BAB II

P R A  S E J A R A H

A. ASAL USUL PENGHUNI YANG PERTAMA.

Asal usul penghuni yang pertama di Daerah Bengkulu, belum dapat ditentukan dengan pasti. Hal ini disebabkan belum adanya penyelidikan secara mendalam dan sumber-sumber lain yang benar-benar dapat kita harapkan belum pula diketemukan.

Namun, dengan memperhatikan letak geografis bumi Indonesia yang terletak di antara benua-benua dan di tengah-tengah dunia, serta hasil-hasil dari penelitian dan penggalian yang telah dilaksanakan di Indonesia, tentulah dapat membantu dan memberi petunjuk tentang kejadian dan hubungan sejarah Bengkulu pada jaman pra Sejarah.

Dalam penggalian dan penyelidikan yang dilakukan oleh ahli pra sejarah di jaman lampau, telah membuktikan kepada kita banyaknya fosil-fosil dan artefak yang terpendam di dalam bumi sepanjang jalur daerah Cina Selatan, Indonesia, Malaka, Sumatera dan Pulau Jawa.
Begitu juga pada jalur daerah Cina, kepulauan Formusa, Philipina, Sulawesi, Irian dan sekitarnya. Jalur-jalur ini menggambarkan arus perkembangan perpindahan manusia dan kebudayaan, yang mungkin sekali kebudayaannya, terutama di daerah Asia Tenggara.

Kalau di pulau Jawa telah diketemukan bagian kerangka jenis manusia pertama, misalnya temuan atas Pithecanthropus Erectus tahun 1960 oleh E. Dubois di dekat Trinil, lembah Bengawan Solo, dan antara tahun 1936-1941, juga di lembah Bengawan Solo diketemukan "Homo Mojokertonsis dan "Meganthropus Paleojavanicus, begitu pun antara tahun 1931-1934 ditemukan "Homo Soloensis oleh Von Koeningswald, maka ada juga kemungkinan di pulau Sumatera khususnya di daerah Bengkulu pernah dihuni oleh jenis-jenis manusia yang sejaman dengannya atau pun yang lebih tua dari jenis-jenis manusia yang sudah diketemukan dan diselidiki di pulau Jawa itu.

Pada jaman Mosolitiekum, pada "bekas tempat tinggal mereka yang terdiri dari bukit karang (Kjokkenmoddinger) dan gua-gua banyak ditemukan sisa-sisa kebudayaan dan fosil-fosil manusia dan binatang. Kjokken moddinger berasal dari Bahasa Denmark, (Kjokken = dapur; moddinger = sampah) yang artinya sampah-sampah dapur yang terdapat di sepanjang pantai Sumatera Timur Laut di antara Bangka dan Medan; mungkin semua dari sisa-sisa makanan yang dipungutnya dari Laut selama bertahun-tahun, sehingga menjadi sebuah bukit karang yang membantu. Bekas ini telah menunjukkan sudah adanya manusia yang hidup menetap. Kecuali hasil-hasil kebudayaan dari kjokken moddinger itu diketemukan juga bekas-bekas manusia seperti tulang belulang, gigi dan pecahan-pecahan tengkorak. Dari sebuah penyelidikan yang teliti memberikan kesimpulan bahwa manusia Mosolitikum itu termasuk dalam golongan bangsa Papua Melanesoide, yaitu nenek moyang suku bangsa Irian dan Melanesia. Dengan kesimpulan ini, apakah dapat pula kita katakan bahwa jenis manusia itulah yang tertua penghuni dunia pertama di pulau Sumatera atau nenek moyangnya penduduk Sumatera sekarang, semuanya ini masih merupakan teka-teki dan gelap.

Barulah pada jaman neolitikum kita menemukan bukti-bukti yang telah diselidiki oleh ahli ahli pra sejarah yang terkenal tentang asal-usul nenek moyang bangsa Indonesia. Von Heine Gelderm telah mengadakan penyelidikan tentang kapak persegi. Berdasarkan penemuan dan persebaran kapak persegi itu, beliau berpendapat bahwa pangkal kebudayaan kapak persegi itu terletak di hulu-hulu sungai besar Asia Tenggara, dari daerah Yunan, Cina Selatan kebudayaan itu tersebar menghilir lembah-lembah sungai tersebut akhirnya sampai berpusat di daerah Tonkin. Proses ini tidaklah terjadi sekonyong-konyong. Di daerah ini para pendukung kebudayaan itu menetap, mengerjakan pertanian dan peternakan. Mereka berkenalan pula dengan laut, maka timbullah kepandaian membuat perahu. Dengan perahu bercadik mereka mengarungi lautan, dan orang-orang Neolitikum itu bersebaran bersama kebudayaan (kapak persegi) ke semenanjung Malaka, Sumatera, Jawa Bali dan terus ke Timur.

Adapun pendukung kapak persegi itu ialah bangsa Austronesia. Bangsa Austronesia yang nantinya menurunkan langsung ke bangsa Indonesia. Bangsa ini mendatangi kepulauan kita kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi. Kapak persegi ini di Indonesia terutama sekali didapatkan di Sumatera, Jawa dan Bali. Kapak ini banyak terbuat dari bahan batu api dan chaleodom. Pembuatan kapak-kapak dari batu api terpusat di beberapa "pabrik". Pabrik kapak persegi itu antara lain ditemukan didekat Lahat (Sumatera Selatan), Bogor, Sukabumi, Karawang dan Tasimalaya. Prof. Dr. H. Kern beberapa tahun sebelumnya (tahun : 1889) telah mengadakan penyedikan berdasarkan atas perbandingan bahasa.

Di dalam bahasa-bahasa Austronesia yang sekarang bersebaran, terutama di seluruh Asia Tenggara banyak mempunyai kesamaan pada nama dan kata-kata. Berdasarkan ini pula dapat dicari kembali di mana daerah asal bahasa itu. Penyelidikan yang seksama ini menghasilkan kesimpulan tentang satu induk bahasa, yaitu bahasa Austronesia. Kecocokan pendapat kedua orang ahli ini, didukung pula akan kesamaan penghidupan nenek moyang bangsa Indonesia; bersawah, berternak, bermasyarakat. bertempat tinggal tetap dan berperahu bercadik. Sisa-sisa kehidupan tersebut di atas hingga sekarang dapat pula kita saksikan pada kelompok-kelompok masyarakat di Sumatera umumnya dan di daerah Bengkulu pada khususnya. Begitu pun mengenai tipologi bentuk manusia yang hidup di pulau itu, dan yang telah melalui proses beberapa keturunan hingga sekarang masih menunjukkan persamaan-persamaan, misalnya mengenai warna kulit, raut muka dan sebagainya.

Di daerah Sumatera bagian Selatan, termasuk daerah Bengkulu banyak ditemui hasil kebudayaan-kebudayaan batu besar atau megolitikum. Sebagai sisa-sisa kebudayaan batu besar itu dapat berbentuk dolmen, menhir, kuburan atau pun batu berundak. Jenis-jenis dari kebudayaan batu besar itu masih dapat kita saksikan di daerah Kabupaten Rejang Lebong, dan Kabupaten Bengkulu Selatan. Begitu pun kebiasaan hidup sebagai penangkap ikan, nelayan yang menggunakan perahu bercadik masih banyak kita lihat di sepanjang pantai daerah Bengkulu. Juga kebiasaan hidup sebagai petani dengan alat-alat tradisionalnya hingga sekarang masih dapat kita saksikan di daerah pedalaman.

Dengan gambaran seperti ini dapat kita katakan, bahwa asal usul penghuni yang pertama datang ke daerah Bengkulu pun adalah bangsa Austronesia yang kampung asalnya mungkin sekali di daerah Cina Selatan. Bangsa Austronesia sampai ke Nusantara menemui tanah tempat tinggal yang terpisah-pisah karena alamnya yang terdiri dari pulau-pulau, hutan dan gunung yang sukar ditembus, sehingga melahirkan suku-suku bangsa baru.

Suku-suku bangsa yang mendiami daerah Bengkulu adalah suku bangsa Melayu dan di daerah pedalaman lebih dikenal dengan nama Suku Rejang, Suku Lembak dan Suku Serawai. Ketiga suku bangsa ini merupakan penduduk asli daerah Bengkulu.

I. PENYELENGGARAAN HIDUP.

1. Pemenuhan keperluan hidup primer.

Dengan diketemukan fosil-fosil kerangka manusia dalam bentuk yang sangat sederhana , yakni dalam bentuk Homo Sapiens maka mulai pulalah perkembangan jasmani dan rohani manusia itu dalam mengolah alam sekitar atau mulailah ia membudayakan lingkungan hidup alam sekitarnya. Ia menggunakan akalnya dan dengan akalnya pula ia dapat memikirkan dan mencari benda dan alat yang berguna untuk kebutuhan hidupnya yang primer, terutama untuk mempertahankan hidupnya lebih lama.

Dikumpulkannya benda dan alat-alat yang ada di sekitar : batu, kayu, tulang dan dengan aat-alat itu pula ia mulai memburu binatang-binatang yang dapat dimakan, menangkap ikan, mengumpulkan bahan makanan seperti keladi, ubi, buah-buahan dan lain-lain. Mereka tidak menetap hidup di suatu tempat, tetapi berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, yang lebih baik keadaannya, jadi ia memulai hidupnya dengan pengembaraan dan mengumpulkan bahan kebutuhan hidupnya dari alam sekitar atau hidup sebagai manusia pengumpul (Food gathering). Kebiasaan hidup demikian sudah dimulai sejak jaman palaeolitikum.

Pada jaman mesolitikum kehidupan sebagai pengembara peralahan-lahan sudah mulai ditinggalkan. Di sana sini manusia sudah mulai hidup menetap, berladang, bercocok tanam bahkan mungkin sudah mulai pula berternak secara sederhana. Dan pada jaman neolitikum terjadi perubahan besar pada cara hidup manusia. Bukan saja perubahan hidup mengembara kepada hidup yang menetap di suatu tempat tetapi juga dari hidup sebagai manusia pengumpul berubah menjadi manusia yang menciptakan hasil atau dari "food gathering" kepada "food producing".
Pada jaman neolitikum ini mereka pun sudah bertempat tinggal dalam gua-gua di lereng bukit, di bawah pohon besar dan sebagainya. Selanjutnya mereka sudah pandai membuat rumah dalam bentuk pondok atau anjungan bertiang tinggi, beratap daun, yang seluruh bahan rumah-rumahnya didapati dari alam sekitarnya. Ia sudah mulai memelihara ternak, seperti anjing, babi dan ayam, untuk keperluan konsumsi dan dipakai sebagai binatang kurban. Pekerjaannya jauh lebih halus dan teliti daripada jaman-jaman sebelumnya. Perkakas-perkakas dari batu diasah, diupam dan digosoknya hingga licin dan mengkilap baik dalam bentuk kapak bulat, pahat segi panjang, maupun pada kapak persegi. Bahkan sudah ada pada jaman neolitikum itu ukiran dan unsur kesenian yang sederhana, seperti terdapat didaerah Sumatera bagian Selatan. Selanjutnya mereka sudah mengenai tembikar, cara membuat periuk, belanga dari bahan tanah liat. Pada jaman itu sudah ada pula susunan masyarakat yang agak teratur, misalnya spesialisasi pekerjaan antara laki-laki dan wanita, peraturan-peraturan yang berupa adat istiadat, kepercayaan kepada suatu Yang Maha Kuasa.

Berdasarkan penelitian terhadap penemuan barang-barang logam (perunggu), seperti jenis nekara di Sumatera, kapal corong di Sumatera Selatan, bejana perunggu dari danau Kerinci, manik-manik dan area perunggu dari Bangkinang, Sumatera Tengah, yang semuanya di daerah Propinsi Bengkulu, maka kita dapat mengatakan bahwa di jaman logam itu, tingkat kecerdasan dan ketrampilan manusia dalam memerlukan kebutuhan hidupnya yang primer sudah jauh lebih meningkat, bahkan masyarakatnya sudah mengenal semacam alat penukar dan nilai estetika dalam masyarakat.

Pada jaman megalitikum, masyarakat dalam penyelenggaraan hidupnya membuat benda-benda alat upacara, tempat berkorban, tempat pemujaan dari bahan-bahan batu besar, misalnya menhir, dolmen, batu berundak, meja batu dan lain-lain. Sisa-sisa kebudayaan megalitikum ini banyak kita temui di daerah Pasemah (daerah perbatasan Wilayah Palembang dan Propinsi Bengkulu) daerah Kabupaten Rejang Lebong dan di daerah Kabupaten Bengkulu Selatan. 2. Perlindungan terhadap alam.

Kira-kira 2000 SM datanglah golongan bangsa baru ke Nusantara ini. Turunan bangsa Austronesia ini sudah memiliki kebudayaan yang tinggi. Mereka sudah hidup menetap, mempunyai susunan masyarakat yang teratur, sudah mengenal cara bertani dan sudah memelihara binatang-binatang jinak, seperti anjing, babi, ayam dan lain-lain yang digunakannya untuk konsumsi dan sebagai binatang korban, juga mereka sudah mampu mengarungi lautan dengan menggunakan perahu bercadik. Mereka sudah memiliki pengetahuan tentang ilmu bintang. Mata pencahariannya yang pokok adalah menangkap ikan dan bertani, di samping itu mereka sudah pandai membuat periuk dan belanga serta sudah mengenal nilai-nilai kesenian. Nilai dan unsur kesenian ini dapat kita lihat dari hasil pekerjaannya, baik daripada periuk belanga maupun terhadap benda-benda yang berasal dari batu dan logam.

Kebudayaan neolitikum ini disebarkannya ke seluruh Nusantara termasuk daerah Bengkulu dan kemudian kebudayaannya ini ditingkatkannya lagi terutama pada jaman logam, perunggu dan jaman megalitikum. Keseluruhan kebudayaan Indonesia purba inilah nanti menjadi dasar kebudayaan Indonesia. Sekali pun mereka datang ke Nusantara ini sudah berkebudayaan neolitikum, namun sisa kebudayaan mosolitikum masih hidup jua di sana sini. Perubahan tingkat kebudayaan tersebut tidak terjadi secara sekonyong-konyong tetapi perlahan dan dalam waktu yang cukup lama.

Pada jaman itu mereka sudah hidup menetap dan sudah memiliki tempat pemukiman, perumahan sebagai tempat perlindungan terhadap alam.

Untuk mempertahankan dan melanjutkan kehidupannya terhadap serangan dan tantangan alam, maka dengan segala daya upaya dicarilah tempat tinggalnya sedemikian rupa, seperti : di lereng bukit, di bawah pohon pohon besar dan di gua-gua yang tidak jauh dari pantai ,sungai, medan penghidupannya. Hal seperti ini dapat kita buktikan dengan hasil penemuan dan penggalian di daerah Langsa dan Medan di Sumatera Timur. Pada daerah galian tersebut ditemukan tumpukan-tumpukan bekas makanan manusia dari binatang kerang, dan dari daerah galian bukit kerang (Kjokken möddinger) ditemukan. Kapak genggam dan batu penggilingan bahkan juga bekas-bekas manusia seperti tulang belulang dan pecahan tengkorak dan gigi. Lukisan ini yang menunjukkan kepada kita, bahwa di tempat tersebut dan semacamnya, merupakan bekas tempat tinggal manusia pada jaman mesolitikum. Tempat permukiman yang lain akan dapat pula kita cari di dalam gua-gua yang berupa ceruk-ceruk di dalam batu karang, (rock shelter) ataupun semacam lobang-lobang perlindungan di bawah pohon-pohon besar dan di lereng bukit-bukit.

Di tempat ini mereka rupanya dapat melindungi dari terhadap alam, misalnya hujan dan panas. Penyelidikan pertama terhadap gua-gua dilakukan oleh Van Stein Callenfels di gua rawa dekat Sampung daerah Ponorogo (Jawa Timur) tahun 1928 - 1931. Di dalam gua itu ditemukannya alat-alat seperti ujung panah, flakes, batu penggilingan, kapak neolitikum, alat-alat dari tulang dan tanduk bahkan juga alat-alat dari perunggu dan besi. Rupanya ceruk-ceruk ini lama sekali menjadi tempat tinggal manusia.

Daerah Bengkulu juga merupakan daerah jalan lintas perkembangan dan perpindahan bangsa-bangsa yang keadaan alamnya tidak banyak berbeda dengan daerah-daerah tersebut di atas, maka besar juga kemungkinannya baik keturunan bangsa Austronesia atau bangsa Plaeo-Mongoloide yag datang ke daerah itu, mula-mula mencari dan membuat tempat permukiman di lereng-lereng bukit, di bawah-bawah pohon besar atau pun di dalam gua-gua.

Dari bekas-bekas peninggalan yang terdapat di bukit kerang daerah Sumatera Timur itu, menunjukkan bahwa sudah ada usaha penduduk untuk membangun rumah-rumah. Dan keadaan seperti itu masih dapat kita lihat pada kebiasaan masyarakat di daerah pedalaman, di desa-desa dan daerah pesisir Sumatera umumnya dan di daerah Bengkulu khususnya. Mereka membuat rumah yang bertiang tinggi (rumah panggung) dari bahan ramuan alam sekitar sebagai usaha untuk melindungi diri dari serangan binatang buas, banjir dan lain-lain. Mereka hidup dalam masyarakat secara berkelompok kelompok. Perkampungan atau perdukuhan mereka serta paralatan yang digunakannya masih sederhana sekali. 3. P e r p i n d a h a n

Di halaman muka telah kita singgung bahwa berdasarkan penyelidikan para ahli tentang pe=nemuan dan penyebaran kapak persegi dan penelitian bahasa yang tersebar terutama di daerah Asia dan Nusantara, menunjukkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah bangsa Austronesia yang kampung asalnya diperkirakan di daerah Cina bagian Selatan. Mereka hidup lama mengembara dari suatu tempat ke tempat lain itu memakan waktu yang lama pula. Ada pun sebab-sebab kepindahan mereka bukan saja ingin mencari daerah yang lebih subur dan yang lebih aman, tetapi diperkirakan juga didesak oleh golongan bangsa lain dari sebelah Utaranya, yang juga ingin mencari daerah yang lebih baik.

Gelombang perpindahan bangsa-bangsa Austronesia itu tampaknya ditentukan pula oleh keadaan iklim, cuaca dan hubungan Asia dengan kepulauan Indonesia pada jaman glasial dan intergalasial. Setiap waktu ia menghadapi tantangan-tantangan alam yang berat, setiap waktu itu pula ia harus memberi jawaban untuk menanggulanginya. Tentu saja resiko yang dialami tidak sedikit, hal ini dapat dimengerti karena golongan bangsa itu maskh hidup sederhana dan alat-alat perlengkapan hidupnya pun masih sangat minim.

Dalam rangka perjalanan perpindahan mereka, pada suatu waktu bertemulah ia dengan laut dan sungai. Saat itu pula ia mulai berpikir dan berdaya upaya untuk dapat menyeberangi sungai dan mengarungi lautan, sehingga didapatinyalah cara membuat perahu. Pohon-pohon besar ditebang dan dilubangi bagian tengahnya, sehingga menjadi sebuah sampan. Untuk keseimbangan sampan-sampan itu lalu dibuatnya pula cadik-cadik. Sejak itu pula terkenal : P e r a h u - b e r c a d i k dengan menggunakan perahu bercadik itu mereka berlayar mengharungi samudera hingga sampai pula ke tanah air kita. Bersamaan dengan kepindahan penduduk tersebut dibawanya serta kebudayaan leluhur, lalu kemudian disebarkannya di daerah Nusantara.

Kira-kira 1000 S.M datang pula bangsa baru dari Ras Palaeo-Mongoloide ke tanah air kita ini. Mereka bersebaran ke pulau-pulau yang melingkar di sepanjang garis khatulistiwa. Rombongan bangsa yang datang pada gelombang pertama disebut : Proto Melayu. Mula-Mula golongan bangsa ini hidup di pinggir-pinggir pantai, atau didaerah pesisir. Kemudian datang pula gelombang kedua yang disebut : Deutro Melayu. Golongan bangsa Melayu yang datang pertama terdesak ke pedalaman, mereka hidup sebagai petani. Golongan bangsa Melayu yang datang kemudian hidup di pesisir di sepanjang pantai. Mereka hidup sebagai nelayan dan mungkin sekali berniaga.

Apakah sebelum kedatangan bangsa ini, kepulauan Indonesia sudah dihuni oleh golongan bangsa lain. Tentulah mungkin sekali, tetapi pemilik kepada bentuk tubuh, warna kulit, peradaban dan kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada di daerah Bengkulu, dapatlah kita katakan induk golongan bangsa yang ada di daerah Bengkulu adalah bangsa Melayu.


C. ORGANISASI MASYARAKAT.

Untuk memudahkan hidup akan kebutuhan makanan, melanjutkan keturunan, mempertahankan diri terhadap serangan dan bencana alam, yang didorong pula oleh naluri dari dalam, maka satuan-satuan manusia itu berkumpul dalam kelompok yang lebih besar, yakni dalam suatu organisasi masyarakat.

1. Pengaturan masyarakat.

Pertemuan antara masing-masing manusia individu ke dalam suatu wadah, bentuk, kelompok masyarakat, tidaklah selalu mengalami suatu kerukunan malahan sering terjadi pertentangan satu sama lain yang dapat menimbulkan gejala dan gejolak sosial dan mungkin sekali terjadi suatu bentrokan, disentegrasi sosial dan kehancuran masyarakat situ sendiri. Sebab-sebab kehancuran nilai-nilai dan norma dalam masyarakat itu dapat kita cari dari dalam ataupun dari luar masyarakat tersebut.

Agar tidak terjadi sesuatu bentrokan didalam masyarakat waktu dalam keluarga sekali pun, maka perlu adanya suatu tata tertib masyarakat. Tata tertib masyarakat itu dapat berbentuk norma-norma, peraturan dan adat istiadat. Tata tertib ini lahir dari masyarakat dan untuk keperluan masyarakat. Tentu saja sekali pendukung-pendukung norma-norma dan tata tertib masyarakat serta kaidah-kaidah sosial itu masih banyak dan kuat maka kepatuhan dan kelestarian dari peraturan-peraturan dalam masyarakat tersebut dapat berdiri dengan kukuh.
Tata tertib ini bukan saja mempunyai sangsi sangsi terhadap pelanggarannya tapi juga merupakan pengaturan masyarakat sehingga tuhan dan tujuan hidup masyarakat dapat tercapai dan dapat dinikmati secara wajar dan merata.

Bentuk bentuk kelompok masyarakat ini, sudah kita kenali sejak jaman pra sejarah. Manusia tak dapat dipisahkan dengan kebudayaan-kebudayaan sejak adanya manusia. Ia dapat mengubah alam natur menjadi alam kultur, ia dapat menciptakan pemberian alam itu sesuai dengan kebutuhannya. Hasil ciptaan budi daya manusia itu disebut kebudayaan.

Sejak hadirnya manusia di muka bumi sekali pun hidup mereka berpindah-pindah sebagai "Food gathering" maka pada hakekatnya bentuk masyarakat itu sudah ada. Lebih-lebih lagi kehidupan manusia itu sudah menetap.
Bentuk masyarakat itu sudah diatur oleh suatu pengaturan masyarakat.
Pengaturan masyarakat itu erat sekali hubungannya dengan tujuan dari suatu masyarakat. Masyarakat purba pada jaman pra sejarah tampaknya sudah dapat mengatur kerja sama dan kehidupan bersama.

Ikatan kerja sama ini dapat kita buktikan dari segala usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Hasil pembuatannya berupa kapak batu, pecahan flake, benda dari perunggu yang indah, kebudayaan Megalitikum, usaha pertanian dan cara mengarungi samudera, yang merupakan tantangan alam yang cukup berat, tidak mungkin dapat dikerjakan secara perseorangan, dan tentu saja dilandasi oleh rasa kesepakatan dan pertimbangan lain sebagai motif dan dorongan ikat kerja sama. Begitu pun bentuk kehidupan bersama dapat kita duga, sudah diatur dengan suatu pengaturan yang sederhana. Seperti kehidupan di dalam gua-gua, perkampungan dan pendukuhan. Norma-norma yang merupakan kaedah sosial dipatuhi secara turun temurun, perbuatan di luar dari kebiasaan yang ada merupakan suatu keganjilan, tabu dan larangan,yang mungkin sekali mendapat ganjaran. Peraturan ini dipelihara dari generasi kegenerasi dan merupakan suatu adat istiadat yang tak lekang kena panas dan tak lapuk karena hujan.

2. K e p e m i m p i n a n.

Dalam menghadapi tantangan alam yang berat dan sukar teratasi oleh manusia purba yang keadaannya masih serba sederhana, maka pembinaan masyarakat itu perlu bersifat keras dan penuh tanggung jawab. Fungsi dan sifat kepemimpinan amat menentukan sekali. Melihat pada keadaan alam dan gejala masyarakat pada jaman pra sejarah itu mungkin sekali tipe pemimpin yang dituruti adalah pemimpin yang kebapaan (Paternalistis).

Seseorang anggota masyarakat, baru dapat menjadi pemimpin apabila telah memenuhi syarat syarat seperti : berfisik kuat, memiliki kekuatan batin, menguasai adat istiadat atau norma dan kaidah sosial yang berlaku, serta didukung oleh segenap masyarakat, Hal ini dapat pula kita duga bahwa tidak mungkin segelengan atau sesekelompok masyarakat dapat membuka hutan belukar, mengarungi samudera luas melaksanakan suatu upacara agama adanya ikatan kerja sama dibawah pimpinan seorang kepala adat atau Kepala suku.

Kesaktian dan kepemimpinan se-seorang kepala suku itu, maka fungsinya dapat menjadi naik dan semakin dikagumi bahkan karena fungsi dan keberhasilannya dalam melaksanakan tugas sebagai pemimpin maka dapat pula menaikkan derajat, martabat keluarganya, serta dapat menjadi leluhur yang dipuja-punja setelah ia meninggal dunia. Seorang pemimpin pada masyarakat purba mempunyai fungsi rangkap, yakni ia adalah seorang kepala adat, dan seorang dukun.


1. KEHIDUPAN SENI BUDAYA.

Sebagaimana kita ketahui bahwa kehidupan manusia erat sekali hubungannya dengan kebudayaan. Kehidupan manusia tak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Kebudayaan baru ada setelah adanya manusia dengan akal dan daya upaya manusia mengusahakan dan menciptakan sesuatu. Maka timbullah kebudayaan, semakin tinggi taraf hidup dan tingkat berpikir manusia itu, maka semakin tinggi pula nilai-nilai kebudayaan yang diciptakannya.
Diantara kebudayaan yang diciptakan itu bernilai dan mengandung unsur pendidikan dan kesenian.

1. P e n d i d i k a n

Manusia pra sejarah atau manusia purba terutama mendapat pendidikan dari alam. Alam mendidik dan mengajar mereka untuk berbuat demikian, sehingga terhindar dari segala kemungkinan bencana dan kesulitan hidup. Setiap tantangan alam dijawabnya dengan usaha penanggulangan. Dicarinya batu, kayu, tulang dan tanduk, dan apa saja yang dia dapati dari alam sekitarnya, lalu digunakannya sebagai alat penyambung tangannya untuk mendapatkan kebutuhan hidup terutama kebutuhan akan makanan. Dicarinya tempat-tempat berteduh dari serangan hujan dan badai, seperti di dalam gua-gua, di bawah bawah pohon besar di kaki-kaki bukit. Sehingga ia dapat menahan hidupnya lebih lama. Dipungutnya barang-barang ramuan keperluan hidup yang tumbuh di alam sekitarnya, dibuatnya perahu penyeberang, dibangunnya pondok dan anjung sebagai tempat kediamannya, dicobanya menempa logam dan lain sebagainya. Kesemuanya ini adalah usaha pendidikan yang diterimanya sebagai akibat dari hidangan alam.

Sekalipun demikian usaha pendidikan yang dilakukan oleh anggota dan pemimpin-pemimpin masyarakat tak dapat dilupakan. Seorang kepala suku, kepala adat, atau pun seorang dukun, dalam melaksanakan tugasnya, juga memberikan pendidikan. Pendidikan yang diberikan itu dapat bersifat pengarahan, pembinaan dan contoh tauladan.

2. K e s e n i a n.

Sejak jaman Mesolitikum nampaknya sudah ada usaha dari manusia meningkatkan kebudayaannya, bahkan sudah ada pula unsur kesenian pada benda-benda yang diolahnya. Flakes dan blade yang ditemukan di dalam gua-gua yang berbentuk jajaran genjang, trapesium, segitiga, ada yang terbuat dari batu-batu indah semacam chalcedon dan jaspis; dalam sebuah gua di Sulawesi Selatan terdapat sebuah gambar seekor babi yang sedang meloncat, dikapur dengan wrna merah dan bagus sekali. Lukisan seni rupa semacam ini juga ditemui pada jaman neolitikum dan jaman logam.

Di daerah Sumatera Selatan ditemukan alatalat atau perkakas yang terbuat dari batu permata yang tanggung yang mungkin sekali dipergunakan untuk pesta upacara dan sebagi tanda kebesaran. Pembuatan perahu dan gambar mata oval, ragam hias ragam hias garis geometris dan pilin berganda pada kapak Sumatera, dan bejana perunggu yang ditemukan di Kerinci mengandung nilai-nilai kesenian yang sangat tinggi. Yang amat menarik perhatian ialah suatu temuan di Kuwing, Bangkinang daerah perbatasan Sumatra Barat dan Palembang. Di sana ditemukan empat belas buah boneka-boneka kecil dari perunggu dan gelang-gelang perhiasan yang penuh dengan ragam hias. Ragam hias ragam hias yang indah boneka boneka perunggu itu merupakan penari penari yang bergaya dynamis. Penemuan ini menunjukkan bahwa pada jaman itu seni rupa dan seni tari, sudah terungkap jauh dan mempunyai nilai seni yang dapat dibanggakan.

Melihat pada daerah-daerah penemuan ini, menunjukkan pula bahwa di bumi Sumatera banyak terpendam bekas-bekas peninggalan jaman pra sejarah yang berunsur kesenian, dan tentu setidak tidaknya daerah Bengkulu yang merupakan bagian dari pulau Sumatera, sedikit banyaknya memiliki benda-benda kebudayaan pra sejarah yang berunsurkan nilai kesenian, baik yang menggambarkan seni rupa maupun seni tari.

Tentang kebudayaan yang bersifat rohaniah, seperti cara berpikir pandangan hidup, keagamaan, seni suara, tidaklah dapat kita ungkapkan, karena kebudayaan itu ikut bersama pendukungnya, lagi pula peninggalan yang ada tidak cukup mendukung kesaksian dan aneka ragam kebudayaan rohaniah yang pernah diselidiki.

E. ALAM PIKIRAN DAN KEPERCAYAAN

Amat sulitlah kita mendapat gambaran pikiran masyarakat pada masa pra sejarah itu. Alam pikiran merupakan keseluruhan pola berpikir atau pandangan hidup masyarakat di waktu itu. Warisan-warisan yang lebih menjamin keaslian kebudayaan rohaniah ini dalam bentuk tertulis sudah tentu tidak kita temui. Yang kita temui adalah artefak dan fosil-fosil manusia. Berdasarkan peninggalan-peninggalan yang ditemukan, kita akan dapat menghasilkan dalam bentuk rekaman, asumsi dan hipotesa tentang alam pikiran dan kepercayaan masyarakat purba di jaman pra sejarah.

Dari masyarakat yang kebudayaannya di jaman pra sejarah adalah dasar dan pendahuluan dari masyarakat yang kebudayaannya lebih maju di jaman Sejarah. Masyarakat purba di jaman sejarah seakan-akan penerus dari kebudayaan masyarakat sebelumnya. Dari kebudayaan masyarakat purba di jaman sejarah yang mungkin tidak jauh berbeda dengan masyarakat di jaman pra sejarah, maka dapat kita ungkapkan bahwa; alam pikiran masyarakat di waktu itu masih sederhana sekali ia belum mampu menganalisa gejala-gejala alam yang terjadi secara pasti. Kehidupan terpencil, peradabannya masih sederhana sekali, segala tindakannya menggambarkan kesatuan solidaritas dan uniformitas. Spesialisasi pekerjaan berdasarkan fisik jasmaniah serta keadaan alam sudah mulai tampak tetapi belum jelas terpencil. Kepercayaan akan sesuatu zat kekuatan di atas dunia ini, timbul sebagai akibat dari pada usaha pendekatan yang tak dapat disampaikan secara pasti karena diluar kemampuan alam pikirannya. Maka timbullah bayangan gambaran akan sesuatu kekuasaan yang menggambarkan kesaktian dan kemutlakan Kekuasaan.

Suatu benda-benda yang terdiri dari batu-batu yang aneh, tempat-tempat yang mengandung keajaiban, dan kejadian-kejadian yang ganjil, peristiwa peristiwa yang ajaib, obat-obat yang mujarab penghulu ketua adat, dukun yang sakti, dapat menyerap hati sanubari dan alam pikirannya, yang belum mampu menyelidiki gejala alam secara pasti diwaktu itu, maka timbullah kepercayaan dan pemujaan akan sesuatu zat kekuasaan atau yang mengandung kesaktian, keajaiban dan lain sebagainya yang terdapat pada aneka ragam alam, benda dan anggota badan manusia sakti itu sendiri. Akhirnya dari kepercayaan ini meningkat menjadi keyakinan yang berbentuk faham-faham misalnya animisme, dinamisme dan politeisme keyakinan seperti ini bahkan masih tampak sisa-sisanya pada sebagian anggota masyarakat jaman sekarang misalnya, masyarakat yang hidup di daerah pedalaman.

  1. Sistim Kepercayaan.

Sistem kepercayaan masyarakat purba dijaman pra sejarah tentulah tak dapat diuraikan secara pasti. Tetapi berdasarkan hasil penemuan dan penggalian tampaknya ada suatu kesamaan dalam cara pendekatan dan kepercayaan kepada satu roh gaib yang berkuasa, atau pun yang di Tuhankan. Sistem kepercayaan masih saja menggunakan lambang-lambang dan tanda tanda simbolis. Seperti zat mineral merah pada dasar gambar tangan manusia. Lukisan ini diketemukan di dalam sebuah gua di Sulawesi Selatan, lukisan ini melambangkan kehidupan dan kematian. Sebagai tanda berkabung bagi perempuan yang kematian suaminya. Di Irian Barat gambar Silhuet tangan manusia bermakna bekas-bekas nenek moyang yang buta meraba-raba mencari jalan ke negeri yang baru. Di samping itu banyak pula interprestasi lain terhadap lambang silhuet tangan tersebut.

Selain dari pada itu dapat kita duga akan adanya lambang suatu totem yang merupakan manifestasi roh nenek moyangnya, kepada hewan-hewan, tentang kepercayaan akan sesuatu zat kekuatan dapat pula kita saksikan kepada gambar babi yang sedang berlari karena kena panah. Lukisan ini dapat ditemui pada sebuah gua di Sulawesi Selatan. Sistem kepercayaan dalam bentuk peribadatan mungkin sekali sudah ada, misalnya pda pemujaan terhadap roh, arwah leluhur yang berjasa, benda yang menyandang kekuatan sakti, sesuatu yang di-Tuhankan seperti batu, mata hari dan lain-lain.

2. Pandangan Tentang Kosmos.

Pandangan tentang Kosmos seperti uraian para ahli diabad ke-19 dan 20 barang kali belumlah terpahami oleh mereka di jaman pra sejarah. Menurut ilmu-falak, bahwa dunia ini pada hakekatnya adalah bintang juga. Mula-mula sekali berupa bola gas yang panas luar biasa. Karena perputaran terus menerus maka gas tadi menjadi semakin padat hingga terjadilah kulit bumi ini semakin lama semakin tebal dan ukuran suhu panas semakin menurun.

Adapun bagian terasnya sampai saat ini masih belum padat juga, bahkan seperti lumpur yang amat panas. Dunia kita ini terjadi kira-kira 250 juta tahun yang lampau. Barang kali pandangan tentang kosmos bagi masyarakat purba di jaman pra sejarah sudah ada, tetapi masih bersifat sederhana dan terpotong-potong.

Sesudah ada pula gambaran tentang setelah manusia meninggal. Hal ini dapat kita ketahui dari kepercayaan akan animisme, totenisme dan kepercayaan kepada roh atau arwah nenek moyang dahulu serta cara "penguburan" dan upacara pemberangkatan jenazah menuju alam akhirat. Pandangan tentang kosmos, adalah gambaran dunia tempat tinggal yang ada di sekitar mereka sejauh jangkauan alam pemikiran masyarakat di waktu itu.


-oOo-