KETJORAKRAGAMAN BENTUK2 KEBUDAJAAN

Seorang kepala-suku „Indian-Penggali” ― demikian orang Kalifornia menamakan mereka itu ― mentjeritakan banjak sekali tentang tjara hidup bangsanja dizaman dahulu. Ia sendiri beragama Kristen dan terkenal dikalangan warga2-sukunja sebagai ahli menanam pohon persik, abrikos diatas tanah irigasi, akan tetapi ketika ia mentjeritakan tentang sjaman2, jang dalam suatu tari2an-beruang berubah mendjadi beruang betul2 didepan matanja, tangannja gemetar dan suaranja berobah karena perasaan ngeri. Kekuasaan jang dimiliki oleh bangsanja dizaman dahulu sukar ditjari banding-taranja, Paling suka ia berbitjara tentang makanan gurun, jang dahulu mereka makan. Setiap tumbuh2an jang tertjabut akarnja dibawanja dengan penuh rasa sajang, dan ia memahami benar2 betapa pentingnja tumbuh2an itu. Ketika itu, bangsanja makan „kesehatan gurun”, katanja; dahulu mereka itu belum pernah mendengar tentang makanan dalam kaleng dan apa2 jang sekarang bisa kita dapati pada tukang daging. Barang2 baru inilah jang merosotkan tabiat bangsanja.

Pada suatu hari Ramon tiba2 berhenti di-tengah2 tjeriranja tentang tjara melembutkan mesquite (sematjam katjang) dan membuat sop bidji pohon oak dan berkatalah dia tanpa ada perobahan tekanan suara: „Mula2 Tuhan memberi sebuah tjawan, tjawan dari tanah, kepada setiap bangsa, dan dari tjawan tsb. mereka minum hidupnja”. Saja tak tahu pasti, apakah lukisan ini berasal dari salah suatu upatjara lama bangsanja, jang belum pernah saja djumpai, ataukah barangkali hasil pemikirannja sendiri. Sukar diterima, bahWa ia mendapatnja dari bangsa kulit putih jang dikenalnja di Banning; bukanlah kebiasaan mereka untuk membitjarakan alampikiran bangsa2 lain. Betapapun djuga, lukisan ini dalam djalanpikiran orang Indian jang sederhana itu sangat djelas dan mengandung arti jang dalam. „Mereka semuanja mentjobai air itu”, katanja lebih landjut, „akan tetapi tjawannja tak sama. Tjawan kita sekarang petjah. Tjawan itu sudah tak ada lagi.”

Tjawan kita petjah. Hal2 jang memberi makna kepada hidup bangsanja, kepada tatatjara-makan dirumah, kewadjiban2 berdasarkan sistim ékonominja, réntétan upatjara di-dusun2, kerandjingan ketika melakukan tari2an-beruang, kaidah2 meréka tentang baik dan buruk ― semuanja ini telah hilang dan hilanglah pula bentuk dan makna hidup meréka.

32

POLA-POLA KEBUDAJAAN

Orang tua itu masih tjukup kuat dan mewakili bangsanja, djika ada sesuatu jang dibitjarakan dengan bangsa kulit putih, Ia tak bermaksud mengatakan bahwa bangsanja telah musnah. Hanja sadja dalam pikirannja terbajang kehilangan sesuatu jang sama nilainja dengan hidup itu sendiri, jakni keseluruhan dari pada kiadah² dan kepertjajaan² bangsanja. Memang masih-tjawan² Jainnja jang berisi air-hidup dan mungkin airnja sama sadja, akan tetapi apa jang telah terdjadi itu tak bisa dibetulkan lagi. Tak bisalah kita menambah sepotong disini dan mengurangi sepotong disana. Bentuknja hakiki, satu dan tak bisa dipetjah². Dan lagi, tjawan itu adalah tjawan mereka sendiri.

Ramon mengetahui masalah jang dibitjarakannja atas pengalamannja sendiri, Ia hidup dalam sistim dua kebudajaan sekaligus, dimana nilai? dan tjara² berpikirnja tak bisa disesuaikan satu sama lain. Kita dididik dan dibesarkan dalam satu kebudajaan kosmopolitis, sedangkan ilmupengetahuan² sosial, psikologi dan teologi kita dengan gigihnja menolak kebenaran, jang dilukiskan Ramon dalam kata-kiasannja diatas,

Djalannja kehidupan dan tekanan tingkungannja belum lagi kesuburan daja-fantasi manusia, mentjiptakan sedjumlah besar tuntutan² jang semua bisa dipergunakan mendjadi pegangan bagi masjarakat Demikian misalnja berbagai bentuk² milik dengan susunan sosial, jang boleh djuga dihubungkan dengan milik, barang² benda dan teknologi nja jang ber-belit²: segala segi kehidupan seksuil, kedudukan sebagai orangtua dan pemeliharaan anak², gilda² dan upatjara² keagamaan, jang bisa menentukan tjorak struktur masjarakats djual-belis dewa? dan tjampurtangan adikodrati (supernatural). Semua hal² ini dan lain². nja lagi masing? bisa mengakibatkan terdjadinja suatu sistim adatkebiasaan dan upatjara² lengkap, jang minta pentjurahan seluruh tenaga kebudajaan, sehingga hanja sedikit tenaga dan waktu tersisa untuk memperkembangkan segi² lainnja. Segi² kehidupan jang menurut kita sangat penting, samasekali tak dianggap penting oleh bangsa² jang tifat dan arah kebudajaannja lain dan, jang kebudajaannja samasekali sak miskin. Atau masalah jang sama bisa diselesaikan setjara teliti sekali sehingga bagi kita nampak terlalu ruwet.

Baik dalam hidup kebudajaan maupun dalam bitjara, suatu sjarat terpenting ialah seleksi. Djumlah suara² jang bisa ditintbulkan oleh selaputsuara, lobang² mulut dan hidung kita, hampir² tak ada batasnja. Tiga atau empat lusin bunji dalam bahasa Inggeris merupakan suatu seleksi, jang tak serupa dengan apa jang terdapat dalam logat² bahasa lain jang erat pertaliannja seperti bahasa Perantjis dan Djerman. Tak pernah ada orang jang berani menaksir, beberapa banjaknja bunji² itu disemua bahasa didunia. Akan tetapi setiap bahasa harus memilih diantara bunji² jang banjak itu dan harus menuruti aturan²nja, kalau tidak, pasti tak ada orang jang akan memahaminja. Suatu bahasa, jang mempergunakan hanja beberapa ratus daripada unsur² fonétik jang ada, sudah tak bisa dipakai. Bahwasanja kita susah sekali memahami bahasa jang sedikit sekali perhubungannja dengan bahasa kita, adalah a.l. disebabkan karena kita mentjoba memahami sistim² fonétik dari sudut-tindjauan kita. Kita hanja mengenal satu k misalnja. Djikalau bangsa² lain mempunjai lima bunji-k, jang ditimbulkan pada berbagai sudut² tenggorokan dan mulut, maka kita tak bisa mengenal perbedaan² dalam perbendaharaan-kata² atau bentuk-kalimat² jang tergantung kepada bunji² itu, sebelum kita menguasai kelima djenis bunji itu. Kita mempunjai d dan n. Mungkin ada bentuk-antaranja, jang mungkin kali ini kita tulis d dan lain kali kita tulis n, djikalau kita tak mengetahui betul² sifat hakikinja; dengan begitu kita memasukkan suatu perbédaan, jang sesungguhnja tidak ada. Sjarat pertama dalam analisa bahasa ialah kesadaran akan ketjorakragaman jang banjak sekali itu. dimana setiap bahasa mengadakan pilihannja sendiri².

 Djuga dilapangan kebudajaan, kita harus menggambarkan suatu

busur besar, dalam mana disusun ber-damping²an segala matjam kepentingan², sebagian timbul daripada taraf perkembangan kesedjarahan, ataupun dari lingkungan, atau dari berbagai kegiatan² perbuatan manusia. Suatu kebudajaan jang terlalu banjak mengambil daripadanja, akan sama sukarnja dipahami seperti bahasa jang hendak mempergunakan semua suara lidah, suara² jang disebabkan oleh kendor-kentjangnja selaputsuara, bunji²-bibir,-gigi,-s dan tenggorokan, semua suara jang berbunji dan tak berbunji, seluruh skala suara-mulut dan hidung. Idéntitét sesuatu kebudajaan tergantung dari pemilihan jang dilakukan dari segmen² busur ini. Tiap² masjarakat-manusia, dimanapun didunia ini, telah membuat pilihannja dalam membangunkan kebudajaannja, Dilihat dari sudut-tindjauan orang lain, mereka itu samasekali tak menghiraukan pokok², dan terlalu memperhatikan bagian² jang tak penting. Kebudajaan jang satu tak begitu mementingkan nilai²-keuangan: kebudajaan jang lain mendjadikan nilai²-keuangan sebagai sesuatu jang paling pokok disetiap lapangan kegiatan dan perbuatan. Dalam masjarakat jang satu kurang perhatian ditjurahkan kepada téknologi, bahkan di-lapangan² dimana ini nampak perlu sekali untuk memelihara kelangsungan hidup, pada masjarakat² lain jang sifatnja tak kateh sederhananja, ketjakapan² téknologis sudah berbelit dan erat pertahannja dengan kehidupan. Jang satu membangunkan suatu konstruksi kebudajaan diatas masa-pubertét, jang Jain diatas kematian dan jang lain lagi diatas kehidupan achirat.

34

POLA-POLA KEBUDAJAAN

Hal² jang terdjadi disekekitar pubertét sangatlah menarik hati, karena ini mendjadi pusat perhatian pula dalam peradaban kita sendiri, dan karena dilapangan ini kita mempurjai barjak bahan² tentang bentuk² masjarakat lain. Kita mempunjai perpustakaan lengkap studi² psikologi disekitar rasa-gelisah jang selalu mengiringi masa pubertet Menurut kepertjajaan kita, pubertét adalah suatu keadaan psikologis, jang selalu ditandai dengan sifat² peletusan² dan pemberontakan² sama dengan demam mensziringi typhus. Jeng perlu disini bukanlah fakta²nja. Ini umum ada pada kita. Jang me djadi soal ialah: apakah ini mesti ada dan tak bisa dihindarkan² Pada penirdjauan setjara kebetulanpun mengenai tjara bagaimana berbagai masjarakat² memperlakukan kaum remadjanja, ternjata ada suatu hal jang tak bisa diabaikan: jaitu bahwa pada masjarakat² dimana masa ini dianggap sangat penting sekalipun, batas umur jang mer djadi pusat perhatian itu tidaklah sama. Dengan demikian diesaslah, bahwa apa jang dinamakan lembaga² pubertét” sesungguhnja salah menjebutnja, djikalau kita selalu ingat akan pubertèt biologis. Pubertét jang mereka anggap penting, sifatnja sosial, dan upatjara²nja adalah suatu bentuk pengakuan dari keadaan baru daripada arak itu, jakni keadaan dewasa. Mendapat peladjaran (wedjangan) dalam pekerdjaan² dan kewadjitan² baru ini sifat²nja djuga berareka warna dan disesuaikan dengan masjarakat jang tertentu, seperti halnja dengan pekerdjaan² dan kewadjiban² itu sendiri. Apabila tugas-kewadjiban jang terhormat daripada kedewasaan bagi lelaki ialah bertempur dimedan perang, maka wedjangan anak muda tsb. diberikan pada umur jang lebih tua dan sifatnja berlainan dengan apa jang terdjadi dalam masjarakat, dimana kedewasaan terutama sekali ialah hak untuk boleh menari dalam suatu pertundjukan dewa² jang-bertopeng. Untuk bisa memahami sepenuhnja lembaga²-pubertét, kita tidak harus terutama sekali menganalisa perlunja „rites de passage”, akan tetapi kita terutama harus mengetahui apa jang pada berbagai bentuk² kebudajaan dipadukan dengan permulaan kedewasaan, dan tjara² apa jang dipergunakan pada wedjangan anak? muda dalam keadaan baru tsb. Bukan pubertèt biologis, akan tetapi makna kedewasaan dalam suatu masjarakat tertentu, menentukan sifat upatjara-pubertét

Di Amerika Utara bagian Tengah, kedewasaan berarti berperang, Menggondol kehormatan dalam perang adalah tudjuan semua orang laki². Thema jang selalu di-ulang² tentang penijapaian batas umur jang, tertentu oleh anak muda jang sewudjud dengan persiapan² perdjuangan pada setiap umur, adalah upatjara majis supaja merang dalam peperangan. Mereka tidak saling menjiksa, akan tetapi mereka menjiksa diri sendiri : mereka memotong dagingnja sendiri dari tangan dan kakinja, memotong beberapa djari²nja, mendukung beban² berat jang

KETJORAKRAGAMAN BENTUK² KEBUDAJAAN

35


ditjantumkannja pada spier² dada dan kaki. Upahnja ialah ketabahan lebih besar dalam peperangan.

Di Australia, sebaliknja kedewasaan berarti ikut serta dalam suatu kultus jang harja diikuti oleh kaum laki² sadja, jing sifat chususnja ialah bahwa wanita tak boleh ikutserta. Wanita dibunuh, djikalau ia misalnja sekedar mendengarkan bunji „tundun” pada upatjara², dan mereka samasekali tidak boleh mengetahui sedikitpun dari tatatjara jang dilakukan dalam upatjara tsb. Upatjara² -pubertét adalah pemutusan hubungan setjara simbolis dengan kaum wanita: orarg laki² setjara simbolis dimerdekakan, dan diangkat mendjadi arggota jang bertanggungdjawab penuh dalam masjarakat. Untuk mentjapai tudjuan ini, mereka melakukan upatjara² seksuil dan dengan begitu mendapat djaminan² adikodrati.

Gedjala² badani pubertét dengan demikian diteri interpretasi sosial, djuga dimana gejala² badani itu ditondjolkan. Akan tetapi menjelidiki lembaga² pubertét memperdjelas suatu hal jain lagi: pubertét dilihat dari sudut bedani lain artnja dalam hidup anak laki² dibandingkan dengan hidup nak perempuan, Djikalau upatjara²itu setjara chusus memusatkan perhatiannja kepada hal² badani, tentunja upatjara-gadis akan lebih diketengahkan daripada upatjara-pemuda, tetapi hal ini tak demikian adanja, Upatjara² itu memberi perhatian chusus kepada keadaan sosial : hak² orang lelaki dewasa dalam setiap kebudajaan lebih luas daripada kaum wanita, dan oleh karena itu, seperti ternjata diatas, adalah lazim bagi masjarakat² untuk lebih banjak menaruh perhatian kepada masa pubertét anak lelaki daripada anak perempuan.

Akan tetapi ada kalanja, bahwa pubertét anak lelaki dan perempuan dalam satu suku dirajakan setjara sama, Di-daerah² pedalaman Kolumbia-Irggeris misalnja, dimara upatjara²-remadja merupakan suatu latihan magis bagi pekerdjaan jang kelak harus dilakukannja gadis² ikut serta tiada bedanja dengan pemuda². Pemuda² menggelindingkan batu² dari gunung² dan me-mukul²nja sampai kebawah, supaja mereka tjepat larinja, atau mereka me-lontar²kan tongkat²-djudi, supaja kelak menang dalam main-djudi, gadis² membawa air dari sumber² jang djauh atau menjembunjikan batu² dalam badjunja, supaja anak²nja dilahirkan kelak semudah djatuhnja batu² itu ketanah.

Djuga dalam suku seperti suku Nandi dari daérah-danau di Afrika. Timur, gadis dan pemuda ber-sama² ikutserta dalam upatjara pubertèt, meskipun karera peranan jang lebih besar kaum laki² dalam kebudajaan, masa-latihan kaum pemuda lebih dipentingkan adanja. Disini upatjara-pubertét itu terdiri dari suatu pertjobaan, jang diberikan oleh meeka jang sudah dewasa kepada mereka jarg sekarang baru hendak masuk taraf kedewasaan. Mereka mensjaratkan supaja jang diudji itu tak menundjukkan kesakitan sedikitpun ketika mendjalani siksaan2 jang hếbat sekali, jang diiringi pula dengan sunatan. Upatjara2 itu diadakan terpisah antara gadis dan pemuda, akan tetapi pada garis besarnja sama sadja. Baik para gadis maupun para pemuda harus mengenakan pakaian kekasihnja. Selama udjian2 itu, orang mengawasi sungguh2, apakah wadjah merếka sekedjappun tak menundjukkan kesakitan, dan hadiah suatu sikap tabah diberikan olếh kekasihnja, jang datang menghampirinja untuk minta kembali beberapa hiasan. Baik bagi sipemuda maupun bagi sigadis, upatjara2 ini berarti permulaan daripada suatu keadaan sếksuil baru: pemuda sekarang sudah mendjadi peradjurit, dan mempunjai hak untuk mengambil isteri, sedangkan sigadis sudah dianggap dếwasa untuk kawin. Udjian-keremadjaan itu bagi kedua pihak adalah suatu udjian perkawinan. dimana hadiah-kemenangan diberikan kepada merếka olếh kekasihnja


Ada pula tatatjara2-pubertết, jang hanja berdasarkan pubertết-gadis dan tak diperluas dikalangan pemuda. Salah suatu jang paling naif ialah lembaga rumah-penggemuk bagi gadis2 di Afrika-Tengah. Dalam daếrah, dimana ketjantikan perempuan hanja diukur dari gemuk badannja, gadis dalam tahun2-pubertết, kadang2 ber-tahun2 lamanja diasingkan dan diberi makanan jang manis2 dan banjak gemuknja; merếka hampir tak boleh bergếrak sama sekali, dan badannja setjara teratur di-gosok2 dengan minjak. Dalam masa ini, ia beladjar mengenal kewadjiban2nja dikemudian hari dan pengasingannja berachir dengan pertundjukan kegemukannja, jang disusul dengan perkawinan dengan mempelai-laki2 jang sangat bangga. Bagi kaum lelaki tak dianggap perlu, untuk sebelumnja kawin, berusaha memperindah dirinja sematjam jang dilakukan olếh kaum perempuan.


Pikiran2 lazim jang mendjadi pusat diadakannja tatatjara2 pubertết-gadis, dan jang tak bisa dengan begitu sadja diperluas dikalangan pemuda, kebanjakan kali mengenai haid (mentruation). Kekotoran wanita haid adalah suatu pendapat jang meluas dan dibeberapa daếrah haid pertama mendjadi pusat tatatjata2 jang berhubungan dengan itu. Dalam hal2 ini, taiatjata2-pubertết tjoraknja sangat berlainan dari hal2 jang pernah kita bitjarakan. Pada kaum Indian-Pendukung di Columbia-Inggeris, ketakukan dan kedjidjikan terhadap haid gadis sangatlah besar. Si Gadis diasingkan tiga sampai empat tahun dan orang menamakannja ,,ditanam hidup2", dan dalam masa itu ia hidup dalam gubuk2 jang dibuat dari dahan2, sendirian dihutan, djauh dari djalanan-umum. Ia merupakan antjaman bagi siapapun, jang hanja memandangnja sekilas sadja ,dan djedjak telapak kakinja sadja sudah tjukup untuk mengotori djalan atau sungai. Kepalanja ditutupi dengan hiasan jang dibuat dari kulit jang sudah dimasak, jang menutupi pula muka dan

KETJORAKRAGAMAN BBNTUK² KEBUDAJAAN

dada dan jang bagian belakangnja sampai pada tanah. Lengan dan kakinja penuh digantungi tali² jang dibuat dari otot, untuk memperlindungi dia dari ruh djahat jang ada dalam dirinja. Ia sendiri terantjam dan merupakan antjaman bagi orang lain.

Akan tetapi, bertalian dengan pikiran² mengenai haid, bisa pula timbul upatjara²-pubertét, jang akibatnja djusteru sebaliknja bagi orang jang tersangkut. Kesutjian itu dapat mengandung dua segi : sumber bahaja, atau sumber rahmat. Pada beberapa suku, haid pertama gadis! merupakan suatu rahmat adikodrati jang mustadjab. Pada suku Apache, raja telah melihat padri² jang me-rangkak² melalui gadis² jang berdiri ber-dérét² setjara chidmat, untuk menerima sentuhan jang mengandung rahmat dari gadis² itu. Semua baji² dan orang tua datang pada meréka supaja penjakit²nja disembuhkan. Gadis² jang mengindjek umur kedéwasaannja, tak diasingkan sebagai sumber bahaja, akan tetapi dihormati selaku sumber rahmat² adikodrati. Karena pikiranz, jang mendjadi dasar tatatjara-pubertét pada suku Indian-Pendukung dan Indian-Apache berdasarkan kepertjajaan²nja mengenai haid, maka tentunja tak diperluas sampai kalangan pemuda. Pubertét pemuda sebaliknja hanja sederhana sadja, dengan mendjalankan udjian² jang sederhana pula, jakni untuk membuktikan sifat² lelaki.

Kelakuan para remadja, djuga mengenai gadis, tak bisa disimpul kan dad sifat² badani masa-pubertét itu, akan tetapi lebih disebabkan karena sjarat² jang diminta oléh perkawinan dan magi dalam hubungan sosial. Oléh keperfajaan ini keremadjaan wanita pada suku jang satu dianggap keramat dan mengandung rahmat, dan pada suku jang lain dianggap berbahaja dan kotor, sehingga sigadis harus ber-teriak² untuk memberitahu kepada orang², supaja mendjauhi dia dihutan. Pubertét gadis² bisa djuga, seperti kita ketahui, merupakan théma jang samasekali tak dihiraukan oldh kebudajaan jang bersangkutan. Djuga dimana banjak perhatian ditjurahkan kepada pubertét pemuda, seperti misalnja diseluruh Australia, bisa terdjadi, bahwa upatjara hanjalah bertalian dengan diizinkannja pemuda² memasuki keadaan kedéwasaannja dan ikut serta sebagai orang laki² dalam kegiatan² suku, dan bahwa kedéwasaan gadis berlalu tanpa ada pengakuan formil.

Akan tetapi fakta² inipun belum tjukup untuk mendjawab pertanjaan jang diadjukan, jakni: Apakah tidak segala kebudajaan² ditimpah kegelisahan jang umumnja terbawa oléh masa tersebut, meskipun hal ini tak terlihat pada sesuatu lembaganja? Dr. Mead telah menjelidiki masalah ini di Samoa. Disana kehidupan seorang gadis berlangsung rnenurut taraf²-waktu jang tertentu. Tahun² pertama setelah lepas menjusu, gadis ketjil itu tinggal dalam kelompoknja sendiri ber-sama²

dengan anak² lain seumur dengan meréka, dimana anaka laki sama
POLA-POLA KEBUDAJAAN

sekali tak boléh mendekatinja. Sebuah sudut didusun, jang merdka biasa tempati adalah milik meréka, dan anak² lelaki adalah musuh²nja jang tradisionil Meréka mempurjai satu tugas, jakni mendjaga anak² jang masih sangat ketjil jang masih menjusu, akan tetapi mendjaganja tak dirumah, melainkan dengan membawanja ber-main², sedangkan permainannja tak terlalu terganggu oléh karenanja. Beberapa tahun sebelum pubertét, apabila meréka sudah tjukup kuat untuk melakukan pekerdjaan jang letih sukar dan tjukup tua untuk mempergunakan tangannja, kelompok-pemainan itupun bubar. Si gadis harus mengenakan pakaian perempuan dan harus membantu dalam rumah-tangga. Ini merupakan suatu masa jang membosankan didalam hidupnja, tanpa ada selingan apa². Pubertét tak merobah keadaannja.

Beberapa tahun setelah pubertét, mulailah tahun² jang menggembirakan dengan kadanga ada kisah-pertjintaan bébas, jang meréka langsungkan selama mungkin sampai péda masa meréka dianggap telah tjukup déwasa untuk kawin. Pubertét itu sendiri tak mendapat pengakuan sosial sebagai hal jang chusus, dan tak pula diikuti dengan perobahan sikap atau sesuatu harapan apapun. Tradisi meminta, supaja sifat malu² dari masa sebelum pubertét harus dipertahankan untuk beberapa tahun lagi. Kehidupan seorang gadis di Samor ditentukan oléh pertimtangan² lain daripadi hanja kedéwasaan séksuil, dan pubertét datang pada masa jang sama sekuli tak kentara dan tanpa gedjala² pantjaroba, serta sirnasekali tiada sengkéta²-pubertét. Karena itu. mungkinlah bahwa masa-pubertét tak sadja dalam kebudajaan berlalu tanpa pubertét upatjara apa², akan tetapi kehidupan-perasaan si anakpun dan dalam sikap orang² didusun terhadap diapun tak ada apa² jang sifatnja istiméwa.

Perang adalah théma lain lagi, jang boléh djadi - atau tidak dipergunakan dalam sesuatu kebudajian. Dimana perang memainkan peranan penting, maka ini bisa dilakukan dengan tudjuan² jang berbéda, dengan organisasi² jang berbéda dalam sifat-hubungannja terhadap negara, dan dengan tjara² jang berbéda² pula dalam penilaiannja, Perang bisa merupakan alat guna menangkap tawanan² untuk didjadikan kurban² keagamaan, seperti misalnja pada bangsa Azték. Orang² Spanjol, jang bqperang se-mata² untuk membunuh, melanggar aturan² berperang menurut ukuran² Azték. Oléh karena itu, ibukota bangsa Azték sebagai Pemenang.

Dilihat dari sudut tindjauan kita, masih ada pikiran mengenai perang jang lebih anéh lagi diberbagai bagian dunia. Dalam hal ini, kita tjukup memperhatikan daérah², jang belum pernah mengalami adanja kesatuan² masjarakat setjara terorganisasi saling bunuh-mem bunuh setjara besar²an. Hanja karena kita sudah terlalu biasa dengan perang, maka kita bisa memahami keadaan, dimana perang dan damai silih-berganti dalam hubungan suku jang satu dengan suku jang lainnja. Tentu sadja ini adalah paham jang biasa sekali dimana sadja didunia ini. Akan tetapi dilain pihak, bagi beberapa suku adalah mustahil, untuk memahami perdamaian, karena menurut djalan-pikirannja hal ini sama dengan mengizinkan suku² musuh memasuki golongan mahluk manusia, padahal mereka ini menurut paham mereka benar² tak tergolong mahluk manusia, sekalipun suku jang diketjualikan itu sedjenisbangsa dan sekebudajaan dengan mereka.

Dalam pada itu, ada pula suku jang sukar memahami adanja perang. Rasmussen meentjeritakan, betapa herannja bangsa Eskimo ketika mendengarkan keterangan tentang adatkebiasaan kita. Orang Eskimo dengan mudah bisa memahami tentang orang jang membunuh sesamanja. Kalau ada orang jang meng-halang²; anda, maka ukurlah kekuatan anda, dan djikalau kiranja mungkin, bunuhlah dia. Kalau kuat, tak perlu orang takut pembalasan dari masjarakat. Akan tetapi mereka sangat sukar memahami, bagaimana misalnja suatu dusun Eskimo me jerang dusun Eskimo lainnja, atau suku melawan suku, bahkan sukar baginja untuk memahami penjerangan suatu dusun setjara diam². Setiap pembunuhan mempunjai watak dan silat jang sama bagi mereka itu, dan tiada perbedaan dalam kategori² seperti pada kita, dimana pembunuhan jang satu mengandung djasa, sedangkan jang lain adalah dosa besar sekali.

Saja sendiri mentjoba membitjarakan tentang perang dengan suku lndian-Missi di Kalifornia, akan tetapi hal ini tak mungkin,. Mereka samasekali tak bisa memahaminja. Dalam kebudajaan mer6ka tiada dasar untuk pengertian perang, dan pertjobaan² mereka untuk memahaminja, memerosotkan pengertian kita tentang perang besar, dimana kita dengan bersemangat mempertaruhkan djiwa kita, ketaraf suatu perkelahian antara tetangga. Mereka memang tak memiliki struktur kebudajaan, jang sanggup mem-beda²kan kedua hal ini.

Meskipun pentingnja kedudukan perang dalam kebudajaan kita, kita terpaksa mengakui, bahwa perang adalah asosial, Dalam kekatjaubalauan, jang terdjadi setelah prang dunia pertama, semua alasan² jang berasal dari masa-perang -jan$ mengatakan bahwa pemupukan ketabahan, altruisme dan nilai²-rohani disebabkan ol6h perang, terdengar palsu dan di-tjari². Perang dalam peradaban kita bisa memberi gambaran betapa suatu sistim kebudajaan bisa mengikuti terus djalan jang telah ditempuh, meskipun djalan ini menudju kearah keruntuhan. Apabila kita membenarkan peperangan, maka hal ini disebabkan, karena semua bangsa² membenarkan adatkebiasaan² jang dimilikinja, djadi tidak karena betul² bisa diudji kebenarannja setjara objéktif.

 Hal ini tak sadja mengenai peperangan. Di-tiap² bagian dunia dan pada setiap taraf perkembangan kebudajaan jang ber-belit² itu bisa didjumpai tjontoh² bagaimana suatu segi kebudajaan terlalu di-pudji² dan achirnja sering dikemukakan sifat²nja jang asosial. Hal2 ini sangat djelas dan njata, apabila misalnja kita melihat aturan² mengenai makanan atau perkawinan jang berlawanan dengan rangsang biologis. organisasi sosial mendapat arti jang chusus sekali dalam anthropologi, karena kenjataan bahwa masjarakat² manusia tidak sepaham dalam menundjukkan adanja kelompok² kerabat, dalam mana perkawinan dilarang. Tiada bangsa jang menganggap bahwa setiap wanita mendjadi tjalon isterinja. Aturan ini berlawanan dengan anggapan kebanjakan orang, diadakan tidak untuk inbreding perkawinan antara kerabat atau golongan sendiri dan keturunannja akan memiliki sifat² jang kurang baik sadja menurut pengertian kita, karena dibanjak daérah diseluruh dunia seorang kemanakan-perempuan, seringkali anak-perempuan saudara-laki² ibunja boléh dikawini. Anggota2 keluarga,jang tersangkut dalam larangan ini, banjak perbédaannja antara bangsa jang satu dengan bangsa jang lain, akan tetapi antara semua bangsa itu ada titik-persamaannja, jakni dalam mengadakan pembatasan² itu. Tak ada buahpikiran manusia jang begitu terdjalin dalam struktur adatkebiasaan² setjara sistimatis dan ruwét seperti jang mengenai incést (larangan mengawini kerabat jang terdekat). Kelompok²-incést sering merupakan kesatuan2 fungsionil penting dalam suku, dan kewadjiban² setiap individu terhadap individu lainnja tergantung kepada kedudukan, jang dimiliki anggota²-keluarganja dalam kelompok² ini. Kelompok² ini bertindak sebagai kesatuan pada upatjara² keagamaan dan pertukaran dilapangan ékonomi, pentingnja peranan jang dimainkan dalam sedjarah sosial tak mungkin di-lebih²kan lagi.

 Dibeberapa daérah orang tak seberapa keras mengambil tindakan. terhadap tabu-incést. Meskipun ada pembatasan², seorang lelaki masih bisa memilih tjalon-isterinja diantara sedjumlah besar wanita. Didaérah lain suatu chajal-sosial telah membuat golongan jang dikenakan tabu mendjadi sedemikian luasnja, sehingga memilih tjalon isteri sangat terbatas. Jang dikenakan tabu ialah meréka jang tidak terang persamaan nénékmojangnja dengan spemuda. Chajal-sosial ini djelas terbukti dari kata² jang digunakan untuk menjebutkan perhubungan² kerabat. Hubungan-kerabat tidak di-béda²kan menurut garis-lurus dan garis-menjamping, seperti jang kita kenal dengan adanja perbédaan antara ajah dan paman, saudara dan kemanakan. Salah suatu nama untuk menjebutkan perhubungan-kerabat itu berarti: ,,orang laki² dari golongan ajah (pertalian-keluarga, daérah dll.nja) segenerasi dengan dia", sehingga tertjipta suatu istilah jang lain matjamnja dari jang dikenal dikalangan kita. Beberapa suku di Australia Timur menggunakan bentuk jang keterlaluan dari apa jang dinamakan sistim kerabat jang terklasifikasi. Meréka menamakan semua orang jang segenerasi dengan dirinja, asal ada sedikit sadja hubungan-kerabat, kakak dan adik. oléh karena itu, meréka tak mengenal katagori kemenakan, dsbnja; semua hubungan terabat jang segenerasi dengan dirinja adalah hubungan kakak-adik.

 Tjara menindjau hubungan-kerabat sematjam itu didunia ini bukannja merupakan sesuatu hal jang luarbiasa, hanja sadja Australia disamping itu memiliki perasaan bentji jang agak istiméwa terhadap ,,perkawinan dengan,saudara perempuan", dan mempunjai pula sifat² keterlaluan dalam membatasi éxogami. Misalnja orang² Kurnai dengan kerabat terklasifikasi jang melampaui batas sangat membentji - sesuai dengan keaustraliannja - hubungan séksuil antara laki² dengan semua ,,saudara perempuannja", djadi dengan semua perempuan jang, segenerasi dengan dia jang-masih ada bau² hubungan-kerabat sedikit sadja. Selain daripada itu, orang² Kurnai mempunjai aturan² keras mengenai masjarakat-dusun, tempattinggal tjalon² isterinja. Kadang² dua dari limabelas atau enambelas dusun jang merupakan suku, harus tukarmenukar wanita, dan kawin dengan wanita² dari dusun² lainnja dilarang. Selain daripada itu, seperti halnja diseluruh Australia, orang² lelaki tua merupakan suatu golongan istiméwa jang harus didahulukan dalam memilih gadis² muda dan tjantik. Akibat daripada aturan² ini ialah, bahwa dalam daerah², tempat pemuda² harus memilih tjalonisterinja, sesuai dengan aturan² jang keras itu, kadang² tidak ada seorang gadispun jang belum kena tabu bagi sipemuda itu. Kalau ia bukan ,,saudara perempuan"nja, maka ia telah dipilih oléh seorang lelaki tua, atau ada alasan² lain jang kurang penting, sehingga ia tidak bisa memperisterikan dia.

 Namun, hal² sematjam itu tak mendorong orang² Kurnai untuk menindjau kembali aturan² exogami itu. Meréka memegangnja teguh². Oléh karena itulah, kadang² tak ada djalan untuk mengawininja selain melanggar aturan² itu: lari bersama tjalon-isterinja. Segera, setelah

orang² didusun mengetahui, bahwa ada gadis dilarikan, meréka mengedjarnja. Djikalau méreka jang lari itu tertangkap, dibunuhnjalah. Meskipun barangkali dengan djalan melarikan itu, djuga bagi meréka jang mengedjar terbuka kesempatan untuk kawin dengan djalan jang agak mudah, akan tetapi kemarahan moril berkobar tinggi! Akan tetapi ada suatu pulau, jang oléh adat diakui sebagai pelabuhan aman, dan apabila sepasang mempelai itu bisa sampai disana, dan terus tinggal disana sampai melahirkan anak, meréka diakui lagi sebagai warga-suku, meskipun sebelumnja meréka harus menerima pukulan² dahulu, tapi

42

POLA-POLA KEBUDAJAAN

setidak²nja meréka boléh membéla diri,. setelah meréka bengkak² karena pukulan², meréka diterima lagi dalam suku sebagai dui orang jang kawin setjara sjah.

Sikap orang Kurnai terhadap dilemma kebudajaan ini tjukup chas. Meréka telah memperkembangkan suatu segi chusus kelakuannja menjadi sesuatu jang sangat ruwét dan meng-halang²i kelantjaran kehidupan sosialnja. Sekararg meréka harus merobahnja, atau membuat suatu pintu-belakang untuk djalan keluar. Meréka mempergunakan pintu belakang. Meréka berusaha djangan sampai sukunja mendjadi lenjap, dan dalam pada itu mempertahankan tatasusilanja tanpa menindjaunja kembali. Sikap terhadap soal² masjarakat sedemikian itu selalu ada diseluruh sedjarah peradaban manusia. Kaum tua dalam peradaban kita sendiri setjara itu pula mempertahankan monogami, sambil menjokong prostitusi, dan pemudjaan monogami memuntjak bersamaan dengan memuntjaknja pelatjuran. Tiap² peradaban selalu membéla dan membenarkan tradisi² jang ditjintainja. Apabila ini tak bisa lagi dipertahankan, dan diperlukan aturan tambahan jang harus dihidupkan, maka tradisi itu dibéla setjara luaran, sama hébatnja seperti ketika aturan tambahan itu belum ada.

Tindjauan sepintas lalu mengenai bentuk² kebudajaan manusia memperdjelas berbagai anggapan² umum jang salah. Pertama, ternjata bahwa lembaga² jang timbul dalam berbagai kebudajaan² sebagai réaksi terhadap lingkungannja, atau jang diakibatkan oléh kebutuhan materiil manusia, tak begitu mudah mentjotjokkan diri dengan ketjenderungan aseli, se-tidak²nja tidak semudah seperti jang kita sangka semula. Dorongan² lingkungan inipun wataknja tak berketentuan dan sifatnja terlalu umum; atau dengan lain perkataan : hanja merupakan suatu réntétan fakta². Sesungguhnja hanja merupakan seréntétan kemungkinan², sedangkan adatkebiasaan² sosial jang semula mendjadi sebabnja, ikut ditentukan oléh banjak pertimbangan² jang datang dari luar. Peperangan misalnja bukanlah pertundjukan nafsu-berkelahi. Nafsuberkelahi seseorang hanjalah merupakan unsur ketjil sekali dalam diri manusia, sehingga tiada alasan mengapa ia akan mendjelma dalam hubungan antara suku. Diikalau sudah dimasukkan dalam struktur umum masjarakat, bentuknja mengikuti djalan pikiran lain, jang berbéda dengan ketjénderungan aseli. Nafsu-berkelahi hanjalah merupakan sentuhan kepada bola adat-kebiasaan - suatu sentuhan jang mungkin djuga ditahaii.

Tjara-menindjru sematjam ini terhadap perkembangan adatkebiasaan² memerlukan penindjauan-kembali terhadap alasan² jang berlaku, jang mempertahankan lembaga² tradisionil kita. Alasan² ini kebanjakan kali bertolak dari anggapan, bahwa dunia-manusia mustahil bisa mendjalarnkan tugasnja tanpa bentuk tradisionil jang istimewa itu. Bahkan gedjala2jang sangat chususpun dinilai setjara itu, seperti misalnja bentuk chusus rangsang Ekonomi, jang terdjadi dalam sistim milik perseorangan jang chusus pula. Ini adalah suatu alasan jang djelas, dan nampaknja sekarang sedang mengalami perobahan2. Bagaimanapun djuga, kita tak perlu mengatjzukan kesimpulan kita dengan mengatakan se-olah2 ini adalah soal perdjuangan untuk mempertahankan hidup biologis. Peradsban kita telah menondjolkan th&ma „self-suyorting”. Djikalau struktur €konomi kita berobah sedemikian rupa, sehingga thema ini tak merupakan dorongan sekuat dimasa perkembangan paling hebat daripada industrialisme imperialistis, maka ada motif2 lain jang mungkin tjotjok dengan organisasi Ekonomi jang berubah itu. Tiap2 kebudajaan dan tiap2 zaman mempergunakan hanja sebagian sadja daripada kemungkinan2jang banjak itu. Perobahan2 bisa menimbulkan kegelisahan dan mendatangkan banjak kerugian, akan tetapi hal ini disebabkan karena sukarnja untuk berobah, dan sesurgguhr ja tidak karena kenjataan bahwa abad kita dan negeri kita kebetulan bisa memilih rangsang2 jang diperlukan untuk memungkinkan mengatur kehidupan manusia. Kita tak boleh melupakan bahwa perobahan — meskipun diiringi dengan segala kesukaran2 — harus ada. Ketjemasan kita akan perobahan2 ketjil dalam adatkebiasaan kita kebanjakan kali tidak pada tempatrja. Peradaban2 bisa dirobah dengan tjara jang lebih radikal, melebihi jang diinginkan dan dimimpikan ol&h seseorang manusia manapun jang berkuasa, dan perobahan itu masih tetap berdjalan lantjar. Perobahan2 jang tak berapa penting jang sekarang ini demikian kerasnja dikutuk seperti misalnja djumlah meningkat pertjeraian, gedjala penduniawian jang semangkin hebat di-kota2 sekarang, pertjintaan bebas jang semangkin meluas, dan lain2nja lagi sesungguhrja masih bisa diterima dengan baik dalam struktur masjarakat jang agak berobah. Sebelumnja mendjadi tradisi, perobahan2 ini dihormati dan merpunjai nilai seperti struktur lama pada generasi2 jang terdahulu.

Kenjataannjaialah bahwa banjak sekali lembaga2 manusia dan motif2 manusia jang mungkin timbul pada setiap taraf kesahadjaan atau ketjorakragaman kebudajaan, dan bahwasanja sikap se-baik2nja ialah sikap jang agak tolarant terhadap penjelkwengan? dari kaidah2 tradisi ang berlaku. Tiada orang jang bisa ikutserta sepenuhnja dalam suatu kebudajaan, apabila ia tidak dibesarkan dalam kebudajaan itu hidup menurut kaidah2 jang berlaku dalam kebudajaan itu, akan tetapi ia bisa menghargai pendukung² kebudajaan lain seperti ia menghargai pendukung2 kebudajaannja sendiri.

Ketjorakragaman kebudajaan bukan hanja disebabkan karenamudahnja masjarakat2 memperkembangkan atau membuang segi? kehidupan jang mungkin. Akan tetapi sering kali disebabkan djuga oléh adanja prosés djalin-mendjalin antara berbagai unsur2 kebudajaan. Seperti telah kita ketahui, bentuk terachir lembaga2 tradisi sangat berbéda tjoraknja dari motif aselinja. Setjara kasarnja, bentuk achir inl tergantung kepada tjara unsur2 jang bersangkutan itu berdjalin dengan unsur2 jang berasal dari lapangan2 lainnja.

Unsur2 jang sering muntjul pada sesuatu bangsa bisa terliputi oléh anggapan2 keagamaan, dan dengan demikian berfungsi sebagai suatu segi penting dari agamanja. Dilapangan lain hal ini bisa se-mata2 berupa sebagai soal pemindahan benda ékonomi, dan oléh karena itu merupakan sebagian daripada sistim keuangan2nja tidak terbatas, dan hasil njapun sering sangat menghérankan. Sifat unsur2 itu akan sangat berlainan di-lapangan2 jang berlainan pula, sesuai dengan unsur2 lainnja jang merupakan perpaduan dengannja.

Adalah penting sekali, bahwa kita memahami prosés ini, karena kalau tidak, kita mudah bertjenderung untuk menjamaratakan dan menganggap hasil pertjampuran setempat sebagai suatu hukum sosiologi, atau menganggap pertjampuran itu sebagai suatu gedjala umum. Zaman keemasan senipahat Eropah motifnja keagamaan. Kedjadian2 dalam agama dan dogma2nja jang pada masa itu dianggap hakiki dilukiskan oléh kesenian dan mendjadi milik umum. Estétika modérén Eropah akan sangat berlainan bentuk tjoraknja, seandai kesenian abad pertengahan se-mata2 dekoratif dan tak ada pertaliannja dengan agama. Dikalangan suku Pueblo di Baratdaja Amérika Serikat, pemberian bentuk artistik untuk barang2 perkundian dan tékstil menimbul rasa kagum kepada seniman2 dari kebudajaan manapun djuga, akan tetapi piring2 dan tjawan2 jang dipergunakan pada upatjara2 agama jang diédarkan oléh padri dan diletakkan di-altar2, rupanja djelék2 dan hiasan2nja kasar, tak indah. Ada musium2 jang membuang benda2 keagamaan jang berasal dari Baratdaja, karena benda2 itu sangat djauh dibawah sjarat2 tradisionil keahlian. „Kita harus meletakkan kodok disana!" kata orang2 Indian-Zuni, jang berarti bahwa benda2 upatjara keagamaan tak memerlukan kesenian. Perpisahan antara kesenian dan agama ini bukanlah sifat chas kaum Pueblo sadja. Ada suku2 di Amérika Selatan dan Siberia, jang mengadakan perbédaan seperti itu djuga, akan tetapi berdasarkan alasan2 lain. Meréka tak mengabdikan keahilan seninja kepada agama. Oleh karena itu kita djangan seperti para kritikus dulu jang menganggap bahwa kesenian terdjadi karena sesuatu jang sifatnja setempat seperti misalnja agama, akan tetapi sebaiknja kita menjelidiki sampai dimana seni dan agama itu saling mempengaruhi dan apa konsekwénsi²nja, baik bagi kesenian maupun bagi agama. Hal saling mempengaruhi antara dua lapangan jang berlainan dan perobahan² jang terdjadi pada keduanja tampak disemua fase kehidupan: ékonomi, hubungan séks, folklore, kebudajaan-benda dan agama. Prosés ini bisa diterangkan dengan mengambil tjontoh salah suatu adatkebiasaan keagamaan dikalangan bangsa Indian Amérika Utara, Di-mana² dibenua Amérika, disetiap kesatuan kebudajaan, ketjuali dikalangan suku Pueblo di Baratdaja, kuasa adikodrati hanja bisa diberikan dalam sautu mimpi atau visiun. Menurut kepertjajaan meréka., suksés dalam kehidupan ini disebabkan karena hubungan dengan jang dikodrati. Orang jang telah mendapat suatu visiun seumur hidupnja akan memiliki kekuatan tsb. dan adalah kebiasaan dikalangan beberapa suku, dimana ia membaharui hubungan²nja dengan roh² itu dengan djalan mendapatkan lebih banjak visiun² lagi. Apapun jang dilihatnja, binatang atau bintang, tumbuh²an ataupun mahluk adikodrati, ia menganggap ini sebagai pelindungnja, dan ia bisa memanggilnja bila ada bahaja. Dalam pada itu ia mempunjai suatu kewadjiban terhadap pelindung visiun itu, ia harus memberi hadiah² kepadanja dan melakukan berbagai kewadjiban² lain lagi. Dan dalam pada itu, roh memberinja kuasa adikodrati jang didjandjikan kepadanja dalam visiunnja.

Disetiap daérah besar Amérika Utara kompléks rohpelindung² ini mempunjai bentuk²nja sendiri² jang satu sama lain berbéda, sesuai dengan berbagai segi² kebudajaan jang dihubunginja paling erat. Didaérah pegunungan Kolumbia Inggeris, hal ini bersatupadu dengan upatjara²-pubertet, seperti jang baru kita bitjarakan diatas. Baik pemuda maupun pemudi suku² itu pada masa-pubertétnja pergi kegunung, untuk mengadakan latihan² magi. Upatjara²-pubertét diadakan dimana² disepandjang pantai Lautan Teduh dan biasanja upatjara² ini terlepas dari upatjara² perlindungan. Akan tetapi di Kotumbia Inggeris keduanja bertjampur. Puntjak latihan-pubertét pemuda jalah ketika ia mendapat rohpelindung, dan atas pemberian roh tsb, pekerdjaan pemuda dimasa depan ditentukan untuk se-lama²nja. Ia mendjadi peradjurit, sjaman, pemburu atau djago djudi, sesuai dengan keinginan roh pelindungannja, Djuga gadis mendapat roh pelindung, jang melambangkan tugasnja dirumahtangga. Dikalangan bangsa² ini tradisi roh pelindung demikian érat 'hubungannja dengan upatjara²-pubertét, sehingga para ahli-anthropologi jang mengenal dakrah² ini berkesimpulan bahwa seluruh kompleks rohpelindung orang² Indian Amtrika asalnja ialah upatjara2-pubertét. Akan tetapi kedua hal ini hubungannja tak sedemikian rupa se-olah² jang satu disebabkan oléh jang lain. Meréka itu tertjampur setjara setempat dan dalam proses pertjampuran ini kedua segi mendapat bentuk² istimewa jang chas. Disetiap bagian benua Amérika, rohpelindung ini tidak ditjari dimasa-pubertét, dan tak pula oléh pemuda-pemudi, dan karena itu kompléks ini lepas daripada upatjara²-pubertét. Suku² Indian Osage terorganisasi dalam kelompok² kerabat jang keturunannja hanja ditentukan menurut garis-keturunan pihak ajah, sedangkan garis-keturunan pihak ibu tak dihiraukan samasekali. Kelompok²-clan ini setjara bersama mewarisi rahmat adikodrati. Setiap clan mempunjai dongengnja sendiri², jang mentjeritakan bagaimana nénékmojang pertamanja mentjari suatu visiun dan mendapat rahmat dari binatang, jang pamanja mendjadi nama clan itu pula. Nénékmojang clan-kerang mentjari rahmat adikodrati tudjuh kali, sedangkan airmata bertjutjuran membasahi mukanja. Achirnja bertemulah ia dengan kerang, dan berkata padanja :

„Hai nénék !

Anak-tjutjuku tak punja apa² akan membentuk badannja”.

Maka djawab kerang :

„Katamu, anak-tjutjumu tak punja apa² akan membentuk badannja.

Silahkan anak-tjutjumu membentuk badannja dari badanku,

Djika anak-tjutjumu membentuk badan dari badanku,

Meréka akan selalu hidup mengalami umur landjut,

Lihat kerut² dikulitku

Ini kupakai supaja usiaku landjut.

Djika anak-tjutjumu membentuk badannja dari badanku,

Meréka akan selalu hidup, untuk melihat tanda² umur landjut diatas kulitnja.

Tudjuh tikungan sungai (hidup)

Kutempuh dengan berasil

Dan djika aku bepergian, bahkan dewa² tak berkuasa

Melihat bekas² kakiku.

Djika anak-tjutjumu membentuk badannja dari badanku

Tiada seorangpun, bahkan, dewa²pun tidak, akan kuasa melihat bekas² kakinja”.

Di-kalangan² bangsa² ini selalu terdjumpai semua unsur² terkenal mengenai hal mentjari visiun², akan tetapi tudjuannja tertjapai oléh nénékmojang pertama dari clan dan rahmat jang didapatnja diwaris oléh sekolompok orang² jang masih ada pertalian-keluarga.

Situasi dikalangan orang² Indian-Osagé ini memberi gambaran jang demikian djeasnja tentang totemisme, seperti jang djarang ter- djumpai didunia ini, jakni totemisme jang berarti terdjalinnja organisasi masjarakat dan pemudjaan religius nénékmojangnja. Di-mana² didunia ini orang memperbintjangkan totemisme, dan para ahli-anthropologi beranggapan bahwa totem-clan berasal dari „totem perseorangan” atau rohpelindung.

Akan tetapi keadaan sesungguhnja ialah sama dengan hal pertjampuran pemburuan-visiun dan upatjara²pubertét didaérah pegunungan Kolumbia-Inggeris, dengan perbédaan bahwa disini hal mentjari visiun bertalian dengan hak²-istiméwa turun-temurun dari clan. Asosiasi² baru ini mendjadi demikian kuatnja, sehingga orang tak lagi beranggapan bahwa suatu visiun dengan sendirinja memberi kekuasaan atau kekuatan kepada seseorang. Rahmat visiun hanja diperdapat melalui warisan, dan dikalangan suku² Indian Osagé berkembanglah njanjian² pandjang tentang pertemuan² nénék²-mojang disertai dengan pelukisan dari hal² rahmati jang bisa diminta oléh anaktjutjunja.

Dalam kedua hal ini bukanlah sadja kompléks visiun, jang diberbagai daérah berbéda tjorak dan wataknja karena bertjampur dengan upatjara²-pubertét atau organisasi-clan. Djuga upatjara² pubertét dan organisasi sosial diwarnai oléh pemburuan visiun. Pengaruhnja timbal-balik. Kompléks visiun, upatjara pubertét, organisasi clan, dan banjak unsur² lainnja lagi jang erat hubungannja dengan visiun, merupakan ikatan² jang bisa didjalin merdjadi berbagai kombinasi². Akibat² daripada terdjadinja berbagai kombinasi ini adalah sangat penting sekali, dan tak boléh diabakan. Di kedua daérah, jang baru kita bitjarakan diatas, baik dimana pengalaman keagamaan terdjalin dengan upatjara-pubertét, maupun dimana perdjalinan ini terdjadi dengan organisasi dalam clan², setiap individu dalam suku sebagai akibat wadjar daripada tindakan² jang saling bertalian, bisa mendapat kekuatan dari visiun jang mendjandjikan suksés dalam setiap usaha. Sudah boléh dipastikan setiap orang jang telah mendapat visiun sematjam itu, akan berhasil dalam tiap² pekerdjaan dan perbuatan. Kekuatan itu bisa diberi oléh visiun, baik kepada seorang pendjudi ulung atau pemburu jang berun- tung, maupun kepada seorang sjaman jang berhasil. Sesuai dengan dogmanja, djalan kesuksés tertutup bagi meréka jang tak berkesempatan untuk mendapatkan rohpelindung jang adikodrati.

Di Kalifornia, sebaliknja, visiun adalah pekerdjaan jang dimonopoli oléh sjaman. Inilah jang membuat dia orang penting. Itulah sebabnja, bahwa djusteru didaérah ini segi² jang paling menjeleweng dari visiun terdjadi dan berkembang. Visiun tak lagi suatu hallucinasi ringan jang bisa ditjapai dengan berpuasa, penjiksaan diri dan pengasingan diri. Visiun mendjadi suatu pengalaman ékstasé, jang menguasai anggauta² masjarakat jang paling tak-seimbang, chususnja dikalangan wanita. Dikalangan suku Irdian-Shasta adalah biasa dan normal, bahwa hanja wanita sadja jang bisa mendapat visiun. Keadaan jang diperlukan ialah djelas sekali berupa sematjam penjakit ajan (captalectic), jang datang kepada tjalon sjaman, setelah ia mendapat suatu mimpi jang mempersiapkan kepada keadaan itu. Djatuhlah dia ditanah, tidak sadar, kaku. Apabila kemudian sadar lagi, keluarlah darah dari dalam mulutnja. Segala upatjara² jang membuatnja dia kelak bisa mempertahankan nama harumnja sebagai sjaman adalah untuk membuktikan bahwa ia masih selalu bisa djatuh ajan, dan dianggap sebagai alat untuk menolong djiwanja. Pada suku² seperti Indian-Shasta tak sadja sifat dan watak visiun itu berobah mendjadi suatu keadaan-ajan jang pajah, jang mendjadi pula garis-pemisahjang tadjam antara kaum padri dan kaumjang bukan-padri, akan tetapi sifat dan watak sjaman itu sendiri berobah karena sifat ékstasé jang harus dialaminja. Mémang tak bisa diungkiri lagi, meréka adalah bagian jang paling tak-seimbang dalam masjarakat. Didaérah ini persaingan antara sjaman² selalu berupa usaha untuk dalam suatu tarian mengalahkan lawannja, jang berarti, bahwa siapa jang sambil menari bisa bertahan diri paling lama terhadap djatuhajan, jang pasti datang, dialah jang menang. Baik pengalaman-visiun maupun sjamanisme sangat keras dipengaruhi oléh hubungan jang erat jang ada diantara kedua hal tsb. Perdjalinan antara kedua segi tsb. tak alah tegas dan hébatnja daripada halnja antarapengalaman-visiun dan katatjara-pubertét atau organisasi clan² dalam merobah kedua daérah² taktivitétnja.

Demikianlah dalam peradaban kita sendiri perpisahan antara geredja dan peresmian-perkawinan dilihat dari sudut sedjarah sangat djelas, meskipun sakramén-perkawinan agama ber-abad² lamanja memaksa manusia untuk mengadakan kelakuan² tertentu dilapangan séksuil dan dalam gerédja. Sifat chusus perkawinan selama abad² itu adalah akibat daripada perpaduan dari dua unsur kebudjaaan jang sangat berlainan dan lepas satu sama lainnja. Dalam pada itu, perkawinanpun kadang² merupakan alat jang tradisionil untuk memindahkan atau menjerahkan kekajaan. Dalam suatu kebudajaan, dimana ini terdjadi, maka pertalian erat antara perkawinan dan pemindahan benda dkonomi bisa mudah menutup kenjataan, bahwa perkawinan itu sesungguhnja adalah suatu hal jang berhubungan dengan persetubuhan dan perkembangbiakan. Dalam setiap hal jang chusus dan terpisah itu, kita harus melihat arti perkawinan dalam hubungannja dengan segi² lainnja, jang telah terdjalin dengannja dan tidaklah kita boléh membuat kesalahan dengan beranggapan, bahwa pengertian ,,perkawinan" dalam kedua hal tsb bisa diasosiasikan dengan sekelompok buahpikiran jang sama. Kita harus memperhatikan adanja berbagai komponéns jang dipadukan mendjadi hasil terachir. Adalah sangat perlu sekali, bahwasanja kita bisa menganalisa segi² warisan budaja kita sendiri dalam berbagai bagin2nja. Ini akan memperdjelas dan mendjernihkan diskusi² kita tentang tatatertib masjarakat, apabila kita beladjar mengerti ketjorakragaman isi kelakuan² kita jang paling sederhanapun. Perbedaan²-djenisbangsa dan hak-istimewa jang sifatnja kebetulan bahwa mereka lebih kuasa daripada bagian² dunia lainnja telah demikian terdjalinnja dikalangan bangsa² Anglo-Sakson, sehingga mereka tak mampu lagi mem-beda2kan setjara tepat masalah² djenisbangsa dari prasangka² jang terdjadi dalam masjarakat. Bahkan dikalangan bangsa² Latin, jang begitu erat hubungannja dengan bangsa² Anglo-Sakson, prasangka² ini bentuknja lain, sehingga perbedaan²- djenisbangsa di-negeri² jang didjadjah oleh Spanjol. tidak mempunjai arti sosial jang sama dengan di-djadjahan² Inggeris. Agama Kristen, dan kedudukan wanita adalah pula segi² sedjarah jang saling tali-temali akan tetapi pengaruhnja antara jang satu dan jang lainnja tak sama jang berlainan. Kedudukan baik daripada wanita di-negara² Kristen dewasa ini bukanlah ,,akibat" atau ,,hasil" dari Agarna Kristen, seperti pula halnja dengan pertalian wanita kepada godaan-maut dari Origenes. Saling pengaruh mempengaruhi antara berbagai segi ini timbul dimasa² dan hilang lagi, dan sedjarah kebudajaan untuk sebagian terpenting ialah sedjalah daripada sifat²nja, hasil²nja dan perdjalinannja. Akan tetapi hubungan genetis jang kita suka sekali menemukannja dan keengganan kita jang hebat sekali akan gangguan daripada hubungan² sematjam itu sebagian besar adalah chajalan belaka. Ketjorakragaman kombinasi² jang mungkin terdjadi tak terbatas dan diatas sedjumlah besar kombinasi² ini bisa dibangunkan suatu tatatertib masjarakat jang memuaskan, tanpa ada keberatan apa².


Pola-pola.---4.