Seni Patung Batak dan Nias/Bab 1

A. Latar Belakang Sejarah
1. Asal Mula Kehadiran Patung.
Sejarah seni patung Batak awal kehadirannya sudah ada sejak zamat prasejarah, dari masa Neolithikum sampai masa akhir Mesolithikum pada lebih kurang 4000 tahun yang lalu.
Menurut mitologi dijelaskan bahwa kehadiran seni patung di daerah Batak pada mulanya bersumber dari kisah dua orang bersaudara kembar, seorang putra dan seorang putri dari perkawinan Boru Daek Parujar yang turun dari kayangan dengan si Raja Odap-Odap.
Kedua putra dan putri itu masing-masing diberi nama Ihat Manusia (putra) dan si Boru Ihat manusia (putri). kemudian kedua bersaudara ini mengadakan hubungan (kawin sumbang) dan melahirkan seorang putra yang diberi nama si Raja Batak kawin dan memperoleh dua orang putra yang masing-masing diberi nama Guru Hatiabulan dan Raja Isumbaon. Kedua putra itu masing-masing mempunyai keahlian di bidang ketabiban, ilmu silat, ilmu sihir, hukum pemerintah, ilmu bercocok tanam, ilmu ukir/pahat.
Mungkinkah melalui keahlian salah satu dari kedua tokoh di atas, menghasilkan ukiran yang terdapat pada tongkat Tunggal Penaluan. Kemungkinan-kemungkinan masih dapat kita terima jika dihubungkan dengan silsilah keturunan di atas sebagai awal kehadiran dari suku Batak, sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Batara Sangti lewat tulisannya tentang latar
Gambar 1
belakang sejarah kebudayaan Batak yang penulis kutip atanra lain:

" ... yaitu putra dan putri Dewi Siboru Daek/Dayang Parujar yang bernama Siraja Ihat Manusia dan Siboru Ihat Manusia (Ihat = pusat/asal) sesuai dengan terombo".[1] Diukir dan ditulis dalam tongkat mukjizat/malaikat/ sihir Tunggal Panaluan sebagai salah satu unsur asli sejarah Batak".[1]

Melihat bentuknya Tunggal Panaluan menyerupai sebuah tongkat penuh dengan ukiran bentuk manu­sia dan hewan dari pangkal sam­pai ke ujung secara berjenjang yang yang terbuat dari bahan kayu pan­jangnya lebih kurang dua meter. Ditinjau dari sudut sejarah tongkat Tunggal Panaluan dikalangan orang­-orang Batak memiliki arti pen­ting karena tongkat itu mengan­dung mukjizat dan mempunyai ke­kuatan gaib di samping memberi arti yang simbolis tentang tata krama kekeluargaan, dalihan nato­lu marga dan lain sebagainya. Pengertian simbolis yang terkan­dung pada tongkat Tunggal Panaluan secara terperinci Batara Sangti (Ompu Buntilan) menjelaskan kembali dalam tulisannya sebagai berikut:

" . . . . Tunggal Panaluan selain berarti, Pancang Tunggal juga berarti penunjuk jalan tunggal, bagi Ketuhanan, Perikemanusia­an, Kesusilaan, Falsafah Hidup dan Hukum. Jadi ada lima buah unsur sejarah dan kebudayaan Batak yang dianggap asli dan tak dapat dimungkiri yakni:

1 .Tunggal Panaluan, 2. Bendera Gaja, Dompak, 3. Singa Rumah Batak, 4. Bakkara dan 5. Dalihan natolu”.2)

Bertolak dari arti simbolis yang terkandung pada tongkat Tunggal Panaluan seperti diuraikan di atas, maka jelaslah bahwa tongkat Tunggal Panaluan itu mengandung arti dan nilai luhur, sehingga merupakan suatu kewajiban untuk dipelihara bagi kalangan masyarakat Batak. Selanjutnya penulis berkesimpulan sementara bahwa Tongkat Tunggal Panaluan seperti yang te­lah diuraikan di atas boleh jadi adalah awal dari kehadiran seni pahat di daerah Batak.

Namun demikian kesimpulan yang penulis ambil masih perlu pengkajian dan penelitian yang lebih mendalam teruta­ma tentang hakikat dari kisah tongkat Tunggal Panaluan itu oleh para sarjana dan para peneliti.

Dari kepercayaan lain menyatakan, bahwa kehadiran seni patung di daerah Batang pada mulanya dibuat sebagai media untung mengadakan hubungan antara manusia dengan sesuatu yang lebih tinggi. Hubungan ini pulalah yang menyebabkan adanya rasa Ketuhanan dan akhirnya. menjelma menjadi bentuk agama yang pertama, yang lazimnya disebut kepercayaan.

Untuk mengadakan hubungan dengan yang lebih tinggi, salah satu pelaksanaannya adalah dengan mengadakan kurban atau sesajen dengan maksud agar dapat perlindungan dari para dewa, terlepas dari gangguan kekejaman alam gaib dan roh-roh jahat.

Dasar kehidupan inilah akhirnya yang menjadi pokok ke­percayaan animisme atau dengan kata lain kepercayaan kepada roh-roh nenek moyang yang sampai sekarang sebagian masih melekat di kalangan masyarakat Batak. Kegiatan-kegiatan yang serupa sampai sekarang masih dapat kita saksikan pada setiap upacara-upacara tradisional seperti meminta hujan dan turun ke sawah.

Bentuk ataupun corak patung pada zaman prasejarah mengarah kepada bentuk-bentuk yang manakutkan, seolah­ olah mempunyai kekuatan magis atau kekuatan yang luar biasa. Dengan keterangan di atas jelaslah bahwa seni patung pada za­man prasejarah adalah bersifat ritual magis, di samping dipakai. sebagai simbol atau perlambang tertentu. Dengan demikian la­hirlah bermacam-macam bentuk patung nenek moyang pada tempat-tempat tertentu di daerah Batak.


Gambar 2.
Gajah dompak
Dilihat dari depan

Gambar 3
Gajah dompak
Dilihat dari belakang
Dua buah patung batu Gajah dompak kelihatan artistik dekoratif. Patung ini terletak di halaman pintu masuk ke kampung guna mencegah adanya maksud-maksud jahat dari orang-orang yang datang tan­pa diundang. Lebih dari itu patung itu juga berfungsi sebagai pengusir roh-roh jahat sesuai dengan kepercayaan nenek moyang suku Batak. Motif-motif hiasan yang terlihat dari bahagian belakang, seolah-olah pengawal yang sedang berjaga-jaga.
Menurut kepercayaan animisme bahwa setiap makhluk yang hidup akan mati kemudian hidup kembali (reinkarnasi). Pada akhirnya timbul pengertian oleh manusia purba pada za­mannya, bahwa rahasia dibalik kematian setiap makhluk yang hidup, jiwa dan rohnya tetap abadi dan akan kembali lagi ke tempat asal dari sisa jasmaninya. Hal inilah yang mewajibkan manusia membuat suatu bangunan sebagai tempat tinggal yang tetap bagi manusia yang mati itu. Bangunan-bangunan (pekuburan) adalah permulaan dari perumahan dewa, di samping patung-patung sebagai tempat bersemayam roh-roh manusia.
yang mati, atau penjelmanaan kembali dari roh-roh nenek

moyang yang dianggap sakti. Peninggalan-peninggalan semacam ini masih dapat kita jumpai di beberapa daerah di Toba dan di daerah-daerah lain seperti Simalungun, Dairi, dan Karo.
Pekuburan-pekuburan yang dapat kita lihat seprti di Tomok dan daerah-daerah lain disekitar pulau Samosir bentuknya menyeru­pai perahu yang dalam bahasa Batak di sebut Solu Bolon.
Sesuai dengan kepercayaannya, patung ini melambangkan ken­daraan menuju nirwana. Perlambang lain adalah sebagai rumah tempat tinggal yang baru bagi roh-roh.

Makam Raja Ujung Barita Sidabutar Keturunan Raja Pertama.

Peti batu makamnya berbentuk patung dengan wajahnya terlihat pada hiasan bagian depan, sedang pada bagian belakang berupa patung perwujudan wajah dari kekasihnya Gadis Anting Malela Boru Sinaga.

Wujud patung yang hanya berupa wajah, lebih bersifat symbolis, tidak digarap secara realistis. Bila diperhatikan mata, hidung serta mulut yang tersenyum, menunjukkan watak raja yang bijaksana, waspada, peka dalam menanggapi hal yang baik dan buruk, sedangkan rambut yang panjang melambangkan sumber kekuatan.

gambar 9

Kuburan batu Raja Ujung Sidabutar.

Betapa terampilnya nenek moyang suku Batak dapat ter­lihat pada pahatan kuburan tersebut di atas. Ekspresi wajah pada patung divisualisasikannya seolah-olah menggambarkan seorang yang penuh dengan ambisi kekuasaan, di samping was­pada dan bijaksana. Katanya, menurut pesannya, wajahnya yang telah dibentuk menjadi patung harus dilumuri dengan darah musuhnya yang kalah di medan perang. Hal ini menandakan bahwa raja itu adalah seorang panglima perang yang berani.



Detail wajah pada batu kuburan bagian depan dan belakang. Terlihat dua perwatakan yang berbeda. Pada patung bagian depan kelihatan sebuah patung pria.

Dalam perwujudan wajah yang penuh harap, sedang pada patung bagian belakang memberikan kesan seorang wanita yang suka memberikan harapan-harapan hampa.
Sekilas Sejarah Kuburan Raja Okusan Buntu Sidabutar dan Raja Ujung Barita Sidabutar.
Raja Okusan Buntu Sidabutar adalah raja yang pertama memerintah di Simalungun yang meninggal lebih kurang 450 tahun yang silam. Pada masa pemerintahannya kerajaan aman, tenteram dan sejahtera. Suatu bukti bahwa raja lebih mengutamakan kepentingan negerinya. Seisi negeri pada masa itu masih menganut kepercayaan animisme.
Sewaktu raja masih hidup, raja berpesan kepada keluarga besar istananya setelah meninggal, mayatnya kelak agar ditempatkan ke dalam sebuah batu berlubang supaya jangan sampai bersentuhan dengan tanah. Sebelum raja mangkat telah dipersiapkan batu yang sesuai dengan pesan raja, kemudian tatkala baginda mangkat mayatnya langsung dimasukkan ke dalam batu itu. Dari peninggalan ini dapat kita ketahui bahwa raja sewaktu mangkat telah berusia lanjut ("Sarima Tua"). Selain dimasuk kan ke dalam batu berlubang, raja juga berpesan agar di atas kuburannya ditempatkan dua batang pohon beringin yang bernama Hariara, yang kini tampil sebagai simbol orang Batak. Raja II bernama Raja Ujung Barita Sidabutar, cucu dari raja pertama. Makamnya di sebelah kanan makam kakeknya dan beliau merupakan raja yang sangat perkasa. Sebelum mangkat Raja Ujung Barita Sidabutar telah menyuruh ahli pahat untuk memahatkan wajahnya di peti batu kuburannya beserta wajah dari bekas kekasihnya Gadis Anting Malela Boru Sinaga. Raja ini menganut kepercayaan Parmalem yang berarti orang yang selalu berbuat baik.
Parmalem berasal dari kata malem berarti baik dan awalan par bertindak sebagai pelaku.
Terbetik hikayat, Raja Ujung Barita Sidabutar pernah bertunangan dengan seorang gadis tercantik di pulau Samosir bernama Gadis Anting Malela Boru Sinaga yang kini patungnya terpahat di atas kuburan batu raja bagian belakang.
Gadis tiu sedemikian cantiknya sehingga banyak raja yang ingin mempersuntingnya. Tetapi diantara raja-raja, hanya raja Ujung Barita Sidabutar yang beruntung mendapat tempat di hatinya.
Selama sepuluh tahun mereka memadu kasih, namun setelah tiba saatnya melangsungkan pernikahan, dimana peralatan pesta dan para tamu telah berdatangan, mendadak pula si gadis idaman mengingkari janji dengan membatalkan perkawinan tanpa sebab. Menerima hal sedemikian, raja menjadi sangat terkesiap, sangat malu dan merasa di hina, sehingga menimbulkan rasa dendam di hatinya terhadap gadis itu. Daripada jatuh ketangan orang lain lebih baik gadis itu dibunuh saja dengan cara membuat jundion (gila) dengan jalan guna-guna. Dalam keadaan gila, akhirnya gadis lari ke hutan dengan tak tentu tujuan, sehingga matinyapun tidak diketahui dan dimana kuburannya. Kejadian ini merupakan pelajaran yang tak boleh ditiru oleh keluarga raja, dan terbukti hingga saat ini tidak ada satupun diantara keluarga raja yang mengingkari janji apabila telah dipertunangkan, kecuali bila pihak laki-laki yang mengingkarinya.
Namun demikian sebagai tanda cinta kasih raja kepada gadis Anting Malela Boru Sinaga, di samping sebagai peringatan bagi keluarga raja, maka dipahatlah wajah gadis itu di peti batu kuburannya, sebagaimana bunyi sebuah pantun-

Masa ke timun bertambah lada.
Hatiku rindu apa obatnya.
Biar kupahat romah wajahnya.
Biar ada peringatan bagi keluarga.

Karena gadis yang dicintainya telah mengingkari janji, maka raja memutuskan untuk mengawini gadis Onan Runggu yang bertempat tinggal kira-kira empat puluh kilo meter disebelah selatan Tomok.

Selain berhasil di bidang pemerintahan, raja juga menunjukkan kejayaannya di bidang pertahanan. Beliau sebagai panglima perang telah berhasil menumpas musuh-musuh yang menyerang kerajaannya. Sewaktu pemerintahannya, pernah diserang oleh musuh dari segenap penjuru kerajaan, baik dari dalam maupun dari luar pulau Samosir, sehingga raja terpaksa meminta bantuan dari kerajaan Aceh yang pada saat itu telah menganut agama Islam. Kerajaan Aceh pun mengutus Panglima Tengku Moemahad Said.

Setelah perang usai, dimana Raja Ujung Barita Sidabutar menang, panglima perang Aceh itu kembali ke kerajaannya dengan selamat. Untuk mengenang jasa panglima Aceh itu, maka dibuatlah patungnya di pulau Samosir.

Walaupun Raja Ujung Barita Sidabutar senantiasa menang dalam setiap peperangan, namun raja tetap belum merasa puas. Untuk itu sebelum mangkat, beliau berpesan kepada keluarganya agar wajahnya yang dipahat di atas peti batu dilumuri dengan darah lawan yang kalah di medan pertempuran.

Pesan raja dilaksanakan dengan patuh, dimana setiap lawan yang kalah, ditangkap hidup-hidup dan disembelih, darahnya diambil kemudian dicampur dengan cat pulo batu (merupakan sejenis batu yang telah ditumbuk menjadi pepung) untuk kemudian dilumurkan ke wajah patung raja.

Hingga kini wajah patung masih berwarna kemerah-merahan walaupun telah beratusratus tahun umurnya.

Selain dari pada darah lawan, juga dagingnya diambil dicincang-cincang, kemudian dicampur dengan daging kerbau atau babi untuk dimakan bersama-sama dengan prajurit-prajurit yang berperang agar menjadi garang dan lebih berani di medan pertempuran. Mungkin dari sinilah timbulnya istilah "Batak makan orang".

Saat raja meninggal dibuat upacara adat kematian dengan mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam diiringi gondang Batak dengan hidangan berpuluh-puluh ekor kerbau dan babi sebagai tanda pesta keagungan.

Pengganti raja berikutnya adalah Ompu Solompon Sidabutar yang telah menganut agama Kristen; sehingga makamnya tidak lagi ditempatkan di dalam batu yang berlubang, melainkan dikubur di dalam tanah.

Bila kita memperhatikan berbagai ukuran kuburan, akan terlihat kuburan batu kecil dalam bentuk sebangun. Banyak orang menyangka bahwa kuburan ini merupakan kuburan anak raja. Padahal sebenarnya adalah makam orang dewasa dari golongan pejabat, hulubalang raja, anak boru, dan ada pula diantaranya bermarga Silalahi Harianja.

Menurut sejarahnya mayat hulubalang raja, sebelum dimasukkan ke kuburan batu, harus terlebih dahulu dikubur di tanah, kemudian dibongkar kembali untuk mengambil tulang-belulangnya, baru diletakkan ke dalam kuburan batu kecil.

Gambar 12

Perhatikan beberapa buah kuburan batu di daerah Tomok

.

Patung-patung yang terdapat pada saat sekarang, yang terdapat di daerah Batak pada umumnya, hanya dipakai sebagai peringatan, bukan lagi sebagai pemujaan seperti lazimnya dalam kepercayaan nenek moyang pada zaman dahulu.

Patung-patung peninggalan pada zaman pra-sejarah yang menggambarkan tentang nenek moyang sesuai dengan kepercayaan animisme, tidak banyak lagi kita jumpai. Seandainyapun ada patung-patung itu hanya duplikat dari patung-patung yang lama, atau patung-patung yang lama, atau patung-patung dari bahan yang tahan lama seperti patung-patung peninggalan dari jejak kultur Megalitik yang sampai sekarang masih banyak bertebaran di daerah Batak khususnya di pulau Samosir, yakni disekitar desa Limbong di kaki gunung Pusuk Bukit, Tomok dan Ambarite.

2. Kesinian megalit

Kesenian Megalitik yang terdapat di daerah Batak merupakan kesenian yang terpenting dalam kebudayaan sebelum sejarah.

Peninggalan-peninggalan kesenian Megalitik yang terbuat dari batu mempunyai hubungan dengan kepercayaan di samping penghormatan bagi orang-orang yang sudah mati. Sebagian peninggalan masih utuh dan terpelihara baik. Namun banyak yang sudah rusak atau punah ditelan oleh zaman. Kedatangan kebudayaan Megalitik ke Indonesia kemungkinan dibagi atas dua gelombang, yang pertama terjadi pada zaman Neolithicum, dan menyebar hampir di seluruh pelosok tanah air, seperti di Batak, Nias, Pasemah, Toraja, Sulawesi Tengah dan Bali.

Di daerah Batak di sekitar pinggiran pantai Danau Toba dan Nias peninggalan-peninggalan kebudayaan Megalitik sampai saat ini masih banyak kita jumpai misalnya hatu berdiri (menhir) dan batu-batu yang disusun berupa meja (dolmen) dan kursi yang dipakai sebagai tempat pertemuan.

Kursi batu menurut kepercayaan masyarakat waktu itu adalah tempat dewa-dewa, dan juga dipakai sebagai tempat penghormatan kepada arwah-arwah leluhur mereka. Sebab penghormatan kepada leluhur dianggap sangat penting. Tempat ini tidak boleh diduduki orang, terkecuali oleh raja-raja adat sebab raja adat dianggap sebagai wakil dari leluhur. Oleh karenanya mereka diperkenangkan duduk diatas kursi batu itu.

Gelombang ke dua terjadi pada zaman perunggu. Bukti-bukti peninggalannya masih dapat kita lihat di Tomok terletak di pinggiran pantai pulau Samosir berupa peti mayat (keranda batu) yang terbuat dari batu lengkap dengan tutupnya. Selain itu sejumlah keranda lengkap yang tersebar di daerah pedalaman pulau Samosir menurut informan yang dihubungi masih banyak. Sayangnya daerah-daerah itu seperti di Lumbang, Suhi-Suhi, Lontung, Pansur, Banjar Pasir, dan Huta Rihit sukar untuk dilalui kendaraan.

Keranda seperti yang terdapat di desa Tomok (lihat halaman 13) pemahatnya sangat kreatif, sekalipun bentuknya masih mencerminkan corak dari hasil-hasil pola pemikiran seniman primitif, namun hasil konsepsinya yang ditinggalkan penuh dengan keindahan serta memberi kesan yang mengagumkan sampai saat ini. Betapa tidak, jika kita kembali menanggapinya bahwa hasil karya dari nenek moyang kita pada zaman dahulu memberi kesan dan tanggapan yang cukup menarik bagi ahli kebudayaan.

Kesan-kesan yang cukup mengagumkan dari hasil karya para seniman yang terpecah di desa Siduldul, Lumban Pangaloan, Lumbanraja dan Hutagurgur serta sejumlah sarcophagus yang terdapat di desa Pangambatan, ”antara lain apa yang dikatakan Dr. Schnitger : .... This image is one of greatest and noblest works of art ever produced ini Sumatra”3).

Dari ungkapan di atas dapatlah diketahui betapa para seniman kita pada zaman dahulu telah menunjukkan kebolehannya di bidang seni pahat.

Di daerah Nias menurut penelitian para ahli purbakala dari Jepang mengatakan bahwa hasil seni patung yang masih terdapat sekarang berusia lebih kurang 2,5 sampai 5000 tahun Sebelum Masehi. Patung-patung ini masih dapat kita lihat di desa Orahili di Kecamatan Gomo, desa Bawomataluo di Kecamatan Teluk Dalam dan lain-lain.

Peninggalan-peninggalan hasil seni patung tersebut di atas seperti di daerah Nias dapat kita Iibat di halaman-halaman rumah pengetua adat dan patung-patung ini masih terpelihara baik, sekalipun diantaranya banyak yang telah rusak. 3. Pengaruh Kebudayaan Asing di Daerah Batak dan Nias.

Untuk mengenal nilai budaya serangkaian dengan hasil kesenian tradisional dalam seni patung yang terdapat di daerah Nias dan Batak, kita akan menjumpai kesamaan-kesamaan motif (bentuk) dengan hasil kesenian dari negara-negara tetangga seperti Ceylon, India, Cina, Madagaskar, kesenian Maori dari New Zealand, Mesir, dan Afrika.

Kita dapat melihat betapa tingginya hasil kesenian Mesir kuno, demikian juga hasil kesenian di India, Cina, dan seni patung Purbawi di Afrika. Kita dapat pula melihat hasil kesenian yang serupa di daerah Batak dan Nias.

Kemungkinan-kemungkinan itu boleh jadi disebabkan pada zaman Bahari yang lampau perahu-perahu bercadik buatan Barus, dan perahu Bugis yang boboknya mencapai puluhan ton telah lalu lalang ke benua Asia, Australia, Afrika, dan Tanah Arab membawa kapur barus dan rempah-rempah sebagai bahan dagangan.

Bukti kesamaan motif (bentuk) kesenian ini dapat kita lihat pada patung-patung kuburan yang didudukkan di atas kursi di sepanjang jalan raya mulai dari daerah Simalungun sampai di perbatasan Kabupaten Tapanuli Tengah, demikian juga gaya ornamen rumah adat (singa-singa, gaja, dompak) di Tapanuli mempunyai kesamaan dengan ornamen suku Maori di New Zealand.

Kesamaan-kesamaan bentuk patung ornamen dapat kita lihat pada beberapa gambar berikut:

Gambar 13


Gorga Batak. Dekorasi bentuk keseluruhan maupun ukiran yang terpahat kelihatan memadu dengan patung singa-singa. Dilihat dari susunanannya jelas adanya kesamaan dengan hiasan rumah tradisional suku Maori di New Zealand. Apakah hasil ukiran dan patung pada contoh gambar di atas merupakan pengaruh kebudayaan luar, masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Namun jika kita perhatikan detail ornamen yang menghiasinya jelas adanya pengaruh kebudayaan Dongson.
Gambar di bawah ini dapat dilihat adanya kesamaan ben­tuk dari hasil seni patung Batak (Karo) dengan hasil seni patung Afrika.


Gambar 18.

Maha. Tabung tempat ramuan obat. Tabung ini juga dulunya diper­gunakan sebagai tempat mesiu model senapang kuno.


Gambar 19.

Horn. Ivory. 17 th. centry. West Coast of Afrika Illustration in Thea­trum (1619) by Michael Pretorius.

Dikutp dari The Arts of Black Afrika, hal. 5.
Demikianlah patung-patung ataupun arca yang pada mulanya didasari oleh paham-paham kepercayaan (animisme) akhirnya mengalami pembaharuan sesuai dengan perkembangan zaman. Namun demikian, perbedaan dan persamaan terhadap hasil-hasil kesenian oleh pengaruh kebudayaan yang datang dari luar akibat pergaulan antar bangsa, pengalaman-pengalaman dengan data-data peninggalan kesenian khususnya seni patung di daerah Batak dan Nias, sudah memberi wama yang cukup jelas bahwa hasil kesenian dengan bukti-bukti yang masih ada, suku Batak dan Nias telah memberi corak kekhususan (kepribadiannya) seperti karya-karya seni patung Bali,Toraja, dan Asmat dan daerah lainnya.

B. Arkeologi.

PeninggaIan dari benda-benda bersejarah di Sumatera Utara menunjukkan bahwa penduduk yang tertua mempunyai ciri-ciri Austro Melanenosoid, sesuai dengan jenis-jenis artefak yang diketemukan. Penyebaran penduduk ini berlangsung pada masa prasejarah yakni pada zaman mesolithikum (zaman batu tengah), kebagian Timur Indonesia sampai ke pulau Irian, sedang ke bagian Barat jejak-jejaknya terdapat di Sumatera Utara dan Semenanjung MeIayu. Tempat tinggal mereka di dalam gua-gua (Aris sous roche) dan di daerah muara sungai dekat pantai. Peralatan yang mereka pakai terdiri dari bilah kasar, tulang, tanduk, dan kerang. Penduduk tertua yakni orang-orang Austro Melanesoid sangat gemar makan kerang, seolah-olah kerang adalah makanan utama mereka pada zamannya.

Kulit kerang yang merupakan sisa makanan akhirnya menjadi bukit kerang, sebagai bukti peninggaIan ini masih banyak kita temukan di beberapa tempat di Sumatra Utara. Timbunan sampah dari sisa makanan ini oleh para ahli sejarah kepurbakalaan disebut Kjokken modinger (sampah dapur).

Lebih kurang pada th. 2000 Sebelum Masehi, barulah datang suku melayu Tua (Proto Melayu). Kira-kira th. 1000 Sebelum Masehi disusul oleh suku Melayu Muda (Deutro Melayu). Menurut penelitian beberapa ahli diantaranya dalam monografi sejarah dan budaya Drs. EK Siahaan, Prof Keren, dan Von Heine Geldern, penduduk asli itu berasal dari dataran Asia dan termasuk salah satu cabang ras Mongoloid.

Dari proto dan Dutro Melayu inilah kemudian lahir suku-suku bangsa yang mendiami Sumatera Utara yakni suku Batak, Melayu dan Nias. ;

Ditinjau dari segi penyebarannya dan letak daerahnya suku-suku Batak dibagi pula atas:

- Suku Batak Toba mendiami tepi Selatan Danau Toba yakni pada dataran tinggi Toba, Humbang Silindung dan pulau Samosir;
- Suku Batak Simalungun mendiami tepi Timur Danau Toba yakni Kabupaten Simalungun;
- Suku Batak Dairi mendiami tepi Barat Danau Toba yakni KaBupaten Dairi yang dikenal sebagai suku Pakpak;
- Suku Batak Karo mendiami tepi Utara Danau Toba di sekitar daerah Kabupaten Karo sekarang;
- Suku Batak Mandailing mendiami sebelah Selatan Danau Toba di sekitar Kabupaten Tapanuli Selatan; dan
- Suku Nias mendiami pulau Nias yang terletak di Samudra Indonesia bagian Barat.

Daerah pemukiman Suku Batak juga meliputi daerah pegunungan Bukit Barisan yang berpusat di Danau Toba berbatasan sebelah Utara dengan daerah Aceh, sebelah Timur dengan tanah Melayu, sebelah Selatan dengan Minangkabau, dan sebelah Barat dengan Samudera Indonesia.

Pendapat tersebut di atas oleh Batara Sangti dirumuskan lebih terperinci sebagai berikut:

"Daerah Batak sebelum penjajahan Belanda bernama "Negeri Toba" yang merdeka dan berdaulat, meliputi daerah pegunungan Bukit Barisan yang beribu kota di Bakkara. Berbatas di sebelas Utara dengan Negeri Aceh (sesudah lahir Kesultanan Aceh pada tahun 1513), sebelah Timur dengan Tanah Melayu yang terletak di pantai Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Negeri Pagarruyung/Minangkabau (sesudah datang Adityawarman) dan sebelah Barat dengan Lautan Hindia. Rajanya ialah dinasti Tuan Sori Mangaraja, Maharaja Diraja Negeri Aru/Haru yang beralih menjadi Negeri Toba. Berleluhur satu yakni Siraja Batak. Berbahasa dan bersurat/aksara Batak Toba. Beradat-istiadat yakni adat dan kebudayaan yang bersendi pada pola Dalihan Natolu.

Berbendera satu yakni bendera "Putih Merah" yang berlambang Matahari dan bulan mengapit kepala Gajah Dompak (Gajah Pahlawan)"4).

Pendapat di atas kiranya memberi arah pikiran kepada kita bahwa Negeri Toba yakni di Bakkara terdapat desa-desa yang tertua. Dari desa inilah akhirnya orang-orang Batak itu menyebar mendiami daerah di sekeliling danau Toba.

Beberapa ahli sejarah lainnya, seperti Bapak Burhanuddin Pi­liang menguatkan pendapat tersebut diatas, bahwa disekitar danau Toba terdapat gunung Pusuk Buhit. Menurut kepercayaan orang Batak dari gunung Pusuk Buhit itulah tempat asal mula nenek moyang orang Batak yang disebut dalam istilah Batak Mula Jadi Na Bolon.

Namun demikian pendapat itu masih perlu di kaji untuk dike­tahui kebenarannya secara ilmiah. Alasan ini justru masih ada juga yang berpendapat bahwa suku yang lebih tua berasal dari suku Dairi yang bermukim di pegunungan Pakpak, kemudian pergi ke Pusuk Buhit. Dilihat dari letak geografis kemungkinan yang tiba dari dara­tan Asia ke Indonesia bahagian Barat melalui Bandar Tua Barus le­bih kurang 3000 tahun yang lalu, untuk tiba di Pusuk Buhit mungkin terlebih dahulu harus melintasi pegunungan Pakpak/Dairi. Bekas­-bekas kedatangan mereka masih terdapat di hutan Dairi antara lain bekas tapak kaki manusia pada zamannya yang lebih besar dari be­kas tapak kaki manusia sekarang. Sekali lagi masih perlu adanya pe­nelitian lebih mendalam.

1. Mata Pencaharian.
Mata pencaharian penduduk pada zaman prasejarah ialah berburu, menangkap ikan, mengambil kerang, dan mengum­pulkan buah-buahan yang dapat dimakan. Berhubung persedia­an makanan untuk kebutuhan hidup tidak selalu ada pada suatu tempat, penduduk pada zaman prasejarah selalu mengem­bara dari suatu daerah ke daerah yang baru. Alat-alat yang me­reka pakai terdiri dari kapak genggam yang terbuat dari batu kali, kapak pendek bentuknya seperti lingkaran, dan batu peng­giling.
Didorong oleh tingkat peradaban yang makin maju alat­-alat yang sangat sederhana itu akhirnya semakin mengalami kesempurnaan. Lebih kurang 2000 tahun Sebelum Masehi,

––––––––––––––––––––––

4). Batara Sangti (Ompu Buntilan), Opcit hal. 27.
datanglah pendatang-pendatang baru dari daratan Asia Teng­gara peradabannya lebih maju dari tingkat peradaban pendu­duk setempat. Penduduk baru ini telah mengenal cara bercocok tanam, berternak, dan menangkap ikan dengan mempergunakan alat-alat yang lebih sempurna. Penduduk baru ini juga telah da­pat menentukan bila datangnya musim hujan dan musim kema­rau untuk menentukan waktu yang tepat turun ke ladang atau menangkap ikan.

Pertambahan penduduk baru ini makin lama makin ber­tambah banyak tentu saja kebutuhan hidup mereka makin ber­tambah pula, sedang tanah perladangannya tidak sesubur seper­ti semula. Akhirnya mereka terpaksa mencari daerah baru yang lebih subur untuk bercocok tanam. Melalui alur sungai mereka berlayar, akhirnya tiba di kaki bukit barisan, daerah yang cukup subur sebagai daerah gunung api. Tepatnya tempat itu berada di sekitar Danau Toba. Di tempat itu akhirnya mereka mendi­rikan gubuk tempat berlindung menghindarkan diri dari keke­jaman alam yang selalu mengancam mereka.

Lebih kurang tahun 1000 Sebelum Masehi menyusul pula pendatang-pendatang baru yang juga berasal dari daratan Asia Tenggara.

Mereka tergolong kepada Deutro Melayu (Melayu Muda). Pen­datang-pendatang baru ini telah mengenal bagaimana cara-cara bercocok tanam yang lebih sempurna, demikian juga cara-cara berternak seperti berternak babi, kerbau, dan ayam. Di lain hal mereka juga sudah dapat membuat peralatan rumah tangga seperti membuat periuk dari tanah liat dan lain sebagainya.

Kulit kayu dan kulit binatang telah dapat pula diolah un­tuk pakaian sebagai alat pelindung badan dari serangan cuaca dan udara yang buruk.

2. Bangunan Tempat Tinggal.

Bangunan sebagai tempat tinggal pada mulanya masih sa­ngat sederhana, yang penting bagi mereka asal dapat terhindar dari gangguan alam dan binatang buas.

Tingkat kebudayaan mereka kian lama kian bertambah maju. Tentu saja kebutuhan rumah tangga, kebutuhan hidup dan lain sebagainya semakin meningkat pula, yang mengharuskan mereka berusaha sekeras mungkin untuk memenuhi kebu­tuhan hidupnya itu.

Demikianlah akhirnya mereka mulai tertarik pada kein­dahan. Perhiasan dan lain-lain sebagainya, mulai merasa dibu­tuhkan dalam hidupnya, di samping makanan. Para tukang ru­mah telah dapat menyesuaikan dengan kondisi daerahnya ba­han-bahan yang diperhitungkan bisa tahan untuk jangka be­berapa tahun. Hal yang lebih penting lagi mereka telah pula mengenal dunia lain melalui perdagangan antar daerah dan bangsa yang mengakibatkan terjadinya tukar-menukar kebuda­yaan, sehingga tercipta bangunan-bangunan baru dan peralatan lainnya yang lebih sempurna. Rasa keindahan kiranya melekat di hati mereka, awal yang merupakan dari lahirnya ragam hias yang sampai sekarang tersemat pada dinding rumah adat tradi­sional yang menyebar di daerah-daerah lain di pelosok tanah air.

Hal yang serupa juga banyak kita jumpai pada pekuburan lama yang sisa-sisanya masih dapat kita lihat sampai saat ini, selain hiasan juga kita temukan bentuk-bentuk patung yang me­rupakan penjelmaan bagi roh nenek moyang.

Lebih lanjut hal yang berkenaan dengan tingkat kehidupan masyarakat pada zaman prasejarah seperti yang penulis urai­kan di atas, Sarjana Austria yang kenamaan, Robert von Heine Geldem dari buku Bunga Rampai Sejarah Budaya Indonesia karangan Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto menjelaskan lebih terperinci lagi antara lain:
" ... Mereka menanam padi, memiliki alat pemotong padi dapat membuat minuman keras yang diambil dari beras atau djawawut, memelihara babi dan kerbau untuk keperluan per­sajian dan binatang-binatang lainnya, mereka dapat membuat benda-benda pecah belah dari tanah, membuat pakaian dari kayu,mendirikan rumah yang berbentuk persegi panjang yang ditempatkan diatas tiang, menjalankan pemotongan kepala musuh untuk keperluan keagamaan, mendirikan bangunan Megalithic yang dibuat dari bahan-bahan batu besar untuk

––––––––––––––––––––––––

5). Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto, Bunga Rampai Sejarah Budaya Indonesia, Pe­nerbit Djambatan, Jakarta, tahun 1964, hal. 2. keperluan upacara agama atau pemujaan kepada arwah nenek moyang dan akhimya mereka mengenal suatu jenis kese­nian"5).

Kendatipun tingkat kehidupan masyarakat pada zaman prasejarah masih dalam tarap primitif namun masyarakat telah menunjukkan rasa mampu dalam arti telah dapat menyelaras­kan kehidupannya dengan kondisi yang ada. Demikian pula hal­nya dengan nenek moyang suku Batak pada zaman prasejarah telah mampu membembenahi hidupnya ke jenjang yang lebih baik jika dibandingkan dengan zaman-zaman sebelumnya.

Dari rumah sebagai tempat tinggal yang mereka bangun bersama kemudian berkembang menjadi sebuah desa. Melalui desa ini pulalah akhirnya mereka memiliki pemerintahan guna mengatur masyarakat, mengatur adat-istiadat dibawah hukum­-hukum adat yang mereka junjung tinggi. Hukum adat bukan hanya dipakai sebagai hukum dalam hubungan satu dengan lain­nya tetapi hukum adat juga mengatur tentang cara hidup ber­masyarakat, hidup berkeluarga, dan bersaudara dalam arti yang lebih luas.

3. Kepercayaan.

Dalihan Natolu yang merupakan pedoman tata cara hidup bermasyarakat bagi orang-orang iiatak, yang juga merupakan kesimpulan dari tiga masalah, kepercayaan dan adat-istiadat.

M. Hutasoit pensiunan Kepala Seksi Kebudayaan Tapanuli Utara mengatakan, bahwa masyarakat Batak zaman dahulu mempercayai Tuhan Yang Maha Agung yang dinamai Ompu Tuan Mula Jadi Na Bolon (Tuhan = Debata). Sebagai Tuhan dari dunia atas ia disebut Tuan Bubi Na Bolon, Sedangkan Tuhan dari Dunia Tengah disebut Ompu Silaon Na Bolon, dan sebagai Tuhan dari dunia bawah disebut Tuan Pane Na Bolon. Oleh orang Batak Karo menyebutnya Dibata ldatas, Dibata ltengah dan Dibata Interuh. Lengkapnya menurut kepercayaan Batak selain dari tiga Dibata ( Tuhan) seperti yang diuraikan di atas masih ada lagi Dibata yang lain kekuasaannya sebagai penghu­bung dari ke tiga Dibata itu, diberi nama Tuan Pane Na Bolon yakni Tuhan antara lautan dan kilat. Sedang menurut kepercayaan Batak Karo disebut Sinarmatahari atau Tuhan yang berada di antara matahari terbit dan matahari terbenam.

Dari segi adat, kemudian dihubungkan dengan pertalian kekeluargaan dan kekerabatan. Dalihan Na Tolu memegang po­sisi yang sangat penting. Dalihan Na Tolu tidak hanya dimiliki oleh masyarakat Batak Toba tetapi oleh semua suku-suku Batak yang disadari justru suku-suku Batak itu merupakan serumpun jua adanya. Dalihan Na Tolu pada suku Batak Toba:

Dongan Sabutuha,

Boru, dan

Hula-hula.
Dalihan Na Tolu pada suku Batak Karo (Sangkep nggeluh):

Kalimbubu,

Sembuyak, dan

Anak Beru.
Dalihan Na Tolu pada suku Mandailing:

Kahanggi,

Anak Boru, dan

Mora.
Dalihan Na Tolu pada suku Simalungun:

Senina,

Anak Boru, dan

Tondong.
Dalihan Na Tolu pada suku Batak Dairi:

Dengan sebeltek,

Berru, dan

Kula-kula.

Demikianlah mengenai kebudayaan nenek moyang suku Batak pada waktu itu dan membudaya terus sampai saat ini terutama dari segi adat-istiadat (hukum adat) yang unggul, utamanya kebudayaan kerohanian dan kebudayaan kemasyara­katan.

Di bidang bangunan dengan hiasannya yang meliputi ornamen (ragam hias)yang terpahat pada dinding-dinding ru­mah adat tradisional mereka serta, seni patung sebagai perlam­bang arwah nenek moyang, masih dapat kita lihat sampai saat ini tentunya dalam bentuk yang telah mengalami perubahan.
Kendatipun demikian lewat uraian-uraian di atas kiranya masih diperlukan penelitian yang lebih mendalam sebab hasil-hasil kesenian pada masa prasejarah memegang peranan penting di dalam kehidupan manusia pada zamanya baik kepentingan sosialdan tata krama adat-istiadat bagi lingkungan masyarakatnya.

C. Perkembangan Seni Patung di Daerah Batak dan Nias.

Berbicara tentang kesenian tentunya banyak masalah yang harus dikemukakan karena kesenian mempunyai cabang yang luas, yang penggolongannya meliputi seni rupa, seni suara, seni gerak dan seni sastara. Dalam tulisan ini penulis akan menguraikan di daerah Batak.
Seni patung seperti yang penulis utarakan di atas dalam pemcaraannya tidak terbatas sampai pada segi kepercayaan saja, tetapi lebih luas lagi dalam beberapa seginya, antara lain segi adat-istiadat, segi estetisnya. Sesungguhnya mengungkapkan nilai dan arti serta fungsi dari suatu hal karya seni bukanlah hal yang mudah, apalagi nilai karya seni patung yang ditinjau dari segi adat-istiadat dan kepercayaan. Hal itu justru tinjauannya tidak cukup hanya sekedar menatap pada bagian fisik dari kehadiran patung, atau sekedar melihat komposisi bentuk dan wama yang memantulkan nilai keindahan. Akan tetapi tuntutan tinjauan yang mendalam harus pula dilakukan, sampai pada tingkat motivasi atau dorongan-dorongan yang menyebabkan terwujudnya suatu karya seni, seperti seni patung yang terdapat di daerah Batak.
Berbicara tentang adat yang telah membudaya di kalangan orang-orang Batak kemudian dihubungkan dengan seni patung tradisional, yang menurut adat adalah suatu keharusan. Meskipun kelihatannya seakan-akan merupakan embel-embel saja atau jika dipandang melalui akal merupakan hal yang sepele, namun adat tidak memperhitungkan suka atau tidak suka, menerima atau tidak menerima. Jika warna putih yang mesti diselamatkan kata adat, maka putihlah yang harus diguratkan. Jika kata pengetua adat, lakukan ini supaya tidak sumbang, dan diterima pula oleh semua, maka haruslah dilakukan dengan setepat-tepatnya.
Demikianlah prinsip adat yang ketat pada masa itu sangat menentukan dalam mewujudkan suatu karya seni, apakah seni patung, seni bangunan adat tradisional, seni tari, dan lain sebagainya.
Kepala kerbau sebagai lambang kesuburan yang ditempatkan pada bangunan rumah, ukiran cecak, dan jenis hewan lainnya yang terdapat pada dinding-dinding rumah adat yang terpadu dengan ragam hias yang penuh dengan makna perlambangan. Sitillasi ukiran binatang singa-singa, jaga dompak, yang terdapat pada rumah adat Batak Toba merupakan faktor utama yang melandasi sikap masyarakat Batak cinta dan setia akan kesenian tradisionalnya.
Dari hasil kreativitas yang diwariskan nenek moyang suku Batak terutama dalam seni patung dan seni ukir yang terpahat pada setiap rumah adat tradisional kiranya telah memiliki kesamaan pemantulan fungsi baik dari kehidupan siymbolis artistik dan magis yang menyatu dengan lainnya yang didasari oleh falsafah kehidupan suku itu sendiri.
Gambar 20
Contoh perpaduan motif hiasan dengan patung Ulupaung (gorgo singa-singa) lambang keperkasaan. Gerakan Garis-garis yang ritmis dengan pola sulur-suluran memberikan kesan yang artistik. Pada bagian lain kita melihat hiasan dengan pola geometris (ipon-ipon,gigi-gigi). Bentuk ini diletakkan pada dinding bagian atas pintu masuk, fungsinya sebagai pelindung atas keselamatan keluarga sipenghuni rumah.
Kreativitas yang penulis maksudkan di atas bukan berpusat pada suatu daerah saja (Batak Tapanuli) tetapi menyeluruh pada setiap daerah yang tergolong suku Batak diantaranya suku Batak Simalungun, suku Batak Karo, suku Batak Angkola, suku Batak Pakpak Dairi, dan beberapa daerah lainnya termasuk di Nias. Oleh karena seni patung Nias cukup luas untuk dibicarakan, maka pada bab ini penulis sengaja tidak menyinggung tentang perkembangan seni patung Nias selengkapnya, sebab khusus seni patung Nias akan di-tulis pada bab berikutnya.

Patung-patung Prasejarah dilihat dari bentuk dan kegunaannya yang terdapat di daerah Batak.

1. Patung Arwah Nenek Moyang.

Perwujudan bentuknya terdiri dari berbagai gaya lokal. Terbuat dari bahan kayu dan batu sedemikian rupa diciptakan dengan berbagai macam gaya menurut buah ekspressi pemahatnya. Bentuk wajah mengikuti konsep ide yang menyeramkan, melahrkan bentuk magis. Tujuan kehadiran patung itu bagi kepercayaan suku Batak pada masa itu adalah sebagai alat pemujaan sesuai dengan kepercayaan animisme dan perwujudan roh-roh nenek moyang yang dianggap sakti.
Gambar 21.
Patung arwah nenek moyang suku Batak dari kayu besi. Dilihat dari bentuknya, adanya kesamaan dengan patung nenek moyang suku Nias, dengan sikap duduk penonjolan alat kelamin, dan cara memegang mangkok. Hanya motif perhiasan yang berbeda, sebagaimana umumnya ciri patung Batak biasa dipahatkan motif cecak atau kadal, lambang penolak bala.


Gambar 21.
Patung arwah nenek moyang suku Nias dari batu apung. Dilihat dari bentuknya tampak kepolosan-kepolosannya, patung laki-laki tanpa busana dibuat sebagai lambang kejantanan. Bentuk susu yang terbuka pada hakikatnya melambangkan kesuburan.
Bagi suku Batak susu melambangkan keibuan (wanita parsonduk bolon), pengasih dan penyayang.
Gambar 23.












Patung arwah nenek moyang suku Karo (dari batu apung). Patung ini digelari patung Pulu Baleng, berfungsi sebagai pengawal dari gangguan-gangguan jahat yang datangnya dari luar desa.


Gambar 24.




Patung arwah nenek moyang suku Pakpak (dari batu padas). Pada patung ini kita melihat sebuah pahatan yang sederhana, namun memberi arti cukup dalam lewat kepercayaan nenek moyang pada zamannya. Bentuk hidung dipahat menyatu dengan rambut yang panjang, lambang kekuatan, sedang, lambang kekuatan, sedang kuda sebagai binatang tunggangan sebagai kendaraan menuju nirwana. 2. Patung Penolak Bala atau Pengawal Kampung.

Pada zaman prasejarah kita temukan aneka bentuk seni patung yang fungsinya sebagai penolak bala, atau sebagai media komunikasi dengan alam gaib. Patung-patung nenek moyang yang dianggap sebagai penyelamat sesuai dengan kepercayaan dipuja dan di-hormati. Patung-patung berbentuk polos, sederhana, namun ungkapannya cukup memberikan kesan yang kuat. Patung menurut kepercayaan mereka diciptakan sebagai pencerminan kembali dari kehidupan jiwa manusia atau dengan kata lain sebagai perwujudan nenek moyang, para leluhur yang mempunyai kekuatan gaib yang dapat melindungi mereka dari gangguan roh jahat atau gangguan-gangguan lain yang datang dari luar.
Bentuk patung penolak bela mempunyai nama berbeda-beda menurut daerahnya masing-masing. Batak Toba menyebutnya janggol, singa-singa atau jaga dompak. Di daerah Simalungun dinamai bohi-bohi. Patung lain yang fungsinya hampir bersamaan disebut patung Penghulu Balang. Oleh masyarakat Karo dinamai Pulu Balang.

(sebagai glossery).

Patung palu Balang boleh jadi diartikan patung yang fungsinya dapat menjaga/melindungi warganya di kampung dari gangguan-gangguan jahat yang datangnya dari luar batas wilayah.
Di daerah Karo selain patung Pengulu Balang, ada juga patung Pagar Jabu, yang fungsinya juga sebagai penolak bala.
Gambar 25















 Pagar Jabu
 Pagar = pelindung (melindungi).


jabu = rumah.

Pagar jabu boleh diartikan melindungi rumah dari gangguan roh-roh jahat. Bahan patung ini terdiri dari tanduk kambing hutan, dibentuk dengan sentuhan ukiran nenek moyang yang cermat.
Pahatan patung ini sangat rumit, namun tetap bergaya primitif. Pada gambar, jelas bahwa pemahatnya mengekspresikan perwatakan yang mengandung nilai magis. Jenis patung pagar jabu ini juga dipakai untuk tempat obat dari berbagai macam penyakit.
Gambar 26 Janggol.

















Patung penunggang kuda, dari kayu. Padanya terdapat nilai-nilai yang bersifat magis sesuai dengan fungsinya yang dapat memberikan keselamatan.

Bentuk patung kelihatan penonjolan khusus gaya Batak Toba. Tema patung kelihatan orang sedang menunggang kuda di mana ke empat kaki kuda menopang di atas kepala manusia yang sedang duduk. Menurut pemiliknya patung ini mengandung berbagai aspek kehidupan sosial dan religi yang tinggi, sebab patung ini adalah jiwa yang dapat memberikan keselamatan lahir batin (Koleksi Burhanuddin Piliang).
Gambar 27
Patung Penghulu Balang
(Simalungun)
Patung Penghulu Balang jaya Batak Simalungun yang dapat diselamatkan dari kepunahannya. Patung ini sekarang tersimpan di Museum Simalungun (Pematang Siantar). Tema patung, seorang sedang memangku dua orang anak, menggambarkan kasih sayang.

dua orang anak, menggambarkan kasih sayang.

Perwujudan patung ini perlambang seorang tokoh yang berjiwa adil dipahat pada batu besar sebagai teladan bagi generasi penerusnya. Fungsi patung adalah penolak bala, dan pelindung warganya dari roh-roh jahat yang datang dari luar kampung.


3. Patung Kuburan.

Hampir di setiap desa di daerah Batak Toba terdapat patung dan monumen. Di desa lainnya seperti di daerah Simalungun. Dairi, Karo, Angkola Mandailing, dan Nias, agak jarang jika dibandingkan dengan di daerah Batak Toba. Kemungkinan disebabkan oleh biaya pembangunan sebuah patung/monumen terlalu mahal. Berlainan halnya dengan suku Batak Toba, mendirikan patung/monumen sebagai penghormatan terhadap nenek moyang adalah menjadi kewajiban bagi setiap keturunannya dan sudah menjadi suatu kebudayaan bagi suku Batak Toba umumnya. Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Batara Sangti (Ompu Buntilan) lewat bukunya (Sejarah Batak):

" ... untuk menghormati ibu-bapak, telah menjadi kebudayaan tinggi suku Batak sejak dahulu kala hingga kini, baik di waktu hidup maupun setelah mati".6)

Oleh karenanya tidaklah mengherankan kita jika di setiap desa di daerah Batak Karo menemukan berbagai bentuk patung/monumen pada kuburan yang dibangun oleh setiap suku (marga) sebagai pe­ringatan terhadap nenek moyang mereka yang telah menurunkan generasi sebagai penerus keturunan suku (marga) asalnya.

––––––––––––––––––––––––

6). Batara Shangti (Ompu Buntilan) op. cit, hal. 14 lampiran III.
Gambar 29
Raja Djuara Monang Siahaan.
Pinintan Uli Batu Bara.
Gambar 30
Guru Mangalaham Niaji Si Buea B.N. Boru Sirait.
Gambar 31.
Patung Tuan Sihubil ini adalah asal keturunan marga Tampubolon.
Gambar 32.
Patung/Tugu Raja Hutajulu.

Patung dengan gaja naturalis. Pada tangan kanan memegang sebuah tongkat (Tukkot), sedang pada tangan kiri mengapit sebuah pedang keturunan (Pisohalangan) dan kuping sebelah kanan dipasang anting-anting (Sibong).

Pergelangan tangan memakai gelang (golang), sedang pada lehernya mengenakan rante (horung-horung). Ulos Napinucuaan disandangkan pada bahu sebelah kanan. Kain batak yang dipakai pemahatnya dengan juraian kainnya menampilkan sebuah patung yang berbobot.

4. Patung Tongkat Tunggal Panaluan

 Tongkat Tunggal Panaluan atau disebut juga tongkat Malaikat oleh suku Batak, ditafsirkan sebagai tongkat yang dapat memberikan sinar terang yang menggembirakan, sebab tongkat itu dapat dipergunakan sebagai penakluk kejahatan.

 Lengkapnya mukjizat yang terkandung pada tongkat Tunggal Panaluan, penulis mengutip tulisan Batara Sangti lewat bukunya Sejarah Batak atanra lain:

"Memang ada lagi pekerjaan-pekerjaan yang ditugaskan kepada tunggal panaluan itu. Doa-doa memohon anugerah anak-anak yang bahagia, hasrat untuk diberitahukan hasil bakal usaha, dan pekerjaannya yang khas pada pesta musim panen tentunya tidak boleh ketinggalan untuk disebutkan".7)

 Jika diafsirkan tulisan tersebut di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa tongkat Tunggal Panaluan dapat memberi arti terhadap kehidupan dan kematian dalam arti buruk dan baik, dan lain-lain yang dianggap ada hubungannya dengan tongkat Tunggal Panaluan yang sakti itu seperti: meminta hujan jika musim kemarau panjang dan kebalikannya menghentikan/memindahkan hujan jika diperlukan pada upacara-upacara adat dan lain sebagainya.

Tongkat Tunggal Panaluan dimiliki oleh semua suku Batak dengan motif yang berbeda-beda, tetapi mempunyai tujuan yang sama yakni sebagai penakluk kejahatan.

D. Latar Belakang Sejarah Tongkat Tunggal Panaluan di Daerah Batak Tapanuli.

 Untuk melengkap asal mula sejarah, kehadiran tongkat Tunggal Panaluan, penulis kutipkan selengkapnya tulisan Batara Sangti (Ompu Buntilan) sebagai berikut:

"Di Sidogordogor Pangururan di Pulau Samosir di teluk perpisahan antara darat dan air/danau (inhaam) hidup seorang pria bernama Guru Hatiabulan. Beliau adalah seorang Sibaso (pendeta) nama Datu Arak ni Pane. Istrinya bernama Nan Sindak Panaluan. Mereka sudah lama kawin sebelum perempuan ini hamil. Sesudah perempuan ini hamil maka luar biasa lamanya barulah anak itu lahir. Semua penduduk kampung itu menganggap keadaan itu suatu hal yang gaib.
_________________________

7). Batara Shangti, Op.cit.,hal.373.

Pada waktu itu terjadi bala kelaparan di negeri itu. Karena tidak tertahankan teriknya dan kerak tanah menutupi kubangan-kubangan dan rawa-rawa. Disebabkan kemarau yang berkepanjangan ini, maka kita raja-raja Bius (Kepala persatuan pemujaan roh-roh) menjadi risau. Maka ia pergi menjumpai Guru Hatiabulan dan mengatakan kepadanya: "Kiranya adalah bijaksana bila kita mencari sebabnya dan mengajak kepada Debata Dewa yang adil mengapa musim kemarau dan bala kelaparan ini berkepanjangan begitu lama. Keadaan serupa ini belum pernah terjadi. Lalu raja Bius mengatakan: "Semua orang heran mengapa istrimu itu begitu lama hamil. Para bidan menerangkan bahwa kehamilan itu telah terlalu lama". Karena perkataan-perkataan ini maka timbul pertengkaran akan tetapi tidak ada yang cedera atau mati.

Dalam pada itu perempuan itu melahirkan anak kembar, seorang anak lelaki dan seorang anak perempuan (Toba = marpohas). Seketika itu juga sesudah anak-anak itu lahir terus-terusan turun hujan lebat. Semua tanam-tanaman di ladang dan di hutan bertumbuhan dan alam nampak segar dan hijau kembali.

Lalu Guru Hatiabulan memotong seekor lembu menenteramkan/mendamaikan kekuasaan-kekuasaan jahat itu. la mengundang semua pengetua-pengetua dan kepala-kepala kepada perjamuan itu dimana nama anak-anak itu akan diumumkan. Putra itu diberi nama Si Aji Donda Hatahutan dan putri itu Si Boru Tapina Uasan. Habis pesta itu menasihatkan supaya anak-anak itu jangan kiranya bersama-sama diasuh. Yang satu kiranya dibawa kebarat yang lain ketimur sebab kelahiran kembar, istimewa yang berlainan jenis adalah satu masalah yang sangat tidak baik menurut faham tua. Tetapi Guru Hatiabulan tidak mengindahkan nasihat arif bijaksana dari pengetua-pengetua dan kepala-kepala itu. Lama berlamaan, akan tetapi maka terbuktilah bahwa orang-orang arif bijaksana benar adanya. Guru Hatiabulan mendirikan gubug kecil di gunung suci Pusut Buhit kemana dia membawa anak-anaknya itu.
Seekor anjing harus menjaga mereka dan setiap Guru Hatiabulan membawa makanan mereka. Setelah anak-anak itu menjadi dewasa maka putri/gadis itu ketika berjalan-jalan kebetulan melihat sebuah pohon bernama piu-piu tanggule atau hau todatoda yang batangnya penuh dengan duri-duri panjang. Pohon itu mempunyai buah yang mulai masak dan manis Si Boru Tapina Uasan kepingin makan buah-buahan itu dan karena itu ia memanjat pohon itu. la memetik beberapa buah dan memakannya. Akan tetapi seketika itu juga ia ditelan oleh pohon itu dan menjadi satu dengan pohon itu. Hanya kepalanya masih kelihatan. Saudaranya menunggu sampai sore dalam kebimbangan mengenai nasib saudarinya itu dan kemudian pergi ke hutan untuk memeriksanya dimana dia memanggil-manggil namanya dengan suara nyaring. Dekat pohon itu panggilannya disahut oleh putri/gadis itu dan sesudah ia dekat putri/gadis itu mengatakan padanya bagaimana ia seolah-olah telah ditelan pohon itu. Si Aji Donda Hatahutan memanjat pohon itu akan tetapi ia juga dihisap hingga meresap dan bersatu dengan pohon itu. Keduanya mereka itu menjerit-jerit untuk minta tolong, akan tetapi suara mereka itu hilang dalam gelap gulita itu.

Besok pagi berikutnya anjing mereka datang berlari-lari. Binatang itu meloncat ke pohon itu dan anjing itu juga ditelan kayu itu dan hanya kepalanya saja yang tinggal kelihatan. Guru Hatiabulan sebagaimana biasa datang membawa makanan untuk anak-anaknya itu. Ketika ia sudah tidak melihat mereka itu maka ia mengikuti jejak kaki putrinya itu dan sesudahnya sampai ke pohon itu dimana ia melihat hanya kepala anak-anaknya dan kepala anjing itu. Ia sangat bersusah hati.
Kemudian Guru Hatiabulan pergi mencari seorang tukang sihir dan menemui seorang bemama Datu Permanuk Koling. Datu itu datang ke pohon itu disertai dengan banyak orang dari tempat jauh dan dekat, karena kejadian itu telah ketahuan dimana-manapun. Seperangkatan alat gung dijeput dan Datu itu memulai pekerjaanya. Ia menggemakan doa-doa mantra untuk mengusir roh-roh itu dengan baik dan membuat apa saja yang dapat mematahkan sihir itu. Setelah upacara yang diperlukan selesai ia memanjat pohon itu. Akan tetapi ia juga di telan.

Dengan hati bingung Guru Hatiabulan dan para pemotong kembali ke rumah mereka. Mereka tidak putus asa, akan tetapi pergi dan mencari seorang Datu yang lain. Seorang ahli/tukang sihir, agung ditemukan nama Marangin Bosi atau Datu Mallatang Malliting. Orang ini pergi ke pohon itu akan tetapi ditelan juga. Kini Datu boru Si Baso Bolon datang di pohon itu. la ditelan juga. Begitu juga terjadi atas diri Datu Horbo Marpaung dan Datu Si Aji Bahir atau Joma So Begu yang separuh manusia separuh setan. Seekor ulat telah tertelan pula.

Guru Hatiabulan telah kehabisan akal. Ia telah banyak menge­luarkan uang untuk Datu-Datu keperluan gendang dan kurban un­tuk roh-roh. Apa saja diminta dia bayar dengan hati rela, tetapi ki­ni putus asa. Beberapa hari kemudian seorang Datu Parupausa Gin­jang datang memperkenalkan dirinya. Ia menerangkan dengan pasti, bahwa ia dapat melepaskan orang-orang itu. Guru Hatiabulan mem­percayai Datu itu dan memberikan semua yang ia minta. Datu itu menerangkan, bahwa mereka harus memperkurban kepada semua roh-roh. Roh-roh dari daratan, roh-roh dari air/lautan, roh-roh dari hutan dan yang lain-lain semuanya. Sesudah itu orang itu akan di­lepaskan. Guru Hatiabulan menyediakan kurban itu sesuai dengan petunjuk datu itu. Kemudian mereka pergi ke pohon itu memasang semua ilmu sihir yang diketahuinya, ia memotong pohon itu. Sesu­dah pohon itu roboh semua kepala-kepala manusia itu sekonyong­-konyong lenyap, juga kepala dari anjing dan ular itu. Semua orang menjadi bingung, akan tetapi datu itu bilang supaya Guru Hatiabulan memotongi pohon dan mengukit di kayu gambaran dari orang yang telah lenyap itu. Demikianlah jadi diperbuat. Ia memotongi batang pohon itu dan mengukir pada satu tongkat gambaran dari lima orang lelaki, dua orang perempuan, seekor anjing dan seekor binatang lata.

Sesudah memperoleh sembilan gambaran sedemikian ini mereka semuanya kembali ke kampung. Sesudah mereka sampai di situ ma­ka dibunyikanlah gung, sedang seekor lembu dipotong demi kehormatan dari yang diperlihatkan dengan gambar-gambar itu. Tongkat itu disandarkan ke muka suatu lumbung padi lalu Guru Hatiabulan menari.

Kemudian itu Datu Parpausa Ginjang menarikan suatu tari keberahi­an, dengan jalan ini ia membuat dirinya kesurupan dengan roh-roh dari yang tertelan itu. Sesudah ia disurupi oleh roh-roh ini mereka itu memulai berbicara melalui dia. Mereka itu adalah roh-roh dari:

  1. Si Aji Donda Hatahutan;
  2. Si Boru Tapi Na Uasan;
  3. Datu Pula Paijang Na Uli, Si Panjarbulan Simelbuselbus;
  4. Si Sanggar Meoleol;
  5. Si Sanggar Meoleol;
  6. Dasi Mangambat, Si Upar Mangalela; dan
  7. Barita Songkar Pangururan.

Mereka mengatakan: "O, Bapak Pengukir, Bapak telah mengu­kir gambaran kami dan kami mempunyai mata, akan tetapi tidak da­pat melihat kami mempunyai mulut, akan tetapi tidak dapat berbi­cara, kami mempunyai kuping, akan tetapi tidak dapat mendengar, kami mempunyai tangan akan tetapi tidak dapat memegang. Kami mengutuk Bapak Pengukir," Datu itu menjawab: "Jangan kutuk saya, akan tetapi pisau inilah, karena jika tidak dengan itu saya tidak da­pat mengukir gambaranmu";. Pisau itu menjawab: "Jangan kutuk sa­ya, akan tetapi tukang besi itulah, karena jika ia tidak menempa saya, saya tidak akan pernah menjadi sebilah pisau. "Tukang pandai besi berkata: "Jangan kutuk saya, akan tetapi pengembus/puputan itu­lah, karena jika tidak dengan tiupannya saya tidak akan dapat me­nempah sesuatu apa". Pengembus/puputan berkata: "Jangan kutuk saya akan tetapi Guru Hatiabulanlah, sebab jika ia tidak memerin­tahkan bertindak seperti yang kami perbuat, kami tidak akan pernah melakukan pekerjaan ini".

Sepanjang mengenai guru Hatiabulan roh itu kembali berbicara dari mulut tukang sihir itu: "Saya kutuk kamu Bapak dan juga kamu Ibu yang melahirkan saya," setelah Guru Hatiabulan mendengar ini ia menjawab: "Jangan kutuk saya, akan tetapi kutuklah dirimu sen­diri. Kau yang telah terjerumus/jatuh kedalam lubang, kau yang di­bunuh dengan lembing dan kamu yang tidak mempunyai keterunan". Lalu roh itu berkata: "Jikalau begitu semestinya, Bapak pergunakan­lah saya dari sekarang sebagai:

  1. Penangkal pada musim hujan;
  2. Pemanggil hujan pada musim kemarau;
  3. Penasehat dalam pemerintahan dalam negeri;
  4. Teman seperjuangan dalam peperangan; dan
  5. Sumber penyebab dalam kebusukan/kerusakan dalam penyakit dan kematian dan dalam pada itu daya kekuatan untuk menyu­sut pencuri dan perampok." Sesudah ini upacara berakhir se­mua pergi mengikuti jalan masing-masing.8)

Pada uraian terdahulu telah disebutkan bahwa suku Batak ituserumpun adanya. Maksudnya bahwa kepercayaan, adat-istiadat pada umumnya mempunyai kesamaan satu dengan lainnya. Demikian juga tentang tongkat mukjizat Tunggal Panaluan. Hampir setiap suku me-

––––––––––––

8) Batara Shangti Op. Cit., hal. 365, 366, 367, 368. milikinya sekalipun motif/bentuk serta kisah kehadirannya berbeda-beda namun fungsi dan hakikatnya sama yakni memberi arti terhadap kehidupan dan kematian dalam arti nasib buruk dan nasib baik.

Menurut beberapa orang pengetua adat yang kami hubungi kehadiran tongkat Panaluan di daerah Karo pada mulanya berasal dari manusia juga adanya. Di daerah Karo kita dapati dua buah tongkat masing-masing mempunyai mukjizat yakni tongkat Panaluan disebut oleh suku Karo tongkat diberu (perempuan) sedang tongkat malaikat disebut pula tongkat dilaki (jantan). Kedua tongkat itu masing-masing mempunyai keunikan bentuk, tergambar mulai dari pangkal sampai keujung secara berjenjang, terdapat berbagai macam perwujudan bentuk manusia dan binatang. Dari kedua tongkat itu kita dapat melihat adanya nilai-nilai fungsional, sangat menentukan sebagai penakluk dari gangguan-gangguan jahat di samping pemberi harapan baik.

Kehadiran Tongkat Panaluan dari daerah Batak Karo tidak sama dengan kehadiran Tongkat Panaluan seperti yang terdapat di daerah Batak Toba, baik bentuk ataupun motif ukiran yang terdapat pada tongkat itu.

Motif ukiran pada Tongkat Batak Toba terdiri dari lima orang laki-laki, dua orang perempuan, seekor anjing dan seekor ular. Sedang motif pada Tongkat Panaluan Batak Karo terdiri dari sebelas orang manusia tujuh ekor anjing, seekor lipan, seekor kepiting, seekor bunglon, seekor kalajengkin, seekor kodok dan seekor kuda.




54
Kalau kita teliti detail patung-patung yang diperlatkan pada tongkat itu, kita temukan elemen-elemen estetika serta bentuk-bentuk yang individualitas universal.
  1. 1,0 1,1 Batara Sangti (Ompu Buntilan), Sejarah Batak Penerbit Karl Sianipar Company, Balige Sumatra Utara, hal. 364.