Perbedaan Asas Sosial-Demokrat dan Komunis
Sebagaimana sudah kita tulis di Fikiran Ra’jat nomor percontohan tentang sebab-sebabnya kemelaratan yang diderita oleh kaum Buruh ialah stelsel kapitalisme itu, maka di nomor ini kita akan terangkan bahwa di antara beberapa cara untuk melenyapkan stelsel kapitalisme atau kapital itu terutama dua cara yang perlu kita ketahui. Kedua faham dan cara yang mempunyai pengikut berjuta-juta kaum buruh ialah faham kaum sosial-demokrat dan fahamnya kaum komunis.
Banyak aliran-aliran lain yang juga berdasarkan ilmu sosialisme, aliran-aliran yang menentang kapitalisme dan imperialisme. Tetapi oleh karena lain-lain aliran sosialistis itu tidak begitu besar artinya di dalam perjuangan kaum buruh untuk menuntut perbaikan nasibnya, maka kita hanya mengupas sosial-demokrat dan komunis saja, kedua faham yang di dunia politik Indonesia umumnya tidak asing lagi.
Kedua faham atau isme ini di dalam hakikatnya tidak mengandung perbedaan satu sama lain, oleh karena kedua isme ini berdiri di atas faham sosialisme atau lebih tegas lagi: berdiri di atas faham Marxisme. Kedua faham adalah mengaku menjadi pengikut Marx.
Sebagaimana kapitalisme sendiri adalah sebuah faham yang mempunyai beberapa aliran, aliran-aliran mana mempunyai isme-isme sendiri yang semuanya itu bersendar di atas faham kapitalisme, maka sosialisme sebagai hasilnya kapitalisme, juga mempunyai beberapa aliran.
Di dalam faham sosialisme itu termasuk juga syndikalisme dan anarkisme, kedua faham yang di halaman Fikiran Ra’jat No. 2 kita akan kupas.
Sesudah kapitalisme itu melahirkan faham-faham baru, yang bertentangan sekali dengan faham-faham yang hidup di zaman feodalisme, maka anggapan pemandangan dan pikiran rakyat di dalam sesuatu masyarakat itu dapat maju, jika tiap-tiap orang di dalam masyarakat itu hanya mempunyai kemerdekaan untuk berusaha dan berdagang, mempunyai kemerdekaan dalam pemilikan dan kemerdekaan mengadakan perjanjian-perjanjan, di dalam praktiknya ternyata tidak betul. Justru oleh karena kemerdekaan itulah maka kapitalisme makin deras, sehingga kemelaratan lebih hebat, kesengsaraan masuk di desa-dsa di rumahnya bapak tani, menghinggapi rumah tangganya kaum pedagang dan pertukangan kecil-kecil. Oleh karena kemerdekaan itu maka nasib Rakyat menjadi nasib proletar: oleh karena kemerdekaan itu maka di satu pihak timbul kelas kapitalisme dan di lain pihak timbul kelas proletar. Kelak kaum proletar ini tidak mempunyai kekuasaan sama sekali atas alat-alat pembuatan barang-barang di pabrik-pabrik dan di-onderneming-onderneming.
Sesudah kapitalisme tua disokong oleh tenaga mesin-mesin menjadi kapitalisme modern, maka nasibnya kaum proletar itu makin jelek.
Kesengsaraan dan kesedihan yang diderita sehari-hari oleh kaum buruh tentulah melahirkan cita-cita dan harapan untuk menyelamatkan pergaulan hidup manusia yang bobrok. Cita-cita dan harapan melenyapkan kemiskinan dan kebobrokan di dalam masyarakat itu melahirkan faham sosialisme yang mengajarkan kepada pengukut-pengikutnya bahwa agar supaya pergaulan hidup bisa selamat susunannya harus bersendikan di atas aturan-aturan sosialistis. Mereka yang memiliki faham itu dinamakan kaum Sosialis.
Mula-mula mereka ini belum terang betul bagaimanakah caranya stelsel kapitalisme ini harus dilenyapkan. Mereka masih membayangkan saja. Penganjur-penganjurnya belum mendapat jalan yang terang untuk menyelamatkan pergaulan hidup. Mereka masih menghayal tentang pergaulan hidup yang selamat ialah pergaulan hidup yang tidak mengenal kesengsaraan. Kaum sosialis yang mendasarkan “teorinya” ini atas khayalan belaka itu dinamakan kaum “sosialis-utopis” (Robert Owen, Saint Simon dll).
Tetapi lambat laun mereka itu makin sadar bahwa teori yang bersandar kepada utopi itu adalah teori yang tidak dapat memberi senjata untuk membasmi kepitalisme itu dengan akar-akarnya.
Teori yang dapat menyadarkan kaum proletar tentang kedudukannya di dalam masyarakat itu ialah hanya teori yang berdasar wetenschap, ialah teori yang hasilnya jadi ilmu, penyelidikan dan pengupasan yang dalam dan luas. Teori yang berdasarkan wetenschap itu dinamakan wetenschapppelijk—schapppelijk-sosialisme, lawannya utopistis-sosialisme. Watenschapppelijk-Sosialieme bukan sosialisme khayalan, tetapi sosialisme perhitungan.
Watenschapppelijk-sosialisme itu lahir di dunia sesudah pendekar kaum proletar yang terbesar, Karl Marx mempropagandakan teorinya, bagaimanakah harusnya perjuangan kaum buruh itu untuk menuju ke dunia sosialisme.
Setelah Karl Marx mengadakan penyelidikan sedalam-dalamnya tentang akar-akarnya kapitalisme yang kebutuhannya selalu bertentangan dengan kebutuhannya kaum buruh, maka Marx mengajarkan bahwa yang dapat menjungjung derajat kaum buruh itu ialah kaum buruh sendiri. Maka dari itu kaum proletar ini harus disusun di dalam satu organisasi yang menyadarkan mereka tentang nasibnya dan oleh karena itu keharusan mereka berjuang melenyapkan segala rintangan yang menentang usaha mereka menuju ke jaman sosialisme itu. Karl Marx adalah “bapaknya” dari kaum proletar.
Sebagaimana Marxisme itu adalah teorinya pergerakan kaum buruh di Eropa, Marhaenisme itu adalah teorinya kaum Marhaen di Indonesia. Teori Marhaenisme yang terkenal adalah meerwaarde-teori, ialah mengajarkan bahwa sesuatu barang itu karena tenaga kaum buruh menjadi tambah harganya. Misalnya besi yang berharga f 500—, oleh tenaga kaum buruh dibuat menjadi mesin yang berharga f 2500—. Pertambahan harga adalah f 2000—. Tetapi f 2000— ini tidak jatuh ke tangan kaum buruh (mereka menerima sedikit sekali) tetapi di tangan kaum pemodal sendiri, dan dipakainya untuk menambah besarnya modal, karena itu maka modal itu mempunyai watak melembungkan badannya, artinya kaum pemodal itu senantiasa mempunyai watak membesar-besarkan modalnya. Teorinya yang lain, yang juga termasyur ialah “Fase Teori”, atau “Evolusi-Teori”, ialah teori yang mengajarkan arahnya perubahan dari tiap-tiap pergaulan hidup manusia yang juga menjadi sebab perubahan fahamnya, anggapan dan pikiran rakyat.
Fase-teori mengajarkan bahwa masyarakat itu di jaman purbakala adalah Ur-komunistis, artinya pergaulan hidup manusia di jaman purbakala itu diatur menurut cara tidak ada ningrat-ningratan atau kelas-kelasan. Sesudah jaman ur-komunisme ini lalu, lantas lahirlah jaman feodal. Sendi dasarnya pergaulan hidup jadi feodalistis, yakni masyarakat terbagi dalam kelas raja, ningrat dan “hamba”. Habis fase feodal ini tumbul fase kapitalisme. Mula-mula jaman voor-kapitalisme dan kemudian jadi modern kapitalisme. Jaman kapitalisme ini menuju ke fase-sosialisme. Fase-teori ini dianut oleh kaum sosial-demokrat dan juga oleh kaum komunis. Kedua aliran yang besar ini mula-mula berjuang bersama-sama di bawah “pimpinannya” Karl Marx.
Sekarang orang tanya mengapa kaum sosialis yang bersendi atas Marxisme itu terpecah menjadi dua aliran atau sayap yang menimbulkan faham sendiri-sendiri?
Pada tahun 1889 sampai tahun 1914 kedua sayap ini diikat oleh satu badan yang bernama Tweede-Internationale atau di dalam bahasa Indonesia: Internasional-Kedua. Tetapi dalam tahun 1914 persatuan partai kaum buruh ini terpecah menjadi dua aliran: sayap yang satu memisahkan diri menjadi sosial-demokrat dan sayap yang lain menamakan dirinya kaum komunis. Perpecahan itu terjadi oleh karena kedua sayap ini tidak bisa akur pendiriannya satu sama lain tentang mufakat atau tidaknya kaum proletar terutama di negeri-negeri kapitalis turut menyokong peperangan dunia di tahun 1914. Kaum sosial-demokrat suka menyokong peperangan dunia itu, tetapi kaum komunis sama sekali anti peperangan. Kaum sosial-demokrat berpendapat bahwa kaum proletar harus turut menyokong pemerintahan dalam negeri “verdedigings-oorlog jika ada musuh menyerang negerinya.
Kaum komunis mendirikan Internasionale sendiri ialah: "Derde-Internasionale” ialah Internasional-Ketiga di Moskow di bulan Maret 1919. Pemimpin-pemimpin terbesar dari kaum komunis ialah Lenin, Trotsky dan Zinoview mengajarkan bahwa pergaulan hidup manusia tidak harus tumbuh sebagaimana sudah digambarkan di dalam teori-teorinya Karl-Marx, tetapi pergaulan hidup dapat mengadakan fase-sprong, artinya bahwa masyarakat yang masih berada di dalam fase feodal itu tidak harus melalui zaman kapitalisme lebih dulu untuk menuju ke jaman sosialisme.
Dus pergaulan hidup Rusia yang masih feodal itu bisa terus masuk jaman sosialisme, zonder menginjak fase jaman kapitalisme dulu, asal saja cukup alat-alatnya. Teori yang demikian ini dinamakan teori fase-sprong.
Kaum sosial-demokrat membantah teori fase-sprong ini. Oleh sosial-demokrat fase-sprong ini disebutkan anti-Marxisme. Mereka mengajarkan bahwa tiap-tiap pergaulan hidup itu harus tumbuh menurut wet-wet-nya alam. Karl Kautsky, pemimpinnya sosial-demokrat berkata bahwa wet-evolusi—fase teori—yang digambarkan oleh Marx itu harus tunduk. Sosial-demokrat berkata: “Marx bilang, bahwa masyarakat bergerak melalui beberapa fase, yakni melalui beberapa tingkat. Dulu fase ur-komunisme, kemudian fase feodal (ningrat-ningratan), kemudian fase modern-kapitalisme, kemudian fase sosialisme. Tiap-tiap fase harus dilalui. Sesudah fase ur-komunis tidak boleh tidak tentu fase feodal. Sesudah fase feodal tidak boleh tidak tentu fase voor-kapitalisme; dan begitu seterusnya. Dus masyarakat tidak bisa melompati sesuatu fase. Misalnya naik kereta api dari Bandung ke Jakarta harus melalui Cimahi, kemudian Padalarang, kemudian Purwakarta, kemudian Cikampek, kemuduan Kerawang, kemudian Jakarta. Mau-tidak-mau semua tempat itu harus dilalui oleh kereta api itu. Tidak bisa dari Cimahi sekonyong-konyong Purwakarta, dengan melompati Purwakarta, dengan melampaui Padalarang itu dengan secepat-cepatnya, melompati Padalarang kita tidak bisa. “Begitu pula dalam kita masuk ke fase sosialisme. Kapitalisme tidak boleh tidak harus dilewati. Bagian kita ialah melewati fase kapitalisme itu dengan secepat-cepatnya, supaya bisa selekas-lekasnya diganti fase sosialisme!”—begitulah kaum sosial demokrat berkata sebagai bantahan atas sikap kaum komunis yang dari feodalisme (masyarakat Rusia masih 60% feodalisme) ujung-ujung masuk ke fase sosialisme.
Perbedaan yang kedua ialah bahwa tiap-tiap orang—menurut kaum sosial-demokrat—yang hidup di dalam suatu masyarakat itu adalah jadi anggota masyarakat itu dan oleh karena itu ia berhak mengeluarkan pikirannya, kemauannya dan cita-citanya tentang cara-cara masyarakat itu diatur. Dus dengan lain perkataan pergaulan hidup itu harus diatur secara demokratis. Tetapi kaum komunis mengajarkan bahwa demokrasi itu di dalam hakikatnya tidak memberi kemerdekaan kepada Rakyat. Di dalam praktiknya, kata mereka, demokrasi itu tidak ada. Dan jika demokrasi ini ada, kerakyatan itu tidaklah dapat memberi hak-hak kepada Rakyat untuk mengatur pergaulan hidup. Dus demokrasi itu adalah perkataan kosong belaka. Kaum komunis oleh karena itu tidak mufakat dengan demokrasi itu tetapi mengajarkan bahwa hanyalah “diktator-proletariat” saja (artinya bahwa hanya kaum proletar saja yang mempunyai suara) yang dapat memberi kekuasaan hidup manusia itu bagi keselamatan masyarakat. Diktato-proletariat itu adalah suatu alat untuk mendatangkan pergaulan hidup sosialistis—begitulah kaum komunis berkata. Di dalam diktator-proletariat ini, maka orang-orang yang bukan proletar tidak boleh ikut bersuara. Orang-orang yang bukan proletar tidak diberi stem di dalam pemerintahan negeri.
Inilah perbedaan antara sosial-demokrasi dan komunis tentang asas, yakni dua berpedaan yang fundamental. Untuk kali ini cukuplah sekian saja. Masih banyak lagi berbedaan-perbedaan yang lain. Tetapi untuk sekarang sekian saja.
Eropa Barat memiliki Sosial-Demokrasi; Rusia memiliki Komunisme; Tiongkok San Min Cu I; India mempunya Gandhiisme; marilah kita di Indonesia mempropagandakan kita punya Marhaenisme!
(Fikiran Ra’jat No. 2 memuat pengupasan tentang faham syndikalisme dan anarkisme).