Seni Patung Batak dan Nias/Bab 1
" ... yaitu putra dan putri Dewi Siboru Daek/Dayang Parujar yang bernama Siraja Ihat Manusia dan Siboru Ihat Manusia (Ihat = pusat/asal) sesuai dengan terombo".[1] Diukir dan ditulis dalam tongkat mukjizat/malaikat/ sihir Tunggal Panaluan sebagai salah satu unsur asli sejarah Batak".[1]
Melihat bentuknya Tunggal Panaluan menyerupai sebuah tongkat penuh dengan ukiran bentuk manusia dan hewan dari pangkal sampai ke ujung secara berjenjang yang yang terbuat dari bahan kayu panjangnya lebih kurang dua meter. Ditinjau dari sudut sejarah tongkat Tunggal Panaluan dikalangan orang-orang Batak memiliki arti penting karena tongkat itu mengandung mukjizat dan mempunyai kekuatan gaib di samping memberi arti yang simbolis tentang tata krama kekeluargaan, dalihan natolu marga dan lain sebagainya. Pengertian simbolis yang terkandung pada tongkat Tunggal Panaluan secara terperinci Batara Sangti (Ompu Buntilan) menjelaskan kembali dalam tulisannya sebagai berikut:
" . . . . Tunggal Panaluan selain berarti, Pancang Tunggal juga berarti penunjuk jalan tunggal, bagi Ketuhanan, Perikemanusiaan, Kesusilaan, Falsafah Hidup dan Hukum. Jadi ada lima buah unsur sejarah dan kebudayaan Batak yang dianggap asli dan tak dapat dimungkiri yakni: 1 .Tunggal Panaluan, 2. Bendera Gaja, Dompak, 3. Singa Rumah Batak, 4. Bakkara dan 5. Dalihan natolu”.2)
Bertolak dari arti simbolis yang terkandung pada tongkat Tunggal Panaluan seperti diuraikan di atas, maka jelaslah bahwa tongkat Tunggal Panaluan itu mengandung arti dan nilai luhur, sehingga merupakan suatu kewajiban untuk dipelihara bagi kalangan masyarakat Batak. Selanjutnya penulis berkesimpulan sementara bahwa Tongkat Tunggal Panaluan seperti yang telah diuraikan di atas boleh jadi adalah awal dari kehadiran seni pahat di daerah Batak.
Namun demikian kesimpulan yang penulis ambil masih perlu pengkajian dan penelitian yang lebih mendalam terutama tentang hakikat dari kisah tongkat Tunggal Panaluan itu oleh para sarjana dan para peneliti.
Dari kepercayaan lain menyatakan, bahwa kehadiran seni patung di daerah Batang pada mulanya dibuat sebagai media untung mengadakan hubungan antara manusia dengan sesuatu yang lebih tinggi. Hubungan ini pulalah yang menyebabkan adanya rasa Ketuhanan dan akhirnya. menjelma menjadi bentuk agama yang pertama, yang lazimnya disebut kepercayaan.
Untuk mengadakan hubungan dengan yang lebih tinggi, salah satu pelaksanaannya adalah dengan mengadakan kurban atau sesajen dengan maksud agar dapat perlindungan dari para dewa, terlepas dari gangguan kekejaman alam gaib dan roh-roh jahat.
Dasar kehidupan inilah akhirnya yang menjadi pokok kepercayaan animisme atau dengan kata lain kepercayaan kepada roh-roh nenek moyang yang sampai sekarang sebagian masih melekat di kalangan masyarakat Batak. Kegiatan-kegiatan yang serupa sampai sekarang masih dapat kita saksikan pada setiap upacara-upacara tradisional seperti meminta hujan dan turun ke sawah.
Bentuk ataupun corak patung pada zaman prasejarah mengarah kepada bentuk-bentuk yang manakutkan, seolah olah mempunyai kekuatan magis atau kekuatan yang luar biasa. Dengan keterangan di atas jelaslah bahwa seni patung pada zaman prasejarah adalah bersifat ritual magis, di samping dipakai. sebagai simbol atau perlambang tertentu. Dengan demikian lahirlah bermacam-macam bentuk patung nenek moyang pada tempat-tempat tertentu di daerah Batak.
Gambar 2. Gajah dompak Dilihat dari depan |
Gambar 3 Gajah dompak Dilihat dari belakang |
-
Gambar 6.
Patung "tarumpet" (terompet), dari kayu besi, berasal dari Batak. Melalui ubun-ubun diberi berlubang tembus sampai kebagian bawah, sebagaimana trompet yang dapat ditiup.
Katanya suara trompet ini dapat didengar sampai beberapa kilometer (melalui tenaga dalam). Fungsinya< adalah memberi kabar apabila ada gangguan-gangguan yang datang dari luar kampung. -
Gambar 7
Patung nenek moyang dari kayu. Dengan bentuk yang sederhana dengan sikap kaku, dapat memancarkan ekspresi magis.
moyang yang dianggap sakti. Peninggalan-peninggalan semacam
ini masih dapat kita jumpai di beberapa daerah di Toba dan di daerah-daerah lain seperti Simalungun, Dairi, dan Karo.
Pekuburan-pekuburan yang dapat kita lihat seprti di Tomok dan daerah-daerah lain disekitar pulau Samosir bentuknya menyerupai perahu yang dalam bahasa Batak di sebut Solu Bolon.
Sesuai dengan kepercayaannya, patung ini melambangkan kendaraan menuju nirwana. Perlambang lain adalah sebagai rumah
tempat tinggal yang baru bagi roh-roh.
Makam Raja Ujung Barita Sidabutar Keturunan Raja Pertama.
Peti batu makamnya berbentuk patung dengan wajahnya terlihat pada hiasan bagian depan, sedang pada bagian belakang berupa patung perwujudan wajah dari kekasihnya Gadis Anting Malela Boru Sinaga.
Wujud patung yang hanya berupa wajah, lebih bersifat symbolis, tidak digarap secara realistis. Bila diperhatikan mata, hidung serta mulut yang tersenyum, menunjukkan watak raja yang bijaksana, waspada, peka dalam menanggapi hal yang baik dan buruk, sedangkan rambut yang panjang melambangkan sumber kekuatan.
gambar 9
Kuburan batu Raja Ujung Sidabutar.
Detail wajah pada batu kuburan bagian depan dan belakang. Terlihat dua perwatakan yang berbeda. Pada patung bagian depan kelihatan sebuah patung pria.
Masa ke timun bertambah lada.
Hatiku rindu apa obatnya.
Biar kupahat romah wajahnya.
Biar ada peringatan bagi keluarga.
Karena gadis yang dicintainya telah mengingkari janji, maka raja memutuskan untuk mengawini gadis Onan Runggu yang bertempat tinggal kira-kira empat puluh kilo meter disebelah selatan Tomok.
Setelah perang usai, dimana Raja Ujung Barita Sidabutar menang, panglima perang Aceh itu kembali ke kerajaannya dengan selamat. Untuk mengenang jasa panglima Aceh itu, maka dibuatlah patungnya di pulau Samosir.
Walaupun Raja Ujung Barita Sidabutar senantiasa menang dalam setiap peperangan, namun raja tetap belum merasa puas. Untuk itu sebelum mangkat, beliau berpesan kepada keluarganya agar wajahnya yang dipahat di atas peti batu dilumuri dengan darah lawan yang kalah di medan pertempuran.
Pesan raja dilaksanakan dengan patuh, dimana setiap lawan yang kalah, ditangkap hidup-hidup dan disembelih, darahnya diambil kemudian dicampur dengan cat pulo batu (merupakan sejenis batu yang telah ditumbuk menjadi pepung) untuk kemudian dilumurkan ke wajah patung raja.
Hingga kini wajah patung masih berwarna kemerah-merahan walaupun telah beratusratus tahun umurnya.
Selain dari pada darah lawan, juga dagingnya diambil dicincang-cincang, kemudian dicampur dengan daging kerbau atau babi untuk dimakan bersama-sama dengan prajurit-prajurit yang berperang agar menjadi garang dan lebih berani di medan pertempuran. Mungkin dari sinilah timbulnya istilah "Batak makan orang".
Saat raja meninggal dibuat upacara adat kematian dengan mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam diiringi gondang Batak dengan hidangan berpuluh-puluh ekor kerbau dan babi sebagai tanda pesta keagungan.
Pengganti raja berikutnya adalah Ompu Solompon Sidabutar yang telah menganut agama Kristen; sehingga makamnya tidak lagi ditempatkan di dalam batu yang berlubang, melainkan dikubur di dalam tanah.
Bila kita memperhatikan berbagai ukuran kuburan, akan terlihat kuburan batu kecil dalam bentuk sebangun. Banyak orang menyangka bahwa kuburan ini merupakan kuburan anak raja. Padahal sebenarnya adalah makam orang dewasa dari golongan pejabat, hulubalang raja, anak boru, dan ada pula diantaranya bermarga Silalahi Harianja.
Menurut sejarahnya mayat hulubalang raja, sebelum dimasukkan ke kuburan batu, harus terlebih dahulu dikubur di tanah, kemudian dibongkar kembali untuk mengambil tulang-belulangnya, baru diletakkan ke dalam kuburan batu kecil.
Gambar 12
Perhatikan beberapa buah kuburan batu di daerah Tomok
Patung-patung yang terdapat pada saat sekarang, yang terdapat di daerah Batak pada umumnya, hanya dipakai sebagai peringatan, bukan lagi sebagai pemujaan seperti lazimnya dalam kepercayaan nenek moyang pada zaman dahulu.
2. Kesinian megalit
Kesenian Megalitik yang terdapat di daerah Batak merupakan kesenian yang terpenting dalam kebudayaan sebelum sejarah.
Peninggalan-peninggalan kesenian Megalitik yang terbuat dari batu mempunyai hubungan dengan kepercayaan di samping penghormatan bagi orang-orang yang sudah mati. Sebagian peninggalan masih utuh dan terpelihara baik. Namun banyak yang sudah rusak atau punah ditelan oleh zaman. Kedatangan kebudayaan Megalitik ke Indonesia kemungkinan dibagi atas dua gelombang, yang pertama terjadi pada zaman Neolithicum, dan menyebar hampir di seluruh pelosok tanah air, seperti di Batak, Nias, Pasemah, Toraja, Sulawesi Tengah dan Bali.
Di daerah Batak di sekitar pinggiran pantai Danau Toba dan Nias peninggalan-peninggalan kebudayaan Megalitik sampai saat ini masih banyak kita jumpai misalnya hatu berdiri (menhir) dan batu-batu yang disusun berupa meja (dolmen) dan kursi yang dipakai sebagai tempat pertemuan.
Kursi batu menurut kepercayaan masyarakat waktu itu adalah tempat dewa-dewa, dan juga dipakai sebagai tempat penghormatan kepada arwah-arwah leluhur mereka. Sebab penghormatan kepada leluhur dianggap sangat penting. Tempat ini tidak boleh diduduki orang, terkecuali oleh raja-raja adat sebab raja adat dianggap sebagai wakil dari leluhur. Oleh karenanya mereka diperkenangkan duduk diatas kursi batu itu.
Gelombang ke dua terjadi pada zaman perunggu. Bukti-bukti peninggalannya masih dapat kita lihat di Tomok terletak di pinggiran pantai pulau Samosir berupa peti mayat (keranda batu) yang terbuat dari batu lengkap dengan tutupnya. Selain itu sejumlah keranda lengkap yang tersebar di daerah pedalaman pulau Samosir menurut informan yang dihubungi masih banyak. Sayangnya daerah-daerah itu seperti di Lumbang, Suhi-Suhi, Lontung, Pansur, Banjar Pasir, dan Huta Rihit sukar untuk dilalui kendaraan.
Keranda seperti yang terdapat di desa Tomok (lihat halaman 13) pemahatnya sangat kreatif, sekalipun bentuknya masih mencerminkan corak dari hasil-hasil pola pemikiran seniman primitif, namun hasil konsepsinya yang ditinggalkan penuh dengan keindahan serta memberi kesan yang mengagumkan sampai saat ini. Betapa tidak, jika kita kembali menanggapinya bahwa hasil karya dari nenek moyang kita pada zaman dahulu memberi kesan dan tanggapan yang cukup menarik bagi ahli kebudayaan.
Kesan-kesan yang cukup mengagumkan dari hasil karya para seniman yang terpecah di desa Siduldul, Lumban Pangaloan, Lumbanraja dan Hutagurgur serta sejumlah sarcophagus yang terdapat di desa Pangambatan, ”antara lain apa yang dikatakan Dr. Schnitger : .... This image is one of greatest and noblest works of art ever produced ini Sumatra”3).
Dari ungkapan di atas dapatlah diketahui betapa para seniman kita pada zaman dahulu telah menunjukkan kebolehannya di bidang seni pahat.
Di daerah Nias menurut penelitian para ahli purbakala dari Jepang mengatakan bahwa hasil seni patung yang masih terdapat sekarang berusia lebih kurang 2,5 sampai 5000 tahun Sebelum Masehi. Patung-patung ini masih dapat kita lihat di desa Orahili di Kecamatan Gomo, desa Bawomataluo di Kecamatan Teluk Dalam dan lain-lain.
Peninggalan-peninggalan hasil seni patung tersebut di atas seperti di daerah Nias dapat kita Iibat di halaman-halaman rumah pengetua adat dan patung-patung ini masih terpelihara baik, sekalipun diantaranya banyak yang telah rusak. 3. Pengaruh Kebudayaan Asing di Daerah Batak dan Nias.
Untuk mengenal nilai budaya serangkaian dengan hasil kesenian tradisional dalam seni patung yang terdapat di daerah Nias dan Batak, kita akan menjumpai kesamaan-kesamaan motif (bentuk) dengan hasil kesenian dari negara-negara tetangga seperti Ceylon, India, Cina, Madagaskar, kesenian Maori dari New Zealand, Mesir, dan Afrika.
Kita dapat melihat betapa tingginya hasil kesenian Mesir kuno, demikian juga hasil kesenian di India, Cina, dan seni patung Purbawi di Afrika. Kita dapat pula melihat hasil kesenian yang serupa di daerah Batak dan Nias.
Kemungkinan-kemungkinan itu boleh jadi disebabkan pada zaman Bahari yang lampau perahu-perahu bercadik buatan Barus, dan perahu Bugis yang boboknya mencapai puluhan ton telah lalu lalang ke benua Asia, Australia, Afrika, dan Tanah Arab membawa kapur barus dan rempah-rempah sebagai bahan dagangan.
Bukti kesamaan motif (bentuk) kesenian ini dapat kita lihat pada patung-patung kuburan yang didudukkan di atas kursi di sepanjang jalan raya mulai dari daerah Simalungun sampai di perbatasan Kabupaten Tapanuli Tengah, demikian juga gaya ornamen rumah adat (singa-singa, gaja, dompak) di Tapanuli mempunyai kesamaan dengan ornamen suku Maori di New Zealand.
Kesamaan-kesamaan bentuk patung ornamen dapat kita lihat pada beberapa gambar berikut: Gambar 13
Gambar 18.
Maha. Tabung tempat ramuan obat. Tabung ini juga dulunya dipergunakan sebagai tempat mesiu model senapang kuno.
Gambar 19.
Horn. Ivory. 17 th. centry. West Coast of Afrika Illustration in Theatrum (1619) by Michael Pretorius.
B. Arkeologi.
PeninggaIan dari benda-benda bersejarah di Sumatera Utara menunjukkan bahwa penduduk yang tertua mempunyai ciri-ciri Austro Melanenosoid, sesuai dengan jenis-jenis artefak yang diketemukan. Penyebaran penduduk ini berlangsung pada masa prasejarah yakni pada zaman mesolithikum (zaman batu tengah), kebagian Timur Indonesia sampai ke pulau Irian, sedang ke bagian Barat jejak-jejaknya terdapat di Sumatera Utara dan Semenanjung MeIayu. Tempat tinggal mereka di dalam gua-gua (Aris sous roche) dan di daerah muara sungai dekat pantai. Peralatan yang mereka pakai terdiri dari bilah kasar, tulang, tanduk, dan kerang. Penduduk tertua yakni orang-orang Austro Melanesoid sangat gemar makan kerang, seolah-olah kerang adalah makanan utama mereka pada zamannya.
Kulit kerang yang merupakan sisa makanan akhirnya menjadi bukit kerang, sebagai bukti peninggaIan ini masih banyak kita temukan di beberapa tempat di Sumatra Utara. Timbunan sampah dari sisa makanan ini oleh para ahli sejarah kepurbakalaan disebut Kjokken modinger (sampah dapur).
Lebih kurang pada th. 2000 Sebelum Masehi, barulah datang suku melayu Tua (Proto Melayu). Kira-kira th. 1000 Sebelum Masehi disusul oleh suku Melayu Muda (Deutro Melayu). Menurut penelitian beberapa ahli diantaranya dalam monografi sejarah dan budaya Drs. EK Siahaan, Prof Keren, dan Von Heine Geldern, penduduk asli itu berasal dari dataran Asia dan termasuk salah satu cabang ras Mongoloid. Dari proto dan Dutro Melayu inilah kemudian lahir suku-suku bangsa yang mendiami Sumatera Utara yakni suku Batak, Melayu dan Nias. ;
Ditinjau dari segi penyebarannya dan letak daerahnya suku-suku Batak dibagi pula atas:
- | Suku Batak Toba mendiami tepi Selatan Danau Toba yakni pada dataran tinggi Toba, Humbang Silindung dan pulau Samosir; |
- | Suku Batak Simalungun mendiami tepi Timur Danau Toba yakni Kabupaten Simalungun; |
- | Suku Batak Dairi mendiami tepi Barat Danau Toba yakni KaBupaten Dairi yang dikenal sebagai suku Pakpak; |
- | Suku Batak Karo mendiami tepi Utara Danau Toba di sekitar daerah Kabupaten Karo sekarang; |
- | Suku Batak Mandailing mendiami sebelah Selatan Danau Toba di sekitar Kabupaten Tapanuli Selatan; dan |
- | Suku Nias mendiami pulau Nias yang terletak di Samudra Indonesia bagian Barat. |
Daerah pemukiman Suku Batak juga meliputi daerah pegunungan Bukit Barisan yang berpusat di Danau Toba berbatasan sebelah Utara dengan daerah Aceh, sebelah Timur dengan tanah Melayu, sebelah Selatan dengan Minangkabau, dan sebelah Barat dengan Samudera Indonesia.
"Daerah Batak sebelum penjajahan Belanda bernama "Negeri Toba" yang merdeka dan berdaulat, meliputi daerah pegunungan Bukit Barisan yang beribu kota di Bakkara. Berbatas di sebelas Utara dengan Negeri Aceh (sesudah lahir Kesultanan Aceh pada tahun 1513), sebelah Timur dengan Tanah Melayu yang terletak di pantai Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Negeri Pagarruyung/Minangkabau (sesudah datang Adityawarman) dan sebelah Barat dengan Lautan Hindia. Rajanya ialah dinasti Tuan Sori Mangaraja, Maharaja Diraja Negeri Aru/Haru yang beralih menjadi Negeri Toba. Berleluhur satu yakni Siraja Batak. Berbahasa dan bersurat/aksara Batak Toba. Beradat-istiadat yakni adat dan kebudayaan yang bersendi pada pola Dalihan Natolu.
Pendapat di atas kiranya memberi arah pikiran kepada kita bahwa Negeri Toba yakni di Bakkara terdapat desa-desa yang tertua. Dari desa inilah akhirnya orang-orang Batak itu menyebar mendiami daerah di sekeliling danau Toba.
Beberapa ahli sejarah lainnya, seperti Bapak Burhanuddin Piliang menguatkan pendapat tersebut diatas, bahwa disekitar danau Toba terdapat gunung Pusuk Buhit. Menurut kepercayaan orang Batak dari gunung Pusuk Buhit itulah tempat asal mula nenek moyang orang Batak yang disebut dalam istilah Batak Mula Jadi Na Bolon.
Namun demikian pendapat itu masih perlu di kaji untuk diketahui kebenarannya secara ilmiah. Alasan ini justru masih ada juga yang berpendapat bahwa suku yang lebih tua berasal dari suku Dairi yang bermukim di pegunungan Pakpak, kemudian pergi ke Pusuk Buhit. Dilihat dari letak geografis kemungkinan yang tiba dari daratan Asia ke Indonesia bahagian Barat melalui Bandar Tua Barus lebih kurang 3000 tahun yang lalu, untuk tiba di Pusuk Buhit mungkin terlebih dahulu harus melintasi pegunungan Pakpak/Dairi. Bekas-bekas kedatangan mereka masih terdapat di hutan Dairi antara lain bekas tapak kaki manusia pada zamannya yang lebih besar dari bekas tapak kaki manusia sekarang. Sekali lagi masih perlu adanya penelitian lebih mendalam.
––––––––––––––––––––––
4). Batara Sangti (Ompu Buntilan), Opcit hal. 27.Pertambahan penduduk baru ini makin lama makin bertambah banyak tentu saja kebutuhan hidup mereka makin bertambah pula, sedang tanah perladangannya tidak sesubur seperti semula. Akhirnya mereka terpaksa mencari daerah baru yang lebih subur untuk bercocok tanam. Melalui alur sungai mereka berlayar, akhirnya tiba di kaki bukit barisan, daerah yang cukup subur sebagai daerah gunung api. Tepatnya tempat itu berada di sekitar Danau Toba. Di tempat itu akhirnya mereka mendirikan gubuk tempat berlindung menghindarkan diri dari kekejaman alam yang selalu mengancam mereka.
Lebih kurang tahun 1000 Sebelum Masehi menyusul pula pendatang-pendatang baru yang juga berasal dari daratan Asia Tenggara.
Mereka tergolong kepada Deutro Melayu (Melayu Muda). Pendatang-pendatang baru ini telah mengenal bagaimana cara-cara bercocok tanam yang lebih sempurna, demikian juga cara-cara berternak seperti berternak babi, kerbau, dan ayam. Di lain hal mereka juga sudah dapat membuat peralatan rumah tangga seperti membuat periuk dari tanah liat dan lain sebagainya.
Kulit kayu dan kulit binatang telah dapat pula diolah untuk pakaian sebagai alat pelindung badan dari serangan cuaca dan udara yang buruk.
2. Bangunan Tempat Tinggal.
Bangunan sebagai tempat tinggal pada mulanya masih sangat sederhana, yang penting bagi mereka asal dapat terhindar dari gangguan alam dan binatang buas.
Tingkat kebudayaan mereka kian lama kian bertambah maju. Tentu saja kebutuhan rumah tangga, kebutuhan hidup dan lain sebagainya semakin meningkat pula, yang mengharuskan mereka berusaha sekeras mungkin untuk memenuhi kebutuhan hidupnya itu.
Demikianlah akhirnya mereka mulai tertarik pada keindahan. Perhiasan dan lain-lain sebagainya, mulai merasa dibutuhkan dalam hidupnya, di samping makanan. Para tukang rumah telah dapat menyesuaikan dengan kondisi daerahnya bahan-bahan yang diperhitungkan bisa tahan untuk jangka beberapa tahun. Hal yang lebih penting lagi mereka telah pula mengenal dunia lain melalui perdagangan antar daerah dan bangsa yang mengakibatkan terjadinya tukar-menukar kebudayaan, sehingga tercipta bangunan-bangunan baru dan peralatan lainnya yang lebih sempurna. Rasa keindahan kiranya melekat di hati mereka, awal yang merupakan dari lahirnya ragam hias yang sampai sekarang tersemat pada dinding rumah adat tradisional yang menyebar di daerah-daerah lain di pelosok tanah air.
Hal yang serupa juga banyak kita jumpai pada pekuburan lama yang sisa-sisanya masih dapat kita lihat sampai saat ini, selain hiasan juga kita temukan bentuk-bentuk patung yang merupakan penjelmaan bagi roh nenek moyang.
––––––––––––––––––––––––
5). Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto, Bunga Rampai Sejarah Budaya Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, tahun 1964, hal. 2. keperluan upacara agama atau pemujaan kepada arwah nenek moyang dan akhimya mereka mengenal suatu jenis kesenian"5).
Kendatipun tingkat kehidupan masyarakat pada zaman prasejarah masih dalam tarap primitif namun masyarakat telah menunjukkan rasa mampu dalam arti telah dapat menyelaraskan kehidupannya dengan kondisi yang ada. Demikian pula halnya dengan nenek moyang suku Batak pada zaman prasejarah telah mampu membembenahi hidupnya ke jenjang yang lebih baik jika dibandingkan dengan zaman-zaman sebelumnya.
Dari rumah sebagai tempat tinggal yang mereka bangun bersama kemudian berkembang menjadi sebuah desa. Melalui desa ini pulalah akhirnya mereka memiliki pemerintahan guna mengatur masyarakat, mengatur adat-istiadat dibawah hukum-hukum adat yang mereka junjung tinggi. Hukum adat bukan hanya dipakai sebagai hukum dalam hubungan satu dengan lainnya tetapi hukum adat juga mengatur tentang cara hidup bermasyarakat, hidup berkeluarga, dan bersaudara dalam arti yang lebih luas.
3. Kepercayaan.
Dalihan Natolu yang merupakan pedoman tata cara hidup bermasyarakat bagi orang-orang iiatak, yang juga merupakan kesimpulan dari tiga masalah, kepercayaan dan adat-istiadat.
Dari segi adat, kemudian dihubungkan dengan pertalian kekeluargaan dan kekerabatan. Dalihan Na Tolu memegang posisi yang sangat penting. Dalihan Na Tolu tidak hanya dimiliki oleh masyarakat Batak Toba tetapi oleh semua suku-suku Batak yang disadari justru suku-suku Batak itu merupakan serumpun jua adanya. Dalihan Na Tolu pada suku Batak Toba:
Dongan Sabutuha,
Boru, dan
Hula-hula.Kalimbubu,
Sembuyak, dan
Anak Beru.Kahanggi,
Anak Boru, dan
Mora.Senina,
Anak Boru, dan
Tondong.Dengan sebeltek,
Berru, dan
Kula-kula.Demikianlah mengenai kebudayaan nenek moyang suku Batak pada waktu itu dan membudaya terus sampai saat ini terutama dari segi adat-istiadat (hukum adat) yang unggul, utamanya kebudayaan kerohanian dan kebudayaan kemasyarakatan.
C.Perkembangan Seni Patung di Daerah Batak dan Nias.
Patung-patung Prasejarah dilihat dari bentuk dan kegunaannya yang terdapat di daerah Batak.
1. Patung Arwah Nenek Moyang.
Patung arwah nenek moyang suku Karo (dari batu apung). Patung ini digelari patung Pulu Baleng, berfungsi sebagai pengawal dari gangguan-gangguan jahat yang datangnya dari luar desa.
Patung arwah nenek moyang suku Pakpak (dari batu padas). Pada patung ini kita melihat sebuah pahatan yang sederhana, namun memberi arti cukup dalam lewat kepercayaan nenek moyang pada zamannya. Bentuk hidung dipahat menyatu dengan rambut yang panjang, lambang kekuatan, sedang, lambang kekuatan, sedang kuda sebagai binatang tunggangan sebagai kendaraan menuju nirwana. 2.Patung Penolak Bala atau Pengawal Kampung.
(sebagai glossery).
Pagar Jabu
Pagar = pelindung (melindungi).
jabu = rumah.
Patung penunggang kuda, dari kayu. Padanya terdapat nilai-nilai yang bersifat magis sesuai dengan fungsinya yang dapat memberikan keselamatan.
dua orang anak, menggambarkan kasih sayang.
Hampir di setiap desa di daerah Batak Toba terdapat patung dan monumen. Di desa lainnya seperti di daerah Simalungun. Dairi, Karo, Angkola Mandailing, dan Nias, agak jarang jika dibandingkan dengan di daerah Batak Toba. Kemungkinan disebabkan oleh biaya pembangunan sebuah patung/monumen terlalu mahal. Berlainan halnya dengan suku Batak Toba, mendirikan patung/monumen sebagai penghormatan terhadap nenek moyang adalah menjadi kewajiban bagi setiap keturunannya dan sudah menjadi suatu kebudayaan bagi suku Batak Toba umumnya. Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Batara Sangti (Ompu Buntilan) lewat bukunya (Sejarah Batak):
" ... untuk menghormati ibu-bapak, telah menjadi kebudayaan tinggi suku Batak sejak dahulu kala hingga kini, baik di waktu hidup maupun setelah mati".6)
––––––––––––––––––––––––
6). Batara Shangti (Ompu Buntilan) op. cit, hal. 14 lampiran III. Patung dengan gaja naturalis. Pada tangan kanan memegang sebuah tongkat (Tukkot), sedang pada tangan kiri mengapit sebuah pedang keturunan (Pisohalangan) dan kuping sebelah kanan dipasang anting-anting (Sibong).
Pergelangan tangan memakai gelang (golang), sedang pada lehernya mengenakan rante (horung-horung). Ulos Napinucuaan disandangkan pada bahu sebelah kanan. Kain batak yang dipakai pemahatnya dengan juraian kainnya menampilkan sebuah patung yang berbobot.
Tongkat Tunggal Panaluan atau disebut juga tongkat Malaikat oleh suku Batak, ditafsirkan sebagai tongkat yang dapat memberikan sinar terang yang menggembirakan, sebab tongkat itu dapat dipergunakan sebagai penakluk kejahatan.
Lengkapnya mukjizat yang terkandung pada tongkat Tunggal Panaluan, penulis mengutip tulisan Batara Sangti lewat bukunya Sejarah Batak atanra lain:
"Memang ada lagi pekerjaan-pekerjaan yang ditugaskan kepada tunggal panaluan itu. Doa-doa memohon anugerah anak-anak yang bahagia, hasrat untuk diberitahukan hasil bakal usaha, dan pekerjaannya yang khas pada pesta musim panen tentunya tidak boleh ketinggalan untuk disebutkan".7)
Jika diafsirkan tulisan tersebut di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa tongkat Tunggal Panaluan dapat memberi arti terhadap kehidupan dan kematian dalam arti buruk dan baik, dan lain-lain yang dianggap ada hubungannya dengan tongkat Tunggal Panaluan yang sakti itu seperti: meminta hujan jika musim kemarau panjang dan kebalikannya menghentikan/memindahkan hujan jika diperlukan pada upacara-upacara adat dan lain sebagainya.
Tongkat Tunggal Panaluan dimiliki oleh semua suku Batak dengan motif yang berbeda-beda, tetapi mempunyai tujuan yang sama yakni sebagai penakluk kejahatan.
D. Latar Belakang Sejarah Tongkat Tunggal Panaluan di Daerah Batak Tapanuli.
Untuk melengkap asal mula sejarah, kehadiran tongkat Tunggal Panaluan, penulis kutipkan selengkapnya tulisan Batara Sangti (Ompu Buntilan) sebagai berikut:
"Di Sidogordogor Pangururan di Pulau Samosir di teluk perpisahan antara darat dan air/danau (inhaam) hidup seorang pria bernama Guru Hatiabulan. Beliau adalah seorang Sibaso (pendeta) nama Datu Arak ni Pane. Istrinya bernama Nan Sindak Panaluan. Mereka sudah lama kawin sebelum perempuan ini hamil. Sesudah perempuan ini hamil maka luar biasa lamanya barulah anak itu lahir. Semua penduduk kampung itu menganggap keadaan itu suatu hal yang gaib.
_________________________
Pada waktu itu terjadi bala kelaparan di negeri itu. Karena tidak tertahankan teriknya dan kerak tanah menutupi kubangan-kubangan dan rawa-rawa. Disebabkan kemarau yang berkepanjangan ini, maka kita raja-raja Bius (Kepala persatuan pemujaan roh-roh) menjadi risau. Maka ia pergi menjumpai Guru Hatiabulan dan mengatakan kepadanya: "Kiranya adalah bijaksana bila kita mencari sebabnya dan mengajak kepada Debata Dewa yang adil mengapa musim kemarau dan bala kelaparan ini berkepanjangan begitu lama. Keadaan serupa ini belum pernah terjadi. Lalu raja Bius mengatakan: "Semua orang heran mengapa istrimu itu begitu lama hamil. Para bidan menerangkan bahwa kehamilan itu telah terlalu lama". Karena perkataan-perkataan ini maka timbul pertengkaran akan tetapi tidak ada yang cedera atau mati.
Dalam pada itu perempuan itu melahirkan anak kembar, seorang anak lelaki dan seorang anak perempuan (Toba = marpohas). Seketika itu juga sesudah anak-anak itu lahir terus-terusan turun hujan lebat. Semua tanam-tanaman di ladang dan di hutan bertumbuhan dan alam nampak segar dan hijau kembali.
Lalu Guru Hatiabulan memotong seekor lembu menenteramkan/mendamaikan kekuasaan-kekuasaan jahat itu. la mengundang semua pengetua-pengetua dan kepala-kepala kepada perjamuan itu dimana nama anak-anak itu akan diumumkan. Putra itu diberi nama Si Aji Donda Hatahutan dan putri itu Si Boru Tapina Uasan. Habis pesta itu menasihatkan supaya anak-anak itu jangan kiranya bersama-sama diasuh. Yang satu kiranya dibawa kebarat yang lain ketimur sebab kelahiran kembar, istimewa yang berlainan jenis adalah satu masalah yang sangat tidak baik menurut faham tua. Tetapi Guru Hatiabulan tidak mengindahkan nasihat arif bijaksana dari pengetua-pengetua dan kepala-kepala itu. Lama berlamaan, akan tetapi maka terbuktilah bahwa orang-orang arif bijaksana benar adanya. Guru Hatiabulan mendirikan gubug kecil di gunung suci Pusut Buhit kemana dia membawa anak-anaknya itu.
Seekor anjing harus menjaga mereka dan setiap Guru Hatiabulan membawa makanan mereka. Setelah anak-anak itu menjadi dewasa maka putri/gadis itu ketika berjalan-jalan kebetulan melihat sebuah pohon bernama piu-piu tanggule atau hau todatoda yang batangnya penuh dengan duri-duri panjang. Pohon itu mempunyai buah yang mulai masak dan manis Si Boru Tapina Uasan kepingin makan buah-buahan itu dan karena itu ia memanjat pohon itu. la memetik beberapa buah dan memakannya. Akan tetapi seketika itu juga ia ditelan oleh pohon itu dan menjadi satu dengan pohon itu. Hanya kepalanya masih kelihatan. Saudaranya menunggu sampai sore dalam kebimbangan mengenai nasib saudarinya itu dan kemudian pergi ke hutan untuk memeriksanya dimana dia memanggil-manggil namanya dengan suara nyaring. Dekat pohon itu panggilannya disahut oleh putri/gadis itu dan sesudah ia dekat putri/gadis itu mengatakan padanya bagaimana ia seolah-olah telah ditelan pohon itu. Si Aji Donda Hatahutan memanjat pohon itu akan tetapi ia juga dihisap hingga meresap dan bersatu dengan pohon itu. Keduanya mereka itu menjerit-jerit untuk minta tolong, akan tetapi suara mereka itu hilang dalam gelap gulita itu.
Besok pagi berikutnya anjing mereka datang berlari-lari. Binatang itu meloncat ke pohon itu dan anjing itu juga ditelan kayu itu dan hanya kepalanya saja yang tinggal kelihatan. Guru Hatiabulan sebagaimana biasa datang membawa makanan untuk anak-anaknya itu. Ketika ia sudah tidak melihat mereka itu maka ia mengikuti jejak kaki putrinya itu dan sesudahnya sampai ke pohon itu dimana ia melihat hanya kepala anak-anaknya dan kepala anjing itu. Ia sangat bersusah hati.
Kemudian Guru Hatiabulan pergi mencari seorang tukang sihir dan menemui seorang bemama Datu Permanuk Koling. Datu itu datang ke pohon itu disertai dengan banyak orang dari tempat jauh dan dekat, karena kejadian itu telah ketahuan dimana-manapun. Seperangkatan alat gung dijeput dan Datu itu memulai pekerjaanya. Ia menggemakan doa-doa mantra untuk mengusir roh-roh itu dengan baik dan membuat apa saja yang dapat mematahkan sihir itu. Setelah upacara yang diperlukan selesai ia memanjat pohon itu. Akan tetapi ia juga di telan.
Guru Hatiabulan telah kehabisan akal. Ia telah banyak mengeluarkan uang untuk Datu-Datu keperluan gendang dan kurban untuk roh-roh. Apa saja diminta dia bayar dengan hati rela, tetapi kini putus asa. Beberapa hari kemudian seorang Datu Parupausa Ginjang datang memperkenalkan dirinya. Ia menerangkan dengan pasti, bahwa ia dapat melepaskan orang-orang itu. Guru Hatiabulan mempercayai Datu itu dan memberikan semua yang ia minta. Datu itu menerangkan, bahwa mereka harus memperkurban kepada semua roh-roh. Roh-roh dari daratan, roh-roh dari air/lautan, roh-roh dari hutan dan yang lain-lain semuanya. Sesudah itu orang itu akan dilepaskan. Guru Hatiabulan menyediakan kurban itu sesuai dengan petunjuk datu itu. Kemudian mereka pergi ke pohon itu memasang semua ilmu sihir yang diketahuinya, ia memotong pohon itu. Sesudah pohon itu roboh semua kepala-kepala manusia itu sekonyong-konyong lenyap, juga kepala dari anjing dan ular itu. Semua orang menjadi bingung, akan tetapi datu itu bilang supaya Guru Hatiabulan memotongi pohon dan mengukit di kayu gambaran dari orang yang telah lenyap itu. Demikianlah jadi diperbuat. Ia memotongi batang pohon itu dan mengukir pada satu tongkat gambaran dari lima orang lelaki, dua orang perempuan, seekor anjing dan seekor binatang lata.
Sesudah memperoleh sembilan gambaran sedemikian ini mereka semuanya kembali ke kampung. Sesudah mereka sampai di situ maka dibunyikanlah gung, sedang seekor lembu dipotong demi kehormatan dari yang diperlihatkan dengan gambar-gambar itu. Tongkat itu disandarkan ke muka suatu lumbung padi lalu Guru Hatiabulan menari.
Kemudian itu Datu Parpausa Ginjang menarikan suatu tari keberahian, dengan jalan ini ia membuat dirinya kesurupan dengan roh-roh dari yang tertelan itu. Sesudah ia disurupi oleh roh-roh ini mereka itu memulai berbicara melalui dia. Mereka itu adalah roh-roh dari:
- Si Aji Donda Hatahutan;
- Si Boru Tapi Na Uasan;
- Datu Pula Paijang Na Uli, Si Panjarbulan Simelbuselbus;
- Si Sanggar Meoleol;
- Si Sanggar Meoleol;
- Dasi Mangambat, Si Upar Mangalela; dan
- Barita Songkar Pangururan.
Mereka mengatakan: "O, Bapak Pengukir, Bapak telah mengukir gambaran kami dan kami mempunyai mata, akan tetapi tidak dapat melihat kami mempunyai mulut, akan tetapi tidak dapat berbicara, kami mempunyai kuping, akan tetapi tidak dapat mendengar, kami mempunyai tangan akan tetapi tidak dapat memegang. Kami mengutuk Bapak Pengukir," Datu itu menjawab: "Jangan kutuk saya, akan tetapi pisau inilah, karena jika tidak dengan itu saya tidak dapat mengukir gambaranmu";. Pisau itu menjawab: "Jangan kutuk saya, akan tetapi tukang besi itulah, karena jika ia tidak menempa saya, saya tidak akan pernah menjadi sebilah pisau. "Tukang pandai besi berkata: "Jangan kutuk saya, akan tetapi pengembus/puputan itulah, karena jika tidak dengan tiupannya saya tidak akan dapat menempah sesuatu apa". Pengembus/puputan berkata: "Jangan kutuk saya akan tetapi Guru Hatiabulanlah, sebab jika ia tidak memerintahkan bertindak seperti yang kami perbuat, kami tidak akan pernah melakukan pekerjaan ini".
Sepanjang mengenai guru Hatiabulan roh itu kembali berbicara dari mulut tukang sihir itu: "Saya kutuk kamu Bapak dan juga kamu Ibu yang melahirkan saya," setelah Guru Hatiabulan mendengar ini ia menjawab: "Jangan kutuk saya, akan tetapi kutuklah dirimu sendiri. Kau yang telah terjerumus/jatuh kedalam lubang, kau yang dibunuh dengan lembing dan kamu yang tidak mempunyai keterunan". Lalu roh itu berkata: "Jikalau begitu semestinya, Bapak pergunakanlah saya dari sekarang sebagai:
- Penangkal pada musim hujan;
- Pemanggil hujan pada musim kemarau;
- Penasehat dalam pemerintahan dalam negeri;
- Teman seperjuangan dalam peperangan; dan
- Sumber penyebab dalam kebusukan/kerusakan dalam penyakit dan kematian dan dalam pada itu daya kekuatan untuk menyusut pencuri dan perampok." Sesudah ini upacara berakhir semua pergi mengikuti jalan masing-masing.8)
Pada uraian terdahulu telah disebutkan bahwa suku Batak ituserumpun adanya. Maksudnya bahwa kepercayaan, adat-istiadat pada umumnya mempunyai kesamaan satu dengan lainnya. Demikian juga tentang tongkat mukjizat Tunggal Panaluan. Hampir setiap suku me-
––––––––––––
8) Batara Shangti Op. Cit., hal. 365, 366, 367, 368. milikinya sekalipun motif/bentuk serta kisah kehadirannya berbeda-beda namun fungsi dan hakikatnya sama yakni memberi arti terhadap kehidupan dan kematian dalam arti nasib buruk dan nasib baik.
Menurut beberapa orang pengetua adat yang kami hubungi kehadiran tongkat Panaluan di daerah Karo pada mulanya berasal dari manusia juga adanya. Di daerah Karo kita dapati dua buah tongkat masing-masing mempunyai mukjizat yakni tongkat Panaluan disebut oleh suku Karo tongkat diberu (perempuan) sedang tongkat malaikat disebut pula tongkat dilaki (jantan). Kedua tongkat itu masing-masing mempunyai keunikan bentuk, tergambar mulai dari pangkal sampai keujung secara berjenjang, terdapat berbagai macam perwujudan bentuk manusia dan binatang. Dari kedua tongkat itu kita dapat melihat adanya nilai-nilai fungsional, sangat menentukan sebagai penakluk dari gangguan-gangguan jahat di samping pemberi harapan baik.
Kehadiran Tongkat Panaluan dari daerah Batak Karo tidak sama dengan kehadiran Tongkat Panaluan seperti yang terdapat di daerah Batak Toba, baik bentuk ataupun motif ukiran yang terdapat pada tongkat itu.
Motif ukiran pada Tongkat Batak Toba terdiri dari lima orang laki-laki, dua orang perempuan, seekor anjing dan seekor ular. Sedang motif pada Tongkat Panaluan Batak Karo terdiri dari sebelas orang manusia tujuh ekor anjing, seekor lipan, seekor kepiting, seekor bunglon, seekor kalajengkin, seekor kodok dan seekor kuda.
-
Gambar 36
Patung tongkat Tunggal Panaluan dan tongkat Malaikat. (Batak Karo)
Ciri-ciri khas tongkat yang terdapat di daerah Karo kelihatannya pada pangkal tongkat sebelah atas, berupa seorang yang sedang menunggang seekor binatang. -
Gambar 37
Gambar berikut dapat dilihat dua jenis tongkat diolah lewat media kayu besi. Patung yang dipahat bertumpang tindih diwujudkan dengan keseragaman bentuk dan gaya khas Batak Karo dengan komposisi yang harmonis.
-
Gambar 38
Tongkat gaya Batak Simalungun bentuknya tidak lebih dari yang kita lihat pada patung Penghulu Balang yang terdapat di Museum Simalungun di Pematang Siantar. Detail patung dipahat dalam posisi jongkok sambil memeluk dua orang anak, jelas menandakan pada tongkat ini fungsinya adalah perlambang kasih sayang, -
Gambar 39
Bentuk sederhana warna hitam terasa memancarkan unsur-unsur magis. Susunan figur-figur pada tongkat ini memperlihatkan adanya kesamaan dengan tongkat tunggal panuluan Batak dan Karo; dengan adanya motif binatang menyusui terpahat, sekalipun dengan gaya agar berbeda.
-
Gambar 40
Tongkat gaya Nias.
Figus yang terdapat terasa adanya perbedaan dengan tongkat yang terdapat di daerah Batak. Motif hewani, sejenis binatang mamalia mahkluk yang hidup di pohon (primat). Jenis binatang ini disebut dalam bahasa Nias "Bae". Terlihat pula motif manusia yang diucapkan ke dalam monyet (bae) yang sedang dirangkul kedua tangan dan kakinya, membawa kita kepada gaya seni nenek moyang. -
Gambar 41
Tongkat Pakpak Dairi.
Hubungan antar motif-motifnya sangat sederhana, namun karakter figur manusia pada pangkal tongkat masih terasa adanya kekuatan yang tidak tergoyahkan sebagai pancaran akan fungsi tongkat tersebut.