BAB II LINTASAN SEJARAH KOTA BANJARMASIN SAMPAI TAHUN 1950

2.1 Geografi sunting

Sejak awal abad ke-16, ibu kota kerajaan Banjar berpusat di Banjarmasin, tepatnya di Kampung Kuin. Sesudah tahun 1860, ketika kekuasaan diambil alih oleh Pemerintah Belanda hingga Perang Dunia II, kedudukan Banjarmasin menjadi ibu kota Keresidenan Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.[1] Propinsi Kalimantan Selatan sekarang ini meliputi kabupaten/kotamadya: Kotamadya Banjarmasin, Kabupaten Banjar, Kabupaten Kotabaru, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Tapin, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Tabalong.[2] Dalam naskah ini pembahasan hanya berkisar tentang Kotamadya Banjarmasin.

Ibu kota Kalimantan Selatan adalah Banjarmasin. Sebuah kota dagang yang berkembang sejak abad ke-16. Banjarmasin sebagai pintu gerbang utama Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah yang dahulu dikenal karena lada dan hasil hutan lainnya, maka sekarang hasil ekspor kayu dan rotan yang makin bertambah ramai. Sekitar tahun enam puluhan, ada gagasan pemerintah daerah untuk memindahkan ibu kota propinsi Kalimantan Selatan ke sebelah Utara jaraknya 35 km dari Kota Banjarmasin. Kota yang dibangun ini bernama Banjarbaru. Sekarang kota Banjarbaru berstatus sebagai kota administratif.[3]

Secara geografis Kotamadya Banjarmasin terletak di antara 3° 15 LS sampai dengan 3° 22 Lintang Selatan dan 114° 98 Bujur Timur, pada ketinggian rata-rata 0,16 M, di bawah permukaan laut. Karena itu pada waktu terang bulan air laut bagian selatan naik ke sungai, pantai, dan menggenangi jalan-jalan yang rendah permukaannya di Kotamadya Banjarmasin. Air laut yang naik ini disebut "banyu pasang". Jika banyu pasang teramat dalam disebut pasang ramban, dan kalau pasang terjadi dua kali sehari semalam disebut "pasang pindua". Pada waktu musim kemarau panjang air pasang ini naik membawa air asin, yang diucapkan oleh orang Banjar muara atau kuala sebagai "masin". Hal ini pula menurut versi penduduk setempat melahirkan nama Banjarmasin.[4]

Sebagaimana daerah lain yang letaknya dekat dengan daerah garis khatulistiwa, Banjarmasin termasuk daerah yang berudara panas, iklim tropis, lembab dan umumnya banyak turun hujan, rata-rata tiap bulan 6-15 hari dengan curah hujan rata-rata 2000-2700 mm, terbesar dalam bulan Desember/Januari dan terkecil dalam bulan-bulan Juli/Agustus. Menurut Smith dan Ferguson tipe iklim adalah B dan C.[5] Mempunyai dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Masing-masing dapat disebut musim timur yang menghembuskan angin yang membawa hawa panas dan musim barat yang membawa hawa dingin dan mengandung basah. Keadaan suhu rata-rata di antara 26° C hingga 34° C. Sesuai dengan keadaan alamnya Banjarmasin dialiri oleh banyak sungai besar dan kecil yang kesemuanya dimanfaatkan untuk sarana perhubungan antar kota, desa dan daerah. Di antaranya adalah Sungai Barito yang terbesar, Sungai Martapura dan sungai-sungai kecil lainnya.

Dekat muara Sungai Barito terdapat pulau-pulau yaitu Pulau Bakut, Pulau Kembang, Pulau Tempurung, Pulau Tamban, Pulau Alalak dan Pulau Kaget. Di antara pulau-pulau itu Pulau Kambang yang terkenal dipandang keramat oleh sebagian orang Tionghoa di Kalimantan Selatan. Pulau ini seluruhnya didiami oleh kera-kera yang juga dipandang keramat, diberi sesaji, kemenyan, makanan dan buah-buahan. Kotamadya Banjarmasin sendiri terletak pada sebuah pulau atau delta yang disebut Pulau Tatas, letaknya tidak jauh dari Muara Barito.

Kotamadya Banjarmasin sekarang ini disebelah Utara berbatasan dengan Daerah Tingkat II Kabupaten Barito Kuala, di sebelah Selatan dengan Daerah Tingkat II Kabupaten Tanah Laut, di sebelah Timur dengan Daerah Tingkat II Kabupaten Banjar, dan di sebelah Barat dengan Sungai Barito wilayah Kabupaten Barito Kuala.

Kotamadya Banjarmasin mempunyai luas lebih-kurang 72.0776 km² atau 7.207,76 ha, dengan rincian sebagai berikut: tanah bangunan = 1.861,85 ha (25,8%), tanah perkebunan = 1.980,20 ha (27,5%), tanah persawahan = 2,746,81 ha (38,1%), jalan/sungai = 426,26 ha (5,9%), dan rawa/tanah kosong = 192,54 ha (2,7%). Pusat kota terletak di suatu dataran delta di muara cabang Sungai Barito dan keadaan tanahnya hampir seluruhnya merupakan rawa-rawa dan kadang-kadang digenangi air.

Hoone, seorang ahli geologi yang melakukan penelitian tentang Kota Banjarmasin, berkesimpulan bahwa pada kedalaman 4,5 sampai dengan 11 meter, jenis batuannya empuk, hitam, lumpur, dan tanah liat dengan batang pohon rapuh. Pada kedalaman 26 meter sampai dengan 33 meter, ditemukan tanah merah. Tanah liat warna kelabu sampai kedalaman itu merupakan bentuk batu-batas geologis. Sampai kedalaman 50 meter terdapat olioceenlogen di atas Zaman kuartair. Untuk menentukan batas alluvial dan diluvial menemui kesulitan, karena kekurangan bukti-bukti konkret.[6] Keadaan penggunaan tanah akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan kota. Dengan bertambahnya jumlah penduduk di masa mendatang akan menunjukkan, bahwa penggunaan tanah perkebunan, persawahan dan tanah kosong lainnya akan berangsur-angsur berkurang dan sebaliknya tanah-tanah bangunan akan bertambah.

Suatu lokasi tanah yang sempit yang dihuni dengan sangat padat, mengakibatkan perumahan tidak teratur letaknya dan berdesakan serta tidak memenuhi syarat perkampungan, misalnya daerah Kelayan, Kampung Melayu/Seberang Mesjid, Pekapuran dan lain-lain, sehingga sering ditimpa bencana kebakaran yang sukar diatasi. Sedangkan di lain tempat masih banyak tanah-tanah kosong yang kurang/tidak dimanfaatkan, meskipun sebenarnya dapat dijadikan daerah perumahan. Daerah-daerah yang banyak dihuni biasanya di tepi-tepi sungai, sebab memudahkan perhubungan. Daerah-daerah kosong baru dapat menjadi ramai, apabila sudah dibuatkan jalan.[7]

Untuk pengembangan dan pemekaran daerah perkampungan harus dibuatkan jalan-jalan baru yang menembus daerah-daerah yang masih kosong dimaksud. Dalam Outline Plan telah dicantumkan dan disusun peruntukan dan penggunaan tanah untuk keperluan sosial, pasar-pasar dan pertokoan kantor-kantor dan daerah industri.[8]

2.2 Asal-usul Kota Banjarmasin

Untuk mengungkapkan asal-usul Kotamadya Banjarmasin harus ditelusuri sejarah pertumbuhan dan perkembangannya. Kota Banjarmasin menurut beberapa catatan seiring berdirinya dengan kerajaan Banjar di daerah pantai yang merupakan proses kelanjutan dari kerajaan pedalaman yang hidrolik dan beragama Jawa - Hindu ke pola kehidupan masyarakat tradisional baru yang bercorak maritim di daerah pantai yang komersial dengan agama Islam sebagai identitasnya. Sekaligus juga merupakan kebangkitan kelompok-kelompok sosial di Barito Hilir untuk memegang kekuasaan politik dan membina suatu sistem sosial kultural baru yang disebut Banjar[9]. Dalam Hikayat Banjar, jelas kata Banjar menunjukkan nama desa tertentu di sekitar Cerucuk sekarang di samping desa Sarapat, Balandean, Tamban, Belitung dan Kuin. Desa Banjar ini disebut pula Banjarmasin, karena tetuha desa disebut Patih Masih. Pada permulaannya Banjar di Muara Cerucuk ini adalah sebuah kampung orang Melayu atau kampung Oloh Masih[10].

Setelah Pangeran Samudera menjadi raja di Banjarmasin, maka kampung orang Melayu ini berfungsi pula sebagai bandar, lengkapnya "Bandar Masih, kemudian menjadi ibu kota kerajaan yang baru di desa Kuin. Pada tahun 1526 berdirilah Kota Banjarmasin, sekaligus menandai kemenangan Pangeran Samudera terhadap kerajaan Pedalaman. Perdagangan makin meningkat yang memungkinkan terjadinya kontak kultural dengan dunia luar dan tumbuhnya ekonomi komersial, maka kota Banjarmasih, yang kemudian berubah sebutannya menjadi Banjarmasin menjadi kota dagang yang amat ramai dikunjungi oleh berbagai suku dan bangsa.

Banjarmasin sudah menghasilkan Jung-Jung untuk pelayaran interinsuler dan interkontinental, terutama bagi pelayaran Jawa[11]. Pelayaran perdagangan dan pembajakan laut meningkatkan kekayaan suatu kerajaan laut. Semua dasar-dasar politis dan ekonomis kerajaan Banjar tumbuh dan berkembang dengan pesat. Pada abad ini yang memerintah adalah Sunan Batu Habang, Penambahan Batu Putih, dan Panambahan Batu Hirang[12].

Banjarmasin menjadi salah satu pusat migrasi suku-suku bangsa, baik Melayu maupun Jawa, yang datang ke Banjarmasin akibat pergolakan politik dan peperangan di Indonesia Timur di abad ke-17. Sebagai pusat kebudayaan yang utama daerah maritim Kalimantan Selatan merupakan hasil proses akulturasi kebudayaan yang dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya Melayu; Jawa, Bugis dan lain-lain, dengan lapisan-lapisan bawah unsur-unsur kebudayaan Dayak dan orang-Bukit[13].

Pada awal abad ke-17 VOC berusaha mengadakan kontak dagang dengan Banjarmasin. J.W. Verschoor mengirim Koopman Gillis Michiels-Zoon ke Banjarmasin. Pada tanggal 7 Juni 1607 ia tiba di Banjarmasin, dan diundang ke darat bersama anak buahnya, tetapi mereka dibunuh semuanya dan barangbarangnya dirampas. Lima tahun kemudian, tahun 1612, Belanda melakukan pembalasan, yang berakibat Banjarmasin hancur terbakar oleh tembakan-tembakan meriam dari kapal Belanda. Mustainullah, yakni Raja Banjarmasin keempat, ibu kotanya dipindahkan, ke Kayu Tangi Martapura. Alasannya tanahnya bertuah, tempatnya jauh di pedalaman, sehingga orang asing sulit untuk menyerang[14]. Di Banjar Baru atau Banjar Hanyar mereka membuat benteng-benteng pertahanan terhadap serangan musuh. Hubungan dengan Belanda ini baru menjadi baik kembali setelah dalam tahun 1635 dibuat kontrak yang pertama dengan Belanda. Hubungan baik ini tidak berlangsung lama.

Pertengahan abad ke-17 pemerintahan terbagi dua yaitu Pangeran Ratu tetap bertahta di Martapura dan Pangeran Surianata bertahta di Banjarmasin[15]. Banjarmasin menjadi pusat pemerintahan Pangeran Surianata yang menyebut dirinya Sultan Agung, mengawasi ramainya perdagangan, tambang-tambang emas di pedalaman, basil kebun lada dan sebagainya, sehingga pelabuhan Banjarmasin amat ramai[16]:

Pada awal abad ke-18 daerah Kirin pusat pemerintahan dibakar oleh rakyat sendiri untuk inengusir orang lnggeris yang ingin tetap bertahan di Banjarmasin. Karena itu pusat kegiatan kota dipindahkan 6 mil ke hulu yakni ke pulau Tatas. Dalam kontrak tahun 1747, Belanda kembali ke Banjarmasin membuat loji di pulau Tatas. Belanda berhasil mendapat tanah untuk membuat Fort Tatas.

Dalam abad ke-19, wilayah kekuasaan pemerintahan Banjarmasin dipersempit oleh Sultan Adam dalam perjanjian tambahannya dengan pihak Belanda pada tahun 1854.[17] Wilayah kerajaan dibatasi oleh Sungai Banjar (anak sungai Barito) di sebelah Barat, sebelah timur oleh pegunungan Meratus dan sebelah Selatan oleh Gunung Pematon. Kekuasaan Suitan ini terbatas sejak tahun 1826. Menurut ketetapan itu pengangkatan Sultan dan -Mangkubumi harus disetujui pihak Belanda dan perkara-perkara pengadilan di daerah yang dikuasai Belanda diputuskan oleh pihak Belanda.[18] Dalam daerah-daerah yang telah diserahkan pada pihak Belanda dibentuk suatu pemerintahan yang pada pertengahan abad ke-19 digabung menjadi "Gouvernement van Borneo" yang berpusat di kota Banjarmasin sebagai ibu kotanya. Sekalipun demikian dalam wilayah yang dikuasai Sultan sistem pemerintahan tradisional masih tetap berlaku dan merupakan patokan terpenting dalam kerajaan Banjar.[19]

Pada akhir hidup kerajaan Banjar, Sultan Tamjidillah diangkat sebagai raja oleh Belanda, tetapi bertentangan dengan wasiat Sultan Adam yang menetapkan Pangeran Hidayatullah sebagai penggantinya. Peristiwa itu membangkitkan semangat rakyat untuk mengangkat senjata mengusir Belanda dari kerajaan Banjar. Di bawah pimpinan Pangeran Antasari Perang Banjar berlangsung dari tahun 1859 sampai dengan 1905.[20]

Untuk mengatasi dan pienghadapi Perang Banjar ini pihak Belanda bertindak menurunkan Sultan Tamjidillah sebagai raja pada tanggal 25 Juni 1859, karena Sultan Tamjidillah dianggap penyebab Perang Banjar berlangsung dan memberikan kesempatan pada Pangeran Hidayatullah untuk menjadi raja. Akan tetapi Hidayatullah tidak menampakkan diri. Maka pada tanggal 11 Juni 1869, kerajaan Banjar dinyatakan telah hapus melalui pengumuman Nieuwenhyzen di Banjarmasin. Semua bekas wilayah kerajaan Banjar disatukan menjadi wilayah Hindia Belanda yang disebut Zuider en Oosterafdeeling van Borneo.

Kota Banjarmasin makin terkenal, karena kota ini menjadi ibu kota distrik Banjarmasin, sekaligµs menjadi ibu kota onderafdeeling Banjarmasin, dan menjadi ibu kota "Resedentie nuider en oosterafdeeling van Borneo" sampai tahun 1937.[21] Pada tahun 1938 menjadi ibu kota "Gauvernement Borneo" tempat kedudukan seorang Gubernur Belanda dengan dr. J. Haga sebagai Gubernur Belanda yang pertama dan terakhir sampai dengan tahun 1942.

Selain itu Banjarmasin menjadi penting dalam arus lalu lintas pelayaran dan perdagangan di Indonesia Tengah.[22] Kapal-kapal layar dan api masuk dan ke luar sampai ke pelabuhan Banjarmasin. Jika air surut kapal-kapal agak sulit memasuki pelabuhan di -dalam kota, kecuali air pasang naik kapalkapal dan perahu-perahu layar dapat dengan mudah ke luar dan masuk pelabuhan Banjarmasin. Pelabuhan Banjarmasin terletak di sungai Martapura, yaitu sebuah anak sungai Barito. Untuk memasuki sungai Martapura menuju pelabuhan dan kota Banjarmasin harus melalui beberapa tikungan dan rintangan, kira-kira 20 km panjangnya dari muara sungai Barito. Masuk arah ke kota Banjarmasin, akan menemui Kampung Mantuil dan Basirih tempat pasar terapung di atas air. Dalam periode ini jalan-jalan darat masih kurang, sehingga jalan air besar peranannya.[23]

Pusat-pusat kota dari pelabuhan, memanjang sampai sungai Martapura, Pasar Baru, Kediaman orang-orang Belanda, Fort Tatas, dan Pasar Lama. Di daerah pelabuhan berderet kantor-kantor dinas duane dan bangunan pangkalan pelabuhan yang letaknya membelakangi sungai Martapura. Kapal-kapal terletak pada sisi barat dan perahu-perahu terletak pada sisi timur. Pelabuhan ini mengadakan hubungan tiap 14 hari sekali dengan kapal dinas KPM Jakarta - Surabaya - Banjarmasin yang bermuatan 200 ton, dan seminggu sekali dari Singapura - Ujung Pandang - Surabaya melalui Banjarmasin ke Samarinda. Firma milik orang Cina mempunyai kapal yang digerakkan dengan tenaga uap berlcekuatan 800 ton bruto yang mengadakan hubungan tiap 14 hari sekali antara Banjarmasin - Singapura Banjarmasin. Pelabuhan Banjarmasin menjadi pusat transito dagang ke Barito daerah dusun dan hulu sungai. Hubungan dagang langsung diadakan dengan Singa}1ura, Jawa dan Sumatera. Keadaan ekonomi pun makin maju, karena tiap kapal yang datang membawa barang-barang impor, sedangkan kapal yang berangkat mengangkut barang-barang ekspor2. Di Mantuil ada "seimport" dihubungkan teleponis dengan pelabuhan Banjarmasin, ditempatkan garnizoon batalyon yang memelihara keamanan untuk Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, di samping sebuah detassemen. Di Fort Tatas dibangun sebuah rumah sakit modern. Industri hanya meliputi pabrik es, bengkel dan dok untuk kapal-kapal kecil yang dikuasai oleh Borneo Industri Maatschappij. Sedangkan finna-firma yang ada terdiri dari: Borneo Sumatera Handels Maatschappij, Henneman & Co, A.gen Javasche Bank dan Agen Factory.

Pada masa kekuasaan Jepang, tampaknya tidak ada perubahan, karena sebelum Jepang memasuki kota Banjarmasin Belanda telah melakukan pembumihangusan. Pasar Baru menjadi lautan api, Fort Tatas dihancurkan, Pelabuhan, gedunggedung pabrik dan ANIEM listrik hanya tinggal fondasi. Jembatan Coen diledakkan oleh Belanda, yang kemudian diperbaiki kembali oleh Jepang dengan penggantian nama Jembatan Jamat.

Dalam tahun 1943, saluran Air Minum diresmikan di Banjarmasin, yang selama pemerintahan Belanda tidak terlaksana, terkenal dengan sebutan Coerdo. Demikian pula rumah sakit umum di Fort Tatas dipindahkan ke jalan Ulin km l pada tahun 1944.Tanggal 9 November 1945 meletuslah pertempuran pertama di Banjarmasin. Kota Banjarmasin mengalami kerutaian akibat sabotase, seperti pembakaran pelabuhan Banjarmasih dan Landasan Ulin, Kemudian pada tahun 1946-1949 Belanda membangun kembali pelabuhan lama, Fort Tatas dan landasan Ulin.

2.3 Perkembangan Admtnistrasi Pemerintahan

Sejak berdirinya Kerajaan Dipa yang berpusat di pedalaman, kemudian berpindah ke daerah pantai daerah Kuin Cerucuk atau Kerajaan Banjar (1526), sampai akhir kerajaan Banjar yang dipimpin oleh Sultan Tamjidillah (1860) sistem kepemimpinan berlangsung secara tradisional. Hubungan kekeluargaan memegang peranan penting. Raja sebagai penguasa mempunyai fungsi yang memberikan ketenangan pada rakyatnya, artinya rakyat mengikatkan dirinya pada tradisi, tetapi mereka juga menyesuaikan dengan perubahan-perubahan masyarakat. Perubahan-perubahan itu mereka terima tanpa mengganggu keserasian susunan masyarakat. Karena itu pengaruh asing dalam perubahan yang drastis secara ekstrim mereka menolaknya.

Susunan pemerintahan Kerajaan Banjar pada abad ke-16 adalah sebagai berikut. Raja menduduki hirarki yang tertinggi. Di bawahnya terdapat Mangkubumi dengan tanda-tanda upacara, 2 awinan tumbak, 1 payung bawat, 1 kendaga, 1 lampir, 1 tempat roko. Di bawah Mangkubumi terdapat: Panganan, Pangiwa, Mantri Bumi dan 30 orang Mantri Sikap. Seorang Mantri Sikap ada mempunyai 100 orang pegawai. Lalawangan, kedudukan kurang lebih seperti Kepala Distrik masa penjajahan. Sarawasa, sarabuna, sarabraja, Kuala diseluruh padalaman keraton. x) Mandung, Paksayuda, Kepala Balai Rongsari dan Bangsal. Mamagarsari adalah pengapit raja disiti luhur. Pariwala, Singatana, Singataka dan Singapati. Kuasa dalam urusan dagang dan pasar. Sarageni dan Saradipa, kuasa dalam urusan alat senjata Puspawana, kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan, temak dan berburu. Pamarakan, dan Rasajiwa. Pengurus umum tentang keperluan-keperluan Padalaman dan padudusan. Kadang Aji dan Nanang, Ketua Balai petani. Wargasari, pengurus besar tentang persediaan bahan makanan, terutama lumbung padi. Angpmarta dan Astaprana, Juru Bandar dan Juru tabuhan. Kaum Mangumbara adalah Kepala Pengurus Upacara. 16

Wiramartas adalah Mantri dagang Bujangga. Kepala urusan bangunan rumah, Agama dan Candi. Singabana adalah kepala ketenteraman umum²⁸).

Pada masa pemerintahan Sultan Adam, tahun 1825-1857 berlaku sistem pemerintahan yang lebih maju. Perubahan-perubahan seperti dalam hirarki berikut ini:

Pada tingkat pusat pemerintahan Kerajaan Banjar, raja adalah pimpinan tertinggi Sultan Muda, sebagai pewaris yang duduk dalam tahta kerajaan. Dewan Mahkota, badan legislatif atau juga dewan penasehat. Mangkubumi, sebagai orang yang berkuasa dalam menjalankan pemerintahan. Dalam menjalankan pemerintahan dibantu oleh Syahbandar, Kejaksaan, Mantri Bumi, Pangiwa, Panganan, Mantri Sikap bidang Keagamaan.

Pada tingkat daerah dan desa susunannya disesuaikan dengan struktur birokrasi yang ada. Kiai Adipati sebagai Gubernur Kepala Daerah seperti sekarang ini. Lalawangan, semacam Bupati Kepala Daerah Tingkat II seperti sekarang. Lurah, semacam Camat seperti sekarang. Pambakal, semacam Kepala Desa. Pangerak, Kepala Urusan Tetangga. Tatuha Kampung, orang yang terkemuka di dalam kampung²⁹).

Pada tanggal 4 Mei 1826 antara kerajaan Banjar dengan Belanda diadakan kontrak³⁰). Perjanjian ini membagi daerah kota Banjar ini menjadi dua. Daerah Pacinan Laut menyeberang ke Sungai Miai terus ke Kuin, sebagian lagi menyusur sungai

Kelayan, Pemurus terus ke gunung Meratus. Pada bagian daerah kerajaan Banjar Kampung yang terpenting adalah kampung Keraton, yang kemudian disebut kampung Sungai Mesa. Di sekitar ini terdapat kediaman Menteri Besar Kiai MESA JA- LADRI, istana Sultan dan Balai Kaca, dan istana Sultan Tamjid. Beseberangan dengan istana Sultan Tamjid terletak rumah Residen Belanda di kampung Amerongan dan ke hilirnya benteng Tatas, sebuah kampung yang terbesar di seberang kampung Cina. Daerah Tatas inilah sampai menjelang akhir abad ke-19,

17

berkembang menjadi pusat kegiatan kekuasaan dan administrasi Hindia Belanda baik sipil maupun militer3 1).

Susunan pemerintahan di Banjarmasin, sebelum Kerajaan Banjar dihapus dan berdampingan dengan pemerintah Belanda adalah sebagai berikut: Residen (A. Van der Ven), Mangkubumi (Tamjidillah), Sekretaris Residensi, Penerima pemasukan penjualan garam dan kepala gudang, pengawas kelas I pekerjaan umum, Jaksa Kepala, Penghulu, Pjs Kepala orang Bugis, Kapten Cina, Letnan Cina penerima, Kepala lelang, notaris, Kepala Pelabuhan, Perwakilan Pengurus Harta Warisan, Komis Pos, dan Pengadilan3 1). Tampak dalam susunan ini adanya legitimasi rasional yang sesuai dengan rasionalitas, dan bersifat hukum, sehingga tampak lebih unggul dari legitimasi tradisional dan kharismatis3 2). Terdapatnya unsur Pamong Praja dan Pengadilan Negeri yang terdiri dari orang-orang terdidik dan berbagai suku bangsa, sesuai dengan jenis penduduk yang ada. Oleh karena itu sesudah Kerajaan Banjar dihapus dan Komisaris Gubernur F.N. Nieuwenhuyzen diganti oleh Letnan Kolonel G.M. Verspijck sebagai Residen, maka pemerintahan legal rasional berlaku seperti di barat. Residen, Sekretaris Residensi, Komis, Komis Pos, Jaksa Kepala, Penghulu Kepala, Kepala orang Bugis, Kepala orang Arab, Kapten Cina, Notaris, Kepala Lelang, penerima umum, dan pencatat kematian serta kelahiran, pegawai luar biasa kotakota, Kepala Pelabuhan, Pengurus Harta Warisan, Kepala Gudang Batu hara, Sipir, pegawai sementara ditugaskan, dan Pengadilan Perdata dan Pidana.

Dalam tahun 1864 daerah Kuin dijadikan daerah istimewa, dengan pemerintahan: Controleur, Ronggo, Mufti, Penghulu, dan penjaga kas3 3).

Pada tahun 1910, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan politik liberal dengan pengekstensifan tanah seberang maka membuka kemungkinan bertambahnya jumlah penguasa Belanda yang menghuni kota di Indonesia, sehingga timbul pula kekebutuhan untuk menerapkan pembentukan pemerintahan kotapraja seperti yang berlaku di negeri Belanda. Kebutuhan itu nampak dalam peraturan desentralisasi tahun 1903 yang memungkinkan dibentuknya kotapraja (gemeente) setelah tahun 1905. Realisasi dari keinginan pembentukan pemerintahan kotapraja itu akhirnya berhasil diwujudkan?.

Berdasarkan Surat Keputusan yang dicantumkan dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indie tahun 1919 Nomor 252, dibentuk Gemeenteraad Bandjermasin. Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 28 Mei 1919 nomor 6 ini berlaku mulai 1 Juli 1919, menyatakan beberapa hal antara lain:

  1. Ibu kota keresidenan ”Zuider en Doster afdeeling van Borneo”, kota Banjarmasin dijadikan ”Gemeente - Bandjermasin”.
  2. ”Gemeente-Bandjermasin” diberi bantuan khusus uang f.43.500 tiap tahun.
  3. Diberi tugas pemeliharaan, perbaikan pembaharuan, pembuatan jalanan baru, penerangan jalan, pemadam kebakaran, kuburan dan sebagainya.
  4. Untuk ”Gemeente-Bandjermasin” dibentuk Dewan Gemeente dengan anggota-anggota 13 orang, yaitu terdiri atas golongan Indonesia mendapat kursi 4 orang, golongan Timur Asing mendapat kursi 2 orang, dan golongan Belanda mendapat kursi 7 orang. Anggota-anggota ditunjuk melalui pemilihan sesuai dengan situasi politik pada saat itu.

Dalam tahun 1930 perimbangan anggota-anggota gemeente Raad ini diubah menjadi 5 orang Eropah, 5 orang Bumi Putera, dan 3 orang Timur Asing.

Perkembangan kota Banjarmasin sejak tahun 1919 makin meningkat dari segala aspek, baik ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan. Akan tetapi perkembangan pembangunan kota

19

berlaku hanya bagi penduduk yang berada di wilayah permukiman orang Eropa. Bangunan-bangunan rnereka narnpak teratur dan permanent. Pelayan jalur jalan berkembang baik di daerah permukiman orang Eropa, seperti jalan-jalan bersih, bioskop ramai, penerangan cukup untuk pusat keramaian orang kulit putih, dan ada tanda-tanda "Verboden toegang Voor Inlanders en Honden"). Bagi penduduk yang bermukim di luar pemukiman orang Eropa, daerah pemukiman penduduk bumi putera nampak tidak terkena peraturan itu, bangunan-bangunan Bumi Putera umumnya darurat, jalan-jalan tidak teratur dan terawat. Dalam bidang hukum berfungsi menyelesaikan masalah-masalah hukum orang Eropa, dan pengadilan bumi putera yang menata hukum adat, dan lainnya menyangkut penduduk bumi putera. Dalam berbagai hal adanya pemisahan antara Belanda (termasuk orang Jepang) Timur Asing dan Bumi Putera.

Dalam gemeente juga terjadi pembaharuan pemerintahan. Gemeente Banjermasin ditingkatkan menjadi Stadsgemeente (Balai Kota) Banjarmasin, sesuai dengan putusan Gouverneur Generaal van Nederlandsch-Indie tanggal 17 Juni 1938 dan dimasukkan dalam lembaran negara Hindia Belanda dengan nomor 359, 1938. Anggota-anggota Dewan Gemeente tetap 13 orang. Kantor Staads-Gemeente masih menjadi satu dengan kantor Asisten Residen. Rencana pembangunan kota Banjarmasin yang disusun Ir. Karsten cukup ideal untuk modernisasi kota, tapi terhambat oleh birokrasi dan anggaran belanja yang kurang dan adanya tekanan lebih kepada "Vester-interestnya" golongan berkuasa.

Bentuk pemerintahan kota seperti di atas berlangsung terus hingga tahun 1942. Pada waktu daerah ini harus berpindah kekuasaan kepada Tentara Pendudukan Jepang, penataan pemerintahan kota belum dapat diketahui karena tidak dijumpai sumber yang dapat menceriterakannya. Dalam periode kemerkemerdekaan tahun 1949, melalui bermacam-macam bentuk undang-undang dan peraturan serta Keputusan Presiden dan lain-lain, maka disebutkan dalam wilayah hukum Republik Indonesia melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1948 — Yogyakarta Banjarmasin tetap menjadi ibu kota propinsi (daerah kota Besar) dan dibentuknya Badan Legislatif (DPRDS) dan eksekutif Kota Besar Banjarmasin.

2.4 Komposisi dan Mobilitas Penduduk

Pada awal abad ke-17 Banjarmasin memiliki kekuasaan militer 80.000 jiwa. Banjarmasin merupakan negara yang terkuat dan ditakuti. Karena itu Banjarmasin berhasil membendung pengaruh Tuban, Arosbaya dan Mataram, di samping mempunyai kekuasaan di daerah Kalimantan Timur, Tenggara, Tengah dan Barat serta penghasilan upetinya37). Dari besarnya jumlah militer ini, diperkirakan militer banyak yang bermukim di pusat kerajaan yang pada waktu itu di Kuin Banjarmasin, karena penduduk Banjarmasin ditambah dengan anggota militer tidak kurang 18.000 jiwa. Perkembangan selanjutnya penduduk kota Banjarmasin tahun 1824 berjumlah 20.000 jiwa)38). Makin meningkat lagi sesudah 1865 penduduk kota Banjarmasin berjumlah 32.154 jiwa, dengan perincian jumlah orang Banjar sebesar 30.477 jiwa, sedang orang asing yang bermukim di Banjarmasin sebesar 1.677 jiwa.

Jika ketiga keterangan di atas dibandingkan, menunjukkan bahwa selama beberapa tahun (tahun 1670—1824—1865) terjadi pertambahan secara bertahap dengan perlahan yaitu pertambahan penduduk dari tahun 1670—1824 sebesar 2.000 jiwa atau 11,1196 selama 54 tahun, rata-rata pertahunnya 37 jiwa, atau 0,20%. Pertambahan penduduk kota Banjarmasin dari tahun 1824—1865 sebesar 12.154 jiwa, atau 60,78%, rata-rata pertahunnya pertambahan penduduk kota Banjarmasin selama 41 tahun berturut-turut 296 jiwa atau 1,48%39). Tentu saja

angka ini tidak berdasarkan data yang konkrit, karena pada

21

masa itu sistem pencacahan penduduk masih sangat sederhana sekali (lihat tabel berikut).

PERBANDINGAN PENDUDUK SEBELUM ABAD KE-20: TAHUN 1670-1824-1965
No Tahun Jumlah Penduduk Pertambahan Penduduk Persen (%) Persen (%) Pertahun
1 1670-1824 18.000-20.000 2.000 11,11 0,20
2 1824-1865 20.000-32.154 12.154 60,78 1,48

Pada awal abad ke-20, tahun 1905 tampak terjadi penurunan yang sangat tajam. Dari penduduk tahun 1865 yang berjumlah 32.154 jiwa, turun menjadi 16.708 jiwa, dengan perincian sebagai berikut: Bumi putera sebesar 12.684 jiwa, Eropa sebesar 455 jiwa, Cina sebesar 2.581 jiwa, Arab sebesar 910 jiwa, dan Timur Asing lainnya 78 jiwa4 0).

Penduduk kota Banjarmasin tahun 1865-1905 cenderung turun sebesar 15.446 jiwa, atau 48,04%. Penurunan angka ini adalah akibat Perang Banjar 1895-1905, karena pengikut Antasari banyak yang ke luar kota mengikuti jejak pemimpinnya untuk melawan Belanda. Di samping itu adanya imigrasi, ekstern dan intern, terutama penduduk Banjar yang pindah dan bermukim di Sumatera dan Malaysia4 1).

Kemudian pada tahun 1919 penduduk kota Banjarmasin tercata: Bumi Putera sebesar 41.661 jiwa, Arab dan India sebesar 1.373 jiwa, Cina sebesar 3.207 jiwa dan Eropa sebesar 752 jiwa. Jumlah penduduk kota Banjarmasin seluruhnya 46.993 jiwa. Pertambahan penduduk kota Banjarmasin antara tahun 1905-1919 sebesar 30.258 jiwa, atau 181,26%. Pertumbuhan ini menunjukkan pada suatu angka yang sangat drastis selama 14 tahun. Angka rata-rata pertambahan pertahunnya 2163 jiwa, atau 12,95%[24]

Pertambahan penduduk dalam kurun waktu tersebut, karena adanya kelahiran yang cukup tinggi dan juga disebabkan oleh urbanisasi saat itu. Banyak pendatang dari pedalaman masuk kota, ada karena tujuan mencari nafkah, menambah pendidikan, dan ada pula meninggalkan kampung halamannya karena masalah keamanan dan lain-lain.

Pada tahun 1930 telah diadakan pencacahan penduduk yang lebih cermat sesuai dengan teknologi modern pada saat itu penduduk kota Banjarmasin meningkat menjadi 56.346. Dalam tahun 1919--1930 terjadi pertambahan penduduk sebesar 9.353, atau 19,90%. Angka pertambahan penduduk pertahun-nya selama 11 tahun 850 jiwa[25].

Kemudian pada tahun 1935 terjadi lagi peningkatan jumlah penduduk Gemeente Banjarmasin menjadi 75.050 jiwa, yang terdiri dari Bumi Putera sebesar 65.250 jiwa; Eropa sebesar 1.100 jiwa; Cina sebesar 5.920 jiwa; Timur Asing lainnya sebesar 1.730 jiwa.

Pertambahan penduduk dalam Gemeente Banjarmasin, yang terdaftar sebagai pembayar pajak perkepala keluarga ditujukan kepada Bumi Putera, sedangkan orang Eropa, Cina dan Timur Asing lainnya mempunyai ketentuan tersendiri. Karena itu sering dicantumkan oleh pencatat pajak dan pencacahan penduduk hanya orang Bumi Putera secara keseluruhan pertambahan penduduk Gemeente Bandjermasin antara tahun 1930-1935 sebesar 18.704 jiwa, atau 33,19% selama 5 tahun. Angka rata-rata pertahunnya penduduk Gemeente Bandjermasin 3.741 jiwa atau 6,64%[26].

Angka pertambahan penduduk pada abad ke 20, atau pada masa pemerintahan kolonial Belanda dari tahun 1905 sampai dengan 1935 atau selama 30 tahun lebih kurang sebesar 58.342 jiwa, atau persentase pertambahan penduduk Gemeente masin secara keseluruhan 349,19%. Angka rata-rata pertahunnya 1.945 jiwa, atau 11,64%. Angka ini mennunjukkan pertambahan penduduk yang sangat luar biasa pada saat sekarang ini4 5). Akan tetapi jika dilihat pada masa itu merupakan hal yang lumrah, sesuai pula dengan perbandingan luas Gemeente Banjarmasin lebih kurang 94.345 km2.

Angka kepadatan penduduk. Gemeente Bandjermasin tiap kilometer persegi 0,80 orang (1 orang). Angka ini berarti suatu angka yang sangat rendah sekali jika dibandingkan dengan kota di pulau Jawa dan Bali.
CATATAN
  1. EB. Masthoff (1812). Aanteekeningan Omttrent de onderafdeeling Tabalong en Kloewa van Zuid en Ooster afd. van Borneo. Indische Gids I. p. 232. 
  2. H. Ramli Nawawi & Tamny Roeslan, et.al. (Tim) (1984). Sejarah Sosial Daerah Kal-Sel. Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek IDSN. p. 2. 
  3. Yustan Aziddin et.al. (Tim) (1984). Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme Di Kalimantan Selatan. Depdikbud. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek IDSN. p. 6. 
  4. H. Ramli Nawawi & Tamny Roeslan, et.al. (Tim) (1984). Sejarah Sosial Daerah Kal-Sel. Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek IDSN. p. 10. 
  5. Kantor Sensus dan Statistik Propinsi Kalimantan Selatan (1978). Kalimantan Selatan dalam angka 1978. p. 2. 
  6. GLL. Kemmerling (1915). Topografische en Geologische Beschrijving van het Gebied van de Barito. Tijdschrrift, E.J. Brill, heiden. p. 718. 
  1. Deppen. Mengenal Kota Banjarmasin. Kantor Deppen Kodya Banjarmasin. p. 5. 
  2. Pemda Kodya Banjarmasin (1974). Rencana Pembangunan Lima Tahun Kodya Banjarmasin. p. 7. 
  3. Soeri Sairoto (1978). Berdirinya Kerajaan Banjarmasin suatu Tujuan Sosial Kultural. dalam lembaran sejarah No: 6 Faksasdaya UGM. p. 127. 
  4. J.J. Ras (1968). Hikayat Banjar. A. Study in Malay Historiography. s-Gravenhage. N.V. De Nederlandsche Bock en Steendrukkerij v/h. It. L. Smits. p. 192. 
  5. Schrieke B. (1955). Indonesia Sociological Study. part one. Van Hoeve Ltd, The Hage. p. 23. 
  6. M. Idwar Saleh (1982). Banjarmasih. Depdikbud Museum Negeri Lambung Mangkurat Prop. Kal-Sel. p. 30. 
  7. M. Idwar Saleh (1982). Banjarmasih. Depdikbud Museum Negeri Lambung Mangkurat Prop. Kal-Sel. p. 31. 
  8. A.A. Bijuri (30 Agustus 1972). Dinasti Surianata — Lambung Mangkurat. Harian Utama. p. 3. 
  9. M. Idwar Saleh (1958). Banjarmasin. Balai Pendidikan Guru. p. 76. 
  10. M. Idwar Saleh (1958). Banjarmasin. Balai Pendidikan Guru. p. 97. 
  11. Arsip Nasional R.I. (1965). Surat-Surat Perjanjian antara Kesultanan Banjarmasin dengan pemerintah V.O.C. Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia Belanda, 1635-1860. p. 250.  Arsip Nasional R.I. (1965). Surat-Surat Perjanjian antara Kesultanan Banjarmasin dengan pemerintah V.O.C. Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia Belanda, 1635-1860. p. 228. 
  12. Soeri Soeroto (26—29 Agustus 1970). Pergerakan Sosial dan Perang Banjarmasin. Seminar Sejarah Nasional II.  Check date values in: |date= (help) Lihat pula. Nugroho Notosusanto (1983). Sejarah Nasional Indonesia. Depdikbud. p. 48. 
  1. H, Ramli Nawawi dan Tarnny Roeslan, et.al. (Tim), Peta Sejarah. Depdikbud, Banjarmasin, 1984 hat. 6.
  2. M. ldwar Saleh, Banjarmasih, op.cit. hat. 34.
  3. Encyclopaedie van Nederlandsche-lndie, 1917. hal. 3 74.
  4. H. Ramli Nawawi dan Tarnny Roeslan, et. al. (Tim), Sejarah Sosial, op.cit., hat. 80.
  5. ibid. hal. 81.
  6. R. Broersma, Handel en Bedrijf in Nuid en Oost Borneo, G. NAEFF, s-Gravenhage, 1927. hat. 23.
  7. M. Idwar Saleh, Banjarmasih, op.cit. hat. 60.
  8. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. U.I., Jakarta, 1970. hal. 174.
  9. Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sejarah. Percetakan Fajar, Banjarmasin, tanpa tahun, hal. 149.
  10. Tamny Roeslan, Gerakan Muning, Sebuah Gerakan Sosial di dalam Perang Banjar (Thesis), Fakultas Sastera Budaya UGM, Yogyakarta, 1981. hal. 35-37;
  11. ARSIP NASIONAL R.I., op.cit., hal. 228.
  12. M. Idwar Saleh, op.cit. hat. 43.
  13. ibid. hal. 44.
  14. Soerjono Soekanto, Struktur Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, 1983, hal. 138.
  15. M. Idwar Saleh, op.cit. hal. 46.
  16. Muh. Nur Baso, et.al. (Tim), Sejarah Kota Besar Makassar/Kodya Ujung Pandang, 1950-1979. Depdikbud, Jakarta, 1984/1985, hal. 39.
  17. M. Idwar Saleh, op.cit. hal. 36.
  18. ibid. hal. 37.
  1. L.C.D. van Dijk, Nederlands Vruegste betrekkingen met Borneo, den Solo Archipel, Combidja, Siamen CochinChina Tanpa penerbit. Amsterdam, 1862., hal. 7-8. Lihat pula M. Id war Saleh, op. ctt. hal. 31.
  2. Tijdschrijft voor Nederlands Indie I, 2. 1838, hal. 18.
  3. Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sejarah Kalimantan, Fajar, Banjarmasin, tanpa tahun, hal. 33.
  4. R. Broersma, Handel en Bedrijf in zujd en Oos.f Borneo. Gravenhage 1927. hal. 15.
  5. H. Ramli Nawawi dan Tarnny Roeslan, et.al. op.cit. hal. 13.
  6. M. Idwar Saleh, Banjarmasih, op.cit. hal. 37.
  7. J. Eisenberger; "Algeemene Memorie Betreffende de Onder Afdeeling Bandjermasin - Marabahan in de Afdeeling Bandjermasin der Residentil Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo", ARSIP NASIONAL R.I., 15 Juni 1936, hal. 44.
  8. ibid, hal. 45.
  9. Ny. MAFTUCHAN YUSUF, Pengaruh Timbal Balik Antara Kependudukan Dengan Berbagai Aspek Kehidupan Manusia. Fak. Pasca Sarjana IKIP Jakarta Bekerja Sama Dengan BKKBN, Jakarta, 1985. hal. 17-18.
  1. EB. Masthoff (1812). Aanteekeningan Omttrent de onderafdeeling Tabalong en Kloewa van Zuid en Ooster afd. van Borneo. Indische Gids I. p. 232. 
  2. H. Ramli Nawawi & Tamny Roeslan, et.al. (Tim) (1984). Sejarah Sosial Daerah Kal-Sel. Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek IDSN. p. 2. 
  3. Yustan Aziddin et.al. (Tim) (1983/84). Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme Di Kalimantan Selatan. Depdikbud. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek IDSN. p. 6.  Check date values in: |date= (help)
  4. H. Ramli Nawawi & Tamny Roeslan, et.al. (Tim) (1984). Sejarah Sosial Daerah Kal-Sel. Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek IDSN. p. 10. 
  5. Kantor Sensus dan Statistik Propinsi Kalimantan Selatan (1978). Kalimantan Selatan dalam angka 1978. p. 2. 
  6. GLL. Kemmerling (1915). Topografische en Geologische Beschrijving van het Gebied van de Barito. Tijdschrrift, E.J. Brill, heiden. p. 718. 
  7. Deppen. Mengenal Kota Banjarmasin. Kantor Deppen Kodya Banjarmasin. p. 5. 
  8. Pemda Kodya Banjarmasin (1974). Rencana Pembangunan Lima Tahun Kodya Banjarmasin. p. 7. 
  9. Soeri Sairoto (1978). Berdirinya Kerajaan Banjarmasin suatu Tujuan Sosial Kultural. dalam lembaran sejarah No: 6 Faksasdaya UGM. p. 127. 
  10. J.J. Ras (1968). Hikayat Banjar. A. Study in Malay Historiography. s-Gravenhage. N.V. De Nederlandsche Bock en Steendrukkerij v/h. It. L. Smits. p. 192. 
  11. Schrieke B. (1955). Indonesia Sociological Study. part one. Van Hoeve Ltd, The Hage. p. 23. 
  12. M. Idwar Saleh (1982). Banjarmasih. Depdikbud Museum Negeri Lambung Mangkurat Prop. Kal-Sel. p. 30. 
  13. M. Idwar Saleh (1982). Banjarmasih. Depdikbud Museum Negeri Lambung Mangkurat Prop. Kal-Sel. p. 31. 
  14. A.A. Bijuri (30 Agustus 1972). Dinasti Surianata — Lambung Mangkurat. Harian Utama. p. 3. 
  15. M. Idwar Saleh (1958). Banjarmasin. Balai Pendidikan Guru. p. 76. 
  16. M. Idwar Saleh (1958). Banjarmasin. Balai Pendidikan Guru. p. 97. 
  17. Arsip Nasional R.I. (1965). Surat-Surat Perjanjian antara Kesultanan Banjarmasin dengan pemerintah V.O.C. Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia Belanda, 1635-1860. p. 250. 
  18. Arsip Nasional R.I. (1965). Surat-Surat Perjanjian antara Kesultanan Banjarmasin dengan pemerintah V.O.C. Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia Belanda, 1635-1860. p. 228. 
  19. Soeri Soeroto (26—29 Agustus 1970). Pergerakan Sosial dan Perang Banjarmasin. Seminar Sejarah Nasional II.  Check date values in: |date= (help) Lihat pula. Nugroho Notosusanto (1983). Sejarah Nasional Indonesia. Depdikbud. p. 48. 
  20. H, Ramli Nawawi dan Tarnny Roeslan, et.al. (Tim) (1984). Peta Sejarah. Depdikbud. p. 6. 
  21. M. Idwar Saleh (1958). Banjarmasin. Balai Pendidikan Guru. p. 34. 
  22. Encyclopaedie van Nederlandsche-Indie. 1917. p. 374. 
  23. H. Ramli Nawawi & Tamny Roeslan, et.al. (Tim) (1984). Sejarah Sosial Daerah Kal-Sel. Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek IDSN. p. 80. 
  24. Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama 1-42
  25. Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama 1-43
  26. Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama 1-44