Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
Domain publikDomain publikfalsefalse
PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG
BUDAYA BANUA DAN KEARIFAN LOKAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN,
Menimbang:
bahwa budaya Banua dan kearifan lokal di Daerah merupakan hasil perwujudan gagasan, prilaku dan karya yang bernilai luhur dalam kehidupan masyarakat, yang lahir dan memandu pembangunan daerah menuju cita-cita negara sejahtera;
bahwa untuk menjamin kelestarian budaya Banua dan kearifan lokal di Daerah, diperlukan rencana, arah dan kebijakan berkelanjutan yang bertujuan pada perwujudan bentuk budaya Banua dan kearifan lokal di Daerah;
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (2) huruf p, Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 236 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Budaya Banua dan Kearifan Lokal;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan c perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Budaya Banua dan Kearifan Lokal;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5168 );
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pemeliharaan Kesenian Daerah (Lembaran Daerah Nomor 6 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Daerah Tahun 2009 Nomor 5);
Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Pemeliharaan Bahasa dan Sastra Daerah (Lembaran Daerah Nomor 7 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Daerah Tahun 2009 Nomor 6);
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN dan GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN DAERAH TENTANG BUDAYA BANUA DAN KEARIFAN LOKAL.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
Daerah adalah Provinsi Kalimantan Selatan.
Pemerintah Daerah adalah Gubernur sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Gubernur adalah Gubernur Kalimantan Selatan.
Dinas adalah Organisasi Perangkat Daerah yang membidangi pelestarian kebudayaan dan kearifan lokal di Provinsi Kalimantan Selatan.
Budaya Banua adalah seluruh hasil gagasan, perilaku, hasil karya, pemikiran dan adaptasi masyarakat Banua terhadap zaman dan lingkungan di Daerah yang dibentuk untuk mencapai keselamatan dan kebahagian dengan unsur-unsur kearifan lokal yang difungsikan sebagai pedoman untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tatanan kehidupan masyarakat yang bertujuan untuk melindungi dan mengelola kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup sebagai bagian identitas kultural, karakter dan peneguh jati diri bangsa.
Pengelolaan Kebudayaan adalah upaya pelestarian kebudayaan yang dilakukan melalui pengembangan nilai budaya, pengelolaan kekayaan budaya, pengelolaan keragaman budaya dan pengembangan kerja sama kekayaan budaya untuk tujuan kemajuan peradaban bangsa dan kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan cagar budaya adalah upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Pelestarian tradisi adalah upaya dinamis meliputi perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan tradisi di masyarakat yang memiliki
dampak dipelbagai aspek pranata kehidupan masyarakat.
Sistem Pengetahuan Tradisional adalah keseluruhan pengetahuan hayati dan seni yang dimiliki dan dikuasai oleh suatu komunitas masyarakat yang bersifat turun menurun dan berkembang berdasarkan perubahan zaman dan adaptasi terhadap lingkungan hidup sekitar.
Lembaga budaya adalah lembaga kemasyarakatan yang dibentuk untuk membantu Pemerintah Daerah dan merupakan mitra dalam memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan budaya yang dapat mendukung pembangunan di Daerah.
Lembaga Adat adalah lembaga yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat.
Pembinaan kesenian adalah usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terarah agar kesenian dapat berperan dan menunjang pembangunan ekonomi, sosial dan budaya di Daerah.
Pembinaan Sejarah lokal adalah usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terarah agar sejarah lokal dapat menjadi identitas, peneguh jati diri yang berperan dalam pembangunan ekonomi, sosial dan budaya di Daerah.
Rencana Induk Budaya Banua dan Kearifan Lokal adalah penetapan daftar prioritas susunan perencanaan yang terarah dan berkelanjutan kegiatan budaya banua dan kearifan lokal yang terdiri atas rencana induk pengelolaan kebudayaan; rencana induk pengelolaan cagar budaya; rencana induk pelestarian tradisi; rencana pengelolaan induk sistem pengetahuan tradisional, rencana induk pembinaan lembaga budaya;
rencana induk pembinaan kesenian; dan rencana induk pembinaan sejarah lokal.
Rencana Induk Pengelolaan Kebudayaan adalah daftar kegiatan dan upaya realisasi perencanaan pengelolaan kebudayaan dalam mencapai prioritas
kearifan lokal yang ditetapkan.
Rencana Induk Pengelolaan Cagar Budaya adalah daftar kegiatan dan upaya realisasi perencanaan pengelolaan cagar budaya dalam mencapai prioritas budaya dan kearifan lokal yang ditetapkan.
Rencana Induk Pelestarian Tradisi adalah daftar kegiatan dan upaya realisasi perencanaan pelestarian tradisi dalam mencapai prioritas budaya dan kearifan lokal yang ditetapkan.
Rencana Induk Pengelolaan Sistem Pengetahuan Tradisional adalah daftar kegiatan dan upaya realisasi perencanaan pengelolaan sistem pengetahuan tradisional dalam mencapai prioritas budaya dan kearifan lokal yang ditetapkan.
Rencana Induk Pembinaan Lembaga Budaya adalah daftar kegiatan dan upaya realisasi perencanaan pembinaan lembaga budaya dalam mencapai prioritas budaya dan kearifan lokal yang ditetapkan.
Rencana Induk Pembinaan Kesenian adalah daftar kegiatan dan upaya realisasi perencanaan pembinaan kesenian dalam mencapai prioritas
budaya dan kearifan lokal yang ditetapkan.
Rencana Induk Pembinaan Sejarah Lokal adalah daftar kegiatan dan upaya realisasi perencanaan sejarah lokal dalam mencapai prioritas budaya dan kearifan lokal yang ditetapkan.
Otonomi Daerah adalah wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BAB II ASAS, MAKSUD, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Bagian Kesatu Asas
Pasal 2
Budaya Banua dan Kearifan Lokal harus mencerminkan asas:
bhinneka tunggal ika;
keadaban;
kenusantaraan;
keadilan;
akulturasi; dan
keberlanjutan.
Bagian Kedua Maksud
Pasal 3
Budaya Banua dan Kearifan Lokal dimaksudkan sebagai acuan pembangunan daerah menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan untuk mempertinggi derajat kemanusiaan masyarakat di Daerah.
Bagian Ketiga Tujuan
Pasal 4
Budaya Banua dan Kearifan Lokal bertujuan untuk:
memperteguh identitas Daerah sebagai bagian jati diri bangsa;
memperkokoh karakter Daerah sebagai upaya pembangunan karakter bangsa;
memperkuat persatuan Daerah sebagai penopang persatuan bangsa;
meningkatkan citra Daerah sebagai bagian citra bangsa; dan
melestarikan hasil budaya dan nilai-nilai luhur.
Bagian Keempat Ruang Lingkup
Pasal 5
Ruang lingkup Budaya Banua dan Kearifan Lokal di Daerah, meliputi:
pengelolaan kebudayaan;
pengelolaan cagar budaya;
pelestarian tradisi;
pengelolaan sistem pengetahuan tradisional;
pembinaan lembaga budaya dan lembaga adat;
pembinaan kesenian; dan
pembinaan sejarah lokal.
BAB III PENGELOLAAN KEBUDAYAAN
Pasal 6
Pemerintah Daerah wajib melaksanakan pengelolaan kebudayaan di Daerah.
Pengelolaan kebudayaan di Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Pengembangan nilai budaya;
Pengelolaan kekayaan budaya;
Pengelolaan keragaman budaya; dan
Pengembangan kerjasama kekayaan budaya.
Pasal 7
Pengembangan nilai budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a meliputi:
inventarisasi budaya;
pelestarian adat budaya;
aktualisasi budaya;
penyusunan kebijakan budaya;
fasilitasi pengembangan nilai budaya;
pemantauan dan evaluasi pengembangan nilai budaya; dan
penghargaan budaya.
Pasal 8
Pengelolaan kekayaan budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b meliputi:
revitalisasi fisik budaya;
fasilitasi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kekayaan budaya;
sosialisasi pengelolaan kekayaan budaya daerah
pemanfaatan dan promosi kekayaan budaya;
pemantauan dan evaluasi pengelolaan kekayaan budaya; dan
pembentukan rekayasa budaya.
Pasal 9
Pengelolaan keragaman budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c meliputi:
penyusunan sistem informasi budaya Daerah;
penyelenggaraan dialog budaya;
penyelenggaraan festival keragaman budaya;
fasilitasi kegiatan keragaman budaya;dan
revitalisasi, reaktualisasi dan promosi ragam budaya.
Pasal 10
Pengembangan kerjasama kekayaan budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d meliputi:
fasilitasi kemitraan kerjasama kekayaan budaya; dan
pembentukan kanal budaya antar provinsi.
Fasilitasi kemitraan kerjasama kekayaan budaya bertujuan mengembangkan kekayaan budaya diberikan
kepada:
individu;
kelompok masyarakat;
pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah;dan
perusahaan.
BAB IV PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA
Pasal 11
Pemerintah Daerah wajib melaksanakan pengelolaan cagar budaya.
Pengelolaan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
perlindungan cagar budaya;
pengembangan cagar budaya;dan
pemanfaatan cagar budaya.
Pasal 12
Perlindungan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a meliputi:
penyelamatan;
pengamanan
zonasi;
pemeliharaan; dan
pemugaran.
Pasal 13
Pengembangan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b dilakukan secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan pelestarian meliputi:
penelitian;
revitalisasi; dan
adaptasi.
Pasal 14
Pemanfaatan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat serta tidak bertentangan dengan upaya pelestarian meliputi:
pemanfaatan sebagai sarana pendidikan;
pemanfaatan sebagai alat rekayasa sosial;
pemanfaatan sebagai komunikasi budaya;dan
pemanfaatan sebagai pendorong kegiatan ekonomi.
BAB V PELESTARIAN TRADISI
Pasal 15
Pemerintah daerah wajib melaksanakan pelestarian tradisi.
Pelestarian tradisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Perlindungan tradisi;
Pengembangan tradisi;dan
Pemanfaatan tradisi.
Pasal 16
Perlindungan tradisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a meliputi:
pengakuan;
penyelamatan;dan
pemeliharaan.
Pasal 17
Pengembangan tradisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b meliputi:
membentuk tradisi sebagai identitas Daerah; dan
merevitalisasi tradisi sebagai bagian dari pembangunan daerah.
Pasal 18
Pemanfaatan tradisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf c meliputi:
mewujudkan tradisi sebagai tujuan pariwisata; dan
mendorong tradisi sebagai pemacu ekonomi daerah.
BAB VI PENGELOLAAN SISTEM PENGETAHUAN TRADISIONAL
Pasal 19
Pemerintah Daerah wajib melaksanakan pengelolaan Sistem Pengetahuan Tradisional di Daerah.
Pengelolaan sistem pengetahuan tradisional di Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
perlindungan atas pengetahuan tradisional;
pengembangan nilai pengetahuan tradisional; dan
pemanfaatan pengetahuan tradisional.
Pasal 20
Perlindungan pengetahuan tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf a meliputi:
pengakuan;
pelayanan terhadap pelaku pengetahuan tradisional; dan
promosi pengetahuan tradisional.
Pasal 21
Pengembangan nilai pengetahuan tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf b meliputi:
membentuk nilai pengetahuan tradisional sebagai bagian dari Kearifan Lokal; dan
revitalisasi nilai pengetahuan tradisional sebagai pemacu pariwisata di Daerah.
Pasal 22
Pemanfaatan pengetahuan tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c meliputi:
integrasi secara terpadu pengetahuan tradisional
dalam pembangunan daerah; dan
pengetahuan tradisional diarahkan sebagai identitas dan jati diri Daerah;
BAB VII PEMBINAAN LEMBAGA BUDAYA DAN LEMBAGA ADAT
Pasal 23
Pemerintah Daerah melaksanakan pembinaan Lembaga Budaya dan Lembaga Adat.
Pembinaan Lembaga Budaya dan Lembaga Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Pembentukan Lembaga Budaya;
Pembinaan Lembaga Adat; dan
Pemberdayaan dan pengembangan.
Pasal 24
Pemerintah daerah memfasilitasi pembentukan Lembaga Budaya di Daerah.
Fasilitasi pembentukan Lembaga Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
bantuan;
pendampingan; dan
promosi.
Pasal 25
Pemerintah Daerah melaksanakan pemberdayaan Lembaga Budaya di Daerah.
Pemberdayaan Lembaga Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Pengarusutamaan Lembaga Budaya dalam menyusun kebijakan yang terkait dengan adat-istiadat di Daerah; dan
mendorong Lembaga Budaya untuk berperan sebagai forum komunikasi di Daerah.
Pasal 26
Pemerintah daerah melaksanakan pengembangan Lembaga Budaya.
Pengembangan Lembaga Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
mewujudkan Lembaga Budaya sebagai pemangku pariwisata budaya di Daerah; dan
mewujudkan Lembaga Budaya yang menghasilkan produk budaya Daerah.
BAB VIII PEMBINAAN KESENIAN
Pasal 27
Pemerintah Daerah wajib melaksanakan pembinaan kesenian.
Pembinaan kesenian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
pelestarian;
pemberdayaan; dan
pengembangan
Pasal 28
Pelestarian kesenian Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a, meliputi:
pelestarian kesenian tradisi;
revitalisasi kesenian tradisi;
pembangunan dan pengembangansarana dan prasana kesenian;
promosi kesenian; dan
fasilitasi pekerja seni.
Pasal 29
Pemberdayaan kesenian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf b, meliputi:
pengarusutamaan kesenian daerah dalam pelbagai kegiatan di Daerah; dan
mendorong kesenian sebagai media komunikasi
dalam penyebarluasan kebijakan Daerah.
Pasal 30
Pengembangan kesenian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
meliputi:
mewujudkan kesenian sebagai jati diri dan identitas Daerah;
mewujudkan kesenian sebagai objek pariwisata; dan
menciptakan khasanah kesenian yang searah pembangunan Daerah.
BAB IX PEMBINAAN SEJARAH LOKAL
Pasal 31
Pemerintah Daerah wajib melaksanakan pembinaan Sejarah Lokal yang mengutamakan kepentingan masyarakat lokal.
Pembinaan sejarah lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
pengakuan;
dialog sejarah lokal; dan
pendidikan;
Pasal 32
Pengakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a dilakukan sebagai upaya pelestarian sejarah lokal.
Upaya pelestarian sejarah lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
ketetapan hukum; dan/atau
sertifikasi.
Pasal 33
Dialog sejarah lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf b dilakukan sebagai upaya fasilitasi multikulturalisme.
Pasal 34
Pendidikan sejarah lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf c dilakukan melalui kurikulum pendidikan dan pelatihan muatan lokal.
BAB X KEWENANGAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 35
Pemerintah daerah menyusun Rencana Induk Budaya Banua dan Kearifan Lokal setiap 5 (lima) tahun.
Penyusunan Rencana Induk Budaya Banua dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Dinas.
Rencana Induk Budaya Banua dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
Pasal 36
Rencana Induk Budaya Banua dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), meliputi:
Rencana Induk Pengelolaan Kebudayaan;
Rencana Induk Pengelolaan Cagar Budaya Daerah;
Rencana Induk Pelestarian Tradisi;
Rencana Induk Pengelolaan Sistem Pengetahuan Tradisional;
Rencana Induk Pembinaan Lembaga Budaya dan Lembaga Adat;
Rencana Induk Pembinaan Kesenian; dan
Rencana Induk Pembinaan Sejarah Lokal.
Bagian Kedua Pembentukan Lembaga Budaya
Pasal 37
Pembentukan Lembaga Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a, dapat diusulkan oleh masyarakat dan/atau Dinas berdasarkan kriteria tertentu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
Pembentukan Lembaga Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
Bagian Ketiga Pengakuan sejarah lokal
Pasal 38
Pengakuan sejarah lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf a dapat diusulkan oleh masyarakat dan/atau Dinas berdasarkan kriteria tertentu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
Pengakuan sejarah lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
BAB XI KERJASAMA DAN PARTISIPASI
Bagian Kesatu Kerja sama
Pasal 39
Pemerintah Daerah dapat melakukan kerjasama dalam kegiatan Budaya Banua dan Kearifan lokal di Daerah.
Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan:
daerah lain;
pihak ketiga; dan/atau
lembaga atau pemerintah daerah di luar negeri.
Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua Partisipasi Masyarakat
Pasal 40
Masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam kegiatan Budaya Banua dan Kearifan Lokal.
Peran masyarakat dalam proses pelaksanaan kegiatan Budaya Banua dan Kearifan Lokal berbentuk:
pengawasan;
pemberian pendapat, saran dan usul;
pendampingan;
bantuan teknis;
bantuan pembiayaan; dan
penyampaian informasi dan/atau pelaporan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
BAB XII SUMBER DAYA
Pasal 41
Sumber daya Budaya Banua dan Kearifan Lokal di Daerah, meliputi:
sumber daya manusia;
sarana dan prasarana; dan
sumber potensi lainnya.
Pasal 42
Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a, terdiri atas:
tenaga ahli, paling kurang memiliki kualifikasi keahlian di bidang budaya serta pengalaman melaksanakan Budaya Banua dan Kearifan Lokal;
pekerja seni, paling kurang memiliki kualifikasi:
pendidikan di bidang kesenian;
pelatihan dan keterampilan kesenian; dan/atau
pengalaman melaksanakan kesenian;
relawan budaya, paling kurang memiliki pengalaman melaksanakan pelestarian budaya; dan
penyuluh budaya, paling kurang memiliki kualifikasi pelatihan bidang penyuluhan kebudayaan.
Tenaga ahli, pekerja seni, relawan budaya dan penyuluh budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memperoleh:
pendidikan;
pelatihan;
promosi;
tunjangan; dan/atau
penghargaan.
Pasal 43
Pemerintah Daerah berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf b.
Penyediaan sarana sebagaimana dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan, berdasarkan Rencana Induk Budaya Banua dan Kearifan Lokal Daerah.
BAB XIII PEMBIAYAAN
Pasal 44
Pembiayaan kegiatan Budaya Banua dan Kearifan Lokal yang diatur dalam Peraturan Daerah ini berasal dari APBD.
Selain APBD, kegiatan Budaya Banua dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibiayai melalui sumber pembiayaan lain yang sah dan tidak mengikat.
BAB XIV PEMBINAAN, PENGAWASAN, DAN PELAPORAN
Bagian Kesatu Pembinaan dan Pengawasan
Pasal 45
Gubernur berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pengembangan dan Pengelolaan Lembaga dan Budaya Banua dan Kearifan Lokal di Daerah.
Pasal 46
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dilaksanakan dalam bentuk pemberian pedoman, bimbingan teknis, dan pelatihan.
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dilaksanakan dalam bentuk:
pemantauan; dan
evaluasi.
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilaksanakansecara terus-menerus dan berkesinambungan.
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan sekurang-kurangnya satu kali dalam satu tahun.
Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Bagian Kedua Pelaporan
Pasal 47
Satuan kerja perangkat daerah yang tugas dan fungsinya menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kebudayaan berkewajiban melaporkan hasil
pelaksanaan Budaya Banua dan Kearifan Lokal di Daerah kepada Gubernur.
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara berkala paling lama 6 (enam) bulan sekali.
BAB XV KETENTUAN LAIN LAIN
Pasal 48
Setiap kegiatan Budaya Banua dan Kearifan Lokal yang terkait langsung dengan pelayanan dan/atau akibat kepada masyarakat dan lingkungan dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XVI KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 48
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
Seluruh kegiatan yang terkait dengan Budaya Banua dan Kearifan Lokal yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, tetap dilaksanakan sampai berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan;
seluruh kerjasama kegiatan Budaya Banua dan Kearifan Lokal yang telah disepakati Pemerintah Daerah sebelum Peraturan Daerah ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian kerjasama tersebut.
seluruh ketentuan yang berkaitan dengan Budaya Banua dan Kearifan Lokal yang telah ada sebelum diundangkannya Peraturan Daerah ini, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.
dalam hal kegiatan Budaya Banua dan Kearifan Lokal belum selesai pada akhir tahun anggaran yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada huruf a, kegiatan Budaya Banua dan Kearifan Lokal
selanjutnya dilaksanakan berdasarkan Peraturan Daerah ini.
BAB XVII PENUTUP
Pasal 50
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
Pasal 51
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.
Ditetapkan di Banjarmasin pada tanggal 20 Maret 2017
GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN ,
Ttd.
H. SAHBIRIN NOOR
Diundangkan di Banjarbaru pada tanggal 21 Maret 2017
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN,
Ttd.
H. ABDUL HARIS
LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
TAHUN 2017 NOMOR 4
NOREG PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN:(4/37/2017)
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG BUDAYA BANUA DAN KEARIFAN LOKAL
I.
UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia khususnya Pasal 32 menegaskan bahwa ”Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.” Untuk itu Budaya Banua dan Kearifan lokal sebagai bagian dari kebudayaan nasional harus mampu memandu pembangunan menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan untuk mempertinggi derajat kemanusiaan masyarakat di Daerah sehingga mewujudkan pelestarian dan pengembangan nilai budaya yang berdasarkan kearifan lokal sebagai pengewantahan nilai-nilai Pancasila. Saat ini, telah terjadi perubahan tata nilai di masyarakat, hal ini sebagai akibat adanya interaksi antarbudaya dalam proses globalisasi, sehingga pemerintah daerah menghadapi tantangan yang berat dalam pembangunan khususnya di Budaya Banjar dan Kearifan Lokal. Nilai Budaya Banjar dan keanekaragaman Budaya Banjar dan Kearifan Lokal di Daerah sangat rentan terhadap pengaruh globalisasi sehingga dapat menimbulkan perubahan atas tatanan dan persepsi nilai budaya yang berdampak negatif dalam masyarakat. Mengingat belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus mengenai Budaya Banjar dan Kearifan Lokal untuk menjadi landasan hukum dan pedoman bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam pelbagai kegiatan Budaya Banjar dan Kearifan Lokal, maka perlu disusun Peraturan Daerah tentang Budaya Banjar dan kearifan lokal yang memuat perspektif didalamnya mengatur mengenai pengelolaan kebudayaan; pengelolaan cagar budaya; pelestarian tradisi; pengelolaan sistem pengetahuan tradisional; pembinaan lembaga budaya; pembinaan kesenian; dan pembinaan sejarah lokal; di Daerah. Pengaturan tersebut diarahkan kepada pedoman pelestarian Budaya dan kearifan lokal, pemenuhan hak berkebudayaan, penguatan jati diri dan pembangunan karakter bangsa, pemeliharaan dan pertahanan multikulturalisme, penghargaan terhadap sejarah dan warisan budaya, pemajuan industri budaya, penguatan diplomasi budaya, penguatan kelembagaan dan SDM kebudayaan, serta pelestarian prasarana dan sarana kebudayaan yang ada di Daerah.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa setiap Budaya Banjar dan Kearifan Lokal harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Huruf b
Yang dimaksud “asas keadaban” adalah bahwa setiap Budaya Banjar dan Kearifan Lokal harus memperhatikan nilai kecerdasan lahir batin yang bernilai budi pekerti.
Huruf c
Yang dimaksud “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Budaya Banjar dan Kearifan Lokal harus memperhatikan kepentingan budaya dan kearifan lokal di seluruh wilayah Indonesia dan Budaya Banjar dan Kearifan Lokal yang ada di Daerah merupakan bagian dari sistem budaya nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Huruf d
Yang dimaksud “asas keadilan” adalah bahwa setiap Budaya Banjar dan Kearifan Lokal harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
Huruf e
Yang dimaksud “asas akulturasi” adalah bahwa setiap Budaya Banjar dan Kearifan Lokal harus memperhatikan proses sosial yang timbul dalam dinamika antar budaya tanpa saling menghilangkan unsur budaya satu sama lain.
Huruf f
Yang dimaksud “asas keberlanjutan” adalah bahwa setiap Budaya Banjar dan Kearifan Lokal harus memperhatikan keberlangsungan budaya dan kearifan lokal baik untuk warga negara maupun budaya dan kearifan lokal itu sendiri.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud pelestarian tradisi termasuk pelestarian nilai-nilai tradisi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
huruf a
Yang dimaksud dengan “pengakuan” adalah pengakuan berupa ketetapan hukum yang diberikan oleh lembaga yang memiliki kompetensi untuk memberikan pengakuan di tingkat nasional dan/atau internasional.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pelayanan” adalah dukungan secara langsung dan tak langsung baik berupa dukungan yang bersifat administratif maupun dukungan moril.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “promosi” adalah kegiatan memperkenalkan, sosialisasi, advokasi, penyebarluasan persepsi dan opini baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Yang dimaksud dengan “upaya fasilitasi multikulturalisme” adalah upaya pemberian ruang dialog dalam suasana kekeluargaan atas perbedaan pendapat dan/atau cara dalam memandang dan menyikapi sejarah sejarah lokal dalam kerangka bhinneka tunggal ika.
Pasal 34
Yang dimaksud dengan “melalui kurikulum pendidikan dan pelatihan muatan lokal” adalah unsur budaya banjar dan kearifan lokal yang dituangkan dalam satuan pendidikan khusus atau materi pelatihan.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
yang dimaksud dengan “terkait langsung dengan pelayanan dan/atau akibat kepada masyarakat dan lingkungan” adalah kegiatan budaya yang memiliki resiko hukum tertentu dan/atau memiliki potensi yang dapat berdampak buruk bagi masyarakat luas dan lingkungan.
Pelayanan dan/atau akibat kepada masyarakat berupa kegiatan budaya pengobatan tradisional dan sejenisnya. Memiliki resiko potensi yang dapat berdampak buruk bagi masyarakat luas dan lingkungan seperti pembukaan lahan pertanian dengan cara membakar dan sejenisnya.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2017 NOMOR 104