Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 masih berlaku aktif, namun telah mengalami perubahan.
Untuk riwayat status dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014, lihat di sini.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 (UU/2014/23)  (2014) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 





UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2014
TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
  1. bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang;
  2. bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  3. bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara;
  4. bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga perlu diganti;
  5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah;
Mengingat: Pasal 1, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal 22D ayat (2), dan Pasal 23E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.


BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  3. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
  2. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
  3. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  4. Asas Otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Otonomi Daerah.
  5. Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi.
  6. Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.
  7. Instansi Vertikal adalah perangkat kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian yang mengurus Urusan Pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah otonom dalam wilayah tertentu dalam rangka Dekonsentrasi.
  8. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi.
  1. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Wilayah Administratif adalah wilayah kerja perangkat Pemerintah Pusat termasuk gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat di Daerah dan wilayah kerja gubernur dan bupati/wali kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum di Daerah.
  3. Urusan Pemerintahan Wajib adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh semua Daerah.
  4. Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki Daerah.
  5. Pelayanan Dasar adalah pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara.
  6. Standar Pelayanan Minimal adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu Pelayanan Dasar yang merupakan Urusan Pemerintahan Wajib yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal.
  7. Forum Koordinasi Pimpinan di Daerah yang selanjutnya disebut Forkopimda adalah forum yang digunakan untuk membahas penyelenggaraan urusan pemerintahan umum.
  8. Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan adalah Daerah provinsi yang memiliki karakteristik secara geografis dengan wilayah lautan lebih luas dari daratan yang di dalamnya terdapat pulau-pulau yang membentuk gugusan pulau sehingga menjadi satu kesatuan geografis dan sosial budaya.
  9. Pembentukan Daerah adalah penetapan status Daerah pada wilayah tertentu.
  10. Daerah Persiapan adalah bagian dari satu atau lebih Daerah yang bersanding yang dipersiapkan untuk dibentuk menjadi Daerah baru.
  1. Cakupan Wilayah adalah Daerah kabupaten/kota yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah provinsi atau kecamatan yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah kabupaten/kota.
  2. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu kepala daerah dan DPRD dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
  3. Kecamatan atau yang disebut dengan nama lain adalah bagian wilayah dari Daerah kabupaten/kota yang dipimpin oleh camat.
  4. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota.
  5. Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah peraturan gubernur dan peraturan bupati/wali kota.
  6. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah yang selanjutnya disingkat RPJPD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun.
  7. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 5 (lima) tahun.
  8. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah yang selanjutnya disingkat RKPD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
  9. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab.
  10. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Pusat yang ditetapkan dengan undang-undang.
  11. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan Perda.
  12. Kebijakan Umum APBD yang selanjutnya disingkat KUA adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun.
  1. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara yang selanjutnya disingkat PPAS adalah program prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada Perangkat Daerah untuk setiap program sebagai acuan dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja Perangkat Daerah.
  2. Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
  3. Belanja Daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
  4. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
  5. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
  6. Barang Milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
  7. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
  8. Partisipasi Masyarakat adalah peran serta warga masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, pemikiran, dan kepentingannya dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
  9. Kawasan Khusus adalah bagian wilayah dalam Daerah provinsi dan/atau Daerah kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
  3. Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
  4. Aparat Pengawas Internal Pemerintah adalah inspektorat jenderal kementerian, unit pengawasan lembaga pemerintah nonkementerian, inspektorat provinsi, dan inspektorat kabupaten/kota.
  5. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
  6. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
  7. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan tertentu APBN yang dialokasikan kepada Daerah penghasil berdasarkan angka persentase tertentu dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
  8. Hari adalah hari kerja.


BAB II
PEMBAGIAN WILAYAH NEGARA


Pasal 2
  1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah provinsi dan Daerah provinsi itu dibagi atas Daerah kabupaten dan kota.
  1. Daerah kabupaten/kota dibagi atas Kecamatan Kecamatan dibagi atas kelurahan dan/atau Desa.

Pasal 3
  1. Daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan Daerah dan masing-masing mempunyai Pemerintahan Daerah.
  2. Daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan undang-undang.

Pasal 4
  1. Daerah provinsi selain berstatus sebagai Daerah juga merupakan Wilayah Administratif yang menjadi wilayah kerja bagi gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dan wilayah kerja bagi gubernur dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di wilayah Daerah provinsi.
  2. Daerah kabupaten/kota selain berstatus sebagai Daerah juga merupakan Wilayah Administratif yang menjadi wilayah kerja bagi bupati/walikota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di wilayah Daerah kabupaten/kota.


BAB III
KEKUASAAN PEMERINTAHAN


Pasal 5
  1. Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Kekuasaan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diuraikan dalam berbagai Urusan Pemerintahan.
  3. Dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden dibantu oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan tertentu.
  1. Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di Daerah dilaksanakan berdasarkan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.

Pasal 6
Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan sebagai dasar dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan.

Pasal 7
  1. Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Daerah.
  2. Presiden memegang tanggung jawab akhir atas penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.

Pasal 8
  1. Pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Daerah provinsi dilaksanakan oleh menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian.
  2. Pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Daerah kabupaten/kota dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
  3. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri.


BAB IV
URUSAN PEMERINTAHAN


Bagian Kesatu
Klasifikasi Urusan Pemerintahan


Pasal 9
  1. Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.
  2. Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
  3. Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.
  4. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.
  5. Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.


Bagian Kedua
Urusan Pemerintahan Absolut


Pasal 10
  1. Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi:
    1. politik luar negeri;
    2. pertahanan;
    3. keamanan;
    4. yustisi;
    5. moneter dan fiskal nasional; dan
    6. agama.
  2. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat:
    1. melaksanakan sendiri; atau
    2. melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi.


Bagian Ketiga
Urusan Pemerintahan Konkuren


Pasal 11
  1. Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana di maksud dalam Pasal 9 ayat (3) yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan.
  2. Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.
  3. Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar.

Pasal 12
  1. Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
    1. pendidikan;
    2. kesehatan;
    3. pekerjaan umum dan penataan ruang;
    4. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
    5. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan
    6. sosial.
  2. Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
    1. tenaga kerja;
    2. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
    3. pangan;
    4. pertanahan;
    5. lingkungan hidup;
    6. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
    7. pemberdayaan masyarakat dan Desa;
    8. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
    9. perhubungan;
    10. komunikasi dan informatika;
    11. koperasi, usaha kecil, dan menengah;
  1. penanaman modal;
  2. kepemudaan dan olah raga;
  3. statistik;
  4. persandian;
  5. kebudayaan;
  6. perpustakaan; dan
  7. kearsipan.
  1. Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi:
    1. kelautan dan perikanan;
    2. pariwisata;
    3. pertanian;
    4. kehutanan;
    5. energi dan sumber daya mineral;
    6. perdagangan;
    7. perindustrian; dan
    8. transmigrasi.

Pasal 13
  1. Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional.
  2. Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah:
    1. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;
    2. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;
    3. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;
    4. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau
    5. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional.
  1. Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi adalah:
    1. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota;
    2. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota;
    3. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah kabupaten/kota; dan/atau
    4. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah Provinsi.
  2. Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota adalah:
    1. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota;
    2. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota;
    3. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah kabupaten/kota; dan/atau
    4. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.

Pasal 14
  1. Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi.
  2. Urusan Pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.
  3. Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
  1. Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung panas bumi dalam Daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.
  2. Daerah kabupaten/kota penghasil dan bukan penghasil mendapatkan bagi hasil dari penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Penentuan Daerah kabupaten/kota penghasil untuk penghitungan bagi hasil kelautan adalah hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
  4. Dalam hal batas wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kurang dari 4 (empat) mil, batas wilayahnya dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari Daerah yang berbatasan.

Pasal 15
  1. Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
  2. Urusan pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam Lampiran Undang-Undang ini menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susunan pemerintahan yang penentuannya menggunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
  3. Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan presiden.
  4. Perubahan terhadap pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak berakibat terhadap pengalihan urusan pemerintahan konkuren pada tingkatan atau susunan pemerintahan yang lain ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
  1. Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.

Pasal 16
  1. Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) berwenang untuk:
    1. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan; dan
    2. melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
  2. Norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai pedoman dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan yang menjadi kewenangan Daerah.
  3. Kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian.
  4. Pelaksanaan kewenangan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah nonkementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dikoordinasikan dengan kementerian terkait.
  5. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak peraturan pemerintah mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren diundangkan.

Pasal 17
  1. Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
  1. Daerah dalam menetapkan kebijakan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib berpedoman pada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
  2. Dalam hal kebijakan Daerah yang dibuat dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tidak mempedomani norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat membatalkan kebijakan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) Pemerintah Pusat belum menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria, penyelenggara Pemerintahan Daerah melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

Pasal 18
  1. Penyelenggara Pemerintahan Daerah memprioritaskan pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3).
  2. Pelaksanaan Pelayanan Dasar pada Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 19
  1. Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat diselenggarakan:
    1. sendiri oleh Pemerintah Pusat;
    2. dengan cara melimpahkan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat atau kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah berdasarkan asas Dekonsentrasi; atau
    3. dengan cara menugasi Daerah berdasarkan asas Tugas Pembantuan.
  1. Instansi Vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibentuk setelah mendapat persetujuan dari gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
  2. Pembentukan Instansi Vertikal untuk melaksanakan urusan pemerintahan absolut dan pembentukan Instansi Vertikal oleh kementerian yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak memerlukan persetujuan dari gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
  3. Penugasan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah berdasarkan asas Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan peraturan menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian.
  4. Peraturan menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri.

Pasal 20
  1. Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah provinsi diselenggarakan:
    1. sendiri oleh Daerah provinsi;
    2. dengan cara menugasi Daerah kabupaten/kota berdasarkan asas Tugas Pembantuan; atau
    3. dengan cara menugasi Desa.
  2. Penugasan oleh Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota berdasarkan asas Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan kepada Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan peraturan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota diselenggarakan sendiri oleh Daerah kabupaten/kota atau dapat ditugaskan sebagian pelaksanaannya kepada Desa.
  4. Penugasan oleh Daerah kabupaten/kota kepada Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan peraturan bupati/wali kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren diatur dalam peraturan pemerintah.

Pasal 22
  1. Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah dalam melaksanakan Tugas Pembantuan.
  2. Kebijakan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terkait dengan pengaturan mengenai pelaksanaan Tugas Pembantuan di Daerahnya.
  3. Anggaran untuk melaksanakan Tugas Pembantuan disediakan oleh yang menugasi.
  4. Dokumen anggaran untuk melaksanakan Tugas Pembantuan disampaikan oleh kepala daerah penerima Tugas Pembantuan kepada DPRD bersamaan dengan penyampaian rancangan APBD dalam dokumen yang terpisah.
  5. Laporan pelaksanaan anggaran Tugas Pembantuan disampaikan oleh kepala daerah penerima Tugas Pembantuan kepada DPRD bersamaan dengan penyampaian laporan keuangan Pemerintah Daerah dalam dokumen yang terpisah.

Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 24
  1. Kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian bersama Pemerintah Daerah melakukan pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang diprioritaskan oleh setiap Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.
  1. Hasil pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri.
  2. Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menentukan intensitas Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar berdasarkan jumlah penduduk, besarnya APBD, dan luas wilayah.
  3. Pemetaan Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menentukan Daerah yang mempunyai Urusan Pemerintahan Pilihan berdasarkan potensi, proyeksi penyerapan tenaga kerja, dan pemanfaatan lahan.
  4. Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh Daerah dalam penetapan kelembagaan, perencanaan, dan penganggaran dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
  5. Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian sebagai dasar untuk pembinaan kepada Daerah dalam pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan secara nasional.
  6. Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan serta pembinaan kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (6) dikoordinasikan oleh Menteri.


Bagian Keempat
Urusan Pemerintahan Umum


Pasal 25
  1. Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5) meliputi:
    1. pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional dalam rangka memantapkan pengamalan Pancasila, pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika serta pemertahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
    2. pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;
    3. pembinaan kerukunan antarsuku dan intrasuku, umat beragama, ras, dan golongan lainnya guna mewujudkan stabilitas kemanan lokal, regional, dan nasional;
    4. penanganan konflik sosial sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    5. koordinasi pelaksanaan tugas antarinstansi pemerintahan yang ada di wilayah Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dengan memperhatikan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan, potensi serta keanekaragaman Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    6. pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila; dan
    7. pelaksanaan semua Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan kewenangan Daerah dan tidak dilaksanakan oleh Instansi Vertikal.
  2. Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh gubernur dan bupati/wali kota di wilayah kerja masing-masing.
  3. Untuk melaksanakan urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), gubernur dan bupati/wali kota dibantu oleh Instansi Vertikal.
  4. Dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum, gubernur bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri dan bupati/wali kota bertanggung jawab kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
  1. Gubernur dan bupati/wali kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum dibiayai dari APBN.
  2. Bupati/wali kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada tingkat Kecamatan melimpahkan pelaksanaannya kepada camat.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (6) diatur dalam peraturan pemerintah.


Bagian Kelima
Forkopimda


Pasal 26
  1. Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan urusan pemerintahan umum, dibentuk Forkopimda provinsi, Forkopimda kabupaten/kota, dan forum koordinasi pimpinan di Kecamatan.
  2. Forkopimda provinsi, Forkopimda kabupaten/kota, dan forum koordinasi pimpinan di Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh gubernur untuk Daerah provinsi, oleh bupati/wali kota untuk Daerah kabupaten/kota, dan oleh camat untuk Kecamatan.
  3. Anggota Forkopimda provinsi dan Forkopimda kabupaten/kota terdiri atas pimpinan DPRD, pimpinan kepolisian, pimpinan kejaksaan, dan pimpinan satuan teritorial Tentara Nasional Indonesia di Daerah.
  4. Anggota forum koordinasi pimpinan di Kecamatan terdiri atas pimpinan kepolisian dan pimpinan kewilayahan Tentara Nasional Indonesia di Kecamatan.
  5. Forkopimda provinsi, Forkopimda kabupaten/kota dan forum koordinasi pimpinan di Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengundang pimpinan Instansi Vertikal sesuai dengan masalah yang dibahas.
  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai Forkopimda dan forum koordinasi pimpinan di Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.


BAB V
KEWENANGAN DAERAH PROVINSI DI LAUT DAN DAERAH PROVINSI YANG BERCIRI KEPULAUAN


Bagian Kesatu
Kewenangan Daerah Provinsi di Laut


Pasal 27
  1. Daerah provinsi diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut yang ada di wilayahnya.
  2. Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi;
    2. pengaturan administratif;
    3. pengaturan tata ruang;
    4. ikut serta dalam memelihara keamanan di laut; dan
    5. ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara.
  3. Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
  4. Apabila wilayah laut antardua Daerah provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari wilayah antardua Daerah provinsi tersebut.
  5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil.


Bagian Kedua
Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan


Pasal 28
  1. Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan mempunyai kewenangan mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
  1. Selain mempunyai kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan mendapat penugasan dari Pemerintah Pusat untuk melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat di bidang kelautan berdasarkan asas Tugas Pembantuan.
  2. Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan setelah Pemerintah Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Pasal 29
  1. Untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan, Pemerintah Pusat dalam menyusun perencanaan pembangunan dan menetapkan kebijakan DAU dan DAK harus memperhatikan Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan.
  2. Penetapan kebijakan DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara menghitung luas lautan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah laut.
  3. Dalam menetapkan kebijakan DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat harus memperhitungkan pengembangan Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan sebagai kegiatan dalam rangka pencapaian prioritas nasional berdasarkan kewilayahan.
  4. Berdasarkan alokasi DAU dan DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan menyusun strategi percepatan pembangunan Daerah dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
  5. Strategi percepatan pembangunan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi prioritas pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam di laut, percepatan pembangunan ekonomi, pembangunan sosial budaya, pengembangan sumber daya manusia, pembangunan hukum adat terkait pengelolaan laut, dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan.
  1. Dalam rangka mendukung percepatan pembangunan di Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pemerintah Pusat dapat mengalokasikan dana percepatan di luar DAU dan DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).

Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan Daerah provinsi di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29 diatur dengan peraturan pemerintah.


BAB VI
PENATAAN DAERAH


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 31
  1. Dalam pelaksanaan Desentralisasi dilakukan penataan Daerah.
  2. Penataan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk:
    1. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
    2. mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat;
    3. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik;
    4. meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan;
    5. meningkatkan daya saing nasional dan daya saing Daerah; dan
    6. memelihara keunikan adat istiadat, tradisi, dan budaya Daerah.
  3. Penataan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Pembentukan Daerah dan penyesuaian Daerah.
  4. Pembentukan Daerah dan penyesuaian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan kepentingan strategis nasional.


Bagian Kedua
Pembentukan Daerah


Pasal 32
  1. Pembentukan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) berupa:
    1. pemekaran Daerah; dan
    2. penggabungan Daerah.
  2. Pembentukan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pembentukan Daerah provinsi dan pembentukan Daerah kabupaten/kota.

Paragraf 1
Pemekaran Daerah

Pasal 33
  1. Pemekaran Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a berupa:
    1. pemecahan Daerah provinsi atau Daerah kabupaten/kota untuk menjadi dua atau lebih Daerah baru; atau
    2. penggabungan bagian Daerah dari Daerah yang bersanding dalam 1 (satu) Daerah provinsi menjadi satu Daerah baru.
  2. Pemekaran Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tahapan Daerah Persiapan provinsi atau Daerah Persiapan kabupaten/kota.
  3. Pembentukan Daerah Persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan dasar dan persyaratan administratif.

Pasal 34
  1. Persyaratan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) meliputi:
    1. persyaratan dasar kewilayahan; dan
    2. persyaratan dasar kapasitas Daerah.
  2. Persyaratan dasar kewilayahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
    1. luas wilayah minimal;
    2. jumlah penduduk minimal;
  1. batas wilayah,
  2. Cakupan Wilayah, dan
  3. batas usia minimal Daerah provinsi, Daerah kabupaten/kota, dan Kecamatan.
  1. Persyaratan dasar kapasitas Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah kemampuan Daerah untuk berkembang dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Pasal 35
  1. Luas wilayah minimal dan jumlah penduduk minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf a dan huruf b ditentukan berdasarkan pengelompokan pulau atau kepulauan.
  2. Ketentuan mengenai pengelompokan pulau atau kepulauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.
  3. Batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf c dibuktikan dengan titik koordinat pada peta dasar.
  4. Cakupan Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf d meliputi:
    1. paling sedikit 5 (lima) Daerah kabupaten/kota untuk pembentukan Daerah provinsi,
    2. paling sedikit 5 (lima) Kecamatan untuk pembentukan Daerah kabupaten, dan
    3. paling sedikit 4 (empat) Kecamatan untuk pembentukan Daerah kota.
  5. Cakupan Wilayah untuk Daerah Persiapan yang wilayahnya terdiri atas pulau-pulau memuat Cakupan Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan rincian nama pulau yang berada dalam wilayahnya.
  6. Batas usia minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf e meliputi:
    1. batas usia minimal Daerah provinsi 10 (sepuluh) tahun dan Daerah kabupaten/kota 7 (tujuh) tahun terhitung sejak pembentukan, dan
    2. batas usia minimal Kecamatan yang menjadi Cakupan Wilayah Daerah kabupaten/kota 5 (lima) tahun terhitung sejak pembentukan.

Pasal 36
  1. Persyaratan dasar kapasitas Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) didasarkan pada parameter:
    1. geografi;
    2. demografi;
    3. keamanan;
    4. sosial politik, adat, dan tradisi;
    5. potensi ekonomi ;
    6. keuangan Daerah; dan
    7. kemampuan penyelenggaraan pemerintahan.
  2. Parameter geografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
    1. lokasi ibu kota;
    2. hidrografi; dan
    3. kerawanan bencana.
  3. Parameter demografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
    1. kualitas sumber daya manusia; dan
    2. distribusi penduduk.
  4. Parameter keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
    1. tindakan kriminal umum; dan
    2. konflik sosial.
  5. Parameter sosial politik, adat, dan tradisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:
    1. partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum;
    2. kohesivitas sosial; dan
    3. organisasi kemasyarakatan.
  6. Parameter potensi ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
    1. pertumbuhan ekonomi; dan
    2. potensi unggulan Daerah.
  7. Parameter keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f meliputi:
    1. kapasitas pendapatan asli Daerah induk;
    2. potensi pendapatan asli calon Daerah Persiapan; dan
    3. pengelolaan keuangan dan aset Daerah.
  8. Parameter kemampuan penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g meliputi:
    1. aksesibilitas pelayanan dasar pendidikan;
    2. aksesibilitas pelayanan dasar kesehatan;
  1. aksesibilitas pelayanan dasar infrastruktur; jumlah pegawai aparatur sipil negara di Daerah induk; dan
  2. rancangan rencana tata ruang wilayah Daerah Persiapan.

Pasal 37
Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) disusun dengan tata urutan sebagai berikut:
  1. untuk Daerah provinsi meliputi:
    1. persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota dengan bupati/wali kota yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah Persiapan provinsi; dan
    2. persetujuan bersama DPRD provinsi induk dengan gubernur Daerah provinsi induk.
  2. untuk Daerah kabupaten/kota meliputi:
    1. keputusan musyawarah Desa yang akan menjadi Cakupan Wilayah Daerah kabupaten/kota;
    2. persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota induk dengan bupati/wali kota Daerah induk; dan
    3. persetujuan bersama DPRD provinsi dengan gubernur dari Daerah provinsi yang mencakupi Daerah Persiapan kabupaten/kota yang akan dibentuk.

Pasal 38
  1. Pembentukan Daerah Persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) diusulkan oleh gubernur kepada Pemerintah Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, atau Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia setelah memenuhi persyaratan dasar kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), dan persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
  2. Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat melakukan penilaian terhadap pemenuhan persyaratan dasar kewilayahan dan persyaratan administratif.
  3. Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.
Halaman:UU 23 2014.pdf/29 Halaman:UU 23 2014.pdf/30 Halaman:UU 23 2014.pdf/31 Halaman:UU 23 2014.pdf/32 Halaman:UU 23 2014.pdf/33
  1. Hasil konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, atau Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dalam pembentukan undang-undang mengenai penggabungan Daerah.
  2. Dalam hal penggabungan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dinyatakan tidak layak, Pemerintah Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, atau Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia menyampaikan penolakan secara tertulis dengan disertai alasan penolakan kepada gubernur.

Pasal 47
  1. Penggabungan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf b dilakukan dalam hal Daerah atau beberapa Daerah tidak mampu menyelenggarakan Otonomi Daerah.
  2. Penilaian terhadap kemampuan menyelenggarakan Otonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
  3. Pemerintah Pusat mengajukan rancangan undang-undang mengenai penggabungan Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.
  4. Dalam hal rancangan undang-undang mengenai penggabungan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetujui, rancangan undang-undang dimaksud ditetapkan menjadi undang-undang.


Bagian Ketiga
Penyesuaian Daerah


Pasal 48
  1. Penyesuaian Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) berupa:
    1. perubahan batas wilayah Daerah;
    2. perubahan nama Daerah;
    3. pemberian nama dan perubahan nama bagian rupa bumi;
    4. pemindahan ibu kota; dan/atau
Halaman:UU 23 2014.pdf/35 Halaman:UU 23 2014.pdf/36 Halaman:UU 23 2014.pdf/37 Halaman:UU 23 2014.pdf/38 Halaman:UU 23 2014.pdf/39 Halaman:UU 23 2014.pdf/40

Paragraf 3
Tugas, Wewenang, Kewajiban, dan Hak Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Pasal 65
  1. Kepala daerah mempunyai tugas:
    1. memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
    2. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
    3. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD;
    4. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama;
    5. mewakili Daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
    6. mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah; dan
    7. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepala daerah berwenang:
    1. mengajukan rancangan Perda;
    2. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
    3. menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah;
    4. mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh Daerah dan/atau masyarakat;
    5. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Kepala daerah yang sedang menjalani masa tahanan dilarang melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
- 42 (4)

Dalam hal kepala daerah sedang menjalani masa tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau berhalangan sementara, wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah.

(5)

Apabila kepala daerah sedang menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara dan tidak ada wakil kepala daerah, sekretaris daerah melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah.

(6)

Apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah sedang menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara, sekretaris daerah melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah.

(7)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang kepala daerah oleh wakil kepala daerah dan pelaksanaan tugas sehari-hari kepala daerah oleh sekretaris daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 66

(1)

Wakil kepala daerah mempunyai tugas: a. membantu kepala daerah dalam: 1. memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah; 2. mengoordinasikan kegiatan Perangkat Daerah dan menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan; 3. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dilaksanakan oleh Perangkat Daerah provinsi bagi wakil gubernur; dan 4. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Perangkat Daerah kabupaten/kota, kelurahan, dan/atau Desa bagi wakil bupati/wali kota; b. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam pelaksanaan Pemerintahan Daerah; c. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara; dan d. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Selain . . .
  1. Selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.
  2. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah.

Pasal 67
Kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah meliputi:
  1. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2. menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. mengembangkan kehidupan demokrasi;
  4. menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah;
  5. menerapkan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik;
  6. melaksanakan program strategis nasional; dan
  7. menjalin hubungan kerja dengan seluruh Instansi Vertikal di Daerah dan semua Perangkat Daerah.

Pasal 68
  1. Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf f dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Menteri untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
  2. Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara selama 3 (tiga) bulan.
  1. Dalam hal kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah telah selesai menjalani pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap tidak melaksanakan program strategis nasional, yang bersangkutan diberhentikan sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.

Pasal 69
  1. Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 kepala daerah wajib menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, laporan keterangan pertanggungjawaban, dan ringkasan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
  2. Laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup laporan kinerja instansi Pemerintah Daerah.

Pasal 70
  1. Laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah memuat capaian kinerja penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan pelaksanaan Tugas Pembantuan.
  2. Gubernur menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) kepada Presiden melalui Menteri yang dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
  3. Bupati/wali kota menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat yang dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
  4. Laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
  5. Laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) digunakan sebagai bahan evaluasi dan pembinaan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah oleh Pemerintah Pusat.
Halaman:UU 23 2014.pdf/45 Halaman:UU 23 2014.pdf/46

Pasal 75
  1. Dalam melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai hak protokoler dan hak keuangan.
  2. Hak keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi gaji pokok, tunjangan jabatan, dan tunjangan lain.
  3. Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang dikenai sanksi pemberhentian sementara tidak mendapatkan hak protokoler serta hanya diberikan hak keuangan berupa gaji pokok, tunjangan anak, dan tunjangan istri/suami.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak protokoler dan hak keuangan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Paragraf 4
Larangan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Pasal 76
  1. Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang:
    1. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan pribadi, keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    2. membuat kebijakan yang merugikan kepentingan umum dan meresahkan sekelompok masyarakat atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    3. menjadi pengurus suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara/daerah atau pengurus yayasan bidang apa pun;
    4. menyalahgunakan wewenang yang menguntungkan diri sendiri dan/atau merugikan Daerah yang dipimpin;
    5. melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukan;
    6. menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf e;
Halaman:UU 23 2014.pdf/48 Halaman:UU 23 2014.pdf/49 Halaman:UU 23 2014.pdf/50 Halaman:UU 23 2014.pdf/51 Halaman:UU 23 2014.pdf/52 Halaman:UU 23 2014.pdf/53 Halaman:UU 23 2014.pdf/54 Halaman:UU 23 2014.pdf/55 Halaman:UU 23 2014.pdf/56 Halaman:UU 23 2014.pdf/57 Halaman:UU 23 2014.pdf/58 Halaman:UU 23 2014.pdf/59 Halaman:UU 23 2014.pdf/60 Halaman:UU 23 2014.pdf/61 Halaman:UU 23 2014.pdf/62 Halaman:UU 23 2014.pdf/63 Halaman:UU 23 2014.pdf/64 Halaman:UU 23 2014.pdf/65 Halaman:UU 23 2014.pdf/66 Halaman:UU 23 2014.pdf/67 Halaman:UU 23 2014.pdf/68 Halaman:UU 23 2014.pdf/69 Halaman:UU 23 2014.pdf/70 Halaman:UU 23 2014.pdf/71 Halaman:UU 23 2014.pdf/72
  1. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak angket DPRD provinsi apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir.

Pasal 116
  1. DPRD provinsi memutuskan menerima atau menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1).
  2. Dalam hal DPRD provinsi menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD provinsi membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD provinsi dengan keputusan DPRD provinsi.
  3. Dalam hal DPRD provinsi menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.

Pasal 117
  1. Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3), dapat memanggil pejabat Pemerintah Daerah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat di Daerah provinsi yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang diselidiki untuk memberikan keterangan serta untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.
  2. Pejabat Pemerintah Daerah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat di Daerah provinsi yang dipanggil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan DPRD provinsi, kecuali ada alasan yang sah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Dalam hal pejabat Pemerintah Daerah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat di Daerah provinsi telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DPRD provinsi dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 118
Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPRD provinsi paling lama 60 (enam puluh) Hari sejak panitia angket dibentuk.

Pasal 119
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak angket diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.

Pasal 120
  1. Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf c diusulkan oleh:
    1. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang;
    2. paling sedikit 20 (dua puluh) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang.
  2. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD provinsi.
  3. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPRD provinsi apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir.

Pasal 121
Ketentuan lebih lanjut tata cara pelaksanaan hak menyatakan pendapat diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.

Paragraf 10
Pelaksanaan Hak Anggota

Pasal 122
  1. Anggota DPRD provinsi mempunyai hak imunitas.
  2. Anggota DPRD provinsi tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya, baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD provinsi ataupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD provinsi.
  3. Anggota DPRD provinsi tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya, baik di dalam rapat DPRD provinsi maupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD provinsi.
  4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 123
  1. Pimpinan dan anggota DPRD provinsi mempunyai hak protokoler.
  2. Hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.

Pasal 124
  1. Pimpinan dan anggota DPRD provinsi mempunyai hak keuangan dan administratif.
  2. Hak keuangan dan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
  3. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pimpinan dan anggota DPRD provinsi berhak memperoleh tunjangan yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan Daerah.
  1. Pengelolaan hak keuangan dan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh sekretariat DPRD provinsi sesuai dengan peraturan pemerintah.

Paragraf 11
Persidangan dan Pengambilan Keputusan

Pasal 125
  1. Pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPRD provinsi dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota.
  2. Tahun sidang dibagi dalam 3 (tiga) masa persidangan.
  3. Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses, kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan DPRD provinsi, masa reses ditiadakan.

Pasal 126
Semua rapat di DPRD provinsi pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.

Pasal 127
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan rapat DPRD provinsi diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.

Pasal 128
  1. Pengambilan keputusan dalam rapat DPRD provinsi pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
  2. Dalam hal cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

Pasal 129
  1. Setiap rapat DPRD provinsi dapat mengambil keputusan jika memenuhi kuorum.
  2. Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi jika:
    1. rapat dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga per empat)dari jumlah anggota DPRD provinsi untuk mengambil persetujuan atas pelaksanaan hak angket dan hak menyatakan pendapat serta untuk mengambil keputusan mengenai usul pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur;
    2. rapat dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi untuk memberhentikan pimpinan DPRD provinsi serta untuk menetapkan Perda dan APBD;
    3. rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPRD provinsi untuk rapat paripurna DPRD provinsi selain rapat sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b.
  3. Keputusan rapat dinyatakan sah jika:
    1. disetujui oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
    2. disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b;
    3. disetujui dengan suara terbanyak, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
  4. Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 1 (satu) jam.
  5. Apabila pada akhir waktu penundaan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kuorum belum juga terpenuhi, pimpinan dapat menunda rapat paling lama 3 (tiga) Hari atau sampai waktu yang ditetapkan oleh badan musyawarah.
  6. Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, rapat tidak dapat mengambil keputusan.
  1. Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPRD provinsi dan pimpinan fraksi.

Pasal 130
Setiap keputusan rapat DPRD provinsi, baik berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak merupakan kesepakatan untuk ditindaklanjuti oleh semua pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan.

Pasal 131
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.

Paragraf 12
Tata Tertib dan Kode Etik

Pasal 132
  1. Tata tertib DPRD provinsi ditetapkan oleh DPRD provinsi dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPRD provinsi.
  3. Tata tertib DPRD provinsi paling sedikit memuat ketentuan tentang:
    1. pengucapan sumpah/janji;
    2. penetapan pimpinan;
    3. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
    4. jenis dan penyelenggaraan rapat;
    5. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga, serta hak dan kewajiban anggota;
    6. pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan;
    7. penggantian antarwaktu anggota;
    8. pembuatan pengambilan keputusan;
    9. pelaksanaan konsultasi antara DPRD provinsi dan Pemerintah Daerah provinsi;
  1. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat;
  2. pengaturan protokoler; dan
  3. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli.

Pasal 133
DPRD provinsi menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD provinsi.

Paragraf 13
Larangan dan Sanksi

Pasal 134
  1. Anggota DPRD provinsi dilarang merangkap jabatan sebagai:
    1. pejabat negara atau pejabat daerah lainnya;
    2. hakim pada badan peradilan; atau
    3. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, BUMD, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
  2. Anggota DPRD provinsi dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas dan wewenang DPRD provinsi serta hak sebagai anggota DPRD provinsi.
  3. Anggota DPRD provinsi dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Pasal 135
  1. Anggota DPRD provinsi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dikenai sanksi berdasarkan keputusan badan kehormatan.
  1. Anggota DPRD provinsi yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD provinsi.
  2. Anggota DPRD provinsi yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD provinsi.

Pasal 136
Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (1) berupa:
  1. teguran lisan;
  2. teguran tertulis; dan/atau
  3. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.

Pasal 137
Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada badan kehormatan DPRD provinsi dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPRD provinsi yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134.

Pasal 138
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata beracara badan kehormatan.

Paragraf Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu, dan Pemberhentian Sementara

Pasal 139
  1. Anggota DPRD provinsi berhenti antarwaktu karena:
    1. meninggal dunia;
    2. mengundurkan diri; atau
    3. diberhentikan.
  1. Anggota DPRD provinsi diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c jika:
    1. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD provinsi selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
    2. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD provinsi;
    3. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
    4. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD provinsi yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
    5. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    6. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
    7. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;
    8. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
    9. menjadi anggota partai politik lain.

Pasal 140
  1. Pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPRD provinsi dengan tembusan kepada Menteri.
  2. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPRD provinsi menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD provinsi kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
  1. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat menyampaikan usul tersebut kepada Menteri.
  2. Menteri meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak usulan pemberhentian anggota DPRD provinsi dari gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat diterima.

Pasal 141
  1. Pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan badan kehormatan DPRD provinsi atas pengaduan dari pimpinan DPRD provinsi, masyarakat, dan/atau pemilih.
  2. Keputusan badan kehormatan DPRD provinsi mengenai pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh badan kehormatan DPRD provinsi kepada rapat paripurna.
  3. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak keputusan badan kehormatan DPRD provinsi yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPRD provinsi menyampaikan keputusan badan kehormatan DPRD provinsi kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.
  4. Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPRD provinsi, paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sejak keputusan badan kehormatan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima dari pimpinan DPRD provinsi.
  5. Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak memberikan keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD provinsi paling lama 7 (tujuh) Hari meneruskan keputusan badan kehormatan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
  1. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterima, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat menyampaikan keputusan tersebut kepada Menteri.
  2. Menteri meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya keputusan badan kehormatan DPRD provinsi atau keputusan pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

Pasal 142
  1. Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1), badan kehormatan DPRD provinsi dapat meminta bantuan dari ahli independen.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh badan kehormatan DPRD provinsi diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata beracara badan kehormatan.

Pasal 143
  1. Anggota DPRD provinsi yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) dan Pasal 141 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
  2. Dalam hal calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengundurkan diri, meninggal dunia, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD provinsi, anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
  1. Masa jabatan anggota DPRD provinsi pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPRD provinsi yang digantikan.

Pasal 144
  1. Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada komisi pemilihan umum Daerah provinsi.
  2. Komisi pemilihan umum Daerah provinsi menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPRD provinsi paling lambat 5 (lima) Hari sejak surat pimpinan DPRD provinsi diterima.
  3. Paling lambat 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama calon pengganti antarwaktu dari komisi pemilihan umum Daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
  4. Paling lambat 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat menyampaikan nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Menteri.
  5. Paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak menerima nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan Menteri.
  6. Sebelum memangku jabatannya, anggota DPRD provinsi pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh pimpinan DPRD provinsi, dengan tata cara dan teks sumpah/janji sebagaimana diatur dalam Pasal 103 dan Pasal 104.
  1. Penggantian antarwaktu anggota DPRD provinsi tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPRD provinsi yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan.

Pasal 145
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan penggantian antarwaktu, verifikasi terhadap persyaratan calon pengganti antarwaktu, dan peresmian calon pengganti antarwaktu anggota DPRD provinsi diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 146
  1. Anggota DPRD provinsi diberhentikan sementara karena:
    1. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau
    2. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
  2. Dalam hal anggota DPRD provinsi dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD provinsi yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPRD provinsi.
  3. Dalam hal anggota DPRD provinsi dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD provinsi yang bersangkutan diaktifkan.
  4. Anggota DPRD provinsi yang diberhentikan sementara tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dalam peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.


Bagian Kelima
DPRD Kabupaten/Kota


Paragraf 1
Susunan dan Kedudukan

Pasal 147
DPRD kabupaten/kota terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.

Pasal 148
  1. DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan rakyat Daerah kabupaten/kota yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota.
  2. Anggota DPRD kabupaten/kota adalah pejabat Daerah kabupaten/kota.

Paragraf 2
Fungsi

Pasal 149
  1. DPRD kabupaten/kota mempunyai fungsi:
    1. pembentukan Perda Kabupaten/Kota;
    2. anggaran; dan
    3. pengawasan.
  2. Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di Daerah kabupaten/kota.
  3. Dalam rangka melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD kabupaten/kota menjaring aspirasi masyarakat.

Pasal 150
Fungsi pembentukan Perda Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan cara:
  1. membahas bersama bupati/wali kota dan menyetujui atau tidak menyetujui rancangan Perda Kabupaten/Kota;
  1. mengajukan usul rancangan Perda Kabupaten/Kota; dan
  2. menyusun program pembentukan Perda Kabupaten/Kota bersama bupati/wali kota.

Pasal 151
  1. Program pembentukan Perda Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 huruf c memuat daftar urutan dan prioritas rancangan Perda Kabupaten/Kota yang akan dibuat dalam 1 (satu) tahun anggaran.
  2. Dalam menetapkan program pembentukan Perda Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD kabupaten/kota melakukan koordinasi dengan bupati/wali kota.

Pasal 152
  1. Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf b diwujudkan dalam bentuk pembahasan untuk persetujuan bersama terhadap Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang APBD Kabupaten/Kota yang diajukan oleh bupati/wali kota.
  2. Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
    1. membahas KUA dan PPAS yang disusun oleh bupati/wali kota berdasarkan RKPD;
    2. membahas rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang APBD kabupaten/kota;
    3. membahas rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang perubahan APBD kabupaten/kota; dan
    4. membahas rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/kota.

Pasal 153
  1. Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf c diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap:
    1. pelaksanaan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota;
    2. pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota; dan
  1. pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
  1. Dalam melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud pada (1), DPRD kabupaten/kota berhak mendapatkan laporan hasil pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
  2. DPRD kabupaten/kota melakukan pembahasan terhadap laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
  3. DPRD kabupaten/kota dapat meminta klarifikasi atas temuan laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan.

Paragraf 3
Tugas dan Wewenang

Pasal 154
  1. DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang:
    1. membentuk Perda Kabupaten/Kota bersama bupati/wali kota;
    2. membahas dan memberikan persetujuan rancangan Perda mengenai APBD kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/wali kota;
    3. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan APBD kabupaten/kota;
    4. memilih bupati/wali kota;
    5. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wali kota kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan pemberhentian.
    6. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian international di Daerah;
    7. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
    8. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/wali kota dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota;
  1. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan Daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan Daerah;
  2. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.

Paragraf 4
Keanggotaan

Pasal 155
  1. Anggota DPRD kabupaten/kota berjumlah paling sedikit 20 (dua puluh) orang dan paling banyak 50 (lima puluh) orang.
  2. Keanggotaan DPRD kabupaten/kota diresmikan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
  3. Anggota DPRD kabupaten/kota berdomisili di ibu kota kabupaten/kota yang bersangkutan.
  4. Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD kabupaten/kota yang baru mengucapkan sumpah/janji.

Pasal 156
  1. Anggota DPRD kabupaten/kota sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersamasama yang dipandu oleh ketua pengadilan negeri dalam rapat paripurna DPRD kabupaten/kota.
  2. Anggota DPRD kabupaten/kota yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPRD kabupaten/kota.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.

Pasal 157
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh demi tegaknya kehidupan demokrasi serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Pasal 158
  1. Dalam hal dilakukan pembentukan Daerah kabupaten/kota setelah pemilihan umum, pengisian anggota DPRD kabupaten/kota di Daerah kabupaten/kota induk dan Daerah kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum dilakukan dengan cara:
    1. menetapkan jumlah kursi DPRD kabupaten/kota induk dan Daerah kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum berdasarkan jumlah penduduk sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD;
    2. menetapkan perolehan suara partai politik dan calon anggota DPRD kabupaten/kota berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan Daerah kabupaten/kota induk dan Daerah kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum;
    3. menentukan bilangan pembagi pemilih berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan Daerah kabupaten/kota induk dan Daerah kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum;
  1. menentukan perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan Daerah kabupaten/kota induk dan Daerah kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum;
  2. menetapkan calon terpilih dari daftar calon tetap untuk mengisi kursi sebagaimana dimaksud pada huruf d berdasarkan suara terbanyak.
  1. Pengisian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh komisi pemilihan umum Daerah kabupaten/kota induk.
  2. Pengisian anggota DPRD provinsi tidak dilakukan bagi Daerah kabupaten/kota yang dibentuk 12 (dua belas) bulan sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
  3. Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir pada saat anggota DPRD kabupaten/kota hasil pemilihan umum berikutnya mengucapkan sumpah/janji.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jumlah dan tata cara pengisian keanggotaan DPRD kabupaten/kota induk dan Daerah kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Komisi Pemilihan Umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 5
Hak DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 159
  1. DPRD kabupaten/kota mempunyai hak:
    1. interpelasi;
    2. angket; dan
    3. menyatakan pendapat.
  2. Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk meminta keterangan kepada bupati/wali kota mengenai kebijakan Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
  1. Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, Daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan bupati/wali kota atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di Daerah kabupaten/kota disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.

Paragraf 6
Hak dan Kewajiban Anggota

Pasal 160
Anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak:
  1. mengajukan rancangan Perda Kabupaten/Kota;
  2. mengajukan pertanyaan;
  3. menyampaikan usul dan pendapat;
  4. memilih dan dipilih;
  5. membela diri;
  6. imunitas;
  7. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas;
  8. protokoler; dan
  9. keuangan dan administratif.

Pasal 161
Anggota DPRD kabupaten/kota berkewajiban:
  1. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
  2. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  4. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan;
  5. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
  1. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota;
  2. menaati tata tertib dan kode etik;
  3. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota;
  4. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala;
  5. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
  6. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.

Paragraf 7
Fraksi

Pasal 162
  1. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota serta hak dan kewajiban anggota DPRD kabupaten/kota, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPRD kabupaten/kota.
  2. Setiap anggota DPRD kabupaten/kota harus menjadi anggota salah satu fraksi.
  3. Setiap fraksi di DPRD kabupaten/kota beranggotakan paling sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRD kabupaten/kota.
  4. Partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD kabupaten/kota mencapai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau lebih dapat membentuk 1 (satu) fraksi.
  5. Dalam hal partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD kabupaten/kota tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), anggotanya dapat bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan.
  6. Dalam hal tidak ada satu partai politik yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dibentuk fraksi gabungan.
  7. Jumlah fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) paling banyak 2 (dua) fraksi.
  1. Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) harus mendudukkan anggotanya dalam 1 (satu) fraksi.
  2. Fraksi mempunyai sekretariat. (10) Sekretariat DPRD kabupaten/kota menyediakan sarana, anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas fraksi sesuai dengan kebutuhan dan dengan memperhatikan kemampuan APBD.

Paragraf 8
Alat Kelengkapan DPRD Kabupaten/Kota

Pasal 163
  1. Alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota terdiri atas:
    1. pimpinan;
    2. badan musyawarah;
    3. komisi;
    4. badan pembentukan Perda Kabupaten/Kota;
    5. badan anggaran;
    6. badan kehormatan; dan
    7. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
  2. Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh sekretariat dan dapat dibantu oleh tim pakar atau tim ahli.
  3. Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.

Pasal 164
  1. Pimpinan DPRD kabupaten/kota terdiri atas:
    1. 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 45 (empat puluh lima) sampai dengan 50 (lima puluh) orang; dan
    2. 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 44 (empat puluh empat) orang.
  1. Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD kabupaten/kota.
  2. Ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperolah kursi terbanyak pertama di DPRD kabupaten/kota.
  3. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak.
  4. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh suara terbanyak sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penentuan ketua DPRD kabupaten/kota dilakukan berdasarkan persebaran perolehan suara partai politik yang paling merata urutan pertama.
  5. Dalam hal ketua DPRD kabupaten/kota ditetapkan dari anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wakil ketua DPRD kabupaten/kota ditetapkan dari anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua, ketiga, dan/atau keempat sesuai dengan jumlah wakil ketua DPRD kabupaten/kota.
  6. Dalam hal ketua DPRD kabupaten/kota ditetapkan dari anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wakil ketua DPRD kabupaten/kota ditetapkan dari anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh urutan suara terbanyak kedua, ketiga, dan/atau keempat sesuai dengan jumlah wakil ketua DPRD kabupaten/kota.
  7. Dalam hal ketua DPRD kabupaten/kota ditetapkan dari anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5), wakil ketua DPRD kabupaten/kota ditetapkan dari anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh persebaran suara paling merata urutan kedua, ketiga, dan/atau keempat sesuai dengan jumlah wakil ketua DPRD kabupaten/kota.

Pasal 165
  1. Dalam hal pimpinan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (1) belum terbentuk, DPRD kabupaten/kota dipimpin oleh pimpinan sementara DPRD kabupaten/kota.
  2. Pimpinan sementara DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPRD kabupaten/kota.
  3. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua sementara DPRD kabupaten/kota ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai politik bersangkutan yang ada di DPRD kabupaten/kota.
  4. Ketua dan wakil ketua DPRD kabupaten/kota diresmikan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
  5. Pimpinan DPRD kabupaten/kota sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 dipandu oleh ketua pengadilan negeri.
  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan pimpinan DPRD kabupaten/kota diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.

Pasal 166
Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 ayat (1) huruf c dibentuk dengan ketentuan:
  1. DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 3 (tiga) komisi;
  2. DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan lebih dari 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi.

Paragraf 9
Pelaksanaan Hak DPRD kabupaten/kota

Pasal 167
  1. Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (1) huruf a diusulkan oleh:
    1. paling sedikit 5 (lima) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima); atau
    2. paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang.
  2. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota.
  3. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak interpelasi DPRD kabupaten/kota apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir.

Pasal 168
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak interpelasi diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.

Pasal 169
  1. Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (1) huruf b diusulkan oleh:
    1. paling sedikit 5 (lima) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang; atau
  1. paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang.
  1. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota.
  2. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak angket DPRD kabupaten/kota apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir.

Pasal 170
  1. DPRD kabupaten/kota memutuskan menerima atau menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1).
  2. Dalam hal DPRD kabupaten/kota menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD kabupaten/kota membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD kabupaten/kota dengan keputusan DPRD kabupaten/kota.
  3. Dalam hal DPRD kabupaten/kota menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.

Pasal 171
  1. Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (3), dapat memanggil pejabat Pemerintah Daerah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat di Daerah kabupaten/kota yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang diselidiki untuk memberikan keterangan dan untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.
  1. Pejabat Pemerintah Daerah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat di Daerah kabupaten/kota yang dipanggil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan DPRD kabupaten/kota, kecuali ada alasan yang sah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Dalam hal pejabat Pemerintah Daerah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat di Daerah kabupaten/kota telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DPRD kabupaten/kota dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 172
Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPRD kabupaten/kota paling lama 60 (enam puluh) Hari sejak dibentuknya panitia angket.

Pasal 173
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak angket diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.

Pasal 174
  1. Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (1) huruf c diusulkan oleh:
    1. paling sedikit 8 (delapan) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang; atau
    2. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang.
  2. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota.
  1. Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPRD kabupaten/kota apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir.

Pasal 175
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak menyatakan pendapat diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.

Paragraf 10
Pelaksanaan Hak Anggota

Pasal 176
  1. Anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak imunitas.
  2. Anggota DPRD kabupaten/kota tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakan, baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD kabupaten/kota ataupun di luar rapat DPRD kabupaten/kota yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota.
  3. Anggota DPRD kabupaten/kota tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakan, baik di dalam rapat DPRD kabupaten/kota maupun di luar rapat DPRD kabupaten/kota yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota.
  4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 117
  1. Pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak protokoler.
  2. Hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.

Pasal 178
  1. Pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak keuangan dan administratif.
  2. Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
  3. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota berhak memperoleh tunjangan yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan Daerah.
  4. Pengelolaan hak keuangan dan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh sekretariat DPRD kabupaten/kota sesuai dengan peraturan pemerintah.

Paragraf 11
Persidangan dan Pengambilan Keputusan

Pasal 179
  1. Pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPRD kabupaten/kota dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota.
  2. Tahun sidang dibagi dalam 3 (tiga) masa persidangan.
  3. Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses, kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan DPRD kabupaten/kota, masa reses ditiadakan.

Pasal 180
Semua rapat di DPRD kabupaten/kota pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.

Pasal 181
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan rapat diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.

Pasal 182
  1. Pengambilan keputusan dalam rapat DPRD kabupaten/kota pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
  2. Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

Pasal 183
  1. Setiap rapat DPRD kabupaten/kota dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.
  2. Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi jika:
    1. rapat dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk mengambil persetujuan atas pelaksanaan hak angket dan hak menyatakan pendapat serta untuk mengambil keputusan mengenai usul pemberhentian bupati/wali kota dan/atau wakil bupati/wakil walikota;
    2. rapat dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk memberhentikan pimpinan DPRD kabupaten/kota serta untuk menetapkan Perda Kabupaten/Kota dan APBD kabupaten/kota; dan
    3. rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk rapat paripurna DPRD kabupaten/kota selain rapat sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b.
  3. Keputusan rapat dinyatakan sah apabila:
    1. disetujui oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
  1. disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b; dan
  2. disetujui dengan suara terbanyak, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
  1. Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 1 (satu) jam.
  2. Apabila pada akhir waktu penundaan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kuorum belum juga terpenuhi, pimpinan dapat menunda rapat paling lama 3 (tiga) Hari atau sampai waktu yang ditetapkan oleh badan musyawarah.
  3. Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, rapat tidak dapat mengambil keputusan.
  4. Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dan pimpinan fraksi.

Pasal 184
Setiap keputusan rapat DPRD kabupaten/kota, baik berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak, merupakan kesepakatan untuk ditindaklanjuti oleh semua pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan.

Paragraf 12
Tata Tertib dan Kode Etik

Pasal 185
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.

Pasal 186
  1. Tata tertib DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh DPRD kabupaten/kota dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPRD kabupaten/kota.
  3. Tata tertib DPRD kabupaten/kota paling sedikit memuat ketentuan tentang:
    1. pengucapan sumpah/janji;
    2. penetapan pimpinan;
    3. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
    4. jenis dan penyelenggaraan rapat;
    5. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga, serta hak dan kewajiban anggota;
    6. pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan;
    7. penggantian antarwaktu anggota;
    8. pembuatan pengambilan keputusan;
    9. pelaksanaan konsultasi antara DPRD kabupaten/kota dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
    10. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat;
    11. pengaturan protokoler; dan
    12. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli.

Pasal 187
DPRD kabupaten/kota menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugas untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD kabupaten/kota.

Paragraf 13
Larangan dan Sanksi

Pasal 188
  1. Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang merangkap jabatan sebagai:
    1. pejabat negara atau pejabat daerah lainnya;
    2. hakim pada badan peradilan; atau
  1. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, BUMD, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
  1. Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota serta hak sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.
  2. Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Pasal 189
  1. Anggota DPRD kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 dikenai sanksi berdasarkan keputusan badan kehormatan.
  2. Anggota DPRD kabupaten/kota yang dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.
  3. Anggota DPRD kabupaten/kota yang dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.

Pasal 190
Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (1) berupa:
  1. teguran lisan;
  2. teguran tertulis; dan/atau
  3. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.

Pasal 191
Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada badan kehormatan DPRD kabupaten/kota dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPRD kabupaten/kota yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188.

Pasal 192
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata beracara badan kehormatan.

Paragraf 14
Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu, dan Pemberhentian Sementara

Pasal 193
  1. Anggota DPRD kabupaten/kota berhenti antarwaktu karena:
    1. meninggal dunia;
    2. mengundurkan diri; atau
    3. diberhentikan.
  2. Anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
    1. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD kabupaten/kota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
    2. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD kabupaten/kota;
    3. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun;
    4. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
  1. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
  3. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;
  4. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
  5. menjadi anggota partai politik lain.

Pasal 194
  1. Pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dengan tembusan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
  2. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melalui bupati/wali kota untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
  3. Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima, bupati/wali kota menyampaikan usul tersebut kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
  4. Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota dari bupati/wali kota diterima.
Halaman:UU 23 2014.pdf/108 Halaman:UU 23 2014.pdf/109 Halaman:UU 23 2014.pdf/110 Halaman:UU 23 2014.pdf/111 Halaman:UU 23 2014.pdf/112 Halaman:UU 23 2014.pdf/113 Halaman:UU 23 2014.pdf/114 Halaman:UU 23 2014.pdf/115 Halaman:UU 23 2014.pdf/116 Halaman:UU 23 2014.pdf/117 Halaman:UU 23 2014.pdf/118 Halaman:UU 23 2014.pdf/119 Halaman:UU 23 2014.pdf/120 Halaman:UU 23 2014.pdf/121 Halaman:UU 23 2014.pdf/122 Halaman:UU 23 2014.pdf/123 Halaman:UU 23 2014.pdf/124 Halaman:UU 23 2014.pdf/125 Halaman:UU 23 2014.pdf/126 Halaman:UU 23 2014.pdf/127 Halaman:UU 23 2014.pdf/128 Halaman:UU 23 2014.pdf/129 Halaman:UU 23 2014.pdf/130 Halaman:UU 23 2014.pdf/131 Halaman:UU 23 2014.pdf/132 Halaman:UU 23 2014.pdf/133 Halaman:UU 23 2014.pdf/134 Halaman:UU 23 2014.pdf/135 Halaman:UU 23 2014.pdf/136 Halaman:UU 23 2014.pdf/137 Halaman:UU 23 2014.pdf/138 Halaman:UU 23 2014.pdf/139 Halaman:UU 23 2014.pdf/140 Halaman:UU 23 2014.pdf/141 Halaman:UU 23 2014.pdf/142 Halaman:UU 23 2014.pdf/143 Halaman:UU 23 2014.pdf/144 Halaman:UU 23 2014.pdf/145 Halaman:UU 23 2014.pdf/146 Halaman:UU 23 2014.pdf/147 Halaman:UU 23 2014.pdf/148 Halaman:UU 23 2014.pdf/149 Halaman:UU 23 2014.pdf/150 Halaman:UU 23 2014.pdf/151 Halaman:UU 23 2014.pdf/152 Halaman:UU 23 2014.pdf/153 Halaman:UU 23 2014.pdf/154 Halaman:UU 23 2014.pdf/155 Halaman:UU 23 2014.pdf/156 Halaman:UU 23 2014.pdf/157 Halaman:UU 23 2014.pdf/158 Halaman:UU 23 2014.pdf/159 Halaman:UU 23 2014.pdf/160 Halaman:UU 23 2014.pdf/161 Halaman:UU 23 2014.pdf/162 Halaman:UU 23 2014.pdf/163 Halaman:UU 23 2014.pdf/164 Halaman:UU 23 2014.pdf/165 Halaman:UU 23 2014.pdf/166 Halaman:UU 23 2014.pdf/167 Halaman:UU 23 2014.pdf/168 - 169 Pasal 318

Perkada tentang penjabaran APBD dan Perkada tentang penjabaran perubahan APBD dijadikan dasar penetapan dokumen pelaksanaan anggaran satuan kerja Perangkat Daerah. Pasal 319 Ketentuan mengenai evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Perkada tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 dan Pasal 315 berlaku secara mutatis mutandis terhadap evaluasi rancangan Perda tentang perubahan APBD dan rancangan perkada tentang penjabaran perubahan APBD. Paragraf 7 Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Pasal 320 (1)

Kepala daerah menyampaikan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD dengan dilampiri laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

(2)

Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. laporan realisasi anggaran; b. laporan perubahan saldo anggaran lebih; c. neraca; d. laporan operasional; e. laporan arus kas; f. laporan perubahan ekuitas; dan g. catatan atas laporan keuangan yang dilampiri dengan ikhtisar laporan keuangan BUMD.

(3)

Penyajian laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.

(4)

Rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas kepala daerah bersama DPRD untuk mendapat persetujuan bersama.

(5) Persetujuan . . . Halaman:UU 23 2014.pdf/170 Halaman:UU 23 2014.pdf/171 Halaman:UU 23 2014.pdf/172 Halaman:UU 23 2014.pdf/173 Halaman:UU 23 2014.pdf/174 Halaman:UU 23 2014.pdf/175 Halaman:UU 23 2014.pdf/176 Halaman:UU 23 2014.pdf/177
  1. hibah; dan
  2. sumber modal lainnya.
  1. Sumber modal lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah:
    1. kapitalisasi cadangan;
    2. keuntungan revaluasi aset; dan
    3. agio saham.

Pasal 333
  1. Penyertaan modal Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan Perda.
  2. Penyertaan modal Daerah dapat dilakukan untuk pembentukan BUMD dan penambahan modal BUMD.
  3. Penyertaan modal Daerah dapat berupa uang dan barang milik Daerah.
  4. Barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinilai sesuai nilai riil pada saat barang milik Daerah akan dijadikan penyertaan modal.
  5. Nilai riil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh dengan melakukan penafsiran harga barang milik Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kedua
Perusahaan Umum Daerah


Pasal 334
  1. Perusahaan umum Daerah adalah BUMD yang seluruh modalnya dimiliki oleh satu Daerah dan tidak terbagi atas saham.
  2. Dalam hal perusahaan umum Daerah akan dimiliki oleh lebih dari satu Daerah, perusahaan umum Daerah tersebut harus merubah bentuk hukum menjadi perusahaan perseroan Daerah.
  3. Perusahaan umum Daerah dapat membentuk anak perusahaan dan/atau memiliki saham pada perusahaan lain.

Pasal 335
  1. Organ perusahaan umum Daerah terdiri atas kepala daerah selaku wakil Daerah sebagai pemilik modal, direksi dan dewan pengawas.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai organ perusahaan umum Daerah diatur dalam peraturan pemerintah.

Pasal 336
  1. Laba perusahaan umum Daerah ditetapkan oleh kepala daerah selaku wakil daerah sebagai pemilik modal sesuai dengan ketentuan anggaran dasar dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Laba perusahaan umum Daerah yang menjadi hak Daerah disetor ke kas Daerah setelah disahkan oleh kepala daerah selaku wakil Daerah sebagai pemilik modal.
  3. Laba perusahaan umum Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditahan atas persetujuan kepala daerah selaku wakil Daerah sebagai pemilik modal.
  4. Laba perusahaan umum Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk keperluan investasi kembali (reinvestment) berupa penambahan, peningkatan dan perluasan prasarana dan sarana pelayanan fisik dan nonfisik serta untuk peningkatan kuantitas, kualitas dan kontinuitas pelayanan umum, pelayanan dasar dan usaha perintisan.
  5. Ketentuan lebih lanjut pada mengenai laba perusahaan umum Daerah diatur dalam peraturan pemerintah.

Pasal 337
  1. Perusahaan umum Daerah dapat melakukan restruksturisasi untuk menyehatkan perusahaan umum Daerah agar dapat beroperasi secara efisien, akuntabel, transparan, dan profesional.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai restruksturisasi perusahaan umum Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.

Pasal 338
  1. Perusahaan umum Daerah dapat dibubarkan.
  2. Pembubaran perusahaan umum Daerah ditetapkan dengan Perda.
  3. Kekayaan perusahaan umum Daerah yang telah dibubarkan dan menjadi hak Daerah dikembalikan kepada Daerah.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembubaran perusahaan umum Daerah diatur dalam peraturan pemerintah.


Bagian Ketiga
Perusahaan Perseroan Daerah


Pasal 339
  1. Perusahaan Perseroan Daerah adalah BUMD yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh satu Daerah.
  2. Perusahaan perseroan Daerah setelah ditetapkan dengan Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 331 ayat (2), pembentukan badan hukumnya dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas.
  3. Dalam hal pemegang saham perusahaan perseroan Daerah terdiri atas beberapa Daerah dan bukan Daerah, salah satu Daerah merupakan pemegang saham mayoritas.

Pasal 340
  1. Organ perusahaan perseroan Daerah terdiri atas rapat umum pemegang saham, direksi, dan komisaris.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai organ perusahaan perseroan Daerah diatur dalam peraturan pemerintah.

Pasal 341
  1. Perusahaan perseroan Daerah dapat membentuk anak perusahaan dan/atau memiliki saham pada perusahaan lain.
  1. Pembentukan anak perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan atas analisa kelayakan investasi oleh analis investasi yang profesional dan independen.

Pasal 342
  1. Perusahaan perseroan Daerah dapat dibubarkan.
  2. Kekayaan Daerah hasil pembubaran perusahaan perseroan Daerah yang menjadi hak Daerah dikembalikan kepada Daerah.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembubaran perusahaan perseroan Daerah diatur dalam peraturan pemerintah.


Bagian Keempat
Pengelolaan BUMD


Pasal 343
  1. Pengelolaan BUMD paling sedikit harus memenuhi unsur:
    1. tata cara penyertaan modal;
    2. organ dan kepegawaian;
    3. tata cara evaluasi;
    4. tata kelola perusahaan yang baik;
    5. perencanaan, pelaporan, pembinaan, pengawasan;
    6. kerjasama;
    7. penggunaan laba;
    8. penugasan Pemerintah Daerah;
    9. pinjaman;
    10. satuan pengawas intern, komite audit dan komite lainnya;
    11. penilaian tingkat kesehatan, restrukturisasi, privatisasi;
    12. perubahan bentuk hukum;
    13. kepailitan; dan
    14. penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.


BAB XIII
PELAYANAN PUBLIK


Bagian Kesatu
Asas Penyelenggaraan


Pasal 344
  1. Pemerintah Daerah wajib menjamin terselenggaranya pelayanan publik berdasarkan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
  2. Pelayanan publik diselenggarakan berdasarkan pada asas:
    1. kepentingan umum;
    2. kepastian hukum;
    3. kesamaan hak;
    4. keseimbangan hak dan kewajiban;
    5. keprofesionalan;
    6. partisipatif;
    7. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;
    8. keterbukaan;
    9. akuntabilitas;
    10. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
    11. ketepatan waktu; dan
    12. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.


Bagian Kedua
Manajemen Pelayanan Publik


Pasal 345
  1. Pemerintah Daerah wajib membangun manajemen pelayanan publik dengan mengacu pada asas-asas pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 ayat (2).
  2. Manajemen pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. pelaksanaan pelayanan;
    2. pengelolaan pengaduan masyarakat;
    3. pengelolaan informasi;
    4. pengawasan internal;
    5. penyuluhan kepada masyarakat;
    6. pelayanan konsultasi; dan
    7. pelayanan publik lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Dalam melaksanakan manajemen pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Daerah dapat membentuk forum komunikasi antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat dan pemangku kepentingan terkait.

Pasal 346
Daerah dapat membentuk Badan Layanan Umum Daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 347
  1. Pemerintah Daerah wajib mengumumkan informasi pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 345 ayat (2) huruf c kepada masyarakat melalui media dan tempat yang dapat diakses oleh masyarakat luas.
  2. Informasi pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk maklumat pelayanan publik Pemerintah Daerah kepada masyarakat.
  3. Maklumat pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
    1. jenis pelayanan yang disediakan;
    2. syarat, prosedur, biaya dan waktu;
    3. hak dan kewajiban Pemerintah Daerah dan warga masyarakat; dan
    4. satuan kerja atau unit kerja penanggungjawab penyelenggaraan pelayanan.
  4. Maklumat pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh kepala daerah dan dipublikasikan secara luas kepada masyarakat.
  5. Maklumat pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik.

Pasal 348
  1. Kepala daerah yang tidak mengumumkan informasi tentang pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 347 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Menteri untuk gubernur dan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk bupati/wali kota.
  2. Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan, kepala daerah diwajibkan mengikuti program pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan yang dilaksanakan oleh Kementerian serta tugas dan kewenangannya dilaksanakan oleh wakil kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 349
  1. Daerah dapat melakukan penyederhanaan jenis dan prosedur pelayanan publik untuk meningkatkan mutu pelayanan dan daya saing Daerah.
  2. Penyederhanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.
  3. Pemerintah Daerah dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Pasal 350
  1. Kepala daerah wajib memberikan pelayanan perizinan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Dalam memberikan pelayanan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Daerah membentuk unit pelayanan terpadu satu pintu.
  3. Pembentukan unit pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat (2) berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Kepala daerah yang tidak memberikan pelayanan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
  1. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa teguran tertulis kepada gubernur oleh Menteri dan kepada bupati/wali kota oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk pelanggaran yang bersifat administrasi.
  2. Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan oleh kepala daerah, Menteri mengambil alih pemberian izin yang menjadi kewenangan gubernur dan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mengambil alih pemberian izin yang menjadi kewenangan bupati/wali kota.

Pasal 351
  1. Masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik kepada Pemerintah Daerah, Ombudsman, dan/atau DPRD.
  2. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
    1. penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelayanan publik; dan
    2. pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelayanan publik.
  3. Mekanisme dan tata cara penyampaian pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Kepala daerah wajib melaksanakan rekomendasi Ombudsman sebagai tindak lanjut pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  5. Kepala daerah yang tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman sebagai tindak lanjut pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan sanksi berupa pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan yang dilaksanakan oleh Kementerian serta tugas dan kewenangannya dilaksanakan oleh wakil kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk.
Halaman:UU 23 2014.pdf/186 Halaman:UU 23 2014.pdf/187 Halaman:UU 23 2014.pdf/188 Halaman:UU 23 2014.pdf/189 Halaman:UU 23 2014.pdf/190 Halaman:UU 23 2014.pdf/191 Halaman:UU 23 2014.pdf/192 Halaman:UU 23 2014.pdf/193 Halaman:UU 23 2014.pdf/194 Halaman:UU 23 2014.pdf/195 Halaman:UU 23 2014.pdf/196 Halaman:UU 23 2014.pdf/197 Halaman:UU 23 2014.pdf/198 Halaman:UU 23 2014.pdf/199 Halaman:UU 23 2014.pdf/200 Halaman:UU 23 2014.pdf/201 Halaman:UU 23 2014.pdf/202 Halaman:UU 23 2014.pdf/203 Halaman:UU 23 2014.pdf/204 Halaman:UU 23 2014.pdf/205
  1. demografi;
  2. potensi sumber daya Daerah;
  3. ekonomi dan keuangan Daerah;
  4. aspek kesejahteraan masyarakat;
  5. aspek pelayanan umum; dan
  6. aspek daya saing Daerah.

Pasal 393
  1. Informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 391 ayat (1) huruf b paling sedikit memuat informasi anggaran, pelaksanaan anggaran, dan laporan keuangan.
  2. Informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk:
    1. membantu kepala daerah dalam menyusun anggaran Daerah dan laporan pengelolaan keuangan Daerah;
    2. membantu kepala daerah dalam merumuskan kebijakan keuangan Daerah;
    3. membantu kepala daerah dalam melakukan evaluasi kinerja keuangan Daerah;
    4. membantu menyediakan kebutuhan statistik keuangan Daerah;
    5. mendukung keterbukaan informasi kepada masyarakat;
    6. mendukung penyelenggaraan sistem informasi keuangan Daerah secara nasional; dan
    7. melakukan evaluasi pengelolaan keuangan Daerah.
  3. Informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mudah diakses oleh masyarakat.

Pasal 394
  1. Informasi pembangunan Daerah dan informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 391 ayat (1) wajib diumumkan kepada masyarakat.
  2. Selain diumumkan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), informasi keuangan Daerah wajib disampaikan kepala daerah kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Kepala daerah yang tidak mengumumkan informasi pembangunan Daerah dan informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tidak menyampaikan informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Menteri untuk gubernur dan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk bupati/walikota.
  2. Dalam hal sanksi teguran tertulis 2 (dua) kali berturut-turut tetap tidak dilaksanakan, kepala daerah dikenai sanksi berupa mengikuti program pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan yang dilaksanakan oleh Kementerian serta tugas dan kewenangannya dilaksanakan oleh wakil kepala daerah atau oleh pejabat yang ditunjuk.

Pasal 395
Selain informasi pembangunan Daerah dan informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 391 ayat (1), Pemerintah Daerah dapat menyediakan dan mengelola informasi Pemerintahan Daerah lainnya.


BAB XXIII
DEWAN PERTIMBANGAN OTONOMI DAERAH


Pasal 396
  1. Dalam rangka mengoptimalkan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dibentuk dewan pertimbangan otonomi daerah.
  2. Dewan pertimbangan otonomi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai rancangan kebijakan yang meliputi:
    1. penataan Daerah;
    2. dana dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus;
    3. dana perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; dan
    4. penyelesaian permasalahan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan/atau perselisihan antara Daerah dengan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian.

Pasal 397
  1. Susunan keanggotaan dewan pertimbangan otonomi daerah terdiri atas:
    1. Wakil Presiden selaku ketua;
    2. Menteri selaku sekretaris;
    3. para menteri terkait sebagai anggota; dan
    4. perwakilan kepala daerah sebagai anggota.
  2. Untuk mendukung kelancaran tugas dewan pertimbangan otonomi daerah dibentuk sekretariat.
  3. Menteri selaku sekretaris memimpin sekretariat dewan pertimbangan otonomi daerah.
  4. Sekretariat dewan pertimbangan otonomi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibantu oleh tenaga ahli.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai dewan pertimbangan otonomi daerah diatur dengan Peraturan Presiden.


BAB XXIV
KETENTUAN PIDANA


Pasal 398
Kepala daerah yang tidak memberikan pelayanan perizinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 350 ayat (1) dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan apabila pelanggarannya bersifat pidana.


BAB XXV
KETENTUAN LAIN-LAIN


Pasal 399
Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang yang mengatur keistimewaan dan kekhususan Daerah tersebut.

Pasal 400
  1. Ketentuan mengenai evaluasi rancangan Perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 324 dan Pasal 325 berlaku secara mutatis mutandis terhadap evaluasi rancangan Perda tentang tata ruang daerah.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi rancangan Perda tentang tata ruang daerah diatur dalam Peraturan Menteri.


BAB XXVI
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 401
  1. Penegasan batas termasuk Cakupan Wilayah dan penentuan luas bagi Daerah yang dibentuk sebelum Undang-Undang ini berlaku ditetapkan dengan peraturan Menteri.
  2. Penegasan batas termasuk Cakupan Wilayah dan penentuan luas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pada perhitungan teknis yang dibuat oleh lembaga yang membidangi informasi geospasial.

Pasal 402
  1. Izin yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Undang Undang ini tetap berlaku sampai dengan habis berlakunya izin.
  2. BUMD yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.


BAB XXVII
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 403
Semua ketentuan mengenai program legislasi daerah dan badan legislasi daerah yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku harus dibaca dan dimaknai sebagai program pembentukan Perda dan badan pembentukan Perda, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 404
Serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen sebagai akibat pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota yang diatur berdasarkan Undang-Undang ini dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak UndangUndang ini diundangkan.

Pasal 405
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2387), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 406
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini atau tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.

Pasal 407
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan Daerah wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada Undang-Undang ini.

Pasal 408
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 409
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2387);
  2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
  3. Pasal 157, Pasal 158 ayat (2) sampai dengan ayat (9), dan Pasal 159 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049); dan
  4. Pasal 1 angka 4, Pasal 314 sampai dengan Pasal 412, Pasal 418 sampai dengan Pasal 421 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 410
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 411
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2014

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2014

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,


ttd.

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 244

Salinan sesuai dengan aslinya

KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Perundang-Undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,


cap dan ttd.

Wisnu Setiawan

Lihat juga

sunting

Keterangan

  Status
Menggantikan: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
Tanggal diundangkan: 30 September 2014
Perubahan:
  Peraturan terkait
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 (15 September 2009)
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 (5 Agustus 2014)
  Sejarah
Perubahan Pertama
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 (2 Februari 2015)
Perubahan Kedua
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 (18 Maret 2015)
Perubahan Ketiga
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 (2 November 2020)