari kaum perempuan saja. Masyarakat adalah terdiri dari kaum laki-laki dan kaum perempuan, dari kaum perempuan dan kaum laki-laki. Tak sehatlah masyarakat itu, manakala salah satu fihak menindas kepada yang lain, tak perduli fihak mana yang menindas, dan tak perduli fihak mana yang tertindas.

Masyarakat itu hanyalah sehat, manakala ada perimbangan hak dan perimbangan perlakuan antara kaum laki-laki dan perempuan, yang sama tengahnya, sama beratnya, sama adilnya.

Saya bukan pencinta matriarchat, saya adalah pencinta patriarchat, bukan oleh karena saya seorang laki-laki, akan tetapi ialah karena kodrat alam menetapkan patriarchat lebih utama daripada matriarchat. Kodrat menetapkan hukum keturunan lebih selamat dengan hukum perbapaan, karena hanya dengan hukum keturunan menurut garis perbapaanlah, – di mana perempuan diperisterikan oleh satu orang laki-laki saja, dan tidak lebih -, orang dapat mengatakan dengan pasti: siapa ibunya, siapa bapaknya, – siapa yang mengandungnya, tetapi juga siapa yang menerimakan ia ke dalam kandungan itu. Tetapi di dalam hukum matriarchat, (yang menetapkan keturunan itu menurut garis peribuan), maka orang hanyalah dapat yakin siapa ibunya, tetapi tidak dapat yakin siapa bapaknya. Di dalam bab-bab berikut akan saya kupas hal ini lebih lanjut.

Saya pencinta patriarchat, tetapi hendaklah patriarchat itu satu patriarchat yang adil, satu patriarchat yang tidak menindas kepada kaum perempuan, satu patriarchat yang tidak mengekses kepada kezaliman laki-laki di atas kaum perempuan. Satu patri-archat yang sebenarnya "parental". Saya yakin, bahwa agama-agama adalah dimaksudkan sebagai "pengatur" patriarchat, pengkoreksi ekses-eksesnya patriarchat. Saya yakin, bahwa itu lah salah satu maksud agama, – tetapi apa yang kini telah terjadi? Lihatlah di masyarakat Nasrani. (Bukan agama Nasrani). Maksud agama didurhakai. Perempuan sesudah kawin, hampir hilang haknya sama sekali, dan perempuan menjadi pula barang dagangan persundalan. Dan lihatlah di masyarakat Islam. Maksud agama Islam, semangat agama Islam, yaitu melindungi kaum perempuan dari ekses-eksesnya patriarchat itu, kadang-kadang dilupakan orang, dipendam di bawah timbunan-timbunan tradisi-tradisi, adat-adat, pendapat-pendapat dari kaum-kaum kuno, sehingga kedudukan kaum perempuan yang mau dijunjung tinggi oleh Islam sejati itu kadang-kadang menjadi sama sekali satu kedudukan yang hampir tak ada ubahny daripada kedudukan seorang budak. Pendapat-pendapat dari setengah kaum yang demikian itu di beberapa kalangan menjadi suatu tradisi fikiran, satu kebiasaan fikiran. Firman-firman Tuhan yang untuk menentukan kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam sistim patriarchat itu, firman-firman ini lantas ditafsir-tafsirkan dengan kacamata tradisi fikiran itu. Firman-firman ini lantas dijadikan alat-alat buat menundukkan kaum perempuan di bawah lutut laki-laki, dijadikan alat-alat buat memperlakukan kaum perempuan itu sebagai makhluk-makhluk yang harus mengambing saja kepada ke Yang Dipertuan, kaum laki-laki. Maha bijaksanalah Allah dan Nabi yang menetapkan patriarchat sebagai sistim kemasyarakatan yang cocok dengan kodrat alam, tetapi maha piciklah sesuatu orang yang tak mengarti akan hikmat patriarchat itu, dan lantas membuat agama menjadi satu alat kezaliman dan penindasan!

BAB III: DARI GUA KE KOTA

sunting

Ilmu pengetahuan (wetenschap) sudah lama membantah pendapat setengah orang, bahwa adanya manusia di muka bumi ini barulah 6.000 tahun atau kurang lebih 7.600 tahun saja. Ilmu geologi, anthropologi, archeologi, histori dan praehistori menetapkan dengan bukti-bukti yang nyata, yang dapat diraba, bahwa manusia itu telah ratusan ribu tahun mendiami muka bumi ini: Sir Arthur Keith misalnya menghitung zaman manusia itu pada kurang lebih 800.000 atau 900.000 tahun. Setidak-tidaknya tak kurang dari 300.000 tahun (I.H.Jeans). Hanya saja harus diketahui, bahwa manusia purbakala itu belum begitu sempurna sebagai manusia zaman sekarang.

Manusia zaman purbakala yang bernama Pithecanthropus Erectus (sekitar 500.000 tahun yang lalu), Homo Heidelbergensis (sekitar 250.000 tahun yang lalu), Eoanthropus (sekitar 100.000 tahun yang lalu.), Neanderthalmensch (sekitar 50.000 tahun yang lalu), manusia-manusia ini semuanya kalah kesempurnaannya dengan manusia zaman sekarang. Tetapi 35.000 tahun yang akhir ini, sudahlah ternyata dengan bukti-bukti, bahwa manusia sudah "sempurna" seperti kita zaman sekarang. Sudah barang tentu jumlah manusia itu dulu jauh kurang pula daripada sekarang. Sudah barang tentu pula tidak di mana-mana di muka bumi itu selalu ada manusia, dan tidak di mana-mana pula zaman manusia itu sama tuanya.

Ada negeri-negeri yang sudah lama didiami manusia, ada negeri-negeri yang belum begitu lama didiami oleh manusia. Sebaliknya, ada pula negeri-negeri, yang dulu didiami oleh. manusia, tetapi sekarang kosong dan sunyi.

Misalnya saja padang pasir Sahara. Ada bekas-bekas kultur manusia di Sahara itu, yang membuktikan, bahwa di situ di zaman dulu banyak air dan rumput dan pohon-pohonan, banyak syarat-syarat untuk manusia dan binatang untuk hidup, dan tidak padang pasir yang kering, terik, dan kosong seperti sekarang. Sebaliknya, negeri-negeri Utara seperti Swedia dan Norwegia, yang sekarang begitu banyak manusianya, di zaman dulu adalah kosong oleh karena samasekali tertutup dengan es yang bermeter-meter tebalnya.

Perhitungan Sir Arthur Keith itu disendikan kepada bukti-bukti yang ada. Tetapi mungkin juga ilmu pengetahuan nanti mendapat lagi bukti-bukti yang lebih "tua" dari itu, sehingga perhitungan Sir Arthur Keith itu terpaksa dijadikan "lebih tua" lagi. Maka lantas terpaksa kita mengatakan, bahwa bukan 800.000 tahun, bukan 900.000 tahun sudah ada manusia, tetapi bisa juga 1.000.000 tahun, atau 1.100.000 tahun, atau 1.200.000 tahun. Tetapi bagaimanapun juga, nyatalah sudah salahnya pendapat setengah orang, bahwa manusia itu baru 7.600 tahun saja mendiami dunia ini.

Sudah barang tentu manusia purbakala itu (meskipun kita mengambil manusia-manusia "yang betul-betul manusia" dari zaman praehistori yang terakhir) kecerdasannya, cara hidupnya, anggapan-anggapannya, adat-istiadatnya, kebutuhan-kebutuhan-nya, pergaulan hidupnya, lain daripada manusia zaman sekarang. Manusia-manusia purbakala itu pada mulanya hidup di dalam rimba-rimba dan gua-gua. Mereka belum mempunyai perkakas, mereka belum kenal besi, mereka belum cukup cerdas membuat rumah. Malahan rumah ini bukan saja tak perIu bagi mereka, tetapi juga ... akan merugikan kepada inereka. Sebab di zaman yang pertama itu, manusia hidup dari memburu dan mencari ikan, seperti binatang-binatang juga ada yang memburu ikan, seperti binatang-binatang juga ada yang memburu dan mencari ikan. Mereka selalu berpindah-pindah tempat, tempat yang sudah habis binatangnya dan ikannya mereka tinggalkan, untuk mencari lain tempat yang banyak binatangnya dan banyak ikannya pula. Mereka adalah hidup secara "nomade", yang selalu berpindah kian kemari, jadi yang tak perlu mempunyai "rumah". Hutan dan gua, itulah rumah mereka.

Di dalam tingkat yang pertama itu, mereka belum mempunyai masyarakat. Mereka hidup berkawan-kawanan, bergolong-golongan di dalam persekutuan-persekutuan kecil yang dinamakan horde (kelompok), dengan tak ada pertalian apa-apa melainkan pertalian kerja bersama dan perlindungan-bersama, dengan tak ada "moral" melainkan moral cari makan dan cari hidup. Mereka tak banyak ubahnya daripada anjing-anjing serigala atau gajah-gajah, yang juga hidup di dalam gerombolan-gerombolan kelompok. Mereka sebagai anjing-anjing dan gajah-gajah itu, selalu berpindah kian-kemari menurut keperluan pencaharian hidup dan keselamatan hidup.

Kalau pada satu tempat, buruan dan ikan sudah habis, ditinggalkanlah tempat itu, dan dicarinyalah tempat lain.

Di dalam kelompok inilah perempuan telah mulai menjadi makhluk yang ditaklukkan. "Pembahagian pekerjaan adalah sebabnya ketaklukan itu. Laki-laki semuanya pergi kian-kemari, semuanya memburu, mencari ikan, semuanya berkelahi dengan binatang-binatang buas atau dengan kelompok-kelompok manusia yang lain, tetapi perempuan hanya sebagian saja yang ikut pekerjaan itu: Perempuan yang hamil atau yang membawa anak-anak kecil, tak dapat ikut lari-lari, tak dapat ikut memburu atau berjuang. Ia bersama-sama laki-laki. yang sudah kakek-kakek tinggal di dalam gua atau di bawah pohon "kediamannya", menunggu kaum laki-laki pulang dari perburuan atau perkelahiannya itu. Ia bergantung kepada laki-laki, dan menilik kekasaran dan kebinatangan semua makhluk yang masih liar, maka niscaya nasib perempuan di waktu itu pada umumnya sangat tersia-sia. Ia diperintah saja oleh laki-laki itu, diperkudakan, disuruh mencari daun-daunan dan akar akaran, disuruh memelihara api siang dan malam, dibebani dengan segala pekerjaan yang tidak termasuk perburuan dan pencarian ikan. Ia, menurut August Bebel adalah budak yang pertama. Bebel berkata: " Perempuan adalah budak sebelum ada budak". Ia adalah bernasib sama dengan anjing betina, yang kalau yang jantan tak senang, terus digigit dan dihantam saja, – atau ditinggalkan oleh anjing jantan itu mentah-mentahan. Malah kadang-kadang ia dibunuh, sebagaimana kakek-kakek dan nenek-nenekpun dibunuh, karena terlalu membebani kelompok itu. Hukum persuami-isterian belum ada di dalam kelompok itu. Menurut Prof. Bachofen adalah di dalam kelompok itu "promiskuiteit", artinya: bahwa di dalam kelompok itu hantam-kromo campuran – saja laki-laki dan perempuan mencari kepuasan syahwat satu dengan yang lain. Hantam-kromo saja urusan syahwat itu, – mana yang disukai pada sesuatu saat, itulah yang jadi. Tidak dapat laki-laki di dalam kelompok itu berkata "ini isteriku", tidak dapat pula perempuan menunjuk-kan seorang laki-laki seraya berkata "ini suamiku". Begitulah pendapat Bachofen. Tetapi ada aliran lain pula mengoreksi teori Bachofen ini, misal-nya Eisler, yang berkata: bahwa benar belum ada "pernikahan" di dalam kelompok itu, tetapi pun tidak ada itu promiskuiteit yang hantam-hantaman kromo samasekali. Menurut Eisler, di dalam kelompok tidak ada anarkhi seksuil yang absolut. Laki-laki selalu "berkawin" buat sementara dengan perempuan yang ia senangi. Di dalam kelompok itu bukan "promiskuiteit" yang orang lihat, begitulah kata Eisler, tapi "pasangan-pasangan yang sementara", tijdelijke paring, atau di dalam bahasa Jerman “Zeit-Ehe". Zeit-Ehe ini nanti kalau sudah "bosan", dilepaskan lagi atau ditiadakan lagi, buat menjadi lagi pasangan-pasangan baru dengan laki-laki lain atau perempuan-perempuan lain. Sudahkah tuan pernah perhatikan pasangan sementara di kalangan anjing? Anjing jantan selalu berganti isteri, dan anjing betina selalu berganti suami, tetapi "persuami-isterian" itu bukan hanya buat satu saat beberapa detik saja, melainkan "luku" sampai beberapa minggu lamanya. Anjing selalu "berlaki-bini", sungguhpun hanya buat sementara.

Demikianlah pula perlaki-isterian di dalam kelompok manusia. Benar lelaki mengambil isteri mana saja di dalam kelompok itu yang ia sukai, benar perempuanpun berbuat begitu tetapi "pasangan-sementara" selalu ada. Hanya saja "pasangan-sementara" ini tidak membuat nasib orang perempuan itu menjadi ringan. Laki-laki tidak menanggung tanggungan sedikit-pun atas akibat-akibatnya "pasangan sementara" itu, tetapi perempuanlah yang menanggung hamilnya, perempuanlah yang menanggung pemeliharaan anak, perempuanlah yang menanggung segala konsekwensi "pasangan-sementara" itu.

Di dalam periode kelompok sudahlah perempuan sengsara, – budak yang pertama – sebagai kata Bebel tadi itu. Hanyalah menurut ahli-ahli penyelidikan bangsa-bangsa yang masih biadab, kesengsaraan ini tidak begitu berat dirasanya sebagai kesengsaraan yang musti ditanggung oleh setengah perempuan-perempuan di zaman sekarang, yang bukan saja tertutup samasekali jasmaninya seperti di dalam penjara, tetapi juga tertutup fikirannya, kesenangan-kesenangannya, rohaninya, dan diperbudak serta disiksa pula. Menurut keterangan ahli-ahli ini, maka bagaimapun juga jeleknya nasib perempuan di dalam kelompok itu, belumlah ia menjadi siksaan jiwa yang begitu sangat sebagai perempuan-perempuan tutupan di zaman sekarang ini. Sorot mata perem-puan-perempuan kelompok tentu masih sorot mata "merdeka", menilik gambar-gambar di dalam gua dari puluhan ribu tahun yang lalu, yang menggambarkan perempuan ikut "berpesta" dengan kaum laki-laki. Sebagaimana nasib serigala betina di dalam kelompok serigala bukan nasib yang jelek samasekali, – anjing serigala betina masih banyak kesenangannya dan kemerdekaannya, maka perempuan kelompok pun masih banyak kesenangannya dan kemerdekaannya.

Lama sekali periode ini. Tetapi lambat laun datanglah perubahan. Periode mencari hidup dengan berburu dan mencari ikan berganti dengan periode, yang pencaharian hidupnya secara lain. Banyak ahli mengatakan, bahwa periode perburuan dan pencaharian ikan itu, diikuti oleh periode menternakkan binatang, periode penggembalaan. Binatang-binatang yang orang tangkap di waktu perburuan itu, yang tidak mati, orang peliharakan, dan ini menjadi asal-asalnya orang memelihara ternak: memelihara sapi, memelihara kuda, memelihara kambing, memelihara kerbau. Tetapi setengah lagi kaum ahli, – misalnya Dr. Fleure dari University College of Wales -, mengatakan, bahwa periode perburuan dan pencaharian ikan itu bukan diikuti oleh periode peternakan, melainkan oleh periode menanam tumbuh-tumbuhan, yakni periode pertanian. (Morgan, seorang ahli yang lain, ada berpendapat lain lagi. Menurut beliau maka tidak adalah periode yang manusia hanya melulu berburu dan mencari ikan saja. Makanan yang berupa tumbuh-tumbuhan sudah dikenal manusia sejak mulanya). Tetapi bagaimana juga, nyatalah bahwa pertanian adalah satu tingkatan yang lebih tinggi daripada perburuan. Dr. Fleure menyandarkan teorinya kepada alasan, bahwa sering terdapat bekas-bekas atau tanda-tanda pertanian purbakala, yang tidak disertai pula dengan bekas-bekas atau tanda-tanda peternakan. Jadi: ada pertanian dengan tak ada peternakan; dan ini dianggap-nya sebagai bukti, bahwa pertanianlah yang lebih dulu.

Orang di kelompok itu, kata Dr. Fleure, tidak hanya makan daging dan ikan saja, tetapi niscaya makan juga tumbuh-tumbuhan liar. Manusia bukan pemakan daging saja sebagai harimau dan serigala, manusia bukan carnivor, – manusia adalah perlu juga kepada tumbun-tumbuhan, kepada daun-daunan, kepada buah-buahan, kepada akar-akaran. Dia adalah "omnivor". Maka oleh karena manusia omnivor, maka orang-orang perempuan di kelompok itu, kalau kaum laki-laki berburu, mencari tumbuh-tumbuhan, dan lambat-laun terbuka ingatannya akan menanam benih-benih tumbuh-tumbuhan itu. Maka dia, perempuan adalah berjasa besar kepada kemanusiaan sebagai makhluk yang pertama-tama mendapatkan ilmu bercocok tanam, yang sampai sekarang menjadi tiang penghidupan manusia di muka bumi. Dan bukan saja yang mendapatkan rahasia pertanian! – ia juga adalah pekerja pertanian yang pertama. Ia juga adalah petani yang pertama, sebagai nanti akan saya uraikan lebih lanjut.

Buat jasa ini saja kemanusiaan pantas mendirikan patung terima-kasih bagi perempuan itu!

Bagaimanapun juga, – peternakan lebih dulu, atau langsung kepada pertanian, – pada kira-kira 10.000 tahun atau 12.000 tahun yang lalu dunia manusia masuk ke dalam periode pertanian itu. Dan apa yang kita lihat? Perubahan cara pencaharian hidup ini, perubahan proses pencaharian ini, membawa perubahan besar di dalam nasib perempuan itu. Mulai sekarang dia menjadi makhluk yang penting, oleh karena dialah mulai sekarang menjadi pembuat bekal hidup yang penting, yakni ubi, keladi, jagung dan lain sebagainya yang dia perdapat dengan pertaniannya itu, meski pertaniannya itu masih sederhana sekali. Dia mulai sekarang menjadi produsen yang berharga. Malahan dialah yang menjadi induk kemajuan, induknya "kultur", yang mula-mula. Dialah petani yang pertama, tetapi dia pulalah yang pertama sekali mulai terbuka ingatannya membuat rumah. Laki-laki masih banyak lari kian-kemari di hutan, ditepi-tepi sungai, di pantai laut, di padang-padang rumput, di rawa-rawa, tetapi dia, perempuan, karena menjaga hamilnya, atau menjaga anak-anaknya yang kecil serta kebunnya yang sederhana, tetapi tak dapat ditinggalkan itu, dia mulai mencoba membuat tempat kediaman yang tetap. Dia mulai mencoba-coba mendirikan "rumah" yang akan melindungi dirinya serta anak-anaknya daripada panasnya matahari dan basahnya air hujan, dinginnya hawa malam dan tajamnya angin. Dialah yang dengan dahan-dahan kayu, ranting-ranting dan daun-daun mula-mula mendirikan gubug yang amat bersahaja. Dan bukan saja "rumah" Dia jugalah yang pertama-tama duduk di samping buaian kesenian. Dia, kaum perempuan itu, dialah yang mula-mula terbuka ingatannya membuat tali guna mengikat bagian-bagian gubugnya, membuat barang-barang keperluan hidup yang sangat perlu, sebagai misalnya melunakkan kulit binatang yang sudah kering, menganyam tikar atau menganyam keranjang, memintal serat kayu menjadi benang, menenun benang itu menjadi kain kasar, membentuk tanah liat menjadi semacam periuk atau semacam pinggan. Dia, kaum perempuan, dialah yang mula-mula induknya kultur. Dialah pembangun kultur yang pertama, dia dan bukan laki-laki. Dialah menurut Kautsky "pembangun peradaban manusia yang pertama". Juga buat ini ia pantas mendapat patung terimakasih di dalam ingatan kita!

Makin lama makin "laku" pertanian itu. Hasil perburuan dan pencaharian ikan tidak selamanya tetap, – kadang-kadang dapat, kadang-kadang tidak dapat. Tetapi pertanian hasilnya selalu mengalir. Oleh karena itu, maka pertanian itu diperbesar, dan lambat-laun menjadi tiang hidup yang nomor satu. Perburuan dan pencarian ikan itu makin surut, makin diabaikan, makin dikesampingkan. Orang laki-laki yang kini banyak tempo terluang, mulai mengerjakan peternakan. Maka di sini adalah pertanian itu disampingi oleh peternakan. Tapi kecuali di negeri-negeri yang memang negeri rumput, tak mampu peternakan itu mengalahkan pertanian. Pertanian tetap sumber hidup yang paling penting.

Maka makin tambah pentingnya arti pertanian di dalam kehidupan dan penghidupan manusia itu, makin naiklah derajat perempuan, makin naiklah kekuasaannya. Makin naiklah "bintangnya", – naik, buat pertama kali di dalam sejarah kemanusiaan. Sebab dialah yang kini menjadi produsen yang terpenting di dalam masyarakat, dari padanyalah tergantung selamat atau tidak selamatnya masyarakat. Cara hidup yang berpindah-pindah tempat itu berubah menjadi cara hidup yang tetap pada satu tempat, manusia nomade yang hidup berkeliaran, selalu berpindah-pindah, berganti sifat menjadi manusia yang "berdiam".

Dan di tempat kediaman itu perempuanlah yang menjadi pusatnya! Tidak lagi ia kini dianggap seperti "benda yang orang terpaksa bawa juga" seperti di zamannya kelompok, tidak lagi ia kini dianggap seperti "noodzakelijk kwaad", tetapi menjadilah ia makhluk yang sangat berharga. Ia menjadi tiang masyarakat, pengatur masyarakat, tunggak masyarakat!

Maka perubahan di dalam cara hidup ini membawa pula perubahan di dalam moral perlaki-isterian. Dulu perlaki-isterian itu secara anjing serigala saja, dulu adalah "Zeit-Ehe" ataupun "Promiskuiteit". Tapi kini perlaki-isterian ini mulai diatur sedikit-dikit, diatur perhubungannya antara laki-laki dan perempuan, dan diatur pula hal-hal yang mengenai keturunan-keturunan sebagai hasilnya perhubungan laki-laki dan perempuan itu. Kini buat pertama kali di dalam sejarah kemanusiaan diadakan hukum yang mengatur perlaki-isterian dan keturunan itu. Memang urusan keturunan inilah pokok-pangkal semua hukum perlaki-isterian, asal-mula segala hukum perlaki-isterian. Melepaskan syahwat, membuat keturunan, adalah mudah -, tetapi memelihara keturunan itu tidaklah mudah. Memelihara keturunan itu hajat kepada kecakapan, kepada banyak pekerjaan, kepada banyak pusing kepala. Dulu di dalam kelompok perempuan saja yang mendapat bagian pusing kepala ini. Laki-laki tinggal bersenang-senang, tak ambil pusing lagi lebih jauh apakah akibat pelepasan syahwat itu nanti. Hanya nanti, nanti kalau si anak itu sudah besar, kalau si anak itu sudah tidak memusingkan kepala lagi dengan pemeliharaannya, tetapi sebaliknya menguntungkan kepada yang mempunyainya, maka laki-laki lantas mau berkuasa atas si anak itu. Dia lantas berkata: “Dia anakku". Tapi, ... orang laki-laki lain berkata pula:

"Dia anakku"! Ya, anak siapa dia itu sebenarnya? Ia tak tentu bapanya! Ia banyak sekali "bapanya"! Laki-laki yang satu mengaku menjadi bapanya, lelaki yang lain membantah: tidak, akulah bapanya. Memang begitulah akibat Zeit-Ehe atau Promiskuiteit. Orang selalu berkelahi, kadang-kadang sampai pecah tercerai-berai kelompok itu, – nyatalah perlu sekali kini diadakan hukum.

Maka kaum perempuan, yang kini menduduki derajat yang penting itu, kaum perempuan itulah yang membuat hukum itu. Kaum perempuan itu mengadakan hukum keturunan menurut garis peribuan. Menurut hukum peribuan ini, maka keturunan disebutkan menurut garis ibu, bukan ditangan bapa. Orang tidak menanya "siapakah bapanya", tetapi orang menanya "siapakah ibunya". Memang (juga di masyarakat sekarang ini), manusia sebenarnya hanyalah dapat ditetapkan dengan kenyataan-bukti: siapa ibunya, dan tidak dengan yakin siapa bapanya. Juga buat zaman sekarang, dengan hukum-hukum perkawinan, "siapa bapa" itu sebenarnya hanyalah satu hal kepercayaan saja. Goethe, itu penyair dan ahli faIsafah Jerman yang termasyhur, mengatakan, bahwa "siapa bapa" itu hanyalah berdasar "nur auf gutem Glauben" belaka. Artinya: hanya berdasar atas kepercayaan, bukan atas kenyataan bukti! Sehingga sampai sekarang adalah satu peribahasa Eropa yang berbunyi: "Anak bijaksana, yang mengenal bapanya". Tetapi dengan bapa banyak atau dengan bapa satu, dengan hukum perkawinan atau tidak dengan hukum perkawinan, dapatlah ditentukan dengan pasti dan yakin: inilah ibunya, inilah orang yang mengandungkan dia, inilah orang yang melahirkan dia ! Itulah sebabnya, maka perempuan di zaman periode kedua dari evolusi kemanusiaan itu, lantas menetapkan "hukum keturunan menurut garis peribuan" itu menjadi hukum perlaki-isterian dan hukum-keturunan. Hukum peribuan ini menjadi hukum yang pertama-tama di dalam pergaulan manusia. Jadi perempuanlah yang pertama-tama mengaruniai kemanusiaan dengan hukum, perempuanlah pembuat hukum yang pertama.

Menjadi: Perempuan petani yang pertama. Perempuan pembangun kultur yang pertama. Perempuan pembuat hukum yang pertama.

Buat ketiga kalinya saya undang tuan-tuan mendirikan patung terima kasih kepadanya di dalam kalbu!

Maka dengan diadakannya hukum peribuan ini, serta hilangnya sifat nomade menjadi sifat "perumahan yang tetap", hilang pula sifat kelompok, dan menjadilah ia bersifat gens, – yakni menjadilah ia "keluarga besar". Perempuan dengan semua keluarganya tua-muda berdiam menjadi satu di satu tempat, – yang bukan keluarga tidak boleh berkumpul di situ, tapi berdiam menjadi gerombolan lain dengan keluarga-keluarganya sendiri pula. Di dalam gens yang demikian itu cara hidup adalah cara hidup sama-rata. Boleh dikatakan cara hidup mereka itu adalah cara hidup komunistis! Dr. F. Muller-Lyer, itu ahli masyarakat yang termasyhur, ada menceritakan dari hal gens pada tingkatan ini: "Anggota-anggota pergabungan keluarga itu memiliki tanah sebagai milik bersama, mereka kerjakan tanah itu bersama-sama pula, dan mereka bagikan buah tanamannya itu di antara keluarga-keluarganya menurut keperluan masing-masing. Sering sekali mereka berdiam berkumpul di dalam rumah-rumah yang besar. Tiap-tiap anggota mempunyai hak yang sama atas ladang itu, dan menerima segala apa yang ia perlukan dari hasil pertanian-bersama itu. Pada hampir semua rakyat-rakyat pertanian yang bertingkat sederhana ini, adalah cara kerja komunistis itu cara-kerja yang asli".

Keluarga (Jawa: somah) seperti yang kita kenal sekarang ini, – satu suami, satu isteri, anak, di dalam satu rumah, pahit-manis dipikul bersama-sama -, keluarga yang demikian itu belum dikenal orang di masa itu. Orang hidup dengan semua sanak-sanak-familinya menjadi satu gerombolan besar, satu persatuan darah yang besar, satu keluarga besar, – rukun dan rapat, mati-hidup bersama-sama, mengerjakan ladang bersama-sama, menentang musuh bersama-sama. Justru persekutuan dan kerukunan gens inilah menghambat terjadinya "somah" itu. Sebab, oleh karena kini perempuan itu menjadi satu makhluk yang sangat berharga, – tidak seperti dulu di zaman kelompok -, maka gens tidak mau melepaskan dia pindah mengikuti suaminya kelain gens. (Suaminya perempuan itu lebih dari satu. Sebalikya, laki-lakipun isterinya lebih dari satu). Orang lelaki dari lain gens yang kawin dengan dia, tidak boleh membawa dia pindah kerumahnya, tetapi si laki itulah yang musti pindah ke rumah perempuannya itu, atau, kalau si laki itu tinggal di gens-nya sendiri, – ia datang di rumah isterinya itu hanya pada waktu ada keperluan saja. (Sisanya aturan begini sekarang misalnya masih ada di Minangkabau, begitu pula pada orang Indian di Amerika Utara, pada beberapa bangsa di Oceania, pada sebagian bangsa Neger, dll. Dulu aturan ini nyata benar ada pada bangsa Israil; sampai di zaman Yesus, orang masih menamakan beliau Isa Ibnu Maryam! Juga pada bangsa Mesir, Phunicia, Etruska, Lykia, Iberia, Inggeris, dll dulu berlaku aturan ini). Tuan mengerti, aturan yang demikian ini tentu tidak mengasih jalan kepada timbulnya satu "persomahan" yang terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak saja, yang seperti kita kenal di zaman kemudian. Tetapi kendati begitu, kedudukan perempuan di dalam gens itu adalah kedudukan yang sangat mulia sekali. Sudah barang tentu! Sebab yang berkumpul men-jadi satu di dalam gens itu, – laki-perempuan -, adalah keluarga-keluarga dari fihak perempuan. Meski seseorang perempuan sudah kawin dengan orang laki-laki dari lain gens pun, ia masih berkumpul dengan sanak-famili se gens, dan karenanya ia masih terus mendapat sokongan dari sanak-famili se gens itu. Tapi laki-laki tidak mendapat sokongan itu, laki-laki bertindak terhadap isterinya itu seperti "orang sendirian", sebagai individu. Orang perempuan jadi lebih kuasa daripadanya. Orang perempuan di waktu itu misalnya di Eropa disebutkan Frowa, – yang maknanya tuan puteri. (Ingatkan perkataan mevrouw, atau Frau). Malahan, seringkali, di tingkat yang kemudian, kalau gens-gens itu sudah bertalikan satu dengan lain meliputi satu daerah, dan pemerintahan sudah dijalankan oleh satu kepala atau satu raja -, maka ditetapkanlah bahwa kepala itu harus kepala puteri, rajanya raja puteri, pahlawannya pahlawan puteri, pemimpin rapat pemimpin-puteri. Maka bertambahlah hukum peribuan itu menjadi pemerintahan – ibu, – menjadi Matriarchat. Dari bangsa Indian Irokees misalnya, Lafitau menulis: "Semua pemerintahan di negeri itu adalah di tangan perempuan: merekalah yang menguasai ladang-ladang dan hasil-hasil ladang itu, merekalah menjadi jiwa persidangan-persidangan majelis negeri, merekalah berkuasa atas perang atau damai, merekalah mengurus cukai, mengurus kekayaan suku, kepada merekalah orang serahkan orang-orang tawanan, merekalah menetapkan perkawinan-perkawinan, merekalah berkuasa atas anak-anak, dan menurut garis merekalah diambil keturunan". Pada bangsa Indian Wyandot keadaan juga begitu, majelis pemerintahan mereka adalah terdiri dari 55 orang; anggota laki-laki dari majelis ini hanya 11 orang; tapi anggota perempuan ... 44 orang!

Dan juga di dalam urusan agama kaum perempuan dijadikan pemimpin. Mrs. Ray Strachey menerangkan, bahwa justru di dalam urusan agamalah kaum perempuan di zaman dulu hampir selamanya diutamakan dari kaum laki-laki; perempuan dianggap lebih suci daripada kaum laki-laki. Di dalam kehidupan sehari-haripun orang lebih mencintai dewi-dewi daripada dewa-dewa. Agama Sumeria, agama Shinto, yang kedua-duanya agama tua sekali, sangat memuliakan perempuan. Pada banyak bangsa di lautan Teduh masih selalu perempuan yang mengepalai agama.

Sekianlah keadaan kaum perempuan di zaman hukum peribuan atau matriarchat itu. Di dalam bab IV hal ini akan saya terangkan lebih lebar. Di dalam bab II pun sudah saya ceritakan sedikit-sedikit tentang zaman peribuan ini. Di zaman itu kaum perempuan, karena kemerdekaannya, adalah besar-besar dan sigap-sigap badan, cerdas-cerdas dan tangkas-tangkas, berani-berani dan luas-luas penglihatan, – tidak seperti perempuan-perempuan di zaman sekarang, yang kecil-kecil dan takut-takut. Di zaman peribuan itu mereka bukan "kaum lemah", bukan "kaum bodoh", bukan "kaum sempit pikiran", bukan "kaum penakut". Di zaman itu perempuan bukan "kaum dapur" saja, bukan "bunga rumah tangga" saja. Mereka berkuasa, menduduki masyarakat, mengendali masyarakat, menguasai masyarakat. Malah kaum laki-lakilah yang di zaman itu dianggap sebagai kaum embel-embel semata-mata. Mereka hanya dianggap sebagai anasir "pemacek", – anasir "pembuat turunan". Mereka, kaum laki-laki itu, di zaman peribuan berkedudukan seperti semut laki atau lebah laki dalam masyarakat semut dan masyarakat lebah. Juga dalam masyarakat semut dan masyarakat lebah itu betina lebih penting daripada laki; juga di situ si laki hanya pemacek. Malahan di masyarakat semut dan lebah itu si laki dibunuh sesudah ia selesai mengerjakan pacekannya! Maka pantaslah orang menanya: Manakah kebenaran semua "teori" yang mengatakan, bahwa sudah kodrat perempuan-perempuan. menjadi penunggu rumah tangga dan penunggu periuk-nasi saja?[1]

Tetapi ... zaman selalu berjalan, zaman selalu beralih. Datanglah phase (tingkat) ketiga di dalam sejarah peri-kemanusiaan itu, yang menggugurkan lagi kaum perempuan dari singgasananya. Kaum laki-laki yang dulu berburu dan mencari ikan itu, yang kadang-kadang berminggu-minggu meninggalkan kelompok atau gensnya buat berjuang di dalam rimba atau bersenang-senang di dalam rimba, kaum laki-laki itu lambat-laun makin lama makin meninggalkan cara pencarian hidup dengan berburu dan mencari ikan itu. Buat apa cape-cape lagi membahayakan diri di dalam perburuan, yang juga tidak selamanya berhasil baik itu, kalau ada sumber rezeki lain yang lebih menyenangkan? Tidakkah hasil pertanian telah mencukupi segala-gala keperluan hidup? Dulu, tatkala orang belum kenal pertanian, dulu orang terpaksa hidup di gunung-gunung dan di rimba-rimba yang banyak binatang-binatang dan sato hewannya. Kini orang meninggalkan rimba-rimba itu, meninggalkan tempat-tempat yang sukar dan sempit, kini orang mencari tanah-tanah datar dan tanah-tanah rata yang baik buat pertanian itu. Kini tanah yang subur dan yang berisi banyak zatlah yang orang perlukan, – meskipun tidak ada binatang sato khewan di situ. Kini ditanah yang bukan rimba dan bukan gunung itu perburuan itu menjadi sangat terdorong ke belakang. Lagipula, sudah lama pula orang laki-laki terbuka ingatannya buat menternakkan binatang sato khewan. Juga buat peternakan ini, bukan rimba dan gunung-gunung yang diperlukan, tetapi tanah rata yang banyak rumput. Karena peternakan inipun, maka laki-laki lantas banyak waktunya yang senggang, banyak waktunya yang tak terpakai, tidak seperti dulu, tatkala ia berhari-hari musti mengintai atau mengejar buruan. Maka lambat-laun laki-laki lantas ikut-ikut menjadi tani pula. Malahan lambat-laun laki-laki itu lantas "memborong" pekerjaan pertanian, – perempuan disuruh tinggal di rumah saja, atau, kalau diajak ke ladang, hanya dipakai sebagai pembantunya saja. Maka lambat-laun merosotlah kedudukan perempuan sebagai produsen, lambat-laun lunturlah pamor wanita sebagai pemberi makan kepada semua keluarganya. Sebaliknya si laki-lakilah yang makin naik derajat, si laki-lakilah yang makin bertambah nama dan kekuasaannya. Sebab kini dialah yang bekerja di ladang, dialah yang menguasai ladang. Dialah kini produsen yang pertama, dialah kini pemberi-hidup.

Dialah kini menjadi penjaga dan pemelihara milik. Dulu di zaman mula-mulanya pertanian, milik itu hanya berupa rumah, senjata-senjata, perkakas-perkakas, perahu, sedikit pakaian, periuk-periuk, dll sebagainya saja. Tapi kini, ternak semakin lama sudah semakin bertambah, lebih cepat bertambah dari tambahnya manusia, sehingga, milik ternak itu kadang-kadang menjadi berpuluh-puluh ekor atau beratus-ratus ekor!

Perdagangan bertukar dengan gens-gens atau suku-suku yang lainpun, yang kini mulai berkembang, menambah pula jumlah milik itu. Dan orang-orang tawananpun, yang dulu dibunuh saja, kini dijadikan budak-budak pembantu di ladang dan ini berarti penambahan milik pula. Maka kini timbullah satu soal yang maha penting: kepada siapakah laki-laki akan mewariskan milik ini kalau ia meninggal dunia? Kini mulailah laki-laki memikirkan hukum keturunan pula. Kini timbullah keinginan pada laki-laki itu supaya anak-anak dia sendiri sajalah, – bukan anak-anak orang lain, sebagai di dalam hukum peribuan -, yang mewarisi benda-benda dan milik-milik hasil keringatnya itu. Kini ia mau yakin, mau pasti, bahwa anak-anak dia sendiri sajalah yang kelak mewarisi ternak, perkakas, senjata-senjata, pakaian-pakaian, budak-budak pembantu itu. Ia tidak mau membanting tulang buat hari kemudian anak orang-lain, ia hanya mau membanting tulang buat hari kemudian anak dia sendiri. Maka oleh karena itu, kini ia tentukan, bahwa perempuan-perempuannya! -, tidak boleh berkawin dengan lelaki lain, melainkan hanya dengan dia sendiri saja. Kini ia tuntut kepada perempuan itu dengan ancaman hukum mati kesetiaan perkawinan, kesetiaan perlaki-isterian. Kini ia mau bekerja buat isteri-isteri dan anak-anaknya sendiri saja, dan tidak buat gens seumumnya.

Maka lambat-laun pecahlah persatuan gens yang sediakala itu, pecahlah pergaulan hidup secara sama rata sama rata itu. Masing-masing laki-laki minta bahagiannya sendiri-sendiri dari tanah kommunal milik gens itu. Masing-masing laki-laki membentuk satu " gezin ", membentuk somah, yang di situlah ia pusatkan segala kemauannya mencari kekayaan, segala energi-nya. Sebab ia kini tahu: ia bekerja buat turunannya sendiri! Kalau ia mati, anak-anaknya sendirilah yang akan menerima kekayaan itu. Hak keturunan dari ibu dihapuskan, diganti dengan hak keturunan dari bapa. Dan Sarinah, yang dulu berkuasa dan berpengaruh itu, Sarinah kini menjadi makhluk yang duduk di tingkatan yang kedua lagi. Malahan kemudian lagi, bapa lebih mementingkan anak daripada isteri, dan Sarinah merosot lagi ke tempat kedudukan yang ketiga.

Sebab anak inilah yang menerus-kan darahnya, isteri hanyalah satu "perantaraan" saja. Sarinah bukan lagi penguasa masyarakat, tapi menjadi benda dalam rumah tangga saja, benda penglahirkan anak dan benda pemelihara anak, yang tak lebih dan tak kurang menjadi miliknya laki-laki.

Kini bukan Sarinah yang menerima laki-laki tetapi laki-laki yang menerima Sarinah. Kini perkawinan bukan berarti si laki menghamba kepada si perempuan, tetapi si perempuan menghamba kepada si laki-laki. Kini gens terpecah menjadi beberapa somah, tetapi somah (famili) ini benar-benar satu tempat perhambaan bagi Sarinah itu. Perkataan famili adalah berasal dari perkataan Latin famulus, yang artinya hamba, pelayan, budak, atau dari perkataan Oskia "famel" yang juga bermakna budak. Kini menjadi adat, si laki itu membeli perempuan waktu ia berkawin dengan dia, sebagaimana ia membeli satu barang atau satu milik di kedai atau di pekan. Inilah yang dinamakan kawin beli, yang kita jumpai di mana-mana di zaman hukum perbapaan itu, sampai sekarang. Atau, kalau si laki tak mampu membeli, maka perempuan dicuri atau dirampas mentah-mentahan oleh si laki itu, seperti orang merampas atau mencuri sesuatu barang atau sesuatu milik di waktu malam. Kawin beli dan kawin rampas adalah gambarnya hukum perbapaan itu. Sarinah menjadi benda. Ditutuplah ia dan disimpanlah ia di dalam rumah seperti benda, dilaranglah ia keluar dari rumah itu, supaya tidak dicuri orang, sebab ia suatu benda; ditabirkanlah ia rapat-rapat manakala ada laki-laki asing, kalau-kalau si laki asing itu timbul keinginan birahi kepadanya atau keinginan mencuri kepadanya, karena ia sebuah benda. Kalau suaminya mati, maka bukan dia yang menerima barang-barang warisannya suami, tetapi dia sendiri diwariskan kepada saudara suaminya atau keluarga suaminya, sebagaimana juga halnya dengan lain-lain benda milik suami yang mati itu. Segala susunan-susunan dan sifat-sifat masyarakat berbalik samasekali. Hukum pemerin-tahan, hukum kemilikan, hukum persuami-isterian, hukum keturunan, hukum perwarisan, semua itu berubah sebagai ubahnya siang menjadi malam. Segala kemerdekaan perempuan yang sediakala, hilang sama-sekali, hilang karena menjadi famulus di dalam famili. Sarinah dikungkung, ditutup, dipingit, diperhambakan. Friederich Engels mengatakan, bahwa perpindahan dari hukum peribuan kepada hukum perbapaan itu adalah satu "kekalahan perempuan yang paling hebat di dalam sejarah kemanusiaan". August Bebel menamakan dia revolusi besar yang pertama di dalam sejarah manusia.

Perobahan ini, sebagai satu revolusi besar di dalam susunan masyarakat, sudah tentu tidak terjadi sekaligus, tetapi mungkin makan waktu puluhan, bahkan ratusan tahun. Tetapi sudah barang tentu pula, perempuan tidak selamanya mau menyerah begitu saja digugurkan dari kedudukannya jang tinggi itu. Sebelum menyerah, berjoang ia mati-matian. Sejarah dunia tak sunyi dari ceritera-ceritera perjoangan hebat antara laki-laki dan perempuan di zaman perpindahan kekuasaan itu. Karena sudah tuanya kejadian-kejadian ini, – sudah hampir hilang di dalam kabut zaman purbakala -, maka banyak dari cerita-cerita itu menjadi bersifat dongeng saja, legende saja, saga saja. Kita di Indonesia ini kenal akan dongengnya wanita "Nusa Tembini" yang berjoang mati-matian dengan kaum lelaki, mengusir kaum laki-laki dari negeri-negeri daerahnya. Atau dongengnya Dewi Rayungwulan dari negeri Sigaluh, dalam cerita Banjaransari. Kita juga kenal akan dongeng Ratu Roro Kidul, yang tak mau tunduk kepada siapa juga, tak mau terambil kekuasaannya oleh siapapun juga. Mungkinkah di zaman purbakala di Selatan tanah Jawa ada satu kerajaan matriarchat, yang kini sudah lenyap, atau satu pulau matriarchat, yang kini sudah tenggelam, sebagai di dalam dongeng Eropa ada pula diceritakan satu negeri tenggelam yang bernama Atlantis? Di negeri Eropa pun ada dongeng-dongeng perjoangan antara perempuan dengan laki-laki itu. Tiap-tiap murid sekolah menengah telah pernah mendengar dari hal kaum "Amazone" yang berperang dengan kaum laki-laki gagah-gagah dan sigap-sigap, berkuda seperti pahlawan-pahlawan yang gagah berani, yang pedangnya menyambar-nyambar ke kanan dan ke kiri seperti kilat. Perhiasan-perhiasan yang orang pahatkan di gedung-gedung Yunani atau Rumawi zaman dulu, banyak pula yang menggambarkan peperangan antara kaum laki-laki dan perempuan itu. Tapi kecuali di beberapa tempat, hampir di mana-mana, di dalam perjoangan ini kaum perempuan terpaksa kalah dan takluk.

Sesudah kaum laki-laki berkuasa, maka bukan saja segala hukum-hukum masyarakat, hukum-hukum perkawinan, hukum-hukum keturunan dan perwarisan, diubah dan dibentuk menurut kemanfaatan hukum perbapaan itu, tetapi semua moral, adat-istiadat, kepercajaan, seni, ideologi-ideologi, agama, berubah pula menurut kemanfaatan hukum perbapaan itu. Agama-agama penyembahan alam yang dahulu, terdesak oleh agama-agama baru, yang semuanya merendahkan deradat perempuan. Ceritera Jahudi tua tentang pembuatan Sitti Hawa, bukan menurut "gambarnya Tuhan", tetapi dari tulang rusuk Adam, (Qur’an tidak mengatakan begitu, meski setengah kaum mengatakannya, tetapi dibantah oleh kaum muda), tidakkah ceritera ini bermaksud menggambarkan bahwa perempuan itu adalah "kelas dua" dari laki-laki? Dan bukanlah orang katakan pula, bahwa Hawalah, – ai dia! perempuan! -, yang menjadi sebabnya Adam terusir dari sorga? Bukankah oleh karena itu perempuan lantas dikatakan "makhluk dosa" dan makhluk yang tak suci? Di agama Yunani pun digambarkan salahnya aturan mengambil keturunan dari garis ibu itu dengan perkataan Dewa Apollo yang berbunyi: "Bukan Ibu yang membuat anak, dia hanyalah menjaga benih yang ditanamkan kepadanya oleh orang laki-laki. Orang juga dapat menjadi bapa dengan tidak beristeri". Maka dibuktikan oleh Apollo kebenaran perkataannya yang terakhir ini dengan menunjuk kepada Dewi Minerva, yang dilahirkan tidak dengan Ibu, tetapi keluar "sudah jadi samasekali" dari kepala bapanya, yaitu Dewa Yupiter. Begitu pula di dalam agama Hindu tua perempuan direndahkan. Di dalam kitab Rig Veda dituliskan sabda Manu, bahwa perempuan itu "selalu memikir kesyahwatan, selalu marah, selalu palsu dan tidak jujur ... Menurut tabiatnya, perempuan itu selalu mau menggoda kaum laki-laki, oleh karena itu laki-laki musti selalu hati-hati terhadap kepadanya ... Perempuan tak pernah dapat berdiri sendiri".

Di lain tempat Manu berkata: "Orang hilang kehormatan karena perempuan; asalnya permusuhan adalah perempuan; karena itu jauhilah perempuan".

Agama Buddha pun, yang umumnya begitu adil, sekonyong-konyong menjadi tidak adil kalau membicarakan kedudukan kaum perempuan: "Perempuan itu makhluk dosa; roman-muka perempuan seperti keramat, tapi hatinya seperti syaitan".

Marilah di sini saya ceriterakan satu hal yang lucu.

Sudahkah pembaca pernah mendengar perkataan "couvade"? Couvade adalah satu adat-kebiasaan yang sampai sekarangpun masih ada pada bangsa Baskia, yang berdiam di kanan-kiri gunung Pyrenea di Eropa. Kalau seorang wanita Baskia bersalin, maka terjadilah "sandiwara" berikut: Segera sesudah bersalin, wanita itu keluar dari tempat pembaringannya, dan suaminya lantas berbaring di tempat itu, mengaduh, merintih, sambat-sambat, seolah-olah dialah yang melahirkan anak. Ia berbuat demikian itu dengan disaksikan oleh banyak tamu-tamu, yang "menolong" dia, dan ia tinggal di tempat pembaringan itu beberapa hari lamanya! Segala sesuatu berlaku seolah-olah dia, – laki-laki itu -, yang melahirkan anak. Isterinya harus berbuat seakan-akan padanya "tidak ada apa-apa". Tamu-tamu itupun samasekali tidak memperdulikan isteri itu. Sebaliknya, sang suami itu tadi yang diladeni, sang suami itu tadi yang dijaga, ditolong. Sebab sang suami itu tadi yang baru saja "bersalin"! ...

Inilah adat yang dinamakan couvade. Mula-mula orang kira, bahwa adat ini hanya terdapat pada bangsa Baskia saja. Tetapi ia terdapat pula pada suku Abipon di Amerika Selatan! Dan pada suku-suku Indian di Guiana! Juga pada beberapa suku di Afrika dan di Asia Marco Polo menjumpainya di Yunnan Apollonius di tepi Lautan Hitam; Plutarchus di pulau Cyprus. Couvade ternyata satu adat yang dulu tersebar di mana-mana!

Apa arti couvade itu? Lihatlah, demikian munafiknya laki-laki! Wanita yang mengandung, wanita yang melahirkan bayi, wanita yang sakit, – tetapi itu harus disulap hilang. Dia, laki-laki, dia yang "bersalin", dia yang "mengadakan anak", dia yang kuasa. Dia yang berhak!

Sungguh menggelikan! .

Tentang couvade ini, maka Paul Lafargue menulis dalam kitabnya tentang hukum peribuan: "Manusia, makhluk yang paling kejam dan paling edan antara segala hewan, sering sekali membungkus keadaan-keadaan masyarakat yang penting dengan adat-adat kebiasaan yang paling menggelikan. Couvade adalah salah satu tipuan yang dijalankan oleh laki-laki, untuk mengusir wanita dari kedudukannya dan miliknya. Fi’il bersalin adalah tadinya tanda hak lebih daripada wanita dalam famili tetapi laki-laki telah menirukan fi’il ini dengan cara yang amat menggeli-kan, untuk meyakinkan dirinya sendiri, bahwa dari dialah bayi itu mendapat hidupnya".

Dari dia! Dari dia! Wanita tidak kuasa apa-apa, wanita sekadar alat!

Begitulah kecelakaan yang menimpa Sarinah itu. Alangkah kerasnya kejatuhannya itu, dari kedudukan yang. begitu mulia kepada kedudukan hina, yang ia nanti musti derita beribu-ribu tahun lamanya: tertutup, terkunci, terlantar, terabaikan sebagai benda, terhina, tersiksa, terperas tenaganya seperti sapi. Bagi kita kaum yang sadar di zaman sekarang, kejatuhan ini kita rasakan sebagai satu kesedihan yang maha sedih, satu tragedi yang maha tragis. Tetapi ditinjau dari sudut pertumbuhan masyarakat, maka perpindahan hukum peribuan kepada hukum perbapaan itu adalah satu kemajuan yang maha besar, satu evolusi masyarakat yang maha penting. Bagi masyarakat di zaman itu perpindahan itu adalah satu keharusan sejarah. Sebab masyarakat tak dapat berkembang-biak benar-benar, kalau masyarakat itu terikat kepada perikatan gens dan hukum peribuan yang di situ individualitas (keperibadian manusia seorang-orang) tak dapat merdeka dan leluasa, tak dapat "bertumbuh" dan "berkembang" menurut kehendaknya sendiri-sendiri, menurut hasrat sosial sendiri-sendiri. Maka oleh karena itulah tenaga-tenaga masyarakat dan tenaga-tenaga individualitas lantas memberontak kepada ikatan gens dan hukum peribuan itu, menghantam hancur perikatan-perikatan itu, menyapu bersih segala rintangan-rintangan yang menghalangi kepada berkembangnya individualitas itu. "Kita laki-laki mau merdeka dari asuhan ibu, kita mau merdeka mengeluarkan keringat kita buat kita sendiri, dan buat anak kita sendiri, kita mau merdeka menyusun keluarga!" – itulah semboyan revolusi sosial pertama yang maha hebat ini.

Dan revolusi yang menjelmakan faham milik perseorangan memang berhasil! Berhasil, oleh karena memang disuruh dan dibuat oleh masyarakat. Nyata masyarakat beruntung dengan merdekanya individuaitas, nyata masyarakat akan dapat merdeka berkembang dengan merdekanya individualitas itu. Nyata hukum keturunan menurut garis ibu itu adalah kurang cocok, kurang sesuai, kurang mendorong maju, kurang menjadi stimulasi kepada individualitas itu. Nyata di dalam hukum tua itu somah (keluarga) tak dapat berkembang, – somah, yaitu satu-satunya benteng tempat berkembang individu-alitas itu.

Maka oleh karena itu, terteropong dengan teropong umum, terpandang dari pandangan kemasyarakatan, maka revolusi ini adalah revolusi kemajuan, dan bukan revolusi kemunduran, bukan revolusi reaksioner. Maka benarlah kita, kalau kita bersorak syukur, bersorak "horas" atas berhasilnya perjoangan mengganti hukum ... tua dengan hukum baru itu. Tetapi tiap-tiap revolusi senantiasa mengekses, mengujung kapada ujung yang meliwati batas kemustian. Revolusi patriarchat ini bukan revolusi yang memerdekakan kaum laki-laki dengan memelihara kemerdekaan perempuan, tetapi menjadilah satu revolusi yang memerdekakan kaum laki-laki dengan mengorbankan kemerdekaan perempuan! Perlawanan kaum perempuan terhadap pada revolusi ini tentu menjadi sebab pula bagi kaum laki-laki itu untuk "melipat" kaum perempuan itu sama sekali, merampas segala kemerdekaan yang ada pada perempuan itu sama sekali, agar supaya perlawanan perempuan itu menjadi patah sama sekali. Perlawanan kaum perempuan itu, – sebagai di dalam tiap-tiap revolusi -, menjadilah sebabnya kaum yang membuat revolusi itu mengadakan "diktatur": Diktatur kaum laki-laki untuk mematahkan kontra revolusinya kaum perempuan.

Tetapi sesudah kaum perempuan patah, maka inilah celakanya perempuan – kaum laki-laki itu tidak mengembalikan kepadanya sebagian daripada kemerdekaannya yang sediakala. Beribu-ribu tahun Sarinah tetap dan terus di- "diktaturi" saja. Beribu-ribu tahun ia tetap dipisahkan dari masyarakat, dipisah-kan dari pergolakan hidup sehari-hari, dipisahkan dari "struggle for life" yang dulu membuat dia menjadi sehat dan sigap badan, sehat dan sigap fikiran, sehat dan sigap jiwa. Beribu-ribu tahun ia ditutup di dalam kegelapannya rumah, diperlakukan seperti benda, diperhambakan secara budak, atau paling mujur dipeliharakan seperti blasteran dewi dan si tolol. Akhirnya, karena perhambaan yang turun-temurun itu, ia menjadi makhluk yang lemah dan kecil badan, makkhluk yang bodoh, makhluk yang tumpul fikiran, makhluk yang singkat pemandangan, makhluk yang selalu takut, makhluk yang tiada kekerasan kemauan, makhluk yang karena tiada melihat dunia lantas gemar bicara tetek-bengek, makhluk yang karena selalu didurhakai lantas banyak akal "tipu-muslihat". "Dia mengkerat menjadi kecil", demikianlah kata Bebel dalam satu tulisan. Nasib dia sekarang, nasib miskin atau nasib kaya, nasib lapar atau nasib kenyang, nasib dia sekarang tidak lagi tergantung dari kepribadian sendiri, tetapi sama sekali tergantung daripada laki-laki yang menjadi suaminya.

Laki-laki inilah yang kini menjadi Maha Dewanya. Sebagai fihak yang memelihara jiwanya, maka menjadilah laki-laki itu satu kekuasaan yang membentuk hidupnya. Perkawinan, mendapat jodo, itulah kini menjadi soal yang terbesar bagi perempuan, soal yang mengisi segenap jiwanya, satu tanda besar di dalam hidupnya. Mendapatkan seorang laki-laki yang sanggup mengangkat hidupnya itu ke derajat yang mulia, yang dapat mengasih kepadanya keamanan dan kekayaan, – itulah kini menjadi pusat segenap idam-idamannya, ke situlah diarahkan segenap kecantikannya.

Bukan lagi kepribadiannya yang kini menentukan hidupnya, tetapi kecantikannya, kejelitaannya, "sex-appeal"-nya. Keelok-annya itu kini menjadi senjata ekonomis, fungsi kelaminnya menjadi fungsi ekonomi. Dengan keelokannya inilah ia kadang-kadang dapat merebut kedudukan yang tinggi, – menjadi isteri orang besar, bini orang yang termasyhur nama, gundik orang yang kaya-raya. Dengan keelokannya itulah malahan ia kadang-kadang dapat menjadi permaisuri seorang raja.

Kita mengetahui dari dongeng-dongeng, dari cerita-cerita wayang, dari bukti-bukti dalam sejarah, betapa kadang-kadang seorang laki-laki miskin, karena kecakapan, keberanian, keuletan, perjoangan, kelaki-lakian, pendek kata karena kepribadian, dapat menjadi seorang pahlawan besar atau seorang raja. Ken Arok, itu penggembala kerbau, menjadi Maharajadiraja di Singasari karena kepribadian; Ciung Wanara, itu anak tukang besi, menjadi Sang Perabu Pejajaran, karena "kepribadian. Tapi bagi perempuan hanyalah kecantikan paras muka dan kecantikan badan saja, bukan kepribadian yang dapat mendatangkan "keajaiban" yang demikian itu. Kalau tidak kebetulan Sang Arjuna berjalan meliwati tempat kediamannya, dan tertarik oleh keelokannya yang "seperti bulan purnama", maka tak mungkin si gadis miskin naik derajat menjadi puteri di dalam keraton.

Karena itu, maka segenap jiwanya, segenap fikirannya, segenap angan-angannya, dipusatkan kepada soal yang satu itu: mendapat jodo yang menyenangkan, dan kalau sudah mendapat jodo, menjaga jangan sampai diceraikan lagi; menjaga jangan sampai sang suami tak senang kepadanya, jangan sampai ia dialahkan oleh lain perempuan. Maka karena itu pula, semua pendidikan yang dikasihkan kepada gadis-gadis adalah ditujukan kepada hal yang satu ini. Dan apakah sifat-sifat perempuan yang kini disenangi oleh laki-laki? Tak lain dan tak bukan sifat-sifat yang menetapkan perempuan itu di dalam perhambaan; ia tak perlu pintar, tetapi ia harus tenang, harus menurut, harus taat, harus merendah, harus sabar, harus sedia berkurban, harus halus suara, harus benci kepada dunia luaran, harus cinta rumah tangga saja.

Perempuan harus cantik, tetapi kecantikannya itu harus lain lagi dari kecantikan Srikandi yang sigap dan tangkas, atau lain lagi dari kecantikan Brunhilde yang laksana kecantikan singa betina, melainkan haruslah kecantikan jelita, halus seperti sutera, harus "tunduk mata", ramping badan, jatmika, seperti kecantikan bunga melati. Pendek kata, idam-idaman kaum laki-laki adalah orang perempuan yang cukup memuaskan kebirahiannya tetapi harus "halus" dan "lemah lembut", yang sesuai dengan status perhambaan dan ketaatan. Jadi yang sama sekali bertentangan benar dengan sifat-sifat yang ia senang melihat kepada kaum laki-laki sendiri: Laki-laki harus kuat, harus berani, harus besar badan, harus dinamis, harus bersuara sebagai guntur, harus suka berjoang mati-matian, tetapi perempuan harus kebalikannya sama sekali daripada itu. Ia harus lemah, harus, merasa dirinya lemah, perlu mohon tolong dari orang laki-laki, mohon per-lindungan, mohon hidup dari orang laki-laki. Orang perempuan yang demikian ini, orang laki-laki sedia menganggapnya sebagai bidadari atau dewi; buat orang perempuan yang demikian ini orang laki-laki bersedia berkurban dan berjoang. Di Eropa sebagai salah satu akibat anggapan ini timbullah ridderisme, yang menganggap perempuan itu sebagai satu makhluk jelita yang musti dihormati setinggi langit dan diperlindungi. Pada kulitnya sahaja ridderisme ini seperti mengangkat tinggi kepada perempuan, tetapi sebenarnya ridderisme itu adalah justru memandang perempuan itu sebagai makhluk yang sangat lemah, yang selalu harus ditolong. Tidakkah "kegentlemanan" zaman sekarang ini, yang bersemboyan "kehormatan bagi para wanita", pada hakekatnya berbatin juga menganggap lemah kepada perempuan itu?

Dan lama-lama idam-idaman kaum lelaki tentang wanita ini "mewujud" kepada perempuan pula! Beratus-ratus tahun perempuan hidup di dalam udara "idam-idaman kaum lelaki tentang wanita" ini, beratus-ratus tahun ia dipaksa hidup menurut "idam-idaman kaum lelaki tentang wanita" ini, – sebab kalau tidak, tak mungkin ia mendapat suami -, maka lama-kelamaan idam-idaman kaum laki-laki ini menjadi idam-idaman kaum wanita tentang dirinya sendiri pula! Rohaninya, jiwanya, fikirannya, kemauannya, perangainya, batinnya, semua itu menjadi lemah dan tunduk, jelita dan sabar, ikhlas dan taat, – lain lagi daripada jiwa, fikiran, nafsu, perangai kaum Amazone atau kaum wanita Nusa Tembini di zaman matriarchat purbakala. Dan bukan saja jiwa dan sukma perempuan itu menjadi lemah, bentuk badannya pun menjadi lemah. Kini jarang sekali terlihat orang perempuan yang badannya subur dan besar, sigap dan kuat seperti di zaman purbakala itu. Kini umumnya tubuh perempuan itu kecil-kecil dan lemah-lemah. "Kultur" tidak berarti perempuan menjadi lebih kuat rohani dan badani, "kultur" adalah membuat roh dan badan perempuan itu menjadi lemah dan jelita. Lihatlah di kalangan kaum atasan, di mana "kultur" ini paling mendalam, maka kelemahan ini tampak dengan terang seterang-terangnya. "Awake koyo putri, antenge koyo putri", itu sampai sekarang masih menjadi sebutan orang Jawa. Di dalam kalangan kaum bawahan, kaum tani dan kaum buruh, yang perempuannya tidak terlalu dikurung, tapi diajak berjoang mencari sesuap nasi, maka kelemahan dan kejelitaan itu kurang tampak padanya. Tetapi pada umumnya tak dapat dibantah lagi, bahwa perbedaan kekuatan dan kebesaran tubuh serta perbedaan kecerdasan antara laki-laki dan perempuan itu, di dalam zaman patriarchat itulah bertambah-tambahnya, di zaman patriarchat itulah dipelihara-peliharakannya.

Demikianlah umumnya keadaan kaum perempuan di zaman kekuasaan dipegang oleh kaum lelaki itu. Benar sekali perkataan seorang perempuan bangsa Belanda, Clara Meyer Wichmann, bahwa famili itu dus adalah satu machts verhouding, artinya, satu tempat laki-laki menjalankan kekuasaannya atas perempuan.

Tatkala Nabi Isa dan kemudian Nabi Muhammad datang membawa agamanya masing-masing, maka sudahlah keadaan ini keadaan biasa di mana-mana. Kedua-dua Nabi itu lantas mencoba menjunjung kaum perempuan itu dari keada-annya yang hina-dina itu, mencoba menolong perempuan itu dari ekses-ekses patriarchat, mengadakan aturan-aturan guna mengatur serta mengadilkan patriarchat itu. Bukan menghapuskan hukum perbapaan, tetapi mengaturnya, mengadilkannya. Sebab kedua-duanya beranggapan, bahwa memang hukum perbapaanlah, dan bukan hukum peribuan yang lebih cocok dengan kehendak alam, lebih sesuai dengan kehendak kodrat. Tetapi pengajaran kedua-duanya pula telah tidak diperdulikan sama sekali oleh sebagian pengikut-pengikut dan pemuka-pemuka agama yang kemudian. Tradisi kaum penghina perempuan yang diperangi oleh dua Nabi ini, diteruskan oleh pengikut-pengikut itu. Nabi Isa mengajarkan persamaan laki-laki dan perempuan di hadapan Allah, tetapi pengikut-pengikutnya mengadakan lagi aturan-aturan yang mengungkung kaum perempuan itu. Padahal! Sejarah telah membuktikan dengan yakin, bahwa justru kaum perempuanlah yang menjadi pengikut-pengikut dan propagandis-propagandis agama Nasrani yang paling ulet. Kaum perempuanlah yang dibakar mati oleh Raja di Roma, kaum perempuanlah yang dilemparkan kepada singa-singa dan dicabik-cabik tubuhnya oleh binatang-binatang buas itu, oleh karena mereka menjadi pengikut atau propagandis agama Nasrani itu. Ya, oleh karena memang kaum perempuan-lah salah satu dari bagian-bagian masyarakat yang dibela oleh Nabi Isa itu, maka kaum perem-puanlah berduyun-duyun masuk agama Isa; tetapi pengikut-pengikut Isa yang laki-laki tak dapat melepaskan dirinya dari tradisi merendahkan perempuan; mereka itu tak dapat membalas budi kepada kaum perempuan yang telah bekerja dan berkurban begitu banyak untuk agama Isa. "Orang perempuan tak boleh bicara di dalam "jemaah"; "perempuan harus menurut dan menghormat kepada laki-laki"; "Tapi aku tak mengizinkan perempuan belajar, atau perempuan memerintah laki-laki, tapi aku mau perempuan itu diam"; "Tak diizinkan kepada mereka untuk berbicara, tetapi diperintahkan kepada mereka, supaya mereka tunduk". Kalimat-kalimat yang merendahkan kepada perempuan ini, terdapat di dalam kitab Nasrani, tetapi kalimat-kalimat itu bukan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Isa. Kalimat-kalimat itu keluar dari mulut pengikut-pengikutnya. Begitu pula maka dongeng Yahudi tua tentang kejadian Adam dan Hawa, yang mengatakan bahwa perempuan tidak terbuat "menurut gambar Allah", melainkan hanya dari tulang rusuk Adam saja, dan bahwa dialah yang menarik Adam ke dalam dosa, sehingga dipandang perlu perempuan itu dianggap tidak suci dan selalu ditundukkan saja kepada laki-laki, – dongeng Yahudi tua inipun dimasukkan oleh pengikut-pengikut Isa itu ke dalam kitab. Dan sebagai "gong"-nya ini semua, maka pada penghabisan abad keenam, satu rapat besar dari semua kepala-kepala agama di kota Macon sudah membuang tempo banyak-banyak buat membicarakan soal, apakah perempuan itu benar-benar satu makhluk yang mempunyai nyawa atau tidak!

Kasihan kaum perempuan! Dia yang paling banyak mengorbankan jiwa buat mempropagandakan agama Isa, dia yang dibakar, dia yang dicabik-cabik singa, dia yang menyebar-kan agama Isa itu kemana-mana , – Chlotilde yang menanam agama Nasrani di Franka, Berta di Kent, Gisela di Hongaria -, tetapi dia pula yang selalu dikalahkan saja. Sampai sekarang, dia, pada waktu dia dinikahkan oleh paderi kepada seorang laki-laki, musti bersanggup di muka altar lebih dulu, bahwa dia "akan taat dan menurut kepada suami buat selama-lamanya". Dan kasihan pula perempuan di dalam masyarakat Islam! Nabi Muhammad menjunjung derajat wanita dari ekses-ekses patriarchat jahiliah, memerdekakan dia dari perhambaan, tetapi kaum-kaum yang sempit fikiran dan sempit mata menyeret dia kembali ke dalam lumpur derajat rendah dan lumpur derajat hina. Kaum-kaum yang sempit fikiran dan sempit mata ini meneruskan saja tradisi kaum jahiliah, atau ambil oper saja tradisi Persia dan Yunani Byzantia yang amat menyempitkan hak-hak kaum perempuan. "Perempuan di dalam masyarakat Islam", – tidakkah ini di dalam telinga dunia ramai terdengarnya sama saja dengan:

"Perempuan di dalam penutupan dan perhambaan"?

Ya, benar-benar malang nasib perempuan itu! Sejak datangnya aturan patriarchat sampai kepada zaman-zaman yang hampir masuk zaman kita sekarang ini, ia, beribu-ribu tahun lamanya, terun-temurun, terpaksa musti hidup di dalam satu dunia yang penuh dengan kegelapan dan kesempitan. Orang Yunani menamakan dia "Oikurema", yang berarti benda untuk mengurus rumah. Zaman beredar, masa beralih, abad berganti, kerajaan-kerajaan bangun dan kerajaan-kerajaan runtuh lagi, macam peradaban berubah berganti-ganti, tetapi di dalam nasib perempuan tiada perubahan, sama sekali. Tetap ia musti hidup di dalam kegelapan dan kesempitan yang sediakala, tetap ia dianggap sebagai makhluk jang nomor dua! Dan inipun bagi orang yang mengerti ilmu masyarakat tidak mengherankan! Sebab, meskipun abad dan peradaban itu berubah berganti-ganti, maka belum bangkitlah keharusan-keharusan – masyarakat yang memerdekakan perempuan itu dari ikatan rumah tangga. Belum bangkitlah keharusan-keharusan – masyarakat yang "mengusir" dia dari tutupan rumah, menghela dia ke dalam struggle for life dunia ramai. Zaman beredar melalui tahun-tahun yang beribu-ribu bilangannya, tetapi masih tetap perempuan paling mujur menjadi produsen buat somah, produsen buat ... keluarga, – belumlah ia terhela keluar menjadi produsen masyarakat pula. Itulah sebabnya, maka, semua kejadian-kejadian masyarakat terjadi tidak dengan bantuannya, tidak dengan bahagiannya, tidak dengan pengetahuannya, tidak dengan persetujuannya. Ia tetap hidup sebagai satu anasir, yang belum terhela aktif di dalam pergolakan masyarakat, dan oleh karena itu, maka kedudukannyapun tetap "kedudukan rumah tangga" saja.

Tetap demikian, ... sampai abad delapanbelas hampir silam! Sampai timbulnya zaman industrialisme di Eropa yang menghela perempuan itu keluar dari kegelapan rumah, masuk ke dalam struggle for life produksi masyarakat. Pada akhir abad kedelapanbelas itu mulai timbul di Eropa zaman kepaberikan, dan kepaberikan inilah nanti membongkar sama sekali aturan-aturan masyarakat yang kuno, merobek-robek hukum adat dan hukum moral yang telah ribuan tahun tuanya, menghela keluar semua makhluk-makhluk yang tadinya tertutup di antara dinding-dinding kekeluargaan. Apa yang disusun dan diperkokoh oleh tradisi berabad-abad lamanya itu, dibongkar samasekali oleh mesin di dalam tempo yang hanya puluhan tahun saja. Mesin pemintal, dan mesin tenun, yang terdapatnya hampir satu saat dengan mesin uap, mesin-mesin ini mengada-kan revolusi yang maha hebat di dalam susunan masyarakat, adat, moral; di benua Eropa pada waktu itu. Dulu perempuan tinggal di dalam rumah tangga untuk (kecuali memasak) membuatkan pakaian bagi suami dan anak. Dulu perempuan sendiri yang memintal, menenun, menyulam, menjahit, sebagai juga di negeri kita dulu tiap-tiap perempuan tinggal di rumah untuk menenun atau membatik. Dulu perkataan "ia saleh dan menenun" adalah pujian yang tertinggi yang orang tuliskan di atas batu kuburan orang perempuan yang sudah mati.

Tetapi kini pada akhir abad kedelapanbelas itu, karena revolusi industri itu, maka bukan saja semua bahan-bahan pakaian itu tak perlu lagi ditenun sendiri dengan banyak susah-payah, melain-kan dapat dibeli dengan harga yang amat murah, sehingga banyak perempuan menjadi merdeka dari pekerjaan di rumah itu, – tetapi mesin-mesin yang dipakai di paberik-paberik itu tidak perlu pula pelayanan oleh banyak tenaga laki-laki. Tenaga perempuan dan tenaga kanak–kanak mencukupi buat pekerjaan meladeni mesin-mesin itu. Perempuan dan kanak-kanak diundang bekerja ke dalam paberik. Maka perempuan, yang berwindu-windu; berabad-abad tadinya tertutup di dalam rumah-tangga itu, karena kesempitan nafkah hidupnya, menjadi terhela bersama-sama anak-anaknya ke dalam paberik, ke dalam masyarakat, ke dalam produksi masyarakat. Perempuan-perempuan dan anak-anak itu menjadi kaum buruh. Di dalam tahun 1790 saja sudah adalah 60.000 perempuan Inggeris dan 40.000 anak-anak Inggeris menjadi kaum buruh di paberik-paberik benang, di dalam tahun 1840 jumlah kuli perem-puan Inggeris itu sudah menjadi 500.000 dan di dalam tahun 1890 naik lagi menjadi 1.500.000 orang! Dan bukan di negeri Inggeris saja! Di Perancis, di Jerman, di Belgia, di negeri Belanda, di mana-mana saja industrialisme ini menghancurkan tembok-tembok beton pengurungan perempuan, di mana-mana saja terhela perempuan itu dari cengkeraman kemiskinan rumah-tangga, – keluar! keluar!

Ke dalam struggle for life di dalam paberik, keluar ke sampingnya mesin, keluar ke dalam produksi masyarakat, keluar!, untuk mencari sesuap nasi! Di dalam tahun 1909 di negeri. Belanda adalah 28% dari semua perempuan bekerja sebagai buruh, dan jumlah ini adalah 18,3% dari semua jumlah kaum buruh di dalam totalnya.

Gugurlah kini tradisi, gugurlah segala moral, gugurlah segala kebiasaan anggapan, bahwa sudah penghidupan menurut kodrat perempuan mendekam di dalam rumah tangga, gugurlah semua anggapan, bahwa perempuan tak dapat makan kalau tidak disuap oleh kaum laki-laki. Gugurlah semua faham, bahwa perempuan tidak dapat dipakai buat pekerjaan masyarakat. Di manakah orang mau berkepala batu menetapkan penghidupan menurut kodrat perempuan menenun di rumah dan menanak nasi, kalau perempuan itu sendiri di akhir abad ke-18 dan di abad ke-19 dengan bermiliun-miliun membuktikan kepada dunia, bahwa ia cakap memegang mesin, cakap ikut menjalankan teknik, cakap menjadi pekerja industri, cakap campur di dalam perusahaan?

Di negeri Jerman saja di dalam tahun 1882 sudah ada 4.250.000 kaum buruh perempuan, di dalam tahun 1895 lebih dari 6.500.000 orang, dan di dalam tahun 1907 jumlah ini telah menjadi 9.500.000 orang!

Memang sebelum di Eropa ada aturan-aturan yang melindungi kaum buruh, sebelum di situ ada undang-undang per-buruhan, maka kaum perempuan dan anak-anak itulah yang paling laku sebagai kaum buruh. Apa sebab? Tak lain tak bukan, justru karena tabiat tunduknya dan nerimonya perempuan yang telah menjadi darah-daging-tulang-sungsum itu. Kaum perempuan lebih menurut, lebih sabar, lebih takut, lebih murah, lebih mengetahui kewajiban, daripada kaum buruh laki-laki. Yang tersebut belakangan ini selalu besar mulut, sering mabuk, sering memberontak, dan – mahal upahnya! Upah satu orang laki-laki boleh dipakai buat dua orang perempuan, dan mesin tenun dan mesin pintal memang lebih sempurna dijalankan oleh tangan perempuan yang lebih halus daripada tangan laki-laki. Itulah sebabnya, maka akibat revolusi industri di Eropa itu yang paling dulu tampak ialah sangat lakunya tenaga kaum perempuan sebagai kaum buruh. Revolusi di dalam cara produksi masyarakat menyebab-kan revolusi menghancur-leburkan adat memingit kaum perempuan!

Dan bukan di Eropa saja! Industrialisme itupun menjalar ke Timur, ke seluruh Asia, walaupun agak terlambat. Sejak pertengahan abad ke-19 sudahlah industrialisme ini mulai meng-hantam pula tembok beton penutupan perempuan di dunia Timur. Juga di dunia Timur orang pada waktu silamnya abad ke-19 itu mulai melihat perempuan-perempuan dan anak-anak keluar dari tutupan rumah tangga, masuk ke dalam paberik tenun, paberik gula, paberik teh, atau ke dalam kebun-kebun "kontrakan". Juga di dunia Timur gugurlah lambat-laun segala belenggu-belenggu tradisi, segala faham-faham dan moral-moral yang mau terus menetapkan perempuan itu sebagai makhluk tutupan di rumah. Di negeri-negeri yang tidak terlalu keras ikatan agama, maka kaum buruh perempuan segera menjadi barang yang biasa. Di India, di Tiongkok, dan terutama sekali di Nippon, permasyarakatan ini berjalan dengan cepat. Tetapi di lain-lain tempat masih keras juga ikatan belenggu tradisi. Meredith Towsend, yang dulu membuat perbandingan antara kedudukan perempuan di pelbagai negeri-negeri Asia, mengatakan bahwa, walaupun perempuan-perempuan Nippon masih saja dihina dan ditindas oleh kaum laki-lakinya, mereka toh masih agak bagus kedudukannya kalau dibandingkan dengan kedudukan perempuan di beberapa bagian negeri-negeri Islam. Hukum-hukum Qur’an yang mengasih kedudukan baik kepada mereka itu, diabaikan orang sehingga seperti huruf mati belaka kalau melihat praktek penindasan sehari-hari. Faham-faham yang asal-nya dari zaman kaum kolot, masih ditegakkan orang di banyak bagian negeri-negeri Islam. Tetapi,- bagi siapa yang mempelajari gerak masyarakat dan sejarah, dan cukup lebar-lebar matanya untuk membanding-bandingkan tingkatan-tingkat-an masa dan sejarah, bagi dia tampak pula, bahwa kaum kolot itu sebenarnya memperjoangkan satu perjoangan yang kalah. Juga di negeri-negeri Islam, proses masyarakat ini akan menghancurkan anggapan, bahwa penghidupan menurut kodrat perempuan hanyalah "melahirkan anak-anak, serta menjadi penjaga yang setia dari rumah tangga saja.".

Juga di negeri-negeri Islam proses masyarakat ini menghela, menarik, mendorong perempuan itu ke dalam gelanggang pergolakan masyarakat, menaikkan derajat perempuan itu menurut tinggi bagiannya di dalam proses produksi masyarakat. Sebab di dalam hal ini tiadalah perbedaan antara kekuatan tenaga proses masyarakat di Timur dan di Barat.

Yang berbeda hanyalah temponya belaka, cepatnya atau lambatnya.

Demikianlah pengaruh industrialisme itu atas nasib kaum perempuan Marhaen di benua Eropa dan Asia. Tradisi penutupan dan pengurungan dihantam hancur-lebur oleh industrialisme itu, dan begitu pula tradisi, bahwa hidupnya perempuan harus selalu tergantung kepada nafkah dari laki-laki. Tetapi industrialisme itu tidak menghancurkan pula tradisi perempuan sebagai kuda–beban di dalam rumah-tangga. Tradisi pengurungan hancur-lebur, tetapi tradisi budak rumah tangga berjalan terus. Pekerjaan memasak, mencuci; menjahit pakaian yang robek, memelihara anak, dan lain sebagainya masihlah menjadi tanggungan perempuan. Sepuluh, duabelas, empatbelas jam lamanya kadang-kadang ia musti bekerja di paberik, tetapi sebelum berangkat ke paberik itu dan sesudah pulang dari paberik itu pula, ia masih harus berkeluh-kesah bekerja buat pelbagai urusan rumah-tangga. Ia menjadi kuda beban yang " dobel", kuda-beban di paberik DAN kuda-beban di rumah tangga.

Ia mengerjakan pekerjaan dua orang, pekerjaan produsen di dalam paberik dan pekerjaan produsen di dalam rumah tangga.

Orang Inggeris ada mempunjai sya’ir yang bunyinya:

Man works from rise to set of sun

Woman’s work is never done.

Artinya:

Laki kerja dari matahari terbit sampai terbenam,

Perempuan kerja tiada hentinya siang dan malam

Ini sya’ir adalah jitu sekali buat menggambarkan beban perempuan itu. Betul barang-barang keluaran paberik kini banyak dijual dipekan-pekan dan kedai-kedai, tetapi ia tak dapat membelinya semuanya, karena tidak cukup mempunyai uang. Betul industrialisme itu bagi siapa yang sedikit mampu adalah satu hal yang meringankan hidup di dalam banyak urusan sehari-hari, tetapi perempuan kaum bawahan itu tidak mampu membelanjai semua urusan sehari-hari itu. Maka oleh karena itu masih banyak sekali pekerjaan rumah tangga yang masih tetap menjadi tanggungannya. Tetap ia masih musti membuat sendiri seribu satu barang yang kecil-kecil. Kedai-kedai penuh sigaret atau serutu bermacam-macam, tetapi ia masih tetap menggulung-gulungkan rokok bagi sang suami sampai ayam jantan hampir berkokok. Toko penuh dengan barang pakaian yang murah-murah, tetapi ia masih tetap menisik pakaian anaknya yang sudah amoh sampai jatuh tertidur karena tak tahan lagi kantuk matanya. Kedai dan toko sedia mengasih peringanan hidup macam macam, asal saja ada uangnya, tetapi justru uang inilah yang ia tak dapat adakan. Sesungguhnya, – telah hancur tradisi yang membuat dia makhluk pingitan dan makhluk yang isi perutnya tergantung pada laki-laki saja, tetapi masih tetap berjalan tradisi yang membuat dia kuda beban di dalam rumah-tangga. Ia men-dapat kemerdekaan, terlepas dari ikatan tutupan, tetapi kemerdekaan itu harus dibelinya dengan memikul dua beban yang hampir mematahkan tulang belakangnya. Kesehatan tubuhnya selalu terganggu. Menurut statistik, maka rata-rata setahun-tahunnya orang laki mangkir kerja 43/4 hari, tapi orang perempuan 71/2 hari. Di Jerman dulu jumlah kaum buruh perempuan yang kena penyakit tuberculose adalah 3 kali jumlah kaum buruh laki-laki yang kena penyakit ini. Tak salah-lah perkataan seorang pemimpin perempuan, Lily Braun, bahwa perempuan di dalam abad ke-19 dan ke-20 itu sama nasibnya dengan "keledai kecil yang musti menarik dua kereta": kereta rumah tangga dan kereta pencaharian nafkah. Tetapi lebih jitu adalah perkataan Henriette Roland Holst: " jiwa–raganya adalah retak ", " doorhaar wezenloopteenscheur " : sepihak musti ingat kepada rumah tangga, sepihak lagi kepada pencaha-rian nafkah di dunia ramai. Yang satu tak dapat berjalan dengan tidak merugikan atau mengkonflik kepada yang lain. Fikirannya, tubuhnya, jiwa-raganya, menjadi terombang-ambing antara dua kewajiban ini, terbanting-banting antara dua tanggungan ini. Ia menjadi satu makhluk yang "senewen", yang lari dari satu kebingungan ke lain kebingungan, tersepak sebagai satu bola dari satu goal ke lain goal.

Sebab, meskipun dia sudah bekerja di masyarakat, yaitu bekerja sebagai produsen masyarakat di dalam paberik atau di perusahaan lain, – tetap ia seorang Wanita, tetap ia seorang Isteri, tetap ia seorang Ibu. Tetap ia ingin membahagiakan suaminya, tetap ia ingin membahagiakan anak-anaknya. Kewajiban terhadap suami dan anak ini, tak dapat dan tak mungkin ia lupakan. Sebab, kecintaan kepada suami dan kecintaan kepada anak, adalah memang Jiwa Wanita. Wanita boleh modern, boleh "feminis", boleh menjadi orang pangkat tinggi, atau orang kuli hina-dina yang limabelas jam sehari membanting tulang di paberik, – tetapi ia tetap Wanita, yang ingin cinta, yang ingin kasih, yang ingin membahagiakan kepada suami dan anak. Meskipun badan telah letih seperti remuk, pinggang telah patah karena cape, – setiba wanita di rumah dari pekerjaan di paberik atau di kebun, ia akan bekerja lagi, membanting-tulang lagi" memeras keringat lagi, ... buat suami, ... buat anak. Ia tidak akan dapat melepaskan diri dari tarikan jiwa yang demikian itu. Sebab ia ... wanita! Henriette Roland Holst menggambarkan jiwa wanita ini dengan kata-kata yang berbunyi:

" Diepopdenbodemvandezielvaniedere vrouw, leeftdewensnaarliefdeen moederschap ".

Artinya: " Di dalam jiwa tiap–tiap wanita yang sedalam–dalamnya, bersemayam keinginan kepada Cinta dan Keibuan ".

Maka oleh karena itu, bagi perempuan kelas rendahan yang dapat kesempatan bekerja sebagai kaum buruh di luar rumah, kendati kemerdekaan keluar dari rumah itu, kendati kesempatan memerdekakan diri dari menjadi tanggungan laki-laki, masih tetaplah peri-kehidupan baginya berarti satu kegelapan dan satu kepahitan. Belum terbit matahari baru baginya, yang akan memecahkan kegelapan dan kepahitan itu.

Dan yang tidak mendapat kesempatan bekerja sebagai kaum buruh? Juga mereka banyak yang menjadi merdeka pula, tetapi merdeka yang amat sesat: merdeka sebagai sundal. Sundal menjadi salah satu peristiwa sosial dari zaman industrialisme ini. Havelock Ellis mengatakan, bahwa abad ke-19 itu adalah "abadnya sundal". Tiap-tiap kota besar di zaman ini adalah "satu rumah sundal yang amat besar!".

Bagaimana keadaan kaum perempuan fihak atasan ?

Juga di sini perempuan masih saja tersia-sia. Mesin berputar di paberik-paberik, membuat pelbagai barang yang dulu harus dibuat oleh perempuan di kalangan kaum atasan pula. Mesin itu memasukkan barang-barang itu ke dalam rumah tangga mereka, tetapi toh tidak membuat peri-kehidupan mereka menjadi senang. Apa sebab? Bukan di kalangan kaum rendahan saja, tetapi juga di kalangan amtenar dan kaum pertengahan dulu perempuan harus memintal dan menenun sendiri, menjahit dan menyulam sendiri, membuat kuwih dan mengerjakan pelbagai pekerjaan rumah tangga sendiri, meskipun pekerjaannya itu tentu jauh lebih ringan daripada pekerjaan perempuan-perempuan di kelas bawahan. Pelayan-pelayan adalah di kalangan kaum atasan itu buat mengerjakan pekerjaan yang berat-berat. Tapi toh, hidup kaum perempuan atasan itu dari dulu mula satu "kehidupan rumah tangga" belaka. Sekolah-sekolah, kantor-kantor, tempat-tempat dunia ramai, pekerjaan-pekerjaan sebagai klerk, komis, pemegang buku dsb, tertutup rapat-rapat bagi mereka. Di rumah tangga saja mereka musti mendekam. Tulisan "dia saleh dan menenun", tulisan batu kubur yang berbunyi demikian itu terutama sekali terdapat pada kubur-kubur kaum perempuan kelas atasan. Hari yang satu, sama saja dengan hari yang lain; tiada perubahan sama sekali di dalam mereka punya daftar hidup; hari-hari mereka duduk saja di dalam kamar kediaman dan kamar tamu, bercakap-cakap membicarakan hal-hal tetek-bengek, diperlakukan oleh "ridder-ridder" lelaki sebagai dewi-dewi halus yang selalu perlu ditolong dan dijaga-jaga. Laki-laki inilah yang mengambilkan saputangan mereka kalau saputangan-nya jatuh, laki-laki inilah mengangkatkan kursi, kalau mereka hendak duduk. Mereka diladeni seperti Raja Puteri, seperti Dewi. Tapi dalam pada itu juga, mereka diperlakukan oleh "ridder-ridder" itu sebagai makhluk yang tak cakap hidup sendiri, tak cukup kecerdasan dan kepandaian, tak kuat memikul pekerjaan pekerjaan masyarakat, tak penuh fikiran dan ingatan.

Di dalam kalangan kaum atasan inilah, kaum perempuan benar-benar dipelihara dan dijaga-jaga oleh "ridder-ridder" itu sebagai blasterannya dewi dan si tolol.

Kini barang-barang paberik itu masuk ke dalam salon dan boudoir mereka. Mereka tak perlu memintal benang lagi, tak perlu menenun lagi, tak perlu membuat kuih lagi, tak perlu membuat obat-obat sendiri lagi. Sebab mereka mampu membeli semua keperluan-keperluan rumah tangga itu dari paberik dan dari toko. Maka kehidupan mereka semakin menjadi kosong, waktu mereka semakin banyak yang terluang.

Mereka semakin "nganggur". Mau masuk paberik menjadi kuli seperti perempuan bawahan, tak mungkin baginya, – mereka musti "jaga nama", dan upah satu dua picis itupun mereka tak perlukan sama sekali – mau masuk kantor-kantor atau sekolah-sekolah, belumlah mereka mendapat pintu yang terbuka, bekerja di paberik sebagai kaum buruh kasaran mereka tak mau, bekerja di kantor atau di masyarakat sebagai kaum buruh halusan masih ditabukan kepadanya. Maka datanglah di dalam hidup mereka itu satu siksaan pedih, lebih pedih daripada siksaan yang lain-lain; datanglah kepadanya siksaan "kesalnya menganggur" siksaan beratnya "duduk tenguk-tenguk". Jeltje de Bosch Kemper, seorang perempuan Belanda, mengeluhkan keadaan yang demikian ini dengan keluhan: "Apa yang saya kerjakan dari umur delapan belas tahun", ... tak tahulah saya. Tinggal di rumah saja menyulam, menggambar, main piano, menjahit sedikit, menulis surat, bertamu, jalan-jalan sedikit, ... Kadang-kadang ada banyak juga hasil pekerjaan itu, tapi kadang-kadang juga banyak yang tersia-sia". Inilah keluhan seorang-orang yang menderita penyakit "verveling" itu. Adakah keadaan di kalangan atasan dari perem-puan Indonesia berbeda? Siapa yang membaca kitab R.A. Kartini "Door duisternis tot licht", akan mendapat kesan yang sama: verveling, verveling, dan sekali lagi verveling! "Saya tak tahu, bagaimanakah saya dapat melakukan waktu", begitulah selalu keluhannya. Maka baik di dunia Eropa, maupun di dunia Indonesia, " puteri–puteri " , yang terlalu banyak tempo, menganggur ini, menjadi "mesin ngomong" yang paling jempol, tukang ngobrol yang paling ulung, yang hari-hari, dari pagi sampai sore, dari sore sampai malam, pekerjaannya cuma meng-obrol saja tiada putusnya, mengobrol tentang kucing, tentang meja, tentang kuih, tentang baju, tentang bedak, tentang seribu satu hal tetek-bengek. Dan terutama sekali mengobrol tentang ... orang lain!

Dan ada akibat lain pula daripada keadaan di kalangan kaum atasan yang saya gambarkan itu: yakni akibat "gadis sukar laku", dan "laki-laki kawin tua". Perempuan-perempuan atasan yang tidak dikasih kesempatan untuk mencari nafkah sendiri itu, (di paberik tidak dan di kantorpun tidak), sama sekali menjadi tanggungan bapanya atau sanak-saudaranya jang laki-laki. Tiap-tiap orang laki-laki di rumahnya ada "menyimpan" beberapa "biji" dari mereka itu: adik, atau saudara sepupu, atau bibi, yang harus ia tanggung sama sekali hidupnya.

Benar di zaman dulu-pun begitu. Tetapi sekarang puteri-puteri ini tidak lagi berarti penting sebagai produsen di rumah tangga, yakni tidak berarti penting sebagai pembantu di rumah tangga. Dulu mereka yang menenun kain, dulu mereka yang menjahit pakaian, dulu mereka yang membuat makanan. Dulu mereka produktif. Kini sebagai akibat produksi barang dagangan, maka kain dibeli dari toko, pakaian dijahit oleh tukang menjahit, kuih-kuih banyak dibeli sudah matang. Dan segala itu dengan uang, – uang orang laki–laki. Tanggungan orang laki-laki naik. Segala hal dialah yang musti mengongkosi, segala hal dialah yang musti bayar. Ia menjadi takut kawin, takut mendirikan somah sendiri, di mana masih begitu banyak "embel-embel" yang musti ia tanggung. Gadis-gadis tidak banyak yang meminangnya, mereka banyak yang menjadi "gadis-tua" yang selalu menertawakan segala hal yang tetek-bengek.

Ya, alangkah celakanya nasib "puteri-puteri" dan "nyonya-nyonya" itu! Mereka menjadi satu peristiwa masyarakat! Edward Carpenter, yang di muka sudah saya kutip perkataanya, menulis-kan satu petikan dari kitab: "Het Vrouwenvraagstuk", yang menggambarkan hidup puteri-puteri di negeri Inggeris di abad yang silam: tiap-tiap orang dapat melihat ratusan puteri-puteri itu, boneka-boneka yang berpakaian bagus -, duduk di muka jendela masing-masing, semuanya matanya memandang kepada pita-pita berwarna yang ada di dalam tangannya:

Duduk di muka jendela dengan berbedak dan berdandan seperti boneka, sambil tiada lain "kerja" melainkan mengatur pita! Ingatkah tuan-tuan kepada puteri-puteri Indonesia yang juga berbedak dan berdandan seperti boneka, duduk di serambi rumah dan "rajin bekerja", – misalnya menyongket renda kain tempat-tidur?

Siapakah yang lebih celaka, si perempuan rendahan yang "senewen" karena terlalu banyak kerja, atau "boneka-boneka" ini? "Nyonya, dan perempuan rendahan yang bekerja seperti kuda beban di rumah tangga, dan sundal – itulah tiga type perem-puan yang keluar dari proses masyarakat yang dahulu, muncul ke dalam masyarakat yang sekarang, dan sukar bagi kita untuk mengatakan, siapa dari mereka itu yang paling menyimpang dari cara hidup yang diingini oleh tiap-tiap perempuan di dalam hatinya", begitulah Edward Carpenter tadi itu berkata.

Tetapi lambat-laun datanglah perubahan juga di dalam kalangan kaum atasan itu. Lambat-laun urusan ekonomi mendesak pula kepada kaum laki-laki yang musti menanggung segala ongkos rumah tangga itu. Mendesak kepada mereka untuk mengangkat hukum tabu yang menutup pintu kantor, pintu perusahaan, pintu sekolah, bagi kaum perempuan itu. Lambat-laun kaum puteri sendiripun dengan pergerakan feminisme mengadakan desakan yang maha hebat kepada kaum laki-laki, untuk mengangkat tabu yang menolak mereka dari proses masyarakat itu. Lambat-laun kaum laki-laki sendiri merasa beratnya menanggung hidupnya keluarga-keluarga perempuan yang di dalam segala-galanya harus ditulung itu, dan merasa manfaatnya kalau perempuan-perempuan ini tidak lagi lemah, tidak lagi seperti makhluk tidak berjiwa, tidak lagi menadahkan tangannya saja ke langit dan ke kaum laki-Iaki, tetapi dapat mencari nafkah hidup sendiri-sendiri. Lambat-laun puteri-puteri itu diijinkan masuk sekolahan-sekolahan dan madrasah-madrasah, masuk kantor-kantor dan perusahaan-perusahaan, menjadi guru, dokter, insinyur, adpokat. Lambat-laun berubahlah idam-idaman laki-laki tentang perempuan yang telah ratusan dan ribuan tahun terpaku di dalam angan-angannya itu. Kini idam-idaman itu bukan lagi perempuan yang seperti sutera, yang lemah-lembut, menadahkan tangan kepadanya dan memandang kepadanya sebagai memandang kepada seorang Maha Dewa, memohonkan tolong dan perlindungan, – kini idam-idaman laki-laki bergantilah menjadi: perempuan yang "sportif", yang cakap, yang tak selalu butuh pertolongan, yang dapat meringankan bebannya. Perempuan-perempuan yang demikian itulah, – gadis-gadis yang riang, sigap, sehat, sportif, cakap bicara, "sedikit kurang-ajar", tangkas sebagai rusa betina, – klerk-klerk, juru tik-juru tik, guru-guru, studen-studen wanita, dsb. – perempuan-perempuan yang demikian itulah yang kini paling dapat memikat hati orang laki-laki. Perempuan-perempuan yang demikian itulah yang kini paling banyak harapan segera mendapat jodo. Tetapi yang tidak begitu, yang "model kuno", terpaksa terus hidup kehidupannya yang sediakala, tersia-sia menunggu-nunggu datangnya seorang jejaka, sampai ia sendiri menjadi gadis tua yang layu dan hilang keelokan dan kesegarannya.

Tetapi masyarakat kapitalistis sekarang inipun tidak selalu mengasih kesempatan bekerja kepada semua orang yang mau bekerja, tidak selalu mengasih kesempatan kawin kepada semua orang yang mau kawin. Di dalam bab II telah saya terangkan hal ini sedikit-sedikit.

Maka oleh karena itu, masih banyak sekali gadis-gadis dan perempuan-perempuan yang tidak mendapat suami, – kendati ketangkasan, kendati kesportifan, kendati kecakapan. Meskipun cakap, meskipun tangkas, meski-pun telah berdiploma, belum tentu itu menjadi jaminan akan mendapat seorang suami. Hanya yang paling jempol sajalah, yang paling cakap, yang paling cantik, yang paling menarik, yang paling ber-"sex-appeal", mempunyai harapan akan mendapat jodo. " Struggle for life " kini juga menjadi " struggle for man " . Maka oleh karena itu, timbullah, – mula-mula di Amerika di mana "cari suami" itu yang paling susah -, satu pergerakan "menambah kecantikan", satu make–up–movement, yang maksudnya mempelajari dan mempraktekkan, betapakah cara mustinya perempuan menarik hati kaum laki-laki. Menghaluskan kulit, mengatur rambut, memerahkan bibir, memilih warnanya bedak, mencabut bulu alis supaya alis ini menjadi kecil seperti bulan tanggal satu, menentu-kan warna creme dan menyapukan creme, mengatur badan waktu duduk, menggerakkan badan waktu berjalan, itu semua-nya menjadi satu "ilmu", yang siang dan malam berputar di dalam otaknya perempuan-perempuan fihak atasan itu. Roman muka dan tingkah laku perempuan itu menjadi berubah sama-sekali. Kulit jelita, bibir merah dan alis melengkung, bukan lagi satu hadiah alam yang terdapat pada satu dua perempun saja, tetapi menjadi milik tiap-tiap hidung yang mampu membelinya. Kadang-kadang sungguh menarik benar perempuan-perempuan yang telah di "make-up" itu, tapi kadang-kadarig juga menjadi-lah mereka itu justru seperti "hantu", karena "cap" di atas muka mereka itu terlalu melebih-lebihi batasnya kesederhanaan! Tetapi sebagai satu peristiwa sosial adalah ini akibat dari masyarakat yang di situ "struggle for man" menjadi sukar sesukar-sukarnya. Juga di Indonesia, ini "movement", walaupun sebab-sebabnya yang dalam tidak diinsyafi oleh tiap-tiap orang, sudah mulai menjalar, tentu saja di bawah pimpinan beberapa nyonya dari kalangan atasan!

Jadi: juga di kalangan perempuan atasan, dunia belum menjadi satu sorga, walaupun pada umumnya sudah banyak hasil pergerakan feminisme itu.

Ya, sekali lagi, walaupun pada umumnya sudah banyak hasil pergerakan feminisme itu! Di kebanyakan negeri Eropa perempuan sudah boleh menjabat pelbagai pekerjaan di dunia ramai, sudah banyak yang masuk sekolah tinggi dan menjadi wartawan, peniaga, insinyur, dokter, adpokat. Di banyak negeri Eropa perempuan malahan sudah mendapat hak-hak politik yang sama dengan kaum lelaki, sehingga banyak dari mereka telah menjadi anggota dewan haminte, dewan propinsi atau dewan parlemen. Tetapi kendati hasil-hasil baik dari perjoang-annya ini, juga pada mereka dirasakan oleh mereka sendiri adanya satu scheur. Juga pada mereka ada satu "retak", tetapi satu retak yang berbeda sedikit daripada retak di kalangan perempuan kaum buruh. Di kalangan kaum buruh itu retaknya ialah: terombang-ambing dan terbanting-banting antara dua tanggungan, tanggungan mencari nafkah di luar, dan tanggungan mengurus rumah-tangga, terbanting-banting antara tanggungan sebagai pekerja masyarakat, dan tanggungan sebagai isteri dan ibu di rumah-tangganya. Bagi perempuan kaum buruh itu, sebenarnya adalah satu ideal, satu keinginan jiwa yang maha tinggi: ingin merdeka di dalam masyarakat dengan jalan ikut menjadi produsen masyarakat, dan ingin menjadi isteri dan ibu yang mencinta, mengasih, menyayang, memelihara suami serta anak-anak menurut kodrat alam. Tetapi tidak satu dari dua keinginan ini dapat ia capai dengan sempurna, tidak satu dari dua ideal ini dapat menjadi satu realitas baginya.

Sebab di dalam masyarakat kapitalistis sekarang ini, sempurnanya pelayanan dua kewajiban ini adalah terlalu membebani kepadanya, terlalu berat bagi tenaganya satu orang, sehingga ia menjadi "senewen" dan patah tulang belakang: Mau melepaskan kerja di dalam masyarakat tak dapat, sebab, itu berarti hilangnya sesuap nasi dan hilangnya kemerdekaan; mau melepaskan suami dan anak-anak tak mungkin, sebab, itu adalah bertentangan dengan kodrat dan keinginan jiwa. Begitulah gambarnya retak yang membelah jiwa-raga perempuan kaum bawahan menjadi dua belahan yang terombang-ambing satu sama lain.

Bagaimanakah retak perempuan kaum atasan? Juga di sini ia kini telah banyak menjabat pekerjaan masyarakat. Juga di sini ia telah banyak bekerja di luar rumah tangga. Juga di sinipun ia, selain memikirkan kerja di masyarakat itu, harus juga memikirkan kerja sebagai isteri dan sebagai ibu. Tetapi manakala dua pekerjaan ini di kalangan kaum buruh mendatangkan "senewen", maka di kalangan atasan hanyalah mendatangkan "rasa kurang puas" sahaja. Sebab perempuan atasan itu di rumahtangganya cukup mendapat bantuan, bantuan alat-alat teknik sebagai gas dan listrik, bantuan harta yang dapat membeli semua keperluan, dan bantuan pelayan-pelayan yang tinggal memerintah saja. Ketidakpuasan yang ia rasakan itu bukan ketidakpuasan karena "patahnya tulang belakang", tetapi adalah ketidakpuasan terganggunya waktu untuk menumpahkan cinta kasih kepada suami dan terutama sekali kepada anak-anak, sebagai panggilan jiwanya dan panggilan kodratnya. Kerja di masyarakat itu menjadi satu halangan baginya buat kesempurnaan kehidupan laki-isteri anak, satu rintangan bagi kehidupan laki–isteri yang sempurna dan bahagia.

Dan bukan saja rintangan bagi kesempurnaan kehidupan laki-isteri manakala kehidupan itu sudah ada, – artinya: manakala sudah hidup berlaki-isteri, sudah ada suami, sudah ada anak -, tetapi bagi banyak kaum perempuan atasan kehidupan laki-isteri inipun satu hal yang susah didapatnya. Bagi banyak kaum atasan, sebagai tadi sudah saya katakan, mendapat suami masih satu teka teki, – sehingga timbul peristiwa "gadis-tua" dan "make-up movement". Maka oleh karena itu, kini, sebagai reaksi atas keadaan yang demikian itu, bukan lagi kerja di dalam masyarakatlah yang menjadi tujuan dan cita-cita, tetapi kehidupan laki-isteri yang bahagia. Bersuami, beranak, berumah tangga bahagia, itulah kini idam-idaman yang pertama, keinginan jiwa yang paling tinggi. Kini timbul satu aliran baru di kalangan kaum perempuan atasan itu, yang mengatakan, bahwa feminisme tak cukup untuk mendatangkan kebahagiaan. Kini timbul aliran neo–feminisme, feminisme baru, yang menganggap pekerjaan masyarakat itu "nomor dua", tetapi perkawinan, menjadi ibu, memimpin keuarga nomor satu.

Sebelum kita lebih lanjut, izinkanlah saya nanti dalam bab IV lebih dulu mengulangi hal matriarchat dan patriarchat dengan kupasan yang sedikit lebih lebar. Sebab hanya dengan mengerti betul-betul matriarchat dan patriarchat itulah kita akan dapat mengerti sebab-sebabnya segala kesusahan-kesusahan yang diderita oleh kaum perempuan. Sudah barang tentu kupasan itu tak dapat bersifat lebih daripada satu "peninjauan" saja, satu orientasi. Bukan tempatnya kitab ini mengupas soal itu terlalu dalam. Buat kupasan yang dalam itu, perlu satu buku tebal yang spesial!

Maka sekarang kita, di dalam perjalanan "dari gua ke kota" itu, sudah menginjak halaman zaman kita sendiri. Dengan cara ikhtisar, kita sudah mengikuti sejarah Sarinah, dari zaman kelompok sampai ke zamannya radio dan lampu listrik. Satu kali kita melihat Sarinah di atas puncak kemuliaan, satu kali ia menjadi cakrawarti dunia, yaitu di zaman berkem-bangnya sistim matriarchat. Tetapi di bagian yang lain-lain, di dalam kelompok, di zaman histori tua, di zaman histori baru, di zaman histori paling baru, – di semua bagian-bagian sejarah itu Sarinah selalu menjadi makhluk yang celaka, makhluk yang selalu dikalahkan kaum laki-laki, makhluk yang teperdaya. August Bebel di dalam bukunya "Die Frau und der Sozialismus" berkata, bahwa perem-puan adalah ’makhluk yang paling dulu diperbudak". Tetapi di lain tempat, di dalam majalah "Neue Zeit", ia pernah berkata pula, bahwa perempuan itu adalah "makhluk jang diperbudak selama–lamanya".

Kecuali perkecualian di zamannya matriarchat itu, maka benar sekali perkataan Bebel ini. Mungkin-kah datang satu waktu, di mana ia akan hidup merdeka kembali? Ataukah sudah memang "kodrat" perempuan, hidup di bawah telapak laki-laki?

BAB IV: MATRIARCHAT DAN PATRIARCHAT

sunting

Satu kali perempuan berkedudukan mulia, yakni di zaman berkembangnya matriarchat. Adakah ini berarti, bahwa kita, untuk kemuliaan perempuan itu musti mengharap diadakan kembali sistim matriarchat itu?

Anggapan yang demikian ini adalah anggapan yang salah, walaupun misalnya orang perempuan sekalipun yang ber-anggapan begitu.

Sering sekali ada perempuan menanya kepada saya: tidakkah lebih baik bagi kami sistim peribuan itu daripada sistim yang sekarang ini?

Sebab, tidakkah di dalam sistim peribuan itu perempuan berkedudukan mulia? Saya selalu menjawab: Jangan tertarik oleh nama saja!

Buangkan fikiran yang demikian itu dari ingatan saudara! Pertama oleh karena kita harus mencari keselamatan masyarakat seumumnya, dan tidak keselamatan perempuan saja; kedua oleh karena matriarchat itu adalah hasil perbandingan-perbandingan masyarakat yang kuno dan tidak dapat diadakan lagi di dalam masyarakat sekarang; dan ketiga oleh karena tidak selamanya peribuan itu mengasih tempat mulia kepada kaum perempuan.

Lebih dulu marilah kita ingati, bahwa perkataan Bachofen, bahwa di mana saja ada hukum peribuan, di situ pasti kedudukan perempuan tinggi dan mulia, sudah dibantah oleh ilmu pengeta-huan: hukum peribuan ada yang membawa kemuliaan bagi perempuan, tetapi ada juga yang tidak membawa kemuliaan bagi perempuan. Sebab, apakah hukum peribuan itu pada asalnya? Hukum peribuan pada asalnya hanyalah satu aturan untuk menjaga, jangan sampai manusia-manusia dari satu kekeluargaan hantam kromo saja kawin satu sama lain, sehingga hantam kromo pula turunannya bercampuran darah. Ia adalah reaksi kepada kebiasaan Promiskuiteit (pergaulan laki-perempuan hantam kromo) yang di situpun pergaulan laki-laki perempuan tak mengenal batasnya ibu, anak, dan saudara. Oleh sistim peribuan itu lantas ditentukan, bahwa hanya laki-laki dari lain gerombolan saja yang boleh berkawin dengan seseorang perempuan, dan turunannya dihitung menurut garis peribuan dan menjadi hak perempuan itu. Hanya ini sajalah asalnya maksud hukum peribuan itu, dan tidak lain. "Aturan ini tidak tentu membawa kedudukan perempuan yang lebih baik dan lebih merdeka; di dalam banyak sekali suku-suku yang memakai aturan peribuan kedudukan perempuan sama sengsaranya dengan kedudukan perempuan di dalam suku-suku yang memakai aturan perbapaan", begitulah Henriette Roland Holst berkata. Begitu pula pendapat Mrs Ray Strachey. Beliau mengatakan, bahwa peribuan itu "kadang-kadang mendatangkan perbudakan perempuan, kadang-kadang pula mengekalkan milik-milik dan kekayaan-kekayaan di dalam tangannya, sehingga ia lantas mendapat satu kedudukan yang lebih berkuasa". Muller Lyer pun berpendapat begitu, dan begitu pula ahli-ahli penyelidik lain seperti Schurz, Eisler dll.

Hanya di mana hukum peribuan ini menjadi pemerintahan peribuan, menjadi gynaeco-creatie, menjadi matriarchat, menjadi sistim pemerintahan–ibu, maka di situlah perempuan berderajat, di situlah perempuan bermartabat tinggi. Tetapi kitapun tidak boleh lupa memikirkan dan menanya: Apa sebab pernah terjadi satu masa, yang perempuan yang berkuasa, dan tidak laki-laki? Sebabnya ialah, oleh karena pada bagian pertama dari zaman pertanian itu, perempuanlah produsen masyarakat yang terpenting. Dialah yang mengerjakan dan memimpin pertanian, dialah yang menggenggam nasib perekonomiannya gens. Kalau dia tidak bekerja, laparlah semua orang. Maka kedudukan sebagai produksi pokok itulah yang menjunjung derajatnja; harganya sebagai pengasih hidup kepada anggota-anggota gens itulah yang mengangkat namanya. Bukan hukum peribuan, bukan sesuatu hukum, bukan sesuatu timbangan moral, yang menjadi sebab kedudukannya penting. Sebaliknya, hukum peribuan, moral, hukum itu, adalah akibat daripada kedudukannya yang penting itu.

Maka oleh karena itu, tak dapat matriarchat itu datang kembali, kalau kedudukan perempuan sebagai produsen masya-rakat tidak menjadi terpenting lagi seperti dulu. Mungkinkah ini? Mungkinkah zaman pertanian cara dulu balik kembali? Atau mungkinkah datang lagi satu sistim produksi masyarakat, yang kaum perempuan saja menjadi pokoknya? Pembaca boleh mengharapkan segala hal, boleh memasang cita-cita yang setinggi langit, tetapi jangan mengharapkan arah evolusi masya-rakat berbalik kembali. Pembaca boleh mengharapkan susunan masyarakat yang lebih baik, kedudukan manusia yang lebih layak, penghargaan kepada manusia satu sama lain yang lebih adil, tetapi janganlah pembaca mengharapkan jarum masyarakat diputarkan mundur. Sebab harapan yang demikian itu adalah harapan yang mustahil, harapan yang kosong. Masyarakat tak dapat diharap balik kembali kepada tingkat yang terdahulu, – tiap-tiap fase yang telah diliwati oleh perjalanan masyarakat, sudahlah termasuk ke dalam alamnya "kemarin". Pertanian kini bukan alam orang perempuan saja, dan fase pertanian itupun sebagai fase kemasyarakatan sudah terbenam di dalam kabutnya "zaman dahulu". Kini fase masyarakat adalah fase kepaberikan, fase permesinan, fase industrialisme. Tidak dapat fase industrial-isme ini lenyap lagi untuk balik kembali kepada fase pertanian, dan tidak dapat pula di dalam industrialisme ini perempuan saja yang memegang kendali produksi! Perempuan dan laki-laki, laki-laki dan perempuan, kedua-duanya menjadi produsen di dalam industrialisme itu. Maka oleh karena itu, juga di dalam masyarakat sekarang ini matriarchat tak dapat datang kembali.

Saudara barangkali bertanya, tidakkah di Minangkabau kini ada matriarchat? Pembaca, di Minangkabau sekarang sudah tidak ada lagi matriarchat, yang ada hanyalah restan-restan dari hukum peribuan saja, yang makin lama makin lapuk. Hak keturunan menurut garis peribuan masih ada di situ, perkawinan eksogam (mencari suami dimustikan dari suku lain, tidak boleh dari suku sendiri) masih diadatkan di situ, hak harta pusaka tetap tinggal di dalam lingkungan ibu masih ditegakkan di situ, tetapi matriarchat sudah lama lenyap, sejak pemerintahan Bunda Kandung di Pagar Ruyung. Yang masih ada hanyalah runtuhan-runtuhan saja dari hukum peribuan, sebagaimana runtuhan-runtuhan ini juga terdapat pula di beberapa daerah di luar Minangkabau di daerah-daerah Lampung, daerah-daerah Bengkulu, di daerah Batanghari, di Aceh, di Mentawai, di Enggano, di Belu, di Waihala, di Sulawesi Selatan, dll, – dan di luar Indonesia pada beberapa suku Indian di Amerika Utara, di kepulauan Mariana, di beberapa bagian kepulauan Philipina, di Oceania, di beberapa daerah Neger, dll. Perhatikan pembaca, restan-restan hukum peribuan ini (kecuali di Minangkabau) hanyalah terdapat pada bangsa-bangsa yang masih sangat terbelakang saja, dan tidak pada bangsa-bangsa yang sudah cerdas dan tinggi evolusinya serta kulturnya! Maka sebenarnya hukum peribuan di Minangkabau itu adalah restan–restan dari Minangkabau tingkat rendah, dan bukan milik Minangkabau tingkat sekarang. Siapa mau memelihara hukum peribuan itu di Minangkabau sekarang ini, dia adalah memelihara restan-restan Minangkabau tingkat rendah, memelihara sisa-sisa bangkai periode kultur yang telah silam. Dia dapat kita bandingkan dengan orang yang menghiaskan bunga melati di sekeliling muka gadis cantik yang sudah mati: Cantik, merindukan, memilukan, menggoyangkan jiwa, tetapi – mati!

Memang tak dapat dibantah, bahwa hukum peribuan itu adalah hukumnya masa yang telah silam. Lihatlah, di dalam kitab agama bahagian yang tua-tua saja terdapat hukum peribuan itu, bukan di dalam kitab agama yang dari zaman yang kemudian: di dalam Perjanjian Lama, Genesis 2,24 ada tertulis: "Maka oleh karena itu, orang laki-laki akan meninggalkan bapa-nya dan ibunya, dan bergantung kepada isterinya, dan mereka akan menjadi satu daging". Benar kalimat ini terdapat juga di Perjanjian Baru (misalnya Mattheus 19,5 dan Markus 10,7), dan diartikan sebagai kesetiaan laki-laki kepada isterinya, tetapi asal-asalnya nyatalah dari kitab Perjanjian Lama. Di dalam Perjanjian Lama pula, Numeri 32,41 ada diceritakan hal yang berikut: Yair mempunyai bapa yang asalnya dari suku Yuda, tetapi ibunya Yair adalah dari suku Manasse, maka dengan nyata Yair di situ disebutkan "ibnu Manasse", dan mendapat warisan dari suku Manasse itu. Begitu pula di dalam Nehemia 7,63: Di sini anak-anak seorang pendeta yang beristerikan seorang perempuan dari suku Barzillai, dinamakan anak-anak Barzillai, jadi menurut nama suku ibunya. Tidakkah, sebagai di muka saya sebutkan juga, Nabi Isa masih disebutkan Isa Ibnu Maryam?

Di dalam kitab sejarah dunia Dr. Jan Romein, jilid I, diterangkan dengan yakin, bahwa peradaban kuno di kanan kiri sungai-sungai Nil dan Tigris-Eufrata, ratusan, ribuan tahun sebelum zaman Nabi Isa, adalah timbul dari aturan-aturan matriarchat. Semua itu membuktikan, bahwa hukum peribuan itu adalah hukumnya masyarakat kuno, timbul dari perbandingan-perbandingan sosial–ekonomis di masyarakat kuno. Ia adalah tiugkatan atas rohaniah perbandingan produksi di masyarakat kuno, yang tidak dapat diadakan lagi di suatu masyarakat sekarang, di mana perbandingan sosial ekonomis adalah lain. Dan sejarah duniapun membuktikan, bahwa hukum peribuan itu sepanjang jalannya sejarah yang ratusan, ribuan tahun itu, makin lama makin surut, makin lama makin tak laku, makin lama makin lenyap.

Di mana sekarang masih ada hukum peribuan, – di Minangkabau atau di Oceania, di beberapa daerah Neger atau di kepulauan Philipina, di Mentawai atau di Amerika Utara, – di mana sekarang masih ada hukum peribuan itu, itu tak lebih daripada sisa-sisa belaka, runtuh-runtuhan belaka daripada sebuah gedung kuno yang berabad-abad lamanya selalu diubah, dihantam, digempur oleh zaman. Maka siapa ingin menghidup-kan kembali atau memelihara hukum peribuan itu, dia adalah mau menghidupkan kembali atau memelihara sebuah bangkai. Dia adalah menuju arah yang bertentangan 180 derajat dengan arah tujuan evolusi masyarakat; dia adalah reaksioner; dia adalah sosial reaksioner.

Bukan dengan menghidupkan kembali atau memelihara restan-restan matriarchat lah caranya kita musti memerdekakan perempuan dari perbudakannya sekarang ini, bukan dengan menghidupkan kembali atau memelihara satu sistim yang basis-nya adalah di dalam fase masyarakat yang zaman duhulu. Kita musti mencari ikhtiar memerdekakan kaum perempuan itu dengan basis masyarakat sekarang, atau dengan basis masyarakat yang akan datang. Yang telah silam tak dapat timbul kembali, tetapi yang sekarang ada, itulah yang kita hadapi, dan yang akan datang, itulah yang akan kita alamkan. Nyahkanlah segala fikiran-fikiran primitif yang mau kembali kepada hukum-hukum primitif itu! Sebab kalau tidak, lenyaplah nanti di dalam kalbu tuan segala harapan, segala cita-cita, segala kegembiraan.

Angan-angan tuan itu tidak akan tercapai, melainkan sebaliknya akan sia-sia sama sekali, kosong dan gugur sama-sekali.

Lagi pula: adakah hukum peribuan di Minangkabau itu mengasih kedudukan baik dan mulia kepada perempuan? Saya kira, semua orang yang telah pernah berdiam di Minangkabau, atau membaca buku-buku atau uraian-uraian tentang Minang-kabau, mengetahui, bahwa di sana perempuan belum boleh dikatakan hidup di dalam sorga. Beberapa akibat hukum peribuan di sana itu ialah: banjak laki-laki meninggalkan Minangkabau untuk "mancari" ke daerah lain, banyak perceraian, perempuan susah mencari suami, sukar berkembangnya ekonomi individuil, dan lain sebagainya.

Ya, kembali lagi kepada kesalahan Bachofen tadi: hukum peribuan tidak selamanya mengasih kedudukan baik kepada perempuan! Sebaliknya, manakala ia ada mengasih kedudukan baik, maka hukum peribuan itu kadang-kadang dan sering sekali membawa akibat laki-laki menjadi hamba perempuan! Rudolf Eisler menerangkan bahwa di dalam hukum peribuan ini "sering sekali laki-laki musti bekerja sebagai budak buat perempuan". Keadaan yang semacam ini tentu bukan keadaan yang sehat. Satu sistim yang memperbudakkan perempuan tidaklah sehat, satu sistim yang memperbudakkan laki-lakipun tidaklah sehat. Yang sehat hanyalah satu sistim, di mana laki-laki dan perempuan sama-sama merdeka, sama-sama beruntung, sama-sama bahagia. Maka oleh karena itu, cukuplah kiranya, kalau saya katakan di sini, bahwa pemecahan "soal perempuan" itu bukanlah harus kita cari di dalam hukum peribuan dan bukanlah pula di dalam matriarchat, tetapi di dalam masyarakat yang lain, dengan aturan-aturan yang lain!

Di manakah di zaman dulu ada hukum peribuan? Boleh dikatakan di mana-mana saja dulu ada hukum peribuan. Malah ada suku-suku di zaman dulu itu, yang hukum peribuannya dilukiskan dengan saksama dalam catatan-catatan orang-orang yang mengembara. Misalnya Bachofen dapat mengetahui dengan saksama semua seluk-beluk hukum peribuan suku Nair di India beberapa abad yang lalu, karena ia mempelajari catatan-catatan pengembara bangsa Arab, Partugis, Belanda, Italia, Perancis, Inggeris dan Jerman, yang mengunjungi daerah Nair itu beberapa abad yang lalu. Boleh dikatakan, di mana-mana saja dulu ada hukum peribuan. Malahan Bachofen mengatakan, bahwa semua bangsa-bangsa yang primitif adalah berhukum peribuan. Friederich Engels pun berkata, bahwa hukum peribuan itu satu fase masyarakat yang umum. Pada bangsa Israil, pada bangsa Mesir, pada bangsa Phunicia, bangsa Etruska, bangsa Lykia, di semenanjung Iberia, bangsa Inggeris, bangsa Germania tua, bangsa Indian di Amerika, dan pada semua bangsa-bangsa di benua Asia serta kepulauan Asia dan Oceania, – di semua tempat itu di zaman purbakala berlaku hukum peribuan itu. Memang, kalau difikirkan dengan sebentar saja, maka tiap-tiap orang mengerti apa sebabnya hukum peribuanlah yang menjadi hukumnya orang di zaman itu, tidak ada hukum lain yang begitu mudah menetapkan dengan pasti keturunan seseorang manusia, melainkan hukum peribuan ini. " Ibunya si anu ialah si anu ".

Sebab, pada waktu itu keluarga belum bersifat somah seperti sekarang, pada waktu itu satu gerombolan laki-laki kawin dengan satu gerombolan perempuan: inilah yang dinamakan "kawin gerombolan". "Siapa bapa" di situ tidak terang. Karena itu hukum peribuan menjadi hukumnya orang di waktu itu.

Kemudian daripada kawin gerombolan ini, datanglah kawin pasangan, di mana perempuan menjadi isterinya satu orang laki-laki saja.

Di dalam fase kawin pasangan inilah (di dalam waktu timbulnya faham milik perseorangan), di dalam kawin pasangan inilah diadakan hukum perbapaan. Sebagai satu "perpindahan" antara kawin gerombolan ke kawin pasangan itu, adalah satu zaman yang membolehkan atau mengharuskan seseorang perempuan sebelum ia mempunyai suami satu, bergaul merdeka dengan laki-laki mana saja. Inilah yang oleh setengah ahli di dalam hal ini dinamakan "heaerisme", "persundalan", yang sebenarnya berlainan sekali dengan persundalan yang biasa. Di dalam matriarchat itu perempuan dianggap sebagai "ibu sekalian manusia", yang mengasih hidup kepada semua orang. Tetapi kini ia akan memelihara satu orang laki-laki saja! Ia musti "dapat kerugian" lebih dulu, atau "bayar kerugian" lebih dulu! Ia lantas dibolehkan menjalankan "persundalan" pada waktu gadis, atau ia musti mengorbankan kegadisannya kepada umum sebelum ia kawin resmi kepada satu orang laki-laki saja.

Menurut agama di Babylon, dulu seorang anak dara kalau ia hendak menikah, diwajibkan lebih dulu pergi ke kuil Mylitta, dan di situ ia musti mengorbankan kegadisannya kepada banjak laki-laki.

Begitu pula keadaan di Memphis, di Cyprus, di Tyrus, di Sydonia, di dalam perayaan-perayaan Dewi Isis di Mesir, di Asia Depan di dalam kuil Anaitis. Engels berkata: "Adat kebiasaan yang semacam itu dikerjakan oleh hampir semua bangsa Asia di antara Laut Tengah dan sungai Gangga".

Perempuan ibu umum! Sebelum ia bersuami satu orang saja, ia musti memuaskan semua orang lebih dahulu!

Sebelum ia memuaskan satu orang saja, ia musti bayar dulu upeti kepada dewa-dewa. "Sebab bukan supaya menjadi layu di dalam tangannya satu orang laki saja, maka perempuan itu dikaruniai keelokan dan kecantikan oleh alam. Hukum jasmani menolak semua pembatasan, benci kepada semua perikatan, dan memandang tiap-tiap perkhususan sebagai satu dosa kepada sifat kedewaan perempuan itu", begitulah Bachofen menulis di dalam kitabnya "Mutterrecht". Sampai zaman sekarangpun, misalnya di Flores, di mana saya berdiam hampir lima tahun, ada satu daerah (Keo), di mana gadis-gadis boleh bergaul dengan laki-laki mana saja yang mereka sukai, dan yang paling "jempol" di antara "gadis-gadis" itu, – jempol memuaskan laki-laki -, itulah yang nanti paling lekas laku mendapat suami. Di kepulauan Mariana, di ulu-uluan Philipina, di kepulauan Polynesia, di beberapa suku di Afrika, sampai sekarang masih berlaku pula adat ini.

Di kepulauan Baleara, maka belum selang berapa lamanya masih ada adat, yang pada "malam pernikahan", semua keluarga laki-laki dari pengantin lelaki meniduri pengantin perempuan itu berganti-ganti.

Di Malabar, di uluan India Belakang, di beberapa pulau lautan Teduh, kepala-kepala agamalah yang menyelesai-kan pekerjaan ini.

Dan mungkin juga hak "malam. pertama" yang dulu diberikan kepada raja-raja di Indonesia dan di Eropa, – di beberapa negeri Eropa sampai silamnya zaman pertengahan masih ada hak "jus primae noctis" itu -, pada asalnya haruslah dianggap sebagai "belian" kepada dewa-dewa. (kalau-kalau dewa-dewa ini marah karena perempuan menjadi isteri satu orang laki-laki saja!) Dan tahukah tuan, bahwa sampai di dalam abad ke-15 di Nederland pun menurut keterangan Murner, tamu-tamu di "suguh" nyonya rumah atau puteri rumah pada malam hari?

Ya, perempuan ibu umum! Tidakkah pada hakekatnya ini suatu anggapan tinggi kepada perempuan itu? Tetapi tidakkah pula terang kepada kita, bahwa aturan yang demikian ini tidak baik kita pakai? Maka oleh karena itu, meskipun ada kalanya hukum peribuan itu di dalam bentuk matriarchatnya mengasih kedudukan yang mulia kepada perempuan, meskipun di bebe-rapa tempat di dunia sampai sekarang masih ada restan-restan matriarchat itu di mana perempuan seperti berkedudukan mulia, maka janganlah matriarchat itu menjadi cita-cita kita dan pedoman kita. Kalau hukum peribuan itu sampai sekarang belum lenyap sama sekali, itu belumlah menjadi satu bukti, bahwa dus hukum peribuan itu dapat tegak terus di masyarakat sekarang, dan dus boleh dipakai sebagai cita-cita dan pedoman di masyarakat sekarang. Tidak! Kalau sekarang masih ada hukum-peribuan, maka buat sekian kalinya saya katakan: itu hanyalah sisa-sisa dan runtuhan-runtuhan belaka dari satu gedung adat yang telah gugur. Itu hanyalah satu "kematian yang terlambat".

Hukum peribuan pasti mati, pasti gugur, pasti lenyap dari masyarakat industrialisme dan masyarakat hak milik pribadi sebagai yang sekarang ini, walaupun ia ulet nyawa. (Misalnya sampai di zamannya August Bebel (permulaan abad ini) masih ada hukum peribuan itu di negeri modern, seperti Jermania (di propinsi Westfalen) di mana si anak mewaris dari ibu, dan tidak dari bapa).

Pembaca barangkali ada yang ingin tahu, apakah adat satu orang perempuan bersuami banyak (poliandri) juga disebabkan oleh hukum peribuan? Susah menjawab pertanyaan ini! Mungkin disebabkan oleh hukum peribuan, mungkin tidak disebabkan oleh hukum peribuan.

Eisler mengatakan, bahwa poliandri itu "bukan satu perkembangan yang umum" (bukan satu tingkat perubahan yang umum). Engels menamakan dia "perkecualian", serta, "hasil-hasil yang mewah daripada sejarah". Dan Bebel berkata, bahwa "belum diketahui orang benar-benar, perbandingan-perbandingan apakah yang menjadi sebab-sebabnya poliandri itu". Tetapi ada hal-hal yang dapat dipakai buat penunjuk jalan di dalam hal mencari sebab-sebabnya poliandri itu; poliandri didapatkan terutama sekali hanya di negeri-negeri pegunungan yang tinggi saja; seperti di Tibet. Di negeri-negeri pegunungan yang tinggi-tinggi ini, di mana hampir tiada tumbuh-tumbuhan samasekali, sudah barang tentu sangat berat struggle for life. Maka poliandri atau persuamian banyak itu, menjadi satu jalan buat mencegah terlalu bertambahnya jumlah keturunan, dengan tidak merugikan dan menghalangi kepada syahwat laki-laki. Benarkah keterangan ini? Entah. Ada lain keterangan lagi, yakni yang berikut: menurut seorang penjelidik yang bernama Tarnowsky, maka udara yang terlalu dingin berakibat melemah-kan kepada syahwat. (Dikatakan: orang-orang yang naik ke puncak-puncak gunung yang terlalu tinggi, menjadi lemah syahwatnya, dan syahwatnya ini sekonyong-konyong menjadi keras kembali manakala mereka turun ke tempat-tempat yang lebih rendah. Orang-orang di kutub Utara tidak begitu keras syahwatnya seperti orang-orang di negeri-negeri kanan-kiri khatulistiwa. Orang-orang perempuan di negeri-negeri dingin kadang-kadang baru pada umur 18 atau 19 tahun mendapat haid, tapi gadis-gadis di negeri Arabia kadang-kadang pada umur sepuluh atau sebelas tahun sudah mendapat haid). Maka oleh karena syahwat, terutama sekali syahwat laki-laki, di negeri-negeri dingin ada kurang, maka tidak merusak kesehatan perempuan manakala di negeri seperti Tibet itu satu perempuan bersuamikan dua, tiga, empat, lima orang laki-laki. Jadi di negeri yang sangat dingin tidak heran kita melihat poliandri, dan di negeri-negeri panas tak heran kita melihat poligami. Lagi pula, bukan barang yang tidak diketahui umum, bahwa perempuan yang banjak laki-lakinya itu kurang menjadi hamil daripada perempuan yang bersuami hanya seorang saja. Lihatlah misalnya kepada sundal. Sundal yang saban hari menerima syahwat laki-laki sampai lima, enam, se-puluh kali, jarang menjadi hamil, meski ia tidak minum obat-obatan pencegah hamil atau tidak mengambil ikhtiar satu juapun untuk mencegah bertumbuhnya benih. Dengan sebab-sebab yang demikian itu, maka poliandri di negeri-negeri pegunungan tinggi itu bukan saja tidak merusak-kan kesehatan perempuan, tetapi ada juga berakibat mengurangi jumlah turunan, yang sangat susah memeliharanya di negeri yang kurang rezeki itu. Bersangkutan atau tidak bersangkutan poliandri itu dengan hukum peribuan belum terang kepada kita. Tetapi ternyatalah di sini sekali lagi kebenaran teori, bahwa moral, anggapan-anggapan tentang sopan dan tidak sopan, adat lembaga, etik, recht, dan lain-lain sebagainya itu, bukanlah hasil pekerjaan budi pekerti manusia, tetapi adalah tergantung dan ditetapkan oleh perbandingan-perbandingan sosial dan materiil.

Di manakah di negeri tumpah darah kita ini, kecuali Minangkabau, masih ada sisa-sisa hukum peribuan? Pertama, boleh dikatakan semua daerah-daerah yang berdekatan dengan Minangkabau itu masih memakai hukum peribuan bagian-bagian dari keresidenan Bengkulu, bagian-bagian dari Jambi, bagian-bagian dari Palembang. Sudah barang tentu semuanya itu tidak murni lagi, tidak asli hukum peribuan lagi, melainkan sudah tercampur bawur dengan hukum-hukum lain, terutama sekali tercampur dengan syariat Islam. Sebagaimana di Minangkabau hukum peribuan bukan asli hukum peribuan lagi, maka begitu juga di daerah-daerah ini hukum peribuan bukan asli hukum-peribuan lagi. Hanya kadang-kadang saya heran melihat "uletnya" hukum peribuan itu, seakan-akan syariat Islam tak mudah melenyapkannya. Di negeri Aceh, misalnya, yang penduduknya begitu teguhnya memeluk agama Islam, masih ada sisa-sisa hukum peribuan yang belum lenyap! Di situ masih ada daerah-daerah yang perempuan, sesudah nikah, masih tetap saja menjadi "haknya" rumah orang tuanya, sedang suaminya, kalau ia tidak ikut diam di rumah isterinya itu, datang kepadanya hanya kalau ada keperluan saja. Anak-anak dari perkawinannya itu tetap di rumah ibunya, "gampung" anak-anak itu adalah -"gampung" ibunya! Adat hukum peribuan inilah yang di daerah Semendo dan lain-lain daerah di Sumatera Selatan menjadi dasar perka-winan "ambil anak" atau "cambur sumbai" di tanah Lampung. Di situ si suami memutuskan pertaliannya dengan bapa ibu sendiri, dan menjadi "anaknya" mertuanya, berdiam di rumah mertuanya, bekerja pada pekerjaan mertuanya. Ia "ikut" kepada isterinya, ia menyerahkan anak-anaknya kepada isteri-nya, ia hanyalah bertindak sebagai "jantan" bagi isterinya, anak-anaknya menjadi ahli waris isterinya. Terutama sekali kalau orang hanya mempunyai anak-anak perempuan saja, (jadi tiada anak laki-laki), maka selalu perkawinan "cambur-sumbai" ini yang dipilih. Dengan begitu si anak perempuan itu meneruskan keturunan dan harta miliknya famili, atau dengan perkataan adat; buat "tunggu jurai", buat “menegakkan jurai". Malahan di daerah Semendo anak perempuan yang tertua tetap menjadi penunggu dan penegak jurai itu, meski ia mempunyai saudara laki-laki atau tidak mempunyai saudara laki-laki. Suaminya wajib ikut kepadanya. Anak-anaknyalah yang meneruskan jurai, dan bukan anak saudaranya yang laki-laki. Pendek kata, di daerah-daerah Sumatera Tengah dan sebagian dari Sumatera Selatan, masih nyata ada sisa-sisa hukum peribuan, begitu pula di Batanghari atas, di Kerinci, dan tempat-lain-lain.

Di pulau Mentawai masih ada sisa adat hukum peribuan yang berupa "hetaerisme" (lihat di muka) antara "gadis-gadis" dengan pemuda-pemuda laki-laki, sebelum perkawinan. Di pulau Mentawai itu sama sekali bukan satu kedurhakaan, kalau seorang "gadis" sebelum ia mempunyai suami sudah mempunyai anak, dan pemuda Mentawai tidak pula kecewa hatinya kalau perempuan yang ia kawin itu sudah mempunyai anak! Begitu pula keadaan di pulau Enggano. Anak-anak di luar atau di dalam perkawinan, tetap menjadi hak ibunya. Di Borneo Barat, di Sintang, di pulau Timur (Belu, Waihala) masih ada adat, yang seorang suami diwajibkan berdiam di rumah isterinya, dan di Sulawesi Selatan ada adat "mapuwoawo" yang menentukan, bahwa anak yang tertua dan yang ketiga ditentukan menjadi hak ibunya, sedang bapa hanya mendapat hak atas anak yang kedua atau keempat saya. Malah bukan saja hukum peribuan ada sisa-sisanya di situ, tetapi juga ada matriarchat: dulu sering-sering di Sulawesi Selatan orang perempuan dijadikan raja. Di Keo, yaitu di satu daerah Flores, "gadis-gadis" selalu bergaul bebas dengan laki-laki, dan "gadis-gadis" yang paling "jempol" memuaskan hati laki-laki, merekalah yang nanti paling besar harapan buat lekas mendapat suami.

Maka nyatalah dengan bukti-bukti dari daerah-daerah primitif dari negeri sendiri itu, bahwa hukum peribuan adalah hukum primitif, hukum sesuatu rakyat yang belum tinggi tingkat kemajuannya. Hukum yang masih primitif itu tak mungkin baik buat masyarakat modern, dan pantas diganti dengan hukum yang lebih sesuai dengan masyarakat modern!

Bagaimanakah hukum perbapaan? Sebagaimana saya sudah uraikan di muka, maka dibanding dengan hukum peribuan, adalah hukum perbapaan itu satu kemajuan: dengan hukum perbapaan dapatlah berkembang somah, dengan hukum perbapaan dapatlah berkembang indivualisme yang perlu buat berkembangnya masyarakat.

Marx menamakan perpindahan dari hukum peribuan ke hukum perbapaan itu satu "perpindahan yang paling sesuai dengan kodrat alam", dan Engels menamakan dia satu “kemajuan dalam sejarah yang besar". Hanya sayang sekali, bahwa kemajuan ini dibarengi dengan perbudakan, perbudakan satu fihak guna menegakkan pertuanannya fihak yang lain!

Pokok hukum perbapaan itu digambarkan oleh Engels dengan satu kalimat yang amat jitu: "Ia berazaskan pertuanan orang laki-laki, dengan maksud tertentu untuk melahirkan anak-anak yang tak dapat dibantah lagi siapa bapanya; dan perbapaan yang tak dapat dibantah itu amat perlu, oleh karena anak-anak ini nanti harus mewarisi harta milik si bapa itu". Saya kira, tidak ada seorangpun, meskipun ia seorang perempuan, yang akan membantah bahwa pada azasnya hukum perbapaan itu lebih baik bagi masyarakat daripada hukum peribuan. Ah ya, ada perempuan yang mengatakan hukum perbapaan itu masih "berat sebelah", dan lantas bercita-cita satu hukum yang di tengah-tengah hukum perbapaan dan hukum peribuan, ada pula yang bercita-cita campuran hukum peribuan dan hukum perbapaan itu, – tetapi baiklah direnungkan dengan tenang dan dalam: hukum perbapaan bukan satu hal adil atau tidak adil, hukum perbapaan adalah satu hukum yang perlu buat evolusi masyarakat. Yang tidak adil bukan hukum perbapaan itu, melainkan ekses–ekses hukum perbapaan itu, "keliwat-batasan-keliwatbatasan" hukum perbapaan itu. Ekses-ekses hukum perbapaan inilah nanti akan saya bicarakan di dalam bab ini juga. Tetapi marilah saya sekarang membicarakan lain-lain hal dari hukum perbapaan itu lebih dulu.

Sebagai telah saya terangkan, maka hukum perbapaan ini timbul, sesudah masyarakat mengenal "milik", yakni mengenal " milik perseorangan " . Laki-laki yang meninggalkan perburuan, menyusun "milik" itu dengan keringat sendiri-sen-diri: Peternakan mengasih kekayaan yang berupa hewan, orang-orang tawanan tidak dibunuh lagi tetapi dijadikan kekayaan yang berupa budak belian, hasil pertanianpun membesar-besarkan harta pusaka. Untuk menetapkan milik ini di dalam tangan anak–anaknya sendiri, menjaga jangan sampai ia jatuh di tangan anak-anaknya orang lain, maka diadakanlah hukum perbapaan itu.

Tetapi jangan pembaca kira, bahwa ia diadakan dengan sekonyong-konyong, dengan sekaligus. Ia adalah akibat dari satu proses, sebagaimana tiap-tiap revolusi masyarakat adalah akibat dari satu proses. Ia bukan hasil pemutaran otak seorang-orang "di suatu malam yang ia tak dapat tidur", sebagai-mana juga tiada revolusi masyarakat hasil pemutaran otak "di suatu malam yang ia tak dapat tidur". Ia menurut keterangan Engels (berlawanan dengan Bachofen), sama sekali bukan satu revolusi yang membuat banyak ribut-ribut, melainkan hanyalah satu perubahan yang berangsur-angsur tenang. "Ini", begitulah ia berkata, "ini sama sekali tidak begitu sukar, sebagai yang kita kirakan di zaman sekarang. Sebab revolusi ini, – salah satu revolusi yang terbesar, yang pernah dialamkan oleh manusia -, tak harus mengenai seseorang anggota gens yang masih hidup. Semua keluarga gens itu hidup tetap secara yang sudah-sudah. Hanyalah cukup mengambil satu keputusan, bahwa di kemudian hari turunan anggauta laki-laki dari gens tinggal di dalam gens itu, tetapi turunan anggota perempuan keluar dari gens sendiri dan pindah ke gens bapanya. Dengan keputusan .ini, maka sudah gugurlah aturan keturunan menurut garis ibu serta hukum waris dari ibu, dan sudah ditegakkan aturan keturunan menurut garis bapa serta hukum waris dari bapa ... Betapa mudahnya revolusi ini, itu kita dapat lihat pada beberapa suku-suku Indian, di mana perubahan itu belum selang berapa lama telah terjadi, atau sedang pula terjadi, buat sebagian karena bertambahnya kekayaan ... dan buat sebagian lagi karena pengaruh zaman baru serta pengaruh pendeta-pendeta Nasrani". Begitulah pendapat Engels. Bachofen lebih percaja kepada perubahan yang mendatangkan banyak peperangan. Mungkin kebenaran adalah ditengah-tengah: ada yang tenang, ada yang dengan peperangan. Saya sudah tuliskan di muka, bahwa ada pula daerah-daerah yang perempuan-perempuannya tidak mau tunduk begitu saja kepada aturan baru ini, dan ini lah asal-asalnya cerita-cerita atau dongeng-dongeng Amazone atau Wanita Nusa Tembini. Kalau kita sekarang datang di negeri kanan-kirinya gunung Kaukasus, kita akan melihat, bahwa masih amat hidup di ingatan rakyat di situ dongengnya Raja Puteri Tamara, yang sebagai harimau betina telah memerangi dan menaklukkan banyak raja-raja laki-laki. Raja Puteri Tamara sampai kini malahan masih diagungkan oleh rakyat-rakyat Kaukasia. Kecan-tikannya, kebijaksanaannya, kegagahberani-annya, kesaktiannya sampai kini masih dituliskan di atas pedang-pedang, di piala-piala, di alat-alat musik, dengan kata-kata, syair-syair serta pujian-pujian yang berapi-api. Satu nyanyian Kaukasia berbunyi:

"Tamara memakai tudung perang, dan telinganya dihiasi dengan anting-anting yang panjang. Matanya seperti zamrud, giginya seperti mutiara, lehernya seperti yaspis. Ia memakai baju perisai, menaiki kuda yang berwarna abu. Di bawah baju perisai itu, ia memakai baju kain atlas".

Batu kuburan Tamara dikatakan bertulis: "Aku Raja Puteri Tamara. Aku mengisi negeri-negeri dan laut-laut dengan namaku. Aku menyuruh ikan-ikan berpindah dari Laut Hitam ke Laut Kaspia. Kudaku telah masuk kota Ispahan, dan pedang telah kutanamkan di alun-alun Meidan di kota Istambul. Sesudah aku berbuat ini semua, aku pindah ke akhirat dengan membawa kain sembilan depa."

Tamara telah menaklukkan semua musuhnya. Hanya Laut Kaspia sajalah yang belum mau tunduk. "Apakah yang Tamara, Raja Puteri dari semua raja-raja, dapat perbuat akan daku?", begitulah Laut Kaspia menanya.

"Kekuasaan Tamara memang besar, tetapi lebih besar ialah ombakku dan gelombangku".

Raja Puteri Tamara mendengar perkataan ini, dan dengan pelahan ia menghadapkan mukanya kepada penantang itu. Di antara dua alisnya yang panjang itu, mengerutlah kulit mukanya. Dengan segera, menyeranglah prajurit-prajuritnya kepada Laut yang memberontak itu, dan pantai-pantai Laut Kaspia memekik-mekik karena sakit. Ombak-ombak Laut itu diserang dengan minyak tanah, dan api menyala-nyala menjilat ke langit. Lama sekali Laut Kaspia berguling-guling di dalam nyalanya api, dan memekik memohon ampun. la sanggup menyerahkan semua kekayaannya dan sanggup takluk semata-mata. Akhirnya diberilah ampunan itu oleh Sang Raja Puteri kepadanya."

Demikianlah Raja Puteri Tamara. Fannina W. Halle menunjukkan kepada kita, bahwa di dalam dongeng ini diceritakan satu amazone motif yang tulen: perang melawan laut. Sebab, simbul apakah laut itu? Laut adalah simbulnya laki-laki! Bumi, tanah, adalah simbul perempuan, tetapi laut adalah simbul laki-laki. Sebagaimana juga kita bangsa Indonesia menganggap bumi itu sebagai simbul perempuan: simbul Ibu, simbul Ibu Pratiwi, maka bagi orang Kaukasia bumi adalah juga simbul perempuan. Tetapi manakala kita menganggap langit sebagai simbul laki-laki, manakala kita berkata: "Bapa Angkasa, Ibu Pratiwi", maka bangsa Kaukasia dan juga bangsa Yunani, menganggap laut sebagai simbul laki-laki. Bukankah tanah tidak dapat subur kalau tidak menerima kesuburannya itu dari airnya laut? Maka dongeng perjuangan Tamara yang Maha cantik itu, dapat pula dianggap sebagai gambar perjuangan antara azas peribuan dan azas perbapaan, antara hukum peribuan dan hukum perbapaan, antara matriarchat dan patriarchat.

Tamara hanyalah satu contoh saja. Negeri lain-lain mempunyai "Tamara" yang lain-lain pula. Tetapi ada satu hal yang sangat menarik perhatian kita dengan Tamara Kaukasia itu: Tamara Kaukasia sebenarnya adalah satu figur yang bukan sama sekali "dangeng"!

Ia adalah satu figur yang juga oleh tarich diakui adanya. Ia satu figur historis. la menjadi Raja Puteri di Kaukasia di antara tahun 1185 dan tahun 1214, – jadi belum sampai 800 tahun di belakang kita. Apakah artinya ini? Ini berarti bahwa, kalau benar perjuangan Tamara itu satu perjuangan matriarchat melawan patriarchat, maka perpindahan dari hukum peribuan kepada hukum perbapaan itu tidak terjadi sama-sama waktu di seluruh dunia, tidak serempak, melainkan berbeda-beda waktu. Ada negeri yang sudah ribuan tahun menegakkan hukum perbapaan, ada negeri (sebagai Kaukasia) yang baru ratusan tahun saja memakai hukum ini, dan ada pula negeri yang sampai zaman sekarang belum meninggalkan hukum peribuan sama sekali. Engels dan Bachofen memang juga mengatakan begitu! Dan bukan saja tidak serempak, – caranya-pun menurut Bebel berbeda-beda; masing-masing menurut keadaannya sendiri-sendiri.

Ambillah misalnya daerah-daerah di lingkungan negeri kita sendiri. Tidakkah nyata berbeda-beda sifat restan-restan hukum peribuan di daerah-daerah itu, berbeda-beda pula caranya hukum peribuan itu menggulung tikarnya, mengasih lapangan kepada hukum perbapaan Islam? Ya, negeri kita memang salah satu negeri di mana perjuangan antara hukum peribuan dan hukum perbapaan itu belum juga selasai. Sampai sekarang. Di beberapa daerah negeri kita itu masih dapat melihat berjalannya "revolusi-masyarakat" yang maha hebat ini.

Tetapi janganlah pembaca mengira, bahwa di negeri lain di zaman dulu perjuangan ini selamanya berjalan begitu tenang sebagai misalnya perjuangan antara "kaum-adat" dan "kaum agama" di Minangkabau sekarang. Kesopanan modern berpengaruh besar atas sifat perjuangan di Minangkabau sekarang ini. Kesopanan modern itu "menghaluskan", "menyopankan" sifat perjuangan itu, sedang dulu di zaman tua, keadaan-keadaan adalah lain, dan manusia-manusiapun adalah lain. Orang zaman sekarang adalah orang "beradab", orang "sopan", – tetapi dulu? Dulu segala hal lebih "mentah", lebih "hantam-kromo". Dulu orang merantai dengan rantai besi, memukul dengan kentes galih asam, menyembelih dengan golok terang-terangan. Karena itu maka perjuangan antara matriarchat dan patriarchat di zaman dulu itu mungkin tidak begitu tenang sebagai di Minangkabau sekarang ini.

Ya, dulu orang lebih "mentah". Patriarchat pun lebih "mentah". Sudah saya katakan, bahwa nafsu kepada milik, nafsu kepada milik perseorangan motornya patriarchat ini, dan bahwa perempuanpun dijadikan milik, dijadikan milik perseorangan. Sarinah berpindah sifat, dan sifat memilik menjadi sifat dimilik, dari subyek menjadi obyek.

Ia tadinya cakrawarti, kini ia menjadi benda. Benda, yang dimiliki, yang harus disimpan, harus disembunyikan, tak boleh dilihat orang lain, apalagi disentuh orang lain. Perempuan yang suka disentuh orang lain, disembelih kontan-kontanan.

Edward Carpenter berkata: " Nafsu kepada milik itu membuat laki-laki menutup dan memperbudakkan perempuan yang ia cintai itu. " .

Ya, – "milik"! Karena itupun, tidak , kalau "milik" itu (dulu lebih "mentah-mentahan" daripada sekarang) bukan saja disimpan dan disembunyikan, tetapi juga ditambah, sebagaimana orang menambah juga barang milik yang biasa: di mana-mana patriarchat datang, di situ datanglah pula poligami, atau lebih benar: poligine, polyginie, yakni peristerian yang banyak-banyak. Makin banyak perempuan, makin baik; sebab makin bertambah banyaknya "milik" itu, berarti bertambahnya kesejahteraan dan kemuliaan, bertambahnya tenaga bekerja dan kekuasaan, bertambahnya rezeki dan kemegahan. Manakala laki-laki hanya mempunyai isteri seorang saja, maka isteri satu ini tidak menjadi halangan buat mengambil "selir" berapa banyaknyapun juga. Menurut keterangan Injil, maka Koning Salomo (Sulaiman) mempunyai 700 isteri dan 300 orang selir! Demikianlah memang; adatnya patriarchat di zaman dulu! Perhatikanlah lagi beberapa contoh yang berikut ini: Di dalam kitab Perjanjian Lama, Genesis, fatsal 16, ayat 1 dan 2, diceriterakan bahwa Nabi Ibrahim disuruh oleh Sarah buat "mengambil" budaknya yang bernama Hajar; juga di dalam Genesis, fasal 30, ayat 1 dan berikutnya, diceritakan bahwa Yakub disuruh oleh Rachel buat "mengambil" budaknya yang bernama Bilha, dan disuruh pula oleh Lea (saudara Rachel) buat "mengambil" budaknya yang bernama Zilpa.

Dan ada lagi satu hal yang boleh kita ambil dari cerita Yakub. Menurut Injil, maka isteri-isteri Yakub yang bernama Rachel dan Lea itu, adalah dua saudara. Mereka kedua-duanya adalah anak Laban. Entah, mereka dua-duanya menjadi isteri satu orang! Inipun oleh patriarchat dianggap sopan, tidak melanggar kesusilaan.

Dan masih ada lagi satu hal penting dalam ceritera Yakub.

Menurut Injil, Yakub mendapat Rachel dan Lea itu dengan jalan membelinya dari bapanya: baik Rachel maupun Lea ia beli dengan menjual tenaganya, kepada Laban, masing-masing tujuh tahun lamanya. Maka kita di sini menginjak satu sifat penting dari patriarchat pula: perempuan milik yang harus dibeli. Inilah yang di dalam salah satu bab di muka sudah pula saya terangkan: kawin beli, perkawinan dengan jalan membeli, perkawinan dengan menganggap perempuan itu sebagai satu benda perdagangan.

Orang Yunani di zaman dulu menyebutkan wanita-wanitanya "alphesiboiai", yang artinya: menghasilkan sapi, berharga sapi, boleh ditukarkan dengan sapi! Ya, perempuan satu benda perdagangan, yang, kalau sudah dibayar harganya, dapat diperlakukan semau-maunya, oleh yang membelinya itu. Ia boleh dipandang sebagai benda perhiasan rumah, boleh disimpan dan disembunyikan rapat-rapat, boleh disuruh bekerja mati-matian seperti budak-belian, boleh dijual lagi, boleh dibunuh, boleh diwariskan kepada ahli-waris bersama benda yang lain-lain. Ia boleh dihidupi atau tidak dihidupi, boleh dimanusiakan atau tidak. dimanusiakan. Di zaman Rumawi dahulu, menurut keterangan Engels adalah satu kebiasaan, bahwa perempuan itu, beserta semua famili, sebelum suaminya mati, sudah ditentukan dengan testamen kepada siapakah ia nanti akan diwariskan kalau suaminya mati. Ya, ia memang benda belaka, milik ia punya suami! Kalau ia dibunuh oleh suaminya itu, maka itu pun hak suaminya. (Engels). Sampai di abad kelimabelas di Jerman dan di negeri Belanda menurut keterangan Murner perempuan masih "disuguhkan" kepada tetamu, sebagai orang menyuguh-kan sepotong kuih. "Het is in Nederland het gebruik, wanneer de man een gast heeft, dat hij hem zijn vrouw op goed geloof toevertrouwt". Atau mungkinkah ini sisa "ibu umum" daripada hukum peribuan?

Dan kalau laki-laki tidak mempunyai cukup syarat untuk membeli perempuan itu? Tidak cukup harta benda, atau tidak mau membeli dengan tenaga buruh seperti Yakub kepada Laban? Sudah saya terangkan di muka: zaman dulu zaman "mentah-mentahan". Kalau tidak dapat dibeli perempuan itu, maka tiada keberatan moral sama sekali, jika perempuan itu dicuri, dirampok mentah-mentahan.

Kawin rampas, itulah menurut keterangan saya di muka tadi juga salah satu sifat patriarchat liar. Kita semua sudah pernah membaca cerita "Perampokan perawan Saba", dan kita malah sering sekali melihat cerita wayang di mana perempuan dicuri dan dibawa lari. Di dalam Perjanjian Lama, bagian Boek der Richteren, 21, diceritakan, bahwa kaum Buntamin mencuri anak-anak gadis Silo.

"Kawin beli" dan "kawin rampas", … sampai sekarang kita masih mengalaminya dan mengerjakannya, meskipun dengan jalan yang lebih "sopan". Sampai di zaman sekarang masih ada adat "marlojong" di tanah Batak. Dan di Chili Selatan tiap-tiap pengantin perempuan "harus dirampas lebih dulu" oleh suaminya, dengan persetujuan orang tua atau tidak dengan persetujuan orang tua. Tapi justru perkawinan yang demikian itu yang dianggap syah. Dan apakah asalnya uang "antaran", uang belis", uang "sasrahan" atau barang "sasrahan" yang di kalangan bangsa Eropa dan di kalangan bangsa kita sampai sekarang masih saja orang bayarkan kepada pengantin perempuan atau bakal mertua, – lain daripada uang pembeli perempuan di zamannya patriarchat liar itu?

Di kalangan Eropa, terutama sekali di lapisan-lapisan yang atas, orang tidak segan-segan memperhubungkan perkawinan dengan perhitungan untung atau rugi. Di kalangan bangsa kitapun, terutama sekali di "tanah seberang", nyata perempuan masih dianggap barang dagangan. Di Flores masih kuat sekali adat pembayaran "uang belis" sampai ratusan rupiah; di Bengkulu, di Kroe, di Lampung, di lain-lain negeripun "uang antaran" kadang-kadang sampai ribuan rupiah! Sudah saya terangkan, bahwa inilah menjadi sebab begitu banyak "gadis tua" yang sampai tinggi umur belum mempunjai suami: orang lelaki ter-halang kepada perkawinan, oleh karena uang pembeliannya begitu mahal! Dan bukan saja kawin beli dengan kontan kita kenal, kita di Indonesiapun mengenal kawin beli dengan kredit, (boleh dicicil) dan kita kenal juga kawin beli yang dibelinya dengan menjual tenaga buruh. Inilah yang oleh ahli etnologi dan sosiologi dinamakan kawin jasa, dan inilah yang kita jumpai pula di beberapa bagian di negeri kita, antara lain di negeri Batak.

Dan kawin rampas? Lihatlah adat kebiasaan bangsa Eropa, mengadakan "perjalanan perkawinan" sesudah nikah! Pada asal-nya adat kebiasaan yang romantis ini tidak lain daripada adat kebiasaan mencuri (melarikan) perempuan itu dari kekuasaan orang tua. Dulu di zaman purbakala waktu segala hal masih "mentah", orang tentu saja melawan atau menyerang kepada pencuri itu dengan senjata, mengejar dia dengan tombak dan panah, melempari dia dengan batu atau pentung. Kini orang sudah "sopan"; kini orang melempari pengantin yang mau berangkat untuk perjalanan perkawinan itu dengan ... beras!

Di kalangan bangsa kita masih banyak juga daerah-daerah yang perempuan itu dicuri lebih dulu, misalnya saja di negeri Tapanuli, yang di situ masih ada adat "marlojong" atau "dilojongkon" (dilarikan) atau adat "tangko babiat" (seperti macan). Di daerah Pasemah adat inipun masih ada. Menurut keterangan Eisler, maka pencurian perempuan inilah yang menjadi asalnya adat "pembalasan darah" di zaman dulu, yakni asalnya adat belapati, ambil nyawa balas nyawa, yang lazim terdapat di semua bangsa-bangsa di seluruh muka bumi.

Tahukah tuan asalnya adat "tukar cincin" pada bangsa Eropa? Adat ini adalah berasal dari adat merampas perempuan: si perempuan diikat, dirantai oleh fihak yang merampas. Lambat laun "rantai" ini menjadi lebih sopan. Di kota Roma adat ini sudah menyopan sedikit; sebagai tanda menjadi hamba sang suami, maka pengantin perempuan di Roma mendapat cincin besi dari ia punya suami. Di kemudian hari, maka diubahlah cincin besi ini menjadi cincin tembaga, cincin perak, cincin emas, dan kemudian lagi terjadilah adat sekarang, jaitu lelaki dan perempuan "tukar cincin", sebagai tanda setia satu sama lain dari dunia sampai akhirat ...

Maka demikianlah, sifat-sifat patriarchat liar itu masih saja berkesan dalam adat-istiadat di zaman sekarang, bukan saja pada bangsa-bangsa yang belum berkemajuan, tetapi juga pada bangsa-bangsa yang sudah modern seperti bangsa Eropa dan Amerika. Berabad-abad, ratusan tahun, ribuan tahun cap "benda" itu masih saja melekat pada perempuan. Ia masih tetap saja dianggap sebagai milik yang boleh diperlakukan sesuka-suka orang tuanya dan sesuka-suka suaminya. Dulu kasar-kasaran, kini halus-halusan; dulu mentah-mentahan, kini sopan-sopanan; tapi pada hakekatnya sama: laki-laki kuasa, isteri benda; laki-laki tuan, isteri hamba. Malah adat kebiasaan levirat masih juga terus berjalan sampai sekarang. Apakah levirat itu? Levirat adalah perkataan yang asalnya dari perkataan levir, yang artinya ipar. Levirat adalah adat, yang menetapkan, bahwa kalau sang suami mati, maka jandanya lantas menjadi isterinya saudara-suami itu, – isteri iparnya sendiri -, atau isterinya keluarga dekat dari suami itu. Nyatalah di sini perempuan itu dianggap sebagai satu milik yang dioperkan ke saudara suaminya, satu benda yang diwariskan pindah ke tangan saudaranya suami yang mati. Atau setidak-tidaknya, ia hanyalah dianggap sebagai alat penegakkan keturunan saja, satu alat pelahirkan anak, satu "mesin peng-eram"!

Di India orang perempuan yang tidak dapat hamil, dioperkan kepada saudara suaminya, sebelum suaminya itu mati, – coba-coba barangkali dengan saudara suami inilah mesin pengeram itu dapat mengeluarkan anak. Inilah yang dinamakan "perkawinan nyoga", satu macam perkawinan yang dasar ideologinya sama dengan levirat itu.

Dan ambillah adat kebiasaan orang Yahudi. Di dalam kitab Perjanjian Lama, bagian kitab Musa Deuteronomium, 25, ayat 5 sampai 10, ternyatalah bahwa orang perempuan yang tak mempunyai anak, dioperkan kepada iparnya, kalau suaminya meninggal dunia. Benar di dalam hukum Yahudi pengoperan ini adalah satu hak yang boleh dituntut oleh janda itu, – kalau si ipar tak mau mengoper dia, dia boleh meludahi muka iparnya itu di muka umum! -, tetapi hal ini tidak mengubah kepada dasarnya ideologi itu tadi: perempuan obyek, perempuan benda, perempuan milik, yang di sini menuntut pemeliharaan. Sebab, mencari kecintaan menurut kehendak hatinya sendiri, kawin dengan orang yang bukan ipar itu, dus menegakkan keturunan di luar lingkungan darah suami-nya yang mati itu, ia tidak boleh! Ia musti kawin dengan ipar itu saja, kalau ipar itu mau.

Lain-lain bangsa masih juga ada yang mengerjakan levirat itu, sampai sekarang: bangsa Drus dan bangsa Afghan, yang dua-duanya beragama Islam, masih mengerjakan adat ini, dan di negeri kita antara lain-lain orang Gayo dan Alas dan Pasemah (telah beragama Islam) dan orang Batak (telah beragama Serani) masih juga belum melepaskan levirat itu. Sungguh dalam sekali tertanamnya akar-akar patriachat liar itu di dalam ideologinya sesuatu rakjat!

Ada lagi dua hal yang perlu saya terangkan lebih jelas di sini berhubungan dengan anggapan bahwa perempuan itu "benda": pertama hal persundalan, kedua hal "perempuan makhluk dosa".

Salah satu sifat patriarchat ialah persundalan. Bukan persundalan atau hetaerisme seperti di zaman hukum peribuan, tatkala perempuan dianggap ibu umum, tapi persundalan yang benar-benar persundalan: menjual diri kepada laki-laki dengan mendapat uang, atau menjual diri kepada laki-laki dengan mendapat barang "harga" yang lain-lain. Dulu di zaman hukum peribuan persundalan itu satu "amal keagamaan", satu religieuze daad, satu perbuatan yang diwajibkan oleh ibadat.

Tetapi kini ia menjadi amal perdagangan. Perempuan, yang kini satu barang, satu benda yang ada harga, yang tak dimiliki kalau tidak dibeli atau dirampas, perempuan itu kini menjadi satu barang yang tidak tiap-tiap orang laki-laki mempunjainya. Maka buat memuaskan syahwat kaum laki-laki yang belum cukup kekayaan untuk membeli seorang isteri atau belum cukup keberanian untuk merampas seorang isteri, timbullah perdagangan perempuan secara " barang eceran " . Siapa belum mampu membeli seekor sapi, dapatlah ia membeli daging sekati saja! Dan yang betul-betul meng-gambarkan ideologi patriarchat ialah, bahwa anggapan umum tidak terlalu menolak atau membecji persundalan ini. Orang perempuan diwajibkan setia, orang perempuan tidak boleh mendurhakai suami, orang gadis harus menjaga betul-betul kegadisannya, tetapi orang lelaki, bujang atau tidak bujang, boleh mengerjakan perzinahan di luar rumah sebanyak kali ia mau. Ya, bukan saja anggapan umum, tetapi hukum negeripun hampir semua mengsyahkan persundalan itu! Dulu di negeri Yunani, negaralah yang mengadakan deikterion-deikterion (rumah-rumah sundal), di mana tiap-tiap orang boleh melepas-kan syahwatnya dengan bayar tarif yang tetap, yakni kurang lebih lima gobang satu kalinya. Dan di lain-lain negeri, di Romawi, di Yeruzalem, di India, di Nippon, di situpun dulu negara yang menjadi germo (pengurus rumah persundalan) yang pertama. Solon, pembuat hukum Yunani jang termasyhur, yang mula-mula mengadakan deikterion-deikterion itu, mendapat pujian khalayak buatkebijak-sanaan" itu dengan kata-kata: "Solon, terpujilah engkau! Sebab engkau telah mengadakan sundal-sundal buat keselamatan kota, buat kesucian kota yang penuh dengan pemuda-pemuda yang kuat, yang, umpama engkau tidak mengadakan aturan yang bijaksana itu, niscaya akan mengganggu keamanan perempuan-perempuan yang mulia!" Sudahkah tuan pernah mengetahui termasyhurnya rumah-rumah persundalan Yoshiwara di kota Tokyo, yang mendapat perlindungan dari negara? Ingatkah tuan pula keadaan di negeri kita sendiri beberapa puluh tahun yang lalu, waktu pemerintah Belanda juga mengakui syahnya dan mereglementir persundalan itu? Maka begitu pula belum selang berapa lamanya, semua negara di Eropa mengsyahkan dan mereglementir persundalan itu.

Yang dibekuk dan dimasukkan penjara hanyalah sundal-sundal yang tidak memegang "surat" saja, yakni sundal-sundal yang belum tercatat namanya di dalam kitab register!

Memang tak dapat disangkal, bahwa persundalan itu bukan sekadar akibat "kebejatan moral" saja, bukan sekedar satu akibat dari nafsu birahi perempuan-perempuan liar, tetapi ialah satu keadaan yang tidak boleh tidak pasti lahir karena salahnya susunan masyarakat dan salahnya anggapan terhadap harga perempuan.

Ia adalah satu "buatan masyarakat" (perkataan Engels), sebagai patriarchat sendiripun satu buatan masyarakat. "Ia adalah suatu buatan masyarakat seperti yang lain-lain; ia melanjutkan adanya kebebasan seksuil, – untuk kepentingan kaum lelaki". Ia tak dapat lenyap, kalau susunan masyarakat yang salah itu tidak lenyap dan anggapan salah terhadap perempuan itu tidak dibongkar. la, menurut perkataan Marx, tetap mengikuti peri-kemanusiaan "sebagai satu bayangan", sampai ke alamnya "peradaban" sekalipun. Dan ia sebaliknya juga akan membangunkan satu "buatan masyarakat" yang lain lagi, yang juga tak dapat lenyap di zaman sekarang ini: ia membangunkan Figurnya isteri yang mendurhakai suami, karena suami mendurhakai isteri.

Laki-laki pergi bercinta dengan sundal di luar rumahtangga, isteripun yang ditinggalkan di rumah itu menerima percintaan-nya orang dari luar rumah tangga. Laki-laki tidak setia, perempuan tidak setia pula.

"Di samping perlaki-isterian tunggal (antara seorang suami dan seorang isteri) dan hetaerisme (maksudnya: pelacuran) perceraian adalah suatu peristiwa masyarakat yang tak dapat dihindari – dilarang, dihukum keras, tetapi tak dapat ditindas." Begitulah Engels menulis.

Persundalan adalah satu buatan masyarakat, tetapi pendurhakaan suamipun adalah satu buatan masyarakat. Walaupun dilarang keras, diancam dengan hukuman berat, diperangi dengan wet dan penjara, ia tidak dapat ditindas dan dihilangkan.

Itulah sebabnya, maka meskipun patriarchat itu pertama-tama dan terutama sekali diadakan untuk "memastikan turunan", toh sampai sekarang, kendati penjagaan wet, kendati ancaman neraka yang bagaimanapun juga "siapa bapa" masih tetap satu soal " kepercayaan " saja, dan bukan satu hal yang dapat dijamin kepastiannya. Satu hal "kepercayaan", dan bukan satu hal kenyataan. Satu hal kira–kira, dan bukan satu hal kepastian. Sehingga kitab hukum Code Napoleonpun, yang menjadi contoh bagi banyak kitab-kitab hukum di Eropa, (antara lain-lain juga menjadi contoh hukum Nederland), di dalam artikel 312 ada menulis: "L’enfant concu pendant le mariage a pour pere le mari". – “Anak yang dihamilkan di dalam persuami-istrian, yang dianggap menjadi bapanya ialah sang suami". Dengan jitu dan jenaka sekali Engels membubuhi komentar atas artikel 312 Code Napoleon ini:

Inilah hasil yang paling baru dari tiga ribu tahun persuami–isterian satu! ...

Marilah sekarang kita bicarakan sifat patriarchat yang lain lagi itu: perempuan sebagai "makhluk dosa". Inipun sudah saya ceritakan sedikit-sedikit di dalam bab yang di muka. Patriarchat dengan jalan parit-paritnya "agama" telah merendahkan kedudukan perempuan, antara lain dengan mengatakan, bahwa perempuan itu bikinan syaitan. Sebagaimana di antara kaum agama ada yang mengatakan, bahwa buat kemuliaan di akhirat nanti, segala hal keduniaan harus dijauhi dan dibenci, yakni, bahwa kesucian roh hanyalah dapat diperoleh apabila manusia menjauhi tiap-tiap nafsu kepada kekayaan milik dan kekayaan benda, sebagaimana bagi setengah kaum agama, kemiskinan adalah satu ideal dan satu pedoman hidup -, maka terhadap kepada perempuanpun, (yang juga benda, juga milik, juga kekayaan!), mereka berkata: jauhilah dan bencilah perempuan itu, karena ia adalah menjauhkan kamu dari nikmatnya akhirat. Aneh sekali pertentangan ini: Kaum "dunia" mencari kemuliaan Clan kenikmatan sebesar-besarnya dengan mengumpulkan sebanyak mungkin perempuan di dalam rumah tangganya laksana mengumpulkan sebanyak mungkin ternak di dalam kandang, kaum "agama" mencari kemuliaan dan kenikmatan dengan mensyaitankan tiap-tiap perhubungan, ya tiap-tiap angan-angan kepada perempuan! Faham benci dan mensyaitan-kan perempuan di kalangan agama ini dinamakan asketisme dan selibat (ascetisme dan celibaat).

Apakah arti asketisme dan selibat itu? Asketisme memulia-kan cara hidup yang semiskin-miskinnya, dan memerangi tiap-tiap nafsu kepada kemewahan dan kesenangan: baik nafsu kepada harta kekayaan, maupun nafsu kepada kelezatan makan dan minum, maupun nafsu kepada kerumah-tanggaan, maupun nafsu kepada kepuasan syahwat. Selibat memuliakan cara hidup tidak dengan perlaki-isterian, -lelaki tidak dengan perempuan, perempuan tidak dengan lelaki. Asketisme dan selibat sudah menyelinap ke dalam banyak agama di zaman dulu. Agama Manu, agama Buddha, agama Nasrani sampai kepada berontaknya Maarten Luther di abad yang keenambelas, semuanya dimasukinya. Perempuan dianggap sebagai asal segala dosa. Perempuanlah yang dulu menjatuhkan Adam dari kemuliaan sorga, dan perempuanlah yang sampai akhir zaman akan tetap berdaya-upaya menjatuhkan anak Adam dari kemuliaan sorga. Malah ada satu fihak yang berkata, bahwa memotong kemaluan (lelaki) adalah satu perbuatan yang dibenarkan oleh Allah; fihak ini menunjukkan, bahwa di dalam Injil Mattheus 19 ayat 11 dan 12 ada tertulis: "Ada orang yang terpotong, yang dilahirkan demikian oleh ibunya; dan ada orang yang terpotong, yang dipotong oleh orang lain; dan ada orang yang terpotong, yang memotong dirinya sendiri, untuk mendapat kerajaan akhirat". Menurut fihak ini, pengebirian adalah satu perbuatan ulia, tidak kawin satu perbuatan terpuji, benci perempuan satu tabiat yang maha luhur. Origenes berkata: "Perkawinan adalah tidak kudus, satu hal yang kotor, satu alat pemuaskan syahwat", dan buat menolak kekotoran ini, ia telah mengebiri dirinya sendiri! Begitupun telah tercatat di dalam sejarah, bahwa memang sering pendeta-pendeta yang karena merasa dirinya kurang kuat mengekang kehendak syahwatnya dengan kekang jiwa saja, lantas mengebiri diri sendiri, seperti Origenes itu. Tertullianus berkata: "Perempuan, engkau akan selalu mengeluh dan berpakaian koyak-koyak, matamu akan selalu penuh dengan air: mata kemasygulan, buat melupakan, bahwa engkaulah telah menjerumuskan peri-kemanusiaan ke dalam lumpur kebinasaan. Perempuan, engkaulah pintu gerbang neraka jahanam!".

Di muka sudah saya tuliskan, bahwa di dalam agama yang lain-lainpun, misalnya agama Buddha dan Manu, ada aturan keras yang mengharamkan perempuan itu. Di dalam Sufi Islam pun aliran asketisme dan selibat itu keras sekali. Saya kira, di dalam patriarchat liar asketisme dan selibat di kalangan kaum agama adalah sama-sama satu buatan masyarakat sebagai persundalan adalah satu buatan masyarakat. Sebab, baik persundalan, maupun asketisme dan selibat, adalah sama-sama akibat daripada anggapan bahwa perempuan adalah milik dan benda; milik dan benda yang boleh dijual-belikan, atau – yang harus dijauhi, agar dapat mencapai kenikmatan akhirat.

Sudah barang tentu golongan-golongan agama yang mengikuti aliran asketisme dan selibat itu tidak mau mengakui, bahwa mereka merendahkan perempuan. Mereka selalu meng-atakan, bahwa mereka justru memuliakan perempuan. Mereka malah mengakui, bahwa Tuhan "kadang-kadang" mensucikan perempuan juga! Fihak Islam Sufi menyebutkan nama Siti Aminah yang ditakdirkan oleh Tuhan buat mengandung Muhammad; fihak selibat Nasrani menyebut-kan nama Siti Maryam; dan fihak Buddha menyebutkan nama Maya. Tidakkah mereka semuanya perempuan-perempuan yang dimuliakan?

Mereka tidak mengetahui, bahwa di lain-lain agamapun ada perempuan-perempuan yang dimuliakan, bahkan disembah!, tetapi yang di situ perempuan sebagai makhluk masyarakat ditindas clan direndahkan. Dewi Kybele, dewi Mylitta, dewi Aphrodite, dewi Venus, dewi Ceres di Eropa Selatan, dewi Edda, dewi Freya di Eropa Utara, dewi Syri, dewi Pratiwi, dewi Lakshmi, dewi Koan Im atau Kwannon di dunia Timur, – tidakkah mereka ini semuanya perempuan-perempuan yang disembah? Tetapi tidakkah di negerinya dewi-dewi itu posisi sosial daripada kaum perempuan amat rendah sekali?

Marilah sekarang kita palingkan muka ke Indonesia.

Di manakah di Indonesia masih ada patriarchat? Pertanyaan yang demikian ini kurang tegas. Yang dimaksudkan tentunya: di manakah di Indonesia masih ada patriarchat liar? Sebab kita bangsa Indonesia hampir semua hidup di dalam sistim patri-archat. Kecuali di daerah-daerah yang nyata matriarchat, maka kita semua, beragama atau tidak beragama, kita semua patri-archat. Malahan di muka telah saya katakan, bahwa agama Islam dan agama Keristen sebenarnya adalah koreksi atas patriarchat yang meng-ekses, koreksi atas hukum perbapaan yang bersifat kebiadaban. Hukum perbapaan yang menindas dan merampok, memperlakukan perempuan sebagai benda dan sebagai ternak, hukum perbapaan yang "liar" itu dikoreksi, hendak diganti dengan hukum perbapaan yang adil dan baik. Tetapi agama sering sekali belum cukup "mendalam", atau agama nyata diabaikan oleh pengikut-pengikutnya, sehingga di berapa daerah Indonesia yang penduduknya telah "Islam" atau telah "Keristen", patriarchat liar masih tampak dengan nyata.

Saya di muka telah menceritakan hal adat "marlojong".

Tanah Batak memang masih tampak sekali "klassik" ditentang kepatriarchatan. Kawin beli, kawin rampas, kawin jual tenaga, levirat (koophuwelijk, roofhuwelijk, diensthuwelijk, levirat) masih semua berbekas di tanah Batak itu. Orang Batak yang hendak kawin, harus lebih dulu membayar uang "mangoli", yakni uang membeli. Orang yang tidak mempunyai cukup uang, bolehlah membeli kekasihnya dengan tenaga kerja; ia harus "sumondo". Dengan dibelinya perempuan. itu, pindahlah perem-puan itu dari tangan bapanya menjadi milik suaminya samasekali. Ia keluar dari marga sendiri, masuk ke dalam marga suaminya sama sekali. Ia tidak mewaris harta benda suaminya itu, kalau suaminya itu meninggal. Ia tidak boleh mewaris, malahan akan diwariskan. Kalau suaminya itu tidak mempunyai saudara atau tidak mempunyai keluarga yang dekat, maka sepeninggal suaminya itu ia boleh kembali kepada marganya sendiri, tetapi ia dimustikan membayar kembali uang beliannya lebih dahulu! Anak-anaknya yang perempuan tidak boleh ikut mewaris harta benda peninggalan bapanya, oleh karena mereka kelak toh akan dibeli orang lain, – toh akan menjadi milik orang lain dan meninggalkan marga bapanya.

Pembaca melihat, semua sifat-sifat patriarchat terdapat kembali di tanah Batak itu. Dengarkanlah perumpamaan Batak di bawah ini:

Sian dangkana tu rantingna,

Sian angkangna tu anggina.

Dalam bahasa Indonesia kira-kira sebagai berikut:

Dari dahan ke rantingnya,

Dari kakak ke adiknya.

Ya, kalau saudara tua mati, saudara muda akan mengganti dia!

Orang yang mencinta adat ini barangkali akan mengatakan, bahwa levirat toh ada baiknya juga? Memang, barangkali levirat ada "baiknya" juga: si janda tidak terus menjadi janda, tetapi segera ada orang yang "mengurus" akan dia. Memang ada satu sya’ir lain lagi, yang sering dinyanyikan oleh perempuan Batak:

Tumagonan unang muli,

Tu anak sisada-sada.

Tung mate i annon,

Ndang adong na mangabia.

Dalam bahasa Indonesia kira-kira begini:

Lebih baik jangan kawin,

Kepada anak sebatang kara.

Kalau dia nanti mati,

Tidak ada penggantinya.

Nyatalah dari syair ini, bahwa perempuan-perempuan itu sendiri seperti senang kepada levirat. Tetapi tidakkah benar pula kalau saya katakan, bahwa tiap–tiap adat, meskipun adat yang menindas bagaimanapun juga kerasnya, telah merobah demikian rupa kepada rasa fikiran, ideologi fihak yang tertindas itu, sehingga mereka itu sendiri cinta kepada adat itu? Tidakkah benar kalau saya katakan, bahwa banyak perempuan cinta kepada pingitan, cinta kepada hal bahwa silaki-laki menguruskan segala apa saja bagi mereka dan mereka tak usah ikut banyak pusing kepala ini dan itu, cinta kepada ketenteraman kehidupan di samping api dapur dan buaian anak saja, tidakkah benar kalau saya katakan bahwa banjak perempuan cinta kepada rantai yang merantaikan mereka?

Syair yang kedua itu bukanlah satu alasan. Ia hanyalah satu buntut, satu akibat. Ia tidak mematikan kenyataan, bahwa levirat adalah berdasar kepada pengertian "benda", berdasar kepada pengertian "milik". Ia berdasar kepada pengertian mewariskan milik. Di daerah Batak Karo, seorang janda yang dioper oleh saudara suaminya, lantas bernama "lako man", yang maknanya: penyedia makan. Ia "mendatangkan makan", ia satu milik yang menguntungkan! Seorang etnolog pernah berkata-: "Feitelijk is het de vrouw, die den man onderhoudt; een Batak, die trouwt, is voor de toekomst geborgen". Artinya: "Sebenarnya, perempuan-lah yang memberi makan kepada laki-laki; seorang Batak yang kawin, terpeliharalah hidupnya buat seterusnya".

Adakah lain-lain tempat lagi di Indonesia dengan "patriarchat liar" yang masih nyata? Ada! Bukan di tanah Batak saja ada sisa patriarchat liar! Perhatikanlah: Adat membayar uang "jeunamee" sebelum laki-laki kawin di salah satu daerah Aceh mengingatkan kita kepada kawin beli, terutama sekali oleh hal yang berikut: "Kalau si isteri meninggal dunia, maka si laki-Iaki itu boleh mengambil salah seorang gadis saudara isteri yang meninggal itu, sebagai gantinya, dengan tak usah membayar lagi "jeunamee" sepeserpun jua. Di daerah Gayo dan Alas nyatalah perkawinan satu perbuatan membeli orang. Di sana orang perempuan yang telah kawin (dan telah dibayar "harganya") disebutkan orang: "anggo" (Gayo) atau "alongi" (Alas). Dua-dua perkataan ini bermakna terbeli. Keluarganya menamakan dia "juolon", yang artinya: "jualan", "barang jualan". Kalau suami-nya mati, berjalanlah levirat: ia "ngalih" atau "mengalih", – mengalih sebagai milik, kepada lain tangan. Dan kalau suaminya tiada saudara atau keluarga, bolehlah ia pulang kembali ke gampongnya; tetapi anak-anaknya tak boleh ia bawa. "Laba" pembelian itu tak boleh dibawa keluar, tetapi harus tetap menjadi rezeki fihak yang membeli!

Di Lampung pun di beberapa daerah masih sangat tampak sifat penjual-belian itu. Seorang etnolog menyatakan: "Perempuan (di Lampung) yang telah dibeli oleh seorang laki-Iaki, tidak mempunyai hak apa-apa lagi sama sekali. Segala apa yang menjadi miliknya, sehingga anak-anaknya sekalipun, menjadi milik si laki-laki itu. Kekuasaan bapa tidak berbatas. Si bapa itu berhak mengawinkan anak-anak perempuannya kepada siapa saja yang mau mengawini kepadanya. Malahan sampai di bahagian pertama abad ke 19, si bapa itu menjual anak-anaknya sebagai budak belian" .

Di Lampung inilah, dan juga di daerah Bengkulu, sampai sekarang masih ada adat "jujur", adat "kulo", adat bayar "uang antaran", yang semuanya pada hakekatnya ialah adat jual beli perempuan. Besarnya "jujur" atau "antaran’“ itu kadang-kadang ribuan rupiah. Di Endeh (Flores) uang pembelian itu (di sana dinamakan uang "belis") kadang-kadang juga amat tinggi sekali. Saya sendiri di Endeh pernah menyaksikan orang membayar uang belis Rp 800.- (waktu uang masih mahal). Uang-uang pembelian yang amat tinggi itulah menjadi sebab di beberapa daerah Lampung, Bengkulu dan Flores banyak "gadis tua".

Di Endeh ada beberapa "gadis tua" yang telah berumur... 60 tahun!

Tuan barangkali menanya: kenapa orang laki-laki kadang-kadang berani membayar uang pembelian yang begitu mahal!

Amboi, uang yang dibajarnya itu tidak terbuang percuma! Sebab satu kali ia buang uang, satu kali ia beli orang perempuan, satu kali ia "payah" atau "meringis", – seumur hidup ia boleh senang-senang goyang kaki saja: perempuan nanti bekerja keras mencari makan buat dia. Uang mangoli, uang jeunamee, uang jujur, uang antaran, uang belis, – semuanya membawa laba. Yang payah dan meringis nanti bukan yang membeli, tetapi yang dibeli jua adanya.

Sungguh benarlah perkataan Bebel: "Perempuan adalah budak belian, – budak belianpun dibeli dengan emas"!

Sudah mengetahui kita sekarang, apakah sifat hakekat matri-archat dan patriarchat itu.

Sekarang, baiklah saya meninjau lebih dalam ekses-eksesnya (keliwatbatasannya) patriarchat itu.

Kita harus membuat perbedaan antara patriarchat yang meliwati batas, dan patriarchat yang tidak meliwati batas.

Patriarchat yang tersebut belakangan ini, yakni patriarchat yang sekedar hanya untuk menetapkan hukum turunan dan hukum waris saja, memang sudah sesuai dengan syarat-syarat kesuburan masyarakat.

Ia adalah tiang besarnya somah, soko-gurunya somah. Revolusi sosial "dari hukum peribuan ke hukum perbapaan" adalah satu revolusi yang progresif. Demikian pula agama Islam dan agama Keristen tidak menentang patriarchat yang demikian ini, tetapi malahan menetapkan benarnya patriarchat yang demikian ini.

Tetapi patriarchat melalui batas. Ia mengekses. Ia menjadi stelsel penindasan perempuan. Ia menjadi stelsel yang merampas segala hak-hak perempuan, dan memindahkan hak-hak itu ke dalam tangan laki-laki saja sebagai monopoli. Di bawah ini saya hendak memberi beberapa contoh yang amat menyedihkan.

Lebih dahulu, marilah kita dengan singkat meninjau ke-dudukan patriarchat berhubung dengan agama. Sudah berulang-ulang saya katakan, bahwa agama yang murni, yakni agama sebagai yang dianjurkan oleh Nabi Isa dan Nabi Muhammad sendiri, tidak berisi penindasan kepada perempuan. Nabi Isa dan Nabi Muhammad malahan bermaksud mengkoreksi ekses-ekses patriarchat yang pada waktu mereka bekerja sebagai Nabi Allah, sedang mengamuk di negeri mereka dan di negeri-negeri lain.

Di negeri Nabi Isa, pada waktu itu adalah berlaku dua macam kultur: kultur Yahudi yang memang kultur asli di situ, dan kultur Hellenia Rumawi, yakni kulturnya kaum yang pada waktu itu menjajah negeri Yahudi.

Kedudukan kaum perempuan di masyarakat Yahudi paling tepat dapat saya gambarkan dengan mengutip perkataan-perkataan yang diucapkan oleh orang Yahudi laki-laki di dalam sembahyangnya tiap-tiap pagi: "Terpujilah Tuhan Rabbulalamin, yang telah membuat aku tidak perempuan". Dan orang perempu-an Yahudi bersembahyang: "Terpujilah Tuhan Rabbulalamin, bahwa Ia membuat aku menurut Kehendak-Nya".

Dan kedudukan kaum perempuan di masyarakat Hellenia Rumawi telah saya gambarkan di muka dengan memberi tahu kepada pembaca, bahwa perkataan Rumawi "famulus" (keluarga) adalah bermakna: budak, hamba, abdi.

Plato mengucapkan terimakasih kepada dewa-dewa buat delapan macam berkat yang dewa-dewa itu karuniakan kepadanya: yang pertama dari delapan berkat itu ialah, bahwa ia dilahirkan di dunia sebagai orang merdeka dan tidak sebagai budak belian, dan yang kedua ialah bahwa ia dilahirkan sebagai laki-laki dan tidak sebagai perempuan. Dan di mukapun sudah saya katakan, bahwa di negeri Hellenia (Yunani) perempuan disebutkan "oikurema", yang bermakna "benda pengatur rumah tangga".

Demikianlah keadaan perempuan di negerinya Nabi Isa.

Maka datanglah Nabi Besar ini mengoreksi ekses-ekses patriarchat itu. Dengan tegas dinyatakannya, bahwa bagi Tuhan samalah laki-laki dan perempuan. Bahkan inilah yang menjadi sebab, bahwa di zaman pertama daripada agama Keristen itu, kaum perempuanlah yang paling giat mengikutinya dan paling giat membelanya. Merekalah yang dengan mulut tersenyum menjalani siksaan-siksaan yang dilaku-kan kepadanya oleh musuh agama Keristen, – dibakar hidup-hidup, dirobek-robek tubuhnya oleh singa, diseret mati oleh sapi-sapi jantan sebagai diceriterakan oleh Sienkiwiecz di dalam bukunya "Quo Vadis" yang termasyhur. Di waktu itu masya-rakat Nasrani sangat menghargakan dan menghormat kepada perempuan. Tetapi di zaman kemudian daripada itu, derajat mereka diturunkan lagi. Nabi Isa sendiri tidak pernah mengucapkan sepatah katapun yang merendahkan kaum perempuan. Ini dapat dibuktikan dari kitab Perjanjian Baru. Misalnya ucapan bahwa "orang laki-Iaki adalah gambar dan kemasyhuran Tuhan; orang perempuan adalah kemasyhuran orang laki-laki", adalah ucapan dari zaman kemudian daripada Nabi Isa.

Ah, perempuan hanya kemasyhuran saja dari orang laki-laki! Gambar dari orang laki-laki pun tidak! August Bebel mengejek ucapan ini dengan kata: "Dus tiap-tiap orang laki-laki tolol, atau bajingan sekalipun, boleh menganggap dirinya lebih tinggi daripada perempuan yang bagaimana cakap dan muliapun juga. Di dalam praktek, sayang sekali, keadaan memang begitu, sampai sekarang".

Dan di dunia Islam? Di dunia Islampun begitu. Sebelum Nabi Muhammad dinubuahkan menjadi Nabi, Arab jahiliah berpesta raya di dalam ekses-ekses patriarchat dengan cara yang mendirikan bulu.

Di negeri-negeri lain perempuan sekadar dibendakan dan dibudakkan, tetapi di Arab jahiliah ia sering dianggap sebagai sampah yang mengotorkan. Anak perempuan dibuang, dibunuh, dikubur hidup-hidup ... Maka datanglah Pemimpin Besar Muhammad memerangi ekses-ekses patriarchat itu. Tetapi beberapa waktu sesudah Muhammad mangkat, datanglah lagi penindasan dan penghinaan. Sampai zaman sekarang, belum lenyap sama sekali pembudakan dan penindas-an itu di beberapa daerah umat Islam, baik di Barat maupun di Timur, di Afrika Tengah maupun di Sentral Asia.

Dan dunia yang bukan Kristen dan bukan Islam? Keadaan setali tiga uang. Ekses-ekses patriarchat masih belum terhapus sama sekali.

Ya, soal perempuan memang belum selesai, jauh daripada selesai! Ada negeri-negeri yang walaupun sudah berkemajuan tinggi, di situ ekses-ekses patriarchat masih mengamuk dengan cara yang mengerikan hati (Jepang). Ada negeri-negeri yang di situ tadinya ekses-ekses patriarchat luar biasa hebatnya, tetapi oleh karena negara dengan ulet dan saksama membanterasnya, kini sudah banyak kurangnya, meskipun belum lenyap sama sekali (Rusia Timur). Ada negeri-negeri yang di situ sudah banyak perbaikan nasib perempuan, tetapi masih ada soal "retak" atau "scheur" sebagai yang saya ceritakan di muka tadi (Eropa, Amerika). Dan ada pula negeri-negeri yang di situ keadaan perempuan masih saja seperti beberapa ribu tahun yang lalu, tatkala Nabi Ibrahim berjalan di padang pasir. (Hadramaut Dalam, Tibet, dlsb.).

Maukah pembaca satu contoh ekses patriarchat di negeri yang sudah berteknik tinggi? Saya tidak mengenal lain contoh yang lebih "jitu" daripada di negeri Jepang. Umumnya orang-orang yang melihat keadaan perempuan di negeri Jepang, – apa lagi yang melihatnya secara pelancongan turis saja -, sangat tertarik oleh "kekulturan" perempuan di sana. Dan memang juga orang-orang yang sudah lama berdiam di Jepang semuanya ter-tarik oleh "kekulturan" mereka itu. Lafcadio Hearn, O’Conroy, van Kol, Griffis, Lederer, Alice M. Bacon, Weulersse, dan lain-lain pencinta negeri Nippon, semuanya memuji kehalusan dan kekulturan perempuan Jepang. Semua mereka itu umumnya menyebutkan perempuan Jepang "dewi-dewi kebaikan", "puteri-puteri kehalusan", – bahasa Belanda: engelen, bahasa Inggeris: angels. Tetapi mereka pun mengetahui sebab-sebab yang lebih dalam, yang menyebabkan perempuan-perempuan Jepang itu menjadi dewi-dewi kebaikan dan puteri-puteri kehalusan. Mereka mengatakan, bahwa hidup perempuan Jepang adalah satu "kesedihan" (tragedi), satu "korbanan", dan bukan sekali-kali satu "puisi", satu syair. Salah seorang pemimpin Indonesia yang dulu ikut dengan delegasi Islam ke Tokyo menjadi kagum, tatkala ia melihat bahwa orang perempuan Jepang tidak mau duduk di kursi sebelum ia dipersilahkan duduk oleh suaminya yang telah duduk lebih dahulu. Kalau umpamanya saudara ini mengetahui sebab-sebab yang lebih dalam daripada kebaktian ini, kalau ia mengetahui dasar sosial daripada kebaktian ini, – niscaya ia tidak akan kagum, tetapi terharu!

Sungguh, amat mengharukan nasib perempuan Nippon itu. Di muka telah saya katakan, bahwa dulu, ratusan tahun yang lalu, sebelum zaman feodal, ia adalah sangat merdeka. Dulu ia memimpin masyarakat, menjadi pemuka ilmu pengetahuan. Dulu ia menjadi pembuat hukum negara, bahkan sepuluh kali ia menjadi Raja Puteri di atas singgasana Negara. Dulu ia dinamakan "semennya masyarakat", dan Nippon dinamakan "negeri wanita" atau "negeri raja-raja wanita". Tetapi sekarang! Sekarang ia menurut pendapat salah seorang penulis yang telah berdiam di Nippon puluhan tahun (O’Conroy) tidak lebih dari "benda zaliman suaminya" dan "seorang pengurus-rumah yang tidak bergaji dan alat pelahirkan anak". Dulu, menurut van Kol, ia tak pernah menekuk lututnya di hadapan orang laki-laki, tetapi sekarang ia harus memandang suaminya itu sebagai "Yang Dipertuan yang wajib ia berhamba dengan segala kehormatan, dan dengan segala pengagungan yang ia bisa berikan kepada-nya" (Weulersse). Sekarang ia tak boleh berjalan di muka sang suami, tetapi harus membuntut di belakang sang suami. Bahasa yang ia pakai terhadap sang suami adalah lain daripada bahasa yang ia pakai terhadap teman-temannya. Bahkan bahasa yang ia pakai terhadap kepada anaknya yang laki-laki, haruslah lain daripada bahasa yang ia pakai terhadap kepada anaknya jang perempuan! .

Suaminya pergi melancong, pergi menonton, pergi ke rapat, pergi pelesir dengan sundal-sundal di rumah-rumah "joroya" atau "machiya", tetapi ia tinggal di rumah, bekerja, bekerja, bekerja. Van Kol pemimpin Belanda yang cinta kepada negeri Nippon itu menamakan perempuan Nippon satu "werkdier", satu "kuda beban yang tiada berhentinya bekerja". Van Kol pula yang menulis: "Perempuan (Nippon) tidak masuk hitungan. Hanya si "bapa" yang ada; ia (si bapa) adalah pusat segala hal; ia me-wakili dan meneruskan keturunan. Perempuan dianggap sebagai boneka saja, tidak sebagai isteri, tidakpun sebagai orang yang dipercaya". Seorang penulis lain menyebutkan dia "satu milik buat dipakai, satu benda yang musti selalu ada".

Kewajiban hidupnya yang terbesar, "devoir pourla vie"nya, ialah menurut, – menurut kehendak sang suami. Demikian Weulersse berkata. Dan seorang penulis Nippon pula, Shingoro Takaishi, mengatakan: "kewajiban orang perempuan yang terbesar, seumur hidup, ialah menurut", – "the great life-long duty of a woman is obedience". Dan cobalah pembaca perhatikan kalimat yang berikut, terambil dari buku Nippon "Pengajaran Besar buat Perempuan": "Segala apa saja yang diperintahkan suami, harus diturut oleh perempuan dengan penuh ketaatan. Ia musti menengadahkan muka kepada suami, seakan-akan suami itu setinggi langit. Ia musti selalu memikirkan apakah yang dapat menyenangkan hati sang suami.

Ia musti bangun pagi-pagi, masuk tidur jauh malam, supaya rumah tangga selalu beres. Adat kita dari zaman dulu ialah bahwa bayi perempuan yang baru lahir, harus diletakkan tiga hari lamanya di atas tanah. Dari adat kita ini ternyata, bahwa laki-laki tinggi seperti langit, dan perempuan rendah seperti tanah".

Pada waktu orang perempuan Nippon menikah, ia harus memakai pakaian yang berwarna putih, sebab bagi orang Nippon warna putih adalah warnanya maut. Simbolik ini berarti, bahwa pada waktu ia menikah, ia telah mati bagi kehendak-kehendak dan keinginan-keinginan sendiri. Orang tuanyapun pada waktu itu membakar api, – membakar api seperti pada waktu kematian salah seorang keluarganya. Ia tinggal hidup bagi Dia yang Satu itu saja, – tinggal hidup bagi Sang Suami.

Ia tidak boleh berkata apa-apa, kalau suaminya jauh-jauh malam belum pulang dari pelesir. Ia musti menunggu dengan sabar, memasang telinga dengan teliti, supaya, kalau ia, mendengar jejak kaki suaminya di tangga, ia segera dapat membukakan pintu dan menghormatnya dengan menekukkan lutut. Ia tak boleh berkata apa-apa, kalaupun sang suami itu membawa sundal ke dalam rumah. Ia malahan tak boleh berkata apa-apa, kalau sang suami memerintahkan kepadanya, membereskan tempat tidur buat suaminya dan sundal itu, atau menyediakan sake hangat di sebelah tempat tidur itu, meskipun ia mengetahui bahwa sake itu ialah buat menguatkan nafsu-birahinya sang suami itu. Ia tak boleh berkata apa-apa, kalau ia kemudian disuruh menutup pintu bilik, disuruh menunggu duduk di muka pintu itu, kalau-kalau nanti sang suami memanggil kepadanya dengan tepokan tangan, – meminta ini atau itu buat kesenang-annya dengan sundal itu.

Di dalam buku O’Conroy, professor ini menceriterakan satu pengalaman yang amat mengharukan:

"Saya tidak akan dapat melupakan pengalaman saya pertama kali, tatkala saya menyaksikan, betapa seorang anak perempuan yang masih pengantin baru, duduk di muka pintu kamar tidurnya, menunggu suaminya memanggil dia dengan tepokan tangan. Ia baru umur enam belas tahun dan belum banyak, lebih daripada seorang kanak-kanak.

Ia mengira telah mendapat satu keberuntungan yang besar, karena mendapat seorang suami yang agak kaya. Ia sangat membanggakan dirinya, rumah tangganya, suaminya. Ia agungkan suaminya itu sebagai seorang-orang yang maha mulya. Ia ingin sekali lekas mendapat seorang anak laki-laki.

Ia baru kawin seminggu, tatkala suaminya datang di rumah. membawa seorang sundal. Ia diperintahkan oleh suaminya itu menyediakan tempat tidur, dan menunggu di muka pintu. Tatkala saya melihat dia itu, dia sedang duduk di atas tikar kecil dari jerami. Ia goyangkan badannya ke muka dan ke belakang, merintih, seluruh tubuhnya gemetar dan menggigil. Ia menggenggamkan tangannya sehingga kaku, dan tiap kali ia menundukkan tubuhnya ke muka, dipukul-pukulkanlah kepalanya di atas papan. Tampaknya kepada saya ialah seperti ia mau memukulkan keluar fikiran-fikiran yang ada di dalam kepalanya itu. Sekonyong-konyong mengalirlah air matanya banyak-banyak di atas pipinya. la menggigit-gigit bibir supaya tidak berteriak, dan darah menetes dari ujung-ujung mulutnya. la mengambil pucuk kimononya, dan diputar-putarkannya di dalam tangannya. Kemudian ia memasukkan pucuk kimono itu ke dalam mulutnya, supaya tidak keluar satu jeritan sakit hatinya. Keadaan saya di situ rupanya dianggap sebagai satu penghinaan oleh suami itu, dan saya tidak berani lagi bertamu di situ setengah tahun lamanya. Tatkala saya bertamu lagi kesitu, – seperti sudah ditakdirkan, sedang terjadi lagi hal yang sama pula: suaminya dengan sundal di dalam kamar. Tetapi ini kali isteri itu duduk tenang membaca surat kabar, dan tatkala ia melihat saya, berdirilah ia sesudah memanggutkan kepalanya secara biasa, menyongsong kedatangan saya, mengucapkan selamat datang kepada saya dengan muka yang tersenyum. la telah belajar, belajar bahwa kewajibannya ialah menurut" ...

Sungguh, tidak ada satu perempuan Jepang yang tidak menurut. Sebab kecemaran nama yang paling sangat di negeri Jepang, kehinaan yang paling besar, ialah dicerai (ditalak) oleh suami. Semua kehinaan masih dapat dipikul, semua kepedihan masih dapat ditahan, – kecuali kehinaan yang satu ini. Lebih baik sengsara dan menangis dalam hati seumur hidup, daripada mendapat perintah dari sang suami supaya pulang.

Dan suami ini dapat menyuruh dia pulang setiap waktu, pagi atau sore, siang atau malam. Begitulah keadaannya sekarang. Padahal di zaman dulu, suami yang menceraikan isterinya, kehilangan sama sekali semua harta miliknya, karena harta miliknya itu menjadi hak isteri yang diceraikan itu!

Ya, – "suami" – itulah kata satu-satunya yang terdapat di dalam kamus seorang perempuan Jepang. la seorang isteri yang "sempurna", yang halus, yang mencinta, yang taat, yang bakti, yang berkorban, – karena sang suami itu. Orang tak mudah mengarti hal ini. Dr. Nitobe sendiri, itu penulis Jepang yang termasyhur, berkata, bahwa perempuan Jepang itu sudah menjadi satu soal, satu problem. "Problem bagi dunia, problem bagi negerinya, problem bagi dirinya sendiri". Ia mencinta meski tak pernah dicinta, mengorbankan dirinya meski tak pernah mendapat terima kasih. Ia selalu memberi, dan tak pernah mendapat. Hidupnya, menurut O’Conroy, adalah satu "tetesan air mata dan satu senyuman, satu keduka-citaan yang dipikul dengan diam-diam, satu hidup mati berdiri yang tiada persamaannya di sudut dunia manapun jua". Baginya, menurut tulisan van Kol, tidak kawin adalah satu noda yang amat besar, tetapi kawin satu siksaan yang amat pedih.

Betapa hebatnya cinta seorang perempuan Jepang! Ia mencinta dengan segenap jiwanya, tetapi tak dapat menjelmakan cintanya itu, karena suaminya tak mengizinkan dia duduk terlalu dekat. Ia musti selalu bersikap hormat, selalu bersikap" abdi". Maka dicurahkannyalah cintanya itu habis-habisan kepada anak. Lafcadio Hearn tidak mengenal satu hal yang lebih mengharukan hati, daripada seorang perempuan Jepang yang mengusap-usap dan mencium-cium kepada anaknya. Matanya yang memandang kepada anaknya itu seringkali berlinang-linang.

Tetapi, apakah laki-laki Jepang membalasnya dengan cinta pula?

Menurut semua ahli-ahli jiwa orang Jepang, maka laki-laki Jepang itu tak kenaI apa cinta itu. Bahasa Jepang tak mengenal kata buat "cinta kasih", di dalam arti dan makna yang kita kenal kepadanya. Perkataan mereka buat "cinta" adalah satu perkataan yang bermakna persatuan tubuh, dan aksara mereka buat "cinta" adalah aksara yang menggambarkan persatuan tubuh. Perempuan bagi mereka hanya makhluk pelepas syahwat. Cerita-cerita roman Jepang hampir tak pernah berakhir dengan "happy end", – yaitu kebahagiaan cinta kasih antara laki-laki dan perempuan. Cinta batin, cinta jiwa, tidak ada. Karena itu maka laki-laki Jepang tidak mengarti, bahwa ia menjalankan satu penghinaan kepada isterinya, kalau ia menyundal, menyelir, membawa perempuan lain ke dalam rumah. Ia merasa boleh mempunyai selir (makake) berapa saja, – di luar dan di dalam rumah. Ia merasa boleh menyundal beberapa kali saja setiap hari, sekuat uang dan kemampuannya. Bergaul dengan geisha-geisha dan perempuan jalang dianggapnya bukan satu keimmorilan. Di seluruh negeri Jepang, di tiap-tiap sudut adalah rumah-rumah joroya dan machiya. Tidak ada satu pesta, tidak ada satu perjamuan, yang tidak "disempurnakan" dengan geisha-geisha.

Perzinahan, – persetubuhan di luar nikah -, bukanlah satu dosa. Menurut perhitungan cacah jiwa rakyat yang dikerjakan oleh Departemen Tata Usaha Keraton beberapa tahun yang lalu, maka 60% dari anak-anak bangsawan adalah dilahirkan oleh isteri-isteri yang tidak dikawin.

Tetapi janganlah seorang perempuan yang sudah bersuami syah, berzina dengan laki-laki lain! Hukuman berat, dari wet dan dari etika, akan jatuh di atas kepalanya! Beberapa puluh tahun yang dahulu, ia malahan dijatuhi hukuman mati karena perzinahan itu. Ia hanyalah sebuah milik yang tak boleh diraba oleh orang lain; suami adalah yang memiliki milik itu, dan suami itu boleh menambah jumlah milik itu menurut kemampuannya.

Patriarchat bukan patriarchat, kalau perempuan hanya milik suami saja. Pada asalnya, bapalah yang memilikinya lebih dahulu. Milik si bapa ini, karena perkawinan, pindah kepada si suami. Bapa tidak menyelidiki lebih jauh, maukah atau tidak maukah anaknya itu kepada laki-laki yang hendak mengawininya. Bapa yang menimbang, bapa yang memutus. Dan anakpun tidak akan banyak bicara, – anak menurut saja. Tidak banyak "ramai-ramai" atau pesta perkawinan diadakan. Sebab perkawinan hanyalah satu "amal kontrak sipil" saja. Menurut van Kol, maka, segera sesudah menikah, perempuan itu lantas saja dibawa ke rumah suaminya, dan "lantas saja disuruh bekerja di rumah tangga". Badannya, tenaganya, jiwanya, menjadi barang milik. Dan anak-anaknyapun kelak menjadi milik: Kalau ia dicerai, – diusir dari rumah suaminya -, maka anak-anaknya seorangpun tidak boleh mengikutinya!

Pada waktu belum menikah, bapanya boleh mengasihkan dia kepada siapa saja yang dikehendaki oleh bapanya itu.

Ia boleh dijualnya kepada germo-germo, boleh digadaikannya sebagai tanggungan hutang. Kadang-kadang, anak-anak perempuan yang masih amat kecilpun, baru berumur lima-enam tahun, telah dilepaskan oleh bapanya kepada agen-agen sundal itu, untuk "dididik" supaya kelak menjadi sundal biasa atau menjadi geisha.

Agen-agen rumah joroya atau rumah machiya keluar masuk kampung, mencari perawan-perawan yang sudah dara, atau anak-anak kecil yang masip bermain-main. Kemiskinan kaum tani Nippon yang amat sangat, itulah bumi subur untuk kejahatan agen-agen ini. "Tidak ada uang di rumah, ... tetapi masih ada anak gadis"... itu berarti masih ada harapan. Agen-agen itu amat tajam sekali hidungnya. Mereka dengan ketajaman hidung serigala, dengan segera mencium, di manakah letaknya desa-desa yang penduduknya di dalam kesusahan. Ada daerah-daerah di negeri Nippon, yang di situ hampir tidak ada lagi gadis-gadis atau perempuan-perempuan muda.

Seorang penulis menceriterakan satu kejadian yang biasa: "Di dalani satu gubug, duduk seorang orang tani yang sudah tua, dengan isterinya, dan anaknya perempuan yang masih kecil. Ketiga mereka itu duduk dekat kepada api, mencoba-coba mencari hangat. Orang tua itu memakai semacam mantel, terbuat daripada rumput. Angin dingin masuk dari lobang-lobang cela pintu yang terbuat dari pada kertas, dan pintu itu bergoyang karena angin. Tikar yang mereka duduki, warnanya kuning dan kotor, dan sudah amoh. Ibu dan anak diam, tidak mengucapkan sepatah kata juapun; orang laki itu sekali-sekali mengeluarkan suara, tetapi tiada artinya. Yang bergerak hanya tubuh perempuan dan anak itu, karena menggigil kedinginan.

Sekonyong-konyong terdengar dari luar pintu suara sopan santun, – minta maaf karena mengganggu. Bapa tani itu pergi ke pintu, dan sebelum ia membukanya, berjongkoklah ia, serta mengatur tangannya menurut aturan kehormatan. Ia tundukkan kepalanya, sehingga kepalanya itu hampir mengenai tikar yang kotor itu. Demikianlah ia mengucap selamat datang, memper-silahkan tamu supaya masuk. Dengan banyak sekali mem-bungkuk-bungkuk dan memanggut-manggut, pergilah tamu itu ke tempat dekat api. Di situ dikerjakan lagi hormat-menghormat dengan saksama. Keempat-empat orang itu menaruh tangan di atas tikar, – telapak ke bawah, ujung jari ke dalam. Kepala ditundukkan hingga hampir mengenai tikar. Bapa tani meng-ucapkan salam kehormatan rumahnya, meminta beribu-ribu maaf atas segala kekurangan. Si tamu membalas dengan kalimat-kalimat yang sangat hormat dan sopan menurut kebiasaan. Satu mangkuk kecil dengan teh hijau disuguhkan kepada tamu terhormat itu, yang dengan banyak desakan tuan-rumah akhirnya mau duduk juga di tempat kehormatan dalam bilik itu. Teh itu diminumnya dengan pelahan-pelahan dan menurut aturan semestinya, dan sesudah sejurus waktu yang pantas, mulailah ia membuka pembicaraan. Anak perempuan itu tak boleh berkata apa-apa, – tak perduli umurnya enam tahun, atau enambelas tahun, atau enamlikur tahun! Ia harus tunduk kepada kehendak bapa ... Kalau pembicaraan jual-beli sudah selesai, maka ia menundukkan badannya kepada bapanya itu, dan kemudian juga kepada si tamu itu. Pakaian-pakaiannya yang sedikit itu ia kumpulkan menjadi satu bungkusan. Berangkatlah ia mengikuti tuannya" ...

Ia menjadi gadis joroya, atau seorang "maiko" yang dididik menjadi geisha. Boleh dikatakan, ia tidak akan merdeka lagi, sebelum tubuhnya layu dan keelokannya hilang. Di negeri Nippon sedikitnya 4.000.000 gadis-gadis kecil di bawah umur 15 tahun meninggalkan rumah orang tuanya secara itu. Di dalam kitab O’Conroy saya membaca keterangan orang Jepang Mr. Satoh yang amat pedas, yang berbunyi: “Salah satu sebab, mengapa pencatatan kelahiran anak di negeri Jepang tidak begitu berguna, ialah, oleh karena anak-anak masuk kepada barang "roerende goederen" yang menjadi milik orang yang memilikinya. Sebagai juga halnya dengan babi, ayam, sapi, serta kambing, maka anak-anak itu diternakkan, – buat nanti dijual. Dulu orang membeli anak-anak dengan harga 50 sampai 60 yen, sekarang seorang anak perempuan yang berumur delapan tahun dan cantik paras mukanya hanyalah berharga 10 yen" ...

Ah, Sarinah di negeri Sakura yang indah itu, dan yang kebudayaannya di lain fihak begitu tinggi! Hanya tiga jenis tempat nasibnya:

Dinikah orang, atau tidak dinikah orang, atau dibeli orang dan dijadikan "bunga". Dinikah orang berarti perhambaan yang berat; tidak dinikah orang berarti kehinaan seumur hidup; dibeli orang dan menjadi bunga joroya atau geisha berarti kesengsaraan puluhan tahun.

Barangkali menjadi geishalah yang paling mendingan.

Sebagaimana di kota Athena (Yunani) di zaman purbakala perempuan-perempuan yang tidak mau dikurung dan ditindas oleh kaum laki-laki, sama menjadi hetaere, – yaitu menjadi sundal merdeka, – maka di Nippon geisha-geishalah yang paling "senang". Bacalah keterangan seorang geisha yang saya kutip ini! Menggelikan, tetapi juga menyedihkan! "Kami geisha-geisha masih boleh dikatakan yang paling untung. Lebih untung dari perempuan-perempuan yang punya suami, atau sundal-sundal biasa. Perempuan yang bersuami diwajibkan tidur dengan satu orang laki-laki seumur hidup, dan tidak mendapat bayaran sepeserpun juga. Sundal biasa diwajibkan tidur dengan banyak orang-orang laki-laki, dan kadang-kadang mendapat persenan juga. Kami kaum geisha tidur hanya dengan sedikit orang laki-laki saja, dan seringkali juga boleh memilih sendiri siapa yang kami cintai. Dan mereka mengasih persenan-persenan kepada kami" ...

Sungguh, di negeri "matahari terbit" itu, belum terbit mata-hari bagi kaum perempuan! Tetapi ia tidak boleh mengaduh; ia tidak boleh bermuka sedih. Ia diwajibkan selalu bermuka manis, ia harus selalu tersenyum. Ia tidak boleh mengganggu hati sang suami dengan muka yang tidak menarik hati. Ia diwajibkan selalu seperti bidadari, meskipun baru saja dipukuI, dikasari kata, dimasuki sundal rumah-tangganya. Akhirnya ia menjadi satu makhluk yang selalu tersenyum, tersenyum, tersenyum saja. Tetapi berapa rintihan sukma, berapa senggukan tangis tersembunyi di belakang senyuman itu? Adalah satu peribahasa Nippon yang berbunji: "Orang laki-laki tertawa dengan hatinya; orang perempuan tertawa dengan mulutnya saja".

Sejak dari kecil ia sudah disuruh mengafalkan isi buku kuno tulisan Kaibara Ekiken (sudah barang tentu pujangga pendidik perempuan ini orang ... laki-laki!) yang bernama "Onna Dai-Gaku" ("Sekolah Tinggi buat perempuan"), yang mengandung ajaran seribu satu kewajiban dan seribu satu larangan yang seram-seram. Salah satu kewajiban itu ialah: tetap bermuka manis, tetap gembira, meskipun hati merintih-rintih.

Dan salah satu larangan ialah: perempuan tidak boleh mengomel, sebab Konghucu telah berkata bahwa "ayam betina yang pagi-pagi sudah berkokok, niscaya membawa sial"! Herankah kita bahwa perempuan di negeri matahari terbit ini menjadi "bidadari-bidadari kejelitaan", yang tiada bandingannya di muka bumi? Bukan karena adanya agama Buddha saja; negeri Nippon dinamakan "negeri bunga teratai". Bunga teratai Nippon yang sesungguhnya, ialah wanita Nippon itu! Ditanam di dalam lumpur, tetapi tetap cantik manis; ditumbuhkan di dalam kotoran, tetapi tetap menarik hati! ...

Van Kol menulis tentang perempuan Nippon itu: "Perempuan hanya boleh memikirkan kebahagiaan suaminya saja; kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri dan perasaan-perasaan hati sendiri, tidak diberikan kepadanya". "Perempuan dididik dalam kepercayaan, bahwa laki-laki dapat mengerjakan segala hal lebih baik daripada dia, dan bahwa banyak sekali hal-hal yang sama sekali tidak dapat dikerjakan oleh wanita. Ditanamkan dalam-dalam di dalam ingatannya, bahwa semua urusan dunia hanya laki-lakilah yang dapat memikirkannya dan menimbangnya, dan malahan, kepada anak-anak perempuan yang masih kecil diajarkan, bahwa mereka tak mempunjai hak apa-apa bilamana mengenai adiknya laki-laki". Peribahasa Jepang berbunyi: "Di dalam tiga dunia perempuan tak boleh mengaso: dunia sekarang, dunia yang sudah silam, dunia yang akan datang". Satu lagi: "Tiga hukum ketaatan harus diindahkan oleh perempuan; waktu ia kecil, ia harus taat kepada orang tuanya; waktu dewasa, ia harus taat kepada suaminya; waktu tua, ia harus taat kepada anaknya". Andre Bellessort menulis: "Di Nippon, tidak ada barang sesuatu yang lebih menghibakan hati, daripada wanita. Segala miliknya, harus ia anggap sebagai kemurahan hati suaminya. Hidupnyapun adalah karena kemurahan hati Yang Dipertuan itu". Griffis berkata: "Barangkali tidak ada yang melebihi wanita Jepang sebagai ibu, sebagai isteri, sebagai anak, sebagai kawan, di atas lapangan kebajikan meniadakan diri sendiri dan mengorbankan diri sendiri" .

Demikianlah nasib wanita Jepang. Saya kira nasib mereka itu menggambarkan ekses-ekses patriarchat dengan cara yang terang sekali. Negeri Nippon terbagi menjadi dua alam: alamnya laki-laki yang menindas, dan alamnya perempuan yang tertindas. Di atas segala lapangan, dua alam ini berlainan satu dari yang lain. Tingkah laku, budi pekerti, tabiat, cara hidup sehari-hari, bahasa, kesenangan-kesenangan, angan-angan, cita-cita, – semuanya berlainan, semuanya mempunyai corak sendiri. Laki-laki yang turun-temurun berabad-abad hidup dalam ideologinya penindas, bangun tidur sebagai penindas yang selalu diturut dan ditaati, – laki-laki itu akhirnya sama sekali menjadi "manusia lain" daripada perempuan yang turun-temurun berabad-abad selalu tunduk dan tertindas itu. Perempuan menjadi seperti makhluk-makhluk sutera, seperti "bidadari", seperti dewi-dewi kebaikan yang menurut seorang penulis Perancis penuh dengan "grace et douceur", tetapi laki-laki Jepang adalah angker, angkuh, kaku, sengit, gampang membentak dan menempiling. Lafcadio Hearn yang paling mengenal bangsa Jepang di antara "penulis-penulis yang lain, Lafcadio Hearn berkata bahwa wanita Jepang itu "begitu berbeda segala-galanya daripada laki-laki Jepang, sehingga kelihatannya mereka itu memang satu bangsa lain sama sekali". Di dalam bukunya O’Conroy ada termuat komentarnya seorang penulis Jepang atas ucapan Lafcadio Hearn itu: Ia membenarkan Lafcadio, dengan perkataan: "Hampir semua orang asing memang melihat perbedaan antara laki-laki kita dan perempuan kita. Laki-laki kita umumnya memang tidak rapih, mukanya seperti liar, tingkah lakunya kasar, bahasanya tidak teratur, sikapnya di tempat umum tidak sopan. Perempuan-perempuan kita selamanya membelakangkan diri, sopan, dan di dalam kehidupan rumah tangga malahan lebih sederhana dan lebih sopan lagi. Kalau laki-laki kita dengan tingkah-lakunya yang kasar itu dianggap sebagai contoh kelaki-lakian, maka perempuan-perempuan kita harus dianggap sebagai bidadari-bidadari". Van Kol pun demikian pendapatnya: "Barangkali tidak ada negeri lain di dunia ini, di mana perem-puan begitu berbeda dari laki-laki, seperti di Jepang. Orang boleh berkata benar-benar, bahwa di sana itu ada dua bangsa manusia yang sebelah-menyebelah satu sama lain: laki-laki dan perempuan, yang bukan saja perangainya berbeda, tetapi juga badannya berbeda satu sama lain. Terutama sekali kepada orang-orang Eropa perbedaan ini sangat menyolok mata".

Itulah akibat ekses patriarchat! Ratusan tahun kebiasaan menindas telah memberi "kesan" kepada rohani dan jasmani yang menindas, dan ratusan tahun kebiasaan tertindas telah memberi "kesan" pula kepada rohani dan jasmani yang tertindas. Memang perbedaan di atas lapangan rohani dan jasmani itu, – yang tidak untuk "keperluan turunan" -, telah saya bicarakan di muka: Perbedaan-perbedaan itu bukan perbedaan yang karena kodrat alam, bukan perbedaan yang dari zaman purbakala telah ada, tetapi ialah perbedaan-perbedaan yang karena milieu, perbedaan-perbedaan yang karena kebiasaan hidup, – perbedaan-perbedaan yang karena menindas atau ditindas turun-temurun. Siapa yang di zaman sekarang ini, sesudah ilmu pengetahuan dapat mengangkat tabir yang menutup pelbagai rahasia-rahasia dalam masyarakat manusia, masih saja mengatakan, bahwa memang kodrat perempuan berbadan lemah, berjalan tunduk, berfikir dungu, berperasaan sempit, berkemauan tak tentu, dan bahwa oleh karena itu dus sudah kodrat perempuan untuk ditaruh di lapisan bawah atau ditaruh di luar pergaulan hidup, – dia sendiri adalah orang yang bodoh, orang yang dangkal pengetahuan. Dia saya persilahkan membuka buku sejarah-masyarakat, antara lain-lain sejarah masyarakat Nippon yang membuktikan kebodohan anggapannya itu: Dulu, di zaman sebelum zaman feodal, perempuan Jepang tangkas, sigap badan, cerdas, menjadi raja-raja puteri, memerintah, memegang obor kesenian, mengalahkan kaum laki-laki yang menurut van Kol di waktu itu. "verwijfd", – sekarang, sesudah ratusan tahun ekses patriarchat, ia berjalan membungkuk, menjadi makhluk "jelita", kaum yang mengalah, orang yang "nerimo". Sungguh masya-rakat Jepang itu masyarakat yang baik kita pelajari, oleh karena masyarakat di sana itu dengan jarak yang hanya seribu tahun saja telah mengenal dua "macam" perempuan: perempuan yang menang rohani dan jasmani, dan perempuan yang kalah rohani dan jasmani.

Dan saya heran: tidakkah pernah orang mendengar nama Amazone? Tidakkah pernah orang mendengar nama Tembini? Anggapan tentang apa yang disebut "pencaharian hidup menurut kodrat", "tujuan menurut kodrat", "bakat menurut kodrat" dan lain sebagainya itu, yang hendak menetapkan perempuan itu di samping api dapur saja dan buaian anak saja, anggapan demikian itu dibantah mentah-mentah oleh sejarah masyarakat.

Tetapi, pembaca, janganlah pembaca kira bahwa contoh-contoh ekses patriarchat yang keliwat, hanya terdapat di Jepang saja! Tidak! Di daerah-daerah Islam dari negara Rusia, (tetapi pemerintah Sovyet bekerja keras untuk mengemansipasikan wanita di daerah-daerah yang di bawah kekuasaannya), dan, di negeri-negeri yang berpemerintahan Islam pula, ada tempat-tempat yang patriarchat mengekses sehingga mendirikan bulu. Bacalah kitab-kitab Fannina W. Halle, Meredith Townsend, Frances Woodsmall, dsb! Sudah barang tentu "Islam" di tempat–tempat itu bukan Islam murni sebagai yang di kehendaki Tuhan dan Rasulullah, yang memberi kedudukan baik kepada wanita. Sebenarnya saya di dalam risalah ini ingin sekali menceriterakan tentang ekses-ekses patriarchat di daerah-daerah Islam itu, tetapi sayang seribu sayang ada dua hal yang menghalanginya: Pertama oleh karena tempat di dalam kitab ini kurang luas, kedua oleh karena buku-buku saya yang mengenai perkara ini semuanya ketinggalan di Bengkulu. Insya Allah, kalau Tuhan mengizinkan, kalau buku-buku itu sudah dapat saya datangkan, kalau saya ada waktu, saya hendak menulis satu risalah tentang "Perempuan di dunia Islam".

Saya tadi mengambil Jepang sebagai gambaran, oleh karena Jepang adalah negeri modern. Saya menaroh masyarakat Jepang itu dalam peneropongan, untuk memberi pengartian kepada pembaca, bahwa kemodernan tidak selamanya dibarengi dengan penjunjungan derajat perempuan. Tetapi perhatikanlah: manakala nanti industrialisme di Nippon makin banyak membutuhkan tenaga perempuan, manakala industri-alisme itu nanti makin banyak menarik tenaga wanita ke dalam produksi masyarakat, – maka tidak akan laku lagi sepeserpun segala ajaran-ajaran kitab "Onna Dai Gaku" yang kolot itu. Maka tidak boleh tidak akan berobah derajat perempuan di Jepang itu. Maka pasti akan berganti moral tentang kewanitaan di Jepang itu. Malahan di waktu sekarang ini telah mulai perubahan itu berlaku berangsur-angsur. Banyak "perempuan baru" kini telah berjalan di jalan-jalan Tokyo, Kyoto, Nagoya, dll. Peperangan Jepang Tiongkok yang banyak membutuhkan tenaga perempuan di paberik-paberik, peperangan dunia II yang dito, memberi dorongan lagi kepada proses perobahan itu. Saya kira, segala sisa-sisa kekolotan itu akan lenyap sama sekali sebelum abad ke XXI mengetok pintu. Buat kesekian kalinya kita akan melihat, bahwa segala ikatan-ikatannya moral yang kolot, segala belenggu-belenggu "agama" yang menyalahi Agama, akan pecah hancur putus karena hantaman hukum Predestinasi Sosial Ekonomis.

Perempuan akan merdeka dan pasti merdeka. Bukan di Nippon saja, tetapi juga di tempat-tempat yang keadaan wanita-nya kini lebih mesum lagi daripada di Nippon itu: di beberapa tempat di Magribi dan Arabia, di Syarkulardan dan di Punjab, di beberapa daerah Sentral Asia dan Sentral Afrika, di beberapa daerah tanah air kita sendiri. Perempuan di Jepang masih boleh keluar pintu, masih boleh ke pasar dan ke kedai, masih boleh ke medan umum, masih boleh melihat dunia. Tetapi di tempat-tempat yang saya sebutkan itu ada banyak mereka yang sama sekali dikurung, ditutup, dipingit. Van Kol mengeluh kalau ia melihat nasib Keiko atau Setsuko di negeri Sakura, tetapi ia tentu mengakui pula bahwa nasib Zulaeha atau Maemunah di beberapa daerah Islam ada yang lebih menyedihkan lagi. Banyak penulis yang sudah mengelilingi seluruh dunia Timur, dari Magribi sampai ke Jepun, dari Peiping sampai ke Singapura, tidak dapat menunjukkan tempat-tempat yang wanitanya lebih terkungkung daripada justru di beberapa daerah yang namanya daerah "Islam".

Jepang adalah satu paradox, antara kemodernan dan kekolotan. Tetapi kekolotan fahamnya tentang wanita, tidak memegang record. Record kekolotan adalah dipegang oleh sebagian dari umat yang namanya telah beragama Islam. Bukan sesuai dengan kehendak Islam, tetapi, bertentangan dengan kehendak Islam!

BAB V: WANITA BERGERAK

sunting

Keadaan wanita yang ditindas oleh fihak laki-laki itu akhir-nya, tidak boleh tidak, niscaya membangunkan dan membangkit-kan satu pergerakan yang berusaha meniadakan segala tindasan-tindasan itu. Itu memang sudah hukum alam. Tetapi adalah hukum alam juga, bahwa kesedaran dan kegiatan sesuatu pergerakan bertingkat-tingkat.

"Ber-evolusi". Pergerakan perempuan ber-evolusi.

Buat mengarti tingkat-tingkat evolusi pergerakan perempuan itu, pembaca lebih dulu dengan singkat saya ajak meninjau lagi keadaan masyarakat perempuan di dunia Barat seratus lima puluh tahun yang lalu.

Barangkali pembaca menanya: kenapa "dunia Barat"?

Jawab atas pertanyaan itu adalah mudah dan singkat: oleh karena di dunia Baratlah lahirnya pergerakan wanita mula-mula. Di dunia Baratlah pertama-tama terdengar semboyan "perempuan, bersatulah"! Di dunia Baratlah berkembangnya contoh untuk kaum wanita di dunia lain. Malahan dari mulut wanita dunia Barat, dari mulut Katharina Brechkovskaya, pertama-tama terdengar seruan: "Hai wanita Asia, sedar dan melawanlah!".

Tatkala perempuan di dunia Barat sudah sedar, sudah bergerak, sudah melawan, maka perempuan di dunia Timur masih saja diam-diam menderita pingitan dan penindasan dengan tiada protes sedikitpun juga. Tidak diketahui, tidak dikira-kirakan, oleh perempuan di dunia Timur itu, bahwa ada kemungkinan menghilangkan tindasan dan pingitan itu, bahwa ada jalan untuk memerdekakan diri. Dikiranya, bahwa tindasan dan pingitan itu memang sudah kehendaknya alam. Tetapi sebagaimana faham-faham politik yang timbul di dunia Barat lambat-laun menular pula ke dunia Timur, demikian pula maka semboyan-semboyan kemerdekaan wanita yang didengung-dengungkan di dunia Barat itu akhirnya mengumandang dan menggaung juga di tepi-tepi sungai Nil, sungai Yang Tse, dan sungai Gangga. Kini dunia Timur sudah mempunyai "pergerakan wanita", kini Asia sudah tidak lagi mendidih dan menggolak dengan perjoangan kaum laki-laki saja, tetapi wanita Asia pun sudah mulai ikut-serta di dalam perjoangan untuk seksenya sendiri dan untuk tanah airnya.

Tetapi, boleh dikatakan belum ada satu negeri di benua Timur itu yang pergerakan wanitanya, – kecuali beberapa individu -, telah berideologi setinggi ideologi pergerakan wanita di dunia Barat di dalam tingkatannya yang terakhir. Timur meniru kepada Barat, tetapi menirunya itu belum menyamai segenap tingkatan yang boleh menjadi teladan kepadanya.

Bilamana di dunia Barat pergerakan wanita dengan nyata menunjukkan tiga stadia evolusi, tiga tingkatan, – tingkatan kesatu, tingkatan kedua, dan tingkatan ketiga -, maka Timur yang meniru Barat itu, paling mujur, barulah sampai ketingkatan kesatu dan kedua saja. Dan itupun belum sehebat, seberkobar-kobar, semenyala-nyala tingkatan kesatu dan kedua di benua Barat beberapa puluh tahun yang telah lalu!

Apakah tingkatan-tingkatan pergerakan wanita di dunia Barat itu?

Marilah saya ceritakan hal itu kepada pembaca, lebih dulu secara "selayang terbang". Itulah cara yang paling "mengartikan".

Sesudah peninjauan "selayang terbang" itu, – saya maksudkan: sesudah peninjauan "dari udara", yang memberikan "ikhtisar umum" -, maka pembaca akan saya ajak turun lagi ke bumi bagian kecil-kecil, ke buminya detail. Dengan cara yang demikian, kita akan lebih mudah mengarti sejarah kesedaran wanita di benua Barat, dari dulu. sampai sekarang.

Sebenarnya, belum boleh dikatakan ada "pergerakan wanita" di Barat sebelum pecahnya Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis pada silamnya abad kedelapan belas.

Baru di dalam Revolusi Amerika dan Perancis itulah buat pertama kali ada aksi fihak wanita yang tersusun, yang boleh diberi gelar "pergerakan wanita". Baru di dalam Revolusi itulah kaum wanita Barat secara tersusun menuntut hak-haknya sebagai manusia, sebagai anggauta masyarakat, sebagai warga Negara, memprotes kezaliman atas diri mereka sebagai sekse dan sebagai warga negara wanita.

Sebelum Revolusi-Revolusi itu, belum adalah gerakan itu. Hanya di kalangan kaum perempuan bangsawan dan hartawan adalah semacam "kerajinan", semacam "kegiatan", yang saya namakan " tingkatan kesatu " daripada pergerakan wanita. Sebenarnya perkataan pergerakan wanita buat tingkatan kesatu inipun kurang tepat, sebab "kerajinan" atau "kegiatan" itu sama sekali bukan pergerakan, – apalagi gerakan! "Kerajinan" dan "kegiatan" itu hanyalah satu "onder-onsje" (pertemuan antara kawan-kawan) belaka, ... – satu "kelangenan" (J.) Bukan satu "aksi", bukan satu perlawanan tersusun", bukan satu "gelombang kesedaran". Ia hanyalah satu "kesukaan", satu "pengisi waktu nganggur". Ia terutama sekali dikerjakan oleh wanita-wanita bangsawan dan hartawan yang jemu dengan terlalu banyaknya waktu menganggur.

Ada gunanya "kegiatan" semacam itu saya namakan satu tingkat kesatu daripada pergerakan wanita!

Sebab di Indonesia sini, terutama sekali sebelum Indonesia merdeka kebanyakan kegiatan-kegiatan wanita yang disebutkan orang "pergerakan wanita Indonesia", sebenarnya tidak lebih daripada kegiatan semacam "onder-onsje" atau "kelangenan" pula. Satu onder-onsje priyantun-priyantunan, yang sama sekali jauh terasing daripada massa, dan tidak berisi ideologi sosial dan ideologi politik sama sekali!

Apakah kegiatan "tingkatan kesatu" di benua Barat itu?

Tingkatan kesatu ini ialah tingkatan perserikatan-perserikatan, – club-club -, yang anggotanya rata-rata dari kalangan kaum wanita atasan, dan yang tujuannya serta usaha-nya ialah memperhatikan kerumahtanggaan. Ilmu masak, ilmu menjahit, ilmu memelihara anak, ilmu bergaul, ilmu kecantikan, ilmu estetik, serta prakteknya, – hal-hal yang semacam itu yang men-jadi lapangan usahanya. Club-club itu "menyempurnakan" wanita sebagai isteri dan sebagai ibu. "Menyempurnakan" anggota-anggotanya untuk cakap memegang rumah tangga, cakap menerima tamu, cakap mem-berahikan suami, cakap menjadi ibu. Perbandingan hak antara laki-laki dan perempuan tidak disinggungnya, ekses-ekses patriarchat tidak ditentangnya. Kegiatan mereka ialah justru untuk menyempurna-kan diri mereka di dalam ekses-ekses patriarchat itu.

Suami tetap diakuinya sebagai Yang Dipertuan, Yang Maha Kuasa, usaha mereka ialah – justru menyempurnakan diri mereka untuk menyenangkan hati Yang Dipertuan, Yang Maha Kuasa itu. Mereka kadang-kadang mendirikan sekolahan-sekolahan buat gadis-gadis, dan sifatnya sekolahan-sekolahan itu tak banyak bedanya dengan "sekolah-sekolah rumah-tangga" di zaman sekarang, – hanya lebih "mondaine", lebih "mriyantun". Mereka merasa diri mereka setingkat lebih tinggi daripada perempuan-perempuan yang kurang mahir di dalam ilmu "keperempuanan". Mereka mendidik gadis-gadis, supaya nantinya "laku" di kalangan kaum pemuda bangsawan dan hartawan, untuk dikawin, dan menjadi "grande dame". Usaha mereka ialah untuk menyempurnakan dan menyediakan wanita buat perjodohan, buat sang suami yang harus dipuja, buat "Sang Junjungan" yang harus ditaati. Promotor-promotor mereka, – yang paling terkenal ialah Madame de Maintenon di Perancis, dan A.H. Francke di Jerman -, promotor-promotor mereka tidak membangunkan semangat kesadaran yang lebih berarti, tidak menunjukkan jalan kepada kaum wanita untuk menjadi manusia yang lebih berisi. Kodrat alam menetapkan perempuan di bawah laki-laki, – sempurnakanlah perempuan itu untuk lebih sempurna mengabdi laki-laki! "Kelebihan" laki-laki itu diakui, dihormati, ditaati. Manakala nasib perempuan kurang menye-nangkan, itu menurut pemimpin-pemimpin wanita tingkatan kesatu itu bukan disebabkan tidak adilnya perbandingan hak antara perempuan dan laki-laki, tetapi melulu disebabkan si-perempuan itu sendiri kurang sempurna menjalankan keperem-puannya. Oleh karena itu: Sempurnakanlah dirimu! Sempurna-kanlah kecantikanmu, sempurnakanlah kecakapanmu berumah- tangga, sempurna-kanlah kepandaianmu meladeni suami, maka dengan sendirinya kedudukanmu sebagai wanita akan lebih berharga dan lebih menyenangkan!

Begitulah, dengan singkat, gambarnya "tingkatan kesatu". Tepat dan jitu sekali perkataan Henriette Roland Holst, bahwa usaha dan ikhtiar wanita dalam tingkatan ini pada hakekatnya ialah " om den man te bekoren " : – "buat memikat hati laki-laki". Tingkatan ini sering saya namakan " Tingkatan keperempuanan ".

Mudah difahamkan, bahwa "tingkatan keperempuanan" itu hanya dapat manarik perhatian kaum wanita atasan saja, dan tidak diikuti oleh kaum wanita kalangan rakyat jelata. Begitu pula mudah difahamkan, bahwa pergerakan semacam itu tidak dapat memuaskan buat selama-lamanya. Maka oleh karena itu, segeralah sesudahnya mode tingkatan ini surut, di dunia Barat lantas timbul satu tingkatan lain, – tingkatan yang kedua -, yang bukan lagi satu tingkatan "om den man te bekoren", melainkan satu tingkatan yang dengan sedar membantah kelebihan hak kaum laki-laki. Tingkatan ini, bukan lagi satu tingkatan yang hendak "menyempurnakan" kaum perempuan buat kesempurnaan pengabdian kepada kaum laki-laki, tetapi satu tingkatan yang dengan sadar menuntut persamaan hak, persamaan derajat dengan kaum laki-laki. Perempuan-perempuan dari tingkatan ini sadar, bahwa perempuan di hampir segala lapangan tidak dikasih jalan oleh kaum laki-laki, sehingga oleh karena itu hampir semua hal kemasyarakatan menjadi monopoli kaum laki-laki. Mereka merasa tidak adil, bahwa perempuan di lapangan masyarakat tidak dibolehkan berlomba-lomba dengan kaum laki-laki. Tidak dibolehkan masuk kantor, tidak dibolehkan masuk sekolah tinggi, tidak dibolehkan ikut politik, tidak dibolehkan menjadi anggota parlemen, tidak dibolehkan menjadi hakim, dan lain-lain sebagainya. Maka membanteras ketidak-adilan ini, membanteras tidak samanya hak dan derajat antara perempuan dan laki-laki, menuntut adanya persamaan hak dan persamaan derajat itu, – itulah pokok-tujuannya tingkatan kedua itu.

Apakah pada hakekatnya sebab-sebab timbulnya tingkatan ini? Sebagaimana telah saya uraikan di fasal-fasal yang terdahulu, maka pada hakekatnya perobahan dalam masyarakatlah yang menjadi asal segala perobahan-perobahan ideologi. Sebagaimana perobahan dalam proses produksi merobah anggapan-anggapan di dalam masyarakat itu, merobah moral, merobah adat, merobah isme-isme, maka perobahan dalam proses produksi itu juga merobah ideologi-ideologi perempuan tentang caranya mencari perbaikan nasib. Dulu mereka mengira, bahwa nasib mereka itu dapat diperbaiki dengan jalan menyempurnakan keperempuanannya, – "om den man te bekoren"! -, dengan menambah kecakapan bersolek, memasak, memegang rumah-tangga, memelihara anak, kejuitaan dalam pergaulan, – dulu mereka mengira, bahwa keburukan nasib mereka itu melulu hanya akibat daripada kekurangan-kekurangan pada diri mereka sendiri saja, – kini mereka berganti kepada anggapan, bahwa sebagian besar daripada keburukan nasib itu ialah akibat daripada ketiadaan hak–hak perempuan di dalam masyarakat yang sekarang.

Selama masyarakat itu masih masyarakat kuno, masyarakat yang proses produksinya belum secara baru, maka belum terasa oleh mereka akan ketiadaan hak-hak dalam masyarakat itu. Tetapi sesudah industrialisme berkembang biak, sesudah proses produksi bercorak lain, keadaan menjadi lain. Terasalah oleh mereka, bahwa untuk memperbaiki nasib mereka, mereka juga harus masuk ke dalam alam industrialisme itu. Memang industrialisme menarik mereka, membutuhkan mereka, ke dalam alamnya!

Baik kaum perempuan proletar, maupun kaum perempuan kelas pertengahan dan kelas atasan, merasa bahwa harus diadakan aksi membanteras ketiadaan hak itu. Dan walaupun pada hakekatnya ketidaksenangan di golongan-golongan perempuan atasan dan bawahan ini berlainan sifat yang satu dari yang lain, – lihatlah perbedaan akibat industrialisme kepada kaum perempuan atasan dan kepada kaum perempuan bawahan, di Bab III -, maka di atas lapangan ketiadaan hak itu mereka menemui satu sama lain. Terutama sekali kaum perempuan pertengahan dan atasan, yang sudah tentu lebih cerdas daripada perempuan bawahan, siang-siang telah mulai dengan aksi semacam itu.

Sebelum silamnya abad kedelapan belas, mereka sudah mulai bergerak. Yang paling dahulu ialah kaum perempuan Amerika. Di bawah pimpinan Mercy Otis Waren (dan juga Abigail Smith Adams ), mereka berjoang. Di dalam tahun 1776, tatkala Amerika telah terlepas dari Inggeris dan hendak menyusun Undang-Undang Dasar sendiri, mereka menuntut supaya hak perempuan diakui pula. Mereka menuntut supaya perempuan dibolehkan ikut memilih anggota parlemen dan ikut menjadi anggauta parlemen; supaya perempuan dibolehkan memasuki semua macam sekolahan; supaya Undang-undang yang sedang disusun itu benar-benar satu Undang-undang Dasar yang demokratis antara laki-laki dan perempuan.

Aksi perempuan Amerika ini berpengaruh besar atas ideologi kaum perempuan di Eropah. Terutama sekali di Perancis dan Inggeris sambutan hangat sekali. Di dalam Revolusi Perancis yang besar itu, yang meledaknya memang sesudah Revolusi Amerika, mulai bergeraklah perempuan Perancis menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki.

Madame Roland (pemimpin kaum perempuan atasan), Olympede Gouges, Rose Lacombe, Theroigne de Mericourt, (pemimpin-pemimpin kaum perempuan bawahan), membakar hati pengikut-pengikutnya. Dengan gagah-berani, tidak takut maut, mereka menuntut persamaan hak itu. Dengan gagah berani mereka organisatoris mendirikan perserikatan–perserikatan wanita, barangkali organisasi-organisasi wanita yang pertama di dalam sejarah kemanusiaan! -, yang anggotanya bukan berjumlah puluhan atau ratusan orang, tetapi ribuan orang! Boleh dikatakan merekalah yang mula-mula benar-benar mengorganisir aksi perlawanan wanita, mengorganisir gerakan perlawanan wanita, yang tidak lagi meminta-minta. Korban yang mereka berikan susah dicari taranya di dalam sejarah wanita. Ratusan dari mereka memberikan darahnya dan memberikan jiwanya. Pemimpin mereka yang ulung, Olympe de Gouges, singa betina Revolusi Perancis, bersama dengan mereka dipenggal batang-lehernya oleh fihak laki-laki, di bawah guilyotin. Pengorbanan-pengorbanan mereka itu membuktikan elan revolusioner yang maha-hebat di pihak wanita, tetapi pengorbanan-pengorbanan itu membuktikan pula, bahwa pada waktu itu fihak laki-laki mati-matian pula tidak mau memberikan persamaan hak kepada kaum wanita, – mati-matian tidak mau melepaskan kedudukan laki-laki di atas kaum wanita.

Tetapi sebagaimana dikatakan oleh Emerson bahwa "tiada korban yang tersia-sia", maka pengorbanan-pengorbanan kaum wanita Perancis itu pun tidak tersia-sia. Pengorbanan mereka itu malah pantas tercatat dengan aksara emas bukan saja di dalam kitab sejarah perjoangan wanita, tetapi juga di dalam kitab sejarah evolusi kemanusiaan. Bukan hilang percuma pengorbanan-pengorbanan itu, terbuang hilang dalam kabutnya sejarah, tetapi api semangatnya mencetus ke dalam kalbu ideologinya perempuan-perempuan di negeri lain. Malah belum pula Revolusi Perancis itu berakhir, sudahlah pekik perjoangan Madame Roland dan Olympe de Gouges itu disambut oleh Mary Wollstonecraft di negeri Inggeris, yang dalam tahun 1792 menerbitkan bukunya yang bernam "Vindication of the Rights of Woman" ("Pembelaan hak-hak kaum wanita"). Dengan Mary Wollstonecraft mulailah kaum perempuan Inggeris memasuki gelanggang perjoangan menuntut hak-hak wanita.

Dan faham-faham yang disebarkan oleh pemimpin-pemimpin wanita yang saya sebut namanya itu, – dibantu oleh sokongan beberapa orang pemimpin laki-laki seperti misalnya Condorcet di Perancis -, faham-faham mereka itu menjadi tetap tuntutan seluruh pergerakan perempuan "tingkatan kedua" di pelbagai negara, sampai kepada silamnya abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. Umumnya tingkatan kedua ini terkenal dengan nama pergerakan feminisme. Persamaan hak dengan kaum laki-laki, dan terutama sekali hak memasuki segala macam pekerjaan masyarakat, persamaan hak itulah menjadi pokok tuntutannya. Dan oleh karena tuntutan hak memasuki segala macam pekerjaan itu terutama sekali datang dari golongan wanita atasan dan pertengahan, maka pergerakan feminisme itu terutama sekali adalah satu pergerakan "kasta pertengahan" pula, – satu pergerakan burjuis, dan bukan satu pergerakan yang pengikutnya kebanyakan dari kalangan rakyat-jelata.

Sebab, sekalipun perempuan-perempuan rakyat jelata juga tidak senang bahwa banyak hak-hak dimonopoli oleh kaum laki-laki, dan juga berpendapat bahwa hak-hak itu harus direbut dan dituntut, maka toh "isi" tuntutan mereka itu ada lain daripada tuntutan perempuan atasan atau pertengahan.

Apa sebab kaum wanita atasan dan pertengahan menuntut hak memasuki segala macam pekerjaan? Sebabnya harus dicari dalam akibat industrialisme. Industrialisme melahirkan produksi barang-barang dagangan. Barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari, yang dulu harus dibuat oleh wanita sendiri di rumah, sekarang dapat dibeli di toko-toko dengan murah, dan kwalitasnyapun lebih baik. Oleh karena itu, maka pekerjaan di rumah-tangga menjadi makin kurang. Apa yang harus dikerjakan oleh wanita atasan dan pertengahan sekarang untuk mengisi waktu? Bekerja di kantor tak boleh, di lapangan politik tak boleh, di lapangan kemasyarakatan lain pun tak boleh. Adat tidak membolehkannya, dan fihak laki-lakipun memang tidak mau mendapat persaingan wanita. Oleh karena itulah, maka pokok-tuntutan wanita atasan dan pertengahan ialah: hak bekerja! Hak memasuki segala pekerjaan, yang akan membawa mereka keluar dari kurungan rumah, di mana mereka merasa diri hampir beku karena menganggur.

Hampir beku karena "verveling"! Rasanya mereka akan puas, kalau mereka dibolehkan ikut masuk ke dalam masyarakat, dibolehkan ikut mengerjakan "pekerjaan masyarakat", – di luar dari suasana kebekuan itu, "Pekerjaan rumah-tangga" yang tinggal sedikit-sedikit itu, toh dapat mereka suruh kerjakan oleh pegawai dan pembantu, oleh si bujang dan si genduk. Mereka cukup uang untuk menggaji pelayan-pelayan itu.

Tetapi bagaimana dengan perempuan dari kalangan rakyat-jelata? Hak bekerja sebenarnya sudah ada di tangan mereka, – sampahnya hak bekerja! Sejak timbulnya industrialisme, mereka telah berduyun-duyun masuk paberik-paberik dan perusahaan-perusahaan, menjualkan tenaga bekerja-nya kepada majikan-majikan pelbagai macam. Sejak timbulnya industrialisme itu, mereka telah terlepas dari kurungan rumah-tangga, telah menceburkan diri dalam masyarakat sebagai kuli, sebagai budak, sebagai "proletar". Sejak timbulnya industrial-isme itu mereka tiap-tiap hari malah lebih lama bertinggal di paberik daripada di samping api-dapur. Sejak timbulnya industri-alisme itu mereka malah melihat anak-anaknya hanya pada waktu malam saja, sesudah matahari terbenam, – sepulang mereka dari pekerjaan. Hak bekerja sudah ada pada mereka, – hanya "permanusiaannya’’ pekerjaan itu yang belum ada pada mereka! Permanusiaannya pekerjaan, yang membuat pekerjaan itu menjadi satu kebahagiaan, satu pengangkatan jiwa, satu pemerdeka, satu pembebasan, dan bukan satu cambuk pedih yang membongkokkan tulang punggung, satu labrakan yang melabrak mereka dari saat fajar menyingsing sampai liwat petang hari. Permanusiaannya pekerjaan, yang memberi jaminan bahwa pekerjaan di dalam paberik itu tidak boleh lebih lama daripada delapan sembilan jam sehari. Permanusiaannya pekerjaan, yang membuka pintu ketingkat-tingkat yang lebih mulia, dan bukan hanya pekerjaan yang semacam sampah, yang tiap-tiap waktu dapat dibuang: Permanusiaannya pekerjaan, yang memberi juga hak-hak kepada mereka sebagai manusia dan sebagai warga-negara, yaitu hak-hak yang setingkat dengan hak-hak manusia laki-laki dan hak-hak warga negara laki-laki. Permanusiaannya pekerjaan, yang dapat memberi kepuasan kepada mereka sebagai produsen masyarakat dan sebagai ibu dan isteri di dalam rumah, permanusiaannya pekerjaan, yang menutup "retak" (scheur) di dalam jiwa mereka, sebagai yang telah saya uraikan dibab III buku ini.

Maka inilah menjadi sebab, yang kaum perempuan bawahan itu akhirnya tidak puas dengan tuntutan-tuntutan feminisme saja.

Ya, benar, juga mereka, kaum perempuan bawahan, hendak merebut persamaan hak dengan laki-laki, juga mereka hendak merebut hak memilih dan dipilih buat parlemen atau dewan-dewan lain, juga mereka hendak merebut hak memasuki semua macam pekerjaan di masyarakat yang sekarang masih banyak dimonopoli oleh laki-laki itu. Tidakkah, menurut perkataan salah seorang pemimpin mereka yang amat besar, Clara Zetkin, mereka itu yuridis dan politis merupakan satu " vijfdestand " dalam masyarakat zaman sekarang? Satu "vijfde stand", yang lebih rendah lagi derajatnya daripada "vierde stand"nya kaum proletar laki-laki? Karena itu memang, memang harus direbut persamaan hak dengan kaum laki-laki itu! Tetapi perempuan-perempuan bawahan itu sedar bahwa tuntutan-tuntutan feminisme saja belum mencukupi.

Yang sebenarnya perlu bukanlah hanya persamaan hak dengan laki-laki saja, tetapi – perobahan susunan masyarakat sama sekali. Apakah telah mencukupi persamaan hak saja, kalau seluruh susunan masyarakat penuh dengan ketidak-adilan? Kalau perempuan dan laki-laki, dua–duanya! , sebagai kelas, tertindas dan terhisap? Henriette Roland Holst di dalam satu pidato yang berapi-api berkata:

"Geef de vrouw het kiesrecht, schaf alle wettelijke bepalingen af die haar bij den man achterstellen en in haar vrijheid belemmeren, open voor haar den toegang tot alle, beroepen en bedrijven, maak haar opleiding en opvoeding gelijk aan die van den man, zoodat zij zooveel mogelijk gelijke kansen heeft, – zult gij daarmee het lot van de millioenen arbeidsters in loondienst verbeteren, zult gij deze opheffen uit de proletarische ellende, zult gij de ongezonde, slecht betaalde huisindustrie waarin andere millioenen zwoegen en sloven, uit de wereld helpen, zult gij het raadsel oplossen van de sfinx der prostitutie? Neen, dat alles zult ge niet! Al dit vrouwelijden zit vast aan den burgelijke maatschappijvorm, aan het kapitalistisch stelsel van voortbrenging. Maar: zelfs voor de groote meerderheid van de vrouwen uit de burgelijke klassen, voor hen namelijk die huwen en kinderen krijgen, kan de burgerlijke vrouwenbeweging de bevrijding niet brengen, niet de oplossing van het moeilijke vraagstuk in hun leven".

Artinya:

"Berilah kepada wanita hak memilih dan dipilih, hapuskan semua aturan-aturan yang membelakangkan mereka dari laki-laki dan merintang-rintangi kemerdekaannya, bukakan pintu bagi mereka kepada semua jawatan dan perusahaan, buatkan pendidikannya menjadi sederajat dengan pendidikan laki-laki sehingga mereka mendapat kesempatan yang sama luasnya, – apakah Tuan dengan itu akan dapat memperbaiki nasib kaum buruh wanita, upahan yang berjuta-juta itu, akan dapat mengangkat mereka dari kesengsaraan proletar, – akan dapat membasmi industri di rumah yang tidak sehat dan rendah upah itu yang di dalamnya berkeluh-kesah pula miliun-miliunan wanita lain, – akan dapat memecahkan rahasianya hantu persundalan? Tidak, Tuan tidak akan dapat semua itu! Semua kesengsaraan wanita ini adalah terikat kepada bentuk masyarakat yang borjuis, kepada cara produksi yang sistimnya kapitalistis. Malah juga kepada sebagian besar daripada wanita-wanita golongan atasan dan pertengahan, kepada mereka yang dapat bersuami dan beranak, pergerakan wanita borjuis itu tidak dapat mendatangkan kemerdekaan, tidak dapat mendatangkan pemecahan soal hidup mereka yang paling sulit".

Maka dengan keyakinan yang semacam ini, berkembanglah tingkat ketiga daripada pergerakan wanita, yaitu pergerakan wanita yang di dalam aksi sosialis hendak mendatangkan satu Dunia Baru sama sekali, yang di dalamnya perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat bahagia, dengan tiada pemerasan satu kelas oleh kelas yang lain, tiada penindasan satu sekse oleh sekse yang lain. Satu Dunia Baru, yang di situ bukan saja perempuan sama haknya dengan laki-laki, tetapi juga tidak menderita "retak" atau "scheur", oleh karena di dalam Dunia Baru itu ada pertemuan, ada pertunggalan, ada sintese, antara "pekerjaan masyarakat" dan "pekerjaan rumah tangga".

Maka justru berhubung dengan tujuan tingkat yang ketiga ini, sebenarnya tidak boleh dikatakan ada spesial pergerakan wanita tingkat ketiga. Sebab di dalam aksi menyelenggarakan Dunia Baru itu, perempuan tidak beraksi sendiri, dan laki-laki pun tidak beraksi sendiri, tetapi kedua-dua sekse itu bersama–sama berjoang, bersama–sama bergerak, bahu-membahu, di dalam satu gelombang yang makin lama makin mendahsyat. Satu gelombang perjoangan kelas, yang tidak kenal perbedaan antara manusia dengan manusia, satu gelombang menuju kepada Kemerdekaan, – Kemerdekaan laki-laki dan kemerdekaan perempuan. Kemerdekaan kelas dan Kemerdekaan sekse!

Aksi wanita feminis berjalan melawan laki-laki.

Aksi wanita sosialis berjalan bersama–sama dengan laki-laki.

Maka dengan tercapainya "tingkat ketiga" ini, tercapailah juga tingkat yang tertinggi daripada pergerakan Sarinah mengejar nasib yang lebih layak. Dan tingkat yang tertinggi ini sampai sekarang masih terus menggeletar, masih terus menggelombang, – tak akan lenyap, sebelum tercapai masyarakat adil, pengganti masyarakat kapitalistis yang di dalamnya ada penindasan kelas dan penindasan sekse.

Demikianlah ikhtisar selayang-terbang daripada tingkatan-tingkatan pergerakan wanita itu. Artinya ialah:

Dari zaman sebelum Revolusi Amerika dan Perancis sampai ke zaman sekarang adalah tiga tingkatan pergerakan wanita.

Tingkat kesatu: Pergerakan menyempurnakan "keperempuanan", yang lapangan usahanya ialah misalnya memasak, menjahit, berhias, bergaul, memelihara anak, dsb.

Tingkat kedua: Pergerakan Feminisme yang ujudnya ialah memperjoangkan persamaan hak dengan kaum laki-laki. Programnya yang terpenting ialah hak untuk melaku-kan pekerjaan dan hak pemilihan. Seorang pemimpin feminis Belanda Nyonya Betsy Bakker Nort mengatakan:

"De vrouwenbeweging is het best te karakteriseren als het stuwen der vrouwen om als volwaardig mens te worden beschouwd en behandeld. En haar einddoel: volkomen gelijk-stelling in wetten en zeden van beide seksen".

Artinya: "Pergerakan wanita itu paling tepat dapat digambarkan sebagai satu desakan wanita untuk dipandang dan diperlalukan sebagai manusia penuh. Tujuannya yang terakhir ialah: persamaan samasekali antara kedua sekse itu, di atas lapangan hukum-hukum negara dan adat-istiadat". Pergerakan feminis itu sering juga dinamakan pergerakan emansipasi wanita, dan aksinya bersifat menentang kepada kaum laki-laki.

Tingkat ketiga: Pergerakan Sosialisme, dalam mana wanita dan laki-laki bersama-sama berjoang bahu-membahu, untuk mendatangkan masyarakat sosialistis, dalam mana wanita dan laki-laki sama-sama sejahtera, sama-sama merdeka.

Nah, sekarang pembaca telah mendapat ikhtisar terang daripada tingkat-tingkat itu. Marilah kita sekarang mempelajari tingkat-tingkat itu dengan cara agak lebih mendalam.

Tetapi tingkat yang pertama, – tingkat "menyempurnakan keperempuanan", yang di dalam pidato-pidato kadang-kadang saya namakan tingkat "main puteri-puterian" -, tidak akan saya uraikan lebih lanjut, oleh karena kurang penting. Dan ... di Indonesia sini kita sudah sering melihat contoh-contoh tingkatan ini. Siapa belum?

Marilah saya jelaskan tingkat yang kedua. Sebagai saya terangkan tadi, buaian tingkat ini ialah di Amerika, yang pada waktu itu sedang di dalam perjoangan menyusun kemerdekaan-nya. Tiap-tiap perjoangan kemerdekaan mengalami pergolakan ideologi. Wanita Amerika ikut-serta di dalam pergolakan ideologi itu. Saya telah katakan bahwa Mercy 0tis Warren lah pemimpin mereka. Ia adalah saudaranya James Otis, salah seorang pemimpin kemerdekaan nasional Amerika pada waktu itu. Mercy Otis Warren mengumpulkan semua pemimpin-pemimpin wanita Amerika di dalam salonnya. Ia lebih radikal dari pada banyak pemimpin-pemimpin laki-laki, – lebih laju, lebih konsekwen. Ia telah menuntut kemerdekaan-penuh bagi Amerika, sebelum George Washington sendiri setuju dengan kemerdekaan penuh itu! Ia sering bertukar fikiran dengan Thomas Jefferson, perancang naskah pernyataan kemerdekaan Amerika dan naskah yang termasyhur ini memang terang mengandung buah-buah fikirannya.

Tetapi Mercy bukan hanya seorang pemimpin kemerdekaan nasional saja. Ia adalah pula seorang pemimpin sosial. Seorang pemimpin sekse. Dengan kawan sefahamnya Abigail Smith Adams, – yang suaminya menjadi Presiden Amerika yang kedua -, ia mengkampiuni perjoangan persamaan hak antara sekse laki-laki dan sekse wanita. Mereka berdualah yang mula-mula sekali di dalam sejarah menuntut persamaan hak itu. Di dalam tahun 1776, lebih dari 170 tahun yang lalu, pada waktu Kongres seluruh Amerika (Continental Congress) menyusun Undang-undang Dasar Negara Amerika, maka Abigail Smith Adams menulis surat kepada suaminya, yang berbunyi: "Kalau Undang-undang Dasar baru itu tidak memperhatikan benar-benar kepada kaum wanita, maka kami kaum wanita telah memutuskan akan memberontak kepadanya, dan kami merasa tidak wajib taat kepada hukum-hukum yang tidak mengasih kepada kami hak-suara dan hak perwakilan guna membela kepentingan-kepentingan kami". Dan bukan saja ia menuntut hak suara dan hak perwakilan bagi kaum wanita, – ia juga menuntut terbukanya pintu gerbang semua sekolah bagi kaum wanita. "Satu Negara, yang mau menjelmakan pahlawan-pahlawan ahli-ahli negara dan ahli-ahli faIsafah, haruslah mempunyai ibu-ibu yang cerdas di tempat-tempat yang terkemuka", demikianlah bunyi pembelaannya.

Berhasilkah aksi kedua pendekar wanita ini? Jarang sekali sejarah dunia menunjukkan berhasilnya satu aksi yang dapat dengan sekaligus menggempur hancur-lebur benteng-bentengnya kekolotan. Tiap-tiap kekolotan, tiap-tiap konservatisme, adalah ulet, justru oleh karena ia konservatif, kukuh memegang teguh kepada yang ada. Aksi nyonyah-nyonyah Otis Warren dan Smith Adams tidak berhasil seratus prosen. Tetapi hasilnya toh tidak sedikit pula: pintu gerbang semua sekolahan dibukakan buat wanita, dan walaupun hak suara dan hak perwakilan belum dikabulkan buat Negara Serikat seluruhnya, maka toh ada dua negara yang meluluskannya: – New Jersey, dan Virginia. Dua negara inilah negara yang pertama-tama di dalam sejarah dunia membukakan pintu dewan perwakilannya bagi kaum wanita! .

Dan sebagai di muka tadi telah saya katakan, – mereka juga berjasa di benua lain. Kumandangnya aksi mereka menggaung melintasi samudera Atlantika, percikan api semangat mereka mencetus di dalam jiwa wanita-wanita Perancis, dan kemudian juga di dalam jiwa wanita-wanita Inggeris. .

Sudahkah, sebelum itu, wanita Perancis memikir-mikirkan tentang perbaikan nasib kaumnya? Sudah sedikit-sedikit. Tetapi baru sesudah mendapat cetusan api semangat dari Amerika itulah – wanita Perancis menyala-nyala dan berkobar-kobar jiwanya. Orang-orang wanita, yang tadinya hanya pasif saja di dalam proses ideologi Revolusi Perancis, lantas menjadi tenaga-tenaga aktif yang ikut mendidihkan kancah perjoangan manusia merebut hak-hak manusia yang lebih adil. Di dalam tahun 1786 telah didirikan semacam sekolah menengah parukelir (Lyceum) oleh Markies de Condorcet dan Montosquieu, dan Lyceum ini segera menjadi pusat kecerdasan puteri-puteri hartawan Perancis yang pertama. Dengan ini sebenarnya telah diakui bahwa wanita juga mempunyai hak atas kecerdasan dan kemajuan. Tetapi hak-hak politik masih dianggap haram baginya, masih dianggap "tabu" bagi wanita. Hak-hak politik masih dianggap satu monopoli utama bagi laki-laki saja.

Dan monopoli ini akhirnya digempur! Pada waktu Revolusi mendirikan Majelis Perwakilan Rakyat, – Majelis Nasional -, yang anggotanya hanya terdiri dari orang laki-laki saja, – pada waktu itu kaum wanita segeralah mengadakan aksi dengan menyebarkan surat-surat sebaran, brosur-brosur, surat-surat tuntutan supaya wanita juga diberi hak untuk menjadi anggota Majelis Perwakilan itu. .

Tetapi janganpun hak-hak politik yang demikian jauhnya! Hak memasuki sekolah-sekolah umum sajapun tak diberikan oleh fihak laki-laki kepada wanita! Tuntutan-tuntutan wanita yang dengan kata berapi-api dimuatkan dalam surat-surat-sebaran, brosur-brosur dan surat-surat tuntutan itu, ditolak mentah-mentahan oleh Majelis Nasional 1791. Terutama sekali Talleyrand menentangnya mati-matian. Apa yang ia kata? Kaum pemuda laki-laki harus dididik menjadi warga negara yang sanggup memikul segala hak dan beban warga negara, harus digembleng. menjadi tiang-tiang negara dan tiang-tiang masyarakat yang teguh dan kuat, – tetapi wanita "oleh alam" telah diperuntukkan untuk duduk di rumah-tangga, di tengah anak-anak. Tiap-tiap pelanggaran atas "hukum alam" ini nanti menjadi sumber kerusakan, tiap-tiap perkosaan kepada hukum alam ini nanti niscaya mendatangkan bencana. Oleh karena itu, maka gadis-gadis jangan dididik sama dengan pemuda-pemuda, jangan diizinkan mereka memasuki sekolah-sekolah umum kalau sudah berumur delapan tahun! Maka sesuai dengan anjuran Talleyrand itu Majelis Nasional mengambil putusan, bahwa anak-anak perempuan hanya diizinkan memasuki sekolah-sekolah umum kalau mereka belum berumur delapan tahun!

Undang-undang Dasar dari tahun 1793 ada "maju" sedikit: gadis-gadis boleh memasuki sekolah-sekolah umum sampai umur ... 12 tahun! Tetapi di luar itu, belum ada hak sedikitpun yang diberikan kepada wanita. Tidak hak sosial, tidak hak eknomis, tidak hak politik. Dan sebenarnya pemimpin-pemimpin wanita dari kalangan hartawan dan atasan pada waktu itu pun tidak teramat giat memperjoangkannya. Sebab mereka, kaum perempuaan hartawan dan atasan itu, sudah merasa puas bahwa mereka diperbolehkan bergaul dengan kaum laki-laki di dalam salon-salon, di dalam club-club, di sekolah menengah Lyceum, dan boleh menghadiri rapat-rapatnya kaum Encyclopaedis. Tetapi bagaimana keadaan di kalangan wanita rakyat jelata? Mereka sudah barang tentu tidak boleh memasuki salon-salon yang mulia itu, tidak boleh memasuki club-club yang mentereng, atau Lyceum yang mahal ongkosnya, atau rapat Encyclopaedis yang bertinggi ilmu. Tetapi sebaliknyapun, nafsu ingin maju belum kuat menyala-nyala di dalam dada mereka. Kemiskinan, kemudlaratan, kepapaan, – semua itu mula-mulanya seperti menumpulkan sama sekali himmah mereka, membuntukan fikiran mereka, membekukan semangat mereka. Badan jasmani yang seperti terhantam remuk oleh penderitaan, mengakibatkan apati, – rasa tak perduli apa-apa -, di dalam jiwa. Lily Braun, pemimpin wanita yang terkenal itu, menggambarkan nasib perempuan jelata Perancis pada waktu itu dengan angka-angka yang mendirikan bulu-roma. Dua puluh tahun sebelum Revolusi Petancis meledak, – demikianlah angka-angkanya dalam kitab-nya tentang "Soal Wanita" -, di Perancis adalah 50.000 orang pengemis; sepuluh tahun kemudian, jumlah ini menaik menjadi 1.500.000 orang. Di satu kota saja, yaitu di kota Lyon, kota pusat industri sutera, di dalam tahun 1787 adalah 30.000 orang yang hidupnya dengan jalan minta-minta. Kota Paris yang pada waktu itu berpenduduk 680.000 jiwa, mempunjai 116.000 orang pengemis, yaitu hampir seperlima dari jumlah semua penduduknya. Heran-kah kita, kalau persundalan subur sekali, – yaitu satu jalan bagi wanita-wanita miskin di Paris itu untuk mencari sepotong roti? Di dalam" tahun 1784 Paris mempunyai 70.000 orang wanita bunga raya. Kampung-kampung St. Antoine dan Temple di Paris sesak dengan wanita-wanita tua yang mengemis, dan ... wanita-wanita muda yang menawar-nawarkan kecantikan tubuhnya.

St. Antoine dan Temple! Sarang kemiskinan, – dan sarang perzinahan! Tetapi justru dari St. Antoine dan Temple inilah kelak datangnya perajurit-perajurit perjoangan wanita. Justru di St. Antoine dan Temple inilah menurut perkataan Lily Braun tempatnya sumber "tenaga-tenaga pendorong yang paling hebat dari alam, yaitu kelaparan dan kecintaan". "Cinta kepada anak-anak turunan yang dengan tiada berdosa harus mewarisi kesengsaraan mereka, – itulah mendorong mereka ke dalam kancah perjoangan". Ya, mendorong mereka, – mendorong mereka sendiri!

Mereka sendiri harus menolong mereka sendiri! Adakah harapan mendapat pertolongan dari pemimpin-pemimpin wanita borjuasi? "Kaum proletar harus membela sendiri kepentingan proletar. Suatu tentara menjelmakan sendiri pemimpinnya, dan tidak sebaliknya", demikianlah Lily Braun dengan jitu berkata. Maka kaum wanita jelata di Paris itu, yang tadinya begitu buntu dan tumpul fikirannya, yang tadinya seperti buta tiada tahu jalan, yang tadinya hanya tahu menderita serta menggerutu saja di tempat-tempat yang gelap, yang tidak diperdulikan sama sekali oleh wanita-wanita hartawan, – wanita jelata di Paris ini akhirnya menggemparkan orang, karena mereka sendiri bangkit dari kebekuan dan apatinya.

Pada tanggal 6 Oktober 1789 berkumpullah 8000 orang wanita jelata di muka Gedung Kota di Paris menuntut diberi roti untuk mengisi perutnya yang lapar. Roti! Roti!

Dan tatkala tuntutan minta roti ini ditolak, pergilah mereka berarak-arak ke Versailles, – ke istana Raja. Minta roti di sana! Roti! Gegap gempitalah arak-arakan ini! Siapakah itu, orang perempuan cantik, muda remaja, yang berkuda mengepalai arak-arakan ini? Dia adalah Theroignede Mericourt, bekas sundal, yang telah terbuka fikirannya, dan yang sekarang menjadi pemimpin wanita. Dan siapakah itu, pemimpin wanita yang berjalan di tengah-tengah arak-arakan 8000 wanita itu, sambil mengaju-ajukan anak buahnya? Dia adalah Rose Lacombe, nama yang terkenal di dalam sejarah perjoangan. Dan apakah benar 8000 orang wanita ini semuanya sundal, semuanya perempuan jalang? Memang demikian tuduhan kaum atasan. Tetapi Jean Jaures, pemimpin besar bangsa Perancis yang termasyhur itu, historikus yang kenamaan, membantahnya dengan tegas dan mutlak. Mereka bukan perempuan-perempuan yang haus darah, bukan pula perempuan sundal, demikianlah katanya. Mereka perempuan-perempuan miskin dari golongan kaum buruh. Mereka di Versailles terpaksa diizinkan masuk ke dalam gedung Majelis Nasional, dan dari sini, bersama-sama dengan ratusan laki-laki yang mengikutinya dan dengan wakil-wakil Majelis Nasional, mereka pergi kemuka istana Raja.

Di sana, tampillah Louise Chably ke muka, terus menghadap Raja, dan menjadi juru bicara wanita-wanita tadi semuanya. Ia mengemukakan kesengsaraan wanita jelata, kemiskinannya yang tidak berhingga, ketidaksenangannya atas segala keadaan, Keinginannya mendapat perbaikan. Raja mendengarkannya dengan hati yang gelisah. Ia kalang-kabut di dalam batinnya. Ia bingung, ia tidak tahu apa yang harus dikata. Ia ... goyang. Maka Ketua Majelis Nasional, yang ikut serta pula pada saat itu, mengambil kesempatan baik daripada keadaan ini, untuk mendesak kepada Raja supaya Raja suka menandatangani naskah "Hak-hak Manusia", yang rancangannya memang telah ia bawa.

Alangkah bingungnya Raja pada saat itu! Belum pula "kerewelan wanita" ini habis, sudahlah ia didesak oleh Ketua Majelis Nasional untuk menandatangani naskah yang lebih hebat. Rasa hati kecilnya memberontak, keangkuhan tradisinya marah dan benci, kemuliaan mahkotanya merasa terancam, sebab menandatangani naskah itu berarti menandatangani vonis mati kepada hak raja yang tak terbatas. Menandatangani naskah itu berarti membunuh kerajaan mutlak. Tetapi ... di luar istana berdiri ribuan rakyat jelata, dengan wanita 8000 orang tadi di bagian yang muka, ... menunggu, meskipun hujan sedang turun dengan hebatnya, ..: menunggu, telah berjam-jam lamanya, .... menunggu, ... dengan muka yang seram. Kejengkelan dan dendam hati terbaca di mata mereka itu! Apa yang Raja hendak perbuat kini?

Akhirnya, apa boleh buat, ia tandatangani naskah itu!

"Hak-hak Manusia" ia syahkan. Hak Raja yang tidak berbatas ia lepaskan, boleh masuk ke lobang kubur. Sungguh satu detik yang maha bersejarah di dalam proses anggapan-anggapan manusia! Jean Jaures, yang telah saya sitir di muka tadi, mengatakan tentang kejadian ini:

"Demikianlah, maka karena desakan kaum wanita Paris, yang hendak meminta roti, telah ditandatangani surat keterangan tentang hak-hak manusia". Ya, desakan wanita! Memang demikian! Manakala 14 Juli – Hari Kemerdekaan Perancis – disebutkan hari kehormatannya kaum laki-laki, maka 6 0ktober adalah hari kehormatannya kaum perempuan. Orang laki-laki pada tanggal 14 Juli telah menaklukkan Bastille, tetapi orang perempuan pada tanggal 6 Oktober telah menaklukkan Hak Raja, – telah menaklukkan Kerajaan!

Tetapi, apakah yang mereka perdapat dengan kemenangan ini buat mereka sendiri ? Sungguh mengecewakan sekali! Sebab keterangan tentang "hak-hak manusia" yang telah ditandatangani oleh Raja itu, tidak berisi satu kalimatpun yang mengatur hak-hak kaum perempuan! Pada waktu Majelis Nasional merancang surat keterangan itu, menyusun kata-kata yang hendak menentukan hak-hak manusia di dalam negara, memformulir faham-faham dasar yang akan menjadi alas-alas prinsipiil bagi gedungnya masyarakat dan negara, pada waktu itu perempuan "di luar pembicaraan". Masyarakat, negara, politik, dan lain sebagainya, hanyalah buat orang laki-laki saja, – tabu buat orang perempuan!

Tetapi kendatipun demikian, 6 Oktober tetap mengandung arti maha penting bagi kaum wanita sendiri. Tidakkah pada hari itu kaum wanita Perancis telah bangkit, telah berani memekik-kan suaranya sendiri, telah mengambil nasib dalam tangannya sendiri, telah mampu memaksakan kehendaknya, telah berhasil memaksa kepada dunia ramai supaya tidak meremehkan lagi kepadanya? Sejak hari 6 Oktober itu mereka menjelma menjadi "tenaga-tenaga pendorong bagi propaganda revolusioner" sebagai Jaures mengatakannya. Sejak hari itu mereka sedar, dan bukan saja mereka lantas menjadi anggota club-club yang didirikan oleh kaum laki-laki, – mereka mendirikan pula perserikatan–perserikatan wanita sendiri, perserikatan-perserikatan wanita yang besar-besar, – perserikatan-perserikatan politik wanita yang pertama di dalam sejarah kemanusiaan! Di dalam satu kota saja, misalnya di Bordeaux, perserikatan "Amies de la Constitution" mempunyai anggota 2000 orang, dan cabang Paris saja dari perserikatan "Femmes Republicaines et Revolutionaires" mempunyai anggota tak kurang dari 6000 orang.

Perserikatan-perserikatan inilah gelanggang-perjoangannya Srikandi-Srikandi Revolusi Perancis, yang nama-namanya akan tetap tertulis dengan aksara emas di dalam kitab sejarah. Kita jumpai di dalam kitab sejarah itu, nama Madame Roland, anggota dari perserikatan campuran "Patriotes des deux sexes defenseurs de la Constitution", barangkali pemimpin wanita yang paling berpengaruh di zaman Revolusi. Madame Roland adalah satu intelektuil yang cemerlang. Dialah pusat jiwa Gironde. Dialah yang menaikkan bintang suaminya, sehingga suaminya itu dua kali diangkat menjadi Menteri. Dialah yang menulis akta-akta diplomatik yang penting-penting, yang sampai sekarang masih disimpan di dalam arsip-arsip pemerintah negara.

Dialah yang mengumpulkan banyak pemimpin-pemimpin laki-laki di dalam salonnya, meyakinkan mereka dengan faham-faham baru, yang sangat berpengaruh atas prosesnya ideologi Revolusi.

Dan kita jumpai di dalam kitab sejarah itu satu nama yang lain, – satu bintang yang amat gilang-gemilang, yaitu nama Olympede Gouges. Dialah yang benar-benar berhak disebutkan singa-betinanya Revolusi. Alangkah tangkasnya, alangkah gagah beraninya, alangkah "hebatnya" wanita ini! Manakala Madame Roland seorang pemimpin wanita dari kalangan atasan, maka Olympe de Gouges adalah pendekar dari kalangan bawahan. Dan manakala Madame Roland mempengaruhi Revolusi dengan kecerdasannya, dengan faham-fahamnya, dengan tidak berjoang aktif sebagai organisator atau pendekar perserikatan, maka Olympe de Gouges adalah organisator wanita dan agitator – wanita yang penuh aksi, organisator wanita dan agitator wanita yang pertama di dalam sejarah pergerakan revolusioner. Olympe de Gouges selalu di tengah-tengah massa. Pidato-pidatonya memetir, kata-katanya menyala-nyala, berapi-api, mengobarkan semangat, puluhan ribu wanita, menyambar dan membakar hangus alasan-alasan fihak laki-laki yang hendak menolak wanita dari pekerjaan masyarakat dan negara. Majelis Nasional sering tercengang kalau membaca tulisan-tulisannya yang tegas dan hebat, malah sering seperti terpukau kalau dihantam olehnya dengan alasan-alasan yang tajam dan terus menuju ke dalam jiwa.

Kekecewaan Olympe de Gouges atas "Hak-hak Manusia" yang semata-mata hanya hak-hak orang laki-laki saja itu, bukan kepalang! Segera sesudah "Keterangan Hak-hak Manusia" itu diumumkan dan disambut dengan kegembiraan gegap-gempita di seluruh Perancis, maka ia mengeluarkan satu manifes, yang ia beri nama "Keterangan Hak-haknya Wanita " . Tajam dan pedas protes Olympe atas ketidakadilan yang termaktub dalam "Keterangan Hak-hak Manusia" itu: "Wanita dilahirkan dalam kemerdekaan, dan sederajat dengan orang laki-laki. Tujuan tiap-tiap masyarakat hukum ialah: kemerdekaan, kemajuan, keamanan, menentang kepada tindasan ... Tetapi sampai sekarang, wanita dipersempit jalannya untuk mengerjakan hal-hal yang karena kodrat memang haknya semata-mata. Natie yang menjadi dasar sendi negara, terdiri dari orang laki-laki dan orang perempuan. Hukum-hukum negara haruslah gambarnya kemauan yang timbul dari persatuan ini. Sebagaimana halnya dengan warga negara laki-laki, maka warga negara wanitapun harus, dengan jalan persoonlijk atau dengan jalan wakil-wakil yang mereka pilih sendiri, ikut serta pada pembuatan hukum-hukum negara itu. Hukum-hukum ini harus bersifat sama rata buat semua orang. Oleh karena itu, maka semua warga negara baik laki-laki maupun perempuan, masing-masing menurut kecakapannya sendiri-sendiri, harus diperbolehkan masuk dalam jabatan-jabatan umum dan pekerjaan-pekerjaan umum. Hanya kecakapan dan kepandaian sajalah yang boleh dipakai menjadi ukuran. Wanita berhak menaiki tiang penggantungan, ia harus berhak pula menaiki mimbar. Tetapi hak-hak wanita inipun harus dipergunakan untuk kesejahteraan umum, tidak untuk keuntungan wanita saja ... Perempuan, sebagai juga laki-laki, ikut urun kepada kekayaan negara. Oleh karena itu, ia juga mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, untuk meminta perhitungan daripada cara memakainya kekayaan negara itu. Sesuatu peraturan negara tidak syah, kalau tidak di-buat oleh jumlah terbanyak daripada semua orang-orang yang menjadi natie ... Bangunlah, hai kaum wanita! Obornya kebenar-an sudah memecahkan awan-awannya kebutaan dan kezaliman! Kapankah kamu sadar? Bersatulah! Taruhlah di hadapan kekuatan kezaliman itu kekuatan kecerdas-an dan keadilan! Dan segera kamu akan melihat, bahwa laki-laki tidak lagi akan duduk di samping kakimu sebagai penyembah asmara, tetapi, – dengan berbesar hati membahagikan hak-hak perikemanusiaan yang abadi itu sama-rata denganmu -, akan berjalan denganmu setindak dan selangkah, serta berjabatan tangan!" .

Demikianlah Olympe de Gouges. Perhatikan: kalimat-kalimat ini diucapkan lebih dari satu setengah abad yang lalu! Kita menjadi kagum, kalau kita kenangkan waktu itu, dan kenangkan pula bahwa Olympe bukan satu "jiwa" yang tinggi-intelek seperti Madame Roland. Kalimat-kalimat manifes yang berapi-api itu, kadang-kadang lebih terang dan lebih jitu daripada ucapan-ucapan kaum feminis di kemudian hari dan boleh dijadikan pedoman yang gilang-gemilang bagi aksi-aksi wanita yang mengejar persamaan hak dengan fihak laki-laki sepanjang masa. Dan memang akibat manifes itu menggempar-kan pula! Dunia ideologi yang "menurut adat kebiasaan", menjadilah ribut oleh karenanya. Kebencian kaum laki-laki kolot memuncak, fitnahan dan tuduhan yang bukan-bukan dilemparkan kepada kepala Olympe. Ya, kaum laki-laki merasa terancam benteng monopolinya. Mereka mengerjakan pertahanannya dengan segala macam cara. Tetapi kaum wanita pun bangkit. Manifes Olympe itu membukakan mata banyak wanita, mengobarkan semangatnya untuk berjoang, membangkitkan keberanian di dalam dada-dada yang tadinya sesak dengan rasa takut. Pidato-pidato, brosur-brosur, surat-surat sebaran yang ditulis oleh pemimpin-pemimpin wanita, berterbangan di angkasa, – semuanya membenarkan Olympe, semuanya memperkuat tuntut-an Olympe. Sehingga majalah-majalah modepun tak mau ketinggalan! Majalah mode "Journal des Femmes" berobah sifat menjadi majalah perjoangan, dengan nama baru "L’Observateur Feminin". Majelis Nasional dihujani dengan surat-surat permo-honan, usul-usul, protes-protes. "Tuan-tuan sudah menghapuskan hak kelebihan kaum bangsawan, hapuskanlah juga sekarang hak kelebihan kaum laki-laki!" Demikianlah bunyi kalimat dalam salah satu surat protes itu. Malah dalam satu surat protes lain dikatakan: "Rakyat kini telah diberi hak-haknya" bangsa Neger telah dimerdekakan, kenapa kaum perempuan tidak di-merdekakan pula ?"

Dunia wanita di Perancis, terutama di Paris, pada waktu itu sungguh sedang bergelora. Olympe de Gouges mengerti, bahwa inilah saat yang baik buat mempersatukan wanita-wanita itu dalam perserikatan, agar dapat memperhebat tuntutan, dan memperhebat tenaga untuk mendorong tuntutan itu. Didirikanlah olehnya perserikatan-perserikatan politik wanita. Digerakkan olehnya perserikatan-perserikatan itu, untuk menghantam fihak laki-laki dan Majelis Nasional yang tetap berpendirian kolot dan anti emansipasi. Dan bukan saja ia membela wanita. Ia membela pula peri-kemanusiaan. Dengan hatinya yang murni "Hati Perempuan" itu, – Hati Ibu -, ia mengeritik keras kepada Robespierre, yang dengan pemerintahan teror terlalu mudah menghukum mati kepada lawan-lawannya, terlalu mudah mempermainkan jiwa sesama manusia. "Darah merusak kehalusan budi dan fikiran! Satu cara pemerintahan yang zalim, pasti nanti diganti dengan cara pemerintahan yang zalim pula". Kepada Robespierre persoonlijk, yang menjatuhkan hukuman mati ke-pada Raja, ia berkata dengan seram: "Singgasana Tuan pun nanti tiang penggantungan !".

Olympe de Gouges adalah seorang Republikein. Tidak ada keragu-raguan tentang hal ini sedikitpun juga. Ia anti raja, ia anti monarchi.

Ia anti cara pemerintahan yang absolut dan feodal. Tetapi ia seorang perempuan. Ia seorang ibu. Hatinya, jiwanya, memberontak kepada penumpahan darah, jiwanya memberontak kepada kekejaman Revolusi. Mula-mula pemberontakan jiwa ini ia simpan di dalam kalbu. Tetapi akhirnya tidak tertahan lagi. Akhirnya ia protes terang-terangan terornya Revolusi, ia cela terang-terangan banyaknya hukuman mati, ia bela terang-terangan kepalanya raja, ia gasak terang-terangan Robespierre dengan pemerintahan terornya itu. Akhirnya ia sendiri dituduh anti Revolusi ... Ia ditangkap, dilemparkan dalam penjara, dituduh menjadi perkakas kontra-revolusi. Ia diponis di muka hakim. Tiga (3) Nopember 1793 jatuhlah kepala Olympe de Gouges terpenggal oleh algojonya Revolusi.

Olympe de Gouges. Alangkah hebatnya perempuan ini!

Bagaimanakah pendapat sejarah tentang dia? Kaum yang tidak setuju kepada emansipasi wanita, mengatakan bahwa ia adalah seorang perempuan lacur, seorang sundal, seorang wanita yang karena gendamnya asmara, telah meninggalkan halamannya kesopanan. "Karena ia sendiri merdeka bergaul dengan orang-orang laki-laki, maka ia mau menyamaratakan perempuan dengan laki-laki", demikianlah salah satu pendapat kaum itu. Ah, barangkali benar juga, bahwa ia tidak selamanya "suci". Barangkali benar juga, bahwa ia memang sering tenggelam di dalam air putarnya asmara. Tetapi, ya Tuhan, siapa dapat membantah; bahwa ia adalah kampiun hebat daripada hak-hak wanita? Jasanya yang mahabesar dan gilang-gemilang ialah, bahwa ia adalah orang yang pertama–tama mengorganisir pergerakan wanita, pertama–tama mendirikan serikat–serikat politik wanita, pertama–tama membuat tenaga–tersusun dari orang–orang wanita menjadi satu faktor aktif di dalam proses politik.

Mercy Otis Warren dan Abigail Smith Adams barangkali lebih dahulu mengeluarkan ide, tetapi Olympe de Gouges adalah yang pertama-tama mengorganisir tuntutann yaitu ide!

Ia telah mati. Dengan muka tersenyum ia telah menjalani hukuman mati itu. Tetapi di dalam tahun 1793 itu, tidak matilah pergerakan yang ia telah bangunkan dan bangkitkan. Di bawah pimpinan Rose Lacombe dan pemimpin-pemimpin wanita lain, perjoangannya dijalankan terus. Aksi menuntut persamaan hak dan aksi memprotes teror tetap bergelora dengan hebatnya Serangan-serangan kepada kaum laki-laki tetap berjalan sebagai cambukan yang amat pedih. Wanita kini ternyata menentang kaum laki-laki. Aksi wanita itu dirasakan oleh kaum laki-laki sebagai satu tentangan kepada "kodrat alam". Sebab, hak kelebihan laki-laki itu katanya adalah memang pemberian "kodrat", – berasal dari "kodrat". Aksi wanita ini dus adalah aksi yang memberontak kepada "kodrat". Dan tidakkah aksi mereka yang terlalu menentang adanya pemerintahan teror membahaya-kan pula kepada Revolusi? Bersifat Kontra Revolusi?

Maka oleh karena itu, segeralah diusulkan oleh "Komisi Keamanan Umum" kepada Majelis Nasional supaya semua perserikatan-perserikatan wanita, tidak perduli partai apapun, dan tidak perduli nama apapun, dilarang dan dibubarkan saja. Buat apa wanita dibiarkan saja berserikat, berkumpul, berpidato, beraksi, dengan nyata-nyata, menentang kepada "kodrat alam" dan nyata-nyata mendurhakai Revolusi? Anggota Komisi Keamanan Umum yang bernama Amar, yang memajukan usul itu dihadapan Majelis Nasional, menyanyikan lagu yang terkenal lama: Perempuan tidak boleh ikut campur dalam urusan pemerintahan, dan tidak boleh diberi hak-hak politik, oleh karena perempuan tak mungkin mempunyai kecakapan yang perlu buat pekerjaan-pekerjaan semacam itu. "Mampukah perempuan mengerjakan pekerjaan yang berfaedah tetapi maha sukar ini? Tidak! Sebab mereka telah diwajibkan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan penting yang telah diberikan oleh kodrat alam kepadanya. Laki-laki atau perempuan, mereka masing-masing telah diberi pekerjaan yang sesuai dengan kodratnya. Kemampuan-kemampuan mereka terbatas oleh batas-batas yang tak dapat mereka liwati, oleh karena kodrat alam sendiri telah menentukan batas-batas itu bagi manusia. Adakah kesopanan mengizinkan, bahwa perempuan tampil di muka umum, bertukar fikiran dengan kaum laki-laki, dan terang-terangan dihadapan khalayak membicarakan soal-soal yang daripadanya tergantung keselamatan republik? Pada umumnya wanita tidak mampu berfikir tinggi, dan tidak mampu mempertimbangkan soal-soal dengan cara yang sungguh-sungguh dan mendalam"...

Demikianlah alasan-alasan yang dikemukakan oleh Amar guna menjelaskan usul Komisi Keamanan Umum untuk melarang dan membubarkan. perserikatan-perserikatan wanita itu. Tidak tersia-sia usahanya! Pada tanggal 30 Oktober 1793 Majelis Nasional mengambil putusan sesuai dengan apa yang diusulkan: kaum wanita dilarang berserikat, perserikatan-perserikatan wanita harus dibubarkan!

Segera sesudah putusan ini diumumkan, kaum wanita bangkit untuk memprotesnya. Satu gerombolan utusan mereka masuk ke dalam gedung Balai Kota Paris, untuk menuntut batalnya putusan itu bagi kota Paris. Tetapi maksud mereka sama sekali gagal: Mereka tidak pula diizinkan berbicara! Sebaliknya mereka malah diserang dengan sengit oleh Pokrol Jenderal Chaumette, yang berpidato dengan amarah: "Semenjak kapankah perempuan boleh membuang keperem-puanannya dan menjadi laki-laki? Semenjak berapa lamakah adanya ini kebiasaan, yang mereka meninggalkan urusan rumah-tangga dan meninggalkan buaian anak, datang di tempat-tempat umum buat berpidato, masuk dalam barisan tentara, menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang oleh kodrat alam diperuntukkan kepada laki-kaki? Alam berkata kepada laki-laki: peganglah teguh kelaki-lakianmu! Pacuan kuda, perburuan, pertanian, politik, dan lain-lain pekerjaan yang berat, – itulah memang hak bagimu. Kepada wanita, alam berkata pula: peganglah teguh kewanitaanmu! Memelihara anak, bagian-bagian pekerjaan rumah-tangga, manisnya kepahitan menjadi ibu, – itulah memang kerja bagimu! Oleh karena itu, aku angkat kamu menjadi Dewi dalam Candi Rumah Tangga. Kamu akan menguasai segala sesuatu sekelilingmu dengan keelokanmu, dengan kecantikanmu, dengan sifat-sifatmu yang baik. Hai perempuan-perempuan yang ke-blinger, yang mau menjadi laki-laki, – mau apakah kamu ini? Kamu telah menguasai hati kami, orang-orang besar telah duduk di bawah telapak kakimu, kezalimanmu adalah satu-satunya hal yang kami tak mampu mematahkan, karena kezalimanmu itu bernama asmara. Atas nama kodrat alam, tinggallah ditempatmu yang sekarang!"

Alam, lagi-lagi alam! Alam memperuntukkan wanita bagi rumah-tangga, alam memperuntukkan laki-laki bagi pekerjaan berat seperti pertanian, perburuan, peperangan! Apakah alam barangkali lupa, bahwa di zaman purbakala justru wanita yang menjadi soko-guru pertanian, dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain yang berat-berat? Ai, – malahan apa benar: hanya di zaman purbakala saja? Di dalam kitabnya Bebel saya membaca, bahwa di zaman Bebel itu, dus baru beberapa puluh tahun yang lalu saja, di Afrika Tengah dan di Afrika Utara masih ada suku-suku, di mana wanita-wanitanya lebih kuat daripada laki-laki, dan di mana memang wanita-wanitalah yang menjadi panglima-panglima perang; dan bahwa di Afghanistan masih ada suku-suku pula, di mana wanitalah yang pergi ke perburuan dan peperangan, sedangkan laki-laki yang mengerjakan segala pekerjaan di rumah tangga! Mana, mana benarnya alasan kodrat alam itu? Tetapi bagaimanapun juga, pidato Chaumette yang berapi-api itu berhasil segera. Juga Dewan Kota Paris memutus-kan membenarkan putusan Majelis Nasional. Perserikatan-perserikatan wanita di Paris harus dilarang dan dibubarkan, dianggap berbahaya bagi keamanan umum. Malahan Dewan Kota itu memutuskan, tidak mau lagi menerima deputasi-deputasi wanita dalam sidangnya.

Sudah barang tentu fihak wanita masih terus melanjutkan protesnya. Dengan ulet mereka masih terus mencari jalan untuk mendengung-dengungkan suaranya. Surat-surat sebaran, pamflet -pamflet masih terus beterbangan ke kanan-kiri. Majelis Nasional makin menjadi keras, makin reaksioner, makin anti-wanita. Kini Majelis Nasional pun mengambil putusan melarang wanita hadir dalam rapat-rapat umum apa saja. Dan sebagai gong Majelis Nasional mengeluarkan wet, bahwa wanita dilarang bergerombolan lebih dari lima orang. Wanita-wanita yang bercakap-cakap dalam gerombolan lebih dari lima orang, akan ditangkap, dilemparkan dalam penjara ...

Dengan ini, pada zahirnya, menanglah reaksi di atas wanita Perancis. Tetapi tidak demikian pada batinnya: "Man totet den Geist nicht", – "Batin tak dapat dibunuh", demikianlah salah satu ucapan Freiligrath. Sebagai faham, sebagai "isme", sebagai "ide", teruslah tuntutan emansipasi wanita itu hidup. Organisasi dapat dihancurkan, gerak organisasi itu dapat dimatikan, tetapi semangat organisasi itu berjalan terus. Di kemudian hari ia akan menjelma lagi, akan meledak lagi, dalam pergerakan wanita yang lebih modern. Malah sedari mula lahirnya, semangat itu telah dapat menangkap hatinya beberapa orang cendekiawan laki-laki, sebagai mitsalnya Markiesde Condorcet. Di dalam tulisan-tulisan mereka cendekiawan-cendekiawan laki-laki ini membela sungguh-sungguh tuntutan-tuntutan wanita itu. Di dalam tahun 1789, empat tahun sebelum kepala Olympe de Gouges jatuh terpenggal oleh algojo, Condorcet telah menggemparkan dunia intelektuil karena tulisannya di dalam majalah "Journal de la Societe" yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Alasan-alasannya cukup jitu; Revolusi bersemboyan "egalite", bersemboyan "persamaan", tetapi semboyan ini didurhakai karena mengecualikan separoh kemanusiaan daripada pekerjaan membuat hukum. Revolusi bersemboyan egalite, bersemboyan persamaan, tetapi revolusi tidak mengakui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang sama. Orang laki-laki berkata bahwa perempuan jangan diberi hak warga negara karena tubuhnya tak memboleh-kannya – misalnya kalau perempuan sedang hamil – tetapi orang laki-laki toh juga tidak selamanya dalam kesehatan? Orang berkata bahwa perempuan tidak banyak yang berpengetahuan tinggi, tetapi hak-hak warga negara itu toh juga tidak diberikan kepada orang-orang laki-laki yang berpengetahuan tinggi saja? Jikalau pengetahuan tinggi dijadikan syarat, maka apakah sebabnya hak-hak warga negara diberikan kepada masyarakat laki-laki umum, dan tidak kepada orang-orang laki-laki yang berpengetahuan tinggi saja? Jikalau orang khawatir kepada pengaruh wanita atas laki-laki, maka pengaruhnya yang "rahasia" toh tentu lebih besar daripada pengaruhnya di muka umum? Mengapa "pengaruh rahasia" ini tidak ditakuti, sedang pengaruh di muka umum di-takuti? Orang khawatir bahwa wanita akan mengabaikan urusan rumah-tangga dan pemeliharaan anak bilamana mereka diberi hak-hak warga negara, tetapi mengapa orang tidak khawatir bahwa laki-laki mengabaikan pekerjaannya sehari-hari padahal mereka diberi hak-hak warga negara? Ini alasan-alasan yang kosong selalu dipakai, kata Condorcet, karena alasan-alasan yang berisi, memang tidak ada. Dengan alasan-alasan yang kosong pula orang membelenggu perdagangan dan kerajinan, orang benarkan perbudakan bangsa Neger sampai ke zaman sekarang, orang isi penuh penjara Bastille, orang pergunakan bangku-bangku penyiksaan. Soal dikasih tidaknya wanita hak-hak warga negara, tidak boleh dibicarakan dengan alasan-alasan yang kosong dan kalimat-kalimat yang melompong, atau dengan banyolan-banyolan yang rendah-rendah. Soal persamaan hak antara laki-laki dan laki-lakipun dulu dipertengkarkan dengan pidato-pidato yang muluk-muluk dan dengan banyolan-banyolan yang tiada harga. Tidak seorangpun mengemukakan alasan-alasan yang tepat. "Maka saya kira, tentang soal persamaan hak antara laki-laki dan wanita, keadaan tidak berbeda daripada demikian juga", demikian Condorcet menyudahi tulisannya.

Tulisan ini menjadi termasyhur. Bukan di Perancis saja ia dibaca orang, tetapi di Inggeris pun banyak orang memperhati-kannya. Pada waktu itu di Inggeris adalah seorang orang perempuan yang tinggi pengetahuannya dan keras kemauannya, yang juga amat merasakan ketidakadilan perbudakan wanita. Namanya ialah Mary Wollstonecraft. Sejak dari mudanya ia telah besar minatnya kepada pendidikan anak-anak gadis. Ia menulis risalah tentang pendidikan gadis itu, dan kemudian menyalin beberapa kitab buat mencari nafkah hidup. Ia bersahabat dengan penerbit tulisan-tulisannya yang bernama Johnson, seorang-orang yang amat bersimpati kepada Revolusi Perancis. Ia bersahabat pula dengan Thomas Paine, seorang-orang yang amat termasyhur karena pernah ikut membantu perang kemerdekaan Amerika dan pernah ikut serta pula dalam pertempuran menjatuhkan Bastille. Dengan demikian, maka ia siang-siang telah belajar mencintai ideologi-ideologi Perang Kemerdekaan Amerika dan Revolusi Perancis. Tuntutan-tuntutan yang dikemukakan oleh Mercy Otis Warren dan Abigail Smith Adams, tulisan-tulisan yang mengalir dari pena Condorcet, pekik-pekik perjoangan yang memetir dari mulut Olympe de Gouges, semuanya berkumpul menjadi gelora jiwa di dalam kalbunya. Di dalam tahun 1792 gemparlah kaum kolot Inggeris karena terbitnya kitab Mary Wollstonecraft yang bernama "Vindication of the Rights of Woman".

Bukan main kitab ini menggoncangkan fikiran umum. Dengan sekaligus nama penulisnya menjadi terkenal di mana-mana. Bukan saja di negeri Inggeris. Di luar negeri pun orang membaca kitab itu dengan penuh minat. Malah orang menerbitkan salinannya dalam bahasa Perancis dan bahasa Jerman. Di mana-mana ia disambut oleh kaum wanita sebagai obor penunjuk jalan.

En toh, ia sebenarnya kurang radikal, jika dibandingkan dengan Condorcet atau Olympe de Gouges. Sebab, benar ia menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, menuntut persamaan hak-hak kewarga negaraan, menyatakan bahwa pada azasnya antara laki-laki dan perempuan tidak boleh ada perbedaan, – tetapi ia masih mengemukakan syarat–syarat bagi kaum wanita untuk diberi hak-hak warga negara itu: Ia meminta supaya kaum wanita diberi pendidikan lebih dahulu.

Nyata berlainan dengan Condorcet! Sebab Condorcet menuntut supaya wanita segera diberi hak-hak warga negara; ia tidak mau menerima bahwa kebodohan dipakai sebagai alasan untuk tidak memberikan hak-hak warga negara kepada wanita, karena laki-lakipun tidak diperiksa lebih dahulu kecerdasannya sebelum menerima hak-hak itu. Condorcet tidak mengemukakan syarat-syarat; ia berdiri di atas pendirian yang prinsipiil.

Tetapi di lain-lain bagian daripada kitab "Vindication of the Rights of Woman" itu, Mary Wollstonecraft benar-benar revolusioner. Bukan saja ia mencela ke-Rajaan, menyerang jiwa tentara, menggasak kaum bangsawan, ia mengeritik juga keadaan ekonomis yang menjadi pokok asalnya kemudlaratan dan kemiskinan di kalangan wanita. Kemudlaratan dan kemiskinan inilah tempat persemaiannya persundalan dan kejahatan.

Maka oleh karena itu, ia menuntut supaya wanita itu ekonomis dimerdekakan dari kaum laki-laki. Janganlah wanita itu digantungkan kepada kaum laki-laki dalam urusan nafkah hidupnya.

" Merdekakanlah wanita mencari makannya sendiri! " Inilah kalimat Mary Wollstonecraft yang benar-benar radikal, benar-benar revolusioner. Revolusioner buat zaman itu; revolusioner buat zaman sekarang, revolusioner buat zaman yang akan datang. Revolusioner buat semua zaman. Selama wanita ekonomis masih tergantung kepada laki-laki, selama itu maka sosial pun ia akan tetap tergantung kepada laki-laki. "Merdekakanlah wanita mencari makannya sendiri!" Mary Wollstonecraft adalah wanita pertama yang pertama-tama mengeluarkan dalil ini!

Iapun wanita pertama, – barangkali manusia pertama -, yang justru untuk menjaga kesusilaan, menuntut supaya pendidikan pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi jangan dipisahkan dalam sekolah sendiri-sendiri. Ia menuntut ko–edukasi, satu cara pendidikan pemuda-pemudi bersama-sama, yang sampai sekarangpun masih menjadi pertikaian faham. Dan iapun wanita pertama, yang menuntut supaya wanita diberi latihan olah–raga. Sebab hanya wanita yang sehatlah dapat melahirkan anak-anak yang sehat. Hanya rakyat yang sehatlah dapat menjadi bangsa yang kuat. Hanya bilamana wanita sehat badannya dan sehat batinnya, maka wanita dapat memenuhi "panggilan alam" dengan sebaik-baiknya. Justru supaya wanita dapat memenuhi panggilan alam yang keramat itu, justru supaya ia dapat bertindak sebagai Ibu yang sejati, yang dari haribaannya akan lahir generasi baru yang sehat badaniah dan rohaniah, justru karena itulah wanita harus diberi hak-hak yang sama dengan laki-laki, dijadikan "warga negara merdeka" sebagai laki-laki, ditempatkan di samping laki-laki dan tidak di belakang laki-laki.

Sebagai saya katakan tadi, bukan main kitab Mary Wollstonecraft itu menggoncangkan fikiran umum. la dibicara-kan orang di Inggeris, di Perancis, di Jerman, di negeri-negeri lain. la segera dijadikan bulan-bulanan serangan kaum laki-laki yang tidak setuju kepadanya. la, sebagai Olympe de Gouges, dinamakan sundal, dinamakan perempuan yang telah meleset dari rilnya, digambarkan dalam karikatur sebagai orang-banci yang jelek yang tidak tentu laki-laki tidak tentu perempuan. Padahal ia adalah seorang perempuan yang manis, dan halus budi, seorang perempuan yang dalam arti yang sebaik-baiknya adalah seorang Wanita yang Utama. Tetapi memang sudah kebiasaan sejarah juga, bahwa sesuatu orang yang mengeluarkan faham baru, dicerca, diejek, dimaki, ditertawakan, dihina, mungkin dihukum. Mary Wollstonecraft tidak sampai mendapat nasib disiksa atau dihukum, tetapi aksi yang menentang kepadanya dengan cara yang curang dan tidak adil, toh hebat pula. Kendatipun begitu, faham-faham modern yang ia ajarkan itu, tak urung makin lama makin banyak pengikutnya juga. Justru di negeri Inggerislah kelak tempatnya pergerakan emansipasi wanita yang paling hebat. Justru di negeri Inggeris itu nanti lahirnya pergerakan wanita, yang kita kenali dengan nama pergerakan feminisme. Justru di negeri Inggeris berkobarnya aksi wanita " suffragette " , yang terutama sekali menuntut hak perwakilan bagi kaum perempuan.[2]

Di Jermaniapun faham menuntut persamaan hak bagi wanita itu tumbuh. Hampir berbarengan dengan terbitnya kitab Mary Wollstonecraft di Inggeris, terbitlah di Jermania kitab tulisan Theodor von Hippel "Ueber die biirgerliche Verbesserung der Weiber", – yang artinya:

"Tentang memperbaiki kedudukan wanita sebagai warganegara".

Apa sebab Revolusi Perancis, yang katanya menegakkan hak-hak manusia itu, mengecualikan perempuan dari politik dan negara?, demikianlah yon Hippel bertanya dengan heran dan kecewa.

"Sekarang waktunya sudah tiba, untuk mengangkat wanita menjadi rakyat". Sebagai Mary Wollstonecraft, ia minta pendidikan bersama bagi pemuda dan pemudi, menuntut wanita diberi hak memasuki semua jabatan, mengemukakan hak yang sama bagi semua orang laki-laki dan perempuan untuk dididik menjadi warga negara yang sebaik-baiknya.

Ia malahan menganjurkan supaya pemuda dan pemudi di bawah umur 12 tahun diberi pakaian yang sama, agar supaya kesehatan gadis-gadis dapat bertambah. (Pakaian gadis-gadis di waktu itu amat tidak baik buat kesehatan). Ia membantah anggapan, bahwa wanita itu "dari kodrat alam" lebih lemah daripada laki-laki, kalah kekuatan badan dengan laki-laki. Tidakkah keuletan wanita pada waktu bersalin itu justru satu bukti daripada kekuatan tubuh wanita? Merdekakanlah wanita itu supaya negara maju dan sehat! Negara akan menjadi lebih aman, lebih kuat, lebih sejahtera, kalau wanita di bawa serta dalam pembuatan hukum dan pemerintahan. Kalau perempuan di bawa serta, maka "niscaya tidak akan begitu banyak orang-orang yang zalim, yang senang melihat sesama manusia tenggelam bahtera hidupnya, dan tidak akan begitu banyak orang-orang penghisap darah, yang mempermainkan darah dan keringat rakyat dengan tiada hingga dan tiada batas".

Demikianlah von Hippel. Dengan Condorcet dan Wollstonecraft ia adalah penaruh alas-alas teori bagi pergerakan wanita tingkat kedua. Dengan mereka itu ia bersamaan tuntutan, bersamaan tujuan yang dekat, yaitu hilangnya perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan. Tetapi dasar faIsafahnya adalah agak berbeda. Condorcet menuntut persamaan hak atas nama keadilan; menurut dia, tidak adillah, kalau laki-laki dimerdekakan, dan wanita tidak. Mary Wollstonecraft menuntut persamaan hak atas nama keibuan, atas nama ke wanitaan; perempuan hanyalah benar-benar dapat menjadi Ibu dan Isteri yang sempurna, bilamana ia dimerdekakan juga seperti laki-laki. Theodor von Hippel menuntut persamaan hak atas nama kesejahteraan masyarakat dan negara ; masyarakat dan negara akan lebih sehat, bilamana perempuan di bawa serta.

Condorcet, Wollstonecraft, von Hippel mengemukakan ide. Tetapi Olympe de Gouges memperjoangkan ide, "meng-organisir" ide, "mengaksikan" ide. Nama empat pembela wanita ini, di samping namanya Mercy Otis Warren dan Abigail Smith Adams, akan tetap tersimpan di dalam kalbu ingatan wanita-wanita yang sedar di seluruh dunia, ratusan tahun.

Bagaimanakah kisah kelanjutan perjoangan idee persamaan hak ini? Sesudah periode Otis Warren, Smith Adams, Condorcet, Wollstonecraft dan von Hippel, berdirilah kita di muka pintu gerbang abad kesembilan belas. Abad kesembilan belas ini sebenarnya tidak melahirkan ide–ide baru lagi tentang emansipasi wanita. Hanya di dalam tahun 1869 terbitlah kitab John Stuart Mill, sosiolog Inggeris yang termasyhur, yang bertitel "The Subjection of Woman", "Penaklukan kaum wanita". Di dalam kitab ini ia menuntut hak perwakilan bagi wanita dalam parlemen. Dialah yang mengucap-kan kalimat yang termasyhur yang berbunyi: "Mempunyai hak buat memilih orang-orang yang akan memerintah, itu adalah satu cara pembelaan diri, yang menjadi hak tiap-tiap orang". Dialah pula yang mengatakan, bahwa wanita harus dimerdekakan dan dipersamakan dengan laki-laki, supaya ia tidak sebagai sekarang, "lebih dulu menjadi boneka permainan laki-laki dan kemudian penyiksanya dan perewelnya". Sungguh ini satu ucapan yang orisinil!, yang sama jitunya dengan ucapan Havelock Ellis bahwa laki-laki memperlakukan wanita sebagai satu "blasteran antara seorang dewi ... dan seorang tolol"! Tetapi pada pokok-nya, faham-faham John Stuart Mill tentang wanita hanyalah pengulangan-pengulangan belaka daripada faham-faham yang telah dikemukakan oleh penganjur-penganjur yang telah kita sebutkan. Abad kesembilanbelas dus sebenarnya tidak melahirkan ide-ide baru tentang emansipasi wanita itu. Ia hanya menunjukkan kelanjutan perjoangan, di atas dasar fikiran-fikiran yang telah diletakkan lebih dahulu.

Ya, apa yang harus "diteorikan" lagi? Sudah terang dan jelas semua pokok-pokok dasar perjoangan, Hanya perjoangannya yang belum berjalan dengan sempurna. Dan jalannya perjoangan inipun di dalam abad kesembilan belas tidak senantiasa memperlihatkan garis yang menaik. Hanya di bagian kedua daripada abad kesembilan belas itu ada pergerakan wanita yang sangat hebat. Di bagian pertama daripada abad itu semangat seakan-akan padam. Seakan-akan sudah tercapailah puncak gelombang samodra pergerakan wanita di zamannya Olympe de Gouges, tatkala ribuan, puluhan ribu perempuan beraksi massaal menuntut keadilan; tatkala suara pidato di mimbar memetir-metir; tatkala jejak kaki ribuan wanita terdengar gemuruh menuju kerapat-rapat umum, ke istana raja, ke gedung Balai Kota, ke Majelis Nasional. Bagian pertama dari abad kesembilan belas itu, kalau dibandingkan dengan zaman Olympe de Gouges, adalah sunyi, laksana sunyinya alam setelah taufan badai berakhir.

Apa sebabnya kesunyian ini? Sebabnya ialah, bahwa perbandingan-perbandingan sosial ekonomis di dalam masyarakat, sebagai yang saya uraikan di dalam bab III, memang belum membuat masak semua syarat-syarat untuk bergeloranya pergerakan emansipasi itu. Ide, teori, faham, pokok pikiran emansipasi itu telah lahir lebih dahulu, tetapi perjoangan untuk menjelmakan idee, teori, faham, serta pokok fikiran itu masih menunggu panggilan. perbandingan-perbandingan sosial ekonomis yang akan menggerakkan perjoangan itu. Idee memang selalu mendahului pergerakan. Misalnya ide atau faham sosialisme pun telah lahir dan di teorikan dalam kitab-kitab di zamannya Fourier, Proudhon, Marx dan Engels, tetapi pergerakan sosialisme barulah berkobar betul-betul sesudah kapitalisme modern memekar dan menghebat pada akhir abad kesembilan belas. Ide dan faham fascisme telah menelur dalam kitab-kitab Machiavelli dan Nietzsche, tetapi pergerakan fasisme barulah mengamuk betul-betul sesudah kapitalisme itu "im Niedergang" dan memerlukan pembelaan yang tak kenal kasihan. Maka demikian juga halnya dengan pergerakan emansipasi wanita. Badan nyonya-nyonya Otis Warren dan Smith Adams telah lama menjadi debu, Olympe de Gouges dan Condorcet telah lama pulang kerakhmatullah, Wollstonecraft – dan von Hippel telah lama masuk ke alam barzah, – barulah, pada permulaan bagian kedua daripada abad kesembilan belas, pergerakan emansipasi subur dan menggelora.

Sudah barang tentu terutama sekali mula-mula di Amerika dan di Inggeris. Apa sebab justru mula-mula di dua negeri itu? Oleh sebab di Amerika dan di Inggerislah perbandingan-perbandingan sosial ekonomis lebih dulu menjadi masak untuk melahirkan pergerakan emansipasi itu: Termasuknya barang-barang buatan paberik dalam rumah-tangga, membuat kaum wanita dari golongan pertengahan dan atasan banyak menganggur. Hidup-nya terserang penyakit kesal karena menganggur. Hidupnya menjadi kosong. Mereka ingin bekerja, ingin "hidup". Mereka lantas bergerak, menuntut "hak untuk bekerja" dan hak-hak politik yang sama dengan kaum laki-laki.[3]

Di dalam tahun 1851 di Inggeris diadakan satu rapat besar oleh kaum wanita atasan untuk menuntut hak perwakilan (buat wanita atasan saja!), dan diambilnya satu mosi yang mereka kirimkan ke Majelis Rendah. Di dalam tahun 1866 mereka itu mempersembahkan satu surat permohonan lagi kepada pemerintah dengan 1499 tandatangan, juga untuk meminta hak perwakilan. Baru setahun kemudian daripada itu, jadi dalam tahun 1867, parlemen mulai membicarakan hak perwakilan wanita itu. Tetapi putusannya ialah menolak hak perwakilan wanita itu, dengan 196 suara lawan 73 suara. Suara yang terbanyak berpendapat bahwa wanita tak perlu dan tak harus ikut politik! Tempat wanita ialah di rumah tangga, di samping buaian anak!

Tetapi fihak wanita tidak putus asa. Mereka beraksi terus. Demonstrasi-demonstrasi, rapat-rapat besar, surat-surat khabar, pamflet-pamflet diadakan. Opini publik terus dikocok. Akhirnya perhatian khalayak itu mulai ada yang condong juga kepada tuntutan wanita. Pemimpin-pemimpin wanita Inggeris di waktu itu memang tangkas-tangkas. Mereka umumnya gagah berani, pandai benar berpidato, cakap menyusun organisasi. Tetapi reaksi kaum laki-lakipun bukan kepalang. Sebagai tembok yang amat tinggi, reaksi laki-laki itu masih menghalang-halangi berhasilnya aksi wanita.

Sampai silamnya abad kesembilan belas aksinya kaum feminis Inggeris itu tetap sia-sia, atau lebih tegas: hasilnya belum sepadan dengan energie yang telah dikeluarkan. Benar sebagian dari tuntutannya, yaitu "hak untuk melakukan sesuatu pekerjaan di masyarakat", telah diluluskan, benar mereka telah diizinkan masuk bekerja di beberapa cabang pekerjaan, benar mereka telah dibolehkan mengunjungi sekolah tinggi, tetapi tuntutannya yang terpenting – hak perwakilan – belumlah terkabul. Padahal hak perwakilan ini amat penting sekali untuk mendapat persamaan hak di semua lapangan, ekonomis, yuridis, sosial! Karena itu, aksi kaum feminis itupun tidak menjadi kendor, sebaliknya malah menghebat, mengeras, menyengit. Tidak ada satu negeri di Eropah, sesudah Revolusi Perancis, yang aksi feminis begitu sengit seperti di Inggeris. Mereka tak berhenti-henti mengadakan demonstrasi-demonstrasi umum yang gegap-gempita, melawan perintah-perintah polisi, sehingga diseret di muka hakim, dilemparkan ke dalam penjara. Di dalam penjara itupun mereka beraksi terus dengan mengadakan pemogokan makan. Pemogokan-pemogokan makan ini meng-goncangkan opini publik di seluruh dunia, menggetarkan perasaan-perasaan pro dan kontra sehebat-hebatnya. Terutama sekali partai feminis yang bernama "Women’s social and political Union" – lebih terkenal lagi dengan nama partai suffragettes -, sangat tajam dalam ucapan-ucapannya dan tindakan-tindakannya. Partai suffragettes inilah yang paling sering bertabrakan dengan polisi, paling banyak pemimpinnya diseret di muka hakim, paling banyak mengalami hukuman penjara. Nama-nama Emmeline Pankhurst, dan tiga anak-puterinya: Christabel Pankhurst, Sylvia Pankhurst, Adele Pankhurst, serta pula Mrs. Fawcett dan Mrs. Despard, tidak asing lagi bagi khalayak umum dan ... hakim kriminil. Emmeline Pankhurst pernah dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, karena mencoba membakar rumah menteri Lloyd George, yang menolak tuntutan-tuntutan kaum suffragettes itu!

Dengarkanlah cerita Dr. Aletta Jacobs (seorang feminis Belanda) tatkala menceriterakan pergerakan feminis suffragette itu: "Pada hari Sabtu 9 Pebruari 1907 diadakan satu arak-arakan besar, tetapi tenang, oleh beribu-ribu wanita dari segala lapisan masyarakat. Wanita-wanita dari lapisan yang berdekatan dengan keluarga raja, dari lapisan yang berdekatan dengan pemerintah, – wanita-wanita yang telah menyerahkan seluruh hidupnya untuk pekerjaan sosial -, wanita-wanita ini berjalan bersama-sama dengan wanita-wanita yang seumur hidupnya bekerja berat serta menderita kemiskinan. Tenang dan tenteram, dengan tidak merusak keamanan, wanita-wanita ini berjalan melalui jalan-jalan London yang berlumpur, dengan memikul tulisan-tulisan yang menunjukkan kepada pemerintah, bahwa wanita-wanita dari tingkatan masyarakat yang paling tinggi sampai tingkatan masyarakat yang paling rendah semuanya menuntut adanya hak perwakilan ... Sesudah arak-arakan ini berakhir, maka pada hari Rebo 13 Pebruari 1907 diadakan pula arak-arakan oleh "Women’s social and political Union" yang lebih terkenal dengan nama suffragettes. Di bawah pimpinan Nyonya Despard yang tua tetapi angker itu, 800 wanita menuju kegedung parlemen, untuk menyerahkan kepada pemerintah satu resolusi yang menuntut hak perwakilan wanita. Di dalam perkelahian yang terjadi karena arak-arakan ini, banyak sekali perempuan yang luka. Dan 57 perempuan ditangkap oleh polisi. Itu malam, banyak sekali surat-surat khabar besar keluar hingga tiga kali, dengan nomor-nomor ekstra. Dari hal itu dapat kita kenangkan, betapa hebatnya kejadian itu".

Demikianlah salah satu gambaran keuletan wanita Inggeris.

Bermacam-macamlah cara protes mereka terhadap keadaan-keadaan yang merendahkan kedudukan wanita. Hal-hal yang dilarang oleh hukum, tidak segan-segan mereka jalankan, asal untuk kepentingan derajat wanita. Tadi telah saya ceriterakan, bahwa Emmeline Pankhurst mencoba membakar rumah Lloyd George. Sering kali kaum feminis itu mencuri gambar-gambar lukisan dari dalam musium National Gallery, kalau gambar-gambar itu dianggapnya menghina sekse wanita. Pernah buat beberapa waktu National Gallery itu ditutup buat semua wanita yang datangnya tidak dibarengi seorang laki-laki yang baik nama.

Sylvia Pankhurst pernah mengadakan pemogokan duduk, – sitdown-staking -, di tangga gedung parlemen untuk memaksa anggota-anggota parlemen itu supaya meluluskan tuntutan hak pemilihan wanita, berhari-hari lamanya, dengan tidak makan, tidak minum, tidak mengindahkan polisi yang hendak mengusir kepadanya, dengan tekad lebih baik mati daripada takluk dalam perjoangan.

Tetapi fihak laki-lakipun berkeras kepala! Mereka di Inggeris seperti berhati batu. Padahal di Australia pergerakan feminisme sudah lebih dulu mendapat kemenangan: di sana sejak permulaan abad kedua puluh telah diadakan hak-perwakilan wanita yang terbatas, – terbatas kepada wanita-wanita atasan saja. Dan pada tanggal 12 Nopember 1910 parlemen Australia merasa perlu menerima baik satu pernyataan, bahwa hak perwakilan wanita itu tidak merugikan kepada parlemen dan balai-balai kota, tetapi sebaliknya memanfaatkan! Kaum wanita ternyata rajin, – lebih rajin daripada kaum laki-laki! Sebab, di Australia jumlah suara yang dikeluarkan oleh kaum wanita, prosentuil lebih besar dari pada jumlah suara yang dikeluarkan oleh kaum laki-laki. Oleh karena itu, parlemen Australia mengusulkan kepada parlemen Inggeris, supaya tuntutan kaum feminis itu hendaknya dikabulkanlah saja!

Tetapi parlemen Inggeris belum juga mau menurut. Lebih dulu harus datang perang-dunia 1914 – 1918 yang mengadakan perobahan besar dalam kedudukan wanita sebagai produsen masyarakat. Apakah perobahan ini? Puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan milyunan kaum laki-laki terpaksa memanggul bedil dibarisan tentara, dan tempat-tempat di dalam paberik dan di cabang pekerjaan lain-lain yang ditinggalkan oleh mereka itu, harus segera diisi, jangan lama-lama lowong, agar supaya produksi buat garis muka dan garis belakang bertambah besar.

Maka pekerjaan yang tadinya dikerjakan oleh tenaga laki-laki itu, kini diserahkan kepada tenaga wanita. Menyopir mobil, menjalankan tram, mengurus pekerjaan pos, merawat orang-orang di rumah sakit, membuat amunisi, mengatur administrasi, menyelenggarakan pembahagian makanan, dan lain-lain sebagai-nya, – semua itu buat sebagian besar, diserahkan kepada wanita. Dan ... dasar kaum suffragette kaum idealis yang bercita-cita! Mereka yang dulunya begitu sengit melawan pemerintah dan melawan laki-laki, kini menjadi pembantu yang paling setia dari pemerintah dan laki-laki dalam marabahaya. Dulu mereka menggembleng senjata untuk menghantam sitadelnya kekolotan bangsa sendiri, kini mereka menggembleng senjata untuk menghancur-leburkan sitadel kebuasan bangsa, musuh.

Dan segeralah pemerintah juga menjadi “lunak hati".

Pemerintah berputar huluan. Sebab ternyata kaum wanita di dalam peperangan total menjadi satu tenaga vital, satu tenaga yang tak dapat diabaikan. Ternyata mereka bukan "sekse yang lemah". Ternyata jika tak ada mereka produksi alat perang tak akan mencukupi keperluan. Ternyata jika tak ada mereka Britania akan patah tenaga di tengah-tengah pertempuran. Ternyata mereka ikut menjadi satu faktor yang menentukan dalam perjoangan mati atau hidupnya negara. Ada keberatan apa lagi untuk meluluskan tuntutan mereka tentang hak-perwakilan?

Maka hak perwakilan itu diberikan, meskipun dengan terbatas. Perjoangan yang telah lebih satu seperempat abad lamanya, akhirnya mula mencapai kemenangan. Atau lebih tegas lagi: bertambahnya arti perempuan sebagai produsen masyarakat dalam masa peperangan memberi permulaan kemenangan kepada mereka itu.

Ya, hak perwakilan yang terbatas, seperti di Australia.

Tiap-tiap orang laki-laki dewasa, tua atau muda, pandai atau bodoh, kaya atau miskin, boleh memilih dan dipilih buat parlemen, tetapi perempuan barulah boleh menjalankan hak itu kalau ia sedikit-dikitnya berumur 30 tahun, dan kekayaannyapun harus memenuhi satu syarat minimum pula. Dengan pembatasan ini, hanya 6.000.000 perempuan Inggeris dapat menjalankan hak memilih dan dipilih itu.

Tetapi kemenangan sudah mulai tercapai, dan kegembiraan bukan kepalang. Pada. tanggal 9 Desember 1918 kaum wanita mengadakan rapat raksasa digedung Queen’s Hall yang amat luas itu, rapat pemilihan mereka yang pertama. Kecuali gembong-gembong wanita, maka juga berpidato disitu ... Lloyd George! Lloyd George, yang dulu menentang hak pemilihan bagi wanita, – dan yang dulu rumahnya hampir-hampir saja terbakar habis oleh apinya Emmeline Pankhurst! Dengan disambut tampik sorak serta tepuk tangan gegap gempita dari kalangan hadlirat yang beribu-ribu itu, ia menyatakan kegembiraan hatinya bahwa kaum wanita kini telah mendapat hak perwakilan, serta pula menyampaikan kekagumannya atas jasa wanita di dalam masa peperangan. "Jika tiada bantuan wanita, kita tidak mungkin menang di dalam peperangan ini." Kalimat ini diucapkannya dengan penuh keyakinan.

Demikianlah keadaan di negeri Inggeris. Bagaimana keadaan di negeri-negeri lain? Telah saya ceriterakan, bahwa pergerakan wanita tingkatan kedua itu dalam bahagian kedua dari abad kesembilan belas terutama di Inggeris dan di Amerika berkobar lagi. Di negara New York di dalam tahun 1849 adalah satu kejadian yang luar biasa: seorang wanita yang bernama Elisabeth Blackwell mencapai titel doktor ketabiban. Ini sebenarnya adalah satu kejadian yang menggembirakan, tetapi orang-orang laki-laki Amerika yang "cinta kemerdekaan" itu, menjadi ribut oleh karena kejadian ini! Mereka anggap kejadian itu satu bahaya bagi masjarakat. Perempuan tak pantas menjadi tabib! Sebagai akibat keributan mereka itu, maka sekolah-sekolah tinggi menutupkan pintunya bagi mahasiswa wanita, sehingga di dalam tahun 1857 di seluruh Amerika hanya ada tiga orang tabib perempuan saja.

Kepicikan sikap kaum laki-laki yang demikian itu sudah barang tentu amat menyakitkan hatinya wanita Amerika. Perempuan harus tetap bodoh, dianggap tak pantas masuk masyarakat, dianggap tak pantas mengunjungi sekolah-sekolah tinggi? Padahal belum hilang sama sekali terhapus namanya Mercy Otis Warren dan Abigail Smith Adams!

Dan tatkala Amerika tenggelam di dalam kekejiannya kezaliman memperbudak orang-orang Neger, tidakkah seorang-orang wanita yang ikut membangkitkan rasa kemanusiaan bangsa, yakni Harriet Beecher Stowe dengan bukunya yang termasyhur "Uncle Tom’s Cabin". Jauh daripada satu buku biasa yang berisi satu "cerita sentimentil", maka Uncle Tom’s Cabin adalah menunjukkan kecakapan penulisnya untuk membela satu pendirian dalam perjoangan faham yang sedang berkobar di waktu itu. Pro atau anti perbudakan?

Pro atau anti kerja bebas? Uncle Tom’s Cabin disalin dalam berpuluh bahasa, faham-faham yang terkandung di dalamnya mengharukan orang di tiap-tiap pelosok di Amerika dan di Eropa. Dan itu pada waktu dunia belum mengenal banyak surat khabar, belum mengenal gambar hidup, belum mengenal radio! Nyata penulisnya bukan seorang biasa.

Ia seorang kaliber besar. Dan, ia seorang – wanita!

Bukti-bukti kecerdasan otak wanita itu di mana-mana dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin wanita untuk membenarkan tuntutan-tuntutannya: wanita tidak kurang cakap dari laki-laki, asal diberi kesempatan; wanita harus dipersama-kan haknya dengan laki-laki.

Dan walaupun pada mula-mulanya tidak ada hubungan antara aksi-aksi wanita itu di pelbagai negeri, – tiap-tiap negeri mempunyai aksi wanita sendiri-sendiri -, maka akhirnya tumbuhlah rasa perlu kepada hubungan internasional. Bukan saja hubungan internasional yang berupa pekerjaan bersama inter-nasional, tetapi lambat-laun dirasakanlah pula perlunya ada perserikatan internasional. Di dalam tahun 1888 di Amerika didirikan satu "Dewan Wanita Nasional". Negeri-negeri lain segera menyusul. Di dalam tahun 1893 Dewan-dewan wanita nasional telah dapat digabungkan menjadi satu "Dewan Wanita Internasional" dengan mempunyai 50 cabang yang tersebar di beberapa negara.

Sering sekali orang namakan Dewan Wanita Intrnasional ini Induk Volkenbond, karena ia amat mengutamakan sekali persaudaraan internasional. Tetapi ia jauh daripada radikal. Misalnya perserikatan-perserikatan wanita filantropis pun boleh masuk menjadi anggotanya. Lebih radikal daripada Dewan Wanita Internasional ini, lebih militan, lebih politis, lebih "feministis" ialah satu gabungan lain yang bernama "International Alliance for Women Suffrage and Equal Citizenship" – “Serikat internasional buat hak perwakilan wanita dan persamaan hak warga negara".

Alliance ini di dalam tahun 1904 mengadakan Kongresnya yang pertama di kota Berlin.

Utusan-utusan dari Amerika, New-Zealand, Swedia, Norwegia, Denmark, Belanda, Jermania, Inggeris, Austria; Swis, datang mengunjunginya. Satu keterangan azas diterima baik oleh Kongres itu, yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama, dan oleh karenanya harus mendapat hak yang sama pula. Hak bekerja!

Dan terutama sekali hak pemilihan! Tetapi soal ketidakadilan sosial, yaitu soal nasib kaum perempuan miskin, tidak disinggung-singgung. Nyonya C. Pothuis Smit, seorang wanita sosialis Belanda, mengatakan bahwa kongres ini sama sekali berjiwa liberalisme borjuis, berjiwa "burgerlijk liberalisme".

Sesudahnya kongres ini, Alliance itu berkembang-biak. Jumlah cabang-cabangnya senantiasa bertambah. Perancis, Belgia, Rusia, Serbia, Portugis, Italia, Kanada, Amerika Selatan, Tiongkok, – juga di negeri-negeri ini tumbuh cabang-cabang Alliance itu. Majalahnya yang bernama "Jus Suffragii" dibaca oleh anggota-anggotanya dari Amerika sampai ke Asia. Alliance menjadi satu kenyataan yang tak boleh diabaikan. Pergerakan wanita Inggeris yang saya gambarkan di muka tadi, mendapat sokongan keras dari Alliance itu.

Tetapi ... hak pemilihan yang dituntut oleh Alliance itu, -. hak pemilihan yang bagaimanakah? Hak pemilihan umumkah? Yaitu yang memberi hak pemilihan kepada tiap-tiap orang perempuan dewasa, dengan tidak membeda-bedakan antara kaya dan miskin, antara terpelajar dan tidak terpelajar, antara bangsa-wan dan rakyat jelata? Ataukah hak pemilihan terbatas, yang diberikan hanya kepada wanita-wanita yang memenuhi syarat-syarat minimum tentang kekayaan, kecerdasan, keturunan?

Sudah di dalam Kongresnya di Berlin, Alliance tidak mau menjelaskan hal ini, dan di dalam Kongres-kongresnya yang kemudianpun tidak. Tetapi prakteknya di pelbagai negara menunjukkan sifat burgerlijk itu senyata-nyatanya. Di Norwegia misalnya, Alliance terang-terangan telah puas dengan hak-pemilihan terbatas yang tercapai dalam tahun 1907, di Belgia orang menganjurkan hak pemilihan terbatas buat perempuan guna menambah kekuatan reaksi menentang kenaikannya partai-partai proletar, di Jermania pemimpin-pemimpin Alliance mengepalai satu gerakan buat meminta hak pemilihan terbatas di haminte berdasar jumlah pajak buat wanita!

Memang nyata gerakan feminis adalah burgerlijk. Lihatlah misalnya Kongres Besar Alliance itu di Amsterdam 1908. Indah gemerlapan pakaian utusan-utusan yang menghadlirinya, yang datang dari berpuluh-puluh negeri; indah dan gemerlapan perhiasan ruangan Kongres, dengan karangan-karangan bunga dan bendera-bendera dari putuhan negara; "indah" dan "gemerlapan" pula susunan kalimat pidato-pidato yang diucapkan. Presidente Kongres, Nyonya C. Chapman Catt dari Amerika, membuka Kongres itu dengan satu pidato, dalam mana ia memuji tercapainya hak pemilihim wanita di Norwegia 1907 sebagai satu kemenangan gilang-gemilang yang telah memuaskan. Ia tidak jelaskan, bahwa hak pemilihan yang tercapai di Norwegia itu ialah hak pemilihan buat wanita atasan semata-mata. Seorang utusan yang hadlir, yaitu utusan wanita Rusia yang bernama Golowine, berkali-kali minta diberi kesempatan bicara, tetapi selalu ditolak permintaannya. Akhirnya ia diberi kesempatan berpidato ... 5 menit. Di dalam pidato lima menit itu Golowine menuntut hak pemilihan umum, dan bahwa hak pemilihan hanyalah satu dari pada alat-alat saja untuk men-capai susunan masyarakat yang sosialistis. Sambutan atas pidato yang singkat itu, ialah bahwa ia ... tidak mendapat sambutan sama sekali. Di dalam perslah Kongrespun pidato ini sama sekali tidak disebut-sebut! ...

Nyata dan terang, bahwa Alliance adalah perserikatan burgerlijk, perserikatannya wanita atasan, dengan tuntutan-tuntutan yang tuntutannya wanita atasan, dengan mengejar hak pemilihan yang hak pemilihan wanita atasan. Semua fikirannya, keinginan-keinginannya, faham-fahamnya, ideologi-ideologinya adalah burgerlijk, buah-hasil daripada masyarakat burgerlijk. Menurut ideologi mereka, masyarakat hanya mempunyai satu cacat saja, yaitu bahwa kaum laki-laki (tentu saja kaum laki-laki mereka) tidak memperlakukan mereka secara adil. Tidak memberikan hak untuk bekerja kepada mereka, tidak mengasih hak sama di lapangan hukum negara kepada mereka. Kalau ketidakadilan ini telah lenyap, dunia menurut anggapan mereka telah menjadi sorga.

Tetapi tertinjau dari sudut burgerlijk, memang besar hasil Alliance ini. Pada waktu ia mengadakan Kongres di dalam tahun 1926, maka dari 43 negeri yang menjadi anggauta, sudah 26 negeri yang mempunyai hak pemilihan wanita. (Terbatas!)

Tertinjau dari sudut umum, sering sekali Alliance itu kecuali burgerlijk, ternyata pula reaksioner. Sebab sering sekali ternyata bahwa pemerintah-pemerintah memberikan hak pemilihan terbatas itu, – dus kepada wanita atasan! – hanya untuk memperkuat kedudukan reaksi di dalam parlemen, guna mengalahkan perwakilan proletar di dalam parlemen yang makin hari makin kuat.

Bagi wanita rakyat jelata, pergerakan feminisme itu dus nyata tidak memuaskan, malahan kadang-kadang nyata-nyata satu bahaya. Bagi wanita rakyat jelata feminisme itu tidak memberi "pemecahan soal" malahan sering menjadi lawan dalam perjoangannya untuk "memecahkan soal". Mereka, wanita rakyat jelata itu mencari kemerdekaan, bukan saja kemerdekaan politik, tetapi juga kemerdekaan ekonomi. Mereka mencari kemerdekaan sosial. Dan di dalam usaha mereka untuk mencapai kemerdekaan sosial ini, sering sekali kaum feminis tidak berdiri di samping mereka, melainkan berhadap-hadapan dengan mereka, menentang mereka, melawan mereka. Karena itu maka wanita rakyat jelata lantas emoh kepada pergerakan feminis. Mereka mengadakan pergerakan sendiri.

Pergerakan sendiri inilah tingkat ketiga daripada pergerakan wanita. Sebenarnya, tak mungkin bagi saya, menceri-terakan sejarah pergerakan wanita tingkat ketiga ini, dengan tidak menceriterakan sejarah pergerakan sosialisme seluruhnya. Sebab, sebagai telah saya kemukakan di muka, sebenarnya tidak ada "pergerakan wanita spesial" dari tingkatan ini, melainkan tercampurlah ia dengan pergerakan sosialisme seluruhnya. Tetapi marilah saya ceriterakan sedikit-sedikit, sekedar untuk memberi gambaran dan pengertian seperlunya. Sejarah pergerak-an sosialisme telah tertulis dalam buku-buku yang jumlahnya tidak sedikit. Bukan ratusan buku, tetapi ribuan buku meriwayatkannya. Teori sosialisme dan sejarah pergerakan sosialisme telah tersusun dalam satu "perpustakaan sosialis" yang amat luasnya. Saya persilahkan pembaca yang mempunyai minat ke arah itu, untuk menyelami sendiri perpustakaan sosialis itu.

Sebagai di muka telah berulang-ulang saya katakan, perbedaan antara tingkatan kedua dan ketiga ialah: tingkat kedua sekedar hanya mencari persamaan hak saja dengan kaum laki-laki, dan perjoangannya adalah melawan kaum laki-laki. Susunan masyarakat, perbandingan-perbandingan sosial di dalam masyarakat, cara produksi dan pembahagian produksi, tidak dipersoalkan. Keadilan sosial tidak dikejar. Sebaliknya, tingkat ketiga hendak membongkar sama sekali susunan pergaulan hidup yang sekarang, hendak mengadakan satu pergaulan hidup baru yang berkesejahteraan sosial, dan aksi tingkat ketiga ialah bersama-sama dengan laki-laki, bahu membahu dengan laki-laki. Tingkat kedua adalah pergerakan kaum wanita atasan yang karena tumbuhnya industrialisme kapitalis kekurangan pekerjaan dan lantas menuntut diberi pekerjaan, tingkat ketiga adalah pergerakannya kaum wanita jelata yang karena tunlbuhnya industrialisme kapitalis terlalu ditindas oleh pekerjaan dan lantas menuntut permanusiaannya pekerjaan. Marilah kita perhatikan uraian Lily Braun, wanita sosialis yang kenamaan itu:

"Eerst toen de veelvuldige arbeid der huisvrouw in toenemende mate door het handwerk en de industrie over-genomen werd, en de vrouw, voorzoover zij als lid der bezittende klasse vrije tijd verkreeg, zich overbodig voelde, de leegte van haar innerlijk en uiterlijk levenbegreep; of als lid der bezitloze klasse gedwongen was haar huiselijke bezigheid met loonarbeid buitenshuis en gescheiden van het geziIi te verwisselen, – werd zij zich haar drukkende toestand bewust.... Terwijl de burgerlijke vrouw den arbeid als den grootsten bevrijder zoekt, is deze voor de proletarische vrouw een middel tot knechtschap geworden; en terwijl het recht op arbeid een der voornaamste menschenrechten is, is de verdoeming tot arbeid een bron van verontzedelijking".

Artinya ialah sebagai yang saya uraikan tadi: penghargaan kerja daripada kaum wanita atasan yang kurang kerja, dan daripada kaum wanita proletar yang diperbudak oleh kerja, adalah berlainan satu sama lain.

Malahan beratnya pekerjaan yang membebani kaum wanita jelata itu menjadi sebab, bahwa masuknya kesedaran dan semangat perjoangan di kalangan mereka, agak terlambat. Beratnya nasib sehari-hari, yang sama sekali tidak mengasih kesempatan kepadanya untuk memikirkan lain hal, melainkan kerja, kerja, dan sekali lagi kerja, – kerja di paberik atau perusahaan, kerja di rumah tangga, kerja sebagai produsen masyarakat dan kerja sebagai produsen rumah tangga, – sebagai yang telah saya uraikan di muka, membuat fikiran mereka menjadi seperti tumpul dan buntu. Mereka tak ada waktu lagi untuk berfikir! Kaum proletar laki-laki sudah lama bangkit semangatnya, sudah lama mengadakan serikat ini dan serikat itu, sudah lama "bergerak", – kaum proletar wanita masih saja tinggal tumpul dan buntu ingatan, tak mengerti aksi fihak laki-laki, malahan ada pula yang tidak setuju atau melarang suaminya bergerak. Pertengkaran suami-isteri sering terjadi, pemogokan-pemogokan kaum buruh laki-laki kadang-kadang dikhianati oleh kaum buruh wanita yang menjadi penggantinya kaum pemogok.

Henriette Roland Holst menggambarkan terlambatnya kesadaran wanita jelata itu sebagai berikut:

"Zeer lang heeft het geduurd, voor die vrouwen, die toch werkten in en voor de maatschappij, iets van de maatschappij begrepenen opstonden tegen het maatschappelijk onrecht. De overmaat hunner ellende maakte hen wel ontvankelijk voor de gedachte van verzet, voor de hoop van een betere toekomst; doch de lange arbeidsdagen, de ontzettende afmatting die haar telkens overviel, en het feit dat ze thuis dadelijk weer moesten beginnen met te zorgen voor het eten, voor de was, voor de kinderen, dat zij nooit tijd en kracht vonden zich rekenschap te geven van hun leven en hun omgeving, – en daarbij de oude gewoonte van geduldig en lijdzaam dragen, dit alles maakte, dat zij slechts na langen, langen tijd konden komen tot aaneensluiting en verzet. Reeds tientallen jaren waren de arbeiders bezig den vak-vereehigingsstrijd en den klassenstrijd te strijden, reeds ver waren die op den weg der bevrijding, reeds groot en machtig waren hun organisaties, en nog hingen de vrouwen als een dood gewicht aan hen, de vrouwen van hun eigen klasse. Ze begrepen den strijd hunner mannen niet, en belemmerden dien vaak, en verzetten zich tegen de offers van tijd en geld die die strijd kostte".

Pokok artinya sama dengan apa yang saya katakan tadi.

Lily Braun juga memberi keterangan yang demikian.

Dengarkan uraiannya:

"De arbeid is voor hen (den arbeider) het eenige beroep; de vrouw is we I gedwongen met hem ademloos den wedloop om de broodwinning aan te gaan, maar zij heeft daarnaast nog zooveel weegs af te leggen, dat zij niet slechts bij hem achterblijft en vroeg gebroken is, maar ook niet den minsten tijd heeft om over haren toestand en de voorwaarden van haren arbeid eenigszins na te. denken. Zij is niet alleen arbeidster geworden, zij bleef huisvrouw. Zij is echter ook moeder. Terwijl de man zich op vergaderingen ontwikkelt, zich met zijn kameraden verstaat, boeken en bladen leest, heeft zij te koken, te naaien, te verstellen, de kill;deren te verzorgen, ze op te voeden en op hen te passen; en om der kinderen wi! wordt zij zelfs vaak een heftige tegenstandster der vereeniging, die contributie van haar eischt welke zij zoo volstrekt noodig heeft voor de bevrediging harer behoeften, die haar zelfs tot staking van den arbeid dwingen kan".

Tetapi lama-kelamaan kesedaran itu toh datang juga. Lama-kelamaan proses industrialisme kapitalis yang "memasya-rakatkan" kaum wanita jelata itu toh memasukkan mereka juga ke dalam alam perjoangan kelas proletar, – wanita bersama-sama dengan laki-laki -, dan bukan alam perjoangan burgerlijk, yakni wanita menentang laki-laki. "De burgerlijke vijandschap tegen den man vond haar tegenstelling in de proletarische broeder-schap met den man", demikianlah Henriette Roland Holst berkata.

Oleh karena itu, maka pergerakan wanita jelata ini lantas menjadi satu bagian kekal daripada pergerakan sosialis seumumnya. Jalan-jalan apakah dilalui oleh pergerakan sosialis itu untuk mencapai maksudnya, jaitu masyarakat sosialis?

Jalan itu ada tiga: a. Aksi serikat sekerja. b. Aksi koperasi. c. Aksi partai politik.

Mula-mula, maka kaum buruh laki-laki sendiri di dalam serikat sekerja, koperasi dan partai politik itu tidak senang menerima wanita sebagai anggauta. Bukan saja mereka masih dihinggapi faham kuno bahwa wanita itu tidak cakap buat ini atau itu, yaitu masih dihinggapi prasangka, tetapi terutama sekali buat serikat sekerja adalah sebab lain yang penting: Di dalam paberik, di dalam perusahaan, buruh wanita merupakan satu golongan yang kwalitas pekerjaannya kurang baik, dus satu golongan yang rendah upahnya. Manakala wanita itu diizinkan masuk serikat sekerja, maka kaum laki-laki mengira bahwa hal itu akan berakibat merosotnya upah seumumnya. Tidakkah di dalam perusahaan-perusahaan yang jumlah buruh wanitanya lebih besar daripada jumlah buruh laki-laki, garis upah (loonpeil) selalu mengarah kepada upah wanita yang rendah? Maka oleh karena itu, sedapat mungkin wanita ditolak menjadi anggauta serikat sekerja. Mereka dianggap satu saingan yang tidak baik. Mereka merusak pasar.

Begitu pula di dalam kalangan partai politik. Partai politik menghendaki anggota-anggota yang sedar dan ulet.

Ia menghendaki "penyaringan"; ia menghendaki seleksi. Sedangkan perempuan dianggap kurang cerdas, kurang sedar, kurang ulet, kurang mampu berfikir secara prinsipiil, kurang tenang, mudah terpengaruh oleh sentimen, mudah mendatangkan kekacauan dan keributan!

Tetapi akhirnya, lama-kelamaan datang pula perobahan dalam kekolotan kaum laki-laki ini. Terutama sekali kalangan serikat-sekerja kaum laki-laki itu mulai mengerti, bahwa justru kalau wanita itu tidak dididik dalam semangat pergerakan dan tidak diajak serta dalam pergerakan, mereka akan tetap menjadi ancaman memerosotkan upah. Jangan tinggalkan kaum perempuan! Justru kalau ditinggalkan, mereka karena kebodohannya akan selalu bersedia menjadi pangganti buruh laki-laki dengan upah yang lebih rendah, – menjadi "onderkruipster" kalau buruh laki-laki mengadakan pemogokan. Justru kalau sang isteri tidak dibawa dalam kesedaran, maka ia akan selalu mengomel kalau sang suami malam-malam pergi ke rapat atau ke pekerjaan partai, menggerutu kalau dari uang belanya diambil sebagian kecil buat membayar kontribusi atau abonemen koran. Satu-satunya jalan untuk menghilangkan ancaman ekonomis yang datang dari rendahnya upah wanita, dan ancaman psikhologis dalam perhubungan suami isteri, ialah menyadarkan wanita itu tentang gunanya perjoangan, dan membawa mereka serta di dalam perjoangan.

Dan wanitapun segera sedar. Kesedaran inilah yang membuat dunia manusia pada silamnya abad kesembilanbelas mengalamkan satu pergerakan laki perempuan yang hebat, sebagai yang belum dialamkannya dalam seluruh sejarahnya yang terdahulu. Kesedaran inilah yang membawa "soal-wanita" itu ke atas satu tingkat yang lebih tinggi, satu tingkat yang mengenai soal masyarakat seumumnya, yang tidak hanya memfikirkan dan memperjoangkan kedudukan wanita saja, tetapi memikirkan dan memperjoangkan kedudukan wanita sebagai satu bagian dari kemanusiaan yang berbahagia seluruhnya. Kesedaran ini membuat wanita berjoang tidak sebagai sekse, tetapi sebagai satu bagian daripada satu kelas.

Di dalam salah satu kongresnya, yaitu di Gotha 1896, maka pergerakan sosialis itu menerima baik resolusi yang mengenai nasib wanita, sebagai berikut:

"Karena pekerjaannya di dalam perusahaan itu, maka wanita proletar dalam arti ekonomis sudahlah dipersamakan dengan laki-laki dari kelasnya. Tetapi persamaan ini berarti, bahwa ia, sebagai juga proletar laki-laki, – hanya saja lebih hebat dari dia -, dihisap oleh si kapitalis. Maka oleh karena itu, perjoangan kaum wanita proletar itu bukan satu perjoangan menentang kaum laki-laki dari kelasnya sendiri, tetapi satu perjoangan bersama–sama kaum laki-laki dari kelasnya sendiri, melawan kelas kaum modal. Tujuan yang dekat daripada perjoangan ini ialah menghambat dan membendung penghisapan kapitalis. Tujuan yang akhir ialah pemerintahan kaum proletar, dengan maksud menghapuskan sama sekali pemerintahan kelas, dan penjelmaan-nya satu pergaulan hidup sosialistis".

Demikianlah bunyi resolusi Kongres di Gotha 1896. Itu tidak berarti, bahwa kongres-kongres sosialis yang terdahulu tidak membicarakan soal wanita. Tidak. Malah di dalam Kong-res di Eisenach; di dalam tahun 1869, soal itu dibicarakan pula. Tetapi kejernihan faham, kejernihan analise, pada kongres-kongres yang terdahulu itu behun terdapat. Boleh dikatakan kejernihan itu barulah tumbuh sesudah terbit kitab August Bebel: " Die Frauundder Sozialismus " , – "Wanita dan Sosialisme". Kitab ini saya anggap salah satu kitab soal wanita yang fundamentil. Tetapi alangkah banyaknya dulu rintangan-rintangan yang menghalangi tersebarnya kitab ini! Bebel menerbitkan kitabnya itu dalam tahun 1879, setahun sesudah Graf Otto von Bismarck, perdana menteri Jerman, mengeluarkan Undang-undang Sosialis yang amat zalim. Undang-undang Sosialis ini melarang semua perserikatan-perserikatan sosialis, melarang rapat-rapatnya, membungkem propagandis-propagandisnya, membeslah kitab-kitab dan majalah-majalahnya. Sudah barang tentu kitab Bebel itu tak mungkin dibaca terang-terangan di Jermania.

Tetapi pergerakan sosialis di bawah tanah adalah demikian hebatnya, sehingga kitab Bebel yang tebal itu selama ada Undang-undang Sosialis mengalami cetakan ... 8 kali? Dan berkat aksi di bawah tanah yang semakin menghebat itu, yang membuat Undang-undang Sosialis menjadi secarik kertas saja, maka akhirnya di dalam tahun 1890 wet itu ditarik kembali. Baru sesudah itu, pergerakan kaum proletar di Jermania dapat beraksi lagi terang-terangan, berserikat, bersidang, berkonferensi, berkongres. Di dalam Kongresnya di Gotha tadi itulah diambil resolusi tentang soal wanita yang definitif.

Alangkah pentingnya kitab August Bebel itu! Di dalam tahun 1902 ia telah mengalami cetakan yang ke 25 di Jermania, di dalam tahun 1906 cetakan yang ke 40! Saya tidak mengetahui cetakan yang keberapa ia capai sampai saat Hitler bersimaha-rajalela di Jermania. Hitler sudah tentu memasukkan kitab Bebel itu di dalam indeksnya. Bukan saja semua kitab sosialis harus dilarang, dibakar, dibasmi, tetapi Hitler menentang keras cita-cita pengangkatan derajat wanita. Wanita gila yang menghendaki emansipasi, apa lagi menghendaki masyarakat sosialis! Wanita harus tinggal di rumah tangga! Wanita hanya baik buat " empat K " , yaitu – Kirche, Kiiche, Kinder, Kleider! Artinya: wanita hanya baik buat Gereja, Dapur, Anak-anak, dan Pakaian! Goering berkata: "Tempat wanita ialah di rumah. Kewajiban wanita ialah memberi hiburan kepada laki-laki yang pulang dari perjoangan". Dan Goebbels menegaskan: "Kewajiban wanita ialah mencantikkan diri dan beranak" ... Memang kalau orang menanya kepada saya: Apakah perbedaan yang terbesar antara" sosialisme dan fascisme? Maka saya menjawab: Perbedaan terbesar antara sosialisme dan fascisme ialah hal wanita.

Di luar Jermania kitab Bebel itu sangat asyik dibaca orang. Ia disalin dalam lebih daripada sepuluh bahasa. Sebab kecuali mengupas soal wanita dengan cara yang mengagumkan, Bebel adalah salah seorang pemimpin kaum buruh internasional yang amat besar. Ia adalah salah seorang jenderal perjoangan proletar, jenderal yang ulung, sederajat setingkat dengan Wilhelm Liebknecht, Jean Jaures, Clara Zetkin, Rosa Luxemburg, dan pemimpin lain-lain. Suaranya diperhatikan orang di rapat-rapat raksasa, di konferensi-konferensi partai, di Reichtstag, di kongres-kongres internasional. Bagi wanita sosialis ia adalah maha guru, maha pendekar. Ia adalah salah seorang pemimpin kaum buruh yang pertama-tama membuktikan perlunya kaum wanita diajak ikut serta dalam pergerakan, dan itu pada waktu pemimpin-pemimpin laki-laki umumnya masih belum mufakat dengan faham itu. Ialah yang pertama-tama membawa soal wanita itu ke lapangan ilmu pengetahuan, serta menghubungkan soal wanita itu kepada soal masyarakat seumumnya. Ia membuktikan, bahwa soal wanita bukanlah soal sekse, tetapi soal sosial. Satu problem sosial! Soal wanita bukanlah soal "wanita karena wanita", tetapi soalnya wanita dalam proses pertumbuhan masyarakat. Soal. wanita tidak dapat dipecahkan, bila tidak dipecahkan soal masyarakat seluruhnya. Soal wanita itu jadi bukan soal kaum wanita sendiri saja, tetapi juga soalnya kaum laki-laki pula, – soalnya seluruh kemanusiaan.

Dengan bukti-bukti yang ia ambil dari sejarah evolusi kemanusiaan yang telah ribuan tahun, dan angka-angka statistik yang terang, ditunjukkan olehnya, bahwa corak segala anggapan-anggapan dan perlakuan-perlakuan terhadap wanita, sepanjang masa adalah akibat daripada kedudukan wanita dalam proses produksi. Penting kedudukan wanita dalam proses produksi, – tinggilah penghargaan orang kepadanya; tidak penting keduduk-an wanita dalam proses produksi, – rendahlah penghargaan orang kepadanya. "Soal wanita" bertalian erat dengan "soal sosial"; wanita tak mungkin merdeka, sebelum ia ekonomis merdeka.

Dan wanita hanyalah ekonomis merdeka, di dalam pergaulan hidup yang sosialistis.

Sesudah Undang-undang sosialis dihapuskan, dalam tahun 1890, pergerakan wanita jelata di Jermania berjalan pesat. En toh sebenarnya belum semua rintangan terangkat! Sebab kendatipun undang-undang sosialis telah hapus, masih banyaklah negara-negara di Jermania yang masih melarang orang perempuan campur tangan dalam politik. Larangan-larangan ini harus digempur lebih dahulu. Di dalam tahun 1891 di tiap-tiap kota di Jermania didirikan oleh kaum wanita "komisi-komisi penyedar", – komisi-komisi agitasi -, yang pekerjaannya ialah menyemangatkan kaum wanita untuk berjoang. Di dalam tahun itu juga diterbitkan majalah "Die Arbeiterin" di bawah pimpinan Emma Ihrer, yang kemudian diteruskan oleh Clara Zetkin dengan nama baru "Die Gleischheit".

Sangat giatlah komisi-komisi penyedar itu, dan hebat pula propaganda di dalam "Die Gleichheit". Tetapi hebat pula reaksi dari fihak pemerintah. Sebab fihak pemerintah itu mengerti, bahwa kini pergerakan kaum buruh itu, dengan ikut sertanya kaum wanita, benar-benar berpusat dalam jantungnya massa. Dulu faham-faham revolusioner hanyalah berputar dalam otak kaum buruh laki-laki saja, di dalam rapat-rapat, di dalam lepau-lepau minuman keras, di dalam dok-dok dan bengkel-bengkel. Tetapi kini faham-faham yang berbahaya itu berhinggap pula dalam otaknya kaum wanita, masuk di dalam rumah tangga, bersemayam di dalam jantungnya somah, bersarang di dalam jantungnya keluarga! Di dalam tahun 1895 pemerintah membubarkan semua komisi-komisi penyedar itu, pemimpin-pemimpinnya ditangkap, diseret dimuka hakim dilemparkan ke dalam penjara. Tetapi bukan matinya pergerakan wanita jelata yang ia capai, melainkan justru tambah berkobar-nya pergerakan kaum buruh seluruhnya. Agitasi menyala-nyala. Di mana-mana diadakan protest meeting, menuntut perluasan hak bersidang dan berserikat.

Terutama sekali tuntutan hak pemilihan bagi wanita didengungkan di semua pelosok. Sebab perjoangan mengejar sosialisme mengharuskan tuntutan kepada hak-hak politik, yakni hak bersidang dan berserikat dan hak perwakilan. Sebab serikat sekerja, koperasi, partai politik, tiga jalan serangkai di dalam perjoangan mengejar sosialisme yang saya sebutkan di muka tadi, tidak mungkin jika tiada organisasi. Tetapi organisasi tidak mungkin jika tiada hak bersidang dan berserikat, hak bersidang dan berserikat tidak mungkin jika tiada perluasan wet–wet yang masih sempit, perluasan wet-wet yang masih sempit tidak mungkin jika tiada perjoangan dalam Reichstag atau parlemen, perjoangan dalam Reichstag atau parlemen tidak mungkin jika tiada hak perwakilan yang sempurna. Karena itulah hak-hak politik diperlukan. Tetapi bukan untuk memungkinkan organisasi saja, maka hak-hak politik diperlukan!

Juga semua tuntutan-tuntutan wanita yang lain-lain, sepertinya tuntuan bekerja 8 jam sehari dengan mendapat perei pada hari Sabtu petang dan hari Minggu, tuntutan pengurangan jam bekerja pada waktu hamil dan beberapa hari perei pada waktu bersalin, tuntutan jaminan bagi wanita yang mengandung dan lain-lain sebagainya lagi, – tuntutan-tuntutan itu tak mungkin dikemukakan dengan leluasa, selama hak-hak politik belum leluasa pula. Maka oleh karena itulah pergerakan wanita tingkat ketiga ini sangat giat pula menuntut hak pemilihan, – tidak kalah giatnya dengan kaum feminis atau suffragette, malahan barangkali lebih berkobar-kobar semangatnya, lebih tandes dan sengit desakannya, lebih ridla berkorbannya. Perbedaannya dengan kaum feminis dan suffragette ialah, bahwa kaum feminis dan suffragette itu menganggap hak perwakilan itu sebagai tujuan yang terakhir, sedang wanita sosialis menganggapnya hanya sebagai salah satu alat semata-mata di dalam perjoangan menuju pergaulan hidup baru yang berke-sejahteraan sosial.

Alangkah bagusnya kesedaran politik mereka pada waktu itu! Sendiri mereka belum mendapat hak pemilihan, sendiri mereka belum boleh ikut memilih anggota-anggota parlemen, tetapi mereka selalu ikut membantu menghebatkan tiap-tiap kampanye pemilihan dari kawan-kawannya yang laki-laki. Dalam tiap-tiap rapat pemilihan mereka ikut berpidato, dalam tiap-tiap sidang mereka menganjurkan kepada hadlirin dengan semangat yang menyala-nyala, supaya rakyat jelata jangan memilih kandidat-kandidat lain melainkan kandidat-kandidat sosialis. Sebab mereka mengerti, kandidat-kandidat sosialis itu akan membela cita-cita mereka pula; tambahnya jumlah anggota sosialis di dalam parlemen akan menyegerakan terkabulnya tuntutan-tuntutan politik wanita pula. Pemimpin-pemimpin wanita sosialis sebagai Louise Zietz, Rosa Luxemburg, Emma Ihrer, pada waktu kampanye pemilihan yang demikian itu, berpidatolah tiap-tiap hari beberapa kali, pergi dari satu kota ke kota lain, dari satu gedung rapat ke gedung lain. Dan tiap-tiap nomor majalah "Die Gleichheit" memuat artikel Clara Zetkin yang membantu keras pula kepada kampanye pemilihan itu.

Maka hasilnya kampanye-kampanye itu, selalu amat memuaskan. Jumlah anggota sosialis dalam parlemen selalu naik, selalu bertambah. Crescendo! Jumlah anggota sosialis dalam tahun 1903, bertambah dalam kampanye pemilihan tahun 1907. Jumlah anggota sosialis 1907, bertambah dalam kampanye 1912. Di dalam tahun 1912 itu, 110 kursi parlemen dapat direbut oleh wakil-wakil kaum proletar! Dan itu semua berkat bantuannya kaum wanita. Mengenai kemenangan tahun 1912 itu, Louise Zietz menulis, bahwa dalam kampanye tahun itu tidak kurang dari 50 orang agitator wanita tiap-tiap hari tidak berhenti-henti berpidato di dalam rapat-rapat, dan bahwa puluhan ribu wanita pula ikut serta dalam pekerjaan lain seperti menyiarkan surat-surat sebaran, memanggil orang-orang, mengorganisir gerombolan-gerombolan penyemangat, menjaga keamanan, dsb.

Sebaliknya, kaum laki-lakipun membantu keras kepada tuntutan-tuntutan wanita. Di dalam Kongres Sosialis Inter-nasional di Amsterdam tahun 1904, diterima dengan hampir suara bulat satu resolusi yang berbunyi:

"Bij den strijd, welke het proletariaat voor de verovering van het algemeen, gelijk, geheim en direct kiesrecht in staat en gemeente voert, moeten de socialistische partijen het vrouwenkiesrecht in de wetgevende lichamen voorstaan, in de propaganda principieel vasthouden, en er met allen nadruk voor opkomen".

Artinya: "Di dalam perjoangan kaum proletar buat merebut hak pemilihan yang umum sama rata, rahasia dan langsung, dalam negara dan haminte, maka partai-partai sosialis harus menyetujui hak pemilihan bagi wanita dalam badan-badan pembuat Undang-undang, harus memegang teguh secara prinsipiil kepadanya di dalam propaganda yang dijalankan, dan harus menuntutnya dengan sekuat-kuat tenaga".

Maka sejak itu, adalah "saling pengaruh-mempengaruhi", yang prinsipiil dan erat sekali antara "pergerakan laki-laki" dan "pergerakan wanita", yang memang sebenarnya bukan dua pergerakan yang terpisah satu sama lain.

Dua pergerakan itu adalah dua anggota dari satu badan, dua suara dari satu nyanyian, dua gelombang dari satu samodra. Satu keyakinan, satu faham, satu ideologi, satu bezieling menduduki jiwa mereka, membakar jiwa mereka. Misalnya aksi untuk menuntut hak perwakilan wanita di dalam permulaan tahun 1906 adalah satu aksi hebat yang dikerjakan oleh laki-laki-perempuan dalam satu simfoni yang sesempurna-sempurnanya. Seluruh pers sosialis tiap-tiap hari, tiap-tiap nomor, memuat artikel-artikel yang bersemangat menuntut hak perwakilan wanita itu, di dalam tiap-tiap rapat sosialis berpidatolah dengan cara yang berapi-api baik pemimpin-pemimpin laki-laki maupun pemimpin-pemimpin wanita, menuntut hak wanita itu. Louise Zietz mengatakan tentang aksi ini, bahwa "beliau pernah sebelum itu di Jermania ada satu perjoangan bersama yang dengan demikian giatnya dan dengan demikian bersemangatnya menuntut hak-hak politik bagi kaum wanita". Ratusan rapat biasa diadakan, puluhan demonstrasi-demonstrasi raksasa diselenggarakan. August Bebel, kampiun wanita yang ulung itu, mendengung-dengungkan suaranya di Reichstag. Tetapi kaum reaksi dalam rijksdag itu semuanya menentang. Usul-usul Bebel jatuh, tak memperoleh suara yang terbanyak. Tetapi tidak jatuhlah akibatnya agitasi umum yang menuntut hak perwakilan wanita itu. Di dalam bulan Desember 1906 Reichstag tua bubar, tetapi di dalam aksi pemilihan dalam bulan Januari 1907 buat Reichstag baru, kaum laki-laki rakyat jelata serta wanitanya telah bersiap lagi, bercancut taliwanda lagi, dan berhasil merebut tambahan jumlah kursi yang tidak sedikit!

Kepesatan kesedaran wanita yang saya gambarkan di muka ini, mengenai Jermania, yang memang sarangnya pemimpin-pemimpin sosialis laki-laki-perempuan yang ulung-ulung. Dan saya memang mengambil Jermania sebagai contoh, oleh karena pergerakan sosialis di sana itu dulu sering diambil sebagai "model" bagi pergerakan-pergerakan sosialis di negeri lain. Tetapi janganlah pembaca mengira, bahwa manakala pergerakan di Jermania berkobar-kobar, di negeri-negeri lain ia dingin atau beku. Jauh daripada itu! Misalnya api pergerakan proletar di Rusia kadang-kadang menyala-nyala menyundul langit. Api revolusi di Rusia dalam tahun 1905 bukan membakar hati kaum proletar di sana saja, – api itu cahayanya menyinari juga pergerakan sosialis di seluruh Eropa, membuat pergerakan sosialis di seluruh Eropa itu menjadi bertambah revolusioner dan bertambah prinsipiil, memperkuat tekad di dalam hati proletar internasional, bukan saja kaum proletar laki-laki tetapi juga kaum proletar wanita.

Malah dengan pasti dapat dikatakan, bahwa kehebatan aksi proletar di Jermania dalam tahun 1906 dan 1907 sebagai saya gambarkan tadi itu, adalah buat sebagian akibat daripada ledakan semangat Rusia di dalam tahun 1905

Sejak 1905 itu di semua negeri Eropa terjadi bertambahnya semangat wanita. Apakah yang lebih logis, lebih "semestinya", daripada menggabungkan pergerakan-pergerakan wanita sosialis yang tersebar di negeri-negeri Eropa itu, dan yang kini masing-masing sedang bertambah elannya, menjadi satu aksi yang besar-besaran? Tidakkah pergerakan sosialis sendiri berdasar internasional, tidakkah selalu diadakan kontak dan pekerjaan bersama satu sama lain, tidakkah tiap-tiap tahun diadakan Kongres Sosialis Interriasional di tempat berganti-ganti? Maka pergerakan wanita tingkat ketiga inipun segera mengadakan gabungan internasional yang demikian itu.

Clara Zetkin; -"ibu cesar" daripada pergerakan proletar sedunia -, mengambil inisiatifnya. Olehnya didirikan "Kongres Wanita Internasional". Mula-mula di Stuttgart 1907; kemudian di Kopenhagen 1910. Utusan-utusan wanita dari Jermania, dari Inggeris, dari Austria, dari Perancis, dari Belgia, dari Swis, dari Halla, dari Swedia, dari Norwegia, dari Finlandia, dari Bohemia, dari Estlandia dan dari Belanda datang berkumpul di Stuttgart itu. Clara Zetkin dan Adelheid Popp mengucapkan pidato-pidato yang hebat dan teoretis prinsipiil, yang menjadi sendinya resolusi yang berikut:

"Kongres menyambut dengan kegembiraan yang besar konferensi wanita internasional yang pertama, dan menyatakan setuju dengan pendapatnya tentang hak pemilihan bagi wanita. Partai-partai sosialis dari semua negeri wajib berjoang dengan giat untuk adanya hak pemilihan bagi wanita itu ... Kongres mengakui, bahwa ia tidak dapat menentukan satu waktu yang pasti bagi sesuatu negeri, buat mengadakan gerakan hak pemilihan itu. Tetapi ia menyatakan, bahwa jika gerakan yang demikian itu diadakan di sesuatu negeri, maka gerakan itu harus mutlak dijalankan di atas dasar perjoangan sosialistis, artinya – buat menuntut hak pemilihim umum bagi laki-laki dan perempuan".

Dengan ini, maka datanglah periode baru bagi pergerakan wanita tingkat ketiga. Kini ia bukan lagi pergerakan wanita di beberapa negeri yang organisatoris terpisah satu sama lain, kini ia telah menjadi satu organisasi internasional, yang dipimpin dari satu pusat. Clara Zetkin duduk dalam pusat itu, dan "Die Gleichheit" menjadi terompet internasional. Clara Zetkin pula yang di dalam Kongres Wanita Internasional ke 2, di Kopenhagen 1910, menganjurkan adanya Hari Wanita Internasional buat hak Pemilihan yang maksudnya ialah bahwa pada tiap-tiap tahun, di tiap-tiap negeri, di tiap-tiap kota besar, pada hari yang telah ditentukan itu serempak diadakan demonstrasi-demonstrasi besar-besaran untuk menuntut hak perwakilan wanita. Di Berlin 1911, hari-wanita internasional itu menjadi satu demonstrasi besar yang maha hebat. Tidak mengherankan! Sebab Berlin adalah kota milyunan, dan Berlin adalah kotanya Clara Zetkin, Rosa Luxemburg, Louise Zietz, Kiithe Duncker, dan lain-lain kampiun wanita lagi! Pengetahuan mereka, ketangkasan mereka, kedinamisan mereka, keberanian mereka, keuletan mereka, dan terutama sekali kecakapan organisatoris mereka, tidak kalah dengan gembong-gembong pemimpin laki-laki. Manakala nama-nama August Bebel, Wilhelm Liebknecht, Jean Jaures, Junes Guesde, Karl Kautsky, Wladimir Iliitsch Lenin disebut orang dengan hormat dan kagum di dunia internasional, maka nama-nama pemimpin wanita yang saya sebutkan di muka tadipun disebut orang dengan kagum di dunia internasional. Belum pernah pergerakan politik wanita (juga tidak pergerakan feminis) mempunyai bintang-bintang pemimpin sebagai pergerakan tingkat ketiga di dalam periode yang saya ceriterakan ini. Dan bintang-bintang ini bukan saja memimpin golongan dalam bangsanya sendiri serta di negerinya sendiri, mereka juga selalu pergi ke sana-sini memimpin wanita jelata di berpuluh-puluh negara. Mereka adalah pemimpin-pemimpin di atas gelanggang internasional, dengan pengaruh internasional, nama inter-nasional, kemasyhuran intenasional. Terutama sekali bilamana diadakan Kongres-Kongres Internasional atau Hari-Hari Wanita Internasional, maka udara politik di seluruh Eropa menggeletar dengan suara mereka, nama mereka dicetak dengan aksara besar di surat-surat khabar dari London sampai ke Petersburg.

Sudah saya sebutkan buat Jermania saja nama-nama Clara Zetkin, Rosa Luxemburg, Louise Zietz, Emma Ihrer dan Kathe Duncker, maka di angkasa Austria cemerlanglah bintangnya Adelheid Popp, Therese Schlesinger dan Emmy Freutldlich, di angkasa Italia bintang Anna Kulishoff, Angelica Balabanoff, di angkasa negeri-negeri Skandinavia bintang Margaretha Strom, Kata Delstrom, Nina Bang, di angkasa Finlandia bintang Hilja Parsinnen, di angkasa Inggeris bintang Dora Montefiore dan Margaret Bondfield, di angkasa Rusia bintang Vera Figner, Vera Sassulitsch, Alexandra Kollontay, Nadeshda Krupskaya dan Katharina Brechkofskaya, di angkasa negeri Belanda bintang Henriette Roland Holst –van der Schalk.

Di bawah pimpinan mereka ini, kesedaran kaum wanita jelata menjadilah kesedaran yang begitu prinsipiil, begitu radikal, sehingga dari fihak pemimpin laki-laki sosialis sendiri (yang reformistis) kadang-kadang terdengar suara yang khawatir kalau-kalau radikalisme wanita itu nanti merugikan kepada keselamatan partai. Demikian suara Scheidemann di Jermania, demikian suara Plechanov di Rusia, demikian suara Troelstra di negeri Belanda. Tetapi pemimpin-pemimpin laki-laki ini lupa, bahwa wanita itu, yang di dalam perjoangannya tidak mengenal tuntutan-tuntutan kecil reformistis yang mengenai hal-hal sehari-hari sepertinya urusan pajak atau urusan rumah sakit buruh, tetapi hanya mengenal urusan besar, yakni hendak merobah anggapan–kolot yang telah berurat-berakar ratusan tahun, tidak boleh tidak mesti berfikir dan bertindak prinsipiil dan radikal, mesti berjiwa prinsipiil dan radikal!

Bagaimana juga, tidak dapat dimungkiri, bahwa misalnya hasil besar yang dicapai dalam kampanye pemilihan tahun 1912 yang dapat merebut 110 kursi Reichstag itu, buat sebagian yang tidak kecil ialah karena bantuannya kaum wanita. Dan oleh karena itu, tidak mengherankan juga, bahwa kaum wanita itu selalu memperingatkan kepada kaum laki-laki, kadang-kadang mengeritik pedas kepada kaum laki-laki, supaya mereka jangan menyimpang sedikitpun dari jalan yang prinsipiil, tetapi hendak-nya lebih tegas, lebih keras, lebih tandas, lebih mutlak menuntut hak pemilihan umum bagi wanita.

Ya, kemenangan-kemenangan memang kadang-kadang membuat semangat menjadi "puas" dan lantas menjadi kendor. Kita sering melihat di dalam sejarah perjoangan partai-partai, bahwa partai-partai yang tadinya sengit dan radikal, sesudah mendapat kedudukan kuat dalam parlemen, lantas "melempem", lantas kurang prinsipill dan kurang radikal. Demikianlah misal-nya dengan S.D.A.P. di negeri Belanda, dan S.P.D. di Jermania. S.D.A.P. yang masih kecil, berlipat-lipat ganda radikalnya dari-pada S.D.A.P. yang menguasai seperempat parlemen. Dulu S.P.D. hebat jiwanya dan berkobar-kobar semangatnya, dulu ia berjoang dengan idealisme yang berseri-seri, tetapi sesudah ia dalam tahun 1912 dapat merebut kursi 110 di dalam Reichstag (dengan bantuan wanita!), maka ia mulai menjadi "puas".

Penyakit kemelempeman menjangkit kepadanya, kuman-kuman kelemahan batin masuk dalam tubuhnya dengan berangsur-angsur.

Pada permulaan tahun 1914, Rosa Luxemburg dengan ketajaman otaknya yang luar biasa itu telah meramalkan, bahwa tidak lama lagi niscaya akan pecah peperangan dunia yang maha dahsyat, dan bahwa partai buruh Jermania, karena telah terjangkit penyakit kelemahan batin, kemelempeman, reformisme, oportunisme, posibilisme, dsb. niscaya akan pecah berantakan dalam peperangan itu. Alangkah tepatnya ramalan Rosa Luxemburg, pemimpin wanita itu! Sebagai angin prahara yang mengamuk, sebagai taufan badai yang maha dahsyat, benar-benar datanglah peperangan dunia itu dalam bulan Agustus 1914, dan benar-benar juga terpecah-belah berantakan-lah partai sosialis Jermania, sebagai satu partai yang tak tahan uji! Sebagian besar dari anggota-anggotanya mengkhianati ideologi-nya yang sediakala, dan mengamini saja ucapan-ucapan fihak reaksioner yang menyetujui dan menyokong peperangan itu. Hanya satu bagian kecil saja tetap berpendirian prinsipiil dengan tidak mau membenarkan dan tidak mau memberi bantuan kepada peperangan imperialistis itu. Bagian yang tersebut belakangan ini memisahkan diri dari partai; mereka ada yang mendirikan partai baru yang bernama U.S.P.D., dan ada yang masuk dalam barisan satu partai baru yang lain pula, yang bernama Spartakusbund.

Dan kaum wanita? Alangkah sulitnya kedudukan pergerakan wanita dalam taufan prahara peperangan itu! Keadaan bahaya, keadaan dalam masa perang, dengan sekaligus menghentikan kegiatan terbuka daripada aksi hak pemilihan, dan perhubungan internasional yang dipeliharanya sejak tahun 1907 itu boleh dikatakan menjadi terputus sama sekali. Meskipun Clara Zetkin dengan keberanian yang amat besar bekerja bagaimana juga kerasnya, supaya dengan jalan majalah "Die Gleichheit" perhubungan internasional tetap terpelihara sedapat mungkin, maka kesulitan-kesulitan yang dihadapinya sering sekali tak dapat dikalahkan. Hanya semangat dan keyakinan – hanya hati – dapat tetap terpelihara di dalam lingkungan yang dapat dicapai oleh Die Gleichheit itu. Kaum laki-laki Jermania sebagian besar menjadi mabuk peperangan, kaum sosialis Jermania pun sebagian besar menyetujui anggaran belanya peperangan, tetapi kaum wanita jelata, dengan Clara Zetkin dan Rosa Luxemburg sebagai pemuka-pemukanya, tetap setia kepada pendirian prinsipiil yang semula-mula; peperangan ini adalah kapitalisme, kapitalisme adalah peperangan. Khianat kepada sosialisme, siapa yang menyetujui peperangan ini!

Dan bukan saja mereka tidak menyetujui peperangan 1914 -1918 yang imperialistis itu. Dengan macam-macam jalan, mereka juga menyelundupi keadaan dalam masa perang itu, menjalankan aksi rahasia menentang peperangan, menentang kemabukan yang mengorbankan persaudaraan proletar interna-sional kepada kepentingan kaum kapitalis dan imperialis. Dan di dalam aksi menentang peperangan dan kemabukan peperangan itu, maka tak lupa pula tetap menyalakan obor tuntutan hak pemilihan! Die Gleichheit terus-menerus mereka terbitkan, terus-menerus mereka kirimkan ke segala pelosok di mana dapat. Tetapi alangkah besarnya kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi, alangkah sempitnya kemungkinan-kemungkinan yang masih terbuka! Sensur amat keras, perkhabaran-perkhabaran dari koresponden-korespondennya banyak sekali yang ditahan, nomor-nomor yang telah siap tercetak kadang-kadang dibeslah oleh militer sebelum dapat disiarkan. Dan sebagai puncak dari semua kesulitan wanita ini, pada permulaan tahun 1917 Clara Zetkin dilepas sebagai redaktrise Die Gleichheit. Sebab, Die Gleichheit adalah miliknya S.P.D. Dan S.P.D. adalah pro peperangan; dan Clara Zetkin sudah keluar dari S.P.D. dan anti peperangan; dus tak layak dia tetap mengemudikan Die Gleichheit!

Tetapi Clara Zetkin tidak lantas memangku tangan. Permulaan tahun 1917 ia kehilangan Die Gleichheit, Juni 1917 ia telah muncul lagi di dalam "lembaran wanita" daripada surat-khabar Leipziger Volkszeitung. Di sini ia meneruskan propa-gandanya buat sosialisme dan hak perwakilan wanita. Dan di sini pun ia tetap setia kepada azas, tetap prinsipiil, tetap radikal. Di sini ia tetap melawan faham-faham yang menyimpang, faham-faham yang "nyeleweng", seperti misalnya faham Dr. Quark dari S.P.D., yang menganjurkan supaya wanita jelata dalam aksinya mengejar hak perwakilan bekerja bersama-sama dengan kaum feminis. Bagaimana dapat bekerja bersama-sama dengan kaum feminis, demikianlah Clara Zetkin, kalau dasarnya, azasnya aksi hak pemilihan wanita jelata dan aksi hak pemilihan feminis bertentangan satu sama lain? Kaum feminis menuntut hak pemilihan buat kelasnya. Mereka menuntut hak pemilihan itu supaya kelasnya bertambah kursinya di dalam parlemen, bertambah kuat di dalam parlemen, untuk menentang aksi kaum proletar yang makin lama makin mendesak. Bekerja bersama-sama dengan kaum feminis, berarti memperkuat kedudukan musuh yang hendak menikam dada kita sendiri.

Ya, alangkah telah melempemnya partai sosialis Jermania diwaktu itu! Sehingga pun pada waktu pemerintah Kaisar telah ambruk dalam bulan Nopember 1918, pada waktu Wilhelm telah lari ke negeri Belanda, pada waktu "Revolusi Weimar" telah berhasil, dan pemerintahan telah jatuh ke dalam tangannya sosialis-sosialis tua, dibantu dengan tenaga beberapa pemimpin borjuis, – sehingga pun pada waktu sosialis-sosialis ini telah memegang tampuk pimpinan pemerintahan, mereka masih saja ragu-ragu mengizinkan adanya hak perwakilan wanita yang leluasa. Momok radikalisme wanita, momok keprinsipiilan wanita yang ditakuti oleh Scheidemann itu, rupanya ditakuti pula oleh sebagian besar daripada sosialis-sosialis tua yang kini duduk di kursi pemerintahan.

Tetapi kawan-kawan yang setia kepada pendirian semula, tidak tinggal diam. Mereka mendesak kepada pemerintah supaya mereka dibawa serta di dalam pemerintah itu. Akhirnya kaum tua itu tak tahan lagi menentangnya. Beberapa pemimpin U.S.P.D. dimasukkan dalam kementerian. Dan dengan ini, hak perwakilan umum bagi wanita – goal! Semua wanita Jerman, asal saja sudah umur 20 tahun, tidak perduli kaya atau miskin, tidak perduli tua atau muda, tidak perduli terpelajar atau tidak, boleh memilih dan dipilih untuk parlemen atau dewan haminte. Semua wanita Jerman mulai umur 20 tahun sejak itu mempunyai hak pemilihan umum, aktif dan pasif. Perjoangan yang berpuluh-puluh tahun, kegiatan yang tak putus-putus, keuletan dalam penderitaan yang tak berhenti-henti, kesetiaan pada ideologi yang tak mengenal reformisme, akhirnya mencapai kemenangan yang gilang-gemilang! ...

Kemenangan mencapai hak pemilihan. Belum kemenangan dalam segala tujuan! Sebab sedari mulanya telah difahami oleh wanita-wanita gemblengan ini, bahwa hak pemilihan itu bukan tujuan yang terakhir, melainkan hanya salah satu alat perjoangan belaka untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yakni sosialisme. Dan alat perjoangan inipun kelak akan dirampas lagi dari tangannya wanita jelata oleh Hitler, – cakrawarti Jermania yang memerintah dengan cambuk dan konsentrasi kamp, yang tidak mau tahu kepada hak pemilihan apapun juga, tidak buat wanita. Yang memandang wanita hanya dari sudut keisterian dan keibuan saja, dan mengguntur mengenyahkan mereka itu dari lapangan politik dan kemasyarakatan, dan meransel mereka itu kembali ke alam Kirche, Kiirche, Kleider, Kinder! ...

Dan di dalam limabelas tahun, antara tercapainya hak pemilihan dan berkuasanya Hitler itu, di dalam limabelas tahun persamaan hak politik dengan laki-laki itu, mereka mendapat buktinya kebenaran yang memang selalu menjadi keyakinan mereka dari tadinya – yaitu, bahwa persamaan hak dengan laki–laki, belum berarti kebahagiaan sosial yang sempurna.

Masih saja penderitaan menjalar. Masih saja kemiskinan bersemayam di rumah-rumah tangga. Masih saja persundalan bercabul. Masih saja pengang-guran merajalela. Masih saja jalan-jalan penuh dengan pengemis wanita. Masih saja wanita yang pulang dari kerja di paberik dan telah seperti remuk badan itu, di rumah terpaksa lagi membanting-tulang buat suami dan anak. Masih saja ia tak dapat dengan bahagia menjalankan dharma Cinta dan dharma Keibuan. Masih saja jiwanya menderita "scheur", menderita "retak"...

Di dalam limabelas tahun praktek hak pemilihan itu, mereka mendapat pula pelajaran "praktek Sekolah Hidup", bahwa persamaan hak dengan laki-laki itu tidak mampu memecahkan soal-soal hidup wanita sampai keakar-akarnya, kalau tidak dibarengi dengan perobahan sama sekali daripada susunan masyarakat yang sekarang.

Terutama sekali di Jermania sesudah peperangan 1914-1918 itu, alangkah kejamnya hantu realitasnya hidup! Kemiskinan makin hari makin bertambah. Angka-angka pengangguran menaik, membubung ke udara. Persundalan bagi ribuan wanita menjadi satu-satunya jalan untuk mencari sepotong roti. Kapitalisme yang tadinya seperti telah terhantam remuk oleh palu godam peperangan, lambat-laun bangun kembali, dan malahan akhirnya mengadakan "pembelaan diri yang penghabisan", dengan diktatur fascisme Hitler yang seseram-seramnya. Dan di dalam kekejaman realitas hidup ini, – wanita lah jang paling menderita ...

Alangkah benarnya perkataan Henriette Roland Holst yang telah saya sitir di muka tadi, tetapi yang akan saya sitir di sini sekali lagi, agar lebih dicamkan lagi dengan sungguh-sungguh oleh para pembaca:

" Geefdevrouwhetkiesrecht, schafalle wetteljkebepalingenafdiehaarbijdenman achterstelleneninhaarvrijheidbelemmeren, openvoorhaardetoegangtotalleberoepenen bedrijven, maakhaaropleidingenopvoeding gelijkaandievandenman, zodatzijzoveel mogelijkgelijkekansenheeft, zultgijdaarmedehetlotvandemillioenenarbeidstersin loondienstverbeteren, zultgijdezeopheffen uitdeproletarischeellende, zultgijde ongezonde, sleehtbetaaldehuisindustrie waarinanderemillioenenzwoegenensloven, uitdewereldhelpen, zultgijhet raadseloplossenvandesfinxderprostitutie ? Neen, datalleszultgijniet! Aldit vrouwelijdenzitvastaandeburgerlijke maatschappijvorm, aanhetkapitalistisch stelselvanvoort –brenging ".

Salinannyapun saya berikan lagi:

" Berilah kepada wanita hak pemilihan, hapuskan semua aturan–aturan yang membelakangkan mereka dari laki–laki dan merintang–rintangi kemerdekaannya, bukakan pintu bagi mereka kepada semua jawatan dan perusahaan, buatkan pendidikannya jadi sederajat dengan pendidikan laki–laki sehingga mereka mendapat kesempatan yang sama luasnya, – apakah Tuan dengan itu akan dapat memperbaiki nasib kaum buruh wanita upahan yang berjuta–juta itu, akan dapat mengangkat mereka dari kesengsaraan proletar, – akan dapat membasmi industri – di rumah yang tidak sehat dan rendah–upah itu yang di dalamny aberkeluh–kesah pula miliun–miliunan wanita lain, – akan dapat memecahkan rahasia hantu persundalan ?

Tidak, Tuan tidak akan dapat semua itu!

Semua kesengsaraan wanita ini adalah terikat kepada bentuk masyarakat yang burgerlijk, kepada cara produksi yang sistimnya kapitalistis!"

Demikianlah memang, yang juga selalu diajarkan dan diperingatkan oleh Clara Zetkin, oleh Rosa Luxemburg dan pemimpin-pemimpin wanita sosialis lain, kepada semua wanita yang menghendaki perbaikan keadaan. Hak pemilihan hanyalah satu fase perjoangan saja. Dan memang Clara Zetkin, Rosa Luxemburg, beserta pengikut-pengikutnya yang berjuta-juta itupun, tidak lantas diam, tidak lantas berhenti berjoang sesudah hak pemilihan tercapai, – mereka malah mempergunakan hak pemilihan itu untuk memperhebatkan perjoangannya menjadi perjoangan yang lebih besar, yaitu perjoangan menggempur kapitalisme, mendatangkan susunan masyarakat baru yang lebih adil.

Di dalam perjoangan yang lebih besar inilah Rosa Luxemburg menemui ajalnya. Bersama dengan kawannya Karl Liebknecht, pada tanggal 15 Januari 1919, ia dibunub oleh musuh. Pada saat itu ia berusia 49 tahun, sedang kuat-kuatnya dan sedang tangkas-tangkasnya. Ia mati sebagai satu Srikandi kaum wanita, tetapi juga sebagai pahlawan ulung daripada segenap pergerakan sosialis, – sebagai singa betina Revolusi Sosial, yang raungnya terdengar dari ujung dunia yang satu sampai ke ujung dunia yang lain. la adalah Olympe de Gouges-nya abad keduapuluh, – teoretis malah lebih besar dari singa-betina Revolusi Perancis itu. Banyak pemimpin-pemimpin laki-laki sosialis memandang dia sebagai gurunya. Henriette Roland Holst menulis satu kitab yang menceritakan tarikh hidupnya, sebagai satu tanda hormat kepadanya. "Ware Rosa Luxemburg in India geboren, haar volk zou haar een mahatmaya, een grote ziel, genoemd hebben". – "Umpama Rosa Luxemburg dilahirkan di India, niscayalah rakyatnya menamakan dia seorang mahat-maya, seorang yang berjiwa besar". Di dalam gambaran satu kalimat ini saja, tampaklah kebesarannya Rosa Luxemburg itu. la bukan saja seorang pendekar yang amat dinamis, bukan saja seorang Srikandi yang tak kenal takut, iapun seorang teoretikus yang amat ulung. Teori-teorinya, – terutama sekali "spontani-teits-theorie" dan "verstikkings-theorie" -, menggemparkan seluruh dunia teori sosialisme. Bukan orang lain, melainkan Lenin sendiri, meladeni teori Luxemburg itu, karena dianggap-nya tidak benar. (Di dalam dunia sosialisme sering ada perbantahan yang demikian itu, tanda hasrat akan ilmu pengetahuan). Tetapi lebih-lebih lagi, Rosa Luxemburg adalah seorang manusia sosial dalam arti yang sebaik-baiknya, seorang manusia yang selalu memikirkan sesama manusia yang lain, dan selalu sedia menderita buat sesama manusia yang lain. Seorang wanita yang berhati besar, yang di dalamnya ada tempat buat cinta kepada seluruh kemanusiaan. Kaum buruh seluruh dunia dan kaum wanita seluruh dunia, pantas menghormat asmanya pemuka wanita ini, yang jatuh di padang kehormatan.

Nama Clara Zetkin pun pantas kita hormati setinggi-tingginya.

Bukan hanya buat berkata-kata, kalau orang menamakan dia "Ibu Revolusi Proletar". Sampai kepada mengamuknya Hitler di Jermania, tatkala semua partai kaum buruh dibubarkan, majalah-majalahnya dan surat khabarnya dilarang terbit, pemimpin-pemimpinnya yang dapat ditangkap dilemparkan dalam konsentrasi kamp atau didrel mati mentah-mentahan, partai-partai lain di-anschluss, ia masih terus berjoang untuk kepentingan sosial-isme. Salah satu sidang Reichstag merdeka yang terakhir, dialah yang membukanya: pada waktu itu ia telah berusia 80 tahun, satu usia yang manusia biasa kebanyakannya sudah rapuh dan sudah tiada tenaga semangat.

Di dalam pidato pembukaannya, lbu Revolusi ini menghantamkan serangannya kepada kaum Nazi. Atas anjuran kawan-kawannya, ia melolos-kan diri dari Jermania ke Rusia, agar tidak menjadi mangsa kezaliman Hitler. Akhirnya, ia dipanggil pulang kerakhmatullah, dalam usia yang amat tinggi.

Demikianlah pergerakan wanita tingkat ketiga di Jermania.

Bagaimana di negeri-negeri lain? Saya kira tidak begitu perlu saya ceriterakan pergerakan tingkat ketiga di negeri-negeri lain itu satu-persatu. Yang perlu bagi pembaca hanyalah mengetahui garisnya tingkat ketiga ini. Sebagai rempah-rempah akan saya berikan saja nanti beberapa ucapan-ucapan pemimpin-wanita tingkat ketiga ini yang ulung-ulung dari beberapa negeri. Tentang "sejarahnya" cukuplah yang dari Jermania saja menjadi contoh. Memang sebagai tadi telah saya katakan: pergerakan di Jermania itu dulu adalah satu "model" bagi pergerakan-pergerakan di negeri lain. Memang di Jermania organisasinya paling sempurna, pengalasan teorinya paling mendalam, sepak-terjangnya paling tangkas. Negeri-negeri yang lain selalu memandangkan matanya kepada Jermania itu.

Siapa yang ingin mengetahui lebih banyak tentang pergerakan wanita tingkat ketiga di negeri-negeri lain, haraplah mentelaahnya sendiri dalam perpustakaan sosialisme yang bergudang-gudang. Terutama bagi Rusia Baru saya minta perhatian istimewa, oleh karena kedudukan Rusia dalam soal-perempuan memang satu kedudukan yang istimewa. Rusia, yang belum lama yang lalu wanitanya masih bodoh, miliunan tak dapat membaca dan menulis, miliunan hidup dalam tahyul yang mendirikan bulu, yang puluhan miliun rakyat wanitanya yang berbangsa Asia dulu belum pernah mendapat sinar kemodernan sedikitpun juga, belum pernah mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada tingkat ternak dan tingkat benda, belum pernah merasakan diri terlepas dari ekses-ekses patriarchat. Rusia itu telah berhasil memetik buah yang amat banyak di lapangan memperbaiki kedudukan wanita. Fasal 122 daripada undang-undang dasar Sovjet Rusia memberi hak-hak sepenuhnya kepada wanita. Bagaimanakah cara sepak terjang Rusia untuk mengangkat wanita-wanitanya itu? Sempitnya halaman risalah ini tidak memungkinkan saya menceriterakan tentang hal itu panjang lebar, tetapi biarlah pembaca membaca misalnya dua kitab Fannina W. Halle " De Vrouw in Sovjet Rusland" dan "De Vrouw uit het Sovjet-Oosten". Terutama sekali "De Vrouw uit het Sovjet-Oosten" itu memberi pengertian yang mengagumkan kepada. kita, betapa hebatnya pekerjaan yang telah dijalankan di Rusia-Timur untuk membanteras ekses-ekses patriarchat dan mengangkat kedudukan wanita yang tadinya benar-benar masih amat rendah sekali, ketingkatan yang lebih tinggi.

Sungguh sayang saya tak dapat menceriterakan lebih panjang lebar tentang usaha di Rusia itu. Tetapi "teori" pergerakan wanita tingkat ketiga, – di Jermania lah terutama asal mula tem-patnya. Teori itulah yang saya berikan kepada pembaca. Rusia adalah terutama sekali tempat usaha. Usaha di sana memang hebat, dan ... betapa mengharukan hati kita kadang-kadang! Siapakah tidak pernah mendengar tentang penderitaan Maria Spiridonova, atau penderitaan Vera Figner? Dan usaha-usaha di negeri-negeri lainpun saya tak dapat ceritakan kepada pembaca. Nasehat saya kepada pembaca cuma satu: bacalah, carilah buku-buku, bacalah sebanyak-banyak mungkin, untuk menambah pengetahuan!

Sekarang, marilah saya bubuhkan beberapa ucapan-ucapan pemimpin-pemimpin wanita, untuk menjadi sekedar bunga-rampai dalam kitab ini. Dengarkanlah kritikan pedas yang keluar dari mulut Emilia Marabini di Roma terhadap kepada pemimpin-pemimpin sosialis laki-laki, yang dalam teori memeluk sosialisme, tetapi dalam prakteknya masih bersikap kolot terhadap kepada wanita:

"Menggelikan hanyalah mereka, yang dengan mulutnya mengatakan begini, dengan perbuatannya berbuat begitu.

Menggelikan hanyalah mereka, yang membela sosialisme dengan banyak kata-kata dalam rapat-rapat, tetapi yang menentangnya di dalam peri-kehidupan sehari-hari, oleh karena mereka menjauhkan begitu banyak tenaga-tenaga yang baik dari propaganda. Menggelikan hanyalah mereka, yang berjoang dalam barisan-barisan kaum sosialis, tetapi yang karena oportunisme yang salah, melupakan keyakinannya terhadap kepada kaum wanita. Menggelikan, ya lebih jahat dari menggelikan, adalah mereka, yang meskipun mereka tadinya datang menggabungkan diri dengan kita untuk menentang penindasan, toh di dalam batinnya sendiri belum meniadakan nafsu untuk menindas kaum wanita."

Anna Kulishoff, pemuka wanita Italia yang lain, cantik dan tangkas, terkenal dalam kongres-kongres internasional, tajam fikiran dan setia kepada keyakinan, di dalam satu tulisan menganjurkan kepada kaum wanita supaya percaya kepada diri sendiri:

"Janganlah mendengarkan omongan orang, yang mengatakan bahwa Tuan tidak cakap dan tidak bersedia buat perjoangan politik.

Belum pernah ada orang belajar sesuatu hal dengan tidak bekerja.

Orang tak dapat belajar berenang dengan tidak terjun ke dalam air. Orang tak dapat belajar menjahit, jika orang tidak mulai mengambil jarum di dalam tangannya. Kaum proletar laki-lakipun tadinya tak cakap dan tak bersedia. Hanya dengan latihan orang dapat memperoleh kecakapan-kecakapan".

Karena tulisan ini, Anna Kulishoff mendapat hukuman dua tahun penjara! Ia dianggap berbahaya buat keamanan negara ...

Di bawah ini saya cantumkan ucapan Maria Spiridonova yang mengharukan. Ia bukan sosialis tulen, tetapi salah seorang pemuka dari partai sosial revolusioner di Rusia. Puluhan tahun ia meringkuk dalam penjara, dibuang dari satu tempat ke tempat lain, sering menghadapi maut oleh karena disiksa, atau oleh karena di dalam selnya penjara penyakit batuk darah menyerang dia dengan hebatnya. Tetapi ia tak pernah goyang keyakinan, tak pernah mengaduh, tak pernah takut. Sesudah revolusi 1917 berhasil, dimerdekakanlah ia, dan di dalam pidato untuk menyambut pangayubagia ia berkata:

"Satu kebahagiaan yang besar, satu kesenangan yang meresap ke dalam jiwa, ialah mengabdi kepada rakyat, yang demikian lamanya, bertahun-tahun seperti tiada hingga, tersiksa di bawah telapak perbudakan.

Pujian Tuan saya terima dengan segala rasa kekecilan diri, dan saya bawakannya kepada azas-azas yang kita abdii, azas-azas perjoangan buat kaum pekerja dan buat persaudaraan internasional. Bukan untuk saya, tetapi atas nama Tuan-Tuan ... Saya dapat menderita banyak, saya tidak takut sakit atau kemelaratan ... Tidak tahukah Tuan-Tuan, bahwa saya ini termasuk golongan orang-orang yang tersenyum di kayu salib? Saya akan tertawa di dalam penjara. Sebab orang menderita buat satu cita-cita, dan cita-cita itu adalah begitu indah, begitu luhur, sehingga semua perasaan-perasaan yang mengenai diri sendiri lenyap oleh karenanya."

Dan perhatikanlah ucapan pahlawan wanita Rusia yang lain, yang juga termasuk golongan Manusia Besar: Vera Figner. Sudahkah Tuan pernah membaca kitabny "Nacht over Rusland"? Sebagai Maria Spiridonova, iapun berpuluh-puluh tahun meringkuk dalam penjara Czaar. Iapun tak kenal goyang fikiran, tak kenal bimbang di dalam perjoangan. Di dalam satu rapat yang besar ia pernah berkata:

"Kamu mau apa, kawan-kawanku wanita? Apakah kamu mau memandang pekerjaan revolusi sosial ini sebagai pekerjaan kaum laki-laki saja? Kamu toh juga satu bagian dari kelas buruh, yang membungkuk di bawah penindasan? Kamu, kaum wanita, toh justru yang paling menderita karena kemiskinan dan kemelaratan yang didatangkan oleh penghisapan kapitalistis itu? Dan kamu toh tidak menyangka, bahwa kemiskinanmu dan kemelaratanmu itu pekerjaan suami-suamimu? Tidak, baik kamu, maupun suami-suamimu, adalah korban daripada sistim yang merajalela di sini telah berpuluh-puluh tahun. Sistim itulah harus kamu tentang, sistim itulah harus kamu perangi bersama-sama dengan suami-suamimu, kalau kamu ingin merdeka, benar-benar merdeka

Satu tangkai bunga-rampai lagi dari Vera Sasulitsch, yang juga termasyhur namanya:

"Kita telah berjoang berpuIuh-puluh tahun, untuk memerdekakan peri-kemanusiaan daripada siksaan terbesar yang pernah mengazab dia, – yaitu daripada kapitalisme dengan segala macam cara-cara penghisapannya. Perjoangan ini selalu tumbuh, dan terus akan tumbuh, sampai tercapai cita-cita kita. Di dalam perjoangan ini, kita bersama-sama mengalami kesenangan dan kesedihan, tetapi tidak ada kesenangan yang begitu besar sebagai yang kita alamkan beberapa tahun yang terakhir ini: kesenangan melihat makin banyak wanita ikut serta dalam barisan kaum proletar yang berjoang. Ikut-sertanya wanita dalam perjoangan kita itu akan pasti membawa perjoangan kita kepada kemenangan. Sebab tidak ada satu perjoangan masyarakat dapat mencapai tujuan masyarakatnya, selama tidak seluruh kelas yang menjalankan perjoangan itu ikut serta dalam perjoangan itu. Kerena itulah, maka pesan kita kepada wanita buruh adalah singkat dan jelas: Ketahuilah tujuanmu, jalankanlah perjoangan-mu itu dengan ulet, bersatu-padulah dengan kawan-kawan kita laki-laki. Terutama sekali: berhati beranilah! Tiada perjoangan pernah mencapai kemenangan, jika tidak dengan senjata keberanian hati".

Dan akhirnya, satu tangkai lagi:

Maukah pembaca satu contoh keberanian wanita, satu contoh keuletan pendirian, yang tak mau goyang meski di bawah ancaman hukuman berat? Bacalah ucapan Sofya Bardina di bawah ini, yang ia ucapkan tatkala perkaranya diperiksa di muka hakim Czaar:

"Saya tak pernah menentang hak milik perseorangan, saya malahan berani mengatakan bahwa saya membela hak milik perseorangan itu, manakala saya mengatakan bahwa tiap-tiap manusia berhak penuh atas tenaga kerjanya dan atas hasil-hasil tenaga kerjanya itu. Maka sekarang saya bertanya: sayakah yang merusak hak milik perseorangan, ataukah si majikan paberik, yang membayar kepada kaum buruh hanya sepertiga dari harga kerjanya dan mengambil keuntungan dari yang duapertiga lagi dengan tak membayar apa-apa? Bukanlah si spekulan yang merusak hak milik perseorangan, yang bermain dagang dibeurs dan menjerumuskan ribuan keluarga ke dalam kecelakaan, memperkaya diri sendiri atas kerugian mereka itu dengan tiada mengeluarkan keringat setetespun juga? Kami memandang hak kaum buruh atas hasil tenaga kerjanya lebih tinggi daripada hak apapun juga ...

Juga berhubung dengan soal keluarga, maka saya hanya dapat bertanya: bukankah susunan masyarakat yang memaksa wanita meninggalkan keluarganya, masuk ke dalam paberik untuk mencari upah yang sangat rendah, dan di sana binasa bersama dengan anak-anaknya, – bukankah susunan masyarakat yang membinasakan keluarga, karena ia memaksa wanita, terdorong oleh kemiskinan, memasuki alam persundalan, – atau kamikah yang membinasakan keluarga itu, oleh karena kami hendak membanteras kemiskinan itu, yang menjadi sumber semua kejahatan-kejahatan sosial? ...

Bagaimana juga nanti nasib saya, tuan-tuan hakim, saya tahu tak akan mendapat ampunan, dan memang saya tidak mengingini ampunan itu. Tuntutlah kami terus-menerus sekehendak tuan-tuan saya yakin bahwa pergerakan sekuat ini – yang jelas dibangunkan oleh semangat masa sendiri – tak dapat ditahan dengan penindasan yang bagaimanapun juga. Barangkali ia mungkin dihambat buat sejurus waktu, tetapi ia akan bangun kembali dengan tenaga yang lebih besar, dan demikian terus-menerus, sampai cita-cita kami mencapai kemenangan akhir. Tuntutlah kami sekehendak tuan-tuan! Tuan-tuan buat sementara waktu menggenggam kekuasaan zahir, tetapi kami memiliki kekuasaan batin: kekuasaannya kemajuan sejarah, kekuasaannya Cita-cita. Cita-cita tak dapat dimatikan dengan bayonet-bayonet"

Sekian saja sajian bunga-bunga rampai! Tetapi saya tidak mau menutup bab ini, sebelum membuat sedikit pemandangan lagi yang mengenai tingkat kedua dan tingkat ketiga daripada pergerakan wanita.

Manakala saya di muka tadi sering-sering mencela pergerakan wanita tingkat kedua, maka itu tidak berarti bahwa saya tidak mengakui beberapa sifat yang baik daripadanya. Kalau saya tinjau pergerakan feminisme itu seumumnya, maka haruslah saya mengatakan, bahwa ia adalah satu pergerakan yang progresif juga, – satu pergerakan yang membawa kemajuan dalam masyarakat. Hal ini telah nyata. Progresif adalah tuntutan hak pemilihan; sebab dulu tidak ada hak pemilihan wanita itu. Progresif adalah tuntutan hak untuk bekerja; sebab dulu wanita tidak boleh bekerja dalam pekerjaan di masyarakat. Tetapi bumi pergerakan feminisme itu nyata bumi burgerlijk; anggota-anggotanya sebagian besar berasal dari kalangan burgerlijk; dan motifnya nyata motif burgerlijk pula. Ia telah puas dengan hak pemilihan yang terbatas, yang memasukkan perempuan-perempuan atasan saja ke dalam dewan-dewan, dan tidak perempuan jelata juga. Dengan demikian, maka kaum wanita feminis memperkuat kelas atasan, kelas borjuis, di dalam dewan, sebagai satu imbangan kepada tambah kuatnya kelas proletar. Mereka tentu membantah hal ini sekeras-kerasnya. Malah mereka mengira benar-benar berjoang buat semua perempuan, dan menga-takan pula bahwa mereka berjoang dengan tidak memperbedakan kelas-kelas. Karena itu pula mereka menolak dengan keras adanya perjoangan kelas, menolak adanya klassenstrijd. Tetapi tidak dapat dibantah, bahwa pada hakekatnya pergerakan feminis adalah pergerakan burgerlijk.

Nyonya Pothuis Smit, seorang wanita sosialis Belanda yang amat lunak, pernah menulis:

"Het was de laatste stap van de heerschappij der bourgeoisie, die men verlangde. De vrouwen van die klasse moesten ook het kiesrecht verkrijgen."

Artinya: "Tuntutan itu adalah langkah terakhir untuk memperkuat kekuasaan bursoasi. Wanita-wanita dari kelas itu harus mendapat hak pemilihan pula".

Dan Nyonya Henriette Roland Holst yang brilliant itu berkata:

"In werkelijkheid echter is haar beweging een klassen-beweging, wat zij wil is voornamelijk de opheffing der wetten, het doorbreken der tradities en de verandering der zeden, die de vrouwen der bezittende en heersende klassen nog juridisch, sociaal, economisch en politisch, bij de mannen van deze klassen achterstellen. Zij wil haar deel veroveren aan de voorrechten – materieele zowel als ideele voorrechten – van de mannen der bourgeoisie, wil met hen samen de wereld bezitten en de wereld beheerschen. Zij wil al het genot en de pracht van die wereld, de stoffelijke en geestelijke goederen, mede genieten.

Zij wil, in het kort, dat aan de heerschappij en de uitbuiting die tot nu toe door de mannen der heerschende klassen gevoerd en bedreven werden, ook de vrouwen dier klassen zullen deelnemen".

Artinya: "Pada hakekatnya, pergerakan mereka itu adalah pergerakan kelas; yang mereka tuju ialah terutama sekali hapusnya hukum-hukum, pecahnya kebiasaan-kebiasaan dan robahnya adat-adat, yang di atas lapangan yuridis, sosial, ekonomis dan politis masih membelakangkan wanita-wanita kelas atasan daripada kaum laki-laki kelas itu. Mereka mau merebut bahagian mereka dalam hak-hak lebih kaum laki-laki bursoasi, – hak-hak lebih jasmani maupun rohani. Mereka mau ikut mengecap semua kenikmatan dan keindahan dunia itu, mau ikut mengecap semua kekayaan-kekayaan jasmani dan rohani dalam dunia itu. Pendek kata, mereka berkehendak, supaya kaum wanita kelas atasan itu ikutserta dalam kekuasaan dan penghisapan yang sampai sekarang dilakukan oleh kaum laki-lakinya".

Di dalam kitab riwayat hidupnya, Mr.P.J.Troelstra (pemimpin sosialis Belanda yang terkenal) menceriterakan tentang hal pengalamannya dengan pergerakan kaum feminis. Pada waktu kaum buruh Belanda menuntut hak pemilihan umum buat semua laki-laki dan perempuan, maka dari fihak kaum feminis dijumpai rintangan!

Di dalam Congres voor Vrouwenkiesrecht 29 Agustus 1898, nyonya Versluys-Poelman berkata: "Eerst het kiesrecht voor de vrouw, en dan pas algemeen kiesrecht", – yang artinya: "lebih dulu hak pemilihan bagi wanita, baru kemudian hak pemilihan umum". Troelstra mengejek, bahwa yang dimaksudkan dengan "hak pemilihan buat wanita" itu sebenarnya tak lain tak bukan ialah " dameskiesrecht " semata-mata! Seruan nyonya Versluijs-Poelman itu dinamakannya satu seruan yang keluar dari hati kecil kaum feminis sebagai bagian dari bursoasi. Seruan itu ialah keluar dari "het streven der vrouw uit de bourgeoisie om zich de rechten en voorrechten harer klasse te veroveren", artinya: keluar dari "ikhtiarnya wanita borjuasi untuk ikut memiliki hak-hak dan hak-hak lebih daripada kelasnya".

Maka oleh karena gerakan wanita tingkat kedua dan tingkat ketiga itu datangnya dari dua alam, tumbuhnya dari dua jiwa, sumbernya dari dua kepentingan yang bertentangan satu sama lain, maka fihak tingkat ketiga selalu secara prinsipiil menolak bekerja bersama-sama dengan fihak feminis. Benar ada beberapa persamaan, benar ada beberapa titik persentuhan antara kedua aliran itu, tetapi perbedaan-perbedaannya adalah begitu besar, sehingga dua pergerakan ini tak mungkin bersatu menjadi gelombang yang tak terpisah ataupun sebagai dua gelombang yang sesuai jalannya.

Di dalam Konferensi Wanita Internasional di Stuttgart 1907, yang sudah saya ceriterakan di muka tadi, ditetapkan penolakan bekerja bersama-sama dengan wanita atasan itu dalam kalimat resolusi yang berikut:

"Wanita-wanita sosialis harus menjalankan perjoangan untuk hak ini (hak pemilihan) tidak bersama-sama dengan wanita-wanita borjuis, tetapi bersama-sama dengan partai-partai sosialis".

Di dalam Kongres di Gotha 1896, sebenarnya penolakan ini telah amat terang dan tegas:

"Sebagai perajurit dalam perjoangan kelas, wanita proletar itu sama saja butuhnya kepada persamaan hak yuridis dan politis dengan laki-laki, seperti wanita dari golongan pertengahan dan dari golongan intelek borjuis. Sebagai pekerja yang berdiri sendiri, dia juga sama saja butuhnya kepada hak untuk menguasai penghasilan sendiri dan diri sendiri, seperti wanita dari golongan bursoasi. Tetapi kendati adanya persamaan di atas lapangan tuntutan-tuntutan yuridis dan politis itu, maka wanita proletar itu di atas lapangan kepentingan ekonomi yang besar-besar sama sekali tidak ada persesuaian dengan wanita-wanita dari kelas-kelas lain. Oleh karena itu, maka usaha me-merdekakan wanita proletar itu tidak mungkin pekerjaan wanita-wanita dari semua kelas, tetapi hanyalah pekerjaannya kaum proletar seluruhnya, dengan tiada membeda-bedakan perempuan atau laki-laki".

Dus: menolak pekerjaan bersama dengan kaum feminis secara prinsipiil. Apakah ini berarti, bahwa tidak ada faedahnya mencoba mempengaruhi kaum feminis itu? Sudah barang tentu ada faedah itu. Terutama sekali di negeri-negeri, di mana pergerakan feminis telah cukup kuat untuk menjalankan pengaruh yang tidak baik di atas massa, maka ikhtiar mempengaruhi itu adalah perlu. Di negeri-negeri yang demikian itu misalnya adalah berfaedah untuk mempengaruhi kaum feminis, sedapat mungkin, supaya tuntutannya hak perwakilan yang terbatas itu dirobah menjadi tuntutan hak perwakilan umum. Sebab, tidakkah sejarah menjadi kitab pelajaran bagi rakyat jelata pula? Di dalam sejarah itu senantiasa terbukti, bahwa massa selalu dipakai, diambil tenaganya, diperkudakan oleh kelas-kelas lain yang berjoang untuk keperluannya sendiri. Di dalam Revolusi Perancis nyata benar perkudaan ini, di Jerman Hitler pun demi-kian pula. Pergerakan feminispun dulu sering mencoba memperkudakan massa, menyuruh massa itu menarik kereta yang merekalah duduk di atasnya, kesatu tempat yang merekalah mendapat keuntungan di sana.

Oleh karena itu, kewajiban pemimpin wanita tingkat ketiga ialah pertama-tama menyedarkan massa, membukakan mata massa jangan mau dijadikan kuda, – dan kedua: di mana mungkin dan di mana dapat, mempengaruhi pemimpin-pemimpin feminis itu supaya tuntutan-tuntutannya tidak terlalu bertentangan dengan kepentingan massa.

Hal ini tidak bertentangan dengan prinsip tidak bekerja bersama- sama dengan mereka, sebab pergerakan tingkat ketiga tidak mengikatkan diri kepada mereka, tidak mengorbankan kemerdekaan dirinya kepada mereka, tidak mengasih konsesi sedikitpun kepada mereka.

Satu contoh: Dulu Serikat Wanita Liberal di Inggeris sangat "anti" kepada tiap-tiap usaha kaum buruh wanita supaya diadakan, hukum-hukum yang melindungi buruh wanita.

Sebab memang demikianlah prinsip liberalisme: anti bahwa negara ikut-ikut campur dalam urusan produksi. Tetapi lama-kelamaan Serikat Wanita Liberal itu akhirnya toh menyetujui pula kepada diadakannya wet-wet yang melindungi buruh wanita. Apa sebab? Sebabnya ialah oleh karena mereka lama-kelamaan kena pengaruh pemimpin- pemimpin tingkat ketiga. Terutama sekali Miss Amie Hieks rajin sekali mempengaruhi rapat-rapat Serikat Wanita Liberal itu dengan pidato-pidato yang jitu dan meyakinkan. Di tiap-tiap rapat ia minta ikut bicara, di tiap-tiap rapat ia mendebat atau menganjur-kan hal-hal yang perlu dianjurkan. Kegiatan Miss Amie Hicks itu boleh dijadikan teladan.

Tetapi inipun tidak boleh berarti, bahwa boleh diharapkan pergerakan feminis itu akan "mlungsungi" sama sekali menjadi pergerakan tingkat ketiga. Sama sekali tidak! Sebab dasar kemasyarakatan pergerakan feminis itu ialah kelasatasan, dan pergerakan feminis itu akhirnya tak dapat bersifat lain daripada mengerjakan tugas yang diberikan oleh sejarah pada kelasatasan. Yang mereka dapat kompromisi niscaya tidak lebih daripada kompromis-kompromis kecil yang tidak mengubah kepada garis-garis besar tugas sejarah kelas atasan. Tidak!, politik mencoba mempengaruhi pergerakan feminis itu tidak boleh berarti mengharap-harapkan kerbau menjadi harimau, atau harimau menjadi gajah. Ia hanyalah harus berarti, bahwa massa harus dijaga jangan sampai ia terlalu menjadi korban kenaikannya wanita borjuasi. Yang paling penting ialah tetap: mendidik wanita massa, menyedarkan wanita massa, mengorganisir wanita massa, memparatkan wanita massa, meng-gerakkan wanita massa. Itu dan itu sajalah tetap alif-ba-ta-nya pergerakan wanita tingkat ketiga!

Pergerakan feminis nyata tidak mampu memerdekakan wanita sama sekali. Tuntutan persamaan hak semata-mata, nyata masih meninggalkan satu soal yang belum selesai: bagaimanakah menghilangkan pertentangan antara pekerjaan masyarakat dan panggilan jiwa sebagai isteri dan ibu ? Bagaimanakah menghilangkan " scheur, diedoorhaarwezengaat " ?

Sesuai dengan tuntutan emansipasi, maka wanita atasan sekarang sengaja keluar dari kurungan pingitan, keluar bersekolah, belajar sesuatu " beroep " , belajar menjadi juru-rawat, menjadi guru, menjadi juru-ketik atau juru-tulis atau komis, menjadi dokter atau insinyur atau adpokat, – tetapi kelak, kalau mereka sudah menjabat pekerjaan itu, ... datanglah lagi-lagi ujian–jiwa yang amat sulit: mereka harus memilih antara pekerjaan itu dan ... hidup bersuami! Lagi-lagi datanglah bagi tiap-tiap orang wanita yang telah terlepas dari pingitan dan telah menjabat sesuatu pekerjaan yang umum satu saat yang ia terpaksa memilih antara pekerjaan itu dan panggilan kodrat alam. Mana yang harus dipilih? Mana yang harus dilebih beratkan?: pekerjaannyakah, – atau bersuamikah? Terus bekerjakah, – atau kembali ke dalam kurungan rumah tangga tetapi mempunyai kekasih, mempunyai laki-laki, mempunyai anak? Buat apa tadinya membuang uang dan tempoh begitu banyak buat spesial bersekolah menjadi juru-rawat atau guru atau dokter atau adpokat, kalau akhirnya semua kepandaian itu toh musti dikesampingkan, karena alam akhirnya toh menuntut bagiannya pula?

"Tiap-tiap gadis menunggu datangnya hidup berlaki-isteri sebagai satu hal yang akan mengisi dan memenuhi hidupnya sama sekali. Pekerjaannya (di dalam masyarakat) itu buat dia bukan pekerjaan buat seumur hidup, tetapi sekedar satu tingkatan peralihan saja kepada pekerjaan yang sebenarnya, yaitu hidup berlaki-isteri".

Demikianlah gambaran jiwa, yang saya baca di dalam tulisan salah seorang pemimpin wanita feminis. Sekali lagi, – buat apa belajar sesuatu pekerjaan, kalau pekerjaan itu kelak toh harus dilepaskan lagi karena keharusan hidup berlaki-isteri? Mana yang harus diberatkan: pekerjaankah, atau cinta dan jadi ibukah? Inilah ujian jiwa yang sulit. Dan jikalau dua-duanya diambil, seperti halnya dengan kaum wanita bawahan, yang ya bekerja di paberik ya bersuami-isteri dan beranak -, maka wanita atasan itu rasanya tidak sanggup menderitaka "scheur" atau "retak" yang membelah jiwa raganya kaum wanita bawahan.

Dan jikalau wanita atasan itu memilih hidup bersuami-isteri daripada meneruskan pekerjaannya; jikalau ia dengan rasa masygul mengikuti panggilan kodrat alam dan meninggalkan pekerjaannya di kantor atau di lapangan pekerjaan lain, maka fihak feminis memberi hiburan kepadanya yang berbunyi: "Jangan masygul, jangan kecewa, sebab pengetahuan yang engkau dapat di sekolah dulu itu toh berfaedah juga buat kau pakai dalam rumah tangga". lni namanya "lari dari kenyataan"! Sebab, jikalau benar maksud bersekolah itu hanya buat berfaedah di rumah tangga saja, maka lebih baik jangan gadis-gadis disekolahkan mengetik, jangan disekolahkan dagang, atau insinyur atau adpokat, atau kimia atau kesusasteraan, tetapi masukkanlah mereka semua ke sekolah-sekolah rumah tangga, – huishoudscholen, yang vak-vaknya semata-mata buat kesempurnaan rumah tangga dan keibuan! Jikalau tujuan hidup wanita hanya suami dan anak-anak saja, maka wanita tak perlu mempelajari lain-lain pekerjaan, melainkan pekerjaan keisterian dan keibuan saja! Tidakkah kita merasa geli memfikirkan pendirian kaum feminis itu, yang tadinya mati-matian menuntut hak untuk bekerja, tetapi kemu-dian melepaskan pula pekerjaan yang telah diperdapat itu? Mereka merasakan adanya scheur, merasakan adanya retak, tetapi mereka tidak berjoang meghilangkan sebabnya retak itu, tidak berjoang menyembuhkan retak itu, melainkan memilih salah satu di antara dua belah yang dipisahkan oleh retak itu. Coba perhatikan satu ucapan lagi dari seorang pemimpin feminis, nyonya van Itallie van Embden, yang berbunyi:

"Weest niet bang, maakt U niet ongerust! Wanneer de vrouw gaat voelen, dat haar kinderen lijden onder haar dubbel werk, dan komt zeterug ... Als ze moet kiezen, dan kiest ze het kind".

Artinya: "Jangan takut, jangan kuatir! Kalau wanita merasa, bahwa anak-anaknya menderita karena pekerjaannya yang dobel itu, ia akan kembali ... Kalau ia harus memilih, anaknyalah yang ia pilih".

Isinya ucapan ini benar. "Kalau ia harus memilih, anaknyalah yang ia pilih". Memang demikianlah jiwa wanita. Memang demikianlah harusnya jiwa wanita. Wanita yang tidak mengutamakan anak, tidak pantas bernama wanita. Itu bukan soal lagi. Tetapi yang menjadi soal ialah: apasebab ada retak, dan bagaimana menghilangkan retak itu? Dengan memakai perkataan-perkataan Nyonya Itallie van Embden sendiri, maka soalnya ialah: apa sebab "anak-anaknya menderita karena pekerjaannya yang dobel itu"? Tidakkah mungkin diperdapat satu susunan masyarakat, yang anak-anak tidak menderita, walaupun ibunya mengerjakan pekerjaan dobel?

Ucapan Nyonya Itallie van Embden, seperti ucapan pemimpin feminis lain yang saya sitir di atas tadi, lagi-lagi satu perbu-atan "lari dari kenyataan", lagi-lagi satu "vlucht uit de werkelijkheid". Lagi-lagi orang terpaksa bertanya: buat apa mengotot minta hak untuk bekerja, kalau pekerjaan itu nanti toh akan dilepaskan lagi? Tidak! pokok pangkal dari semua "vlucht" itu ialah, bahwa feminisme memang tidak mampu memecahkan soal! Tidak mampu memecahkan soal bagaimana meniadakan pertentangan antara pekerjaan (pencaharian) dan keibuan!

Tidak bersuami dan tidak beranak, – bertentangan dengan panggilan kenikmatan alam.

Tetapi bersuami beranak dan bekerja di masyarakat, – bertentangan dengan kesempurnaan kedua-duanya!

Inilah pertentangan itu!

Maka oleh karena itu, di kalangan feminis sendiri lantas timbul satu golongan yang tidak puas dengan feminisme itu. Golongan inilah yang menyebutkan dirinya kaum neo–feminisme. Mereka bermaksud "mengoreksi" feminisme itu.

Tetapi koreksi mereka itu ... makin salah!

Makin menandakan kelemahan pendiriannya! Hanyalah barangkali ... lebih jujur!

Sebab, bagaimana pendirian neo-feminisme? Di dalam satu kitab tulisan D.L.Daalder "Feminisme en Nieuwfeminisme" diterangkan bahwa pokok neo-feminisme ialah pengakuan lebih dahulu bahwa tujuan hidup wanita ialah (bagaimanapun juga) suami dan anak. Maka oleh karena itu, tujuan pergerakan wanita haruslah: menyempurnakan wanita buat hidup bersuami dan beranak. Maka neo-feminisme bermaksud: mendidik dan mempersiapkan wanita, terutama gadis, supaya ia kelak dengan sempurna dapat mengerjakan kewajibannya sebagai isteri dan sebagai ibu. Neo-feminisme tidak mengutamakan lagi pekerjaan, tidak mengutamakan lagi persamaan hak. Hak atas pekerjaan, dan hak pemilihan, tidak lagi menjadi titik berat aksinya. Suami dan anak, cinta dan keibuan, kesitulah pandangan matanya ...

"Menyempurnakan wanita buat hidup bersuami dan beranak"!

Dengan samar-samar saya melihat lagi jirimnya pergerakan wanita tingkat kesatu. Sesudah hampir dua ratus tahun pergerakan wanita, – kini kembali lagi ketingkat itu! ...

Tanda apa ini? Tak lain tak bukan tanda ketidakmampuan. Tidak mampu menemukan pemecahan satu soal. Dicoba begini, dicoba begitu, akhirnya dicoba begini lagi ... Pemecahan tidak terdapat, – jalan yang diturut ternyata jalan buntu. Dan karena jalannya buntu, lantas mundur. Mundur kembali ke tempat yang ditinggalkan dua ratus tahun yang telah lalu!

Karena jalannya buntu, lantas mau menjalankan "koreksi".

Tetapi koreksi itu bukan mendobrak kebuntuan itu, melainkan membiarkan kebuntuan itu, dan ... mundur kembali.

Mundur kembali ke "suami dan anak saja". Mundur kembali ke "penyempurnaan wanita". Mundur kembali ke sarang rumah tangga, dengan melepaskan pekerjaan di masyarakat, melepaskan persamaan hak, melepaskan hak perwakilan, dan lain-lain lagi tuntutan progresif yang sebagainya.

Alangkah bedanya pergerakan wanita tingkat ketiga!

Pergerakan wanita tingkat ketiga dengan tegas menyatakan, bahwa koreksi satu-satunya yang benar ialah: menghilangkan pertentangan antara pekerjaan untuk masyarakat dan cinta dan keibuan itu! Menghilangkan pertentangan antara dua hal itu dengan mengadakan satu susunan pergaulan hidup di mana dua hal itu tidak berkonflik satu sama lain, tetapi justru isi–mengisi satu sama lain, mengharmoni satu sama lain, mensintese satu sama lain.

Ya, isi-mengisi satu sama lain, mengharmoni yang satu dengan yang lain, – mengangkat pekerjaan di masyarakat dan cinta dan keibuan itu ketingkatan yang lebih tinggi, di mana dua hal itu tidak mengantitese, tetapi justru mensintese satu sama lain. Wanita harus mengerti, bahwa mereka, jikalau mereka mengorbankan salah satu dari dua hal itu, – memilih cinta dan keibuan dan melepaskan pekerjaan di masyarakat, atau memilih pekerjaan di masyarakat dan melepaskan cinta dan keibuan -, sebenarnya menerima kekalahan di dalam perjoangan. Memilih cinta dan keibuan dan melepaskan pekerjaan di masyarakat berarti satu kekalahan terhadap kepada tuntutan yang telah diperjoangkan beratus-ratus tahun; memilih pekerjaan di masyarakat dan melepaskan cinta dan keibuan berarti satu kekalahan terhadap kepada tuntutan alam. Karena itu, satu-satunya jalan yang benar ialah jalan yang bukan saja menuju kepada hilangnya pertentangan antara dua hal itu, tetapi malahan kepada sintese dua hal itu, – jalan yang menuju ke tempat di mana dua hal itu kedua–duanya dapat dipenuhi bersama-sama, dalam suasana isi-mengisi kebahagiaan masing-masing.

Usaha yang dapat mendatangkan sintese antara pekerjaan di masyarakat dan cinta dan keibuan itulah kemenangan!

Kemenangan, oleh karena tidak ada satu langkah yang mundur. Tidak mundur di atas lapangan tuntutan kemasyarakatan, tidak mundur di atas lapangan tututan alam. Malahan di atas kedua-dua lapangan satu kemajuan.

Di atas lapangan kemasyarakatan satu kemajuan, oleh karena pekerjaan di masyarakat menjadi satu kegembiraan; di atas lapangan cinta dan keibuan satu kemajuan, oleh karena wanita dapat cukup waktu untuk menjalankan cinta dan keibuan, itu – dan dapat menjalankannya dalam suasana kebahagiaan pula.

Pembaca masih ingat, apa yang menyebabkan retak dalam jiwa wanita yang mengerjakan pekerjaan masyarakat. Pertama ialah oleh karena di dalam sistim kapitalisme pekerjaan masyarakat itu laksana meremukkan jasmani dan rohani; duabelas jam, tigabelas, empatbelas jam tiap-tiap hari kadang-kadang wanita harus bekerja di dalam paberik atau perusahaan, dan itupun dalam keadaan pekerjaan yang amat berat dan tidak sehat. Kedua, – kalau wanita, di dalam keadaan jasmani dan rohani yang telah amat letih itu, sore-sore atau malam-malam pulang di rumah, maka ia harus bekerja lagi amat berat di rumah tangga, mengerjakan seribusatu pekerjaan rumah tangga tetek-bengek yang tidak ringan, yang diwajibkan kepadanya oleh cinta dan keibuan. Memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, menjelumat baju, memelihara anak, menyediakan sarapan buat besok pagi dan lain sebagainya, masih harus ia kerjakan, sehingga kebahagiaan cinta dan keibuan menjadi amat terganggu oleh karenanya. Sebagai yang saya katakan di muka, maka wanita di dalam sistim kapitalisme itu amat berkeluh-kesah memikul beban yang dobel, – bebannya kerja berat sebagai produsen masyarakat, dan bebannya kerja berat sebagai produsen rumah tangga. Yang satu tidak membahagiakan yang lain, yang satu malah memelaratkan kepada yang lain. Tetapi kedua–duanya harus dikerjakan, kedua–duanya harus ditunaikan, – tidak dapat salah satu dari dua itu dilepaskan, dengan tidak mengkhianati kepada atau panggilan kemasyarakatan, atau panggilan alam. Dan walaupun retak yang begini itu terutama sekali mengenai wanita bawahan, – di kalangan wanita atasanpun pada pokoknya ia ada. Karenanya, maka satu-satunya kemenangan ialah: satu pergaulan hidup baru, yang melenyapkan retak itu, menghapuskan pertentangan antara panggilan masyarakat dan panggilan alam, mensintesekan pekerjaan masyarakat dan cinta dan keibuan itu dalam satu sintese yang berbahagia raya.

Apa, apa yang menyukarkan Sarinah untuk masuk secara bahagia ke dalam pekerjaan masyarakat, – yang ia toh masukinya juga karena hasrat kemerdekaan dan karena paksa-annya tuntutan perut? Ialah, bahwa rumah tangga terlalu bersifat " perusahaan sendiri " . Pekerjaan-pekerjaan untuk keperluan rumah tangga itu terlalu terlingkung dalam lingkungannya somah. lnilah yang seperti merantai Sarinah kepada kewajiban-kewajiban tetek-bengek dalam rumah tangga, yang beratnya telah hampir mematahkan tulang belakang. lnilah yang menghebatkan pertentangan antara cinta dan keibuan dan pekerjaan masyarakat, menghebatkan retak dalam jiwanya. Maka pertentangan dan retak itu dus hanya dapat dilenyapkan, kalau, antara lain-lain, Sarinah dapat kita merdekakan dari kewajiban-kewajiban rumah-tangga yang tetek bengek itu, – dapat kita merdekakan dari kewajiban-kewajiban rumah tangga yang ia harus pikul sendiri sebagai akibat sifat rumah tangga yang terlalu bersifat perusahaan sendiri. Pertentangan dan retak itu hanya dapat kita lenyapkan, kalau kita pecahkan sifat rumah-tangga yang terlalu bersifat perusahaan sendiri itu, – Operkan sebagian besar dari pekerjaan-pekerjaan rumah tangga itu kepada umum, kepada masyarakat.

Artinya: Sebagian besar daripada pekerjaan–pekerjaan rumah–tangga itu, kita angkatkan dari lingkungan keluarga, dan kita masukkan ke dalam tanggungannya Kolektivitas!

Mungkinkah ini? Ini mungkin!

Bahkan hal ini sekarang sedang berjalan berangsur-angsur! Berkat jalannya evolusi masyarakat, maka pengoperan sebagian kewajiban-kewajiban rumah tangga kepada masyarakat itu bukan lagi satu cita-cita kosong, bukan lagi satu utopi, tetapi mulai menjadi satu kejadian, satu realitas. Lihatlah!: Di zaman dulu, semua pekerjaan untuk keperluan rumah tangga dilakukan di dalam rumah tangga, dan menjadi tanggungannya Sarinah sendiri sama sekali. Tetapi di zaman sekarang sudah banyak berangsur-angsur pekerjaan-pekerjaan itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan partikelir di luar rumah-tangga, atau kepada perusahaan-perusahaan kolektif. Di zaman sekarang telah berangsur-angsur berkurang sifat rumah tangga sebagai perusahaan milik sendiri. Makanan sudah banyak yang dimasak di luar rumah, lauk-pauk dibeli dari ideran atau di kedai, pakaian dijahit oleh tukang penjahit atau langsung dibeli telah jadi dari toko, pendidikan anak-anak dilakukan kolektif, pemeliharaan orang sakit dikerjakan di rumah-sakit, penerangan terdapat dari sentral elektris, pemberian air ditanggung oleh dinas water-leiding, pembuangan sampah diselenggarakan oleh haminte, dan demikian sebagainya lagi. Pendek kata, banyak sekali bagian-bagian kerja rumah tangga yang dulu sama sekali menjadi tanggungan wanita di rumah, sekarang dikerjakan oleh orang lain di luar rumah itu, (secara perusahaan, bahkan banyak yang secara kapitalistis), atau – dan ini penting! – dikerjakan oleh "umum" secara kolektivitis dengan berupa negara, haminte, atau koperasi. Jadi: tendenz evolusi masyarakat ialah: berangsur-angsur mengoper fungsi-fungsi keluarga serumah kepada "umum", kepada masyarakat. Negara, atau haminte, atau koperasi akan bertambah mengoper makin banyak fungsi-fungsi itu, sesuai dengan bertambahnya sifat negara menjadi negara rakyat, haminte menjadi haminte rakyat, koperasi menjadi koperasi rakyat. lni amat meringankan tanggungan Sarinah di rumah! Perusahaan-perusahaan partikelir masih mencari untung-besar merogoh kantong Sarinah, tetapi pengoperan fungsi-fungsi oleh badan-badan kolektivistis sebagai negara, haminte, atau koperasi itu, membawa kebahagiaan kepadanya. Tidak lagi ia, kalau ia sore-sore sudah pulang dari bekerja di paberik atau di perusahaan, di rumah lantas masih terpaksa lagi membanting tulang, mengulurkan tenaga, memeras keringat.

Tidak lagi ia harus berkeluh-kesah di rumah sampai jauh-jauh malam. Tidak lagi badannya masih terasa letih dan payah, kalau ia besok paginya bangun dari tempat tidurnya. Dan kebahagiaan ini mencapai puncaknya yang tertinggi di dalam masyarakat kesejahteraan sosial, di dalam masyarakat sosialis. Di sana ia mencapai "bekroningnya" yang gilang-gemilang! Tidak lagi Sarinah dirogoh kantongnya bilamana mengoperkan fungsi-fungsi kerumah tanggaannya kepada tenaga lain di luar rumah tangga. Dengan kontribusi yang ringan, atau dengan cuma-cuma sama sekali, fungsi-fungsi itu dioper oleh koperasi, oleh haminte, oleh negara. Sepulang dari pekerjaan masyarakat, ia cukup waktu untuk beristirahat, cukup waktu untuk berkasih-kasihan dengan suami dan anak-anak. Cukup waktu untuk mendengarkan lagu-lagu merdu dari radio, cukup waktu untuk menambah pengetahuannya di kursus-kursus atau di rapat-rapat. Tidak lagi ia harus membikin bersih lampu minyak tanah, lampu listrik telah menyala dengan memutar kenop di dinding. Tidak lagi ia harus memasang api, dapur elektris kecil-kecilan telah menganga dengan memutar kenopnya pula.

Tidak lagi ia harus mencuci pakaian suaminya dan anaknya dan pakaiannya sendiri, – tadi pagi ia telah serahkan pakaian kotor itu kepada pesuruh binatu kolektif. Tidak lagi ia harus memasak makanan, – kecuali yang ia inginkan sebagai traktasi sendiri yang istimewa -, sebab makanan telah dikirim oleh dapur umum, malah menurut pilih-annya sendiri dari daftar-mingguan. Tidak lagi ia harus menyediakan sarapan buat suaminya, anaknya dan dirinya sendiri besok pagi; sebab sarapan itupun urusan dapur umum, dan tempat pekerjaan atau sekolah ada pula yang mempunyai bufet kolektif.

Pulang dari pekerjaan masyarakat, belum letih, ia masih segar badan! Langit tampaknya cemerlang, bunga-bunga tampaknya indah, sebab pekerjaan masyarakat yang kolektif bukan penghisapan dan penindasan, tidak meletihkan jasmani dan rohani, melainkan membahagiakan, menggembirakan. Dan sedatangnya di rumah, – hanya pekerjaan yang kecil-kecil saja harus ia kerjakan. Banyak waktu terluang baginya! Ia dapat bercakap-cakap, bersenda-gurau dengan suami dan anak-anaknya, memutar radio dengan mereka, pergi ke gambar hidup dengan mereka, mengunjungi rapat atau universitas rakyat. Ia dapat mendidik anak-anaknya dengan penuh kebebasan, membahagiakan mereka, melihat gambar-gambar majalah dengan mereka, menyusun karangan bunga dengan mereka, disaksikan oleh suaminya yang bersenyum simpul.

Ia dapat minum dari mata air cinta dan keibuan dengan bebas dan leluasa. Kodrat, kodratnya Isteri dan kodrat Ibu, berkembang lagi seharum-harumnya ...

Ah, keadaan bahagia! Di sinilah pekerjaan masyarakat, – pekerjaan masyarakat yang untuk kepentingan masyarakat, dan bukan lagi pekerjaan masyarakat untuk keuntungan per-seorangan; pekerjaan masyarakat kolektivistis, dan bukan lagi pekerjaan masyarakat kapitalistis -, di sinilah pekerjaan masyarakat dan cinta dan keibuan itu tidak bertentangan lagi satu sama lain, tidak mengantitese lagi satu sama lain. Di sini dua hal itu isi-mengisi satu sama lain, mensintese satu sama lain. Keaktifan pekerjaan masyarakat membahagiakan cinta dan keibuan, kebahagiaan cinta dan keibuan mengaktifkan pekerjaan masyarakat.

Utopi? Impian kosong? Idealisme yang lupa daratan? Semuanya itu tidak! Sebab, sebagai di muka tadi telah saya katakan, masyarakat memang telah berangsur-angsur bergerak ke situ, tendenz evolusi masyarakat nyata telah menuju ke situ. Di Rusia misalnya, yang walaupun keadaan di sana masih belum sempurna, sudah banyak tercapai hasil di lapangan sintese itu. Sampai kepada pemiliharaan anak bayi pada waktu ibunya mengerjakan pekerjaan masyarakat, di sana diurus secara kolektif di dalam "creches". Siapa ingin mengetahui lebih jelas hasil-hasil yang tercapai di sana itu, bacalah perpustakaan yang mengenainya.

Saya tahu, ada orang-orang yang menamakan sintese antara pekerjaan masyarakat dan cinta dan keibuan itu satu utopi. Dan saya tahu apa sebab orang-orang itu sebenarnya mencurigai pengoperan sebagian dari fungsi-fungsinya rumah tangga kepada masyarakat. Mencurigai pengoperan itu, padahal sebenarnya telah mulai berlaku pengoperan itu berangsur-angsur! Tak lain tak bukan sebabnya ialah kelambatan jalannya jiwa manusia untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, kekonservatifan jiwa manusia kepada barang-barang yang baru. Kelambatan jiwa. Inersi psichis. Kekolotan psichis.

Yang menjadi sebabnya curiga itu ialah individualisme, yang di dalam masyarakat sekarang ini di dalam somah (gezin) itulah benteng–pertahanannya penghabisan.

Di dalam somah itu individualisme masih mendapat semacam hiburan, mendapat semacam tempat pelepaskan lelah, mendapat semacam kesempatan menarik nafas. Di dalam somah itu individualisme merasa dirinya tidak terganggu, merasa dirinya selamat. Sebab di luar somah itu, di masyarakat sekarang ini, hanya kepahitan dan kesukaran saja yang dijumpainya, di luar somah itu taufan praharanya perjoangan mencari sesuap nasi memenuhi angkasa. Di luar keprimpenannya somah itu manusia diuber-uber oleh hantu struggle for life, dicambuk, dilabrak, digiring, diseret oleh hantu ketidak-adilan sosial, dengan tiada maaf dan tiada ampun, tiada tempoh beristirahat dan tiada kesempatan menarik nafas. Maka somah menjadi semacam gumuk pengungsian, semacam bukit tempat berlindung, buat berlindungkan diri dari hamuknya banjir keharusan yang berhukum "bekerja mati-matian, atau lapar", – semacam tempat maya untuk melupakan pahitnya perjoangan hidup. Maka somah makin menjadi tempat bersarangnya individualisme, satu "tempat keramat" yang tak boleh dimasuki oleh apa saja yang mengurangi kepribadian individualisme itu, sebagai mitsalnya faham-faham "kemasyarakatan", faham-faham "kolektivisme", faham-faham "pengoperan fungsi-fungsinya somah kepada umum".

Tetapi di dalam satu Dunia Baru yang berkesejahteraan sosial, di mana manusia tidak diuber-uber sampai hampir putus nafas oleh hantu struggle for life, di dalam satu Dunia Baru di mana pencaharian hidup bukan satu azab yang meremukkan jasmani dan rohani, tetapi satu kewajiban yang gembira, di dalam. Dunia yang demikian itu manusia tidak "takut" kepada pekerjaan di dunia-ramai, dan somah dus tidak pula menjadi tempat perlindungan atau tempat mengembalikan nafas.

Di dalam Dunia yang demikian itu, maka batas antara somah dan masyarakat akan makin menjadi tipis, bahkan akan makin menjadi indah, laksana batas antara warna-warnanya pelangi hujan yang bersambung satu dengan yang lain dan menyusun satu harmoni yang gilang-gemilang.

"Wanneer de wereld zal zijn geworden een nest van genoten", – demikianlah Henriette Roland Holst menulis sesuai dengan pendapat saya ini – , "wanneer de wereld zal zijn geworden een nest van genoten, dan zullen de grenzen tussen gezin en gemeenschap, die nu scherp en hard getrokken staan, vervagen tot een lichtende mist".

Artinya: "Jikalau dunia telah menjadi satu sarang orang-orang yang bersahabat, maka batas-batas antara somah dan masyarakat, yang sekarang tajam dan keras itu, akan mengkabut menjadi kabut yang bercahaya".

Apa gerangan yang akan tertinggal bagi somah kelak, kalau batas itu telah menjadi "laksana batas warna-warnanya pelangi-hujan", – telah hampir hilang menjadi "kabut yang bercahaya"? Ah, janganlah orang nanti mengatakan lagi ini satu utopi! Kalau batas itu telah mengkabut, maka somah lantas benar-benar satu tempat cinta dan keibuan, di mana tiada gangguan 1001 pekerjaan tetek-bengek beraneka-warna membungkukkan tulang-belakang Sarinah sampai jauh-jauh malam, tetapi satu tempat di mana laki-laki, perempuan, dan anak-anak hidup bersama seperti burung di dalam sarangnya. Di situ hanya pekerjaan-pekerjaan persomahan yang istimewa saja dikerjakan, dengan kemerdekaan kemauan dan kegembiraan. Di situ laki-laki dan perempuan memenuhi kodratnya, melimpahi turunannya dengan pemeliharaan dan kasih sayang yang tiada gangguan, menjaga dan membesarkan turunan itu laksana burung menjaga anaknya. Di situ tidak ada lagi perempuan yang "senewen" karena tubuh dan jiwanya patah lelah tertimpa beban hidup sehari-hari, tidak ada Sarinah yang seperti gila menderita penyakit "retak". Dan sebagaimana tidak ada burung yang melepaskan anaknya sebelum berbulu, maka sungguh fitnah semata-mata perkataan orang, bahwa di dalam dunia baru itu anak dipisahkan dari ibunya. Tidak! Di dalam dunia baru itu anak tidak dipisahkan dari ibu, dan ibu tidak dipisahkan dari anak, melainkan hanyalah pemeliharaan anak itu mendapat bantuan besar dari pergaulan masyarakat. Kalau ibu pagi-pagi pergi ke pekerjaan di dalam masyarakat yang ia cintai, ia dapat menitipkan anak bayinya kepada "creches", yang menjaganya, memeliharanya, sampai nanti sore diambil lagi oleh ibunya.

Dan kalau pada waktu malam sang ibu perlu pula pergi ke rapat atau ke kursus atau ke gedung kumidi, maka pintu creches itupun terbuka pula untuk mengoper anak bayinya beberapa jam.

Demikianlah misalnya, bantuan masyarakat kepada pekerjaan Sarinah sebagai Ibu. Dengan bantuan itu maka kebahagiaan somah menjadi kebahagiaan yang sebenar-benar-nya. Jikalau benar ada kekeramatan somah, maka beginilah somah itu menjadi keramat sekeramat-keramatnya!

Sesungguhnya! Alangkah munafiknya pembela-pembela sistim masyarakat yang sekarang! Mereka "mengeramatkan" somah, mereka katanya melindungi somah, mereka menolak percampuran tangan dari masyarakat ke dalam urusan somah, tetapi justru sistim masyarakat yang mereka bela itu memecahkan kebahagiaan somah habis-habisan! Justru sistim masyarakat yang mereka ikuti itu mengisi somah dengan kepahitan-kepahitan yang tiada bilangan. Justru sistim masyarakat kapitalistis itu mengusir Sarinah pagi-pagi benar ke luar dari sarangnya, somah memeras dia laksana kain basah dalam pekerjaan budak sepanjang hari, mengembalikan dia jauh-jauh sore atau jauh-jauh malam dalam keadaan lelah badan dan lelah jiwa kepada somah, dan kemudian melabrak dia lagi dengan cambuknya pekerjaan-pekerjaan rumah- tangga yang bermacam-macam ragam sampai dia ambruk di tempat pembaringan, entah jam berapa di tengah malam? Inikah kekeramatan somah yang mereka hendak pertahankan? Sekali lagi: hanya bilamana batas antara somah dan pekerjaan tidak lagi tajam dan tidak lagi keras, hanya bilamana somah dan pekerjaan isi–mengisi satu sama lain, maka somah dapat menjadi keramat sejatinya keramat. Hanya bilamana demikian, maka somah benar-benar menjadi satu sarang.

Sarangnya Orang, sarang Manusia! Wanita sebagai Ibu memelihara anak, wanita sebagai Isteri dan Ibu memasak penganan ekstra atau memasak sendiri semua makanan kalau ia mau, wanita sebagai Isteri dan Ibu menjalankan rumah tangga, semuanya itu dalam kesenangan dan dengan kemerdekaan memilih, semuanya itu sebagai amal kasih dan amal bahagia. Semuanya itu sebagai amal kasih dan amal bahagia, berkat bantuan masyarakat, berkat percampuran tangan masyarakat yang berupa pengoperan sebagian besar fungsi-fungsi somah oleh masyarakat, dan berkat alat-alat teknik yang diasakan ke dalam somah oleh masyarakat itu. Tidakkah keramat sarang yang demikian itu? Sarang bahagia, dan bukan sarang ketidak-bahagiaan sebagai sediakala? Sarang bahagia, dari mana pada waktu pagi Sarinah dapat terbang keluar untuk dengan hak penuh mengembangkan kepribadiannya dalam masyarakat, dan kemana ia pada waktu sore dapat terbang kembali untuk dengan hak penuh mengembangkan dharmanya sebagai yang diberikan oleh kodrat alam kepadanya?

Henriette Roland Holst menamakan Dunia yang akan menjelmakan keadaan ini satu "sarang orang-orang yang bersahabat", satu "nest van genoten".

Satu Sarang Besar dari orang-orang yang bersahabat!

Dan di dalam Sarang Besar itu, demikianlah penglihatan saya, ribuan, milyunan sarang-sarang kecil.

Sarang-sarang kecil Manusia!

Sarang-sarang kecil Wanita Merdeka!

Mungkinkah Indonesia menjadi Sarang Besar yang demikian itu?

BAB VI: SARINAH DALAM PERJOANGAN REPUBLIK INDONESIA

sunting

Siapa yang memperhatikan benar-benar tingkat-tingkat pergerakan wanita sebagai yang saya gambarkan di muka tadi, akan dapat menentukan tepat pergerakan wanita Indonesia di derajat mana: Terutama sekali di zaman sebelum pecahnya perang Pasifik sebagian besar daripada pergerakan wanita Indonesia barulah menduduki tingkatan yang kesatu, – tingkat main puteri-puterian – yang telah dianggap basi di negeri lain berpuluh-puluh tahun yang lalu. Dan sebagian kecil menduduki tingkat yang kedua, yang di negeri lain pun telah menjadi tingkat yang telah lalu. Di zaman kolonial Belanda, maka hasil yang dicapai oleh pergerakan wanita Indonesia itu sungguh amat kecil: di dalam tahun 1941 diadakan hak pemilihan buat haminte yang sangat sekali terbatas, dan itu pun dengan aturan ... "vrije aangifte". Hasil ini amat kecil, jika dibandingkan dengan hasil hak pemilihan yang dicapai oleh wanita di negeri lain. Apakah ini mengherankan? Sudah tentu tidak! Sebab pemerintah Belanda adalah pemerintah Belanda, dan aksi wanita di Indonesia, jikalau dibandingkan dengan aksi suffragette di Inggeris misalnya, atau aksi Panitia-panitia Penyedar di Jermania, adalah laksana kucing dibandingkan dengan harimau. Manakala wanita Indonesia mengira, bahwa mereka dengan pergerakannya itu dulu telah ikut-serta secara "hebat" di dalam perjoangan evolusi kemanusiaan, baiklah mereka mencerminkan pergerakan mereka itu dalam kaca benggala pergerakan wanita di negeri lain. Alangkah kecil nampaknya! Alangkah jauh terbelakangnya! Alangkah tiada adanya ideologi sosial yang berkobar-kobar di dalam dadanya.

Sekarang kita telah merdeka. Kita telah mempunyai Negara.

Kita telah mempunyai Republik. Bagaimanakah aktivitas wanita di dalam Republik kita itu, bagaimanakah harusnya aktivitas wanita di dalam perjoangan Republik kita itu? Inilah soal yang amat penting, yang harus diinsyafi sungguh-sungguh oleh semua pemimpin wanita Indonesia. Malahan bila mungkin, jangan ada seorang wanitapun yang tidak insyaf, jangan ada seorangpun di antara mereka yang ketinggalan! Dengan tiada berfaham komunis saya dapat mengagumi ucapan Lenin: "Tiap-tiap koki harus dapat menjalankan politik".

Buat segenap wanita Indonesia itulah saya menulis kitab ini. Supaya mereka insyaf, supaya mereka ikut serta dalam perjoang-an, – supaya mereka mempunyai pedoman dalam perjoangan. Manakala La Passionaria (Dolores Ibarouri) di dalam Revolusi Spanyol berseru:

"Hai wanita-wanita Spanyol, jadilah revolusioner, – tiada kemenangan revolusioner jika tiada wanita revolusioner!", maka saya berkata:

"Hai wanita-wanita Indonesia, jadilah revolusioner, – tiada kemenangan revolusioner, jika tiada wanita revolusioner, dan tiada wanita revolusioner, jika tiada pedoman revolusioner!"

Ucapan saya ini adalah satu variant daripada ajaran yang terkenal: "Tiada aksi revolusioner, jika tiada teori revolusioner". "Teori tak disertai perbuatan, tiada tujuan, perbuatan tiada pakai teori, tiada berarah tujuan." Camkanlah ajaran ini! Janganlah mengira, bahwa segala apa yang saya tuliskan di dalam bab-bab di muka dan yang akan saya uraikan di dalam bab ini "terlalu teori". Amboi, umpama saya ada kesempatan memberikan sepuluh kali lebih banyak teori tentang soal wanita daripada ini, saya akan berikan! Sebab, ngawurlah orang yang bergerak tidak dengan teori! "Teori tak disertai perbuatan, tiada tujuan, perbuatan tidak pakai teori, tiada berarah tujuan". Demikianlah ajaran tadi. Lebih jitu lagi orang boleh berkata: Teori tak dengan perbuatan, mati! Perbuatan tak dengan teori, ngawur!

Sampai di manakah duduknya perjoangan kita, rakyat Indonesia, sekarang ini? Sejak tahun 1908 kita mengadakan pergerakan, sejak tahun 1908 kita siang dan malam seolah-olah demam dengan pergerakan. Sejak hampir 40 tahun kita tidak mengenal istirahat.

Sejak 17 Agustus 1945 kita mempunyai Negara, tetapi sejak itu pula kita malahan makin membanting tulang, makin "demam", makin seperti "keranjingan syaitan"! Arus perjoangan tidak berhenti-henti, arus perjoangan itu tidak mengenal ampun, terus menarik kita dan terus menghela kita. Sampai di manakah, sekarang, kita ini?

Tatkala Wahidin Sudirohusodo dalam tahun 1908 mendirikan Budi Utomo, dengan diikuti oleh cendekiawan-cendekiawan intelek bangsa, maka dadanya adalah penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala Umar Said Tjokroaminoto dengan suaranya yang seperti suara burung perkutut, bersama-sama dengan Haji Samanhudi, mendirikan Sarekat Dagang Islam, maka dadanya adalah penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala tidak lama kemudian daripada itu beliau merobah Sarekat Dagang Islam itu menjadi Sarekat Islam, maka dadanyapun penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala Ernest Douwes Dekker (Setiabudi) bersama-sama dengan Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (sekarang Ki Hajar Dewantara) mendirikan Nationaal Indische Partij, maka dada mereka penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala Semaun dan Alimin dan Muso dan Darsono membangkitkan Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyat, maka dadanya penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala Mohammad Hatta, dengan kawan-kawannya yang ulung, bergerak dalam Perhimpunan Indonesia, maka dadanya penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala Sutomo bersama-sama dengan kawan-kawannya intelektuil mendirikan P.B.I., mendirikan Parindra, mendirikan Bank Nasional, maka dadanya penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala saya bersama-sama dengan beberapa butir kawan mendirikan Partai Nasional Indonesia, dan kemudian menggerakkan partai itu menjadi partai yang dicintai rakyat, maka dada saya, alhamdulillah, penuh pula dengan rasa cinta tanah air. Tatkala kita pada 17 Agustus 1945 dengan tekad yang bulat dan keras laksana peluru baja mendirikan Republik, maka dada kita penuh dengan rasa cinta tanah air. Dan manakala kita sekarang mati-matian mempertahankan Republik itu, mati-matian membentengi Republik itu dengan kesetiaan kita, mati-matian merealisasikan isi semboyan kita "sekali merdeka, tetap merdeka", maka dada kita semua penuh meluap-luap menyala-nyala berkobar-kobar – dengan apinya cinta tanah air!

Sama-sama kita di dalam tempoh yang hampir 40 tahun itu merasakan cinta tanah air, sama-sama kita mengamalkan cinta tanah air. Tetapi pertimbangan yang mendorong kita kepada rasa dan kepada amal itu, tidak selamanya sama. Yang satu mengamalkan cinta tanah air, karena ia merasa perlu membela kepentingan-kepentingan golongan putera-puteri priyayi yang kurang pengajaran dan perlu diberi pengajaran, yang lain mengamalkan cinta tanah air karena perlu menyusun tenaganya golongan kaum dagang Indonesia yang selalu terdesak oleh saingan asing. Yang satu lagi mengamalkan cinta tanah air untuk melepaskan seluruh kaum atasan Indonesia dari ikatan penjajah-an agar supaya kaum atasan itu dapat berkembang, yang lain lagi mengamalkan cinta tanah air untuk membela kepentingan kaum tani dan agama yang diikutinya. Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyat mengamalkan cinta tanah air untuk menentang penghisapan golongan buruh dan tani oleh imperialisme, Parindra mengamalkan cinta tanah-air sebagai kampiunnya golongan yang agak atasan.

Semuanya mengamalkan cinta tanah air, malahan barangkali semuanya mengejar Indonesia Merdeka. Tetapi jikalau kita selidiki satu-persatu partai-partai itu, – sejak dari Budi Utomo, sampai ke Sarekat Dagang Islam, sampai ke Sarekat Islam, sampai ke Nationaal Indische Partij, sampai ke Partai Komunis Indonesia, sampai ke Sarekat Rakyat, sampai ke Parindra, sampai ke Partai Nasional Indonesia dan partai lain-lain – timbullah pertanyaan: dapatkah partai-partai itu dalam bentuknya yang dulu itu membawa rakyat Indonesia kepada kemerdekaan yang kekal dan abadi?

Inilah satu pertanyaan penting, yang harus dijawab, oleh karena jawabannya itu mengandung pengajaran buat perjoangan kita selanjutnya. Dan jawaban itu dengan jujur dan tegas haruslah berbunyi: Partai–partai itu di dalam bentuk dan politiknya yang dulu itu tidak dapat membawa rakyat Indonesia kepada kemerdekaan yang kekal dan abadi!

Oleh karena apa? Oleh karena partai-partai itu semuanya satu-persatu menderita kekurangan-kekurangan! Ambillah misalnya Budi Utomo. Jikalau umpamanya Budi Utomo hendak meng-ikhtiarkan Indonesia Merdeka, – dapatkah ia berhasil? Dengan apa? Dengan anggota-anggotanya yang tidak banyak itu, dan hampir semuanya bekerja kepada jabatan-jabatan pemerintahan asing? Dengan mencoba meyakinkan pihak Belanda, bahwa penjajahan tidak adil, dan kemerdekaan adil? Percobaan yang demikian itu akan sama sia-sianya dengan mendudukkan setetes air di punggung seekor itik! Atau ambillah Parindra. Jikalau umpamanya Parindra merobah Indonesia Rayanya dengan Indonesia Merdeka, dan berjoang untuk Indonesia Merdeka, dapatkah ia berhasil? Dia tidak dapat berhasil, oleh karena ia tidak mempunyai pengikut massa dan tidak cukup revolusioner.

Pernah dulu saya katakan di dalam satu karangan, bahwa "seribu dewa dari kayangan tak dapat membuat Parindra menjadi partai yang revolusioner" oleh karena buminya Parindra memang bukan kaum yang revolusioner, melainkan kaum pertengahan yang belum revolusioner. Atau, pembaca barangkali melayang-kan fikiran kepada Sarekat Islam, yang dulu terkenal sebagai satu partai rakyat yang terbesar, yang anggotanya pernah satu setengah milyun orang, yang pemimpinnya pernah ditakuti Belanda sebagai "de aanstaande Koning der Javanen"? Saya pernah duduk di tengah-tengah kancah Sarekat Islam itu. Enam tahun lamanya saya pernah berdiam di bawah satu atap dengan pemimpinnya yang utama itu. Tetapi justru karena itu, saya mengetahui kekurangan-kekurangannya Sarekat Islam. Sarekat Islam adalah satu partai yang massal, tetapi ia bukan partainya massa. Programnya kurang tegas. Banyak kaum tani menjadi anggotanya, tetapi ada pula tuan tanah, banyak pula saudagar-saudagar dan pedagang pertengahan, pegawai-pegawai pemerintah Belanda, bangsawan yang ternama. Ia tidak tegas menentang imperialisme dan tidak menuntut kemerdekaan mutlak; kapitalisme yang ia perangi ialah, – demikian tertulis di dalam programnya – , hanya "zondig kapitalisme" belaka. Akibat daripada melayani kepentingan-kepentingan yang bertentangan satu sama lain itu tadilah, logis membawa Sarekat Islam kepada perpecahan: Tjokro c.s. – Semaun c.s. Dengan segala hormat kepada almarhum Tjokroaminoto yang saya cintai, saya berkata: Sarekat Islam tidak mungkin membawa kita kepada kemerdekaan! Dan partainya Semaun c.s. yang justru memisah-kan diri dari Sarekat Islam, karena kekurangan-kekurangan Sarekat Islam itu – bagaimanakah dengan Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyatnya? Tidakkah mereka akan dapat mencapai Indonesia Merdeka? Sebab tidakkah mereka revolusioner? dan tidakkah mereka berhubungan rapat dengan massa? Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyat, di dalam bentuknya dan politik-nya yang dulu, tak dapat mencapai Indonesia Merdeka, oleh karena mereka justru tidak "tepat" politiknya itu, yaitu membuat satu kesalahan fundamentil dalam mengira bahwa kini sudah datang waktunya untuk revolusi sosial. Dan Partai Nasional Indonesia pun, partai saya sendiri dulu, di dalam bentuknya dan politiknya yang dulu, tak akan dapat mencapai Indonesia Merdeka, oleh karena ia terlalu memandang perjoangan rakyat Indonesia itu sebagai satu perjoangan nasional tersendiri, dan kurang memperhatikan kedudukan perjoangan rakyat Indonesia itu sebagai satu bagian daripada satu Revolusi Besar Internasional.

Lihat – alangkah pentingnya pengalaman-pengalaman yang saya sebutkan di atas itu. Kita sekarang telah merdeka, kita sekarang telah mempunyai Republik, tetapi manakala kita tidak memperhatikan pengalaman-pengalamannya sejarah dan tidak memberi bentuk dan politik yang benar kepada perjoangan kita, – tidak menjalankan perjoangan kita itu dengan sifat yang benar dan pada tempat yang benar -, maka kemerdekaan itu mungkin terbang ke awang-awang. Maha Besar dan Maha Terpujilah Tuhan Rabbulalamin, bahwa rakyat Indonesia telah merdeka, tetapi untuk memiliki kemerdekaan itu buat selama–lamanya dan mengisinya dengan kesejahteraan sosial, – untuk itu perlulah penglihatan yang tepat dan usaha-usaha yang tepat pula. Mencapai kemerdekaan alhamdulillah sudah, memiliki terus kemerdekaan itu kini menjadi tugas.

Maka perlulah kita mengupas beberapa soal. Soal-soal sebagai misalnya: Haruskah kita terus revolusioner? dan apa yang dinamakan revolusioner? – dapatkah kita pisahkan Revolusi Indonesia daripada Revolusi Besar Internasional? – haruskah kita sekarang ini menjalankan Revolusi Sosial, ataukah harus kita pusatkan sifat Revolusi kita sekarang ini kepada sifat Revolusi Nasional? – atau haruskah kita jalankan Revolusi Sosial dan Revolusi Nasional itu simultan, serentak bersama-sama? dan kalau sifat Revolusi kita itu masih harus sifat nasional, buat apa program kesejahteraan sosial? – bagaimana caranya kita menuju kepada kesejahteraan sosial itu? – dapatkah kita menyelesaikan Revolusi itu tidak dengan massa, dan bagaimana jalannya supaya Revolusi itu tetap Revolusinya massa? – bagaimana kewajiban wanita di dalam Revolusi yang berisi sekian banyak soal–soal itu, supaya Revolusi itu menjaminkan kedudukan sebaik–baiknya kepada wanita di kemudian hari? – soal-soal sebagai ini harus berani kita hadapi, harus kita fikir-fikirkan, harus kita pecahkan. Tidak ada gunanya menghindari soal-soal ini, – semuanya toh pasti akan menerkam kita. Dan mati hidup kita sebagai bangsa tergantung dari padanya!

Pukul 10 pagi, 17 Agustus 1945, Sang Merah Putih naik di angkasa Jakarta, Pegangsaan Timur 56. Apa yang terjadi di sana itu, dan di seluruh Indonesia di hari-hari yang kemudiannya, adalah satu peristiwa revolusioner. Sebab pada hari itu dirobek konstitusi Belanda yang menya-takan Indonesia menjadi satu bagian dari Kerajaan Belanda. Tetapi tidak saja yuridis, dan tidak saja politis, peristiwa itu adalah peristiwa revolusioner, – sosial (maatschappelijk) pun ia adalah pula satu peristiwa revolusioner. Sebab Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah kita maksudkan sebagai langkah pertama ke arah penyeleng-garaan satu tujuan sosial yang revolusioner, yaitu: satu pergaulan hidup Indonesia yang tidak berkapitalisme, satu pergaulan hidup di Indonesia yang sama sekali berazaskan azas-azas lain daripada yang sudah-sudah, satu pergaulan hidup kesejahteraan sosial, sebagai bagian daripada pergaulan hidup dunia yang berkesejahteraan sosial. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia kita lakukan bukan untuk feitnya proklamasi belaka, Negara Republik Indonesia kita bangunkan bukan hanya untuk mempunjai negara belaka, kita laku-kan tindakan-tindakan itu sebagai pucukan perjoangan sosial yang revolusioner, – sebagai syaratnya satu perjoangan untuk melaksanakan satu prinsip sosial yang revolusioner. Undang-undang Dasar Negara yang kita susun, adalah menunjukkan dengan nyata arah yang revolusioner itu: mukaddimmahnya yang mengatakan bahwa:

"Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam satu Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang ber-kedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: ke – Tuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia " , – mukadammah undang-undang dasar kita ini dengan nyata menegaskan bahwa Republik diadakan untuk penyelenggaraan satu tujuan sosial yang revolusioner. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah satu langkah yang pertama, kata saya tadi, ke arah penyelenggaraan satu tujuan sosial yang revolusioner! Dan langkah pertama ke arah penjelenggaraan satu tujuan yang revolusioner, adalah revolusioner! Dan penyelenggaraan tujuan itu, – dari langkah pertamanya sampai kepada ujung akhirnya -, adalah pula revolusioner!

Tetapi kecuali daripada itu, peristiwa menjadi merdekanya suatu bangsa yang tadinya dijajah oleh imperialisme bangsa lain, – merdeka betul-betul merdeka, dan bukan merdeka boneka, – adalah satu peristiwa revolusioner, oleh karena peristiwa itu tidak dapat dihidangkan secara konstitusionil: Tidak dapat "diatur", "disedia-sediakan", "dihadiahkan" secara konstitusionil menurut hukum, pada jam itu dan hari itu, dalam bulan sekian dan tahun sekian. Merdekanya sesuatu bangsa yang tadinya dijajah oleh imperialisme, adalah satu peristiwa yang sama sekali bersangkut-paut dengan situasi- situasi revolusioner. Dan situasi-situasi revolusioner itu tidak dapat diatur atau disedia-sediakan lebih dulu secara konstitusionil. Dan tidak akan – tidak mungkin! – sengaja diatur atau disediakan secara konstitusionil. Sapi dan kerbau harus bisa terbang lebih dahulu, sebelum sesuatu negara imperialis mengatur dan menyedia-nyediakan dengan sengaja situasi-situasi revolusioner untuk memungkinkan kemerdekaan bangsa yang daripadanya ia menghisap zat-zat untuk hidupnya atau kesejahteraannya! "Tak pernah sesuatu kelas dengan suka-rela melepaskan kedudukannya yang berlebih", demikianlah ucapan Marx yang terkenal. Oleh karena itulah pula, maka merdekanya sesuatu bangsa jajahan adalah satu peristiwa revolusioner. Tergantung dari situasi-situasi revolusioner itulah, apakah lahirnya bayi merdeka itu disertai oleh pertumpahan darah yang banyak atau tidak. Bukan adanya atau tidak adanya pertumpahan darahlah yang menentukan sesuatu kejadian bersifat revolusioner atau tidak revolusioner, tetapi isinya kejadian itu! Sering kali banyak darah ditumpahkan justru oleh anasir-anasir reaksioner.

Merdekanya sesuatu bangsa jajahan adalah satu peristiwa dalam proses revolusi kemerdekaan seluruh kemanusiaan, satu cincin dalam rantai revolusi kemerdekaan seluruh kemanusiaan. Ia dus revolusioner, ia tidak konstitusionil. Adakah Proklamasi 17 Agustus konstitusionil? Kaum reaksi malahan mencoba membatalkan kemerdekaan kita itu dengan alasan-alasan konstitusionil! Bumi dan langit ia goyangkan untuk mengeritiki kemerdekaan kita itu dengan alasan-alasan konstitusionil, segala kentongannya ia pukul untuk mengajak segala kaum reaksi sedunia untuk mereduksi soal Indonesia menjadi satu soal kecil "urusan dalam negeri" konstitusionil! Tetapi ia tidak akan berhasil, ia pasti akan kandas. Sebab memang bukan sesuatu pekerjaan konstitusionil, melainkan situasi-situasi revolusioner yang telah menelorkan kemerdekaan Indonesia itu, dan karenanya tiada kekuatan manusia apapun dapat menghapuskannya, tiada muslihat manusia apapun dapat meniadakannya.

Di dalam tahun 1929 saya tahu bahwa situasi-situasi revolusioner itu akan datang, dan kemerdekaan Indonesia telah saya lihat menyingsing di cakrawala. – Dengan hati yang berdebar debar karena rasa kegembiraan yang tak tertahan, di dalam tahun 1929 itu terlepaslah dari mulut saya kalimat yang terkenal: "Kaum imperialisme, awaslah! Awas! Jikalau nanti geledek Perang Pasifik menyambar-nyambar dan membelah angkasa, jikalau nanti air Samudera Teduh menjadi merah, dan bumi di sekelilingnya menggempa karena ledakan bom dan dinamit, di situ rakyat Indonesia akan melepaskan belenggu-belenggunya, di situ rakyat Indonesia akan merdeka!"

Ucapan ini bukan satu "nujuman". Ia bukan pernyataan seorang-orang yang melihat gambar hari kemudian terlukis dalam rangkaian bintang-bintang di langit.

Ia bukan pula keluar dari mulutku karena dorongan harapan berdasar "wishfull thinking". Bukan pula sekedar hasutan kepada rakyat semata-mata, meskipun Belanda sudah barang tentu demikian menganggapnya dan melemparkan saya dalam penjara bertahun-tahun. Ia adalah hasil perhitungan akan datangnya situasi–situasi revolusioner, dan perhitungan akan mempergunakan situasi–situasi revolusioner itu.

Di dalam tahun 1929 itu sudah terang bagi saya, bahwa peperangan Pasifik pasti akan pecah. Tidak ada satu kekuatan duniawipun dapat mengelakkannya. Kapitalisme yang makin lama makin memonopoli, lapangan persaingannya yang makin lama makin sesak sehingga laksana mencekek nafas, antitese-antitese yang laksana hendak merobek-robek dadanya, garis hidupnya yang makin lama makin menyatakan, bahwa ia telah turun (telah "im Niedergang") dan megap-megap mencari nafas dan pasti akan mengalami bencana bilamana tidak dipecahkan kebuntuan yang mencekek nafas itu, usaha-usaha mati-matian untuk menyelamatkan kapitalisme itu dengan fasisme yang main labrak dengan cambuk konsentrasi kamp dan main drel dengan senapan mesin, – semua itu membuktikan, bahwa kapitalisme sedang mengalami krisis yang maha-maha hebat; dan bahwa krisis itu pasti akan mengklimaks dalam satu peperangan mati-matian yang seru dan seramnya belum pernah dialami oleh kemanusiaan, satu peperangan dunia yang tidak saja akan mempuingkan muka bumi di dunia Barat, tetapi juga akan menggeledek dan menghalilintar di dunia Timur.

Pasti peperangan itu datang, segenap urat-urat dan saraf-saraf kapitalisme telah nampak menggeletar dan terpasang segenting-gentingnya, – pasti peperangan itu datang, hantu-hantunya telah mengintai di cakrawala! Dan pasti, tiada ampun, – itu saya tahu -, imperialisme Belanda, akan terseret-serta di dalam hamuknya taufan prahara peperangan itu, dan pasti pula, tiada ampun, ia akan terhantam remuk-redam atau hampir remuk-redam oleh hantaman palu-palu godamnya!

Dan jikalau nanti imperialisme Belanda telah remuk-redam atau hampir remuk-redam, maka itu adalah satu situasi revolusioner. Satu situasi revolusioner yang akan menjadi satu anasir–obyektif yang baik untuk melepaskan Indonesia dari cengkereman imperialisme Belanda itu. Manakala kita tidak cukup kekuatan untuk melepaskan diri kita dari cengkeraman imperialisme itu semasa ia masih segar bugar, maka haruslah kita menunggu kesempatan dan mempergunakan kesempatan yang ia berada di dalam keadaan lemah atau remuk. Tetapi untuk dapat mempergunakan kesempatan itu, kita sendiri harus kuat. Kita harus menyusun anasir-subyektif untuk dapat mempergunakan kesempatan itu: kita harus menyusun tenaga-tenaga kita, menebalkan tekad kita, melatih ketangkasan kita, menggembleng barisan-barisan kita, mengkongkritkan kemauan nasional kita.

Di samping situasi revolusioner yang obyektif yang berupa lemahnya atau remuk-nya imperialisme Belanda itu, harus dibangunkan (dan kita bangunkan) situasi revolusioner yang subyektif yang berupa penghebatan serta konkretisasi kemauan revolusioner dan tenaga revolusioner kita. Dan situasi revolusioner yang subyektif itu nanti harus kita gempurkan sehebat-hebatnya pada waktu situasi revolusioner yang obyektif sedang masak semasak-masaknya. Dan pada saat dua situasi revolusioner ini bertemu satu sama lain laksana cetusan antara dua poolnya lading elektris yang bertrilyun-trilyun volt, pada saat itu gugurlah dengan suara gemuruh yang terdengar dari ujung dunia yang satu sampai ke ujung dunia yang lain, kerajaan Belanda di dunia Timur.

Pada saat itulah Banteng Indonesia akan meraung:

Merdeka, Indonesia telah merdeka, Sekali merdeka, tetap merdeka!

Demikianlah visiun kejadian yang akan datang yang saya lukiskan di dalam tahun 1929. Maka teranglah: Terjadinya situasi revolusioner obyektif itu tadi bukan satu hal konstitusionil, pembangunan situasi revolusioner subyektif itu pula sama sekali bukan satu perbuatan konstitusionil, dan pertemuan dua situasi revolusioner itu pun jauh daripada bersifat konstitusionil. Tidak, peristiwa merdekanya Indonesia adalah satu peristiwa revolusioner! Revolusioner di dalarn terjadinya, revo-lusioner di dalam kedukukannya, revolusioner di dalam tujuannya! Revolusioner di dalam tujuannya, oleh karena ia, sebagai tadi saya katakan, adalah satu langkah pertama ke arah penyelenggaraan satu tujuan sosial yang revolusioner, revolusioner pula di dalarn kedudukannya oleh karena ia (nanti saya jelaskan) satu bagian daripada satu proses dunia yang revolusioner.

Revolusioner di dalam tujuannya! Di sinilah tempatnya saya meninjau soal: Tidakkah sekarang telah tiba saatnya untuk memulai Revolusi Sosial? Mengapa Revolusi Sosial itu masih dianggap tujuan ? Belum dapatkah kita sekarang menjelmakannya, – merealisasikannya? Kaum wanita, yang membaca uraian-uraian saya di bab-bab yang di muka ini, sudah barang tentu ada yang tertarik oleh uraian tentang maksud dan tujuan pergerakan wanita tmgkat ketiga, dan berkeyakinan juga bahwa hanya di masyarakat sosialislah wanita dapat menjadi wanita yang merdeka. Memang, jikalau di antara pembaca-pembaca wanita ada yang memperoleh keyakinan demikian sebagai hasil membaca kitab saya ini, jikalau di antara pembaca-pembaca wanita itu sebagian besar lantas mengerti kekurangan-kekurangan feminisme atau neo-feminisme dan mengerti, bahwa soal wanita hanyalah dapat memperoleh pemecahannya yang sempurna dalam Dunia Baru yang berkesejahteraan sosial, maka sayalah yang paling bersyukur, sayalah yang paling berbahagia.

Memang untuk memberi keyakinan yang demikian itulah salah satu maksud tangan saya menggoyangkan pena! Tetapi saya pun sedar, bahwa saya masih harus menarik terus garis penerangan saya itu lebih jauh. Saya sedar, bahwa justru oleh karena tertarik oleh kebenaran pendirian "tingkat ketiga" itu, sebagian dari pembaca-pembaca lantas berfikiran: "Ha, tingkat ketigalah yang benar, tingkat ketigalah yang memberi pemecahan soal wanita yang memuaskan, marilah kita pusatkan segala perhatian kita dan keaktivan kita sekarang juga kepada Revolusi Sosialisme! Maka oleh karena itulah lantas mendesak kemuka soal:

Sudahkah sekarang tiba waktunya bagi kita untuk Revolusi Sosialisme? Untuk meniadakan tiap-tiap sesuatu yang berbau kapitalisme? Untuk membasmi borjuasi nasional? Untuk menghapuskan apa saja yang masih bercorak feodal? Untuk melabrak tiap-tiap sesuatu yang masih belum bersifat sosialistis?

" Kesejahteraan sosial " . Dua perkataan yang di dalam Revolusi kita ini telah amat termasyhur! Tetapi justru juga dua perkataan yang mewajibkan kita berfikir dalam-dalam.
"Kesejahteraan sosial"! Ambillah misalnya pergaulan hidup dalam kelompok. Di dalam pergaulan hidup kelompok itu tentu tidak ada kapitalisme, tentu tidak ada borjuasi, tentu tidak ada feodalisme.

Apakah pergaulan hidup kelompok itu "berkesejah-teraan sosial"?

Atau ambillah pergaulan hidup dalam gens, di zamannya matriarchat. Juga di situ tidak ada kapitalisme, tidak ada borjuasi, tidak ada feodalisme. Malah di situ menurut pendapat Engels atau Muller Lyer ada "oercommunisme". Tetapi adakah di situ kesejahteraan sosial?

Apakah yang dinamakan kesejahteraan sosial? Apakah satu masyarakat, yang di dalamnya tidak ada kapitalisme, tidak ada borjuasi, tidak ada feodalisme, – yang di dalamnya ada " sama rasa sama rata", tetapi yang di dalamnya misalnya orang harus berjalan kaki atau menaik gerobak kerbau kalau hendak pergi dari Bandung ke Surabaya, karena tidak ada oto atau kereta api; yang di dalamnya orang harus hidup dalam gelap gulita pada waktu malam karena tidak ada listrik ataupun minyak tanah; yang di dalamnya orang bodo plonga plongo karena tidak ada percetakan yang mencetak buku-buku atau surat-surat khabar; yang di dalamnya orang harus menderita banyak penyakit oleh karena tidak ada paberik yang membuat keperluan pengobatan; yang di dalamnya tiap-tiap tahun di tiap-tiap sungai orang harus lagi-lagi membuat bendungan-bendungan air – pengairan oleh karena di dalam tiap-tiap musim-hujan dam-dam semuanya dadal sebab tidak terbuat dari besi dan beton; yang di dalamnya produksi sawah paling mujur hanya padi sekian kwintal sebau, dan palawija sekian pikul sebau oleh karena pertanian masih dijalankan secara di zaman Nabi Adam, dan tidak ada alat-alat untuk mengolah sawah-sawah itu secara semanfaat-manfaatnya; pendek kata: satu masyarakat kuno-kuno-mbahnya-kuno dengan tiada oto, dengan tiada kereta api, dengan tiada paberik-paberik, dengan tiada surat-surat khabar, dengan tiada radio, dengan tiada rumah-rumah sakit, dengan tiada kapal-kapal, dengan tiada korek api, dengan tiada buku-buku, tiada aspal, tiada sepeda, tiada semen, tiada sekolah, tiada ... ya, entah tiada apapun namanya lagi, – dapatkah masyarakat yang demikian itu, walaupun di dalamnya tidak ada kapitalisme, tidak ada borjuasi, tidak ada feodalisme, dan ada " sama rasa sama rata", – dapatkah masyarakat yang demikian itu bernama masyarakat yang "berkesejahteraan sosial"?

Sudah tentu tidak! Masyarakat yang demikian itu bukan masyarakat kesejahteraan sosial, masyarakat yang demikian itu bukan masyarakat sosialisme.

Masyarakat yang demikian itupun tidak mungkin dapat berdiri teguh di dalam dunia kapitalistis yang sekarang.

Ia segera akan menjadi mangsanya imperialisme, yang sedikit-nya akan membanjiri dia dengan barang-barang modern buatan industrialismenya.

Apakah arti sosialisme? Ya, saya menanya: Apakah arti sosialisme?" Sosialismekah kalau orang masih harus berjalan kaki kalau bepergian jauh? Sosialismekah kalau produksi hanya sedikit dan distribusi tidak teratur sentral karena tidak ada banyak alat-alat transport yang mekhanis? Sosialismekah kalau banyak obrolan omong kosong, karena hanya sedikit orang saja dapat membaca, menulis, mengetahui khabar dunia?

Sosialisme kah kalau wanita di rumah lampunya lampu minyak kelapa atau lampu biji jarak, meniup-niup api di dapur tiap-tiap kali ia hendak menanak nasi, memintal dan menenun sendiri tiap-tiap jengkal bahan baju anaknya atau suaminya karena memang tidak ada paberik tenun yang menenun tekstil?

Sosialisme berarti adanya paberik yang kolektif. Adanya industrialisme yang kolektif. Adanya produksi yang kolektif. Adanya distribusi yang kolektif. Adanya pendidikan yang kolektif. Sosialisme berarti adanya banyak otomobil, adanya radio, adanya telepon, adanya telegrap, adanya kereta api, adanya kapal udara, adanya aspal, adanya water leiding, adanya listrik, adanya gambar hidup, adanya buku-buku, adanya perpustakaan, adanya ilmu tabib, adanya aspirin, adanya sekolah rendah, adanya sekolah tinggi, adanya traktor, adanya irigasi, dll, semuanya secara mempunyai jumlah minimum, dan semuanya, (saya pinjam perkataan Bakounin, walaupun ia orang anarchist) "di dalam suasana kolektivitas". Alat-alat teknik, dan terutama sekali semangat gotong–royong yang telah masak, itulah soko-gurunya pergaulan hidup sosialistis. Sosialisme adalah kecukupan pelbagai kebutuhan dengan pertolongan modernisme yang telah dikolektivisasikan. Sosialisme adalah "keenakan hidup yang pantas" Kecukupan pelbagai kebutuhan itu, adanya "keenakan hidup yang pantas" itu, hanyalah mungkin dengan adanya dan dipergunakannya "secara sosial" alat–alat teknik.

Satu masyarakat yang belum dapat memenuhi syarat-syarat teknik itu sampai kepada sedikitnya satu tingkat minimum yang tertentu, tak mungkin mampu menjelmakan sosialisme!

Sudahkah kemajuan masyarakat kita sekian jauhnya? Sudahkah masyarakat kita politik cukup merdeka, untuk menyediakan "syarat-syarat teknik" sampai kepada sedikitnya satu tingkat "minimum" itu? Pada saat saya menuliskan pertanyaan-pertanyaan ini, lampu yang menyinari kertas saya ialah lampu lilin, karena aliran listrik diputuskan Belanda di Tuntang, dan di berpuluh-puluh tempat dalam Republik, mortir dan bren-gun Belanda berdentam-dentam. Negara Indonesia dalam bahaya! Dapatkah satu Negara, yang sedang dikepung dan diserang oleh musuh, melaksanakan sosialisme? Dan andaikata Belanda tidak mengepung dan tidak menyerang negara kita, sekali lagi saya tanyakan, dapatkah kita sekarang, – sekarang! – , telah melaksanakan sosialisme?

Negara Indonesia dalam bahaya. Memang bahaya ini adalah satu fase, satu tingkat, dalam usaha kita mendirikan negara yang merdeka. Justru oleh karena proklamasi kemerdekaan kita satu kejadian yang tidak konstitusionil, justru oleh karena tindakan kita memerdekakan Indonesia itu satu tindakan yang revolusioner, maka tidak boleh tidak Negara Indonesia harus melalui satu fase "dalam bahaya". Tidakkah tadi telah saya sitirkan ucapan, bahwa tak pernah sesuatu kelas dengan sukarela melepaskan kedudukannya yang berlebih? Pekerjaan kita mendirikan negara belum selesai, Revolusi Nasional kita belum berakhir. Revolusi Nasional kita malah sedang menggelora-menggeloranya! Pekerjaan mendirikan negara itu sedikitnya harus selesai lebib dahulu, sebelum kita dapat memasuki fase sosialisme.

Bangsa Indonesia sedang di dalam Revolusi. Tetapi Revolusi bukanlah sekedar satu "kejadian" belaka. Revolusi adalah satu proses. Puluhan tahun, kadang-kadang, berjalannya proses itu. Revolusi Perancis berjalan delapan puluh tahun, Revolusi Rusia empat puluh tahun, Revolusi Tiongkok sampai sekarang pun belum selesai. Revolusi kita pun tentu akan memakan waktu bertahun-tahun, kalau tidak berpuluh-puluh tahun juga. Pasang naik dan pasang surut akan kita alami berganti-ganti, pasang naik dan pasang surut itulah yang dinamakan irama Revolusi! Tetapi geloranya samudra tidak berhenti, gelora samudra berjalan terus. Sejarah berjalan terus, dan klimaks sejarah (atau "inspirasi yang menghamuk" daripada sejarah) yang bernama Revolusi itu pun berjalan terus, melalui beberapa fase.

Revolusi adalah "hamuknya" tenaga-tenaga masyarakat, tetapi tenaga-tenaga itu bukan hanya tenaga-tenaga yang menghantam, menggempur, menghancurleburkan saja, – tenaga-tenaga itu ada pula yang menyusun, membina, membangun. Revolusi bukan hanya proses yang destruktif, ia juga satu tenaga besar yang konstruktif. Keadaan-keadaan dalam masyarakat yang telah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan-kebutuhan baru, ia hantam, ia matikan, ia hancurleburkan, – keadaan-keadaan baru yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan baru ia bangunkan. Dan di dalam tiap-tiap fase Revolusi, maka tenaga-tenaga destruktif dan konstruktif itu bekerja serempak, bekerja simultan.

Sebagaimana di dalam faIsafah Hindu destruktivismenya Syiwa dan konstruktivismenya Wisynu bekerja serempak simultan, maka demikian pula di dalam tiap-tiap fase daripada Revolusi, destruksi dan konstruksi berjalan serempak simultan.

Apakah fase-fasenya Revolusi kita? Kita mengalami fase nasional, dan akan mengalami fase sosial: fase nasional dalam mana kita mendirikan Negara Nasional, dan fase sosial dalam mana kita mendirikan sosialisme. Dalam fase nasional tenaga-tenaga destruktif dan konstruktif bekerja simultan, dalam fase sosial pun tenaga-tenaga destruktif dan konstruktif bekerja simultan. Eposnya permainan bersama antara hamuknya tenaga-tenaga destruktif dan konstruktif itu sekarang sedang berjalan dengan dahsyatnya, gegap gempitalah permainan bersama itu hingga menggoncangkan seluruh dunia. Di dalam fase sekarang ini (fase nasional), maka dihantam digempur diremukredamkan rantai-rantai politik, belenggu-belenggu ekonomi, hukum-hukum penjajahan kolonial, tetapi simultan dengan itu digembleng-dibangunkanlah Negara Baru. Pemerintahun Baru, hukum-hukum dan anggapan-anggapan baru, alat-alat produksi baru, orang-orang produsen baru. Dan bukan saja untuk fase yang sekarang semata-mata! Tetapi di dalam fase yang sekarang ini akan mulai juga berangsur-angsur disiap-siapkan dan disedia-sediakan syarat-syarat untuk berlakunya fase sosial yang akan datang, sebagai misalnya alat–alat teknik dan alat–alat jiwa yang saya maksudkan di muka tadi. Demikian pula, maka di dalam fase sosial bukan saja akan dihancurkan dan dibinasakan segala anasir-anasir kapitalisme, serta dibangunkan dan disuburkan simultan dengan itu anasir-anasir kesejahteraan sosial, tetapi juga akan dipelihara beberapa anasir yang telah terbentuk di dalam fase yang terdahulu, yaitu fase nasional. Fase yang satu dus tidak terpisah dari fase yang lain secara tajam laksana terpisahnya lautan dari daratan atau laksana terpisahnya bilik yang satu dari bilik yang lain, tetapi dua fase itu "sambung-sinambung" satu sama lain laksana "fase kanak-kanak" dan "fase dewasa" di dalam hidupnya manusia atau binatang.

Perhatikan: laksana fase kanak-kanak dan fase dewasa dalam hidupnya manusia atau binatang! Artinya, dua fase ini sendiri–sendiri harus ada, dua fase ini yang satu mendahului yang lain, dan yang lain mengikuti yang satu, – tetapi tidak dapat dua fase ini terjadi berbareng sekaligus, tidak dapat fase dewasa terjadi dengan tidak didahului lebih dahulu oleh fase kanak-kanak. Fase Nasional dan fase Sosial daripada Revolusi kita ini dua-duanya sendiri-sendiri harus ada, tidak dapat Fase Sosial terjadi sebelum selesal lebih dahulu Fase Nasional, tidak dapat pula Fase Nasional dan Fase Sosial terjadi berbareng sekaligus. Ini harus dikemukakan di sini dengan tegas, sebab di dalam kalangan kaum pergerakan Indonesia masih ada orang-orang yang masih berpenglihatan kabur tentang hal ini. Tatkala Revolusi kita baru berlaku beberapa bulan saja, maka dari kalangan beberapa pemuda Indonesia, saya beberapa kali mendengar ucapan-ucapan yang isi maksudnya ialah: Nah, kita sekarang sudah merdeka, kita sekarang sudah ber-Republik, mari kita sekarang segera mulai mengadakan Revolusi sosial!

Hantam-kromo saja mau segera mengadakan revolusi sosial? Seolah-olah sesuatu revolusi, – apa lagi revolusi sosial – dapat "diadakan"! Seolah-olah sesuatu revolusi dapat "dibikin" oleh seseorang pemimpin, dan misalnya disuruh mulai pada bulan sekian, hari tanggal sekian, jam sekian! Seolah-olah Marx tidak pernah berkata, bahwa sesuatu revolusi bukanlah anggitan seseorang revolusioner "pada suatu malam yang ia tak dapat tidur"! Seolah-olah revolusi bukan satu proses masyarakat yang digerakkan oleh tenaga-tenaga masyarakat itu sendiri, – bukan oleh si agitator, bukan oleh si demagoog, bukan oleh si penganjur, bukan oleh si pemimpin!

Di dalam tahun 1927 dan 1928 saya mengalami kesulitan-kesulitan yang semacam dengan itu pula. Imperialisme Belanda pada waktu itu baru saja mengamuk tabula rasa di kalangan kaum komunis. Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyat dipukulnya dengan hebatnya, ribuan pemimpinnya dilemparkannya dalam penjara dan dalam pembuangan di Boven Digul. Untuk meneruskan perjoangan revolusioner, maka saya mendirikan Partai Nasional Indonesia. Beberapa saudara komunis yang dapat menyelamatkan diri dari hamuk tabula rasanya pemerintah Belanda itu, di dalam perbantahan dalam kamar tertutup selalu mengemukakan kepada saya:

"Saudara anti kapitalisme, saudara bercita-cita sosialis, kenapa saudara tidak mulai sekarang saja mengadakan aksi sosialis, Mengapa saudara mengadakan pergerakan nasional lebih dahulu? Saudara mengadakan dua kali perjoangan Mengapa saudara tidak mengadakan satu kali perjoangan saja, supaya sosialisme lekas tercapai?

Selalu saya menghadapi kenyataan, bahwa orang belum mengerti bahwa Revolusi adalah satu proses. Satu proses yang bertingkat-tingkatan, satu proses masyarakat yang timbul dari tenaga-tenaga immanent dalam masyarakat itu sendiri. Kita dapat meneruskan tingkatan revolusi yang satu kepada tingkatan revolusi yang lain, kita dapat menyambungkan tingkatan yang satu kepada tingkatan yang lain, tetapi kita tidak dapat melangkahi tingkatan revolusi yang satu, dan terus melompat saja ke tingkatan revolusi yang lain, atau memborong tingkatan revolusi yang satu berbarengan dengan tingkatan revolusi yang lain. Kita dapat mencoba mempercepat jalannya tingkatan revolusi yang satu, agar segera dapat disusul oleh tingkatan revolusi yang lain, kita malahan harus menganggap tingkatan revolusi yang satu itu sebagai ketentuan bagi (batu loncatan kepada) tingkatan revolusi yang lain, tetapi kita tidak dapat meniadakan tingkatan yang satu untuk segera mendapat tingkatan yang lain. Tingkatan yang satu mempunyai periode sendiri dan kewajiban sendiri, tingkatan yang lainpun mempunyai periode sendiri dan kewajiban sendiri.

Tidak dapat kewajiban tingkatan yang kemudian disuruh menyelesaikan oleh tingkatan yang terdahulu, tidak dapat kewajiban tingkatan yang terdahulu ditunda kepada tingkatan yang kemudian. Siapa yang menginsyafi hal-hal ini semuanya dengan benar-benar, bertindak sesuai dengan keinsyafan itu, berjoang, membanting tulang mati-matian untuk mempercepatkan jalannya dan terlaksananya tingkatan-tingkatan revolusi itu, dia adalah benar-benar revolusioner, dan siapa yang tidak mengindahkan adanya tingkatan-tingkatan itu, dan mau main "radikal-radikalan" melompati sesuatu tingkatan atau memborong sekaligus semua tingkatan, dia, meski dengan suara yang menggeledek dan mengguntur dan muka merah padam seperti udang mengatakan dirinya revolusioner, dia tidak revolusioner. Sebab dia hendak mengerjakan satu hal yang mustahil, – hendak mengerjakan satu hal yang sosial – mustahil! Dan – dia tidak radikal pula, meskipun dia mengira bahwa dia radikal. Dia tidak revolusioner oleh karena tidak mengerti proses revolusi dan tidak berjoang menurut proses revolusi; dia tidak radikal, oleh karena tidak ada radikalisme sejati yang bertentangan dengan proses revolusi.

Lilin di hadapan kertas saya tetap menyala! Satu simbul, bahwa Revolusi kita tetap berjalan. Paberik listrik di Tuntang boleh dikuasai oleh Belanda, – Revolusi kita dalam arti yang luas akan berkobar terus, rakyat kita akan berjoang terus memper-tahankan Negaranya.

Satu hari akan datang yang Sang Merah Putih akan berkibar dengan tiada gangguan, di Tuntang, di Semarang, di Surabaya, di Jakarta, di Bandung, di tempat-tempat yang kini diduduki oleh Belanda, – di seluruh Indonesia! Satu hari akan datang, yang imperialisme di Indonesia betul-betul mati binasa, yang Negara kita tidak lagi dalam bahaya.

Tetapi nyata lilin itu membuktikan bahwa Revolusi Nasional kita belum selesai, Revolusi Nasional kita kini sedang berjalan.

Sedang berjalan, dengan gegap-gempitanya, dengan hebatnya, dengan dahsyatnya! Revolusi Nasional ini sebagai satu cambuk gaib mengaktifkan tiap-tiap atom daripada tubuhnya bangsa kita, memasangkan tiap-tiap urat kecil daripada badan-tenaganya rakyat kita, menggeletarkan tiap-tiap bagian daripada jiwa masyarakat kita, dan dia akan mengaktifkan terus, akan memasangkan terus, akan menggeletarkan terus, entah buat berapa tahun lamanya lagi, sampai kewajibannya tertunai. Sebab sebagai saya katakan tadi, tiap-tiap fase mempunyai periodenya sendiri dan mempunyai kewajibannya sendiri, dan tiap-tiap fase menunaikan periodenya sendiri dan menunaikan kewajibannya sendiri. Dan apakah kewajiban fase Revolusi Nasional kita ini? Apakah "tugas bersejarah"-nya Revolusi Nasional kita ini?

Kewajiban atau tugas bersejarahnya Revolusi Nasional kita ini ialah mendirikan satu Negara Nasional Indonesia. Tugas bersejarah ini harus selesai lebih dahulu sebelum Revolusi Nasional itu minta diri, untuk diganti dengan Revolusi Sosial Dan berapa lamakah diperlukan untuk menyelesaikan tugas bersejarah itu? Entah berapa tahun, entah berapa windu, – tetapi nyata bukan hanya beberapa bulan saja. Banyak air keringat kita masih harus mengucur, banyak keluhan kita masih harus terdengar, sebelum tugas bersejarahnya Revolusi Nasional kita itu tertunai. Samodera Hindia masih harus bergelora bertahun-tahun lagi, sebelum gelombang-gelombangnya membanting membasahi pantai-pantai kepulauan Indonesia yang telah tergabung teguh dalam satu Negara Naional Indonesia. Ya, bertahun-tahun! Dua tahun lebih kita telah berada dalam kancah Revolusi Nasional, tetapi kesudahannya nyata belum tercapai. Memang, alangkah banyaknya, alangkah sukarnya dan hebat-hebatnya anasir-anasir Revolusi Nasional yang harus kita selesaikan, anasir-anasir "destruksi" dan anasir-anasir "konstruksi"! Merebut kekuasaan pemerintah dari tangan asing, menyusun angkatan perang nasional, membinasakan tiap-tiap kuman kolonialisme, menjalankan semua jawatan-jawatan dengan kekuatan sendiri, membuat peruangan Indonesia, mempersatukan semua kepulauan Indonesia dalam lingkungan-nya satu negara yang merdeka, membanteras kekacauan-kekacauan dari dalam, menyusun teknik Indonesia yang kuat dan modern, menjalankan diplomasi untuk mendapat pengakuan de jure internasional, menindas provinsialisme, menggembleng milyunan rakyat Indonesia menjadi satu bangsa yang berkesadaran nasional, berkesadaran negara, berkesadaran pemerintah, berkesadaran tentara, berkesadaran sosial, membuat pemerintah Nasional menjadi stable government ke luar dan ke dalam, dan lain-lain lagi, – semua itu harus dikerjakan, semua itu harus ditunaikan lebih dahulu, sebelum boleh dikatakan Revolusi Nasional selesai. Ini bukan pekerjaan kecil, ini bukan pekerjaan yang dapat kita selesaikan sambil goyang kaki beberapa hari. lni pekerjaan raksasa, yang membutuhkan pengerahan tenaga, keuletan kemauan, ukuran fikiran dan ukuran timbangan raksasa.

Ini harus selesai lebih dahulu, sebelum kita dapat dengan sungguh-sungguh bercancut-taliwanda menggugurkan benteng-bentengnya kapitalisme di dalam pagar, menjusun dan meng-gembleng masyarakat Indonesia yang berkesejahteraan sosial.

Jangankan masyarakat "yang berkesejahteraan sosial"! Menyusun masyarakat yang "normal" sajapun tak mungkin, sebelum selesainya soal nasional. Tak mungkin sebelum selesainya soal politik! Dengarkanlah misalnya apa yang dikatakan oleh Giuseppe Mazzini, salah seorang pemimpin besar pembentuk Negara Nasional Italia beberapa puluh tahun yang lalu:

"Menyusun tanah air ini, malahan satu keharusan. Anjuran-anjuran dan dayaupaya-dayaupaya yang kubicarakan tadi, hanyalah dapat diselenggarakan oleh tanah air yang bersatu dan merdeka. Perbaikan keadaan masyarakatmu hanyalah dapat diperoleh dengan ikut campurmu dalam pergaulan ketata-negaraan bangsa-bangsa. Jangan mengira, bahwa kamu akan dapat memperbaiki nasib hidupmu sebelum memecahkan soal nasional lebih dahulu. Ikhtiarmu akan sia-sia!" ...

Sekali lagi, alangkah banyaknya, sukarnya, dan hebatnya anasir-anasir Revolusi Nasional yang harus kita tunaikan.

Alangkah banyaknya isi yang harus kit "isikan" dalam kata-kata " destruksi " dan " konstruksi " yang simultan berlaku dalam tiap-tiap Revolusi, dus juga dalam Revolusi Nasional kita itu, sebelum dapat kita memasuki fase Revolusi yang kemudian!

Dan bukan saja Revolusi Nasional ini harus selesai untuk memenuhi syarat-syarat dalam atau innerlijkevoorwaarden untuk memungkinkan Revolusi Sasial, bukan saja Revolusi Nasional ini historis organis adalah satu cincin dalam satu proses masyarakat yang panjang laksana rantai – ia adalah pula satu usaha perlawanan untuk menentang bahaya yang datang dari luar. Seluruh dunia Timur sejak satu abad ini terkepung oleh raksasa-raksasa imperialisme dan kapitalisme, bahkan banyak yang telah dihinggapi dan diodal-adil perutnya oleh raksasa-raksasa itu, dan sebagai satu usaha perlawanan, maka bangsa-bangsa Asia berjoang mati-matian memerdekakan diri, dan di sana-sini berusaha habis-habisan untuk mendirikan negara-negara nasional. India berusaha untuk menjadi negara nasional (sementara gagal, karena berdirinya Pakistan), Tiongkok berusaha untuk menjadi negara nasional (sementara gagal pula), Indonesia berusaha untuk menjadi negara nasional. Philipina, Tiongkok, Siam, Indonesia, Indo-Cina, Burma, India, Afganistan, Iran, seluruh jazirah Arab, Mesir, semua itu masing-masing harus merdeka, untuk memungkinkan mereka menentang dengan efektif dan mengeliminir dengan efektif segala eksploatasi yang datang dari luar.

Saya tidak berkata bahwa tiap-tiap bangsa yang telah merdeka telah pula terhindar dari eksploatasi dari luar!

Tidak! Pembaca kenal nasib Siam, dan kenal nasib Iran, misalnya. Tetapi kemerdekaan politik itu adalah syarat mutlak untuk memungkinkan sesuatu bangsa menentang dengan tenaga maksimum segala eksploatasi dari luar. Karena itulah, maka Revolusi Nasional kita ini bukan saja satu fase yang seharusnya ada dalam pertumbuhan masyarakat kita di dalam pagar, ia juga satu langkah pertahanan yang seharusnya ada untuk penolak bahaya yang datang dari luaran.

Malah tegas, kita bukan hanya sekedar hendak merdeka, kita tegas berjoang mendirikan Negara Nasional. Kita bukan cuma menghendaki Jawa Merdeka (100 %), Sumatera Merdeka (100 %), Kalimantan Merdeka (100 %), Sulawesi Merdeka (100 %), Kepulauan Sunda Kecil Merdeka (100%), Maluku Merdeka (100%), tidak, kita menghendaki berdirinya Satu Negara Seluruh Indonesia (unitaristis atau federalistis) yang teguh kuat.

Kita menghendaki Negara Nasional.

Dan inipun bukan sekedar karena "cita-cita", bukan sekedar karena "idealisme". Cita-cita kebangsaan kita itu adalah satu hal yang tumbuh daripada keharusan-keharusan pertumbuhan masyarakat.

Negara Nasional Indonesia bukan sekedar idam-idaman politikus-politikus yang berjiwa romantis, ia adalah satu keharusan sosial politik. Ya benar, sudah tentu ada cita-cita, sudah tentu ada idealisme; malahan barangkali sudah tentu ada romantik. Mungkinkah sesuatu perjoangan maha hebat dan maha sukar berjalan dengan cukup elan, jika tiada cita-cita, tiada idealisme, tiada romantik? Ah, barangkali malahan saya sendiri terlalu sering memainkan kecapinya idealisme dan romantik! Dengarkanlah lagu yang misalnya saya nyanyikan dalam pidato "Lahirnya Pancasila" atau pidato 17 Agustus 1947:

"Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan "Gemeinschaft"- nya dan perasaan orangnya. "l’ame et le desir". Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan.

Allah s.w.t. membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana "kesatuan-kesatuan" itu. Seorang anak kecilpun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan, bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara dua lautan yang besar. Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara dua benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan ... Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu! ... Ke sinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Papua".

"Seluruh Rakjat Indonesia, baik di daerah Republik, maupun di luar daerah Republik, seluruh Rakyat Indonesia dari Sabang sampai ke Papua, seluruh Rakyat Indonesia yang merantau di manca negara, saya panggil kamu, untuk meneruskan perjoangan kita mempertahankan Republik sebagai pelopor daripada perjoangan seluruh bangsa Indonesia, sebagai lambang kemenangan Revolusi Indonesia terhadap imperialisme Belanda. Yakinlah, saudara-saudara di luar Jawa dan Sumatera dan Madura, – dengan hilangnya Republik akan hilang pula dibasmi oleh Belanda pergerakan kemerdekaan di luar Republik. Kita yang 70.000.000 jiwa ini, kita bangsa yang satu. Dan kita bangsa yang satu ini mempunjai cita-cita bangsa, mempunyai cita-cita kebangsaan bersama-sama: Ialah, supaya bangsa yang satu ini hidup sebagai bangsa yang merdeka, tersusun di dalam satu Negara yang merdeka, bernaung di bawah satu Bendera Sang Merah Putih yang merdeka. Empat puluh tahun hampir, kita bersama-sama berjoang, bersama-sama menderita, bersama-sama berkorban, untuk mencapai cita-cita kebangsaan kita itu.

Dan hasil pertama yang besar daripada perjoangan bersama, penderitaan bersama, pengorbanan bersama kita itu ialah Republik Indonesia ini! Republik Indonesia, yang kini hendak dihancurkan oleh Belanda, Republik adalah milik kita bersama, milik seluruh bangsa Indonesia. Republik bukan miliknya orang Indonesia yang berdiam di Jawa dan Sumatera saja, Republik adalah juga miliknya saudara-saudara yang berdiam di Borneo, di Sulawesi, di Kepulauan Sunda Kecil; di Maluku, di Papua. Darah saudara-saudara ikut membasahi tanah tatkala kita menjelmakan Republik ini! Republik harus kita anggap sebagai modal kita sekalian, untuk meneruskan perjoangan kita mengejar cita-cita kebangsaan kita, yakni Negara Kesatuan Indonesia. Peliharalah modal ini, belalah modal ini, pertahan-kanlah modal ini!"

Ya, ini barangkali memang berbau idealisme, barangkali memang berbau romantik. Saya memang dapat berlinang-linang air mata pada saat mengelamunkan persatuan Indonesia itu. Tetapi saya mengucap suka-syukur kepada Tuhan, bahwa jiwa saya tidak kosong daripada idealisme dan romantik yang demikian itu. Saya merasa iba kepada orang-orang, yang tidak mempunyai "Romantik Indonesia" itu. Saya merasa bahagia dalam keyakinan, bahwa "romantik" saya itu bukan romantik yang merindukan sesuatu hal yang mustahil, tetapi merindukan sesuatu hal yang saya yakin dapat tercapai dan malahan pasti akan tercapai pula. Tetapi saya tidak mau "ber-romantik" sambil memeluk tangan. Saya mau bertindak aktif. Saya mau berjoang, dan mengajak Massa berjoang. Sebab saya adalah termasuk golongan orang-orang, yang berpendapat bahwa keharusan-keharusan sosial politik dalam masyarakat manusia itu menjelmanya sebagai "kejadian" ialah selalu, bilamana anasir-anasir obyektif mendapat cetusan Wahyu -Cakraningratnya anasir-anasir subyektif yang sehebat-hebatnya dan semassal-massalnya. Karena itulah maka saya gemar menjadi agitator, yang dengan senjata idealisme, dengan senjata "pengalamunan", kalau perlu dengan senjata romantik, aktif menggugah massa, aktif membangkitkan Massa!

Apa sebab saya mengatakan, bahwa Negara Nasional Indonesia satu Keharusan sosial politik? Dus satu hal, yang tidak boleh tidak kelak pasti akan terjadi? Saya tidak berkata, bahwa Negara Nasional Indonesia itu pasti akan terjadi sekarang. Di dalam pidato saya pada 17 Augustus 1947 itupun dengan tegas saya katakan, bahwa Republik (Jawa dan Sumatera) adalah modal bagi kita sekalian, untuk meneruskan perjoangan kita mengejar Negara Indonesia. Tercapainya Negara Indonesia itu entah akan terjadi kapan; entah besok entah lusa, entah sewindu lagi entah dua windu lagi, tetapi ia pasti, tidak boleh tidak, pasti akan terjadi.

Apa sebab? – saudara menanya lagi? Sebabnya ialah bahwa terbentuknya Negara-Negara Nasional itu memang termasuk dalam tingkatan-tingkatan pertumbuhan masyarakat burgerlijk. Di dalam alam masyarakat burgerlijk yang sedang subur, ada dua tendenz yang nyata dan terang: pertama tendenz tergabungnya negara-negara kecil menjadi negara-negara besar, kedua tendenz terjadinya segala macam perhubungan-perhubungan antara negara-negara dan bangsa-bangsa. Yang pertama dus tendenz terbangunnya negara-negara nasional, yang kedua tendenz terhapusnya batas-batas nasional.

Yang pertama terjadinya ialah pada waktu kapitalisme hendak menyubur, yang kedua terjadinya ialah bilamana kapitalisme telah jadi subur.

Kapan negara-negara kecil di Jermania – Pruisen, Saksen, Beieren, dan lain-lain sebagainya -, kapan negara-negara kecil itu digabungkan menjadi negara nasional Jermania, dan Raja Pruisen dijadikan Kaisarnya? Pada tahun 1871, tatkala kapitalisme di Jermania hendak menaik. Kapan negara-negara kecil di Italia di bawah pimpinan Mazzini, Garibaldi, Cavour digabungkan menjadi negara nasional Italia? Pada kira-kira waktu itu pula, tatkala kapitalisme di Italia hendak menyubur. Kapan daimyo-daimyo Jepang menyerahkan negara-negara kecilnya kepada Meiji Tenno, sehingga terbangun Dai Nippon Teikoku? Pada waktu kapitalisme Jepang hendak berkembang. Demikian pula, maka di lain-lain daerah di muka bumi ini didirikanlah negara-negara nasional, sebagai gelanggang usahanya kapitalisme yang hendak menyubur. Negara-negara kecil yang feodal tidak dapat menjadi gelanggang penyuburan itu, negara-negara kecil itu perlu digabungkan menjadi satu, agar dapat menjadi padang usaha yang mencukupi segala syarat-syarat kapitalisme nasional. Negara–negara multi–feodal diluluh menjadi Negara Nasional!

Dan tatkala kapitalisme-kapitalisme nasional itu telah terbangun, tatkala produksi di masing-masing negara telah menaik, tatkala produksi itu membangunkan export dan import yang membubung tinggi, terbangunlah satu perlalulintasan dan perdagangan internasional yang amat giat, terlahirlah satu ekonomi yang bukan lagi ekonomi nasional tetapi ekonomi dunia, terhapuslah pagar-pagar yang seram memisahkan negara yang satu dari negara yang lain. Demikianlah berlaku dialektik dalam alam kapitalisme itu: di satu pihak membangunkan negara-negara nasional, di lain pihak, memecah-kan batas-batas yang memisahkan antara negara-negara nasional.

Dialektik ini di Indonesia pun akan berlaku! Saya tidak berkata bahwa kapitalisme nasional di Indonesia akan membubung tinggi, tetapi Negara Nasional Indonesia akan terjadi. Sebab evolusi menuju kepada "industrialisme".

Dan industrialisme membutuhkan negara nasional itu.

Tetapi, apakah Negara Nasional Indonesia itu akan berupa Negara Kesatuan yang benar-benar Kesatuan (unitaristis), atau akan berupa Negara Kesatuan yang bersifat Negara Gabungan, itu akan membukti sendiri di hari kemudian. Segala sesuatu akan berlaku secara proses, dan proses itu berlaku menuruti geraknya faktor-faktor obyektif di daerah-daerah Indonesia masing-masing. Tetapi nyata sudah, bahwa untuk menjadi "padang-usaha" industrialisme, seluruh daerah Indonesia harus ekonomis menjadi satu, dan supaya ekonomis menjadi satu, maka seluruh daerah Indonesia itu politis harus menjadi satu pula. Atau lebih benar: Kalau ekonomis menjadi satu, maka politis juga menjadi satu. Menilik syarat-syarat yang diperlukan untuk industrialisme, maka industrialisme itu tidak dapat berkembang di atas daerah ekonomis di Indonesia sepulau demi sepulau.

Seluruh Kepulauan Indonesia membutuhkan diri satu sama lain, seluruh kepulauan Indonesia barulah dapat menjadi satu dasar ekonomis yang kuat bagi industrialisme, jika ber-gandengan ekonomis satu sama lain, isi mengisi satu sama lain, bantu-membantu satu sama lain. Dari manakah misalnya Jawa dapat memperoleh besi dan batu bara jika tidak dari pulau lain, dan dari manakah Kalimantan dapat memperoleh tenaga manusia jika tidak dari Jawa? Tidak! Buat membangunkan industrialisme yang luas, tidak ada satu pulau di Indonesia yang dapat berdiri sendiri! Jikalau di Indonesia akan tumbuh industrialisme yang kuat, – dan garis evolusi masyarakat pasti menuju ke situ, dan buat melaksanakan sosialismepun dibutuhkan satu minimum industrialisme, sebagai saya terangkan tadi – , jikalau akan tumbuh di sini industrialisme yang kuat, maka Indonesia ekonomis harus menjadi satu, dan jikalau Indonesia ekonomis harus menjadi satu, maka Indonesia politispun pasti menjadi satu. lni adalah satu kepastian, satu keharusan sosial-ekonomis dan sosial-politis, – bukan lagi satu pengelamunan, atau satu cita-cita semata-mata, atau satu romantik. Dan bukan pula yang orang namakan "imperialisme Jawa" atau "imperial-isme Sumatera" atau "imperialisme Republik"! Alangkah piciknya orang yang menuduh Republik "imperialistis" (hendak "mencaplok" Indonesia Timur, atau "meng-anschluss" Borneo Barat), oleh karena Republik bercita-citakan persatuan Indonesia! Persatuan Indonesia kelak, ekonomis dan politis, adalah nul hubungannya dengan sesuatu nafsu imperialisme, sama dengan persatuannya Pruisen dan Beieren dalarn negara Jer-mania, atau persatuannya Texas dan California dalam negara Amerika, juga nul hubungannya dengan sesuatu nafsu imperialisme. Persatuan Indonesia itu ditentukan oleh garis-garis sosial ekonomis. Malah bukan saja industrialisme yang membutuhkan persatuan. Indonesia itu, perdagangan yang memperdagangkan hasil industrialisme itu, (dus satu anasir daripada industrialisme itu), itupun membutuhkan persatuan Indonesia itu. Kaum perdagangan Indonesia sudah tentu ingin mempunjai "pasar sendiri" yang seluas-luasnya dan sesentausa-sentausanya, ingin mempunjai "home market" sendiri yang tidak dikuasai oleh persaingan asing. Dan "pasar sendiri" untuk hasil-hasil dari Jawa, Sumatera, Kalimantan dan lain sebagainya itu ialah kepulauan Indonesia, seluruh kepulauan Indonesia. Karena itulah maka perdagangan Indonesia, yang kelak dilahirkan oleh industrialisme Indonesia itu, membutuhkan dan tentu ikut melaksanakan Negara Indonesia itu. lni adalah satu macam nasionalisme, – "nasionalisme perdagangan", kalau Tuan mau – , tetapi satu nasionalisme yang benar pula, satu nasional-isme yang halal. Memang menurut salah seorang pemimpin Marxist yang besar "pasarlah sekolah di mana borjuasi belajar nasionalismenya pertama-tama", – " the market is the first school in which the bourgeoisie learns its nationalism".

Orang-orang yang kukuh mau mengadakan negara-negara tersendiri di masing-masing pulau atau di masing-masing daerah, sungguh harus kita ibai. Mereka atau tidak berpengetahuan tentang tendenz evolusi masyarakat, atau sengaja menjadi alat durhaka imperialisme semata-mata yang selalu menjalankan politik memecah-belah. Tetapi tendenz evolusi masyarakat itu tidak dapat dipengaruhi oleh orang-orang semacam itu, yang usahanya bertentangan dengan gerak anasir-anasir obyektif dalam masyarakat itu. Masyarakat berjalan terus menurut hukum-hukum evolusinya sendiri. Terus! Negara Nasional Indonesia pasti berdiri.

Ya, Negara Nasional Indonesia pasti berdiri. Negara Nasional Indonesia itu ialah proyeksi politik daripada hasrat ekonomi daripada masyarakat Indonesia. Ia adalah ujung Revolusi Nasional kita, yang awalnya ialah terdirinya Republik. Ia belum tercapai, Revolusi Nasional kita memang belum selesai. Segenap Nasionalisme kita akan berkobar terus dan membinasa membangun terus, sampai Negara Nasional itu tercapai. Apakah yang dinamakan Nasionalisme kita itu? Segala macam rasa yang hebat dan mulia menjadi anasir Nasionalisme kita itu! Rasa cinta tanah-air yang indah dan permai, rasa cinta bangsa sendiri dan bahasa sendiri, rasa cinta kebudayaan yang telah menjadi irama jiwa sehari-hari, rasa cinta sejarah dahulu yang gilang-gemilang dan rasa ingin membangun sejarah baru yang gilang-gemilang pula, rasa cinta kepada kemerdekaan dan rasa benci kepada penjajahan, rasa ingin hidup sejahtera dan tak mau hidup terhisap, rasa bukan lagi orang Jawa atau orang Sumatera atau orang Sulawesi, tetapi orang bangsa Indonesia saja, – semua rasa-rasa itu mendidih menggelora di dalam satu kancah, menyala-nyala berkobar-kobar di dalam satu kawah yang bernama kancah dan kawahnya Nasionalisme Indonesia.

Nasionalisme Indonesia itu mempunyai sumber-sumber, mempunyai "penghidup-penghidup", dan penghidup-penghidup-nya itu ialah tenaga-tenaga masyarakat (s ocialekrachten) yang hebat dan kuasa, dinamis dan revolusioner, – tidak tertahan oleh tenaga apapun juga, meski tenaga imperialisme yang bersenjatakan tentara dan armada sekalipun.

Apakah tenaga-tenaga masyarakat itu?

Pertama tenaga masyarakat yang timbul dari kalangan rakyat jelata yang bermilyun-milyun, buruh dan tani, yang oleh imperialisme turun-temurun dihisap ditindas, dieksploatir laksana ternak, dan kini jiwanya menjadi jiwa rebelli mau cukup bekal hidup, mau sejahtera, mau aman, – kedua tenaga-masyarakat yang timbul dari kalangan kaum perusahaan Indonesia yang oleh adanya imperialisme sama sekali kehilangan alam, dan kini mau mempunyai alam. Kedua-dua tenaga masyarakat ini memberontak kepada: imperialisme itu, yang satu memberontak ingin hidup, yang lain memberontak ingin berkembang: Tujuh puluh milyun manusia tua muda laki-laki perempuan – boleh dikatakan tidak ada satu orangpun yang terkecuali – jiwanya dalam rebelli, benci kepada penjajahan dan rindu kepada kemerdekaan, berpuluh-puluh milyun dari antara mereka itu bangkit aktif, mengambil bambu runcing dan golok dan senapan untuk menyerang dan melawan, – berpuluh-puluh milyun lagi mengambil pacul dan martil dan tangkai pena untuk menyusun, mencipta, membangun. Destruksi dan Konstruksi sedang berlaku simultan dalam satu simfoni yang maha dahsyat.

Itulah Nasionalisme Indonesia yang sedang menjalankan Revolusi Nasional. Yang sedang meneruskan Revolusi Nasional, – yang memang belum selesai, karena memang belum terbangun satu Negara Nasional. Apakah ini berarti, bahwa tujuannya Revolusi Nasional kita itu dus sekedar satu Negara Nasional di dalam arti biasa, seperti Jerman, seperti Italia, seperti Jepang, seperti Perancis? Satu Negara Nasional yang burgerlijk, yang "borjuis", – oleh karena belum tiba saatnya untuk mengadakan sosialisme?

Tidak!

Sekarang memang belum tiba saatnya buat kita untuk mengadakan sosialisme, – belum tiba kemungkinannya buat kita untuk mengadakan sosialisme – , sekarang Revolusi kita masih Revolusi Nasional, tetapi itu tidak berarti, bahwa Negara Nasional yang hendak kita dirikan dus satu negara yang burgerlijk. Sebagaimana telah saya katakan, bahwa batas antara Revolusi Nasional dan Revolusi Sosial tidak tajam seperti batas antara bilik yang satu dan bilik yang lain, sebagaimana tiap-tiap proses melalui beberapa fase, yang fase-fase ini juga tidak terpisah tajam antara satu sama lain, maka Negara Nasional Indonesia yang hendak kita dirikan itupun tidak bersifat burgerlijk dan juga belum bersifat sosialis, melainkan bolehlah diibaratkan satu "fase-peralihan" antara fase burgerlijk dan fase sosialis.

Lihatlah Undang-undang Dasar Republik kita. Jikalau dikatakan, bahwa Undang-undang Dasar Republik kita itu satu undang-undang dasar yang sama sekali sosialistis, maka itu tidak benar. Tetapi juga, jikalau dikatakan, bahwa ia satu undang-undang dasar yang sema sekali burgerlijk, itupun tidak benar.

Pasal 33 yang berbunyi:

1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan;

2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;

3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. dan Pasal 34 yang berbunyi:

Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara, – pasal-pasal itu menghilangkan sifat yang "samasekali burgerlijk" itu.

Di dalam pasal-pasal itu dibuat permulaan daripada usaha membanteras kapitalisme. Pasal-pasal itu adalah pasal-pasal yang mengatur permulaan daripada usaha menyelenggarakan sosialisme. Undang-undang Dasar kita adalah undang-undang dasar satu Negara yang sifatnya di tengah-tengah kapitalisme dan sosialisme, undang-undang dasar satu Negara yang benar dengan kakinya masih berdiri di bumi yang burgerlijk, tetapi di dalam kandungannya telah hamil dengan kandungan masyarakat sosialisme, undang-undang dasarnya satu Negara dus yang tidak "diam", tidak "statis", melainkan dinamis, yaitu bergerak menuju ke susunan baru, berjoang menuju ke susunan baru. Negara kita adalah satu "negara peralihan", satu negara yang dengan sedar memperjoangkan peralihan, – satu negara yang revolusioner.

Memang segenap jiwanya adalah jiwa yang revolusioner. Nasionalismenya adalah nasionalisme yang revolusioner, nasionalisme yang sekarangpun telah dengan langsung mengemukakan perhubungannya dengan kemanusiaan, – nasionalisme yang biasa saya namakan socio-nasionalisme. Demokrasinya adalah demokrasi yang revolusioner, demokrasi rakyat sepenuh-penuhnya yang sedar akan kekurangan-kekurangannya demokrasi politik ala Barat, dan oleh karenanya berusaha menjelmakan demokrasi politik dan ekonomi, (yang hanya sempurna dalam alam sosialisme), – demokrasi yang biasa saya namakan socio-demokrasi. Ketuhanannya bukan ketuhanan dari satu agama saja, tetapi ketuhanan yang memberi tempat kepada semua orang yang ber-Tuhan. Jiwa revolusioner ini, – terutama sekali socio-nasionalismenya dan socio-demokrasinya – adalah terang satu "pembawaan" daripada sifat peralihan (sifat transisi) daripada Negara kita itu, terang satu "jembatan" antara ideologi-ideologi burgerlijk dan ideologi-ideologi sosialis.

Menjadi nyatalah: Negara Nasional yang kita dirikan, bukan negara burgerlijk, bukan pula negara sosialis. Revolusi Nasional yang kita jalankan, bukan revolusi burgerlijk, bukan pula revolusi sosialis. Bukan burgerlijk, oleh karena kita telah meliwati fase burgerlijk; bukan sosialis, oleh karena kita belum sampai kepada fase sosialis.

Siapakah yang menjalankan Revolusi kita sekarang ini? Boleh dikatakan semua golongan masyarakat Indonesia menjalankannya: kaum pemuda terpelajar, kaum tani, kaum buruh, kaum pegawai, kaum bangsawan, kaum pedagang, dsb – semuanya ikut semuanya berjoang! Oleh karena itulah boleh dikatakan bahwa Negara kita bukan milik sesuatu golongan, bukan monopoli sesuatu kelas. Negara burgerlijk ia bukan, sebab ia bukan monopolinya kelas borjuis; negara proletar ia bukan, sebab ia bukan monopoli kelas proletar. la adalah negara milik seluruh lapisan Indonesia yang revolusioner.

Dan kewajibannya Revolusi yang kita jalankan ini adalah memang kewajibannya semua lapisan Indonesia yang revolusioner: destruktif menghantam-menggempur imperialisme, menghancurleburkan penjajahan kolonial; konstruktif menyusun membina satu Negara Nasional yang tidak burgerlijk, tetapi (meski belum sama sekali sosialistis) toh telah hamil dengan susunan masyarakat yang sosialistis. Kedua-dua tugas ini, – simultan destruktif dan konstruktif yang demikian – , nyatalah tugas-tugas revolusioner, yang hanya dapat dikerjakan dan diselesaikan oleh golongan-golongan rakyat yang revolusioner.

Apakah yang dinamakan "golongan-golongan rakyat yang revolusioner" itu? la bukan hanya golongan proletar saja, bukan hanya golongan buruh! Bukan pula ia hanya golongan yang galib dinamakan "kaum jembel". la adalah golongan-golongan yang berjoang sesuai dengan kemajuan dalam perjalanan evolusi masyarakat, bukan menentangnya, bukan menahannya, – golongan-golongan yang berjoang mati-matian menghancur –leburka "orde" yang lama dan mempercepatkan datangnya "orde" yang baru, sesuai dengan tendenz-tendenz dalam evolusinya masyarakat itu. Tak perduli dari lapisan mana golongan-golongan itu! Tak perduli dari lapisan proletar, tak perduli dari lapisan tani, tak perduli dari lapisan pedagang, tak perduli dari lapisan pemuda terpelajar, tak perduli dari lapisan ningrat, tak perduli dari lapisan mana, – tetapi lapisan atau golongan yang berjoang menghancur-leburkan orde yang lama dan mempercepat datangnya orde yang baru sesuai dengan tendenz evolusi masyarakat, – dia adalah revolusioner. lni bukan satu definisi yang terlalu royal dengan sebutan revolusioner. Ini satu definisi tentang arti revolusioner yang meski kaum komunis sekalipun membenarkannya. Misalnya Stalin di dalam bukunya tentang "Soal-soal Leninisme" mengemukakan definisi yang malah lebih "royal" lagi:

"Untuk bernama revolusioner, maka sesuatu gerakan nasional tidak perlu terdiri dari golongan-golongan proletar, tidak perlu mempunyai program republikein, tidak perlu mempunyai dasar demokratis. Perjoangannya Amir Afghanistan untuk kemerdekaan negerinya, obyektif adalah satu perjoangan revolusioner, meskipun Amir itu dan juga opsir-opsirnya berpendirian pada azas monarchisme (kerajaan); sebab perjoangannya melemahkan, mengalutkan, menggali imperial-isme, sedang perjoangan kaum-kaum demokrat, "sosialis", "revolusioner" dan republikein seperti Kerensky dan Tseretelli, Renaudel dan Scheidemann, Tchernov dan Dan, Henderson dan Clynes selama peperangan imperialis itu ialah satu perjoangan reaksioner, sebab hasilnya ialah menggemukkan imperialisme, memperkuat imperialisme, memenangkan imperialisme itu. Demikian pula, maka perjoangannya kaum dagang dan kaum terpelajar borjuis di Mesir untuk mencapai kemer-dekaan Mesir itu adalah satu perjoangan yang obyektif revolusioner, meskipun asalnya dan sifatnya pemimpin-pemimpin pergerakan nasional di sana itu ialah borjuis, dan meskipun mereka menentang sosialisme; sedang perjoangan pemerintah buruh Inggeris untuk menetapkan Mesir di bawah perwalian Inggeris ialah satu perjoangan reaksioner, meskipun anggota-anggota pemerintah itu berasal dari kalangan kaum buruh, bersifat orang-orang dari kalangan kaum buruh, dan meskipun mereka katanya berkeyakinan sosialisme. Demikian pula, maka pergerakan nasional dalam negeri-negeri penjajahan dan taklukan yang besar seperti India dan Tiongkok, tidak kurang berarti satu pukulan langsung kepada imperialisme, dan karenanya berarti satu pergerakan revolusioner, meskipun ia menentang azas-azasnya demokrasi formil". Demikianlah Stalin!

Jadi, menurut definisinya itu, tiap-tiap pergerakan yang menghantam, melemahkan, menggempur imperialisme adalah pergerakan revolusioner. Artinya: jangan mengukur pergerakan-pergerakan nasional itu dengan ukurannya keproletaran, kerepublikan, atau demokrasi formil. Satu-satunya ukuran yang harus dipakai ialah hasil, akibat pergerakan-pergerakan itu: memperkuatkah kepada imperialisme, atau melemahkankah kepada imperialisme? Yang memperkuat imperialisme adalah reaksioner; yang melemahkan imperialisme adalah revolusioner!

Maka nyatalah, bahwa di dalam definisi itu tekanan accent diletakkan kepada apa yang saya namakan bagian destruktif daripada pergerakan nasional atau revolusi nasional: Bagian yang menghantam, bagian yang menggempur. Di bagian ini semua golongan di sesuatu negeri, – ningrat, tani, intelek, proletar, pedagang dll – dapat bersatu. Sebab semuanya anti imperialisme, semuanya anti penjajahan, semuanya dengan tiada kecuali satupun, ingin merdeka.

Saya bukan saja mengemukakan bagian yang destruktif, saya mengemukakan juga bagian yang konstruktif, yang membina, membangun. Yang berjalan serempak, simultan, dengan bagian destruktif itu. Yang harus pula kita gelora-gelorakan, kita hebat-hebatkan, agar supaya Revolusi kita lekas selesai. Bagian itu ialah bagian membangun Negara Nasional.

Maka di dalam bagian membangun Negara Nasional ini, juga semua golongan dapat bersatu. Ningrat, kromo, intelek, proletar, pedagang, ulama, pegawai, – semuanya dapat berdiri di satu barisan, semuanya dapat menjadi penjelma dan peng-gembleng Negara Nasional. Dan oleh karena, baik bagian destruktif, maupun bagian konstruktif daripada Revolusi Nasional, dapat menjadi padang persatuannya semua golongan dan semua lapisan, oleh karena, baik di dalam bagian destruktif, maupun di bagian konstruktif, semua kegembiraan, semua semangat perjoangan, semua keridlaan berkorban dari semua golongan dan semua lapisan dapat menggelora bersama-sama menjadi satu simfoni yang maha hebat, oleh karena itulah maka saya selalu berseru: persatuan! persatuan! sekali lagi persatuan! dan haruslah kita mengerti, bahwa Revolusi kita ini barulah dapat bertenaga maksimum, bilamana ia benar-benar bersifat Revolusi Nasional!

Revolusinya Bangsa! Bukan revolusinya sesuatu kelas!

Alangkah seringnya perkataan "bangsa" itu dipermainkan! Sering sekali ia dipergunakan sebagai kedok untuk menutupi kepentingan sesuatu golongan atau sesuatu kelas. Kadang-kadang kaum ningrat mengadakan pergerakan untuk kepentingannya sendiri, – ditutupilah kepentingan sendiri itu dengan menamakan pergerakannya itu pergerakan "bangsa". Kadang-kadang kaum pedagang mengadakan pergerakan untuk kepentingannya sendiri, pergerakannya itupun dinamakan pergerakan "bangsa". Kadang-kadang kaum inteleklah yang mengadakan pergerakan untuk kepentingannya sendiri, – lagi-lagi dikeluarkanlah dengan muka angker perkataan "bangsa".

Hitler menamakan pergerakannya pergerakan "bangsa", kaum borjuis di Perancis menamakan revolusinya satu setengah abad yang lalu revolusi "bangsa". Tetapi kadang-kadang pula sesuatu golongan buruh hendak meng-anschluss nama "bangsa" itu pula!

Tetapi Revolusi kita ini (harus) benar-benar satu Revolusi Kebangsaan, benar-benar satu Revolusi Bangsa. Sebab umumnya kita telah mengerti, bahwa hanya bilamana semua golongan, semua lapisan, ya semua alam ideologi dalam bangsa kita bertemu menjadi satu di dalam Revolusi kita itu, berjoang dan bergotong-royong menjadi satu, merupakan satu gelombang badai maha hebat yang menggempur-hancur benteng-benteng imperialisme dan menggembleng berdirinya Negara Nasional, hanya bilamana demikianlah, maka tenaganya Revolusi kita menjadi maksimum. Semua golongan dan lapisan dan alam faham itu satu persatunya "revolusioner", – revolusioner oleh karena akibat perjoangannya ialah melemahkan kepada imperialisme, revolusioner oleh karena perjoangannya meng-hantam imperialisme, menghancur-leburkan orde yang lama dan mempercepat datangnya orde yang baru yang berupa kemerdekaan nasional.

Ya, seluruh Bangsa Indonesia adalah revolusioner, seluruh Bangsa Indonesia ber-Revolusi. Sifat "keseluruhan" ini memang sifat hampir semua Revolusi di negeri-negeri jajahan atau setengah jajahan. Pertentangan kelas tidak menghebat di dalam perjoangan rakyat-rakjat jajahan yang berjoang merebut kemerdekaan.

Yang menonjol ke muka ialah sifatnya kebangsaan, sifatnya nasional. Dengan tepat hal ini pernah dikatakan pula oleh Henriette Roland Holst:

" Di negeri–negeri yang tidak merdeka, maka pertentangan–pertentangan sosial diperjoangkan secara nasional". –

" Desocialletegenstellingenwordeninonvrijelandeninnationalevormenuitgevochten" –

Tidakkah ternyata demikian keadaan di dalam Revolusi kita ini?

Seluruh Bangsa Indonesia ber-Revolusi! Dan kedua-dua bagian dalam Revolusi kita itu, baik yang destruksif maupun yang konstruktif, sama sekali belum selesai! Sudahkah bagian destruktif selesai? Lampu lilin di hadapan saya itu masih saja memperingatkan saya, bahwa Belanda masih berkuasa di Tuntang; kota-kota lain masih mereka duduki; lautan kita masih mereka blokkir; pulau-pulau kita masih mereka kuasai; kekayaan kita masih mereka gali; negara-negara boneka masih mereka tegakkan; kampung-kampung kita masih mereka bakar; wanita-wanita kita masih mereka perkosa; kaum buruh kita masih mereka paksa;

Sang Merah Putih masih mereka hina; si Tiga Warna masih berkibar di banyak tempat di Indonesia, dengan diperlindungi bayonet, senapan, mortir, meriam, bom dan dinamit! Sudahkah, dengan keadaan demikian itu, bagian destruktif daripada Revolusi kita ini selesai?

Dan sudahkah bagian konstruktif selesai? Bagaimana bagian konstruktif dapat selesai, kalau bagian destruktif belum selesai! Segenap jiwa kita yang menggeletar gandrung kepada adanya Negara Nasional Indonesia itu, laksana lautan gandrung kepada angkasa yang biru, masih belum melihat Pemerintah Nasional Indonesia berkuasa di seluruh kepulauan Nusantara. Negara Nasional Indonesia, Republik Indonesia yang Besar, belum tercapai. Yang telah tercapai barulah Negara Republik Indonesia yang sekarang, – "Republik Indonesia yang kecil". .

Tetapi alangkah pentingnya Republik Indonesia yang kecil ini! Alangkah pentingnya Negara Republik Indonesia yang kecil ini!

Biar dia masih "kecil", – dengan dia di dalam tangan kita, kita merasa menggenggam satu senjata yang amat hebat. Musuh kita gempur dengan dia, pengkhianat-pengkhianat dari dalam kita lemahkan dengan dia, segenap tenaga rakyat kita susun dengan dia. Dia adalah alat perjoangan kita, alat Revolusi kita. Destruktif dan konstruktif kita sekarang berjoang dengan dia sebagai senjata. Dan kita akan terus berjoang dengan dia sebagai senjata, sampai tujuan kita, yaitu "Republik Indonesia yang Besar", tercapai. Biarpun dia sekarang agak lebih kecil daripada dua tahun yang lalu, – lebih kecil oleh karena musuh menduduki sebagian dari daerahnya -, dia akan kita genggam makin keras di dalam tangan kita, dan akan terus kita perguna-kan sebagai senjata kita yang paling hebat. Biar dia umpamanya "tinggal selebar payung" sekalipun, – kita akan terus berjoang dengan dia sebagai senjata!

Negara adalah memang alat–senjata.

Telah berpuluh-puluh tahun kita berjoang, berjiwa nasional dan menggerakkan satu pergerakan nasional, berusaha, menderita, berkorban untuk mencapai cita-cita bersama, tetapi baru dua tahun inilah kita berjoang dengan senjata baru, yaitu Negara. Dulu kita berjoang hanya dengan senjata rapat umum, surat khabar, serikat sekerja, partai, sekarang kita berjoang dengan senjata Negara.

Tenaga-tenaga yang amat hebat kita pusatkan dalam Negara itu, agar supaya ia dapat menjadi alat senjata destruktif dan konstruktif yang sehebat-hebatnya pula.

Dengan tentaranya, dengan seluruh angkatan perangnya, dengan seluruh pertahanan rakyatnya, Negara itu kita hantamkan kepada musuh yang hendak menjajah kita lagi, kita hantamkan menggempur-mendestruksi kepadanya.

Dengan seluruh jawatan-jawatannya, kita kerahkan dia untuk menyusun, membangun, mengkonstruksi produksi yang perlu untuk pertahanan dan ketahanan, dan mengkonstruksi segala hal lain-lain yang perlu lagi.

Dulu serikat sekerja dan partailah alat kekuasaan kita.

Sekarang alat kekuasaan kita ialah Negara! Negara memang bukan sekadar satu hal "kerukunan" belaka, negara adalah satu alat–kekuasaan, satu organisasi kekuasaan. Alat kekuasaan kita sekarang ialah Negara Republik Indonesia. Dengan Republik Indonesia ini, sebagai alat kekuasaan, kita sepuluh kali, seratus kali lebih kuasa daripada dulu. Dengan Republik ini sebagai alat kekuasaan di pihak kita, musuh benar-benar berhadapan dengan kenyataan "kekuasaan kontra kekuasaan". Kekuasaan yang lebih kuasa, – itulah yang akan menang. Kekuasaan hanya dapat dipatahkan dengan kekuasaan pula yang lebih kuasa. Itulah sebabnya, maka musuh sekarang mencoba mematahkan alat kekuasaan kita itu tidak lagi dengan "diplomasi", tetapi dengan kekusaan segenap angkatan perangnya. Manakala mulut manusia tidak berdaya, maka mulut meriam harus bicara! Segenap tank-tanknya yang dari baja, kapal-kapal udaranya, armadanya, bomnya, meriamnya, – semua itu digempurkan olehnya laksana sambaran geledek kepada Negara kita, untuk mencoba meremuk-redamkan alat kekuasaan kita (Negara) itu.

Tetapi, Insya Allah, – ia tidak mudah akan berhasil. Kita seratus kali lebih kuat daripada dahulu. Sebab senjata kita sekarang ialah justru Negara, – Negara (yang sebagai penjelmaan Revolusi Nasional yang meliputi semua golongan dan lapisan) dengannya kita dapat membangkitkan sehebat-hebatnya semua tenaga perjoangan dan tenaga pertahanan di dalam tubuh dan jiwanya Bangsa. Boleh dikatakan, dengan alat Negara itu, tiap-tiap orang Indonesia, tiap-tiap batu di Indonesia kita dapat kerahkan untuk berjoang. Angkatan Perang, – aparat kekuasaan Negara -, di dalam perang kemerdekaan ini kita gempurkan sehebat-hebatnya kepada musuh, dan seluruh rakyat laki-laki perempuan pula, dikerahkan oleh Negara untuk berjoang serta. Musuh yang mempergunakan aparat kekuasaan itu, – tentaranya – dan hanya dapat mempergunakan aparat kekuasaannya itu saja! – musuh bukan saja berhadapan dengan aparat kekuasaan kita, ia berhadapan pula dengan perkembangan kekuasaan seluruh rakyat, perkembangan kekuasaan yang totaliter.

Senjata kita hadapi dengan senjata, plus perlawanan rakyat yang totaliter!

Berkat adanya Negara, maka kita dapat berjoang secara totaliter ; maka musuh tidak akan menang, tetapi kita yang akan menang!

Kita yang akan menang! Dan kita ini akan menang, bukan hanya oleh karena kita dengan alat Negara dapat mengerahkan pertahanan di dalam yang totaliter, – kita pun akan menang oleh karena pertahanan di luar telah bangkit secara hebat. Indonesia tidak lagi Indonesia dari zaman dahulu. Ia tidak lagi berdiri sendiri. Ia sudah satu kali buat selama-lamanya terhubungkan dengan dunia luaran. Memang demikianlah, kata saya di muka tadi, berjalannya dialektik dalam alam industrialisme; di satu fihak berdirinya negara-negara nasional, di lain fihak terhapusnya negara-negara-nasional, di lain fihak terhapusnya batas-batas nasional. Bangsa-bangsa mendirikan kebangsaannya sendiri-sendiri tetapi serempak dengan itu, tenaga-tenaga imperial-ismepun menjadi satu, dan tenaga-tenaga anti-imperialisme pun menjadi satu. Ofensifnya imperialisme kepada kemerdekaan kita sekarang ini, sebenarnya bukan hanya ofensifnya imperialisme Belanda kepada kemerdekaan Indonesia saja, tetapi adalah sebagian daripada ofensif umum yang dilakukan oleh imperialisme internasional di mana-mana.

Di Indonesia, di Vietnam, di Tiongkok, di Balkan, dan di lain-lain tempat lagi (dengan cara-cara yang ditentukan oleh tempat dan keadaan), imperialisme internasional itu serentak sedang dalam ofensif, tetapi tenaga-tenaga anti imperialisme di seluruh duniapun serentak sedang mengadakan perlawanan bersama yang sekuat-kuatnya. Serangan yang dilakukan oleh angkatan perang Belanda kepada kemerdekaan kita itu, dirasakan oleh segenap golongan-golongan anti imperialisme sedunia sebagai bangkitnya reaksi imperialisme internasional yang membahayakan juga kepada mereka. Itulah sebabnya, maka kita dibela oleh mereka, dibantu oleh mereka, atau sedikit-dikitnya mendapat simpati dari mereka.

Dan pada waktu mereka memberi simpati kepada kita atau membela kita itu, mereka tidak menanya-nanya apakah kemerdekaan kita itu "bikinan Jepang atau tidak", tidak pula mengukur-ukur perjoangan kita itu dengan ukurannya demokrasi formil. Benar, Republik kita memang bukan bikinan Jepang, azas kita memang Pancasila yang lebih demokratis daripada demokrasi biasa, tetapi golongan-golongan anti imperialis sedunia yang membantu dan membela kita itu tidak menanya-nanya hal "bikinan Jepang", tidak mengemukakan ukuran demokrasi formil. Apa sebab? Oleh karena mereka mengetahui bahwa perjoangan kita adalah satu bagian dari Perjoangan Besar di seluruh dunia menentang imperialisme ; satu perjoangan yang hasil akibatnya ialah melemahkan imperialisme ; satu perjoangan yang revolusioner.

Dan kita pun, dalam simpati kita kepada perjoangan kemerdekaan rakyat-rakyat Mesir, Vietnam, Birma, Palestina, Korea, India dan lain-lainnya, tidak harus mengukur-ukur perjoangan mereka itu dengan ukurannya demokrasi formil. Kita tidak harus menanya apakah Gandhi benar-benar demokrat, tidak harus menggugat bahwa Mufti Jeruzalem dulu pernah minta pertolongan kepada Hitler, tidak harus menyelidik apakah pergerakan Mesir itu sebenarnya tidak bersifat burgerlijk. Kita harus hargai pergerakan mereka itu sebagai cincin-cincin dalam rantai perlawanan anti imperialis, rantai penggembleng kemerdekaan-kemerdekaan nasional. Kemenangan mereka adalah kekalahan imperialisme internasional, kekalahan imperialisme internasional adalah keuntungan kita; itulah sebabnya kita harus bersimpati kepada mereka; itulah sebabnya kita harus bersedia membantu kepada mereka, sebagaimana merekapun bersedia membantu kepada kita. Mereka dan kita, seluruh pergerakan anti imperialis sedunia dan kita, adalah sama-sama revolusioner. Mereka revolusioner, kitapun revolusioner!

Maka dengan ini nyatalah dan tegaslah, bahwa perjoangan kemerdekaan sesuatu rakyat jajahan atau setengah jajahan janganlah ditinjau dalam "keadaannya sendiri", tetapi harus ditinjau dalam hubungan sedunia. Jangan ditinjau terlepas dari hubungan itu, tetapi harus ditinjau dalam hubungan itu: Harus ditinjau di atas gelanggang perjoangan anti imperialis sedunia.

Kapitalisme internasional dihidupi imperialisme internasional, imperialisme internasional berakibat perlawanan kepada imperialisme internasional; perjoangan kemerdekaan rakyat jajahan atau setengah jajahan melemahkan imperialisme internasional, lemahnya imperalisme internasional melemahkan kapitalisme internasional; tiap–tiap perjoangan kemerdekaan rakyat jajahan atau setengah jajahan adalah dus revolusioner, dan pantas dibantu, harus dibantu, wajib dibantu oleh semua tenaga-tenaga anti kapitalis di seluruh dunia. Golongan-golongan yang membenarkan dan membantu perjoangan kemerdekaan rakyat-rakyat jajahan atau setengah jajahan, mereka adalah pula golongan-golongan yang revolusioner. Sebaliknya, golongan-golongan apapun, yang tidak membantu, tidak membenarkan perjoangan kemerdekaan sesuatu bangsa jajahan atau setengah jajahan, meski dengan memakai alasan-alasan demokrasi formil, meski ia menamakan diri "progresif", atau "demokrat", atau "sosialis" -, ia adalah reaksioner. Ia pada hakekatnya mempertahankan imperialisme, ia dus mempertahankan kapitalisme. Ia terang reaksioner, dan kalau ia "sosialis", maka ia "sosialis" yang terang-terang mendurhakai sosialisme!

Tetapi Alhamdulillah, tidak semua "sosialis" adalah pendurhaka sosialisme, tidak semua kaum "progresif" adalah iblis berpakaian dewa. Perjoangan kita dengan senjata Negara itu dibenarkan, diberi simpati, dibantu, dibela oleh golongan-golongan yang benar-benar progresif di seluruh dunia. Di Australia mereka membela, di Rusia dan di Eropa Timur, di seluruh Asia, di banyak tempat di Amerika dan Eropa Barat, – ya, di negeri Belanda sendiripun ada golongan-golongan sosialis (bukan dari Partij van den Arbeid!) yang membela kita. Apa sebab golongan-golongan ini membela kita? Mereka yakin akan kebenaran ajaran Marx yang berbunyi:

" Eenvolkdateenandervolkonderdrukt, kannietvrijzijn ".

" Satu rakyat yang menindas rakyat lain, tak mungkin merdeka ".

Sekali lagi, Insya Allah, dengan senjata Negara kita, dengan mengerahkan rakyat secara totaliter, dengan bantuan dari luar, – kita akan menang. Kita akan menang dalam mempertahankan Negara Republik Indonesia ini terhadap kepada baja dan dinamitnya peperangan kolonial. Dan kita akan menang pula kemudian, dalam perjoangan mendirikan Negara Nasional yang meliputi seluruh Indonesia. Kita di situ pun akan menang, oleh karena obyektif kita pasti menang: Negara Nasional Indonesia adalah satu keharusan sejarah, satu kemustian dalam evolusi masyarakat, satu keharusan sosial-historis.

Oleh karena itulah kita obyektif harus menetapi tugas kewajiban tingkatan Revolusi kita sekarang ini, kita obyektif harus kenali dan penuhi "tugas bersejarah" Tingkatan Revolusi kita sekarang ini: Tingkatan Nasional, karena memang masih dalam periode Nasional, dengan tugas kewajiban Revolusi Nasional, yaitu mendirikan Negara Nasional. Dan oleh karena masih dalam tingkatan Nasional, maka penunaian tugas-kewajiban Revolusi itupun obyektif harus dan dapat dikerjakan oleh segenap rakyat Indonesia yang 70.000.000, dari segenap golongan dan segenap lapisan, dari segenap kepercayaan dan segenap agama, dalam persatuan yang seerat-eratnya dan sehebat-hebatnya.

"Obyektif kita pasti menang, Apakah ini berarti, bahwa dus dengan sendirinya kita pasti menang? Tiada kemenangan dengan tiada perjoangan! Tiada kemenangan dengan tiada kemauan subyektif dari manusia, untuk mencapai kemenangan itu! Segenap semangat kita harus dikobar-kobarkan, segenap kesediaan kita untuk membanting tulang dan bermandi keringat harus dijelmakan, segenap keuletan kita dalam perjoangan harus diamalkan, segenap kerelaan kita untuk berkorban, berkorban, berkorban, dan sekali lagi berkorban, harus diwujudkan, – di atas dasar–dasar obyektif itu – untuk mencapai kemenangan itu. Kemenangan tidak akan tercapai jikalau manusia tidak mau mencapai kemenangan itu, dan kemenangan pasti tercapai jikalau anasir-anasir obyektif memungkinkan kemenangan itu, dan manusia mau mencapai kemenangan itu.

" Pada akhirnya, manusialah yang menentukan " . Demikianlah kalimat yang dituliskan oleh Fritz Sternberg sebagai kalimat pengunci daripada bukunya tentang Nazi Jermania yang bernama "Hoe lang kan Hitler oorlog voeren?" Di dalam buku itu ia buktikan, bahwa obyektif kapitalisme pasti akan mati, facisme pasti akan runtuh, rakyat jelata pasti akan menang, tetapi ia pun memperingatkan, bahwa pada akhirnya manusialah yang menentukan. Jikalau "manusia" rakyat jelata ini tidak berbuat, – tidak berdiri, tidak membangun, tidak berjoang, tidak melawan, tidak berkorban – , maka ... ya ... maka ...(Sternberg tidak sebutkan ini) ... maka kapitalisme dan fascisme mungkin masih lama akan berdiri, – atau ... maka dunia akan jatuh di dalam chaos (kekacauan) yang sekalut-kalutnya dan segelap-gelapnya, chaos yang "peteng dedet lilimengan", Entah berapa puluh tahun lamanya atau berapa windu atau abad lamanya pula. Kapitalisme dan fascisme pasti akan runtuh, – itu bukan soal lagi -, pasti akan runtuh, oleh karena terobek-robek oleh pertentangan-pertentangan dalam tubuh dan batin sendiri, tetapi apakah yang akan berkembang di atas runtuhan-runtuhannya kapitalisme dan fascisme itu, bilamana tidak dari tadinya ada rakyat jelata sebagai "manusia" yang bertindak meruntuhkan kapitalisme dan fascisme itu, dan cukup kekuatan dan keuletan pula untuk mencipta, membangun, menyusun dunia baru di atas runtuhan-runtuhannya kapitalisme dan fascisme itu?

Karl Marx sendiri di dalam salah satu tulisannya menyata-kan dengan tegas, bahwa runtuhnya kapitalisme itu tidak otomatis berarti berdirinya sosialisme. Sosialisme hanyalah berdiri jikalau didirikan. Jikalau tidak ada tenaga-tenaga yang mendirikan sosialisme itu, maka runtuhnya kapitalisme yang tidak boleh tidak pasti akan terjadi itu, (historisch noodwendig), niscayalah akan diikuti oleh chaos yang tiada hingganya dan tiada taranya berpuluh-puluh tahun!

Memang banyak orang yang mengira bahwa perkataan "keharusan sosial historis" mengandung arti, bahwa (pada suatu tingkatan evolusi) kapitalisme pasti dengan sendirinya diganti oleh sosialisme.

Padahal sebagai dinyatakan oleh Marx tadi tidak demikian! Kapitalisme (pada suatu tingkatan evolusi) pasti diganti oleh sosialisme, bilamana rakyat jelata bertindak untuk menggantinya dengan sosialisme. Yang "pasti" itu hanyalah adanya anasir-anasir obyektif pada suatu tingkatan evolusi: anasir-anasir obyektif guna runtuhnya kapitalisme, anasir-anasir obyektif guna berdirinya sosialisme.

Maka demikian pulalah keadaan kita sekarang ini: Anasir-anasir obyektif untuk pasti menangnya Revolusi Nasional kita telah ada semuanya, telah tersedia semuanya, sebagai yang saya terangkan di muka tadi. Maka berdirilah, hai kawan-kawan semua, di atas anasir-anasir obyektif itu, janganlah menyimpang sedikitpun daripada anasir-anasir obyektif itu, tetapi janganlah pula kurang hebat memobilisir anasir-anasir subyektif yang ada pada kita. Perhebatlah semangat, bulatkanlah tekad sekeras baja, berkorbanlah seikhlas-ikhlasnya, bantinglah tulang dan peraslah keringat, berjoanglah sehebat-hebatnya sehingga gemuruhnya perjoanganmu itu terdengar di lima benua dan di tujuh samudera, – berjoanglah massal semassal-massalnya dengan semangat Persatuan Bangsa yang sehidup-hidupnya. Jangan memprovosir pertentangan kelas di dalam fase sekarang ini, jangan curiga-mencurigai satu sama lain, jangan terpecah-belah satu sama lain, bersatulah, rukunlah, isi mengisilah satu sama lain, kuat perkuatkanlah satu sama lain! Jangan memeluk tangan! Perkawinkanlah anasir-anasir obyektif itu dengan anasir-anasir subyektif secara sedinamis-dinamisnya dan sehebat-hebatnya, buatlah dua pool itu selalu mengelektris satu sama lain sedahsyat-dahsyatnya, – gelorakanlah dinamik Amal Nasional!

Dengarkanlah apa yang dikatakan oleh Henriette Roland Holst (meski beliau sekarang sudah banyak sekali luntur) di dalam bukunya yang terakhir " Eenovergangtothet Socialisme " (1945):

"Ya, het kapitalisme is dood, althans in Europa, evengoed dood als het Tzaristisch-theocratische Rusland dit was in 1927. Het zal niet weder opstaan. Maar wat in zijn plaats komen zal, dat moog in de sterren geschreven of, theologisch uitgedrukt, door Gods ondoorgrondelijk raadsbesluit van eeuwigheid af vastgesteld zijn. Een zachte stem in ons binnenste zegt met een accent van absolute overtuiging:

" Hetmensenlotisinmensenhandgegeven " , en wij voelen dat zij waarheid spreekt. De groei naar het socialisme voltrekt zich met noodzakelijk als de groei van een dier of een plant. Die groei vereist helder inzicht in de taken en de middelen tot verwezen-lijking, vaste wil en wijsheid, zelfbeheersing en zelfver-loochening ... Zich allerlei opofferingen getroosten terwille van de algemene zaak; met zorgvuldige hand uitgaan tot zaaien, wetend, dat anderen zullen oogsten; daar komt het op aan. Wij zeggen niet als de Russische bolsjewisten:

"Wij zijn mest op de velden der toekomst". O neen, menselijke wezens zijn Dimmer enkel mest. Wij willen de dragers der toekomst zijn, de stenen aandragen tot haar bouw, haar fundamenten leggen.

Wij zijn akkers, ook in ons ontkiemt het zaad!".

Artinya:

"Ya, kapitalisme memang telah mati, setidak-tidaknya di Eropa, sama matinya dengan Rusia Tzaristis teokratis di tahun 1927. Ia tak akan bangun kembali. Tetapi apa yang akan menggantinya, itu boleh jadi telah tertulis di bintang-bintang atau telah ditetapkan di dalam Luh Mahfudz. Satu suara kecil dalam jiwa kita berkata dengan keyakinan yang pasti: "Nasib manusia terletak dalam tangan manusia sendiri", dan kita merasa, bahwa suara itu benar. Pertumbuhan ke arah sosialisme tidak berlaku seperti pertumbuhannya binatang atau tanaman. Pertumbuhan ke arah sosialisme itu meminta pengetahuan yang terang tentang ujud-ujudnya dan cara-cara melaksanakannya, kemauan yang keras dan kebijaksanaan, pengekangan diri dan peniadaan diri ... Keridlaan berkorban untuk keperluan umum; dengan cermat menyebar benih, meski mengetahui, bahwa orang lainlah yang akan memetik buah; – itulah yang perlu. Kita tidak berkata seperti kaum bolshevik Rusia "Kita ini pupuk tahi sapi saja di ladang-ladangnya hari kemudian".

O tidak, makhluk manusia bukan hanya pupuk tahi sapi belaka! Kita mau menjadi pemikul-pemikul hari kemudian, membawakan batu-batu yang perlu untuk membinanya, memasang alas-alasnya. Kita adalah ladang, di dalam pangkuan kita juga bersemi benih!"

Alangkah bagusnya kata-kata penyair ini:

Menselijkewezenszijnnimmerenkelmest!

Wijzijnakkers, ookinonsontkiemthetzaad!

Manusia bukan hanya pupuk tahi–sapi belaka!

Kita adalah ladang, di dalam pangkuan kita juga bersemi benih! –

Kita tidak harus sekedar menunggu.

Kita harus bertindak, berjoang, membangun, membina! –

Sekali lagi, kemenangan pasti di pihak kita, asal kita berjoang sehebat-hebatnya, dan asal kita berdiri tepat di atas kewajiban obyektif daripada tingkatan evolusi sekarang: Tugas kewajiban Nasional, yaitu mendirikan Negara Nasional, karena masih dalam tingkatan dan periode Nasional. Apakah ini berarti, bahwa kita dus samasekali tidak boleh berangan–angan sosialisme ? Tidak boleh menyebar-nyebarkan cita-cita sosialisme?

Tidak boleh berideologi anti kapitalisme?

Tidak boleh dari sekarang juga bekerja dan berjoang untuk terlaksananya cita–cita sosialisme ?

Sama sekali tidak! Alangkah piciknya orang yang menyangka begitu! Kalau semua hal yang ditanyakan itu tidak boleh, – buat apa saya menulis ini buku? Buat apa saya sendiri Marhaenis? Buat apa saya dengan susah-payah menjelas-jelaskan kepada kaum wanita, bahwa hanya di dalam masyarakat sosialismelah mereka dapat menjumpai kemerdekaan dan kebahagiaan yang sempurna? Buat apa kita telah dari sekarang berikhtiar supaya Negara kita itu satu "jembatan" antara Negara burgerlijk dan Negara sosialis? Buat apa kita dari sekarang telah mengucapkan perkataan "kesejahteraan sosial"?

Justru oleh karena saya bercita-cita sosialis, maka saya menulis ini buku. Justru oleh karena kita mengidam-idamkan masyarakat sosialis, maka kita harus mengetahui bagaimana caranya kita dapat sampai di masyarakat sosialis itu. Justru oleh karena kita ingin menuju kepada masyarakat sosialis, maka kita harus dari sekarang berfikir dan bertindak dengan tuntunan teori sosialis itu. Sosialisme bukan saja satu sistim masyarakat, sosialisme adalah pula satu teori, satu ilmu, satu tuntunan-perjoangan, satu cara berfikir, satu denk methode. Teori sosialismelah yang membawa kita kepada pengertian tentang keadaan-keadaan obyektif di dalam masyarakat Indonesia sekarang dan masyarakat dunia. Teori sosialismelah yang memberi pengetahuan kepada kita bahwa tingkatan Revolusi kita sekarang tak mungkin lain daripada tingkatan Nasional. Teori sosialismelah, dan bukan teori borjuis, yang menunjukkan, bahwa bagi kita sekarang belum datang kemungkinan untuk melaksanakan sosialisme.

Itulah "jasa" teori sosialisme kepada kita. Apa sebab kita sekarang nasionalis? Justru karena sosialisme itulah, maka kita sekarang nasionalis, dan nasionalisme kita itu terangkat naik ke tingkatan yang bernama sosio-nasionalisme. Justru karena sosialisme itulah, maka kita menjalankan perjoangan kita itu secara yang sekarang ini ; memusatkan, membulatkan, mengkon-sentrasikan segenap tenaga rakyat kepada perjoangan Nasional, menghantamkan segenap tenaga perjoangan daripada segenap rakyat itu kepada benteng kolonialisme asing untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan, – mempraktekkan satu Persatuan Nasional Revolusioner untuk mendirikan satu Negara Nasional, yang di dalamnya bukan saja berkembang sesegar-segarnya satu Demokrasi yang Sosio-Demokrasi, tetapi pula terbangun syarat-syarat tehnis minimum untuk nanti menelorkan satu pergaulan hidup yang sosialistis.

Semua itu berkat "jasa" teori sosialisme, sesuai dengan kebenaran bahwa "tiada gerakan revolusioner dengan tiada teori revolusioner"!

Karena itu, sekali lagi saya katakan: piciklah orang yang mengatakan, bahwa karena tingkatan sekarang tingkatan Nasional, orang dus tak boleh berfikir dan berjoang "sosialistis". Picik! Sebab perjoangan untuk mendirikan Negara Nasional dengan isi–isi sebagai yang saya terangkan di muka, adalah berarti perjoangan untuk tercapainya sosialisme. Nasionalis Indonesia yang sosio-nasionalistis di dalam fikirannya dan di dalam segenap tindakan-tindakannya, adalah sosialis di dalam arti yang sesehat-sehatnya. Tetapi sebaliknya "sosialis" Indonesia yang dari sekarang telah nabyak-nabyak hendak "mengadakan" revolusi sosial, dia adalah "sosialis" pengrusak Revolusi!

Sungguh, berangan-angan sosialisme adalah perlu. Tetapi tidak kurang perlu pula adalah berilmu sosialisme. Siapa yang berangan-angan sosialisme, – di dalam dadanya dapat bersarang satu idealisme yang hidup, satu idealisme yang menyala-nyala, yang dapat mewahyui dia untuk bekerja habis-habisan dengan tiada mengenal lelah, berjoang mati-matian dengan berani menghadapi segala rintangan dan risiko, berkorban seikhlas-ikhlasnya dengan tidak menghitung-hitung untung rugi bagi dirinya sendiri. Ucapan Krishna dalam Bagavad Gita kepada Arjuna, yang berbunyi: " Kerjakanlah kewajibanmu dengan tiada menghitung–hitung akan akibatnya bagimu " , – ucapan itu hanyalah dapat menjadi semboyan hidupnya orang yang bercita–cita. Dan oleh karenanya, hanya orang yang bercita-citalah dapat mengamalkan perbuatan-perbuatan yang Besar.

Tetapi angan-angan itu janganlah angan-angan yang kosong.

Berapakah tidak, di dalam sejarah dunia ini, tenaga manusia dan jiwa manusia terbuang tersia-sia sebagai sampah, karena mengejar cita-cita yang kosong? Sosialisme yang harus menjadi angan-angan kita itu janganlah "sosialisme angan-angan", yaitu janganlah sosialisme utopis yang merindukan bulan dan yang tak dapat dilaksanakan, tetapi haruslah sosialisme penjelmaan evolusi masyarakat yang sebenarnya. Haruslah sosialisme yang berdasarkan anasir-anasir yang bukan anasir-anasir pengalamunan, tetapi anasir-anasir yang nyata, – sosialisme yang "obyektif".

Sosialisme yang demikian itulah yang boleh! Yang boleh diangan-angankan" dari sekarang; yang boleh dicita-citakan dari sekarang; dan yang boleh dipakai dari sekarang sebagai pedoman perjoangan. Dengan memahami sosialisme yang demikian itu (wetenschappelijk socialisme), kita dapat mempelajari berapa jauhnya tingkat evolusi masyarakat kita pada waktu sekarang, menentukan sifat apa harusnya Revolusi kita sekarang, menyusun strategi perjoangan kita sekarang. Dengan dia kita dapat memimpin Revolusi kita ke tingkatan yang lebih tinggi, menentukan arah yang harus diambilnya, mempastikan kemenangan. Oleh karena itu, janganlah kita sekedar berangan-angan sosialisme, – meski sosialisme yang "obyektif" sekalipun! – tetapi kita harus memahami teori sosialisme, memahami cara–berfikir sosialisme, berilmu sosialisme. Berilmu sosialisme, agar supaya tahu caranya berjoang mencapai sosialisme!

Terutama sekali para pemimpin, para penunjuk jalan, para pemegang obor, harus memahami ilmu itu. Dapatkah orang memimpin dengan baik, – menunjukkan jalan kepada rakyat, mengkobar-kobarkan semangat rakyat, mengerahkan tenaga-bekerja dan tenaga perjoangan rakyat, mencapai hasil yang sebesar-besarnya dengan mengorbankan korban yang sesedikit-sedikitnya -, bila orang tidak tahu jalan-jalan apa yang harus dilalui, cara-cara apa yang harus dipakai, tujuan-tujuan apa yang harus dituju? Dapatkah orang memimpin dengan baik, bila tidak dengan tuntunan ilmu ? Dapatkah orang memimpin dengan baik, bila sendiri tidak tahu jalan?

Dan angan-angan sosialisme serta ilmu sosialisme itu tidak hanya "baik" buat pemimpin saja, rakyat jelata pula (sedapat mungkin) harus memahaminya. Berilah kursus sebanyak-banjaknya dan sepopuler-populernya kepada rakyat jelata itu. Tetapi terutama sekali angan–angan sosialisme harus dinyala-nyalakan di kalangan rakyat jelata itu, dikobar-kobarkan dalam jiwa mereka, angan–angan sosialisme harus menjadi Bintang Bimashaktinya perjoangan mereka. Mereka harus insyaf akan arti mereka dalam perjoangan dan dalam proses produksi sekarang dan proses produksi yang akan datang, mereka harus mengerti, bahwa dunia sosialisme adalah dunia mereka " , dan bahwa dus perjoangan Nasional sekarang ini (yang menuju kepada sosialisme) harus buat sebagian besar terpikul oleh semangat mereka, keringat mereka, korbanan mereka, darah dan daging mereka. lni berarti: Rakyat jelata harus dibuat sedar akan arti–golongannya sendiri. Mereka harus dibuat zelf–bewust, – harus dibuat self–conscious.

Mereka harus diinsyafkan harga kelasnya, – harus dibuat class–conscious. Mereka harus diinsyafkan, bahwa hanya dalam masyarakat sosialismelah mereka dapat sejahtera, tetapi juga, bahwa masyarakat sosialisme itu tidak dapat tercapai jika tidak dengan tenaga mereka. Mereka harus mengerti, bahwa mereka lah soko-gurunya hari yang akan datang. Mereka harus mengerti bahwa tingkatan Nasional ini ialah tingkatan–mutlak ke arah Revolusi Sosialisme, – artinya, bahwa mereka dalam tingkatan sekarang ini harus mengutamakan " kenasionalan " – boleh berkesadaran kelas, tetapi tidak boleh mengobarkan perjoangan kelas! – bekerja bersama-sama dengan semua golongan dan lapisan yang menghendaki kemerdekaan nasional, – tetapi juga jangan diperdulikan oleh sesuatu golongan yang lain untuk kepentingan golongan yang lain itu.

Mengetahui arti golongan sendiri dan tidak mau diper-kudakan untuk kepentingan golongan lain, – itulah makna perkataan sadar akan diri sendiri dan berkesadaran kelas.

Tidakkah "perkudaan" itu sering terjadi, terutama bila perjoangan bersifat perjoangan “nasional", dalam mana semua golongan dan semua lapisan berjoang bahu-membahu? Dalam perjoangan-perjoangan "nasional" itu sering sekali pada zahirnya " seluruh bangsa" yang bergerak, tetapi pada hakekatnya golongan borjuis atau golongan feodallah yang "berjoang", dengan memperkudakan rakyat jelata. Hakekatnya perjoangan nasional Jerman adalah demikian, hakekatnya perjoangan nasional Jepang adalah demikian.

Dan hakekatnya perjoangan nasional di negeri-negeri lain adalah demikian pula.

Karena itu, jagalah jangan sampai rakyat-jelata kita diperkudakan orang: Buatlah rakyat–jelata kita sadarakan diri sendiri!

Ini sungguh bukan satu kejahatan. Ini bukan mengadu-dombakan golongan dengan golongan, ini bukan (dan jangan!) menghidup-hidupkan perjoangan kelas. lni bukan memecah-belah bangsa.

Salahlah mengkobarkan perjoangan kelas di dalam Revolusi Nasional! Saya selalu mengatakan, bahwa semua golongan dan lapisan di dalam Revolusi Nasional ini harus bekerja bersama-sama menyusun satu Persatuan Nasional yang kuat, menghantam dan menggempur imperialisme. Saya tetap berkata: bersatulah, bekerjalah bersama-sama, bersatu kita teguh, bercerai kita jatuh! Tetapi bekerja bersama-sama itu tidak berarti, bahwa satu golongan boleh memperkudakan golongan yang lain. Membuat rakyat jelata sadar akan diri sendiri hanya berarti, bahwa rakyat jelata harus diberi pengertian tentang tugas bersejarah golongan rakyat jelata itu sendiri. Mereka, rakyat jelata, adalah basis sosial perjoangan kita. Hanya dengan rakyat jelata yang sadar akan diri sendiri, kita dapat memobilisir segenap tenaga-tenaga potensiil yang ada di kalangan mereka. Hanya dengan rakyat jelata yang sadar akan diri sendiri Revolusi kita dapat berjalan pesat, dapat bersifat Revolusi yang progresif, yang menuju kepada tingkatan sosial yang lebih tinggi. Hanya dengan rakyat jelata yang sadar akan diri sendiri, Revolusi kita dapat bersifat Revolusi yang revolusioner, dan bukan Revolusi yang dipengaruhi oleh anasir-anasir kontra-revolusioner.

Alangkah sering ditakuti orang, perkataan "kesadaran diri" ini, jika ditinjau dari sudut kenasionalan! Sering orang berkata: "Jaga persatuan bangsa, jaga persatuan semua golongan, – jangan massa dibuat sadar akan diri sendiri". Atau: "Buatlah masing-masing golongan melupakan kepentingan golongan sendiri, hilangkanlah kesedaran golongan, buatlah semua golongan hanya ingat kepada kepentingan Bangsa saja!". Demikianlah sering sekali diucapkan orang. Terutama, sekali golongan-golongan yang bukan golongan rakyat jelata sangat fanatik mencintai "kebijaksanaan" semacam ini! Apa sebab? Oleh karena golongan-golongan itu sendiri memang "tidak membuat dirinya sendiri berkesadaran diri"! Althans pada zahirnya! Pada batinnya, sudah barang tentu mereka membela kepentingan golongan sendiri, tetapi mereka (untuk pembelaan kepentingan mereka itu) membutuhkan bantuannya seluruh Bangsa, membutuhkan tenaganya dan simpatinya semua golongan dalam lingkungan Bangsa. Oleh karena itu, maka mereka lantas pura-pura tidak sadar akan diri sendiri, pura-pura tidak mementingkan golongan sendiri, – dan mengharap supaya lain-lain golongan (terutama sekali golongan rakyat jelata) sungguh–sungguh tidak sadar akan diri sendiri, dan hanya ingat kepada kepentingan Bangsa saja. Lama-kelamaanpun mereka sendiri lantas seperti sama sekali "nasional".

Sama sekali "Pro Patria"! "Untuk tanah air"!

"Untuk Bangsa"! "Untuk Negara"!

Tetapi coba ancam kepentingan mereka itu! Coba bahayakan kepentingan mereka itu! Mereka akan membela kepentingan mereka itu mati-matian, meski misalnya ternyata bahwa kepentingan Bangsa menghendaki lain. Mereka akan merapatkan barisan di golongan mereka sendiri, membuat front pertahanan yang kuat, berteriak dari semua atap rumah bahwa "keselamatan Bangsa" dalam bahaya.

Ya, merekalah yang anti kesadaran dirinya rakyat jelata.

Tetapi saya harap semua orang yang menghendaki Revolusi kita sekarang ini berjalan pesat dan progresif, mengerti bahwa perlu sekali rakyat jelata kita dibuat sadar akan diri sendiri. Dan, oleh karena itu, saya harap kitapun mengerti perlunya persatuan yang erat dengan rakyat jelata. Terjunlah di kalangan rakyat, bergaul lah dengan mereka, didiklah mereka, berjoanglah dengan mereka dan untuk mereka, – buatlah rakyat jelata itu bergelora dalam semangatnya dan tindakannya, buatlah Revolusi kita semassal-massalnya, buatlah Rakyat jelata itu betul-betul basis sosialnya Revolusi.

Janganlah menjadi salon politikus! Lebih dari separoh daripada politisi kita adalah salon politisi, yang mengenal Marhaen hanya dari sebutan saja. Apakah orang mengira dapat menyelesaikan Revolusi sekarang ini, meski tingkatannya tingkatan Nasional sekalipun, tidak dengan rakyat murba? Politikus yang demikian itu sama dengan seorang jenderal tak bertentara. Kalau dia memberi komando, dia seperti orang berteriak di padang pasir. Tetapi betapakah orang dapat menarik rakyat jelata, jika tidak terjun di kalangan mereka, mendengar-kan kehendak-kehendak mereka, menyusun program ekonomi yang menarik mereka, menyadarkan mereka akan diri mereka sendiri, membuat Revolusi ini Revolusi mereka?

Terutama sekali program–ekonomi (buat sekarang dan buat kemudian) yang menarik hati mereka, – itulah yang amat penting. Tetapi, untuk semua itu, perlulah bekerja di kalangan massa. Dan bekerja di kalangan massa itu adalah baik pula buat si pemimpin sendiri:

Di sana, di kalangan rakyat murba, di sana, laksana intan yang tiap-tiap hari digosok oleh ribuan pasir lembut, ia dapat membersihkan diri dari pengaruh-pengaruh reaksioner, dapat makin lama makin menjadi "sosial revolusioner", dapat benar-benar menjadi penyala api kancahnya Revolusi. Di sana ia dapat mengajar Massa dan belajar daripada massa. Tahukah kita, pemimpin-pemimpin dan kaum intelek, penyakit kita yang paling sangat? Penyakit kita yang paling sangat ialah, bahwa kita senantiasa gemar mengajar kepada massa tetapi tidak pernah sudi belajar daripada massa! Penyakit yang demikian itu adalah penyakit yang paling buruk. Jikalau pemimpin tidak terjun di kalangan massa, maka pimpinannya sering terlalu "teoretis", dan hampir selamanya terlalu "eenzijdig". Pemimpin melihat segala keadaan selalu "dari atas", tidak pernah "dari bawah". Massa melihat segala keadaan "dari bawah", tidak "dari atas". Kedua-duanya “eenzijdig". Tetapi jikalau pemimpin dan massa bersatu, massa dan pemimpin isi mengisi satu sama lain, maka segala hal lantas terlihat dari atas dan dari bawah, – pengalaman pemimpin disempurnakan oleh pengalaman massa, – Revolusi berjalan dengan baik dan pesat, Revolusi ... revolusioner!

"Gerakkanlah Massa itu"! Itu adalah semboyan yang benar. Tetapi dapatkah orang menggerakkan Massa jika tidak mengetahui kehendak-kehendak massa, dan dapatkah orang mengetahui kehendak-kehendak massa, jika tidak bergaul dengan mereka! Alexander Herzen pernah berkata, bahwa kita hanya dapat menarik orang lain, apabila kita dapat melihat keinginan orang lain itu lebih terang daripada dia sendiri. Maka untuk melihat keinginan massa lebih terang daripada massa sendiri, perlulah terjun di kalangan massa itu dan bergaul dengan massa itu. Dan bilamana kita telah mengetahui kehendak-kehendak massa itu lebih terang daripada mereka sendiri, baru bilamana demikian, kita dapat mempengaruhi mereka, menarik mereka, membangkitkan mereka berjoang, memenuhi semboyan yang saya katakan benar itu tadi: "Gerakkanlah massa itu!"

Dan dalam pada menggerakkan massa itu, – dengan membuat mereka sadar akan diri sendiri – , maka kita harus menggabungkan tenaga massa itu dengan semua, sekali lagi semua tenaga anti imperialisme yang ada di dalam pagar, dan dengan semua tenaga anti imperialisme yang ada di luar pagar. Nasional kita pelihara persatuan, internasional kita pelihara pula persatuan.

Nasional kita gabungkan tenaga massa itu dengan tenaga kaum intelek Indonesia, kaum alim-ulama Indonesia, dlsb. yang sama-sama anti imperialisme, sama-sama menghendaki kemerdekaan Indonesia, – berkesadaran kelas, tetapi jangan mengobarkan perjoangan kelas, kata saya tadi -, internasional kita hubungkan dengan pergerakan-pergerakan buruh dan pergerakan-pergerakan nasional di negeri-negeri lain.

Dan di atas lapangan internasional ini, kita tidak harus hanya mencari bantuan dari luar, tetapi kalau dapat juga memberi bantuan kepada luar. Sebab, sungguhpun pada hakekatnya Revolusi kita telah berarti bantuan kepada Revolusi Umum (Revolusi Dunia): anti imperialisme dan anti kapitalisme, – karena satu bagian daripadanya -, maka tidak ternilai artinya sesuatu bantuan yang nyata yang kita berikan kepada sesuatu cabang perjoangan itu di dunia luaran.

Rasa persatuan perjoangan sedunia menjadi tebal oleh karenanya, rasa persatuan nasib menjadi lebih rill, rasa menghadapi musuh yang sama menjadi lebih menjelma. Dan rasa bertindak – aktif dan positif – menjadi lebih kuat. Hilangkanlah negativisme yang hanya mengharap pertolongan dari luaran, hilangkanlah jiwa lemah yang selalu menunggu-menunggu dan menyambat-nyambat. Hilangkanlah segenap bencana jiwa yang diwariskan oleh perbudakan kolonial beratus-ratus tahun yang bernama inferioriteits complex. Jiwa kita menjadi jiwa yang di dalam perjoangan bersifat ofensif, jiwa menyerang, jiwa berani, jiwa memberi, jiwa positif yang tidak menggantungkan nasib kepada orang lain.

Tetapi "tidak menggantungkan nasib kepada orang lain" itu tidak boleh berarti, bahwa kita tidak harus insyaf bahwa perjoangan kemerdekaan kita adalah bergandengan erat dengan Revolusi Dunia. Tadi saya telah katakan, bahwa perjoangan kita itu adalah satu bagian dari Revolusi Dunia itu. Kita sekarang harus mengatasi fase fikiran yang dahulu, bahwa kita dapat menyelesaikan perjoangan kemerdekaan kita itu tidak dengan hubungan dengan dunia. Tidakkah fikiran yang demikian itulah salah satu kesalahan kita di periode perjoangan yang lalu? Di muka telah saya katakan, bahwa salahnya Partai Nasional Indonesia yang saya pimpin dulu itu ialah bahwa Partai Nasional Indonesia itu terlalu menjatuhkan titik berat kepada "percaya kepada kekuatan diri sendiri", kepada "self-help", kepada "self-reliance". Terlalu! Sebab, ya benar, percaya kepada diri sendiri adalah mutlak perlu self-help dan self-reliance adalah menguatkan dan mempositifkan jiwa, tetapi jikalau titik berat terlalu dijatuhkan di atasnya, maka menjadilah ia semacam politik katak di bawah tempurung. Menjadilah ia semacam politik "menyendiri", semacam politik isolasionisme. Menjadilah ia bibit chauvinisme, – bibit kecongkakan nasional.

Dan menjadilah ia satu siasat perjoangan yang salah, yang merugikan, bahkan membahayakan kedudukan perjoangan kita, karena tidak sesuai dengan kenyataan obyektif: persatuannya imperialisme internasional.

Terhadap kepada imperialisme yang bersambung-sambung satu sama lain laksana rantai itu, kita dulu terlalu berjoang secara "sendiri". Padahal teranglah sudah, bahwa imperialisme inter-nasional hanya dapat dikalahkan secara internasional. Hanya dapat dikalahkan dengan hantaman internasional!

Dulu, di dalam abad kesembilanbelas, imperialisme belumlah bersambung satu sama lain. Dulu ekonomi belumlah ekonomi dunia, tetapi ekonomi itu dulu bersifatlah ekonomi "negeri sendiri-sendiri", "ekonomi negeri individuil". Sekarang ekonomi itu telah bersifat ekonomi dunia, dan imperialismepun bersifat imperialisme dunia. Sekarang rakyat di negeri sendiri-sendiri tidak dapat menghantam mati imperialisme itu, jika tidak bersama-sama rakyat-rakyat korban imperialisme di negeri-negeri lain.

Sekarang perjoangan harus perjoangan internasional.

Tetapi pembaca mungkin akan menanya: Tidakkah kita telah nyata meledakkan Revolusi kita pada tanggal 17 Agustus 1945 itu "atas kekuatan sendiri"? Tidakkah dus kita merebut kemerdekaan kita itu tidak dengan bantuan orang lain, tidak dengan hubungan internasional?

Orang yang bertanya demikian adalah salah kupas. Pertama:

Situasi-situasi revolusioner yang saya uraikan di muka tadi, yang memungkinkan proklamasi kemerdekaan kita itu, adalah hasil daripada pergolakan dan pergeseran internasional. Dapatkah kita memperoleh situasi revolusioner yang masak untuk proklamasi itu, jika tidak terlebih dulu dunia imperialisme internasional terbakar sehebat-hebatnya, terkacau kalut mawut oleh peperang-an dunia ke II laksana kebun ubi dirusak oleh babi? Dapatkah kita mendapat situasi revolusioner itu jika kekacau-balauan internasional itu tidak meremuk-redamkan imperialisme Belanda? Jika tidak sekeliling Indonesia seluruh dunia Timur gegap-gempita bergerak menuntut merdeka laksana menjadi kawah Candradimuka? Jika tidak di seluruh dunia segala kaum progresif menentang penjajahan dan bersimpati kepada kita?

Dan sebagai di muka saya katakan, soal kita bukan saja memproklamasikan kemerdekaan, tetapi juga mempertahankan kemerdekaan itu seterusnya. Di dalam mempertahankan kemerdekaan itu kita lebih-lebih lagi butuh kepada simpati dan bantuan internasional. Perjoangan kita yang berupa pertahanan konkrit, usaha kita di lapangan diplomasi, jerih-payah kita di lapangan pembangunan, semua itu jangan sampai terpencil, jangan sampai kena diisolir, semua itu harus kita usahakan dalam suasana internasional. Tidakkah fihak Belanda selalu mencoba mengisolir pertikaian Indonesia-Belanda ini menjadi satu soal "dalam negeri"?

Memang banyak sekali orang heran, bahwa justru di Indonesia dan di Vietnam revolusi meledak, dua negeri yang orang kira pergerakan nasionalnya tidak terlalu hebat. Mengapa tidak di Korea? Atau di India? Atau di Philipina? Mengapa justru di Indonesia dan di Vietnam? .

Keterangannya ialah, bahwa dunia imperialisme SEBAGAl SATU KESELURUHAN – dengan ekonominya yang telah ekonomi dunia -, telah masak untuk revolusi. Maka di dalam keseluruhan dari Barat sampai ke Timur, dari Utara sampai ke Selatan yang telah masak untuk revolusi itu, revolusi meledak di tempat–tempat di mana rantai imperialisme itu paling lemah.

Dan di mana rantai imperialisme itu paling lemah?

Di Indonesia dan di Vietnam. Di dua negeri itu imperialisme Belanda di satu fihak dan imperialisme Perancis di lain fihak paling mendapat pukulan-pukulan hebat dari peperangan dunia ke II, di dua negeri itu rakyatnya paling tertindas, paling terhisap, paling jembel, paling dendam dan paling marah. Di dua negeri itu bisul revolusi yang menghinggapi seluruh tubuh imperialisme dari Timur sampai ke Barat, dari Utara sampai ke Selatan, paling dulu menjebrot dan memecah! Di dua negeri itu rantai imperialisme terputus, dan oleh karenanyalah maka sekarang semua cincin-cincin rantai itu yang belum terputus lantas bekerja bersama-sama untuk menyambungkan lagi rantai imperialisme itu di tempat-tempat yang terputus itu.

Inilah artinya ofensif–umum daripada imperialisme–internasional yang sekarang sedang bertubi-tubi di atas tubuhnya Republik Indonesia dan Republik Vietnam, yang kedua-duanya digempur dengan bom dan dinamit, dengan tank dan kapal-udara!

Tetapi terutama rakyat Indonesia mempertahankan diri dengan gagah dan berani. Segenap tenaga nasionalnya dimobilisir, segenap tenaga progresif sedunia dipanggilnya.

Kontra revolusi di Indonesia dan di Vietnam adalah satu bagian saja daripada kontra revolusinya imperialisme sebagai satu keseluruhan, tetapi Revolusi di Indonesia dan di Vietnam pun adalah satu bagian saja daripada Revolusi Internasional yang merobek-robek tubuhnya imperialisme sebagai satu keseluruhan.

Kesudahannya tak dapat disangsikan lagi!

Imperialisme pasti binasa, – Kemerdekaan pasti menang!

...............................................................................................

Agak panjang uraian saya tentang beberapa soal yang mengenai perjongan Republik kita. Pokok-pokoknya ialah:

Bahwa fase perjoangan kita sekarang ini ialah fasenya Revolusi Nasional. Dharma kita di dalam fase ini ialah menyusun Kemerdekaan Nasional, dan mengisi Kemerdekaan Nasional itu dengan syarat–syarat jiwa dan syarat–syarat materiil, agar supaya Kemerdekaan Nasional itu dapat menjadi batu–loncatan kepada Kemerdekaan Sosial di kemudian hari.

– "Penuhilah sepenuh-penuhnya segala syarat Revolusi Nasional, perkuatkanlah Negara, – sekali lagi perkuatkanlah Negara -, susunlah persatuan Nasional, kejar dan capailah Negara Nasional yang meliputi seluruh Indonesia dan yang berdaulat seratus prosen! Isilah Revolusi Nasional ini dengan angan–angan sosialisme dan dengan syarat–syarat yang diperlukan untuk penyelenggaraan sosialisme itu: buatlah tehnik kita dan ekonomi kita berkembang, buatlah semangat kita semangat gotong-royong, didiklah rakyat jelata kita menjadi rakyat jelata yang benar-benar sadar akan diri sendiri tetapi jangan sekali-kali mengadakan perjoangan kelas, carilah hubungan rapat dengan segenap tenaga progresif di seluruh dunia!", demikianlah sari-patinya anjuran-anjuran yang saya anggap penting.

Tetapi, – apakah kewajiban wanita dalam penyelenggaraan segala hal–hal itu ?

Jawab saya adalah tegas dan mutlak: Wanita harus mengerti, bahwa hanya sosialisme sajalah yang dapat menolong dia, dan karenanya, wanita harus ikut serta dalam penyelenggaraan segala hal-hal yang saya sebutkan sebagai pokok-pokok perjoangan kita itu dengan cara yang sehebat-hebatnya. Tidak saya akan puas dengan "setengah-setengahan"! Tidak saya akan berhenti, sebelum wanita Indonesia seluruhnya betul-betul ikut aktif dalam Revolusi Nasional dengan isi yang saya maksudkan itu. Pernah saya di waktu masih muda remaja tertangkap hati oleh anjuran Ernest Douwes Dekker (Setyabudi) yang berbunyi:

"Men moet zich geheel geven, geheel! De hemel verwerpt het gesjacher met meer of minder!" – yang artinya: "Janganlah setengah-setengahan, berilah jiwa-ragamu sama sekali!" – maka anjuran yang demikian itu pula sekarang saya berikan kepada wanita Indonesia di dalam Revolusi kita. Tidakkah segenap macam perjoangan yang saya sebutkan di atas itu pada intinya berarti menyusun hari kemudian wanita juga? Tetapi bagai-mana wanita dapat ikut-serta sehebat-hebatnya, kalau wanita sendiri belum sadar, dan kalau fihak laki-laki emoh kepada ikut-sertanya wanita itu, karena laki-laki sendiri masih dihinggapi oleh faham-faham kolot tentang wanita?

Ah ya, terutama kepada kaum laki-laki saya serukan supaya mengerti betul-betul mutlak–perlunya wanita ikut-serta dan dapat ikut-serta dalam perjoangan itu. Ingatlah pengalaman-pengalaman perjoangan di negeri lain! Apa sebab misalnya hasil perjoangan rakyat India kurang memuaskan? Oleh karena wanita – India belum ikut-serta semutlak-mutlaknya dalam perjoangan bangsa. Gandhi sendiri dengan tegas menyatakan (bacalah "India of my dreams"):

" Banyak sekali pergerakan–pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh karena keadaan kaum wanita kita " . Tetapi apa sebab, misalnya lagi, pemerintahan sovyet dapat mengadakan kemajuan yang begitu pesat di segala lapangan di Rusia Timur, yang dulunya toh begitu amat terbelakangnya? Kemajuan di atas lapangan pengajaran, di atas lapangan pertanian, di atas lapangan pemerintahan, di atas lapangan ketentaraan, sampai pun di atas lapangan tehnik dan industrialisasi ?

Tak lain tak bukan, ialah oleh karena pemerintah sovjet siang-siang sekali mengerti, bahwa wanita di Rusia Timur, bagaimanapun juga kolotnya dan bagaimanapun juga jumudnya, harus lekas-lekas dididik dan dibawa ikut-serta mutlak di dalam kesadaran, – di "ingeschakeld" mutlak di dalam perjoangan dan pembangunan! Tidak dapat Rusia Timur itu dibawa ke padang kemajuan, kalau hanya fihak laki-laki saja yang dikerahkan, atau lebih tegas lagi: kalau fihak wanita tidak dibawa ikut-serta sehebat-hebatnya di dalam pengerahan jiwa dan tenaga itu, – demikianlah kenyataan yang siang-siang dimengerti oleh pemerintah sovjet itu. Oleh karena itulah maka boleh dikatakan yang paling dulu diusahakan oleh pemerintah sovjet di Rusia Timur ialah: menyadarkan wanita, membuka mata wanita, memutuskan belenggu wanita, "merevolusionerkan" wanita. Wanita, wanita, separoh dari tenaga manusia, harus disadarkan lebih dahulu! Wanita sadar adalah syarat mutlak bagi pembangunan masyarakat vertikal dan horizontal! Dan hasil dari pembangunan umum yang dicapai dengan lebih dulu menyadarkan wanita itu, di Rusia Timur adalah mengagumkan.

Fannina W. Halle menceriterakan tentang hal ini di dalam bukunya yang telah saya sebutkan.

Malah mungkin sekali bahwa pemerintah sovjet siang-siang mengerti pentingnya soal wanita itu, bukan hanya oleh karena "tahu teori", yaitu teori yang telah disusun oleh pemimpin-pemimpin wanita tingkat ketiga. Mungkin sekali pengalaman pun memberi petunjuk kepada mereka.

Apakah pengalaman itu? Pengalaman itu ialah, bahwa revolusi proletar di Rusia Pusat itu dipelopori oleh wanita. Umum belum begitu mengetahui akan hal ini. Umum mengira bahwa revolusi di Rusia Pusat itu hanya dipelopori oleh kaum buruh laki-laki saja. Tetapi bacalah pernyataan-pernyataan dari historisi yang saya sitir di bawah ini!

"Kesadaran kelas yang sehat membuat kaum buruh wanita menyokong pemogokan-pemogokan, dan tidak jarang wanita- wanita itu mengorganisir sendiri dan memimpin sendiri pemberontakan-pemberontakan paberik".

Demikianlah pernyataan Alexandra Kollontay yang saya baca dalam kitab Fannina W. Halle. Tetapi lebih tegas adalah pernyataan- pernyataan berikut:

"Kaum buruh wanita sudah ikut-serta aktif pada pemberontakan-pemberontakan buruh dalam tahun 1874 di Petersburg di paberik-paberik tenun. Dalam pemberontakan buruh yang termasyhur di Orjechowo Sujewo, di daerah tekstil Wladimir, yang berhasil mencapaikan larangan kerja malam bagi wanita dan kanak-kanak dari pemerintah, maka wanitalah yang berdiri di barisan yang paling depan. Memang adalah menarik perhatian, bahwa sumber-sumber pemogokan-pemogokan dan pemberontakan-pemberontakan buruh, yang selalu menggelorakan dunia proletar Rusia di kanan-kirinya tahun tujuh puluhan dan di bagian pertama dari tahun delapan puluhan, terutama sekali terdapat pada cabang-cabang perusahaan tenun, yaitu cabang-cabang perusahaan yang kaum buruhnya buat bagian yang terbesar terdiri dari wanita. Dengan demikian maka tidaklah dilebih-lebihkan, jika orang mengatakan, bahwa bagian yang terbesar ( hetleeuwenaandeel ) daripada perjoangan-perjoangan ekonomis dan politis dalam masa itu ialah dilakukan oleh wanita!".

Dan bagaimanakah rol wanita dalam revolusi-revolusi Rusia yang kemudian?

Trotzky menceriterakan tentang Revolusi Maret 1917 (di Rusia dinamakan Revolusi Februari):

"Adpokat-adpokat dan jurnalis-jurnalis daripada kelas-kelas yang terhantam oleh Revolusi ini tidak sedikit menghamburkan tinta untuk membuktikan, bahwa dalam bulan Februari itu sebenarnya telah terjadi satu pemberontakan wanita, yang kemudian dilimpahi oleh pemberontakan serdadu". Tetapi keadaan pada zahirnya memang sebenarnya begitu! Sebab Trotzky sendiri mengatakan juga: "Kenyataan tetaplah, bahwa revolusi Februari itu mulainya ialah dari bawah, dan inisiatifnya datanglah secara spontan dari bagian proletar yang paling tertindas dan paling tertekan, yaitu kaum buruh tenun wanita, sedangkan di antara mereka itu banyak juga isteri-isteri serdadu ... Kurang lebih sembilan puluh ribu kaum buruh wanita mogok pada hari itu. Semangat perjoangan meletus dengan berbentuk demonstrasi-demonstrasi, rapat-rapat umum dan perkelahian-perkelahian dengan polisi ... Sejumlah besar wanita-wanita, malahan bukan semuanya wanita kaum buruh, berarak-arak ke balai kota dengan maksud meminta roti ...

Hari wanita ini berakhir dengan hasil yang memuaskan, dengan semangat, dan dengan tiada korban".

Seorang-orang lain jang menyaksikan kejadian-kejadian pada waktu itu, menceriterakan tentang hari 23 Februari (8 Maret) sebagai berikut:

" Sebagai angin taufan yang membinasakan segala sesuatu yang mengadang di jalannya, bergeraklah kaum buruh wanita yang telah mata gelap karena siksaannya lapar dan siksaannya peperangan itu.

Bangkitnya kaum buruh wanita yang dendam–benci kepada penindasan yang telah ratusan tahun, itulah cetusan api yang menyalakan api revolusi Februari, revolusi yang nantinya meremuk–redamkan Tzarisme sama sekali ".

Dan surat kabar Pravda menulis seminggu kemudian:

"Lama sebelum perang, maka Internasional Proletar telah memproklamasikan hari 8 Maret (23 Februari) sebagai Hari Pesta Wanita Internasional. Tetapi seminggu sebelumnya maka pemerintah di Petrograd telah mengeluarkan larangan merayakan hari itu.

Sebagai akibat larangan itu terjadilah mula-mula perkelahian-perkelahian di paberik-paberik Putilow, yang kemudian menjalar menjadi satu rapat-raksasa, satu revolusi.

Hari pertama dari revolusi, – itulah Hari Wanita, hari Internasional kaum buruh wanita. Hormat kepada wanita! Hormat kepada Internasionale!

Wanitalah yang paling dulu keluar ke jalan–jalan Petrograd pada hari mereka itu.

Di Moskow wanita pada hari itu acapkali menentukan sikapnya prajurit-prajurit militer: mereka masuk ke asrama-asrama, menasehati serdadu-serdadu supaya memihak kepada revolusi, – dan serdadu-serdadu itu mengikuti seruannya.

Hormat kepada Wanita!"

Dan pada hari-hari yang berikutpun, wanita tetap memelopori revolusi. Trotzky menceriterakan tentang hari-hari yang berikut itu demikian:

"Dengan keberanian yang melebihi keberanian laki-laki, wanita-wanita itu mendesak-mendekati barisan-barisan serdadu, senapan-senapan serdadu itu dipegangnya, dan mereka meminta, ya hampir-hampir memerintah:"Balikkanlah bayonetmu, pindah-lah ke pihak kami!"

Maka serdadu-serdadu itu terkena hatinya, mereka merasa malu, mereka memandang satu sama lain, mereka goyang hatinya seorang-orang daripada mereka mulailah memberanikan diri – dan bayonet-bayonet itu berputar di atas pundak-pundak wanita yang mendesak mendekati mereka itu, pagar batin yang memisahkan mereka itu gugur, dan pekik hura yang penuh dengan kegembiraan dan rasa terimakasih bergegap-gempitalah memenuhi angkasa, serdadu-serdadu itu dikerumuni sama sekali, pembicaraan-pembicaraan, usul-usul dan peringatan-peringatan mulailah dengan asyiknya, – revolusi telah maju ke depan selangkah lagi" .

Fannina Halle menambah pernyataan-pernyataan ini dengan kata-kata berbunyi:

"Maka demikianlah kita melihat wanita Rusia itu di atas jalan yang panjang dan penuh duri, – jalannya Revolusi yang menuju kepada Rusia yang baru: wanita dengan keberanian hati yang sering sekali membuat malu kawan-kawan yang laki-laki, dengan penuh penyerahan jiwa raga, dengan tak takut kepada maut, dengan berjalan di sana-sini di tempat yang paling depan, dengan selalu kepalanya tegak, dengan pandangan-mata yang menuju ke masa depan yang telah melambai-lambai di seberangnya perjoangan dan korbanan-korbanan darahnya itu".

Dan akhirnya bacalah pendapat bapak revolusi Rusia sendiri yang saya cantumkan di bawah ini, yaitu pendapat Lenin!

"Di Petrograd, dan di Moskow sini, di kota-kota dan di pusat-pusat industri, di daerah-daerah pedalaman, wanita-wanita proletar bersikap dengan cara yang mengagumkan.

Jikalau tidak dengan mereka, maka kemenangan tidak mungkin kita capai. .. ltulah keyakinan saya. Alangkah beraninya mereka itu dulu, alangkah beraninya mereka itu sekarang! Coba bayangkan segenap penderitaan-penderitaan dan kemelaratan-kemelaratan yang mereka derita. Mereka tahankan semua penderitaan itu, oleh karena mereka menghendaki adanya sovyet, dan oleh karena menghendaki kemerdekaan, menghendaki komunisme.

Ya, sesungguhnya, wanita-wanita proletar kita adalah wanita-wanita pejoang kelas yang amat jempol. Mereka selayaknya harus kita hormati, mereka harus kita cintai!"

Kulebih-lebihkankah, jikalau aku mengatakan tadi, bahwa revolusi di Rusia Pusat jaya oleh karena dipelopori oleh wanita? Atau setidak-tidaknya: oleh karena wanitanya ikut-serta mutlak dalam revolusi itu?

" Jikalau tidak dengan mereka, maka kemenangan tidak mungkin kita capai!

" ... Demikianlah, kata demi kata, – "woordelijk" -, ucapan Lenin! Maka sebagai saya katakan tadi, mungkin pengalaman di Rusia-Pusat inilah – di samping segala teori – yang menjadi sebabnya pemerintah sovyet pagi-pagi telah mengerti, bahwa buat pembangunan di Rusia Timur yang masyarakatnya masih kolot bin kolot itu, yang paling dulu harus disadarkan, disemangatkan, dibangkitkan, digelorakan, ialah fihak wanita-wanitanya.

Dan itulah mereka kerjakan! Wanita di Rusia Timur mereka "serbu". Kemudian: dengan masyarakat wanita yang telah sadar itu, pembangunan umum di Rusia Timur (sudah barang tentu juga dengan masyarakat laki-laki yang disadarkan pula) berjalan-lah dengan pesatnya: pertanian, pengajaran, pemerintahan, pertahanan, peternakan, pengkolektivan, tehnik! , industrialisasi, – semuanya melancar pesat di luar dugaan, semuanya lantas membuat Rusia Timur menjadi satu dunia "laksana sulapan", sebagai dikatakan oleh seorang penulis yang namanya saya lupa, – kalau tidak salah Arthur Feiler.

Dan bagaimana kita?

Ah, apakah barangkali memang benar, bahwa beberapa kekalahan yang kita derita di dalam revolusi kita ini, sebabnya antara lain ialah oleh karena wanita kita belum mutlak ikut-serta di dalam revolusi kita itu?

Apa sebab fase pertama daripada revolusi kita di Kalimantan belum berhasil memuaskan? Mungkinkah karena wanita Kalimantan belum aktif seluruhnya? Apa sebab di Sulawesi pula fase pertama itu tidak jaya? Dan di Kepulauan Sunda Kecil? Dan tidakkah kita di Jawa dan Sumatera pula menderita beberapa kekalahan? Lagi-lagi saya ingat kepada ucapan Gandhi yang telah saya sitir tadi itu: "Banyak sekali pergerakan-pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh karena keadaan kaum wanita kita", dan lagi-lagi pula saya ingat pernyataan Lenin yang dengan tegas menyatakan bahwa "Jikalau tidak dengan mereka (wanita), kemenangan tak mungkin kita capai"!

Ah, teringatlah saya lagi kepada mata wanita di belakang tabir dulu itu! Berapa laksa atau keti, mungkin berapa milyun wanita Indonesia, terutama sekali di luar pulau Jawa, masih hidup secara begitu!

Dapatkah kita berjoang sehebat-hebatnya, membangun sehebat-hebatnya, dengan masyarakat yang berisi milyunan wanita yang begitu itu? Dan di pulau Jawa sendiri, ya, pingitan sudah jauh berkurang atau hampir habis sama sekali, – tetapi berapa prosenkah sudah ikut berjoang secara mutlak, dan dari itu lagi berapa prosenkah berjoangnya dengan penuh faham-kesadaran ?

Banyak golongan-golongan yang harus kita sadarkan dan harus kita kerahkan, banyak lapisan yang harus kita dinamisir. Pemuda, buruh, tani, pegawai, pedagang, alim-ulama, semuanya kita tarik ke dalam kancah, sekarang marilah kita dengan lebih banyak energi lagi mendinamisir pula kaum wanita, di seluruh Indonesia.

Kita, – artinya pemimpin-pemimpin wanita dan pemimpin laki–laki pula!

Sebab, terhadap kepada soal wanita ini, – soal wanita dalam segala seluk-beluknya -, sebenarnya pihak laki–laki masih harus rnengadakan pendidikan pada diri sendiri dengan cara yang sehebat-hebatnya. Dalam, ya amat dalam dilihatnya orang laki-laki, sekalipun laki-laki yang mulutnya selalu mengkernak-kernikkan "persamaan hak antara laki-laki dan perempuan" atau yang selalu mendengung-dengungkan "sosialisme" – sama rasa sama rata", seringkali masihlah ber-semayam Sang Hantu “Aku Laki-laki, Tuannya wanita", Sang Hantu "wanita blasteran dewi dan si tolol"!

Sampai di kalangan-kalangan sosialis-sosialis kiri, malahan di kalangan-kalangan komunis, penyakit “patriarchat" ini belum juga sembuh. Bacalah sekali lagi misalnya keluhan Emilia Marabini yang saya sitir di muka itu. Atau bacalah ucapan Lenin di bawah ini:

"Perjoangan komunistis kita di antara kaum wanita, perjoangan politik kita di antara mereka itu harus berisi pula satu bagian besar perjoangan mendidik kaum laki–laki. Kita harus mencabut jiwa ’Tuan’ itu sampai ke akar-akarnya habis-habisan. Mencabut, di kalangan partai dan di kalangan massa."

Saya bukan orang komunis. Tetapi maksud ucapan Lenin yang mengemukakan perlunya pendidikan kepada kaum laki-laki atau pendidikan diri-sendiri oleh kaum laki-laki itu, saya setujui sama sekali. Memang, hantu kecongkakan patriarchat belum mati sama sekali. Umumnya kaum laki-laki (obyektif) masih produknya periode "pemerintahan kaum lelaki". Tetapi sekalipun umpamanya tidak untuk membela pendirian "perempuan sederajat dengan laki-laki", atau "perempuan sama rata dengan laki-laki" – bangkitkanlah wanita itu ikut-serta mutlak sehebat-hebatnya dalam revolusi kita ini guna kepesatan revolusi itu. Buatlah wanita itu di Jawa dan lebih-lebih lagi di kepulauan Indonesia yang lain di mana keadaan wanita masih begitu amat terbelakang, benar-benar menjadi roda perjoangan kita yang satu lagi, benar-benar menjadi sayap garuda nasional kita yang satu lagi. Jika wanita tiada mutlak ikut serta, kereta kita terdampar di tanah, garuda nasional kita terpaku di bumi. Belajarlah mengerti, bahwa soal wanita adalah soal kita yang teramat penting. Belajarlah menilaikan wanita itu sebagai elemen–mutlak dalam perjoangan kita.

Dengan sengaja saya beri kepada kitab saya ini dua motto ucapan Gandhi dan ucapan Lenin tentang wanita, dan saya cantumkan dua motto itu di kaca yang paling depan, dan di bawah ini buat keempat kalinya lagi, untuk menonjolkan harga wanita itu dalam perjoangan. Perhatikanlah isi peringatan itu benar-benar.

– " Banyak sekali pergerakan–pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh karena keadaan kaum wanita kita " – Gandhi.

– " Jikalau tidak dengan mereka (wanita), kemenangan tak mungkin kita capai " – Lenin

Dan kamu, kaum wanita Indonesia, – akhirnya nasibmu adalah di tangan kamu sendiri. Saya memberi peringatan kepada kaum laki-laki itu untuk memberi keyakinan kepada mereka tentang hargamu dalam perjoangan, tetapi kamu sendiri harus menjadi sadar, kamu sendiri harus terjun mutlak dalam perjoangan. Dan di dalam perjoangan yang garis-garis besarnya telah saya guratkan di muka tadi itu, bantu-membantu mutlak antara laki-laki dan perempuan harus diselenggarakan benar-benar. Perkataan saya bahwa syarat mutlak bagi kemenangan Revolusi Nasional ialah Persatuan Nasional, sudah barang tentu juga mengenai perhubungan wanita dan laki-laki. Janganlah di dalam Revolusi Nasional ini wanita misalnya terlalu meletakkan titik berat kepada mengemukakan tuntutan-tuntutan feministis, dan melupakan tuntutan-tuntutannya perjoangan membela kemerdekaan Negara dan kemerdekaan Bangsa. Sebaliknya, adakanlah penggabungan tenaga antara perempuan dan laki-laki yang sehebat-hebatnya, adakanlah perjoangan nasional yang sebulat-bulatnya. Laki-laki dan perempuan bersama kesatu tujuan, – tiada satu tenagapun yang boleh tercecer. Feminis atau sosialis, jikalau golongan-golongan itu ada -, janganlah menentang satu sama lain, tetapi berjoanglah bahu-membahu serapat-rapatnya membela kemerdekaan nasional. Semua, semua tenaga harus diarahkan kesatu arah, kesatu tujuan revolusioner: menggempur penjajahan, membangunkan Negara Nasional yang meliputi seluruh Indonesia dan yang merdeka sepenuh-penuhnya.

Saya tahu, seribu satu soal-soal cabang daripada soal wanita ini harus kita pecahkan. Saya sendiri telah seringkali ber-musyawarah dengan pemimpin-pemimpin wanita Indonesia, dan selamanya banyaklah soal-soal cabang yang menjadi acara permusyawaratan itu. Demikian pula sering sekali saya menerima keluhan-keluhan dari kalangan wanita, yang mengemukakan keluhan bermacam-macam ragam. Misalnya soal bagaimana menyembuhkan wanita dari penyakit kompleks inferieur yang telah turun-temurun bersarang dalam jiwa mereka, soal bagaimana mendinamiskan jiwa wanita itu, soal memberi pengetahuan secepat-cepatnya kepada mereka pula, soal pendidikan gadis-gadis dan anak-anak, soal kesehatan dan kebidanan, soal mengeficientkan rumah-tangga, soal wanita baik atau tidak menjadi prajurit tentara sekarang, soal mempraktekkan persamaan hak yang dalam teorinya telah diakui yuridis politis dalam undang-undang dasar Republik, soal hal wanita di daerah-daerah pendudukan Belanda, soal mengejar jarak kemajuan antara wanita di Jawa dan wanita di pulau-pulau lain, dan lain-lain soal seribu satu lagi yang penting-penting, tetapi juga sampai yang setetek-bengek-setetek-bengeknya pun, – soal-soal cabang yang demikian itu sudah sering saya hadapi. Soal-soal itu ada yang mirip-mirip "tingkat kesatu", ada yang nyata-nyata soalnya "tingkat kedua", dan ada yang mengenai "retak" yang di muka tadi berulang-ulang telah saya bicarakan berhu-bung dengan "tingkat ketiga" daripada perjoangan wanita itu.

Itu sama sekali tergantung dari sifatnya kalangan yang mengemukakan soal itu. Memang masyarakat kita terdiri dari kalangan-kalangan yang obyektif masih hidup di atas salah satu daripada tiga "tingkat" itu: Ada golongan atasan, ada golongan buruh dan tani, ada golongan yang terkungkung oleh faham-faham agama yang masih kolot. Tetapi di dalam permusyawaratan-permusyawaratan yang demikian itu, saya selalu hanya memberi petunjuk garis–garis besar saja, dan selalu saya peringatkan bahwa soal wanita hanyalah dapat diselesaikan oleh wanita sendiri. Terutama sekali di dalam prakteknya pemecahan soal-soal cabang, soal-soal ranting, – siapa yang dapat menolong wanita jika wanita sendiri tidak memecahkannya? Tidak berusaha, tidak bertindak, tidak beraksi, tidak pula mencari jalan?

Saya sefaham dengan Vivekananda yang selalu, jikalau ditanya oleh orang laki-laki tentang soal-soal kecil urusan wanita (soal-soal yang tidak prinsipiil) lantas menjawab:

"Apakah aku ini seorang wanita, maka engkau selalu menanyakan hal-hal yang semacam itu kepadaku? ... Engkau itu apa, maka engkau mengira dapat memecahkan soal-soal wanita? Apa engkau itu Tuhan Allah, maka engkau mau menguasai tiap-tiap janda dan tiap-tiap perempuan? Handsoff! Mereka akan mampu menyelesaikan soal-soalnya sendiri!"

Ya, wanita sendiri harus bertindak, wanita sendiri harus berjoang! Tetapi ini tidak berarti, bahwa wanita harus berusaha terpisah sama sekali dari fihak laki-laki. Tidak, untuk kepentingan wanita pula, wanita harus menjadi roda hebat dalam Revolusi Nasional; wanita di dalam Revolusi kita ini harus bersatu aksi dengan laki-laki, dan wanitapun harus bersatu aksi dengan wanita pula. Jangan terpecah belah, jangan bersaing-saingan! Jangan ada yang memeluk tangan!

Di dalam Revolusi Nasional kita ini semua golongan harus didinamisir, dan semua golongan itu harus diarahkan ke satu tujuan pula, – jangan ada dua golongan, walau yang sekecil-kecilnyapun, yang bertabrakan satu sama lain. Oleh karena itulah, maka sejak dari tahun 1928 saya menganjurkan kepada wanita Indonesia untuk memborong ketiga–tiga tingkatan itu di dalam satu gelombang yang mahasakti, memborong tingkat kesatu + tingkat kedua + tingkat ketiga itu (yang di dalam masyarakat kita obyektif tentu ada) di dalam satu sintese program perjoangan wanita, yang bersama–sama dengan laki–laki (tidak antilaki–laki) betul–betul menggegap-gempitakan tenaga nasional. Dan sekarang di dalam Revolusi Nasional kita ini, lebih-lebih lagi saya mendengungkan kepada wanita Indonesia, supaya pemimpin-pemimpinnya cakap menyusun sintese–program yang demikian itu, dan dengannya menyadarkan, membangkitkan, menggelorakan seluruh wanita Indonesia dari seluruh lapisan, menjadi roda hebat atau sayap hebat daripada Revolusi Nasional kita ini, – Revolusi Nasional Totaliter -, dengan isi-isi sebagai yang saya uraikan panjang-lebar di muka tadi.

Jikalau umpamanya di Indonesia ini ada bermacam-macam perserikatan-perserikatan wanita atau partai-partai wanita, – entah dari tingkat kesatukah, atau feminiskah, atau neo-feminis-kah, atau sosialiskah, – jadikanlah perserikatan-perserikatan atau partai-partai wanita itu sedapat mungkin berfederasi atau beraksi bersama, menjadi satu gelombang maha besar yang di bawah panji-panjinya sintese program itu menggelombang ke satu arah, ke arah benteng penjajahan, yang harus diremuk-redamkan bersama-sama, dihantam hancur-lebur bersama-sama. Buatlah Revolusi Indonesia ini betul-betul Revolusi Nasional, Revolusi Nasional yang Totaliter!

Revolusi Nasional yang Totaliter, dengari isi-isi sebagai yang saya uraikan itu, sebagai pembuka pintu kepada masyarakat sosialisme, – satu-satunya masyarakat yang dapat memberikan kebahagiaan kepada wanita!

Apakah ini berarti satu anjuran tersembunyi kepada wanita Indonesia, supaya menjadi anggota daripada mitsalnya "Partai Sosialis?" Sama sekali tidak! Saya mengharap wanita bergerak, tetapi saya bukan propagandis sesuatu partai. Saya tidak mengutamakan sesuatu partai. Faham sosialisme saya kemuka-kan di dalam kitab ini di dalam artinya yang umum, tidak berhubungan dengan anggapan atau program atau organisasi sesuatu partai. Cita-cita sosialisme memang bukan monopolinya sesuatu partai, bukan milik sendirinya sesuatu golongan manapun juga. Lama sebelum partai-partai yang sekarang ini berdiri, lama sebelum Revolusi kita ini berjalan, ya, lama sebelum perang Pasifik pecah yang memungkinkan Revolusi kita itu meledak, cita-cita sosialisme telah mengisi dadanya banyak kaum pergerakan Indonesia yang sadar, – sudah mewahyui nasionalisme kita menjadi sosio-nasionalisme dan demokrasi kita menjadi sosio-demokrasi.

Ya benar, saya memakai perkataan "sosialisme", – tetapi pakailah perkataan lain kalau Tuan mau, asal isi maknanya sama, yakni satu masyarakat yang berkesejahteraan sosial dan ber-keadilan sosial.

Yang di dalamnya tiada eksploatasi manusia oleh manusia, tiada eksploatasi pula manusia oleh negara, tiada kapitalisme, tiada kemiskinan, tiada perbudakan, tiada wanita yang setengah mati sengsara, karena memikul beban yang dobel atau menjadi keledai yang menarik dua gerobak, tiada wanita yang senewen karena siksaan penyakit "retak" yang membingungkan menggilakan kepadanya.

Saya memakai perkataan sosialisme itu oleh karena perkataan sosialisme telah lazim, oleh karena saya tak dapat mencari perkataan lain yang lebih tepat, dan juga oleh karena dengan terminologi (perkataan) sosialisme itu pembaca dapat memperdalam pengetahuannya tentang sosia-lisme dan gerakan wanita sosialis di buku-buku lain, – bukan oleh karena saya hendak mengutamakan sesuatu partai. Saya hanya mengharap, bahkan membangkitkan segenap jiwa-ragaku dalam usaha, supaya seluruh rakyat Indonesia laki-laki perempuan, tua-muda, berjoang, berjoang, berjoang dan sekali lagi berjoang, – aktif dan dinamis -, di dalam perjoangan nasional bersama dengan isi-isi tujuan ke arah sosialisme itu, tidak perduli di dalam partai manapun juga atau gerakan manapun juga. Saya mengutamakan keaktifan dan isi keaktifan itu, tidak mengutamakan nama-nama dan formalitas!

Saya nasionalis, dan Insya Allah di dalam seluruh Revolusi Nasional ini politis akan tetap mengutamakan nasionalisme, tetapi saya cinta pula kepada sosialisme oleh karena fikiran saya berkata, bahwa akhirnya hanya dalam masyarakat sosialismelah manusia dan dunia dapat selamat. Saya mengajak segenap wanita Indonesia dan segenap rakyat Indonesia mencintai dan mengejar sosialisme itu (via Revolusi Nasional) oleh karena fikiran saya berkata, bahwa hanya dalam sosialisme lah wanita Indonesia dan rakyat Indonesia dapat kebahagiaan, bahkan seluruh wanita sedunia dan seluruh kemanusiaan sedunia pula. Memang kebahagiaan kemanusiaan sedunia itulah tujuan sosial kita yang terakhir, idam-idaman sosial kita yang terakhir!

Dan ... entah ini dimengerti orang atau tidak ... saya mencintai sosialisme, oleh karena saya ber-Tuhan dan menyembah kepada Tuhan. Saya mencintai sosialisme, oleh karena saya cinta kepada Islam. Saya mencintai sosialisme dan berjoang untuk sosialisme itu, malahan sebagai salah satu ibadah kepada Allah. Di dalam cita-cita politikku aku ini nasionalis, di dalam cita-cita sosialku aku ini sosialis, di dalam cita-cita sukmaku aku ini sama sekali theis: Sama sekali percapa kepada Tuhan, sama sekali ingin mengabdi kepada Tuhan. Tetapi untuk menerangkan hal ini, bukanlah tempatnya di dalam kitab ini.

Saja menulis kitab ini melulu buat mengupas soal wanita dan membicarakan kewajiban wanita dalam perjoangan Republik Indonesia. Buat mencoba mencetuskan api idam-idaman jiwaku kepada segenap wanita Indonesia, yang jika tiada mereka tak mungkin kita mencapai kemenangan sosial. Wahai wanita Indonesia, buat engkaulah kitabku ini, buat engkaulah aku menggoyangkan pena, kadang-kadang di bawah sinar lilin sampai jauh di waktu malam! Sadarlah, bangunlah, bangkitlah, berjoanglah menurut petunjuk-petunjuk yang kuberikan itu! Berjuanglah, bangkitlah sehebat-hebatnya, sebab sebagai tadipun telah kukatakan, tiada orang lain dapat menolong wanita, melainkan wanita sendiri!

Jangan segan jerih-payah, buanglah jauh-jauh tiap-tiap kuman inferioriteits-complex! Memang perjoanganmu bukan perjoangan ringan, perjoanganmu adalah perjoangan raksasa. Memang tujuan yang kugambarkan di kitab ini bukan tujuan yang kecil, tetapi tujuan yang amat besar. Tiada tujuan besar dapat tercapai dengan tiada jerih payah, dengan tiada mengatasi kesukaran-kesukaran, dengan tiada melakukan pengorbanan-pengorbanan.

Agust Bebel, kampiun wanita yang sering kusebut-sebut namanya di muka tadi, mengunci bukunya "Die Frau und der Sozialismus" dengan kata-kata:

"Juga di atas pundak wanitalah terletak kewajiban untuk tidak ketinggalan di dalam perjoangan ini, dalam mana diperjoangkan kemerdekaan mereka dan pembebasan mereka. Mereka sendirilah harus membuktikan, bahwa mereka mengerti benar-benar tempat mereka dalam perjoangan sekarang yang mengejar masa depan yang lebih baik itu, – bahwa mereka telah bertetap hati ikut–serta dalam perjoangan itu. Pihak laki-laki berkewajiban, membantu mereka itu dalam membuang semua purbasangka yang salah, dan membantu mereka itu dalam ikut serta mereka dalam perjoangan.

Jangan satu orangpun menilaikan tenaganya terlalu rendah, dan mengira bahwa satu orang ikut atau satu orang tidak ikut, tidak menjadi apa. Guna kemajuan kemanusiaan itu, tiada tenaga satupun, walau yang sekecil-kecilnyapun, yang dapat dianggap tiada berharga. Tetesan air yang terus-menerus, akhirnya membuat lobang dalam batu yang bagaimana kerasnyapun juga. Dan tetesan-tetesan air menjadilah sungai kecil, sungai-sungai kecil menjadilah sungai besar, sungai-sungai besar berhimpun dalam sungai benua. Tiada satu halanganpun akhirnya cukup kuat untuk menahan alirannya yang maha hebat itu. Demikianlah pula keadaan di dalam hidup kebudayaannya kemanusiaan; selamanya alam itu memang menjadi guru kita. Jikalau kita bertindak sesuai dengan alam itu, maka kemenangan akhir pasti nanti datang.

Kemenangan itu akan makin menjadi besar, bilamana semua orang masing-masing meneruskan perjalanannya dengan cara yang lebih rajin dan lebih giat. Keraguan hati, apakah kita masih akan melihat permulaannya periode kebudayaan yang lebih indah itu, yakni apakah kita masih akan mengalami permulaan-nya periode itu, pertimbangan-pertimbangan semacam itu tak boleh menghambat kita, dan sekali-kali tak boleh menjadi sebab untuk meninggalkan jalan yang sudah kita injak.

Kita tak mampu menentukan berapa lamanya atau bagai-mana sifatnya bagian-bagian pertumbuhan itu satu-persatu, sebagaimana kitapun tak mampu mengatakan apa-apa dengan yakin tentang berapa panjang usia kita sendiri, tetapi harapan akan mengalami kemenangan itu tak perlu kita lepaskan di dalam zaman seperti zaman yang kita alamkan sekarang ini. Kita berjoang terus dan berusaha terus, dan tak memperdulikan soal "di mana" atau "kapan" batu-batu tandanya zaman bahagia bagi kemanusiaan itu akan dipasang.

Dan jikalau kita jatuh di padang perjoangan ini, maka turunan-turunan kita mengisi tempat kita itu. Dengan demikian kita jatuh dengan keinsyafan, bahwa kita telah memenuhi kewajiban kita sebagai manusia, dan dengan keyakinan, bahwa tujuan kita pasti nanti tercapai, bagaimanapun juga musuh-musuhnya kemanusiaan menentang tercapainya tujuan itu!"

Demikianlah Bebel! Saya teruskan pesanan Bebel itu kepada kamu, wanita-wanita Indonesia. Malah saya tambah lagi: bandingkanlah zaman Bebel itu dengan zaman kita sekarang ini! Bebel bicara dalam zaman yang meski ada Undang-undang Sosialis sekalipun, masih bernama aman jika dibandingkan dengan zaman kita sekarang ini. Kita, kita sekarang ini berada dalam zaman perjoangan yang sepuluh, seratus kali lebih gegap-gempita daripada zamannya Bebel itu. Kita sekarang ini dalam bahaya, Negara kita dalam bahaya, meriam, bom dan dinamit menggeledek dan mengguntur di angkasa, ribuan rakyat dan prajurit kita mati bergelimpangan, kota-kota kita menjadi puing, desa-desa kita menjadi lautan api, bumi Republik menjadi laksana menggempa, – segenap tenaga pertahanan kita kerahkan habis-habisan untuk mempertahankan Republik kita yang diserang itu. Sungguh seratus kali lebih genting keadaan kita jika dibandingkan dengan keadaan perjoangan sosialis di Jermania itu! Manakala Bebel menegaskan bahwa tiada seorangpun boleh ketinggalan, – betapa pula dengan kita sekarang ini? Ibaratnya, bukan saja manusia yang harus kita kerahkan, tetapi juga segala isi alam ini, yang berupa apapun, harus kita gugahkan, bangkit-kan, mobilisasikan untuk membela Negara yang hendak dihancurkan musuh itu. Di Jermania adalah dulu itu perjoangan di bawah ancaman Undang-undang Sosialis, tetapi di sini perjoangan adalah perjoangan membela hidup terhadap serangan kontra-revolusi yang sedang memuntahkan peluru dan memuntahkan api, sedang mengamuk, membinasa, membunuh, membakar! Tidak seorangpun boleh ketinggalan dalam perjoangan yang semacam itu!

Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika Republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional.

Jangan ketinggalan di dalam Revolusi Nasional ini dari awal sampai akhirnya, dan jangan ketinggalan pula nanti di dalam usaha menyusun masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan-sosial.

Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia, wanita yang Merdeka!

  1. Perlu diterangkan di sini bahwa kedudukan yang baik dari perempuan di dalam zaman hukum peribuan itu ialah di dalam hukum peribuan yang karena perezekian, sebagai yang saya terangkan di atas ini. Tetapi ada pula hukum peribuan yang tidak karena perezekian, melainkan hanya buat mengurus keturunan saja. Maka di sini tidak selalu kedudukan perempuan itu baik. Teori Bachofen yang mengatakan, bahwa hukum peribuan selalu mengasih kedudukan mulia kepada perempuan, harus dianggap belum mutlak.
  2. (Suffragium = hak-bersuara, hak-perwakilan).
  3. (Lihatlah uraian dalam bab III).