DIKERJAI HARIMAU GAMPO

Letnan hanya mendapati dirinya dalam keadaan terikat tali. “Apa yang terjadi?” teriaknya.

Dengan kemampuannya sebagai pasukan khusus Beni mencoba melepaskan ikatan tangannya. Sangat Sulit, tapi akhirnya ia mampu juga. Ia segera merogoh ransel yang terletak di depannya. Jantungnya berdegup kencang. Jangan-jangan senjata dan amunisi. Ia menyesal mengapa belum juga menemukan tempat untuk menyembunyikan ransel itu.

Baginya amunisi dan senjata bukanlah berharga, namun ada secarik kertas berupa dokumen penting “negara', itulah yang paling berharga.

Kepada anak-anak buahnya sudah dipesankan, jika keadaan memburuk dalam pertempuran maka ranselnya itu harus dibakar agar rahasia penting itu tidak diketahui musuh, Ia tahu tujuan perjuangannya berada dalam tas itu. Ia cepat merogoh ransel itu. Segera diperiksa isinya. Lengkap. Pistol masih ada. Peluru masih ada. Dokumen Juga masih ada, Aman.

“Siapa mereka? Begitu cepat dan hebat?"

Ia segera sadar dan teringat empat orang anak buahnya. Kemudian dengan cepat ia bergerak ke balik semak-semak. Dari jauh terdengar aaman harimau. Ia pun mengambil posisi dengan cepat. Bertemu harimau di tengah hutan belantara adalah hal yang biasa baginya.

Di depan, di dekat sungai, samar-samar terlihat empat orang anak buahnya yang tergolek lemas dalam keadaan tangan yang terikat. Harimau itu semakin mendekat kea rah mereka. Segera ia mengarahkan cahaya senter ke arah mereka.

“Letnan Tolong,” teriak mereka.

Harimau itu semakin mendekat. Ekornya bergerak-gerak. Badannya terlihat kokoh dan bagus. Kemudian ia semakin mendekat. Mukanya menyeringai menakutkan.

Pelan-pelan Beni mencabut pistolnya. Tapi ia tidak yakin dengan kondisi seperti itu apakah ia akan mampu menembak mati. Jika tidak tepat di kepala, maka itu akan menyebabkan keempat anak buahnya mati sia-sia.

Beni belum bisa mengambil keputusan. la hanya mencari peluang agar tembakannya tidak meleset. Namun harimau itu dengan cepat menyambar. Beni terlambat. Kemudian hening. Senyap.

Beni merasa bersalah. Ia menyesal tidak menembak harimau itu. Kini keempat anak buahnya dibantai dengan sadis di depan matanya sendiri. Ia menangis. Baru kali ini ia menangis. Padahal ia adalah pejuang yang begitu hebat. Tangguh. Namun ternyata kini ia menangis. Ia merasa bertanggungjawab terhadap mereka.

“Maafkan saya.”

Kemudian ta mencabut belati dari gagangnya, berdiri dan ingin mengejar ke arah harimau itu lari.

Tapi tangkahnya tertahan. Empat orang anak buahnya ternyata masih bergerak.

“Komandan. Letnan,” teriak mereka.

Sekelebat bayangan terlihat begitu jelas. Beni mekihat dengan jelas wajah lelaki itu, bersih dan putih. Orangnya juga tinggi. Lelaki itu cepat menghilang di balik liarya semak-semak. Lelaki itu juga memandangnya. Pandangan hampa tanpa senyum. Kemudian menghilang.

“Siapa telaki itu? Kenapa dia menolong kami? Apa yang dilakukannya di tengah hutan ini? Atau jangan-jangan dia yang membuat kami seperti ini?” batinnya.

Letnan terus menggumam dalam hatinya. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Kemudian keempat anak buahnya dilepas dari ikatan itu.

“Let... apa yang terjadi?”

“Saya juga tidak tahu. Siapa yang melakukan semua ini?”

“Entahlah.”

ia seperti dipermainkan. Ada orang yang melumpuhkan dia bersama keempat anak buahnya, kemudian ada orang yang menolong dari terkaman harimau.

“Ada apa semua ini?” teriaknya.

Anak buahnya tidak ada yang berani bertanya. Mereka masih shock.

Beni kembali mencoba berpikir, tapi otaknya tidak bisa bekerja. “Siapa orang-orang itu? Kalau mereka berniat jahat tentu semuanya sudah celaka atau kalau tidak akan ada barang-barang yang hilang. Namun kenyataannya, tidak satupun barang yang hilang. Bahkan dokumen yang Sangat berharga sekalipun masih utuh.”

“Siapa mereka?”

“Entahlah Let. saya juga tidak tahu. Kejadiannya begitu cepat.”

Bagi Beni perkenalannya dengan telaki muda itu menghadirkan perasaan tersendiri. Untuk pertama kalinya ia melihat orang dengan kehebatan luar biasa seperti itu. Berkelahi dan menghabisi harimau dalam waktu yang cepat.

"Sungguh hebat. Tapi siapa lelaki itu?”

Selama ini ia hanya sekadar mendengar cerita-cerita tentang orang yang berkelahi dengan harimau dari anak-anak buahnya. Tapi apa yang ia saksikan semalam ternyata benar-benar terjadi dan bukan bualan semata.

Ia tertarik dengan lelaki itu. Ia ingin mencarinya. Mencmukannya dan kapan perlu merekrutnya untuk masuk dalam “rantai”,

*

Sementara itu di tempat lain, Johan dan teman-lemannya masih bertanya-tanya tentang kejadian tadi malam,

“Siapa mereka? Dari pasukan mana?” kata Johan.

“Entahlah?” jawab Kamil.

“Kalau tentara pusat bagaimana?”

“Entahlah. Kita harus terus bergerak sebelum mereka mengejar kita,” Sebenarnya Johan dan kawan-kawan juga tidak ingin bentrok dengan pasukan itu tadi malam. Namun salah seorang dari mereka menodongkan pistol di kepala Imron yang sedang berjaga. Untung saja Zakir datang.

Dengan sekali tendangan orang itu jatuh. Kejadian itu dilihat Ali. Dengan cepat mereka melumpuhkan tiga orang lainnya.

Sementara Johan juga melihat gelagat tidak beres waktu itu. Dengan mengambil jalan melingkar ke belakang pondok dia melihat seorang berbadan tegap dengan pistol di tangan.

Johan bergerak dengan cepat. Hanya sekejap dengan sebuah sepakan lelaki berbadan tegap itu rubuh.

Kemudian Mercka terus bergerak menelusuri pekatnya hutan. Di dalam hutan itu mereka menemukan bekas jcjak orang yang lalu lalang, Ada sisa-sisa makanan. Tak lama kemudian terlihat sebuah pondok.

“Apakah kita sudah sampai di Talang Babungo?” kata Ali.

“Belum. Masih sekitar dua jam perjalanan lagi,” kata yang lain.

Kemudian mereka mendekat. Di pondok itu mereka hanya mendapati seorang ibu-ibu. Dengan cepat ibu itu mengeluarkan bungkusan dari dalam rumahnya.

“Kalian pasti lapar. Ini ambillah,” katanya,

Mereka saling berpandangan mendengar kata ibu tadi. “Makantah. Kalian pasti lapar.”

Johan memandang ke arah teman-temannya. Perut mereka memang sedang lapar.

“Duduk saja. Tidak usah sungkan. Di sini sudah biasa, pasukan-pasukan rimba seperti kalian pasti lapar. Siapa lagi yang akan memasakkan nasi kalau bukan rakyat." Johan memberi isyarat kepada teman-temannya untuk tidak makan. Kasihan si ibu itu. Barangkali saja dia tidak punya makanan yang banyak. Barangkali ia hanya terpaksa dan takut. Atau barangkali ada racun di dalam makanan itu. Berbagai perasaan dan pikiran muncul,

Johan memberi perintah kepada Zakir untuk mencari binatang hutan yang bisa dimakan, Sekejap Zakir menghilang di belakang pondok dan kembali dengan seekor ayam hutan, Itutah kepiawaian Zakir. Ia bisa mengendus dengan cepat. Matanya tajam di malam hari.

Ayam hutan yang lumayan besar itu mereka sembelih dan panggang di belakang pondok itu. Sang ibu hanya tertawa melihat ulah tentara-tentara muda itu. Tidak beberapa lama di kejauhan terlihat sekelompok orang datang dengan lampu suluh bambu di tangan mereka. Johan memberi isyarat pada kawan-kawannya untuk siaga. Namun si ibu dengan cepat mengetengahi.

“Itu juga pasukan rimba. Apa kalian tidak saling kenal?”

“Ya. Kami baru lihat,” kata Johan singkat.

Lima orang yang lewat dengan memanggul senjata itu mengangkat tangannya memberi salam. Johan pun mengangkat tangannya.

“Mampir dulu. Ada ayam bakar enak,” kata Kamil berbasa-basi.

“Teruslah. Kami harus ke Aie Dingin. Akan ada penghadangan pasukan musuh di sana,” kata seorang diantara mereka.

“Aic Dingin?”

“Ya. Mengapa kaltan tidak tahu? Kemana saja kalian? Sekitar setengah jam kemudian datang lagi beberapa orang pejuang. Mereka pun mengatakan hal yang sama. Mendengar hal itu, mereka pun berembuk.

“Kalau begitu sebaiknya kita kembali,” kata Johan

“Ya...” jawab yang lain serempak.

Mereka bergegas mengikuti rombongan tadi.

★★★