BAB IV

ANALISA HASIL PENELITIAN

Analisa Sanksi Pidana dalam Pasal 83 Ayat (1) huruf b Juncto ayat dua belas huruf e UU “No. 18 Tahun 2013 tentang Pengurangan dan Pencegahan Perusakan Kehutanan,” analisis hukuman hakim terkait putusan Nomor.294/ Pid.B /LH/2023/ PN Bls sudah patuh.

Kekhawatiran Penelitian Ini adalah akibat dari kegiatan pembalakan liar yang dilakukan Sofyan Roman Als Pian Bin Suparno. Siapa yang Anda patuhi? Pada Rabu, 8 Maret 2023, terjadi peristiwa kriminal di Desa Mengkikip , Kecamatan Tebing Tinggi Barat, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Pada hari Rabu tanggal 8 Maret 2023, terdakwa meminta bantuan kepada Edi Juana alias Iju , saksi rumah, untuk mendampingi dan mendampingi terdakwa di atas KM Tanpa Nama yang akan pergi membawa kayu tanpa sepengetahuan atau persetujuan terdakwa. Saat terdakwa bersama rekannya warga setempat sampai di tempat penyimpanan tepian sungai Desa Mengkip , mereka mengisi KM Tanpa Nama dengan kayu olahan.

Setelah itu, Edi Juana alias Iju , terdakwa, berangkat ke Desa Segamai . Kira-kira tengah malam waktu setempat (WIB) pada hari Kamis tanggal 9 Maret 2023 atau pada waktu lain pada bulan Maret 2023 atau waktu lain pada tahun 2023. Dengan menggunakan KM, terdakwa Sofyan Roman (alias Pian Bin Suparno) dan saksi Edi Juana (alias Iju ) dalam perjalanan menuju Desa Segamai Tidak Terdaftar Petugas dari Kecamatan Selat Lalang, Kabupaten Tebing Tinggi Barat, Provinsi Riau, menggunakan Speed Boat Polisi untuk melakukan interogasi dan akhirnya menangkap terdakwa pada tanggal 24 Februari 2023, di sebuah posisi. 0°49 20 LU - 102°25 55 BT. Tindakan ini dilakukan menanggapi Surat Perintah Berlayar Nomor: SPB/105/II/PAM.5.12/2023/ Ditpolairud yang menyatakan bahwa tergugat harus mempunyai surat-surat yang sah. berupa Sertifikat Legalitas Hasil Hutan. Seusai diantar menuju dermaga terdekat, terdakwa menemukan lima ton kayu olahan jenis meranti, sebagaimana dijelaskan dalam surat dakwaan. Terdakwa juga membeli satu unit KM dari Kakak Joana yang telah meninggal dunia, tanpa disertai kuitansi, surat pembelian, atau surat pembelian. Oknum warga Desa Mengkip , Kecamatan Tebing Tinggi Barat, Provinsi Riau, yang diketahui terdakwa, menjual kayu yang sudah diolah menjadi jenis meranti. Tidak cukup, terdakwa membeli kayu tersebut dengan cara yang metodis dan memakan waktu. Apabila persediaan kayu terdakwa kurang dari lima ton setelah satu bulan, maka terdakwa akan meletakkan kayu tersebut di tepi sungai Desa Mengkip agar dapat ditemukan oleh korban. Sejauh ini, Republik Indonesia belum menerima penerimaan negara terkait kayu baik berupa Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) maupun Dana Reboisasi (DR).

Untuk memindahkan kayu Terdakwa yang telah menjalani proses pemilahan kayu (KO) atau penggergajian, terdapat 255 komponen pada Kelompok Tipe Meranti, dan volume gabungannya adalah 5,5364 m3. Spesialis mendalami topik Terdakwa didakwa melakukan pengangkutan dan penguasaan kayu olahan jenis meranti yang saat ini tidak termasuk dalam kategori kayu budidaya menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021. Republik Indonesia. Peraturan ini mengatur rencana pengelolaan dan konfigurasi hutan, serta pemanfaatan hutan pada hutan lindung dan hutan komersial. Pasal 287 Ayat (1) huruf b menyebutkan jenis kayu yang digunakan untuk budidaya ada 32 jenis, antara lain jati, mahoni masih kelapa, kecapi, kenari, tanaman ini, sukun, rambutan, nangka, dan sebagainya.

Dalam perkara Hari ini, Jaksa Penuntut Umum menuntut :

1. Terdakwa Sofyan Roman dengan nama samaran Pian Bin Suparno dinyatakan bersalah tanpa keraguan atas pelanggaran yang tercantum dalam undang-undang berikut: Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Penghapusan Degradasi Hutan Konversi, Pasal 37 PERPU RI No. 2 Tahun 2022 tentang Penciptaan Tenaga Kerja, dan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Perihal tersebut.

2. Terdakwa dipidana dengan pidana penjara selama tiga tahun, dikurangi waktu yang telah dihabiskan, ditambah denda sebesar lima ratus juta rupiah dan masa percobaan tiga bulan.

3. Terdakwa tetap ditahan.

4. Nyatakan buktinya:

1 unit KM yang tidak disebutkan namanya.

b) kayu olahan jenis meranti dan campuran sebanyak 5 ton.

Disita untuk Negara.

5. Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp5.000 (lima ribu).

Rupiah).

Kemudian Majelis Hakim dalam Putusannya menyatakan bahwa:

Menyatakan kembali bahwa dakwaan tunggal Jaksa Penuntut Umum menetapkannya secara sah dan persuasif.

Wajib denda sebesar Rp500.000.000 dan/atau satu tahun delapan bulan penjara. kegagalan untuk membayar denda mengakibatkan satu bulan penjara tambahan.

Terdakwa tetap ditahan

Nyatakan buktinya:

1 unit KM yang tidak disebutkan namanya.

5 ton kayu olahan jenis meranti dan campuran.

Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp5.000

Penyidik akan menjabarkan komponen-komponen pelanggaran yang terdapat dalam aturan tersebut dan mengaitkannya dengan kejadian tersebut untuk membuktikan apakah perbuatan pelaku melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Penebangan Perusakan Hutan, Pasal 83 Ayat (1) huruf b Juncto Pasal 12 huruf e. peristiwa-peristiwa seputar perkara yang sedang diselidiki, kemudian peneliti akan mengevaluasi putusan hakim tentang hukuman bagi pelanggar dengan memperhatikan syarat-syarat pasal tersebut.

Dalam pandangan Moeljatno, suatu perbuatan pidana harus mencakup perbuatan melawan hukum dan ancaman pidana agar dapat dianggap sebagai kejahatan yang nyata.

Selanjutnya R. Tresna menjelaskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana, yaitu perbuatan manusia atau serangkaian kegiatan yang melanggar peraturan perundang-undangan dan mengakibatkan pidana.

Menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan mengatur hal-hal sebagai berikut:

Melakukan penebangan pohon di area dimana hutan tidak melakukan penebangan . sesuai dengan izin pemanfaatan hutan.

Melakukan penebangan pohon pada kawasan hutan tanpa izin sendiri yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang .

Menebang pohon di kawasan hutan tanpa alasan yang jelas.

Pengangkutan, bongkar muat, penanganan, dan/atau penebangan pribadi di dalam hutan sekitar tanpa izin.

Tanpa adanya surat keterangan yang benar maka kayu hutan yang diangkut, dikuasai, atau dimiliki sendiri tidak dapat dimanfaatkan secara sah.

Menghapus peralatan yang biasa digunakan untuk menebang, menebang, atau membelah pohon dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.

Seharusnya, Anda perlu memindahkan hasil hutan di dalam kawasan tanpa izin dari pihak yang berwenang, jadi jangan membawa alat berat atau barang apa pun yang tidak lazim atau tidak sesuai.

Memanfaatkan hasil hutan yang diduga kayunya berasal dari hasil pembalakan liar.

Penebangan liar menyebabkan kayu beredar melalui udara, air, dan tanah.

Melalui jalur air, darat, atau udara, menyelundupkan kayu-kayu yang berasal dari Negara Kesatuan Indonesia ke dalam atau ke dalam wilayah tersebut.

Pembalakan liar merupakan sumber dari dampak negatif yang diketahui terhadap hutan, yang meliputi penerimaan, pembelian, penjualan, penukaran, penerimaan titipan, dan sebagainya.

Pembelian, materi promosi, dan/atau hasil pengolahan yang berasal dari kayu yang dipanen atau diperoleh secara tidak sah dari kawasan hutan.

Kayu yang digunakan dalam kegiatan tersebut tidak berasal dari sumber yang sah, oleh karena itu Anda tidak boleh membeli, menjual, menukar, menitipkan, mengawetkan, atau menggunakannya untuk keperluan Anda sendiri.

Kemudian Pasal 12 A UU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang merumuskan bahwa :

Perorangan penduduk yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di atas

mengenakan sanksi administratif karena tidak memenuhi persyaratan Pasal 12 huruf a sampai dengan huruf f dan/atau h, dalam jangka waktu sekurang-kurangnya lima tahun secara terus menerus.

Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dikecualikan kepada :

Anggota masyarakat setempat atau perorangan yang telah tinggal di Kawasan Hutan sekurang-kurangnya selama lima tahun terus-menerus dan terdaftar dalam kebijakan Kawasan Hutan dapat mengajukan permohonan.

mereka yang telah menerima hukuman sosial atau adat.

Dari apa yang dapat kami simpulkan dari makalah tersebut, nampaknya illegal logging merupakan salah satu unsur yang melanggar hukum. :

Penebangan kayu.

Mengolah kayu .

Jual kayu.

Beli kayu.

Baik Anda seorang pengangkut, ahli, atau individu yang memiliki hutan sendiri, Anda harus siap untuk memanen kayu secara legal dari properti Anda sendiri . .

Ada aturan yang melarang hukum .​ Dan

Bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku .

Selain itu, sanksi terhadap tindak pidana illegal logging lebih lanjut dituangkan dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Di lokasi mana saya harus meletakkan tag:

Perorangan Yang Dengan Sengaja :

melakukan penebangan pada kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d, memuat, membongkar, memindahkan, mengangkut, mengatur, dan/atau memiliki hasil penebangan.

Menurut maksud Pasal 12 huruf e, kayu hutan hasil pengangkutan, penguasaan, atau milik sendiri tidak dapat dipasang sedemikian rupa sehingga menjadi hutan hasil yang sah.

memanfaatkan kayu yang mungkin berasal dari pembalakan liar sesuai dengan ketentuan Pasal 12 huruf h. Bagi yang terbukti bersalah akan dikenakan sanksi pidana berupa denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan pidana penjara paling singkat lima tahun.

Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:

melakukan salah satu tindakan berikut ini di dalam kawasan hutan: memuat, membongkar, melepaskan, mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil penebangan kayu; melakukan perbuatan-perbuatan tersebut di atas tanpa surat keterangan sah hasil hutan; dan terakhir, melakukan perbuatan-perbuatan tersebut di atas tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d.

dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan pidana penjara paling singkat 8 bulan dan paling lama 3 tahun karena melakukan eksploitasi hasil hutan kayu secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h.

Barangsiapa terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) huruf c, yang bertempat tinggal atau berdekatan dengan hutan, diancam dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan pidana penjara paling banyak lima ratus juta rupiah. dalam denda, atau keduanya.

Perusahaan yang:

melakukan penebangan pada kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d, memuat, membongkar, memindahkan, mengangkut, mengatur, dan/atau memiliki hasil penebangan.

Tidak diperkenankan mengangkut, memiliki, atau memiliki kayu yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e. dan /atau menggunakan kayu yang diduga berasal dari penebangan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h.

harus membayar pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) dan menjalani hukuman paling singkat 5 tahun dan paling banyak 15 tahun penjara jika terbukti bersalah.

Isi surat tambahan tentang penciptaan lapangan kerja yang dimasukkan ke dalam Pasal 83 UU nomor. 2 Tahun 2022 dari Ketentuan Huruf d Pasal 83 UU No. 18 Tahun 2013 berbunyi sebagai berikut:

Dihukum karena :

pengelola diancam dengan pidana penjara paling sedikit lima tahun dan paling lama lima belas tahun, serta denda paling sedikit lima sampai lima belas miliar rupiah. dan/atau

Perusahaan dikenakan denda sebesar 1/3 (sepertiga) dari jumlah hukuman.

Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan selama persidangan, penulis berkesimpulan bahwa Sofyan Roma Als Pian Bin Suparno melakukan tindak pidana pembalakan liar sebagai berikut: (1) tidak mendapat izin dari pejabat yang berwenang; dan ( 2) tidak memiliki sertifikat legalitas hasil hutan. Tenang saja karena bertentangan dengan huruf b Pasal 83 ayat (1) dan huruf e Pasal 12 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pencegahan Perusakan Hutan.

Putusan hakim terhadap pelaku disebut juga “ Untuk mengetahui ”. Setelah dipastikan semuanya sesuai dengan Pasal 83 Ayat (1) huruf b dan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, maka pemikiran hakim dan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku akan jelas.

Dakwaan terhadap terdakwa Sofyan Roman Als Pian Bin Suparno disetujui hakim setelah jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan terhadapnya. Terdakwa dinyatakan bersalah atas beberapa pelanggaran, termasuk mengangkut kayu tanpa peralatan yang diperlukan. Hal tersebut melanggar beberapa undang-undang, antara lain namun tidak terbatas pada Pasal 83 ayat 1 huruf b juncto UU Nomor 18 Tahun 2013, Pasal 12 huruf e PERPU RI Nomor 2 Tahun 2022, dan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan penyakit. perusakan hutan yang telah ditransformasi.

Berikut komponen-komponen tindak pidana illegal logging menurut penilaian hakim:

Individu .

Jika Anda mencari hutan hasil hukum, Anda tidak akan menemukannya dilengkapi dengan informasi transportasi, master, atau surat pribadi.

Berikut ini jelas faktor-faktor apa saja yang menjadi pertimbangan majelis hakim:

"individu" :

Pasal 1 Pasal 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pengendalian “Bencana Hutan” dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penciptaan Lapangan Kerja di Negara Republik Indonesia menyatakan:

“Apabila suatu perusahaan atau perseorangan melakukan perusakan hutan dengan cara yang dilakukan di wilayah hukum Indonesia atau disebabkan oleh peraturan perundang-undangan Indonesia, maka perusahaan atau perseorangan tersebut tunduk pada yurisdiksi Indonesia.”

Yang dimaksud dengan “yang mengaturnya sendirian” adalah tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang terdiri dari setidaknya dua orang yang bekerja sama dengan cara yang telah ditentukan dengan tujuan menghancurkan hutan. Hal ini tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di dekat hutan dan melakukan pertanian tradisional, penebangan kayu, atau bentuk pemanenan kayu lainnya untuk kebutuhan mereka sendiri atau untuk keuntungan komersial.

Suatu tindak pidana memerlukan sekurang-kurangnya dua orang yang mempunyai kemampuan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, kecuali jika Undang-undang Dasar dengan jelas menyatakan lain, dan unsur “orang perseorangan” memperjelas bahwa aspek itu diancam dengan undang-undang.

Tidak salah secara persona apabila Jaksa Penuntut Umum menghadirkan perkara terdakwa Sofyan Roman alias Pian Bin Suparno pada sidang lanjutan dan telah memberikan justifikasi yang cukup terhadap segala hal mengenai identitasnya sebagaimana tercantum dalam surat dakwaan, bukti DNA, dan hukum persidangan.

Uraian dan fakta di atas menunjukkan bahwa syarat “orang perseorangan” telah dipenuhi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut Pasal 12 huruf e, unsur “dengan sengaja mengangkut, menguasai, atau hasil hutan kayu sendiri tidak dilengkapi ” dengan benar memadukan keterangan surat dengan hutan hasil sahnya.

Mengingat hal tersebut dalam bab ini, Cara lain untuk melihatnya adalah bahwa orang yang melakukan aktivitas tersebut ingin melakukannya dan tahu persis apa yang dia lakukan.

Dalam konteks Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Deteksi Dini dan Pemberantasan Perusakan Hutan, hakim menegaskan, majelis hakim khususnya di masa lalu akan mempertimbangkan unsur utama yaitu “perjalanan, penertiban, atau mempunyai sifat alternatif,” sebelum mengambil keputusan. Alhasil, majelis hakim langsung memilih tindakan yang paling mendekati, yaitu pengangkutan, dengan terdakwa.

Salah satu pengertian pengangkutan adalah “prosedurnya dimulai dari pemuatan hutan hasil ke dalam alat angkut, selanjutnya hutan hasil dipindahkan ke tempat tujuan, dan terakhir dilakukan pembongkaran, penurunan, atau pengeluaran hutan hasil dari alat angkut”. sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan di Republik Indonesia.

Secara khusus, “Tempat dalam hutan adalah tempat tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dilaporkan keberadaannya sebagai hutan,” sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013.

Yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 adalah yang dimaksud dengan “kayu hutan hasil adalah kayu hasil hutan berbentuk bulat, kayu bulat kecil, kayu analisa atau kayu yang berasal berpasangan ” dari hutan kawasan. Apa kamu tau maksud saya? Yang dimaksud dengan “kawasan hutan” adalah suatu wilayah tertentu yang ditetapkan oleh negara untuk tetap ada sebagai hutan.

Akibatnya apabila diketahui terdakwa yang mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan tidak mempunyai Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Kayu (SKSHHK). Apa yang terjadi dengan para korban? kasus ini adalah negara Indonesia Republik, karena Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Kehutanan (DR) kayu tersebut belum disetor kepada Negara sebagai Penerimaan Pajak (PNBP).

Berdasarkan temuan pengadilan, setiap kayu hutan yang diangkut, disimpan, atau dimiliki harus disertai Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Kayu (SKSHHK). Selain itu, pasal 4 ayat (1) peraturan no. P.85/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2016 yang diterbitkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia menyatakan bahwa:

“Produk yang terbuat dari kayu yang telah diolah oleh manusia harus memiliki Surat Pengangkutan Lanjutan, serta Surat Pengangkutan untuk komoditas yang ditanam dengan baik di hutan.”

“Jika tidak dimuati informasi mengenai hasil hutan yang sah, maka unsur yang sengaja mengangkut hasil kayu hutan tidak akan dapat berfungsi.” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e, telah dipenuhi menurut peraturan perundang-undangan, berdasarkan fakta-fakta yang diuraikan di atas.

Putusan hakim mengenai pidana pidana terhadap terdakwa Sofyan Roman als Pian Bin Suparno adalah sebagai berikut:

Oleh karena itu, pelapor dijatuhi hukuman satu tahun delapan bulan penjara dan denda sebesar lima ratus juta rupiah (Rp), dengan kemungkinan satu bulan kurungan tambahan sebagai pengganti denda jika tidak dibayar.

Seluruh masa hukuman Terdakwa yang mendekam di bui atau penjara akan dikurangi dengan pengurangan hukuman pidana.

Memutuskan agar Terdakwa tetap ditahan.

Menentukan alat bukti berupa.

1 (satu) satuan KM. TANPA NAMA.

5 (lima) ton kayu Meranti olahan dan kayu campuran.

Disita untuk Negara.

3. Membebankan Tergugat untuk membayar biaya perkara

sejumlah Rp5.000,00 (lima ribu rupiah).

Sejauh ini menurut penulis persyaratan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Perusakan Hutan, yaitu Pasal 83 Ayat (1) huruf b Juncto Pasal 12 huruf e, telah terpenuhi atau sesuai. terlihat dari penjelasan hakim mengenai pertimbangan dan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku. Penebangan liar dilakukan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e, yaitu:

A. Mengangkut.

B. Kontrol. atau

C. Menggunakan material hutan untuk kayu tanpa dokumentasi status hukum yang tepat.

Dalam persidangan, terdakwa Sofyan Roman alias Pian Bin Suparno terbukti melakukan tindak pidana pengangkutan, penguasaan, dan kepemilikan kayu sebanyak lima metrik ton dengan memenuhi syarat-syarat tersebut di atas. Jenis-jenis meranti olahan yang disebutkan dalam surat dakwaan digunakan oleh Saudara Joana (almarhum) tanpa surat keterangan yang layak, seperti kuitansi, serta diangkut, dikuasai, dan dimiliki tanpa surat keterangan legalitas hasil hutan. Bukti tersebut menunjukkan adanya pelanggaran terhadap Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Selanjutnya, untuk menentukan pelanggaran yang dilakukan terdakwa, pengadilan merujuk pada pasal Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Disintegrasi Hutan sebagai berikut:

“ Mengirimkan, mengelola, atau memiliki barang hasil hutan kayu tanpa memiliki sertifikasi hasil hutan yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e.”

Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pelanggaran ini dapat mengakibatkan pidana kurungan selama satu tahun atau lebih, denda paling sedikit 500.000.000 Rupiah, atau paling banyak 2.500.000.000 Rupiah.

Putusan pidana pengadilan terhadap terdakwa berbunyi sebagai berikut:

Menghukum Terdakwa atas pelanggaran tersebut dengan pidana denda sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan pidana penjara selama 1 bulan apabila pembayaran tidak dibayar.

Seluruh masa hukuman Terdakwa yang mendekam di bui atau penjara akan dikurangi dengan pengurangan hukuman pidana.

Temukan bahwa terdakwa masih ditahan di penjara.

Keputusan hakim yang menyatakan pidana tersebut tidak melampaui ketentuan minimum dan maksimum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, terbukti dengan hukuman yang sesuai dengan Pasal 83 Ayat (1 huruf b). ) dari undang-undang itu. hukum pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 83 Ayat (1 huruf b) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pemberantasan dan Penghapusan Perusakan Hutan.

Ketika memutuskan hukuman, hakim diperbolehkan untuk mempertimbangkan berat ringannya kejahatan dan hukuman minimum dan maksimum yang berlaku. Tujuan dari mobilitas hakim adalah agar hakim dapat mempertimbangkan semua faktor yang berkaitan dengan sifat dan beratnya kejahatan. Untuk memastikan bahwa pilihan tersebut berdasarkan informasi yang baik dan pada akhirnya dapat ditegakkan. Majelis Hakim menerapkan sanksi pidana dan administrasi dalam Putusan No. 294/ Pid.B /LH/2023/PN Bls. Ancaman pidana pokoknya berupa denda sebesar Rp500.000.000,00 dan sanksi administratif berupa kurungan selama delapan bulan, dengan ketentuan Mempertimbangkan faktor hukum dan non hukum, serta fakta-fakta yang dikemukakan dalam persidangan dan dituangkan dalam putusan, maka putusan tersebut menetapkan untuk hukuman satu bulan penjara sebagai pengganti denda.

Dari informasi yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa sanksi yang dituangkan dalam putusan ini memenuhi syarat baik dalam Pasal 83 Ayat 1 huruf b maupun Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Penghapusan dan Pencegahan Perusakan Hutan.

Hakim Menjatuhkan Analisa Tuntutan Tindak Pidana Dalam Tindak Pidana Illegal Logging Kasus Nomor 294/ Pid.B /LH/2023/PN Bls Terhadap Pelaku Akibat Melanggar Hukum

Sebelum menjatuhkan suatu perkara pidana, hakim akan menilai hukum hakim, yaitu dalil atau seperangkat dalil. Untuk mencapai keadilan, hukuman yang obyektif, dan kepentingan terbaik semua pihak yang terlibat, pertimbangan hakim harus komprehensif, penuh kasih sayang, dan cermat.

Proses hukum dimulai dari dakwaan, tuntutan, atau pengecualian apa pun, dan dilanjutkan dengan penilaian fakta oleh majelis hakim. Evaluasi ini dikaitkan dengan bukti-bukti yang telah diberikan dan memenuhi syarat formil dan materil. Pengadilan wajib mencantumkan tidak hanya alasan dan landasan dalam putusannya, namun juga bab-bab dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan peraturan. Selain itu, putusan harus memuat hukum sumber dan bukan hukum tertulis yang menjadi dasar proses pengambilan keputusan hakim. Dengan demikian, tujuan dari keputusan tersebut dapat dicapai dengan menjatuhkan hukuman yang telah ditentukan.

Tujuan hukuman bukan sekedar retribusi; sebaliknya, hal ini bertujuan untuk memberikan efek jera bagi calon pelanggar sehingga mereka dapat menghindari kehidupan yang merusak seperti itu di masa depan dan sebaliknya fokus untuk membuat perubahan positif dalam diri mereka. Lamanya hukuman harus disesuaikan dengan rasa keadilan dan kepatuhan terhadap semua pihak yang terlibat sehingga mereka dapat berintegrasi kembali ke dalam masyarakat dan memberikan kontribusi kepada masyarakat di masa depan.

Menurut Zainal Abidin, inti dari hukuman bukanlah pembalasan terhadap pelaku kesalahan melainkan kemajuan menuju kebaikan yang lebih besar . Karena tidak ada tujuan keadilan yang mutlak, maka hukuman difokuskan pada pencegahan kejahatan yang dilakukan individu demi menjaga masyarakat.

Dalam Herbert menggemakan sudut pandang sebelumnya ketika ia mengatakan, “hukuman ditujukan untuk memperbaiki sikap atau perilaku pelaku agar tidak lagi melakukan kejahatan yang melanggar hukum; sebaliknya, hukuman dirancang untuk menghalangi orang lain melakukan perilaku serupa. Pencegahan kejahatan. adalah hasil yang diharapkan dari ini."

Berikut Wirjono Pendapat Prodjodikoro mengenai hukuman obyektif:

Untuk menakut-nakuti orang agar tidak melakukan kejahatan. Memang bagus

pencegahan umum atau khusus pencegahan , atau

Untuk mendidik atau memperbaiki orang yang melakukan

kejahatan agar menjadi orang yang berperilaku Baik sehingga

dapat bermanfaat bagi lingkungan sekitar.

Ulrich van Feurbach menggemakan sudut pandang yang disebutkan di atas ketika ia mengatakan, "menjatuhkan pidana hanya Tidak akan cukup - melainkan akan memerlukan penurunan pidana ke pelaku kejahatan." Berikut informasi lebih lanjut mengenai tiga teori retribusi subyektif: karena rasa takut, perbaikan, dan perlindungan.

Untuk Menakut-nakuti

Salah satu tujuan pemidanaan, kata Anseln , seharusnya membuat masyarakat takut melakukan kejahatan. Temuan dari tujuan Itulah sebabnya hukuman harus berat, dan dalam kasus ekstrim, bahkan menyiksa.

" Untuk perbaikan "

Tujuan dari pemidanaan adalah untuk membantu terpidana mengubah cara hidupnya sehingga dapat memberikan kontribusi positif kepada masyarakat dan menjunjung tinggi supremasi hukum.

"Untuk Melindungi"

Tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah perilaku kriminal dan membuat masyarakat merasa lebih aman dengan mengeluarkan atau mengisolasi pelanggar dalam jangka waktu tertentu.

Tujuan pemidanaan menurut Pasal 52 Rancangan KUHP adalah “untuk mencegah terjadinya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi keselamatan penduduk dan anggotanya (pencegahan), serta membantu merehabilitasi narapidana menjadi anggota masyarakat yang produktif.” (rehabilitasi)."

Ketidakpuasan masyarakat terhadap kejahatan menjadi pendorong diterapkannya pemidanaan. Sebagai sarana keamanan publik dan pencegahan terhadap perilaku kriminal, hukuman dapat mempunyai beberapa tujuan.

Kita perlu mengetahui lebih jauh apakah putusan hakim yang membatalkan putusan pidana illegal logging tersebut sesuai dengan sasaran pidana yang tertuang dalam Putusan Nomor 294/ Pid.B /LH/2023/PN Bls. Peraturan internal hakim yang menjatuhkan pidana kepada pelaku dan bagaimana pertimbangannya.

Pengadilan dalam Putusan Nomor.294/ Pid.B /LH/2023/PN Bls menilai lain-lain, termasuk hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa sebelumnya, untuk membatalkan tuntutan pidana terhadap terdakwa.

Hakim memutuskan terdakwa bersalah dan memvonisnya satu tahun delapan bulan penjara serta denda lima ratus juta rupiah (Rp) dengan kemungkinan tambahan satu bulan penjara jika denda tidak dibayar.

Melakukan tindakan ilegal tanpa tujuan atau tanpa pertimbangan pada dasarnya tidak etis. Selain mempertimbangkan perkara pidana dari segi yuridis, hakim juga harus mempertimbangkan faktor-faktor non-yuridis dalam mengambil keputusan, seperti faktor sosial (p. Tanpa mengambil sikap baik terhadap korban maupun pelaku, maka sistem pemasyarakatan akan menjadi tidak berdaya). Mengingat hal tersebut, maka Nomor Putusan merupakan putusan hakim atas perkara tersebut.274, Pid.B , LH, 2023, PN Yang ditawarkan Bls Faktor-faktor lain yang perlu dipikirkan adalah:

yang memberatkan :

A. Diambil oleh Pelaku Tidak mendukung upaya pemerintah yang bertujuan mencegah atau memberantas kerusakan hutan.

yang meringankan :

A. Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya .

B. Terdakwa Belum Sekalipun dihukum.

Berdasarkan hal-hal di atas, ia dapat menilai apakah hukuman terhadap tindak pidana illegal logging sudah sesuai dengan hukuman obyektif atau belum, dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang ada dalam putusannya. Dari sudut pandang saya, hakim mempertimbangkan aspek hukum dan non-hukum dari kasus tersebut sebelum memutuskan hukuman bagi pelaku. Hal ini memungkinkan dia untuk memastikan bahwa hukuman tersebut tidak akan berdampak negatif pada korban.

Setelah memikirkannya, dia memutuskan untuk tidak menjalani hukuman mati, menjatuhkan hukuman penjara kepada pelakunya dan menjatuhkan hukuman atas kejahatan tersebut. Tujuannya adalah untuk mencegah pelanggaran di masa depan dengan menegakkan standar hukum dan mencegah perilaku kriminal. Sesuai Pasal 52 RUU KUHP, tujuan dari variabel non-yuridis yang dibuat mengenai pidana dan pidana dalam Putusan Nomor 294/ pid.b / lh /2023/ pnBls adalah untuk membantu merehabilitasi para terpidana agar dapat berkontribusi. positif kepada masyarakat.

Terlihat bahwa dalam Putusan Nomor 294/ pid.b / lh /2023/ pnBls , hakim masih mempertimbangkan faktor non-yuridis dalam memutuskan pengurangan pidana yang dihadapi pelaku sehingga memberikan kelonggaran untuk membenahi diri. namun tetap berfungsi sebagai pencegah. Terdakwa mengakui kesalahannya dan menyatakan penyesalannya dalam pemeriksaan persidangan; Ia juga berjanji akan membantu dan berterus terang kepada petugas yang berwenang dalam memberikan informasi dan kesaksian.

Sesuai dengan hukuman obyektifnya saja, hakim dengan sendirinya menjatuhkan hukuman pidana atas pelaku penebangan liar dalam putusan No.294/ pid.b / lh /2023/ pnBls . Mengingat fakta bahwa ia telah membatalkan hukuman mati untuk beberapa kejahatan, langkah logis berikutnya adalah menemui pelaku di mana pun mereka berada, bukan hanya untuk membalas dendam tetapi juga karena belas kasihan. tujuan dari hukuman saja Karena tujuan sanksi bukanlah balas dendam melainkan perlindungan masyarakat dari pelaku kesalahan, maka fokusnya adalah pada hal tersebut; lagipula, tidak ada keadilan yang sempurna. Di luar itu, tujuan pemidanaan ada dua: pertama, memperbaiki sikap atau perilaku pelaku; kedua, untuk mencegah orang lain melakukan perilaku serupa; dan ketiga, menghilangkan kejahatan sama sekali.

BIBLIOGRAFI

Prasetyo , T. (2015). Hukum Kriminal .

Masriani , T. (2004). Juli. Pengantar Hukum Indonesia.. Jakarta: Sinar Grafik.

Masriani , YT (2007). Pengantar Hukum Indonesia.

Ilyas, A., & Mustamin , M. (2022). Asas hukum pidana . Karya Rangkang Pendidikan Yogyakarta & PuKAP - Indonesia.

Chazawi , A. (2014). pelajaran hukum pidana 1

Ngandung , IB (1975). Ketentuan Umum Pengenalan Hutan dan Kehutanan Indonesia. Ujung Pandang: Pusat Pelatihan Kehutanan .

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Indriyanto . (2010). Pengantar Budidaya Hutan . Jakarta : PT. Bumi Sastra.

Yusuf, AM, & Makarao , MT (2011). Hukum Kehutanan di Indonesia . Rineka Cipta.

Supriadi. (2011). Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia . Jakarta Timur : Sinar Grafis.

Budyatmojo , W. (2013). Tindakan Penegakan Hukum Pidana Illegal Logging (Antara Harapan dan Kenyataan) . Keadilan , 2 (2).

Utami, TBC (2007). Kebijakan Hukum Pidana dalam Mengatasi Tindak Pidana Illegal Logging (Disertasi Doktor, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro ) .

Jalal, A., Suwitno , S., & Wahyuningsih, SE (2018). Keterlibatan Pejabat Notaris Terhadap Perbuatan Melawan Hukum dan turut serta dalam Perbuatan Tindak Pidana Pemalsuan Surat. tindakan jurnal , 5 (1), 227-233.

Muladi, BN, & Nawawi, B. (1984). Teori dan Kebijakan Kejahatan Alumni.

Setiady , T. (2010). Pokok-Pokok Hukum Lembaga Pemasyarakatan Indonesia . Alfabet.

Barda Nawawi Arief, SH (2016). Hukum pidana bunga rampai . Media Prenada .

Lamintang , PA, & Lamintang , T. (1984). Hukum Lembaga Pemasyarakatan Indonesia . (Tanpa judul ) .

Awal. (1995). Sistem Peradilan Pidana Kapita Selekta . Badan Penerbitan Universitas Diponegoro .

Barda Nawawi Arief, SH (2016). Hukum pidana bunga rampai . Media Prenada .

Abidin, Z. (2005). Hukuman, Kejahatan, dan Tindakan dalam Rancangan KUHP Tahun 2005 . Elsam .

Pengemas, H. (1968). Batasan sanksi pidana . Pers universitas Stanford.

Prodjodikoro , W. (1986). Perbuatan pidana khusus di Indonesia.

Prodjodikoro , W. (1986). Perbuatan pidana khusus di Indonesia.

Prasetyo , T. (2005). Kejahatan hukum politik : mempelajari kebijakan kriminalisasi dan dekriminalisasi.