BAB V
PERLAWANAN UMUM TERHADAP BELANDA


Sultan Thaha Syaifuddin menyadari bahwa perjuangan melawan Belanda ini tidak akan banyak artinya apabila rakyat tidak memiliki persenjataan yang memadai, karena fihak Belanda memiliki persenjataan yang lengkap dan modern. Satu-satunya jalan untuk mendapatkan senjata itu ialah mengadakan hubungan dengan luar negeri, dengan negara-negara yang bersedia menjual hasil industri perangnya.

Untuk ini Sultan Thaha Syaifuddin mencoba mengadakan hubungan dengan Inggris dan Amerika guna menukar emas dan barang hasil bumi atau hasil hutan lainnya dengan senjata. Usaha ini berhasil baik, Sultan Thaha Syaifuddin memperoleh senjata dari Inggris melalui Kuala Tungkal, Siak, Indragiri, dan Bengkulu. Di samping itu oleh Sultan Thaha juga membuat mesiu sendiri guna menghadapi kemungkinan blokade fihak Belanda yang lebih ketat lagi (8, p. 43).

Setelah memiliki senjata dari luar negeri itu Sultan Thaha bersama sama Pangeran Tumenggung Mangkunegoro dari Bangko membentuk pasukan Sabillilah. Jumlah pasukan Sabilillah yang berhasil dibentuk lebih kurang 20.000. Untuk melatih tentara sebanyak itu didatangkan pelatih-pelatih dari Aceh. Sultan Thaha Syaifuddin sendiri banyak belajar politik dari militer dari Aceh. Dengan demikian terbentuklah Pasukan Kumando (11, p. 17).

Selanjutnya diadakan pembagian wilayah kumando pertempuran sebagai berikut:

  1. Dari daerah Muara Tembesi sampai ke Padang yang meliputi Batanghari Batang Tebo, Batang Bungo, Jujuhan dan Pengabuan Tungkal berada di bawah Kumando Sultan Thaha Syaifuddin yang dibantu oleh saudaranya, yaitu Pangeran Diponegoro.
  2. Daerah dari mulai Muara Tembesi, Batang Tembesi, Serampas, Sungai Tenang, Marangin, Mesumai, Tantan, Pelepat, Senamat, Tabir sampai ke Kerinci, berada di bawah Kumando Tumenggung Mangkunegara di Bangko dengan Panglimanya Pangeran Haji Umar bin Pangeran M. Yasir (10, p. 30). Dengan adanya pembagian wilayah Kumando seperti tersebut di atas, perlawanan dapat dikoordinasi, sehingga pihak Belanda mengalami kesukaran dalam menghadapi Sultan Thaha Syaifuddin. (11, p. 17).

Bersamaan dengan pembentukan pasukan Kumando itu kegiatan Penerangan untuk membangkitkan perlawanan umum terhadap Belanda juga ditingkatkan. Untuk ini Sultan Thaha Syaifuddin tidak bosan-bosannya mnyampaikan ayat-ayat Al Qur'an dan Hadist yang mampu membangkitkan semangat jihad untuk membela tanah air dari penjajahan Belanda (10, p. 21).

Setelah mengetahui kemampuan Sultan Thaha Syaifuddin mengorganisasi perlawanan rakyat dan besarnya kesetiaan rakyat kepadanya, pada tahun 1882 Belanda menawarkan konsep perjanjian baru kepada Sultan Thaha yang isinya sebagai berikut: Jika Sultan Thaha Syaifuddin bersedia menyerahkan diri kepada Pemerintah Belanda dan mau mengakui Sultan Muhamad Mahiluddin yang diangkat Belanda, serta perjanjian baru yang ditanda-tanganinya, maka:

  1. Sultan Thaha Syaifuddin berhak menerima uang tahunan dari Pemerintah Belanda.
  2. Sultan Thaha Syaifuddin akan diangkat sebagai pembesar negeri.
  3. Sultan Thaha Syaifuddin akan diberi pengganti kerugian sebesar f. 500,- sebulan.

Tawaran dan bujukan pihak Belanda ini sama sekali tidak didengar oleh Sultan Thaha Syaifuddin. Beliau sama sekali tidak mempunyai niat untuk menyerah kepada Belanda (8, p. 44).

Sementara itu usaha Sultan Thaha Syaifuddin untuk membangkitkan perlawanan Rakyat umum makin nampak hasilnya. Pada tahun 1885 terjadi pembunuhan terhadap dua orang Belanda di balai pertemuan Jambi yang diorganisasi oleh Raden Anom. Dalam peristiwa ini anak buah Raden Anom berhasil melarikan beberapa senjata Belanda. Pada tahun itu juga Raden Anom beserta tiga ratus anak buahnya mengadakan serangan mendadak terhadap Benteng Belanda di Jambi yang menimbulkan banyak korban di fihak Belanda. Pada tahun 1890 kedudukan Belanda di Soronglangun Rawas diserang pula oleh Haji Kademang Rantau Panjang yang dibantu oleh beberapa hulubalangnya antara lain: Depati Setyaraja Lubuk Gaung, Depati Setiyo, Beti Tahir Bangko, Nalo dan Depati Setya Nyata Talang Renah (11, p. 18).

Untuk menghadapi perlawanan rakyat Jambi yang digerakkan Sultan Thaha Syaifuddin itu pada tahun 1890 Pemerintah Belanda menarik Pasukan Marsose yang ditempatkan di Aceh untuk dipindahkan ke Jambi. Dengan demikian kekuatan militer Belanda bertambah. Untuk mengimbangi kekuatan militer Belanda itu pada tahun 1894 Sultan Thaha Syaifuddin mengumpulkan pasukan dari Jambi, Ranti, Maringin, Tebo, Bungo yang berjumlah 1800 orang. Kemudian sejumlah tiga ratus kepala keluarga dari Muara Tebo juga berhasil dikumpulkan.

Ketika Belanda memusatkan perhatiannya di Rawas, Sultan Thaha Syaifuddin membentuk pasukan kuat dipimpin oleh Pangeran Haji Umar, Pangeran Dipo, Raden Aponok, Raden Mat Tahir dan Raden Puang. Kecuali itu Sultan Thaha Syaifuddin juga memerintahkan agar tiap-tiap rumah memiliki sebuah bedul dan tiap keluarga menyimpan padinya di hutan (11, p. 18).

Untuk keperluan pengangkutan Sultan Thaha Syaifuddin mendatangkan sapi dan kuda beban dari Sumatera Barat dan Bengkulu. Tidak dilupakan pula pentingnya penyediaan garam yang cukup. Untuk menjaga kemungkinan kekurangan amunisi dikirim utusan ke Malaya untuk membeli peluru. Senjata-senjata dari luar negeri dimasukkan melalui jalan rahasia dengan perantara orang Amerika yang bernama Gibson.

Setelah segala ikhtiar dijalankan Sultan Thaha Syaifuddin menganjurkan kepada seluruh rakyat untuk memperkuat kubu pertahannya masing-masing dan meningkatkan sabotase. Apabila ada kesempatan yang baik, tanpa menunggu komando rakyat diperintahkan langsung saja bergerak (11, p. 19).

Anjuran dan perintah Sultan Thaha Syaifuddin mendapat sambutan baik dari rakyat. Pada tahun 1895 terjadi serangan dari Maringin dan Batang Asai terhadap Belanda yang menimbulkan banyak korban di pihak Belanda. Pada tahun 1898 pecah lagi pertempuran antara 8000 pasukan rakyat melawan Belanda di Tanjung Gagak yang menimbulkan banyak korban di kedua belah fihak. Pada tahun 1902 terjadi pertempuran antara 800 orang pasukan Sultan Thaha Syaifuddin melawan 1000 orang pasukan Belanda yang mengakibatkan lebih dari separoh pasukan Belanda tewas dihimpit oleh balok-balok kayu yang sengaja dibuat untuk itu (11, p. 19).

Adanya serangan yang terus-menerus dari rakyat menyebabkan Belanda mencoba untuk memperkuat kedudukannya dengan jalan:

  1. Memberikan keris "Singmarjaya" kepada Sultan yang diangkatnya, guna mengimbangi keris "Si Ginjai" yang dimiliki oleh Sultan Thaha Syaifuddin. Maksudnya agar semangat juang Rakyat Jambi yang berada di bawah kekuasaan "Sultan Boneka" itu meningkat.
  2. Memasukkan daerah Jambi ke dalam wilayah kekuasaan langsung Residen Palembang dengan ketentuan supaya Jambi ditaklukkan seluruhnya.

Untuk menghadapi tindakan Belanda itu Sultan Thaha Syaifuddin berusaha menghimpun seluruh kekuatan rakyat. Untuk ini beliau memanggil semua Pangeran dan Panglima-panglima serta tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh untuk mengadakan musyawarah di Bukit Pesajian Rajo, Muara Tebo.

Musyawarah tersebut telah menghasilkan beberapa keputusan:

  1. Supaya rakyat mengadakan persiapan bahan makanan yang cukup.
  2. Peserta musyawarah tidak akan menyerah kepada Belanda yang dianggapnya kapir itu.
  3. Peserta musyawarah tidak akan berkhianat terhadap tanah air dan teman seperjuangannya sendiri.
  4. Menyerang Belanda tidak perlu menunggu kumando lagi; bertemu dengan Belanda teruslah diserang.
  5. Membuat benteng pertahanan di mana-mana (8, p. 45).

Tidak lama sesudah diselenggarakannya musyawarah di Bukit Pesajian itu di mana-mana didirikan benteng pertahanan Rakyat. Asal ada kesempatan rakyat menyerang Belanda, sehingga di mana-mana terjadilah perlawanan rakyat umum terhadap Belanda. Di antara benteng-benteng perlawanan rakyat yang sangat termashur ialah:

  1. Benteng Singkut
  2. Benteng Pelawan
  3. Benteng Tanjung
  4. Benteng Lumbur Merangin
  1. Benteng Pelayang
  2. Benteng Limbur Tembesi
  3. Benteng Datuk Nan Tigo
  4. Benteng Koto Rayo
  5. Benteng Sungai Manau
  6. Benteng Sungai Alai
  7. Benteng Muara Siau (11, p. 20).

Perlawanan rakyat umum yang digerakkan Sultan Thaha Syaifuddin seperti yang telah diuraikan di atas benar-benar telah memusingkan fihak Belanda. Apabila kita perhatikan lebih seksama, sistim peperangan yang dijalankan oleh Sultan Thaha Syaifuddin tersebut mirip sekali dengan sistem pertahanan rakyat semesta yang dikembangkan pemerintah kita sekarang dengan istilah Hankam Nas Rata. Dengan demikian Sultan Thaha Syaifuddin dapat dikatakan sebagai pelopor sistem pertahanan rakyat semesta.