Taman Siswa  (1951)  oleh W. le Fèbre, diterjemahkan oleh P. S. Naipospos
Penebas kebun berpagar itu: Ki Hadjar Dewantoro.

4

Penebas kebun berpagar itu:
Ki Hadjar Dewantoro.

Taman Siswa adalah tjiptaan Ki Hadjar Dewantoro sendiri dan menurut pendapat saja, tjiptaan dan pentjipta disini adalah demikian rapatnja, sehingga sifat² tjiptaan itu sesuai benar dengan watak arsiteknja. Setelah saja, terdorong oleh perhatian, beberapa waktu mendalami teori dan praktek aliran pengadjaran nasional Indonesia ini, saja mengharap-harap suatu kesempatan untuk berkenalan dengan bapak pendirinja. Perkenalan itu terdjadi dilapangan Kemajoran, ketika saja dengan dia kebetulan menunggu-nunggu pesawat terbang ke Djokja. Ia bergaul dengan anggota² parlemen jang sedang reces pulang kerumah, sebab ah ja, bukankah saja tahu, iapun adalah anggota parlemen. Jang membuat guru² Taman Siswa takut dengan diam², bahwa karena itu Taman Siswa mungkin dianggap sependirian politik dengan pentjiptanja, walaupun ia djuga mendapat kursi parlemen sebagai seorang jang tidak berpartai.

Pertemuan pertama mungkin mendjadi kegembiraan atau keketjewaan. Sekali ini pasti kegembiraan: seorang jang perawakannja ketjil, kurus, mukanja seperti perkamen berkerut, jang kerapkali berkilat-kilat dengan matanja jang bernjala-njala dibelakang katjamatanja, gigi² jang besar seperti pagar jang tak teratur, bibir jang seakan-akan dengan sendirinja lari untuk itu dalam tertawa manis. Karena itu ia mengatasi sendirian dengan mudah pertentangan antara optimismus jang berlebih-lebihan dan ketjemasan jang ditahan-tahan, jang sering menghiasi muka² anggota parlemen jang tua dan muda itu, teman²nja bergaul, sedang ia dengan riang mendjawab lawak² jang ditimbulkan kedatangannja, dan dengan tepat ia menjembunjikan kepalanja dalam buaian anak, jang kebetulan ada disana, hendak turut naik mesinterbang.

Ketika saja diperkenalkan kepadanja, bahasa saja membuatnja gugup sebentar, tetapi karena saja belum berapa lama tinggal disini, ia bersedia menjapa saja dengan bahasa Belanda dan perhatian saja jang tidak disangka-sangka itu kepada masa ia beladjar dinegeri Belanda membuatnja tertjengang. Tentang asal mulanja, pamflet itu, ia berkata dengan terus terang kepada saja: „Tuan lihat, saja waktu itu masih seorang anak jang berumur 23 tahun dan bahwa pamflet itu kemudiannja mendjadi demikian terkenal, saja sebenarnja agak malu.”

Saja tidak bertanja lebih landjut, tetapi saja merasa bahwa malunja itu tidaklah disebabkan oleh pamflet itu semata-mata, tetapi sifat² pribadinja, jang seakan-akan merasa malu, bahwa ia oleh karena posisinja dalam sedjarah, termasuk putera jang paling besar dari tanah airnja.
— Dan dinegeri Belanda, masih turutkah tuan mengalami kedatangan Pengadjaran Montessori? Sekolah pertama bukankah didirikan dalam tahun 1914 di Den Haag?
— Ja tentu, saja sendiri turut menjelenggarakannja. Jaitu di de Ruyterstraat, ada barangkali setahun saja disana. Djuga pada Ligthart di .... apakah nama straat itu? Tullinghatraat, ia mengingat lagi. ― Saja selalu memikir ini, bahwa azas² tuan banjak mengambil unsur² Montessori. Suasana kebebasan dan menghormati individualitot seseorang misalnja.
― Saja seorang bebas, djadi saja suka, supaja orang lain djuga mengembangkan dirinja dengan bebas. Azas² oksperimontil jang mula² lama-kelamaan mendjadi azas² fundamentil. Tetapi djustru saja hendak memperbaiki individualismus sekolah Montessori jang menurut pendapat saja terlalu besar itu. — Ja, sebab individualismus demikian tidak begitu mudah kita temui disini.
— Djangan tuan berkata begitu, individualitet dahulu dalam hidup orang² Djawa penting, tetapi telah diperbaiki oleh tradisi. Demikianlah Z. Th. Karsten, arsitek Gedung Komedi Djawa di Semarang, pernah berkata: „Orang tidak kenal akan kebudajaan Djawa, kalau disebutkannja bahwa kebudajaan Djawa itu tidak individualistis”, Dalam sedjarah djuga ada eksessen (tambahan²) individualismus. Tetapi dalam kesusasteraan kuno telah didapat orang utjapan jang memberi syntese jang tepat. Utjapan itu dikutip dari peraturan² permainan wajang. Djika saja menterdjemahkannja untuk tuan, maka kira² begini bunjinja: (pada mukanja tampak kesenangan hatinja, karena dapat begitu sadja menghafalkan kesusasteraannja sendiri dan suaranja mendjadi lebih sungguh-sungguh sebentar seperti pada upatjara). „Engkau ronggeng, berusahalah sebaik-baiknja untuk menari indah. Djangan hiraukan bonang. Apa jang baik untuk bonang, barangkali tak baik untuk ronggeng. Tetapi turutlah hanja garis jang ditentukan oleh gendang.” Djadi demikianlah kami berpendapat, bahwa suatu perkumpulan pemain² kelas satu kadang² dapat kalah terhadap suatu perkumpulan pemain² pertengahan jang anggota²nja sesuai benar.

Saja mengerti betul, sebab saja segera teringat kepada berita suratkabar, jang mengabarkan hasil gemilang koorkamar Belanda dibawah pimpinan Felix de Nobel, dalam perdjalanannja melalui Italia, negeri jang mempunjai solist² opera gemilang, dimana koorkamar belum pernah mereka dengar: penjanji² jang menunggu dengan tidak bergerak-gerak tiap² tanda dari pemimpinnja, tanda jang paling ketjil sekalipun, dengan tidak berusaha, dalam njanjian bersama jang selaras benar untuk meninggikan dirinja sendiri. Tetapi selain dari itu saja teringat djuga kepada kesebelasan Taman Siswa jang suka oper²an sendirian.

Tetapi pertjakapan itu dihentikan oleh suara pengeras jang memanggil penumpang² kelapangan dan kami berpisah dengan djandji untuk bertemu di Djokja: malam Rebo, apabila murid² berlatih tarian² serimpi.

Hampir seminggu saja telah menginap di Djokja dan mempunjai kesempatan melihat-lihat suasana kota ini. Golongan elite revolusioner jang „menguasai” straat kota, telah pergi dan bagi saja adalah sulit untuk mengenangkan mereka dalam pawai sandalan Malioboro jang tenang itu. Djalan ini lebar, dikiri-kanan toko² Tionghoa dan didepan toko² ini berdjualan pedagang² ketjil dikakilima, kebanjakan perempuan dengan kain² atau dengan buahan, Sebagai djalan kehormatan ia membawa kita melalui aloon² kepintu gerbang keraton, dimana sekarang dalam pendopo² jang paling depan bersimpang siur mahasiswa Universitet Gadjah Mada. Walaupun tembok depan dengan salah satu menara sudut telah sebagian besar dirombak, kompleks keraton jang berkumpul dalam satu kilometer kwadrat dan bertembok

Taman Siswa (page 20 crop)

Ki Hadjar Dewantoro

... penebas kebun berpagar: Taman Siswa...

sekelilingnja itu, dimana biasanja orang² Djawa jang saleh tiap² hari Djum'at berbaris mengelilinginja sambil mendoa, masih menguasai suasana kota itu benar² dengan pengaruhnja jang suram menekan itu. Demikianlah kesan jang ditimbulkannja bagiku seorang asing, dan kesan itu hanja sebagian dihilangkan oleh plantsoen dimuka balai kotapradja, dimana patung Djenderal Sudirman, jang dipahat dengan garis² kasar, berdiri sebagai saksi perdjuangan rakjat, dan rupa²nja berasal dari sebuah bengkel jang beratapkan langit pada salah satu djalan diluar kota, dimana seniman² muda sedang memahat, dari batu² kali jang besar, patung² dada jang besarnja lebih dari jang sebenarnja, kepunjaan pahlawan² nasional baru: sultan jang muda dan telah mendjadi saudara itu dengan pakai kepi, dan kepala budjur sangkar djenderal Surip. Bagi rakjat biasa didjalan, jang diantaranja ada beberapa orang pemuda, melihat sadja „wong bulé” (orang putih) dengan heran mengedjek, revolusi itu tampak telah lewat sebagai angin sepoi-sepoi basa jang masih sedikit mengubah hidup ekonomis-sosial mereka. Jang dapat saja ambil sebagai perbandingan hanjalah kota Djakarta, dimana kebudajaan barat seakan-akan telah mendorong hidup bumiputera seperti stoomwals jang membuat djalan² asfalt, disekelilingnja ada terdjadi straat² toko dan straat tempat tinggal orang Eropah, jang seperti lobang dalam waktu hanja membiarkan lalu satu pandangan sadja pada suatu kampung jang berdjedjal sepandjang djalan kereta api. Dan inilah kentara Djokja dengan penduduknja jang djauh lebih miskin, jang walaupun hidup dalam harmoni waktu jang lebih besar (dimana masih sesuai bunji njaring lontjeng² leher sapi bengali jang berdjalan lambat² didepan grobak jang pakai hiasan² samping berwarna-warna), tetapi dalam pakaian² jang banjak kotor dan berwarna suram tampak kurang menggembirakan dan diantaranja perempuan² bekerdja banting tulang sebagai kuda² beban pakai tali besar terikat sekeliling dadanja dan tjungkil tembakau kadang² tersembul tumpul dari bibir bawahnja, maka inilah kota Djokja jang tidak mengindahkan ludahan² merah sirih pada kakilimanja, jang hanja baik untuk membuat orang dengan tiba² insaf akan tjintanja kepada kota internasional Djakarta dengan penduduknja jang lebih beragam-ragam itu dan dengan orang² Indonesianja jang muda berdjalan berpakaikan pakaian orang Eropah.

Penerimaan di sekolah Taman Siswa dengan pendoponja jang besar itu djauh sedikit dari djalan sepi, dimana bunji gamelan dalam malam jang sedang turun menimbulkan harmoni, dan anak² gadis telah mulai dengan latihan² tari serimpi, suasana muram seperti itu menenteramkan hati seperti tangan jang mendamaikan dan dari menonton gadis² jang bergerak dan diam penuh perhatian itu, jang semuanja memakai kain dan badju jang paling baik dalam warna sopan tetapi beragam-ragam dan selendang jang berkibar indah pada pinggang, dengan udjungnja dipegang sebuah tangan, tumbuhlah perlahan-lahan pengalaman jang aneh. Tari Serimpi disini djauh lebih sederhana, tetapi djauh lebih penuh tjinta dilakukan dari tari serimpi dikeraton, jang dipertundjukkan dengan pakaian mahal² serta gilang-gemilang. Karena itu kita teringat kepada kebudajaan, jang akrab dikuasai telah terdjelma disini, lebih² dikeraton, dan bagaimana kebudajaan keraton ini diterima dan dipudja oleh rakjat, sehingga pernah ada pertalian antara radja dan rakjatnja jang mempersatukannja dan dimana kehalusan dan kebidjaksanaan hidup dapat mengembangkan dirinja. Adalah terutama musik jang oleh tari²an kumpulan gadis jang berturut-turut itu sebagai sesuatu jang hidup berkesan pada kita dalam dua djam itu dan membawa kita dalam suasana jang lebih tenang dan lebih tinggi.
Untuk pertjakapan dengan Dewantoro kemudiannja, jang hendak mengetahui bagaimana pendapat saja tentang tari serimpi itu, suasana itu adalah suasana jang tepat. Saja berpendapat, bahwa tari Serimpi itu adalah prestasi kebudajaan jang mengherankan, sebenarnja tidak masuk dalam akal, bagaimana anak² dapat menghasilkan tari sedemikian, di Eropah barangkali hal itu tidak mungkin. Hampirlah tidak menjenangkan hati saja, ketika dikatakannja, bahwa masih ditjari djalan menjederhanakannja, bahwa tari²an ini sebenarnja adalah lebih serasi untuk gadis² jang akil-balig dan bahwa ia beranggapan, terutama tjara² tarian Bali jang djauh lebih gembira dan lebih dekat kepada rakjat itu adalah lebih baik untuk anak² jang lebih muda.

Ia mentjeritakan pernah heran membatja dalam buku Rudolf Steiner, bahwa apa jang terasa dalam udjung² djari masuk djuga kedalam djiwa. Apa persamaannja dengan pentingnja gerak-gerik tangan dalam seni tari ini adalah kurang tampak bagi saja, sebab Steiner mendapat teori teosofinja djustru dari kebudajaan India.

― Tetapi Montessori djuga mengandjurkan latihan² meraba, karena konsentrasi pikiran untuk itu akan mengakibatkan ketenangan dan ketertiban batin.

― Memang, tetapi adalah sebaliknja dari itu: bukan gerak-gerik tangan, tetapi impressi. Gerak tari adalah timbul dari ketenangan batin.

Dari Montessori kami kembali kepada pertjakapan kami jang lalu dilapangan terbang dan dari dirinja sendiri. Dewantoro berkata, bahwa perkataan saja jang terachir waktu itu, jang menjatakan, bahwa individualismus terutama hidup dalam golongan² Djawa jang lebih tinggi, jang ditolaknja mula², adalah mungkin benar djuga. Pengoreksian jang teliti ini mengherankan saja sebentar, tetapi kelihatannja sesuai benar dengan gaja hidupnja, ketika ia mendjawab pertanjaan saja tentang tulisannja jang telah lama diterbitkan: „Barangkali baik djuga, bahwa karangan itu telah habis terdjual, sebab pernah terdjadi bahwa saja terkedjut membatja tjetakan kembali utjapan saja, jang djauh terlalu pasti.”

Tentang persesuaiannja dengan Montessori dikatakannja, bahwa Prof. Gunning djuga melihat itu dalam bukunja Naar een groter Nederland jang ditulisnja dalam tahun 1947 setelah perkundjungannja ke Indonesia, dan djuga pengaruh Tagore. Dan ia memberikan sekali lagi gambaran pendapatnja tentang individualismus: ― Kalau kami membatja kesusasteraan Djawa Kuno, seseorang dari kami mempunjai untuk itu tjara sendiri, ritme dan tinggi suara sendiri, tetapi djika kami membatja bersama-sama, maka kami harus mengikuti satu tjara bersama. Malahan untuk itu kami mempunjai dua nama. Bentuk terikat disebutkan gerongan dan bentuk bebas motjo pat, jang sebenarnja berarti „membatja dalam empat ketokan”, sebab lagu membatjakan berkali-kali dibagi dalam empat waktu. Kalau tuan malam² berdjalan melalui kota Djokja, tuan masih dapat mendengar suara jang demikian dari kebanjakan rumah². Kebanjakan orang² asing menganggap, bahwa hal itu mempunjai arti agama, seperti misalnja membatja Koran, tetapi mungkin djuga kedjadian, bahwa puisi² duniawi benar jang dibatja.

Dengan ini ia membitjarakan kembali hidup kebudajaan Djawa, jang sebagai latar belakang Taman Siswa, walaupun sebagai latar belakang sendiri dari pemimpinnja, demikian menarik hati saja. Pembatjaan seperti itu mengingatkan saja kepada perkataan pendjaga Borobudur jang mentjeritakan, bahwa masih selalu sering orang² Djokja terkemuka merenung-renung ditingkat jang tertinggi pada malam² terang bulan.

Saja bawa pertjakapan itu kepada titik permulaan Taman Siswa jang bertjorak religi itu. Tidakkah hal itu mengandung bahaja untuk fatalismus adjaran takdir Timur?

― Apa jang saja artikan dengan takdir ilahi adalah kodrat alam, djawab Dewantoro. Oleh orang² Islam modern takdir djuga telah diartikan sebagai hasil (resultante) dari alam dan tindakan manusia.

Saja mentjeritakan bahwa arti utjapan „apa boleh buat” adalah saja peladjari dari Pak Said dan bagaimana sukatjitanja dengan utjapan itu adalah mengherankan saja, sebab itu ia dengan langkah²nja jang penting itu telah djuga mendjadi suatu kebalikan jang hidup dari mentalitet ini.

Dewantoro tertawa dan saja bertanja apa pendapatnja selandjutnja tentang peranan sosial konservatif dari adjaran karma, seperti jang disebarkan teosofi di Eropah misalnja kepada babu², supaja bersenang hati dalam nasibnja terhadap nasib perempuan² lain sesamanja. Apakah pikiran tuan tentang kelahiran kembali (reïncarnasi)?

― Saja pertjaja akan itu, tetapi hanja dalam hal karma-dasar: adjar bukanlah karma.

Untuk saja sendiri saja terdjemahkan adjar segera dengan phaenotype, djadi dasar saja artikan sebagai genotype, tabi'at bawaan.

― Prinsip kebangsawanan saja anggap tidak sesuai dengan kodrat, kata Dewantoro, jang telah meninggalkan sendiri gelar kebangsawanannja, jang karena asalnja dari turunan radja berhak atasnja.

Saja kagum lagi akan sifat keluasan dari pendapat² orang Djawa. Sebentar kemudian Dewantoro memberikan bukti, bahwa ia masih mengingat kelahiran kembali, ketika ia mengatakan tentang pemain gamelan orang Belanda, Bernard Yzerdraad jang dikirim oleh Jajasan Kerdjasama Kebudajaan ke Indonesia dan beberapa waktu tinggal pada Taman Siswa di Djokja: Mungkin djuga, bahwa ia orang Djawa dahulu dalam hidupnja jang lalu.

Saja mentjeritakan apa jang saja dengar tentang teman dulu ini dari satu kota: bahwa selama perang ia sendiri tinggal dinegeri Belanda, orang tuanja di Indonesia, dan bahwa pada suatu razzia ia lari ke Koloniaal Museum, dimana ia mulai beladjar main gamelan untuk kemudian membentuk dikota Haarlem suatu kumpulan pemain gamelan, bersama-sama dengan teman²nja murid H.B.S., barangkali terdorong oleh kenang2annja semasa ketjil kepulau Djawa.

Saja tidak lupa djuga memakai kesempatan ini untuk menanjakan, bagaimanakah pikirannja tentang nasib kerdjasama kebudajaan dikemudian hari.

― Masih terlalu pagi untuk itu. Kami sekarang masih terlalu banjak berada dalam tingkat politik. Selidiki tuan sadjalah, bagaimana besarnja kehilangan Nederland dengan Indonesia dan mereka sekarang sungguhlah malaikat², apabila mereka tidak mentjoba dengan segala djalan untuk memelihara sebanjak mungkin pengaruh mereka. Saja telah menolak persetudjuan kebudajaan K.M.B. dalam karangan saja, sebab persetudjuan ini dalam azasnja memberi kekuasaan untuk memelihara tetap ketinggian rohani mereka, jang tidak dapat kami terima dalam negara kami jang muda ini.

Saja katakan, bahwa saja dapat mengerti pendiriannja, tetapi bagi saja sendiri tidak dapat saja melepaskan kesan, bahwa pendirian ini seakan-akan disebabkan oleh suatu ketakutan jang hampir mendekati panik kepada peradaban barat, jang saja lihat sendiri seperti suatu wals berdjalan melalui negeri ini, terutama berpaut dengan ribuan alat² pengisap bioskop². Djuga keadaan djiwa orang Belanda dengan penjetopan tindakan²nja karena malunja sendiri tidaklah tepat diukur menurut pendapat saja.

Tetapi penutup pertjakapan ini memberi saja dorongan untuk lebih mendalami perdjuangan politik kebudajaan jang telah diperdjuangkan Taman Siswa selama perdjalanan hidupnja dan sekarang kita sampai djuga kepada membitjarakan perdjuangan ini.