Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Penghapusan Kekerasan Seksual/Penjelasan

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 
RANCANGAN
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL

I. UMUM

Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan upaya Perlindungan oleh negara kepada setiap warga negara, khususnya terhadap perempuan dan anak. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual adalah salah satu upaya negara untuk menegakkan amanat konstitusi yang menegaskan jaminan hak setiap warga negara untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk diskriminasi. Penegasan hak ini sejalan dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selain itu Indonesia telah berkomitmen untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, anak, dan orang dengan disabilitas melalui pengesahan Konvensi International tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi terhadap Perempuan, Konvensi International Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi Internasional Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas Protokol Opsional dan Konvensi International tentang Hak-hak Anak, Konvensi Internasional Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak. Indonesia telah pula memiliki komitmen untuk menegakkan hak sipil dan politik, ekonomi, sosial dan budaya, sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

Kekerasan Seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Kebanyakan Korban Kekerasan Seksual adalah perempuan dan anak perempuan sehingga Kekerasan Seksual juga merupakan kekerasan berbasis gender, yang menyasar pada manusia karena jenis kelaminnya perempuan atau mengalami diskriminasi karena relasi kuasa yang timpang. Kekerasan ini sangat berpotensi terjadi di dalam masyarakat yang memiliki struktur sosial dan budaya yang merendahkan dan memojokkan perempuan, mengabaikan anak dan tidak mengakui atau menghargai adanya kondisi-kondisi khusus di dalam masyarakat. Kekerasan ini terjadi di dalam relasi yang sangat personal, di dalam lingkup keluarga atau rumah tangga, dan di wilayah publik.

Kekerasan Seksual menimbulkan dampak luar biasa kepada Korban, meliputi penderitaan psikis, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik. Dampak Kekerasan Seksual sangat mempengaruhi hidup Korban. Dampak semakin menguat ketika Korban adalah bagian dari masyarakat yang marginal secara ekonomi, sosial dan politik, ataupun mereka yang memiliki kebutuhan khusus, seperti orang dengan disabilitas dan anak.

Telah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur beberapa bentuk Kekerasan Seksual namun sangat terbatas bentuk dan lingkupnya. Namun payung hukum yang tersedia belum sepenuhnya mampu merespon fakta Kekerasan Seksual yang berkembang dimasyarakat. Pada umumnya sistem hukum lebih memberi fokus pada Penanganan dan penindakan pelaku. Dari studi tentang beragam pengalaman Korban ditemukan adanya para penegak hukum yang menyalahkan Korban, dan berpihak pada pelaku. Selain itu, keterlibatan masyarakat dirasa penting untuk mencegah Kekerasan Seksual, dan mencegah tindakan yang menyalahkan dan mengucilkan Korban dan keluarga dan mendukung adanya kondisi yang bebas dari Kekerasan Seksual. Oleh karena itu dibutuhkan adanya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang secara spesifik mengisi kesenjangan sistem hukum yang ada.

Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual bertujuan mencegah segala bentuk Kekerasan Seksual; menangani, melindungi dan memulihkan Korban; menindak pelaku; dan menjamin terlaksananya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat, dan tanggung jawab Korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas Kekerasan Seksual.

Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menekankan bahwa tujuan Pencegahan Kekerasan Seksual meliputi penyelenggaraan Pencegahan dalam bidang pendidikan, infrastruktur, pelayanan publik dan tata ruang, pemerintahan dan tata kelola kelembagaan, ekonomi, sosial dan budaya.

Undang-Undang ini merupakan hukum pidana khusus. Kekhususannya terlihat dalam penekanan hak-hak Korban yang segera dapat diakses oleh Korban ketika Korban Kekerasan Seksual diketahui oleh lembaga pengada layanan dan pemenuhan hak Korban diletakkan sebagaiman kewajiban Negara. Hak-hak ini dikerangkai dan terintegrasi ke dalam proses Penanganan, Perlindungan dan Pemulihan Korban yang multidisiplin, terkoordinasi dan berkelanjutan. Pemenuhan hak ini diselenggarakan dalam setiap tahapan peradilan pidana termasuk perlunya dilakukan koordinasi dalam penyelenggaraan Pemulihan bagi Korban.

Kekhususan Undang-Undang ini juga terlihat dalam upaya mengejawantahkan tujuan penindakan pelaku. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual merumuskan 9 (sembilan) jenis tindak pidana Kekerasan Seksual meliputi: pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual. Tindak pidana Kekerasan Seksual tersebut dirumuskan berdasarkan pengalaman Penanganan Korban Kekerasan Seksual yang berbeda-beda konteksnya, termasuk Korban anak, orang dengan disabilitas, Kekerasan Seksual yang terjadi di tempat kerja, di lingkup pendidikan dan dalam konteks budaya. Bentuk-bentuk yang diatur ini seringkali tidak bisa diajukan ke jalur hukum meski dampaknya sangat kuat dialami Korban, sehingga perlu pengaturan tersendiri dalam bentuk UndangUndang khusus.

Sementara ketentuan pidana meliputi jenis hukuman yang bertujuan untuk memutus impunitas pelaku, dan membangun cara pandang pelaku terhadap martabat kemanusiaan agar pelaku tidak melakukan kembali Kekerasan Seksual yang pernah dilakukannya. Jenis pemidanaan meliputi pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok yang terdiri dari penjara dan rehabilitasi khusus. Selain itu ada pidana tambahan yang meliputi restitusi, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, kerja sosial, pembinaan khusus, pencabutan hak asuh, pencabutan hak politik, pencabutan hak menjalankan pekerjaan, pencabutan jabatan atau profesi, pengumuman putusan hakim. Undang-Undang ini juga memberlakukan pemberatan pidana penjara jika dilakukan oleh orang tua, tokoh masyarakat, pejabat, dan jika dilakukan terhadap anak, orang dengan disabilitas dan anak dengan disabilitas. Undang-Undang ini merumuskan pula sanksi administratif bagi pejabat yang tidak menjalankan kewajibannya.

Selain itu, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ini menegaskan ketentuan tentang kewajiban penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi aparatur penegak hukum, Pendamping dan petugas lembaga pengada layanan secara terpadu; ketentuan mengenai partisipasi masyarakat dalam penghapusan Kekerasan Seksual; dan kerjasama internasional dalam penghapusan Kekerasan Seksual. Untuk efektivitas penegakan atas ketentuan yang diaturnya, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menegaskan perlunya pemantauan terhadap upaya penghapusan Kekerasan Seksual dimana pemantauan ini diselenggarakan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

Selanjutnya, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai hukum pidana khusus memunculkan terobosan dalam sistem peradilan pidana dengan tujuan agar Korban dapat mengikuti proses peradilan pidana yang berpusat pada upaya pemenuhan hak Korban dan upaya mendekatkan Korban kepada keadilan. Ketentuan mengenai hukum acara khusus peradilan pidana Kekerasan Seksual, yang di dalamnya merumuskan alat bukti selain yang diatur dalam hukum acara pidana umum, kewajiban aparat hukum mengidentifikasi dan memenuhi hak atas Perlindungan dan Pemulihan dalam setiap proses hukum, serta kewajiban berkoordinasi yang bertumpu pada penghargaan terhadap partisipasi Korban, keluarga dan Pendamping Korban.

Beberapa kekhususan yang ada wajib menjadi perhatian dan dilaksanakan oleh para penyelenggara negara, aparat penegak hukum dan lembaga pengada layanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan asas penghargaaan atas harkat dan martabat manusia adalah bahwa penghapusan Kekerasan Seksual harus meletakkan semua pihak yang terlibat dalam Kekerasan Seksual sebagai manusia yang memiliki hak-hak dasar. Posisi seseorang sebagai Korban atau pelaku tidak menghilangkan hak-hak dasar sebagai manusia yang bermartabat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan asas non diskriminasi adalah bahwa penghapusan Kekerasan Seksual dilakukan tanpa pembedaan, pengucilan, peminggiran atau pengabaian atas dasar apapun, termasuk tapi tidak terbatas pada jenis kelamin, status perkawinan, usia, ras, etnis, agama, kepercayaan, ideologi politik, asal usul daerah, kondisi fisik atau psikis seseorang sehingga membatasi, menghalangi, atau meniadakan penikmatan hak atas dasar kesetaraan atas dasar kesetaraan dan keadilan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan asas kepentingan terbaik bagi Korban adalah bahwa penghapusan Kekerasan Seksual dilakukan mempertimbangkan kepentingan terbaik baik Korban berdasarkan keragamaan situasi dan kondisi Korban. Keragaman tersebut dipengaruhi faktor usia, kemampuan dan keadaan fisik, tingkat ekonomi, pendidikan atau status sosial, praktek budaya, asal usul daerah, atau status politik. Situasi yang beragam mempengaruhi kondisi Korban khususnya dalam merespon kekerasan. Situasi tersebut juga mempengaruhi adanya kebutuhan Korban yang berbeda-beda yang harus diperhatikan dalam penyediaan layanan terhadap Korban.
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas keadilan adalah bahwa penghapusan Kekerasan Seksual harus mengutamakan kepentingan Korban melalui cara dan situasi yang mendukung Korban untuk mendapatkan haknya.
Huruf e
Yang dimaksud dengan asas kemanfaatan adalah bahwa penghapusan Kekerasan Seksual harus memenuhi kebutuhan dan hak Korban dan berdaya guna bagi masyarakat yang lebih luas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah bahwa penegakan dan proses hukum pidana Kekerasan Seksual harus tetap dilanjutkan walaupun ada upaya-upaya lain untuk menghentikan berjalan berjalannya proses hukum yang dilakukan atas nama tradisi, hukum adat, atau kondisi sosial dan politik setempat.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kewajiban penghapusan Kekerasan Seksual adalah oleh Negara. Namun penghapusan Kekerasan Seksual hanya dapat terjadi jika ada peran serta dan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan Korporasi. Oleh karena itu, Negara perlu menjamin pelaksanaan peran dan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan Korporasi dalam penghapusan Kekerasan Seksual.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Materi yang diajarkan meliputi namun tidak terbatas pada bentuk-bentuk kekerasan namun juga dampak yang dialami oleh Korban, keluarga dan Komunitas. Dampak tersebut antara lain, kegoncangan psikis, kesehatan, kesulitan berelasi dengan masyarakat sekitar dan dalam mengikuti pendidikan, dan termasuk terputusnya akses ekonomi. Dampak semakin kuat jika muncul stigma dan pengucilan oleh masyarakat dan tokoh masyarakat di sekitar Korban dan atau oleh penegak hukum dan Pejabat Publik. Dampak juga semakin menguat jika ada ancaman fisik dan psikis yang bersifat langsung atau tidak langsung dari pelaku dan atau individu/kelompok yang memiliki hubungan dengan pelaku terhadap Korban, keluarga dan Komunitas terdekat Korban.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Pembangunan lingkungan dan fasilitas publik yang aman, nyaman dapat diakses oleh orang dengan disabilitas dan masyarakat marginal lainnya yang meliputi namun tidak terbatas pada pengadaan transportasi publik yang aman;
Huruf b
Salah satu bentuk dari pelaksaan sistem keamanan terpadu meliputi namun tidak terbatas pada pengadaan pos dan patroli keamanan yang rutin dan penerangan dan kamera-kamera pemantau di gedung, jalan, tempat kerja atau daerah-daerah tertentu yang rawan dan pengadaan layanan hotline 24 jam untuk keadaan darurat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “situasi khusus lainnya” antara lain situasi konflik dan bencana alam.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”tindakan fisik” antara lain sentuhan, colekan, serangan atau cara-cara lain yang mengenai alat kelamin, atau anggota tubuh yang berhubungan dengan seksual dan seksualitas seseorang termasuk dada, payudara, pantat, dan rambut.
Yang dimaksud dengan tindakan non fisik meliputi namun tidak terbatas pada:
  1. siulan, kedipan mata;
  2. gerakan atau isyarat atau bahasa tubuh yang memperlihatkan atau menyentuh atau mempermainkan alat kelamin;
  3. ucapan atau komentar yang bernuansa sensual atau ajakan atau yang mengarah pada ajakan melakukan hubungan seksual;
  4. mempertunjukkan materi-materi pornografi; dan
  5. memfoto secara diam-diam dan atau mengintip seseorang.
Bentuk ancaman dapat dilakukan secara verbal dan non verbal, secara langsung atau tidak langsung, atau melalui isyarat tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan “relasi intim” adalah hubungan mengembangkan sikap keterbukaan, saling berbagi, kepercayaan, menghargai satu sama lain, afeksi dan kesetiaan, sehingga terlihat sebagai sebuah hubungan yang dekat, berlangsung lama, dan melibatkan cinta dan komitmen.
Yang dimaksud dengan “pemaksaan hubungan seksual” adalah upaya memaksakan hubungan seksual tanpa persetujuan Korban atau bertentangan dengan kehendak Korban.
Yang dimaksud dengan “hubungan seksual” adalah berbagai cara untuk melakukan hubungan seksual, yang tidak terbatas pada penetrasi penis ke vagina atau ke dalam bagian tubuh yang berfungsi untuk mendapatkan keturunan, namun termasuk memasukkan alat kelamin, anggota tubuh selain alat kelamin atau benda lain ke dalam vagina atau dubur atau mulut, dan/atau menggesek-gesekkan alat kelamin ke bagian tubuh. Keluarnya air mani tidak menjadi syarat dalam aturan pasal ini, namun dapat sebagai penguat terjadinya hubungan seksual.
Yang dimaksud dengan “menguntungkan diri sendiri atau orang lain” adalah termasuk dan tidak terbatas pada mendapatkan keuntungan ekonomi, jabatan, pengaruh dan/atau posisi tertentu.
Yang dimaksud dengan “menggunakan kekuasaan” adalah menggunakan hubungan personal, jabatan, wewenang atau kedudukan yang dimiliki oleh pelaku Kekerasan Seksual.
Yang dimaksud dengan “penyalahgunaan kepercayaan” adalah menggunakan kepercayaan yang diberikan oleh seseorang kepada pelaku Kekerasan Seksual karena ada relasi personal, jabatan, wewenang atau kedudukan.
Persetujuan yang diberikan oleh anak tidak dianggap persetujuan yang sesungguhnya.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “kontrasepsi” adalah cara yang dilakukan untuk mencegah pembuahan atau kehamilan dengan berbagai metode, dengan atau tanpa menggunakan alat bantu. Pemaksaan Kontrasepsi dalam Undang-Undang ini meliputi upaya untuk memasukkan atau melekatkan alat atau benda ke dalam tubuh seseorang atau memaksa penggunaan obat-obatan herbal maupun kimia oleh seseorang tanpa persetujuannya, termasuk metode sterilisasi.
Yang dimaksud dengan “metode sterilisasi” adalah salah satu bentuk dari metode kontrasepsi baik yang dilakukan terhadap seseorang yang dilakukan misalnya pengikatan atau pemotongan saluran indung telur atau sperma atau pengangkatan rahim.
Persetujuan yang diberikan oleh anak tidak dianggap persetujuan yang sesungguhnya.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan “pemaksaan hubungan seksual” adalah upaya memaksakan hubungan seksual tanpa persetujuan Korban atau bertentangan dengan kehendak Korban.
Yang dimaksud dengan “hubungan seksual” adalah berbagai cara untuk melakukan hubungan seksual yang tidak terbatas pada penetrasi penis ke vagina atau ke dalam bagian tubuh yang berfungsi untuk mendapatkan keturunan, namun termasuk memasukkan alat kelamin, anggota tubuh selain alat kelamin atau benda lain ke dalam vagina atau dubur atau mulut, dan atau menggesek-gesekkan alat kelamin ke bagian tubuh. Keluarnya air mani tidak menjadi syarat dalam aturan pasal ini, namun dapat sebagai penguat terjadinya hubungan seksual.
Yang dimaksud dengan “kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan sesungguhnya” adalah orang yang sedang atau dalam keadaan pingsan, sakit, pengaruh hipnotis, obat atau alkohol, atau kondisi mental atau tubuh yang terbatas.
Persetujuan yang diberikan oleh anak tidak dianggap persetujuan yang sesungguhnya.
Pasal 17
Dianggap juga sebagai pemaksaan perkawinan jika:
  1. perkawinan terjadi dengan anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
  2. perkawinan perempuan Korban dengan laki-laki pelaku Kekerasan Seksual;
  3. perkawinan perempuan Korban dengan laki-laki bukan pelaku Kekerasan Seksual sekalipun dengan persetujuannya.
  4. perkawinan belum dilangsungkan namun sudah ada proses persiapan untuk melangsungkan perkawinan tersebut antara lain pertunangan, penyebaran undangan perkawinan, penjadual pernikahan di instansi pencatatan perkawinan, atau pengumuman perkawinan di rumah ibadah.
Pemaksaan perkawinan yang dimaksud termasuk perkawinan yang tercatat dan tidak.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Yang dimaksud dengan “pembatasan ruang gerak” meliputi penyekapan atau penempatan di satu lokasi tertentu yang menyebabkan seseorang tidak dimungkin keluar dari lokasi tersebut karena ada kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap diri, keluarga dan Komunitasnya.
Yang dimaksud dengan “mencabut kebebasan seseorang” adalah upaya kontrol yang nyata kepada seseorang dengan menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap diri, keluarga, atau Komunitasnya sehingga tidak memungkinkan orang tersebut menolak kemauan dan perintah pelaku.
Yang dimaksud dengan “jangka waktu tertentu” adalah Kekerasan Seksual dilakukan secara berulang atau secara berkala yang bersifat rutin.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “hak atas Penanganan” adalah hak yang bertujuan memberikan Pelayanan Terpadu yang multisektor dan terkoordinasi kepada Korban dan mendukung Korban menjalani proses peradilan pidana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “hak atas Perlindungan” adalah hak yang bertujuan memberikan rasa aman dan keamanan bagi Korban, keluarga Korban, dan harta bendanya selama dan setelah proses peradilan pidana Kekerasan Seksual.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “hak atas Pemulihan” adalah hak yang bertujuan untuk memulihkan, menguatkan dan memberdayakan Korban dan keluarga Korban dalam mengambil keputusan terhadap kehidupannya selama dan setelah proses peradilan agar lebih adil, bermartabat dan sejahtera.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Penanganan terhadap Korban merupakan bagian yang tidak terpisah dari proses peradilan yang harus dilakukan sesegera mungkin. Penanganan tersebut dilakukan secara berkelanjutan terhadap Korban dan keluarga Korban sesuai dengan hasil identifikasi terhadap kondisi dan kebutuhan Korban.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan “dokumen hasil Penanganan” yaitu visum et repertum, surat keterangan pemeriksaan psikologis, dan/atau surat keterangan psikiater.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Pemeriksaan medis yang diatur dalam UU ini dapat dilakukan secara berulang, lebih dari satu kali dan atau sesuai kebutuhan Korban. Hal ini dilakukan untuk memastikan ada atau tidak ada dampak lanjutan akibat Kekerasan Seksual dan untuk menentukan perawatan dan tindakan medis berikutnya.
Pemeriksaan medis antara lain:
  1. seluruh organ dan bagian tubuh yang terdampak atau yang berpotensi terkena dampak;
  2. alat dan fungsi reproduksi termasuk kerusakan organ reproduksi dan seksual dan resiko kehamilan yang perlu ditangani atau dihentikan; dan
  3. gangguan kesehatan yang berkepanjangan atau seumur hidup.
Tindakan medis yang dimaksud meliputi dan tidak terbatas pada tindakan:
  1. persalinan;
  2. Pemulihan menstruasi;
  3. pengobatan fisik; dan
  4. pengobatan lainnya sesuai hasil pemeriksaan awal.
Yang dimaksud dengan perawatan medis adalah perawatan terkait kegawat daruratan, inap, jalan atau rujukan.
Huruf f
Hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus Korban antara lain:
  1. penterjemahan bagi Korban yang hanya mengetahui bahasa tertentu;
  2. ahli bahasa isyarat untuk Korban disabilitas rungu dan wicara; dan
  3. Pendamping khusus bagi Korban disabilitas tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud pihak lain adalah yang berkepentingan dengan pelaku. Perlindungan ini bertujuan agar tidak terjadi Kekerasan Seksual berulang oleh pelaku kepada Korban.
Bentuk Perlindungan ini antara lain adalah pelaksanaan proses pemeriksaan seara tertutup. Kehadiran Pendamping psikologis atau Pendamping hukum atau keluarga Korban dalam setiap persidangan dianggap sebagai bagian dari proses sidang tertutup.
Perintah Perlindungan sementara yang dimaksud dalam pasal ini dikeluarkan oleh Kepolisian RI atas permintaan Korban, keluarga Korban dan/atau Pendamping Korban. Kepolisian RI dapat mengeluarkan perintah Perlindungan sementara tanpa permintaan Korban namun atas hasil identifikasi kebutuhan Perlindungan terhadap Korban. Permintaan dapat disampaikan secara lisan dan atau tertulis sejak dalam proses pelaporan, penyelidikan dan atau penyidikan. Permintaan dapat diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum jika kebutuhan atas perintah Perlindungan dibutuhkan atas identifikasi Jaksa yang menangani kasus kekerasan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud kehilangan adalah kehilangan pekerjaan, pendidikan, atau akses politik akibat kasus dan proses hukum yang dijalani Korban;
Yang dimaksud dengan akses politik adalah keterlibatan di organisasi sosial dan/ atau organisasi politik (partai politik), dan posisi atau jabatan di organisasi sosial dan politik.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Perlindungan terhadap Korban sebagaimana diatur di dalam pasal ini dilakukan sejak adanya proses pelaporan, penyidikan, pemeriksaan persidangan, putusan, hingga selesainya pelaksanaan putusan, termasuk dalam hal terpidana telah menjalani pidananya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan Pendampingan hukum meliputi pemberian informasi yang lengkap terkait dengan proses hukum yang akan dijalani oleh Korban, keluarga Korban dan Saksi, termasuk dan tidak terbatas pada penyampaian peluang dan tantangan yang akan dihadapi oleh Korban, rujukan terhadap layanan selain Pendampingan hukum yang dibutuhkan oleh Korban dan Pendampingan Korban dalam setiap tahapan yang dilalui untuk menjalani proses hukum.
Huruf f
Yang dimaksud biaya hidup adalah biaya yang dibutuhkan oleh Korban untuk kehidupannya sehari-hari selama Korban masih dalam penyelesaian kasus hukumnya. Biaya hidup dapat berbentuk uang atau penyediaan fasilitas bagi Korban untuk memperoleh penghasilan yang mencukupi biaya hidup sehari-hari.
Lembaga pengada layanan dan/atau instansi pemerintah dapat mengusahakan agar Korban memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan kondisinya. Pekerjaan yang dimaksud dilakukan sepanjang tidak mengganggu proses Pemulihan Korban dan proses peradilan yang perlu diikuti oleh Korban
Yang dimaksud dengan “biaya lain” meliputi namun tidak terbatas pada biaya makan, minum, fotokopi dokumen atau pengadaaan dokumen lain yang dibutuhkan, penginapan, dan atau materai. Biaya ini diliputi tidak saja untuk Korban tetapi juga meliputi biaya terkait dengan anak dan keluarga Korban seperti biaya pengasuhan anak dan atau anggota keluarga (yang lansia atau berkebutuhan khusus), ketika Korban harus menghadiri proses hukum yang berjalan.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “dokumen kependudukan dan dokumen pendukung” adalah dokumen yang digunakan untuk dapat mengakses hak-hak Korban sebagai warga negara termasuk tetapi tidak terbatas pada Kartu Tanda Penduduk dan akta lahir.
Huruf k
Tujuan dilakukannya penguatan psikologis konseling kepada keluarga dan/atau Komunitas terdekat Korban adalah untuk menggalang dukungan bagi Korban, termasuk membentuk kelompok dukungan untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi Korban.
Huruf l
Yang dimaksud penguatan dukungan masyarakat adalah dukungan dengan tujuan Pemulihan nama baik Korban dan keluarganya.
Pasal 29
Huruf a
Yang dimaksud pemantauan, pemeriksaan dan Penanganan secara berkala dan berkelanjutan adalah untuk memastikan tidak ada dampak kesehatan dan psikologis yang bersifat jangka panjang termasuk indikasi adanya dampak fisik dan psikologis lanjutan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “Ganti Kerugian” adalah penggantian seluruh biaya yang dikeluarkan, kerusakan harta benda, akses dan/atau potensi pendapatan, dan harta benda yang hilang karena terjadinya Kekerasan Seksual.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Penyediaan fasilitas ini termasuk namun tidak terbatas pada penyediaan sarana pengasuhan anak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Korban yang bertujuan mengurangi halangan perempuan dalam upaya melanjutkan pendidikan atau melakukan kegiatan ekonomi di luar rumah.
Huruf h
Yang dimaksud dengan Pendampingan ekonomi antara lain:
  1. Pendampingan perencanaan, permodalan, pelaksanaan, pemasaran, dan pengelolaan produk usaha ekonomi Korban;
  2. Pendampingan untuk masuk ke dunia kerja sesuai dengan minat dan keahlian Korban; dan
  3. bantuan keuangan sampai Korban atau keluarganya memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud anggota keluarga yang bergantung pada Korban adalah anak, anggota keluarga dengan disabilitas dan lanjut usia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan mengidentifikasi kebutuhan Korban adalah identifikasi yang dilakukan pada saat Pendamping atau lembaga pengada layanan menerima laporan kasus kekerasan dan selama proses Pendampingan Korban hingga selesainya proses peradilan pidana.
Huruf g
Pengampuan Ganti Kerugian termasuk mengurus dan menyelesaikan pelaksanaan putusan Ganti Kerugian serta mengatur pelaksanaan pembayaran Ganti Kerugian kepada Korban.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 39
Huruf a
antara lain lembaga yang menyediakan layanan pengaduan, pelaporan dan rujukan ke lembaga pengada layanan lainnya;
Huruf b
antara lain Rumah Sakit, klinik, atau puskesmas.
Huruf c
antara lain lembaga yang menyediakan layanan konseling psikologis, dan/atau psikiatrik;
Huruf d
antara lain lembaga yang menyediakan shelter, penerjemah bahasa isyarat, penerjemah bahasa asing atau bahasa ibu, layanan konseling, Pendampingan rohani, Pendampingan dan pemberdayaan keluarga dan Komunitas, reintegrasi sosial dan pemulangan.
Huruf e
antara lain Organisasi Bantuan Hukum, Organisasi Advokat, dan Paralegal.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “Pendamping lain” adalah Pendamping dalam bidang sosial, kerohanian, atau pemberdayaan ekonomi)
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 41
ayat (1)
Cukup jelas.
ayat (2)
Yang dimaksud dengan kordinasi adalah kordinasi yang wajib dilakukan oleh antara para lembaga pengada layanan, aparat penegak hukum, pemerintah dan pemerintah daerah. Kordinasi dimaksud agar terjadi kerjasama antara suatu lembaga pengada layanan dengan lembaga pengada layanan lainnya yang memiliki layanan yang dibutuhkan Korban. Kordinasi dapat dilakukan dengan membuat kesepakatan bersama antar lembaga pengada layanan. Koordinasi antar lembaga mengacu pada perspektif pemenuhan hak-hak Korban sebagai prinsip utama dan pengikutsertaan peran keluarga dan/atau Komunitas.
ayat (3)
Cukup jelas.
ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan “dokumen” adalah setiap data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang dalam kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna dan sebagainya.
Huruf f
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan sita restitusi adalah penyitaan untuk ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, yang dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tanda permulaan adalah segala jenis luka fisik dan/atau gangguan psikis yang mengindikasikan adanya kekerasan yang patut diduga sebagai Kekerasan Seksual seperti memar, lebam, bengkak, atau ketidakstabilan emosi.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “relasi pelaku dengan Korban” yaitu orang tua atau wali yang sah, orang yang memiliki hubungan keluarga akibat hubungan darah atau perkawinan, dan/atau orang yang memiliki hak untuk mengawasi, mengasuh, dan memelihara Korban.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pelaku yang merupakan pejabat” meliputi pegawai negeri, penyelenggara negara, Pejabat Publik, pejabat daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari Korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari Korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat, Pejabat Publik asing yang mempunyai perjanjian kerja dan bekerja pada instansi pemerintah.
Huruf d
Yang dimaksud “pelaku yang mempunyai ketokohan dan pengaruh di masyarakat” meliputi tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Ayat (1)
Yang dimaksud setiap orang termasuk petugas medis yang melaksanakan atau terlibat dalam pemaksaan kontrasepsi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 102
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan bagian organ reproduksi meliputi pengangkatan indung telur dan pengangkatan rahim.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan kejadian yang menimbulkan aib keluarga dan/atau masyarakat meliputi antara lain perkosaan dan ketertarikan seksual.
Huruf b
Yang dimaksud dengan menyembuhkan penyakit antara lain yang dilakukan berdasarkan mitos yang berkembang di masyarakat.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kegoncangan jiwa yang hebat adalah trauma, depresi, gangguan kejiwaan, atau psikosomatis.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan luka berat pada pasal ini dan pasal selanjutnya yaitu penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut; terus menerus tidak dapat lagi menjalankan jabatan atau pekerjaan; kehilangan fungsi salah satu pancaindra; kudung (rompong, lumpuh, berubah akal pikiran lebih dari empat minggu lamanya) dan atau mengakibatkan gugurnya janin dari kandungan ibu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.

Pasal 151

Cukup jelas.

Pasal 152

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN... NOMOR...