Sultan Thaha Syaifuddin/Bab 3
KELAHIRAN, KEHIDUPAN KELUARGA
KEPRIBADIAN SULTAN THAHA
A. KELAHIRAN
Sultan Thaha Syaifuddin dilahirka di Keraton Tanah Pilih, kampung Gedang Jambi pada pertengahan tahun 1816. Pada masa kecil beliau biasa dipanggil Raden Thaha Ningrat (10, p. 10), Ayahnya Sultan Muhamad Fakhruddin dikenal rakyat Jambi sebagai Sultan yang saleh dan besar jasanya terhadap pengembangan agama Islam di Jambi.
Sejak kecil Raden Thaha Ningrat telah memperlihatkan tanda-tanda kecerdasan dan ketangkasan. Beliau adalah seorang bangsawan yang rendah hati dan suka bergaul dengan rakyat biasa. Beliau dididik oleh ayahnya dengan ajaran agama Islam, sehingga pada masa kecilnya beliau telah kelihatan sebagai seorang anak yang taat beribadat. Pelajaran tauhid meresap benar ke dalam jiwanya. Beliau percaya bahwa Allah adalah Yang Maha Kuasa, lebih berkuasa dari segala yang berkuasa di dunia ini.
Dan ketaatannya terhadap agama dan kepercayaannya yang penuh kepada Keesaan Tuhan itulah timbul sifat-sifatnya yang luar biasa. Beliau seorang yang berani dan ulet dalam menghadapi segala macam pekerjaan (20, p. 479).
Hal ini tidak mengherankan, karena menurut suatu sumber, dari fihak ayahnya Sultan Thaha adalah keturunan Ahmad Salim bangsawan Turki, penyebar agama Islam yang mula-mula di Jambi. Sedang dari fihak ibunya beliau adalah keturunan wanita Arab yang kuat rasa keagamaannya.
Sumber tersebut menyebutkan bahwa Sultan Thaha Syaifuddin (1816 – 1904 M.) adalah anak dari Raden Muhamad gelar Sultan Muhamad Fakhruddin (1833 – 1841 M.) anak Raden Muhamad (Raden Danting) gelar Sultan Mahmud Mahyuddin (Sultan Agung Sri Ingalogo 1812 – 1833 M.) anak Ratu Kusuma yaitu anak Pangeran Temenggung Mangku Negara X, anak Sultan Ahmad Zainuddin (1770 – 1790 M.) anak Raden Julat gelar Pangeran ratu (1730 – 1770 M.) anak Raden Penalis gelas Sultan Abdul Muhyi (Sultan Sri Ingalogo 1669 – 1694 M.) yang merupakan keturunan dari Ahmad Salim gelar Datuk Paduko Berhalo, penyebar agama Islam yang mula-mula di Jambi sejak tahun 1460 M. (10, p. 10).
Dari fihak ibunya Sultan Thaha adalah keturunan Arab. Ada yang mengatakan keturunan Siti Maryam, ada lagi yang mengatakan keturunan Siti Fatimah anak Syah Bafadal Magatsari Jambi (10, p. 10).
Sejak usia antara lima atau enam tahun Sultan tidak hanya dididik dalam membaca Al Qur'an dan ilmu-ilmu keagamaan (Islam) melainkan juga ilmu-ilmu keterampilan dan bela diri, seperti berlatih menunggang kuda, menembak, memanah di atas kuda yang sedang berlari, kesenian, adat-istiadat dan ilmu-kubu atau guna-guna (10, p. 11).
Karena kecerdasannya dan ketangkasannya dengan mudah Sultan Thaha menangkap segala pelajaran yang diberikan oleh guru-gurunya di Jambi. Meskipun demikian beliau belum merasa puas dengan ilmu-ilmu yang telah diperoleh itu. Beliau ingin menuntut ilmu yang lebih banyak. Untuk itu Sultan Thaha kemudian meninggalkan Jambi menuju Aceh guna menambah pengetahuan beliau dalam ilmu-ilmu keagamaan dan pengetahuan umum. Seperti kita ketahui Aceh merupakan daerah di Indonesia yang kuat berpegang teguh kepada agama Islam di samping daerah Sumatra Barat dan Banten.
Di Aceh Sultan Thaha tinggal selama dua tahun. Ketika beliau hendak pulang ke Jambi oleh Sultan Aceh diadakanlah upacara pelepasan yang ditandai dengan pemberian gelar "Syaifuddin" kepada beliau. "Syaifuddin berasal dari bahasa Arab yang dapat diterjemahkan dengan "Pedang Agama" (10, p. 11).
Dengan memberikan gelar seperti tersebut di atas Sultan Aceh mengharapkan agar Sultan Thaha di kelak kemudian hari akan merupakan tokoh yang senantiasa berjuang untuk membela kepentingan agama. Dalam kesempatan upacara pelepasan itu pula Sultan Aceh berpesan sebagai berikut:
"Nenek moyang kita telah menggariskan politknya untuk menegakkan dan mengembangkan agama Islam terus-menerus, agar benteng Islam yang telah ada diperkuat dan yang belum ada diadakan. Menegakkan agama Islam bukan hanya melalui Khutbah-khutbah.
Hal yang demikian perlu sekali mendapat perhatian dari umat Islam, apalagi mengingat bahwa sekarang ini Belanda telah mengelilingi kita" (10, p. 12).
Pesan dan harapan Sultan Aceh ini ternyata tidak sia-sia. Sultan Thaha Syaifuddin dalam segala sepak terjangnya senantiasa didasarkan atas agama Islam dan berusaha untuk mengembangkan dan membela agama itu.
B. KEHIDUPAN KELUARGA
Sebagai Manusia biasa Sultan Thaha pun mengalami hidup berumah tangga. Raden Haji Muhamad Syarif menantu Sultan Thaha menceritakan bahwa beliau pernah menikah sampai empat puluh kali. Hal ini terjadi karena apabila salah seorang isteri bleiau meninggal atau diceraikan beliau kemudian menikah lagi. Apa motif Sultan Thaha untuk beristri lebih dari satu tidak kita ketahui (10, p. 12).
Di antara istri-istrinya menurut Haji Saat (98 tahun) tokoh masyarakat dan akhli adat yang tinggal di Lubuk Landai, ada dua orang yang pernah tinggal bersama Sultan Thaha di Lubuk Landai, Muara Bungo, Kabupaten Bungo Tebo ialah Ratu Mas dan Mbok Pipit. Ratu Mas menurunkan dua orang Anak. Yang laki-laki Pangeran Ratu dan yang perempuan Timah Intan; Sedangkan Mbok Pipit menurunkan dua putera, kedua-duanya laki-laki yaitu: Raden Kartopati dan Raden Ali (14, p. 5).
Sultan Thaha juga mempunyai istri bernama Kamsyiah. Diceritakan selanjutnya bahwa sebelum menikah dengan Sultan Thaha, Kamsyiah adalah seorang janda yang telah mempunyai dua orang anak, yang laki-laki bernama Hasan dan yang perempuan bernama Puneh.
Perkawinannya dengan Kamsyiah ini menurunkan lima orang putera dari lima orang putera tersebut tiga di antaranya masih hidup sampai sekarang. Mereka itu ialah Kamaruddin, Abutani dan Ilyas, yang kesemuanya tinggal di Nanggolo, Sumatra Barat (10, p. 12).
Tentang berapa jumlah putra Sultan Thaha, Raden Haji Muhamad Syarif menerangkan bahwa di antara istri Sultan Thaha itu ada sembilan yang mempunyai keturunan. Mereka itu ialah: - Ratu Lijah, mempunyai empat orang anak.
- R.A. Rahman gelar Pangeran Ratu.
- Ratu Mas Intan.
- Ratu Mas Nunit.
- Ratu Mas Maryam.
- Nyi Mas Liot, mempunyai dua orang anak:
- Raden Usman
- Raden Ayu (Unsu).
- Nyi Mas Pikik, mempunyai empat orang anak:
- Pangeran ADi.
- Tumas Hapsah
- Turn as Rafi'ah
- Tumas Fatimah
- Nyi Mas Toluk, mempunyai seorang anak:
Ratu Mas Sisah.
- Nyi Mas Bonun, mempunyai dua orang anak:
- Ratu Mas Montok
- R.. Saleh.
- Nyi Mas Solo, mempunyai seorang anak
Ratu Mas Karya
- Nyi Mas Laha, mempunyai seorang anak
Ratu Mas Zahara (janda R. Syarief).
- Nyi Mas Timah, mempunyai dua orang anak:
- Ratu Mas Fiah.
- Ratu Mas Siti.
- Nyi Mas Pipit, mempunyai empat orang anak:
- Ratu Mas Badaniah
- Ratu Mas Kartopati
- Raden Ali
- Raden Umar (IO, p. 13 dan l4).
Keluarga Sultan Thaha Syaifuddin sebagai keturunan penyiar agama Islam sangat kuat memegang syariat Islam. Keadaan demikian mewarnai kehidupan mereka sehari-hari yaitu hidup sederhana, bersifat pemurah dan kasih sayang terhadap rakyat. Pantulan sinar keagamaan yang kuat dalam kehidupan keluarga Sultan Thaha Syaifuddin itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan rakyat pada waktu itu, sehingga ungkapan adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan Kitabullah (Al-Qur'an) benar-benar hidup dalam masyarakat Jambi di bawah pimpinan Sultan Thaha (10, p. 17).
C. KEPERIBADIAN SULTAN THAHA SYAIFUDDIN
Sudah disebutkan di muka bahwa sejak kecil Sultan Thaha Syaifuddin telah memperlihatkan kecerdasan dan ketangkasan serta rendah hati dan suka bergaul dengan rakyat biasa. Beliau mempunyai sifat pemurah, suka bermusyawarah, berani dan bertanggung jawab. Ketaatannya menjalankan perintah agama dan menjauhi larangan-larangannya sudah tertanam sejak usia muda (10, p. 15).
Setelah dewasa Sultan Thaha bercita-cita untuk menyebarkan agama Isam dan mencerdaskan rakyatnya. 8eliau berpendapat bahwa rakyat harus diberi pendidikan dan bimbingan dengan ajaran Islam.(10, p. 15).
Karena sikap dan sifat Sultnan Thaha seperti yang telah disebutkan itu maka jiwanya selalu dekat dengan rakyat dan rakyatpun sangat cinta kepadanya.
Kecintaan rakyat terhadap beliau itu nampak apabila beliau berkunjung ke daerah-daerah. Rakyat di setiap daerah yang mendengar berita bahwa daerahnya akan dikunjungi Sultan Thaha serta merta menyiapkan kiding (sebangsa ayaman dari rotan, bambu dan daun pandan) berisi padi untuk dihadiahkan kepada Sultan. Rakyat di dusun-dusun merasa rindu apabila Sultan Thaha lama tidak mengunjungi daerahnya. Kerinduan mereka itu kadang-kadang diungkapkan dalam pantun berbunyi:
Sultan Thaha memang sangat mencitai rakyatnya, akan tetapi sebaliknya beliau sangat benci terhadap penjajah Belanda yang disebutnya sebagai golongan kafir (17, p. 5). Diceriterakan bahwa pada suatu hari datanglah perutusan Belanda hendak menghadap Sultan Thaha. Sultan tidak bersedia menerima perutusan Belanda itu. Hanya perdana mentri yang diperintahkan untuk menemuinya. Sesudah perutusan Belanda meninggalkan tempat pertemuan itu, Sultan memerintahkan menyiram jalan yang telah dilalui perutusan Belanda itu dengan air yang telah dibacakan surat Yasin. Daerah sungai Arau (Rantau Panjang), pernah juga disiram dengan air Yasin sesudah dilaui orang Belanda (11, p. 10). Demikianlah kebencian Sultan Thaha terhadap penjajah Belanda.Asam payo buah di hutan
Batang limau berduri-duri
Habis dayo mencari Sultan
Sultan dilindungi matahari (10, p. 15).
Karena tidak menginginkan harta benda kerajaan yang jatuh ke tangan Belanda, Sultan Thaha pernah memerintahkan untuk memasukkan harta kerajaan ke dalam suatu kolam ke dalam sungai Pasir. Menurut Ratu Mas Maryam, putri beliau yang masih hidup, harta kerajaan itu sampai sekarang masih ada, karena orang tidak berani membongkar kolam yang dianggapnya keramat.
Demikian besarnya kecintaan Rakyat terhadap Sultan Thaha sehingga beliau dianggap orang keramat yang dapat berubah-ubah warna makanya sampai tiga kali sehari. Penghormatan rakyat yang tinggi, bahkan sampai berlebih-lebihan seperti tersebut di atas menggambarkan betapa kokohnya pribadi Sultan Thaha dan betapa dalamnya ilmu beliau dalam bidang agama.
Sebagai pemimpin Masyarakat, Sultan Thaha terjun sebagai anggota masyarakat, dan ikut bekerja dengan rakyat. Sultan juga ikut bergotong royong dengan rakyat yang dalam bahasa Jambi disebut berselang. Beliau juga ikut menangkap ikan bersama-sama rakyat yang dalam bahasa Jambi disebut baharang.
Hampir semua kegiatan masyarakat diikuti Sultan Thaha secara aktif. Itulah sebabnya beliau sangat disayangi rakyatnya, sehingga diceritakan bahwa ketika diadakan pesta perkawinan putra Sultan Thaha di Sungai Aro, dirayakan rakyat selama tujuh bulan. Makanan dan minuman disediakan oleh rakyat dengan suka rela.
Semua keputusan yang akan diambil Sultan Thaha selalu dimusyawarahkan lebih dahulu dengan pembantu-pembantunya. Untuk memelihara ketaatan terhadap perintah agama, beliau menugaskan seseorang untuk mengingatkan anak buahnya guna melakukan sembahyang, dan menyuruh mereka yang tidak sembahyang agar suka melakukannya (11, p. 11).
Sejak kecil Sultan Thaha memiliki bermacam-macam kegemaran atau hobby. Di antara kegemaran beliau itu ialah berburu rusa dan makan gadingnya yang didendeng serta makan ayam rebus. Kegemaran beliau yang lain ialah memelihara binatang dan menangkap ikan. Karena Sultan Thaha mencintai seni, maka beliau gemar pula membuat lukisan dan memahat, sehingga waktu-waktu terluangnya sering dipergunakan untuk kepentingan itu. Tentang pakaian yang beliau senangi ialah baju teluk belanga yang tak berleher (10. p. 16).
Kehidupan Sultan Thaha Syaifuddin dalam rumah tangga selalu aman dan tentram. Hubungan beliau dengan anak-anaknya sangat akrab. Kebutuhan anak-anaknya selalu diperhatikan, terutama kebutuhan mereka akan pendidikan (11, p. 12).
Demikianlah gambaran umum tentang kelahiran, kehidupan keluarga dan kepribadian Sultan Thaha Syaifuddin yang telah kita akui secara resmi sebagai Pahlawan Nasional itu.