Student Hidjo/Bab1
Sudah dua bulan lamanya Hidjo tinggal di Negeri Belanda dan menjadi pelajar di Delf. Selama itu pula Hidjo belum merasa kerasan tinggal di Nederland karena pikiran dan sikap Hidjo tidak sebagaimana anak muda kebanyakan. Yaitu suka melihat aneka pertunjukan yang bagus-bagus dan bermain-main dengan perempuan yang pertama kali Hidjo masuk di Koninklijke Schouwburg bersama dengan famili direktur yang ditumpangi rumahnya untuk melihat opera Faust. Sebuah pertunjukan yang sangat digemari oleh orang-orang Belanda.
Dalam Faust itu, terdapat cerita dari seorang yang sangat gemar belajar mencari ilmu, sampai dia (Faust) itu tidak lagi mempunyai waktu untuk merasakan kesenangan dunia. Faust seorang yang berharta, tetapi dia tidak senang memelihara perempuan sebagaimana dilakukan orang kebanyakan. Juga plesiran dan lain-lainnya, dia tidak suka. Jadi Faust itu telah merasa bisa hidup dengan senang dengan beberapa ratus buku yang disukainya. Sejak ia masih muda sampai rambut Faust itu berganti warna putih, dia tidak pernah buang-buang waktu barang satu jam pun selain untuk belajar. Sudah barang tentu, semakin lama dia bertambah besar kekayaan. Begitu juga Faust selalu memikirkan hari kematiannya yang musti datang. Yaitu dengan bersungguh-sungguh hati dia tidak suka melakukan pekerjaan yang merugikan orang lain.
Menuruti cerita itu, Faust itu sudah boleh dipastikan (kalau sudah mati) tentu akan masuk surga.
Tetapi apa kabarnya? Pekerjaan Faust yang seperti itu tak bisa dilanjutkan sampai hari kematiannya.
Sebab dengan tiba-tiba Faust menaruh cinta kepada seorang perempuan yang telah mempunyai suami. Karena cinta Faust yang amat sangat itu, dia tak lagi sayang dengan harta benda kekayaan yang jumlahnya bermilyun-milyun itu. Dan dia tidak takut akan hari kematiannya dan masuk di api neraka Jahanam. Waktu itu juga Faust sudah tidak lagi mempedulikan pelajaran yang baik-baik yang sudah memenuhi kepalanya.
Dengan pertolongan setan, Faust bisa menjadi seorang anak muda yang amat tampan rupanya. Dan akhirnya seorang perempuan yang dicintai Faust itu, juga menaruh hati kepada Faust. Dan sudah tentu saja, lantaran kelakuan Faust yang tidak senonoh itu, surga, kekayaan dan kepandaian serta yang lain-lainnya menjadi hilang musnah.
Waktu Hidjo melihat opera sebagaimana tersebut diatas, hatinya menjadi tergoncang. Seolah-olah cerita itu menyindir dirinya. Nona-nona anak direktur yang duduk berjejer di samping kanan kiri Hidjo selalu mengeluarkan perkataan sindiran yang ditujukan kepada Hidjo.
“Tuan Hidjo!” kata salah seorang nona teman Hidjo. “Apakah akhirnya Tuan hendak berbuat seperti Faust itu? Sebab sekarang ini tuan suka belajar. Tetapi akhirnya pertanyaan itu tidak dijawab oleh Hidjo. Tetapi dia menggigit bibir bawahnya sambil seperempat tertawa, yaitu suatu tanda bahwa di dalam hait Hidjo ada sebuah bayangan yang belum tampak dengan jelas.
Papa kedua gadis bangsa kulit putih yang juga melihat opera itu, selalu memberi nasihat kepada anaknya supaya dia tidak selalu menggoda Hidjo.
Pukul 12 malam, opera itu habis dan para penonton yang jumlahnya ratusan itu pulang ke rumah masing-masing.
Malam itu pikiran Hidjo selalu tergoda oleh ceritanya Faust yang telah dilihatnya di Koninklijke Schouwburg.
Kalau besok saya sudah tua dan bertindak seperti Faust, lebih baik hal itu kulakukan saja sekarang. Sebab waktu ini saya sebagaimana kebiasaan anak muda yang suka plesiran, itu tidak ada jeleknya. Karena adat semacam itu sudah dipandang umum. Tetapi kalau besok saya sudah berambut putih, berbuat seperti Faust, bah.... begitulah kata Hidjo seorang diri, sewaktu dia hendak tidur.
Matahari baru saja silam. Sinarnya masih bisa menerangi kota ’s-Gravenhage. Semilir angin sejuk yang meniup kota itu membuat semua orang yang melancong di kota itu merasa bahagia. Semua jendela rumah-rumah yang bertingkat itu dibuka. Dan masing-masing, di samping jendela itu ada orang-orang yang duduk santai menikmati semilir angin yang nyaman. Meskipun semua orang sedang termenung di depan jendela sambil menikmati semilir angin, tetapi Hidjo selalu tampak sedang belajar di kamarnya. Ia tidak mempedulikan suasana yang sangat bagus itu.
“Tok, tok, tok, meneer.” Begitu suara orang mengetuk pintunya dan memanggil Hidjo.
“Ya!” jawab Hidjo sambil tetap meneruskan membaca bukunya.
“Mag ik U storen meneer Hidjo?” [“Bolehkah saya mengganggu Tuan Hidjo?”] kata Betje setelah ia membuka pintunya Hidjo.
“Zeker! Zeker!” [“Tentu! Tentu!”] jawab Hidjo dengan senang, tetapi ia masih tetap meneruskan membaca bukunya.
“Tutuplah buku Tuan, saya hendak bicara sebentar dengan Tuan!” kata Betje seraya masuk ke kamar Hidjo.
“Mau bicara apa?” tanya Hidjo seraya berdiri dari kursinya, tetapi dia masih meneruskan membaca bukunya.
“Tutuplah dulu buku itu!” kata Betje tidak sabar.
“Ya!” kata Hidjo sambil menurut bukunya dan meletakkannya di atas meja.
“Ah, Tuan seperti Faust!” kata Betje, bergurau.
“Nee!” jawab Hidjo pendek.
“Apakah Tuan nanti suka melihat Lili Green?” tanya Betje seraya duduk di kursi Hidjo.
“Di mana?” tanya Hidjo seraya duduk di atas meja tulis sambil melihat wajah nona manis itu.
“Ada di Prinsesse Schouwburg, tadi saya membaca advertintenti-nya di Het Vaderland,” kata Betje sambil kaki kanannya ditumpangkan di atas kaki kirinya dan matanya memandang ujung sepatunya, sebagai tanda bahwa ia ingin sekali melihatnya.
“Baik, tetapi kita lihat bersama siapa?” tanya Hidjo sambil memandang wajah Betje tajam.
“Sama saya natuurlijk,” kata Betje membalas tatapan mata Hidjo.
“Betul, tetapi apakah kita hanya pergi berdua saja, tidak dengan orang lain, papamu atau Marie misalnya!” tanya Hidjo setelah tertawa.
“Nee, saya lebih suka pergi berdua saja dengan Tuan!” jawab Betje mengandung maksud.
“Tetapi saya lebih suka melihatnya dengan rame-rame, banyak teman dari sini!” jawab Hidjo setelah tertawa sambil memegang lututnya dan tak lupa memandang wajah nona manis itu.
Perkataan Hidjo itu tak dijawab oleh Betje, tetapi dia hanya menatap Hidjo dengan tajam, seolah-olah Betje memberi tahu bahwa ia tidak menyetujui usul itu. Begitu pula Hidjo pun paham apa yang diinginkan Betje.
“Sudahlah, bilang sama papamu dulu, dia memberi izin atau tidak?” kata Hidjo, bangkit dari duduknya.
“Ya!” jawab Betje dan dengan cepat dia keluar dari kamarnya Hidjo, hendak meminta izin pada papanya untuk melihat Lili Green di Prinsesse Schouwburg dengan Hidjo.
Tidak antara lama Betje kembali ke kamar Hidjo. Dia memberi tahu kalau papanya mengizinkan dia pergi ke Schouwburg dengan Hidjo.
“Cepat berpakaian!” katanya sambil meninggalkan Hidjo dengan menunjukkan kesukaan hatinya.
Pukul setengah delapan malam Betje dan Hidjo pergi ke Prinsesse Schouwburg hendak melihat Lili Green.
Watak Hidjo yang berubah karena pengaruh cerita Faust, tetapi hati Betje senang bukan main.
Meskipun Hidjo belum pernah melihat pertunjukan Lili Green, tetapi ia tetap diam. Tidak bertanya apa yang dimaksud dengan pertunjukan Lili Green itu.
Betje, seorang gadis manis bangsa Eropa yang banyak bicara, selama dalam perjalanan dengan Hidjo, dia banyak bercerita tentang kebagusan Lili Green itu.
Dengan menumpang tram jalur 5, dua muda-mudi itu hendak pergi ke Prinsesse Schouwburg. Betje merasa bangga hatinya saat duduk di dalam tram berjejer dengan Hidjo, seorang Jawa yang berkulit sawo matang.
Di Prinsesse Schouwburg, orang-orang yang hendak melihat pertunjukan Lili Green itu sudah saling berdesak-desakan. Hal itu menunjukkan bahwa pertunjukan itu memang bagus.
Untung sekali bagi Betje dan Hidjo karena mereka masih mendapat tempat duduk istimewa, walaupun bayarannya mahal.
Pukul 9, scherm (layar) dibuka. Di tempat itu tampak gambar-gambar dan sinar lampu berwarna kuning, yang menambah kebagusan tempat itu. Tak lama kemudian keluar enam orang perempuan muda telanjang, yang hanya memakai kain sutera yang amat tipis untuk menutupi seluruh tubuhnya. Meskipun badan mereka itu ditutup dengan kain sutera yang berwarna-warni, tetapi seluruh tubuhnya tampak dengan jelas, transparan sekali. Nona-nona itu menunjukkan kebolehannya berdansa, meloncat-loncat dan lain-lainnya.
Hidjo yang selama hidupnya belum pernah melihat semacam itu, hatinya berdebar-debar karena melihat gadis-gadis yang telanjang itu.
“Bagus sekali!” kata Betje yang duduk di samping kanan Hidjo, setelah dia melihat gadis-gadis yang berdansa itu dengan kijker. “Cobalah Tuan melihat dengan kijker ini!”
Hidjo mencoba melihat pertunjukan itu dengan kijker tetapi dia tidak tahan melihat lebih lama. Karena hatinya berdebar-debar kencang. Entah karena ketakutan atau entah terlalu senang melihat keadaan yang demikian itu.
Karena godaan-godaan itu, Hidjo bertambah lembek hatinya. Lebih-lebih dia di Prinsesse Schouwburg itu hanya berdua dengan Betje dan sejak pukul setengah sembilan hingga setengah sebelas malam, terus melihat gadis-gadis yang hanya memakai pakaian sutera tipis sekali dan seluruh anggota tubuhnya tampak dengan jelas sekali itu.
Waktu pukul setengah sebelas, pertunjukan pauze, banyak penonton yang pergi ke buffet dan rooksalon (ruangan untuk merokok). Betje dan Hidjo tak mau ketinggalan, ia pergi ke buffet untuk minum kopi.
“Mau minum apa Nona?” tanya Hidjo dengan ramah ketika mereka sudah duduk di kursi yang lantainya beralaskan karpet yang sangat tebal.
“Kopi saja!” jawab Betje sambil mengamati orang-orang yang sama menonton pertunjukan itu, dan sudah sama-sama duduk di dekatnya.
“Aanneme!” begitu Hidjo memanggil pelayan Belanda yang melayani di tempat itu.
“Meneer!” jawab pelayan dan dengan cepat datang menghampiri tempat Hidjo.
“Minta dua kopi!” kata Hidjo kepada pelayan Belanda itu.
“Ya, Meneer!” jawab pelayan itu ramah.
“Saya tidak begitu senang melihat pertunjukan itu!” kata Hidjo kepada Betje.
“Saya juga!” sahut gadis manis itu.
“Mari kita langsung pulang saja!” kata Hidjo pula.
“Baik!” jawab Betje sambil menginjak sepatu Hidjo yang bermaksud meskipun Hidjo paham dan setuju dengan tanda yang diberikan Betje, tetapi dia tidak membalas dengan terus terang. Namun hanya dibalas dengan senyum manis saja.
Pertunjukan Lili Green sudah mulai lagi, para penonton pun sudah kembali ke tempat duduknya masing-masing. Tetapi Betje dan Hidjo terpaksa meninggalkan pertunjukan itu.
“Apakah kita langsung pulang?” tanya Hidjo sewaktu dia sudah keluar dari Schouwburg.
“Nee, nee, nee,” jawab Betje cepat. “Mari kita melancong lebih dulu, toh sekarang baru setengah sebelas.”
Dua orang muda-mudi, seorang perjaka bangsa Jawa dan gadis bangsa Eropa, terus melancong dengan jalan kaki. Dengan memaksakan diri, Betje menggandeng tangan Hidjo. Wajahnya didekatkan ke telinga Hidjo sambil berbisik-bisik yang tak bisa didengar orang lain. Demikian pula Hidjo, dengan keberaniannya ia mau memenuhi permintaan Betje.
“Mari kita naik tram pergi ke Scheveningen?” kata Betje kepada Hidjo sambil menelan ludahnya yang sudah kental.
“Mari!” jawab Hidjo. Dia semakin berani menggandeng tangan Betje.
Hidjo dan Betje sudah naik tram pergi ke Scheveningen.
“Mari kita pergi ke Hotel Scheveningen!” kata Betje kepada Hidjo sambil hatinya berdebar-debar. “Nanti kamu sewa satu kamar dan minta untuk dua orang.”
“Baik!” jawab Hidjo kebingungan tetapi mantap.
“Apakah di sini saya bisa dapat kamar untuk dua orang?” tanya Hidjo kepada pelayan hotel, setelah mereka masuk ke hotel.
“Bisa Tuan,” jawab pelayan hotel. Dan Hidjo ditunjukkan kamarnya.
Saat itu juga Hidjo dan Betje langsung masuk ke dalam kamar yang sudah disediakan. Apa yang terjadi selanjutnya di kamar itu, para pembaca bisa memikir atau menduganya sendiri.
“God, Betje! Sudah hampir pukul dua belas,” kata Hidjo kepada Betje yang duduk di tempat tidur. Waktu itu dia melihat arlojinya yang ada di jasnya yang tergantung di cantelan.
“Mari kita cepat pulang!” kata Betje yang kelihatan capek.
Hidjo cepat memencet bel untuk memanggil pelayan. Sesudah pelan datang, dan bea kamar dibayarnya, lalu dengan cepat dua anak muda itu segera meninggalkan Hotel Scheveingen.
Untung bagi mereka itu. Karena dia masih bisa naik tram yang terakhir dari Scheveningen ke Hamelstraat. Kedatangan Hidjo dan Betje ke rumah pun seperti biasanya orang-orang yang pulang dari Schouwburg.