Bila kita membicarakan Belanda di Hindia ini, maksud saya adalah kebanyakan Belanda. Pembaca jangan lupa bahwa ada beberapa Belanda yang dikecualikan. Ketika saya hendak menulis karangan ini, saya membaca sebuah tooneel yang dimainkan di Amsterdam baru-baru ini. Yaitu yang biasa disebut orang dengan sebutan “Tropenadel”. Artinya bangsa asal (tinggi) di tanah panas (yakni di Hindia). Adapun ceritanya boleh diringkas demikian:

Seorang serdadu dari Nederland yang tadinya tinggal di kampung yang miskin di Amsterdam, dan yang pergi menjadi kolonial (serdadu kolonie). Di Hindia, ia telah mendapat pensiun. Dan karena saking rajinnya ia bekerja, ia menjadi amat kaya. Karena kekayaannya, ia sering menjadi besar kepala. Demikian orang itu disebut saja namanya A. Si A itu mempunyai istri dan telah beranak dinamakan saja E. Di tempat kediamannya itu, saya dapati juga saudara istrinya yang bernama G. Nonik E, ditunangkan dengan bangsa Indo. Pada waktu itu (m.i. rumahnya di desa yang bergunung-gunung) di desa itu, ada juga seorang Inggris yang bernama J. Si E menaruh cinta kepada J, dan orangtuanya pun suka kepada J sebab ia bisa berbahasa Inggris, Jerman, Prancis dan sebagainya. Dan telah pergi ke mana-mana. Apalagi menurut kabarnya, ia juga berduwitl.

Layar Tonil dibuka untuk yang kedua kalinya. Suami istri m.i. tinggal di Batavia. Tuan A, itu pikirannya seperti orang yang berasal dari keluarga bangsawan, dan telah lupa pada asal mulanya dahulu. Iparnya sering mengingatkan kepada dirinya. Dan ipar itu tidak percaya kepada J. Tuan A tidak mau mendengarkannya. Pada suatu hari, ketika hari pertunangan itu dirayakan, datanglah seorang perempuan tua yang sangat miskin dari Kettenberg, sebuah kampung di Amsterdam. Di rumah itu, J kebetulan bertemu sendiri dengan bibinya. Jadi, J itu orang Inggris palsu. Pendek kata, J diusir dan bibinya tinggal di tempat A. Pada suatu saat ketika m.i. sedang ngobrol, maka datanglah seorang perempuan tetangganya. Ia mula-mula menyombongkan diri. Serta ia mau pulang. Si bibi berkata bahwa tetangga tadi tidak lain adalah si Leentje dari Kattenberg, anak seorang tukang babi.

Untuk orang yang pernah tinggal di Hindia, permainan itu hanya sebagai bahan humor. Tetapi bagi kita, sangat besar sekali guna artinya. Jadi, banyak orang Belanda yang mengaku, yang tinggal di Hindia ini, pada mulanya adalah bekas kuli dan orang-orang rendahan. Sementara di sini main gila, menyombongkan diri, menghina kita, sepertinya kita ini budak belian. Lebih keterlaluan lagi, seperti binatang! Orang-orang bumiputera yang tak pernah tinggal di Negeri Belanda, menyangka bahwa ia benar-benar dari keluarga bangsawan, atau klas terhormat. Sekarang masalah lain, pembaca sekalian tentu tahu. Berhati-hatilah dengan m.i. Kita sering bertanya pada diri sendiri: “Mengapa orang Belanda yang telah lama tinggal di Hindia lalu berubah perangainya.” Yang berpikiran demikian bukan hanya orang bumiputera saja. Orang Belanda totok yang belum pernah datang ke Hindia juga berpikiran demikian.

Banyak anak atau teman dan sahabat karib yang sudah pulang dari Hindia menjadi gila hormat. Tak mau lagi bergaul dengan sesama temannya lagi di Nederland. Oleh sebab itu, banyak yang lebih suka kembali ke Hindia lagi. Untuk kita, bedanya sangat besar sekali. Bangsa Belanda, kelas menengah dan kelas atas di Nederland, hatinya sangat baik, suka menolong dan persahabatannya sangat menyenangkan. Untuk kelas rendah banyak juga yang demikian, akan tetapi tidak kurang yang tingkah lakunya kasar dan tidak beradab. Suami istri m.i. setelah datang ke Hindia perangainya berubah. Yang baik jadi jelek. Yang jelek menjadi tambah jelek. Kebanyakan m.i. gila hormat. Bersikap semaunya sendiri terhadap orang-orang bumiputera. Apalagi terhadap kelas yang paling rendah. Itulah yang sering menjelekkan nama baik bangsanya. Pembaca jangan lupa, yang tetap baik juga ada. Tetapi kebanyakan perangainya berubah menjadi sangat buruk melebihi orang-orang lain. Sekarang kita kembali ke pertanyaan kita di atas. Mengapa bisa demikian?

Kita tidak bisa menjelaskan sebab-sebabnya dengan benar. Kita akan mencoba menjawabnya dengan perkiraan. Sebabnya boleh kita simpulkan menjadi dua pokok masalah.

Dari pihak Belanda.

Dari pihak bumiputera.

Kalau kita perhatikan dengan sungguh-sungguh yang mengubah perangai Belanda itu adalah:

a. Pengetahuan tentang Tanah Hindia Meskipun Hindia sudah diperintah bangsa Belanda sudah cukup lama, orang Belanda boleh dikatakan tidak tahu sama sekali tentang keadaan di Hindia. Di sekolah rendah, hanya diajarkan bahwa Nederland mempunyai koloni yang bernama Hindia. Pulau-pulaunya yaitu ... dan sebagainya. Kota-kota di Tanah Jawa seperti Batavia, Semarang, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Surakarta. Sungai-sungainya seperti Ciliwung, Bengawan (Solo) dan Brantas dan sebagainya. Lain dari pada, tidak sama sekali. Wahai pembaca, kalau anak�anak hanya dipelajari sedikit sekali tentang Hindia, bagaimanakah yang tua�tua yang tidak lagi ingat kepada ilmu bumi. Apalagi orang itu mendengar bahwa kita bisa berbahasa Belanda, maka tercengang-cenganglah ia memandang kita. Mereka mengira, di Tanah Jawa itu masih banyak orang yang makan manusia. Di dekat rumahnya banyak hutan-hutan yang dipenuhi binatang-binatang buas seperti harimau dan binatang-binatang lainnya. Untung sekarang tambah lama semakin berkurang orang yang berpikiran demikian. Baru-baru ini kita ditanya serdadu:

“O, apakah Tanah Jawa itu jauh dari Hindia?” Pertanyaan semacam itu sering sekali kita dengar. Orang-orang yang terpelajar pula setali tiga uang. Hanya orang-orang yang mempunyai saudara di Hindia yang mengepalai pabrik yang mengerti sedikit-sedikit tentang Hindia. Yaitu tempat di mana saudaranya tinggal dan tempat di mana pabriknya berada. Bila m.i. hendak ke Hindia, lalu ia bertanya kepada kenalan-kenalannya yang pernah ke Hindia, ada juga yang tak bertanya sama sekali. Sepertinya hampir semua orang Belanda, tidak tahu sama sekali dengan pikiran kita. Kenalan itu menyangka ia paham betul tentang Hindia. Tentu saja keterangannya itu tak bisa dipercaya sama sekali. Di Hindia, lalu m.i. hanya bergaul dengan bangsanya sendiri, yang juga tidak banyak mengetahui tentang keadaan Hindia. Jadi selamanya m.i. tidak akan pernah mengerti tentang kita. Karena pada zaman kompeni (sampai sekarang) hampir semua orang yang pergi ke Hindia hanya bermaksud untuk mencari uang semata. Tambahan lagi, ia tak mengenal penduduk negerinya. Maka ia (menurut pendapat kita) lalu bertindak semau�maunya sendiri kepada kita. Mengapa hanya sedikit sekali yang mau langsung bergaul dengan kita? Bukankah sesungguhnya itu jalan yang terbaik? Jadi boleh kita katakan:

b. Pembauran di Hindia

c. Pendapatnya tentang Kita Bumiputera Kita mengaku bahwa banyak orang Belanda yang suka kepada kita. Tetapi sayang sekali, m.i. tidak sebanding dengan banyaknya orang yang membenci (karena tidak mengerti) kepada orang-orang bumiputera. Adapun sebab kebencian ini, kebanyakan dari keterangan orang-orang, sanak atau kenalannya yang pernah tinggal di Hindia, mempunyai babu atau jongos yang pada suatu hari berbohong atau mencuri. Maka oleh kenalan itu dikatakan bahwa semua orang Hindia tidak boleh dipercaya. Ini hanya suatu umpama saja. Kita dapat menulis buku-buku penuh dengan perumpamaan�perumpamaan seperti itu. Surat kabar pun dapat meracuni kita, seperti tulisannya W dan V.H. Sehingga banyak orang yang mempercayainya. Sehingga yang terjadi, banyak orang-orang yang hatinya menyangka seburuk itu. Surat-surat kabar di Nederland tersebut kebetulan sering berurusan dengan bumiputera dan kebaikan-kebaikan pemerintahan. Tetapi pendapat orang-orang bumiputera dan kejelekan-kejelekan pemerintah jarang kita temui. Barangkali akan lebih banyak lagi sebab-sebab yang berasal dari pihak Belanda.

Sekarang kita lihat dari pihak bumiputera.

a. Ketakutan Anak Bumiputera Anak-anak bumiputera kebanyakan takut kepada Belanda. Apa sebabnya? Bukankah Belanda itu juga manusia seperti Bumiputera? Mari kita lihat dari Zaman Kompeni. Pada waktu itu bangsa bumiputera diinjak-injak, diperas, dan diambil kekuatan serta uangnya. Anak-anak bumiputera (terlebih bangsa Jawa) yang bisa membedakan orang sesuai dengan kelas sosialnya, atas dan bawah, memandang orang Belanda sebagai kelas atas. Bangsa yang tinggi. Sebab m.i. selalu menang perang. Mulai saat itu, semua orang Belanda disangka patut dihormati. Tetapi si Belanda tidak ambil pusing. Belanda yang perangainya kurang halus itu membalas kebaikan kita dengan kekasaran. Anak Jawa yang sejak kecil ditakut-takuti dengan Belanda, hingga besar tetap takut. Maka dari itu tidak baik jika orang tua yang menakut-nakuti anak�anaknya yang menangis: “Hai, diam ada Belanda!”

b. Bahasa Bumiputera dan Perihal Menghormati Bangsa Lain Anak-anak bumiputera yang tak tahu bahasa Belanda, kebanyakan berbahasa Melayu dan bahasa Jawa “kromo inggil” kepada Belanda. Si Belanda yang tak mau mempelajari bahasa Melayu dan bahasa Jawa kromo inggil memakai bahasa Melayu dan bahasa Jawa rendah. Ini jelas salah besar sekali. Siapapun yang berbahasa Melayu dan berbahasa Jawa rendah, harus dijawab dengan bahasa itu juga. Jika m.i. belum memperkenalkan diri, si Jawa tidak usah menyebut dengan sebutan “tuan” atau “ndoro”, bila Belanda menyebut “man”. Dalam bahasa Belanda pun demikian juga. Dalam bahasa ini hanya sedikit sekali bedanya antara tinggi (kromo inggil) dengan rendah (kasar/ ngoko). Sebab itu, banyak Belanda yang tidak mau diajak berkata dalam Bahasa Belanda. Baik! Tetapi m.i. jangan juga diajak berbicara dengan bahasa Jawa Tinggi kalau ia tak mau. Mengenai masalah kehormatan pun tak ada bedanya. Heran saya, di Nederland, Belanda itu, sering berkata bahwa kita itu Slaafsch (seperti budaknya). Meski di Hindia ia sering dijongkoki.

Saya menulis ini tidak sekali-sekali bermaksud haatzaaien. Hanya saya hendak membuka mata bumiputera supaya jangan sampai keterusan. Lebih cepat antara Belanda dan bumiputera itu saling berbaur satu dengan yang lainnya dan mengerti. Hal itu akan lebih baik, baik untuk Hindia dan untuk Nederland sendiri. ***

Setelah Sergeant Djepris membaca karangan itu lalu dia meninggalkan Controleur Walter dengan wajah yang cemberut.