Taman Siswa  (1951) 
oleh W. le Fèbre, diterjemahkan oleh P. S. Naipospos
Taman Siswa (cover)
Taman Siswa (cover)


W. le Fèbre


_________

TAMAN SISWA

ialah kepertjajaan kepada kekuatan
sendiri untuk tumbuh ...


PENERBITAN DAN BALAI BUKU INDONESIA DJAKARTA - SURABAJA




diterdjemahkan oleh P. S. Naipospos


Taman Siswa (page 5 crop)

Mohamad Said
... pentjari sumber² universil ...

KATA PENGANTAR

Dalam buku ketjil ini pembatja akan mendjumpai tjerita pertemuan dengan Taman Siswa dari seorang guru muda berasal dari kalangan „pengadjaran bebas” dinegeri Belanda. Ia datang untuk pertama kali di Indonesia pada babak kedua tahun '49 dan berdasarkan buku² jang dibatjanja (a.l. roman Suwarsih Djojopuspito), jang menarik perhatiannja, ia mentjari dengan segera kesempatan untuk berkenalan sendiri dengan sekolah² kita dan guru²nja.

Bahwa ia dalam perkenalan ini tidak suka akan pekerdjaan² jang setengah², adalah dibuktikan oleh banjaknja peristiwa² dan bahan² pemikiran jang dikumpulkannja sekarang dalam perslahnja ini. Bahwa ia djuga mempunjai pengertian jang baik tentang tjita² Taman Siswa dapat kita lihat dalam hal ini dari azas pembagian jang dipakainja mengenai ichtisar dasar² teoretis dan mengenai berbagai-bagai tingkat taraf pertumbuhan Taman Siswa. Azas ini diambilnja dari hidup organis, dan sebagai sesuatu jang kentara untuk Taman Siswa ialah sebenarnja kepertjajaan kepada kekuatan hidup, jang dianggap penulis sebagai pusat semuanja.

Kodrat alam tidak dianggap Taman Siswa sebagai musuh jang harus ditaklukkan melainkan diterimanja dengan ichlas sebagai bahan dan rentjana guna penjelenggaraan hidupnja. Sikap-hidup ini memberi kesadaran akan kemerdekaan-kehendak didalam batas² kemungkinan, dan kesadaran ini akan menimbulkan rasa tanggung-djawab sepenuhnja atas nasibnja, bebas dari rasa permusuhan atau ketakutan terhadap kodratnja, bebas dari rasa ketjewa dan putus asa terhadap keadaan. Manusia merdeka jang ditjita-tjitakan Taman Siswa mempunjai „amor-fati”, dan manusia ini senantiasa berusaha, dengan penuh rasa tjinta dan tanggung-djawab untuk mewudjudkan suatu masjarakat tertib dan damai, dimana tiap orang hidup didalam suasana salam dan bahagia, dimana tiap orang mempunjai kemerdekaan untuk membangun kebudajaan menurut nilai² budinja jang tertinggi, selaras dengan kodrat pribadinja masing² dan selaras dengan kenjataan² dan ketentuan² dalam alam dan masjarakat.

Apa artinja azas² ini sebagai titik permulaan bagi Taman Siswa sebagai suatu gerakan kebudajaan jang terutama bergerak dilapangan pendidikan, diterangkan dengan djelas dibelakang dalam buku ketjil ini. Dengan terus terang saja katakan disini, bahwa saja bergembira, baik dengan pertemuan dengan dia maupun dengan terbitnja buku ketjil ini, jang terdjadi dari pertemuan tersebut dan jang djuga memuat ichtisar historis dari gerakan Taman Siswa jang sepandjang pengetahuan saja belum pernah disusun. Sebab itu buku ini baik kiranja dibatja oleh tiap² orang jang berminat kepada pengadjaran kita.




pemimpin Taman Siswa, Djakarta.









kepada Moh. Said 1

Tugas jang besar:
mewudjudkan diri sendiri

Dengan tertjapainja kemerdekaan bangsa Indonesia datang pula masa baru untuk sekolah² nasional, jang telah terkenal dengan nama Taman Siswa. Tetapi tidak setiap guru Taman Siswa melihat itu dengan segera. Ada orang jang mengunjah kembali buah pikiran jang telah timbul waktu proklamasi dalam bulan Agustus '45 jang lalu: „Tudjuan telah tertjapai, tugas kita sudah selesai.”

„Tidak Saudara², tudjuan kita belum tertjapai dan tugas kita tidak akan selesai-selesainja,” demikianlah djawab Pak Said, pemimpin Taman Siswa di Djakarta. Dan sekolah² di Djalan Garuda „berdjalan terus”. Dengan tidak ada rintangan sekolah² disini tumbuh terus tergesa-gesa, belum sampai setahun jang lalu pekarangan sebelah dalam, setelah didirikan sajap baru, telah djuga penuh dengan bangun²an baru, dan dengan ini selesailah konstruksi rumah lebah, jang terdjadi dari sarang² madu jang sempit lagi pandjang, dan disekelilingnja berdengung-dengunglah murid² sehari-harian: dari pagi pukul tudjuh, ketika sinar matahari masih tuding, sampai malam pukul sembilan, apabila matahari telah lama mengachiri siang dengan masuk keperaduannja dan lampu listrik, jang sebentar² mati dan hidup menjebabkan teriakan murid² dan jang dengan kerdja-sama diperbaiki kembali. Sebab semuanja dilakukan bersama: mendirikan ruangan kelas, membuat lapangan olah raga, merajakan upatjara², memperdebatkan dengan mendalam soal² jang ada, mengerdjakan pendidikan sehingga mendjadi pendidikan diri sendiri .....

„Sungguh pekerdjaan kita mendjadi lebih sukar, sedjak kita mendjadi merdeka”, kata Pak Said mengakui. Dan jang dapat bitjara tentang itu ialah Pak Said, jang menjelamatkan Taman Siswa Djakarta dari perang, mengasuhnja seperti mengasuh seekor burung jang lumpuh sajap, sehingga bernjanji kembali dengan debaran hati sendiri, debaran hati Pak Said, bersorak gembira karena kepertjajaannja kepada hidup, walaupun datang mengganggu segala kesulitan², dengan tidak mengenal tjape membangun sebuah „sekolah” dengan duapuluh orang anak dalam rumahnja sendiri jang ketjil mendjadi dalam lima tahun suatu pergaulan-hidup dari empatribu orang murid², murid² dari pengadjaran rendah, pengadjaran permulaan dan landjutan. Rentjana² jang makin lama makin bertjabang-tjabang itu telah djuga bermaksud mempunjai „Kindergarten” (Taman Kanak²) jang ada ajunan dan djungkatannja seperti di Djokja. Dengan ini keluarga jang besar serta segar bugar itu akan lengkap seluruhnja dan barangkali patut diberi bernama: Indonesia.

Tjinta kepada anak² ialah sifat bangsa Indonesia jang paling mulia dan menjolok mata dan itulah pula jang mendjadi kekuatan pemimpin sekolah jang muda dan masih budjang ini, jang dengan tidak ada prasangka berdiri dalam hidup dan dengan pandangan matanja jang tjelik, seakan-akan dapat selalu melihat seluruhnja, tetapi djuga sering memperlihatkan perhatian jang tidak disangka-sangka kepada bagian ketjil², jang kelihatannja tidak ada harganja, seperti perhatian tukang kebon kepada tjangkuk dan tjarang, kepada unsur jang sedang tumbuh, dan tjinta pendidik kepada djustru anak² nakal, jang dikenalnja benar² diantara empatribu muka anak², jang menganggukkan kepalanja kepadanja, dan jang semuanja menjebutkannja Pak.

Apakah sebenarnja kesulitan² jang baru itu? Kesulitan untuk mendapat terus guru² bagi semua djam peladjaran, karena mahasiswa² republik telah djuga beladjar kembali dan mempunjai kurang waktu untuk berdiri didepan kelas? Walaupun begitu, ada enampuluh orang berganti-ganti pagi dan sore mengadjar di Taman Siswa dan mengikuti kuliah djuga pada Balai Perguruan Tinggi Indonesia. Djadi kesulitan untuk mendapat kembali suasana sendiri, karena pengibaran Sang Dwiwarna jang dilakukan bersama-sama tidak lagi mempunjai sifat perangsang sesuatu jang terlarang, tidak lagi mempunjai kekuatannja jang mengikat, kekuatan perlawanan terhadap orang² jang memperkosa kemerdekaan Indonesia? Ataukah djustru kesulitan untuk memberi isi kepada kemerdekaan dan untuk kembali kepada diri sendiri, karena pendjadjahan telah terhindar?

Bagaimanapun djuga anehnja kedengaran, memang jang penghabisan inilah tugas jang paling besar dan paling sulit. Itulah pula alfa dan omega, awal dan achir Taman Siswa, titik permulaan dan dorongan jang selalu mengatasi segala kesulitan² dan jang seharusnja sekarang mendjadi harapan suka tjita, karena perlawanan buatan telah terhindar, mentjapai udara lapang lagi bebas dan tanaman harus tumbuh dan berkembang dengan wataknja sendiri jang tidak terpalsukan itu. Suatu tugas jang besar, sebab walaupun benih tanaman boleh dikatakan hampir abadi, tanah, zat² makanan dan iklim kelihatannja telah berubah.

Adalah selalu sulit untuk terus memakai hiasan. Sebab itu saja insaf, bahwa saja harus meminta kerelaan pembatja, apabila djuga saja, guna pembagian jang agak memudahkan pandangan, tetap memakai istilah² ilmu tumbuh²an, istilah jang sangat terpakai untuk proses² pendidikan, dalam ichtiar jang dibawah ini, berbentuk perslah jang subjektif untuk membuat analysis, menguraikan sekotah jang sangat bersusun itu, sekotah wudjud, sedjarah dan kemungkinan² berkembangnja dikemudian hari gerakan Taman Siswa. 2

Tanah sendiri:
kebudajaan Djawa.

Titik permulaan Taman Siswa dapat kita tjari pada tanggal 3 Djuli 1922, ketika perkumpulan religi Selasa-Kliwon melihat tjita²nja telah terwudjud pada waktu didirikan Taman Siswa jang pertama di Djokjakarta dan menganggap dirinja tidak perlu berdiri lagi. Djustru karena hadirnja dewi inilah pada buaian untuk menganugerahi Taman Siswa jang muda itu dengan tabiat²nja, memberitahukan kepada kita, bahwa Taman Siswa adalah lebih dari suatu lembaga pengadjaran, djuga lebih dari suatu lembaga pendidikan, jakni suatu gerakan kebudajaan dengan dasar religi. Singkatnja kita akan bertemu didalamnja dengan manusia dalam perkembangannja sepenuhnja, perkembangan bakat² hati dan otaknja, dengan rasa kesedarannja sendiri akan tempat dan tugasnja didunia. Manusia ini pada pendahuluannja adalah manusia Djawa dan untuk memahami dia kita harus mengetahui tjiri² dari hidup kerohanian Djawa, seperti jang telah berkembang berabad-abad lamanja dan pada segala perubahan² selalu dapat mempertahankan tabiat²nja sendiri.

Tempat kelahiran agama² besar didunia, jang dalam kebanjakan hal bersifat mudjarrad (abstrak), tidaklah terdapat ditempat² jang alamnja kaja seperti Indonesia, tetapi lebih banjak di padang²-pasir, dimana orang seakan-akan dipaksa berpikir oleh keadaan. Tempat² teduh dibawah naungan tumbuh²an dinegeri panas mengadjak kita berpikir lebih lembut dan pertama-tama lebih bertjorak seni, tetapi jang mengisi djuga hidup manusia dengan rasa kesedaran kosmis, rasa kesedaran djagat. Hampir segala agama untuk kesedaran ini adalah kesamaan² jang diterima dengan toleransi besar. Pada kopornja manusia Djawa itu, selama perdjalanan metaphysisnja, melekatkan dengan tenang dimana-mana etiket² Animismus, Hinduismus, Buddhismus, Islam.

Mangunsarkoro menggambarkan keadaan djiwa bangsanja dalam buku The sociological and cultural Fundamentals for the educational System in Indonesia seperti berikut: „Sebagai akibat dari pertalian² tradisi, jang pada hakekatnja berdasarkan rasa hormat kepada nenek mojang, ada terdapat dikalangan bangsa kami pendapat, bahwa hidup sederhana adalah kewadjiban tiap² manusia jang akilbalig, menurut chuluknja ascetis atau tidak. Inilah hasil assimilasi adjaran Hindu di Indonesia jang malahan sampai sekarang masih hidup dikalangan orang² Djawa dengan beladjar berlatih wajang dan kesusasteraan Djawa. Tidaklah berapa berpengaruh atasnja, bahwa pengadjaran agama di Indonesia bertjampur sedikit dengan pendapat² animistis jang lebih tua, dan adjaran agama Islam jang lebih muda, sehingga lahirlah suatu adjaran jang bersifat religi, jang karena timbulnja dipulau Djawa disebutkan kedjawen (kedjawaan). Kedjawen ini merupakan suatu pendirian-hidup jang berpengaruh atas tjara berpikir bagian jang terkemuka dari bangsa Indonesia dipulau Djawa dan timbul disana-sini sebagai sikap-hidup jang membuat mungkin djiwa bebas, jang tidak terikat oleh bentuk² lahir dari hidup. Disamping inilah letaknja kekuatan jang terutama dari kepertjajaan manusia dalam memikirkan daja intuitif jang masih bekerdja dan mempunjai „kekuatan hidup”.

Tetapi orang Islam melihat dengan tjuriga orang Djawa, jang sekarang masih menghormati kebudajaannja sendiri itu, seperti ia melihat seorang atheis dan orang barat jang modern mengenal dengan rasa heran tjorak jang kuat pantheistis dalam kebanjakan, jang diadjarkan guru² agama Djawa kepada pengikut²nja.

Unsur jang terachir ini telah diselidiki oleh Dr.P. Zoctmulder dalam bukunja Pantheisme en Monisme in de Javaanse Suluk-literatuur. Diantara pengertian² jang disebutkan pada titel buku ini, jang hanja berbeda dalam nuancenja, harus dipahamkan pendapat jang menolak adjaran berbagai-bagai agama wahju, bahwa wudjud dunia ada perbedaannja jang hakekat dengan wudjud Tuhan, tetapi hidup ini sendiri dialami sebagai wahju, djagat (universum) kadang² dinjatakan sebagai pantjaran Tuhan, dan oleh persamaan djenis wudjud dapat ditjapai oleh manusia jang sempurna, bersatu dengan wudjud Allah dalam keselarasan jang sempurna. Pendapat tentang Tuhan ini sebagai kenjataan jang paling tinggi, dalam tingkatnja jang sama sekali tidak dapat ditentukan, ada terdapat misalnja dalam adjaran emanasi dari Ibn al-Arabi dan pada pengikut²nja di Sumatera dan Djawa. Dengan sebuah fragmen jang pandjang-lebar dari kesusasteraan suluk Dr. Zoetmulder membuktikan, bahwa walaupun djarak setjara geografis besar sekali kesumbernja, mistik Arab, dikenal orang djuga adjaran-emanasi ini dipulau Djawa dalam bentuknja jang asli. Disini diadjarkan tudjuh deradjat jang harus ditempuh manusia dan dunia sampai perkembangannja jang kentara, dan deradjat jang penghabisan inilah Insan Kamil, Manusia Sempurna, tempat manifestasi pantjaran² tuhan, tempat berkumpulnja djuga segala deradjat² jang lalu. Dibagian lain Dr. Zoetmulder menemui adjaran² jang menerangkan perhubungan Allah-dunia sebagai perhubungan antara wudjud dan sifat²nja serupa dengan adjaran² jang diadjarkan oleh Ramajana di India, dimana ditundjukkan watak-manifestasi segala machluk. Dengan latar belakang inilah sekarang kita mungkin memahamkan sembojan jang diperoleh Taman Siswa pada hari lahirnja dan jang menurut kebiasaan Djawa djuga memuat keterangan tentang tahun berdirinja (1854 Çaka): Sutji Tata Ngesti Tunggal, dapat diterdjemahkan sebagai „Sutji dan Tata berusaha mendjadi Sempurna” dan harus diingat, bahwa Tunggal (Sempurna) berarti djuga „Satu” dalam arti mistiknja.

Terdorong oleh kesetiaan akan tradisi, sembojan jang diatas dalam keadaan jang istimewa ini, djauh lebih banjak artinja dari hanja kepala hiasan belaka dari gedung paedagogis jang akan direntjanakan itu. Untuk itu adalah djuga terlalu besar kesadaran akan tudjuannja, jang dipakai gerakan ini untuk mempertahankan kebudajaan sendiri. Memang adalah suatu kenjataan, bahwa dalam merentjanakan program-azas jang akan dikutip nanti latar pandangan-hidup itu hanja dapat dikenal dalam watak bebas dan idealistis dari prinsip² paedagogik jang direntjanakan, dimana tentu tidak hanja setjara kebetulan, bahwa djumlah dari dalil² ini dibatasi mendjadi tudjuh.

Setelah Republik diproklamirkan, ketika disusun Pantja Sila sebagai dasar U.U.D., kelima azas jang dianggap mendjadi tiang hidup Indonesia menurut kelima tiang (arkân) agama Islam, Taman Siswa dalam Konggresnja tahun 1947 mengurangi dalil²nja mendjadi lima, dan untuk pertama kali memuat latar belakang, jang selama ini didiamkan, walaupun dengan kata² universil.

„Kalau tidak ada mistik angka² itu, jang bagi saja tidak ada artinja sama sekali, dapat kita memakai hanja dua sila, sebab jang lain² adalah akibat dari jang dua itu”, demikianlah pendapat Pak Said.

Jang dua ini ialah Kodrat Alam, kalau perlu bisa diartikan sebagai Kodrat Ilahi dan Kemerdekaan. Jang lain ialah Kebudajaan, Kebangsaan dan Kemanusiaan.

Pendapatnja tentang dalil² ini ada didjelaskan Moh. Said dalam suatu lezing (pembatjaan) dalam bulan Desember 1950 untuk Jajasan Kerdja-sama Kebudajaan di Djakarta, pendapat mana dapat disimpulkan seperti berikut: Manusia adalah pentjipta kebudajaan. Ia mendjelmakan apa jang benar dan dengan tjara demikian turut bekerdja untuk hidup, itulah kebahagiaannja dan kehormatannja. Tudjuan jang dipaksakan oleh djenis (jakni setjara sociologis dan individuil) harus kita terima dengan aktif. Inilah suatu aspek (segi) dari alam, jang harus diperlukan, supaja kita sampai kepada pendjelmaan djiwa: jang taklogis ialah sjarat untuk jang logis. Sebab itu alam dan djiwa tidaklah bermusuhan. Demikianlah djuga napsu adalah suatu sjarat jang diperlukan untuk hidup. Keselarasan dengan chuluk sendiri adalah perlu untuk dapat sampai kepada suatu pribadi jang agak bulat.

Djika kita dapat menganggap pendapat ini sebagai tambahan (pertumbuhan) dari tudjuan semula kepihak kemanusiaan jang tak konfensionil, pada S. Mangun sarkoro, jang telah kita kutip didepan ini, salah satu pemimpin Taman Siswa jang mendahului Moh. Said di Djakarta, kita dapati, dalam suatu pendjelasan tentang sembojan waktu mendirikan Taman Siswa, dengan tegas memungkinkan assimilasi dari segala kejakinan² agama: „Bukanlah tiap² agama dapat dianggap sebagai pendjelmaan Kehendak Allah? Kesempurnaan manusia adalah tudjuan tiap² agama. Djadi siapa jang menjerahkan hidupnja untuk itu, hidup sesuai dengan Kehendak Allah dan siapa jang berbuat demikian, merasa dirinja satu dengan Dia”. (Kol: Studien 1938, hal. 596). Dari sini ditariknja kesimpulan, bahwa waktu mentjapai tjita²nja, tiap² agama dapat dipakai oleh Taman Siswa sebagai pembimbing.

Djika dalam mentjari alasan ini menurut arti jang sebenarnja masih dapat kita berkata ini-itu, maka praktik mengadjarkan, bahwa dalam Taman Siswa memang guru² (dan murid²) dari berbagai-bagai kejakinan agama dapat bekerdja-sama, dan memang diberikan djuga kesempatan kepada tiap² orang, dengan rasa hormat kepada kejakinan masing², untuk memenuhi kewadjiban² agamanja, djuga dalam djam² sekolah, sehingga misalnja sebelum perang di Padang tiap² hari Djum'at dapat kita lihat guru² Taman Siswa dengan murid²nja berbaris dengan baik pergi kemesdjid.

Untuk mendjelaskan ini, dengan berpegang kepada asal Djawa Taman Siswa, dapat kita tundjukkan tjorak synkretis dari pendapat² agama orang Djawa (dunia tjara berpikir Djawa terbuka djuga untuk kita dalam memilih setjara bebas Kodrat Alam dan Kodrat Ilahi) atau tjorak formil dari berbagai-bagai kejakinan agama dikebanjakan daerah² Indonesia, dua segi (aspek) dari satu soal barangkali. Selandjutnja toleransi di TamanSiswa dapat kita bandingkan dengan prinsip sekolah² pemerintah di Eropah, dimana djuga setjara formil diterima guru² jang tidak beragama. Malahan pemimpin² Taman Siswa dilarang aktif bekerdja untuk sesuatu perkumpulan agama, berdasarkan pertimbangan, bahwa pekerdjaan pendidikan seperti jang di-tjita²-kan Taman Siswa, meminta tenaga dan djiwa seseorang dan bahwa agama tidak meminta lebih kurang sebagai salah satu dari nilai-hidup jang „menggontjangkan djiwa tiap² orang sampai mendalam dan sering membuat orang kehilangan kesetimbangannja. Tetapi disini harus kita perbedakan antara agama dan religi, untuk memahami lebih djelas Taman Siswa, jang berazaskan religi.” (Mangunsarkoro dalam Kol, Studien 1937, hal. 925).

Perbedaan antara agama dan religi inilah kuntji untuk mengerti, bahwa antara kedua tindakan jang berikut tidak ada pertentangan. Jang pertama ialah penolakan sekolah² gubernemen sebagai sekolah jang „tidak mengikuti salah satu aliran” oleh bapak gerakan Taman Siswa Dewantoro dalam prae-advisnja dikonperensi pengadjaran nasional jang pertama dalam tahun 1935 di Solo. Jang kedua ialah penolakan oleh Rapat Besar Taman Siswa, jang diadakan dalam bulan Djuni 1951 di Malang, peraturan bersama Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan dan Kementerian Agama mengenai pengadjaran agama disekolah-sekolah, dimana ditetapkan, bahwa pengadjaran agama ini harus diberikan, apabila sekurang-kurangnja ada sepuluh murid dari satu agama dalam satu kelas, dan murid² jang menganut kepertjajaan lain boleh meninggalkan kelas. Dalam resolusi penolakan ini, jang diterima setelah pendjelasan Dewantoro, sebagai pertimbangan antara lain diambil, bahwa peladjaran agama jang dimasukkan dalam rentjana peladjaran sebagai mata-peladjaran tidaklah sesuai dengan perkembangan kerohanian jang sewadjarnja dari anak itu dan sebab itu setjara psychologis dan pedagogis tidak dapat dipertanggungdjawabkan, dan selandjutnja bahwa kemerdekaan beragama harus diwudjudkan dengan „memilih kepertjajaan dengan bebas” jang hanja mungkin pada orang² jang akil-balig.

Kejakinan adalah jang paling penting dalam Taman Siswa dan ini memang telah ditentukan betul² oleh dua sila jang dianggap oleh Moh. Said paling penting. Dengan menerima Kodrat Alam dan Kodrat Ilahi dan mendjundjung tinggi kemerdekaan manusia sikap-hidup seluruhnja telah terbentuk, djadi inilah djuga pegangan dalam mendidik bagi pemimpin² Taman Siswa.

Keduanja djuga tidak dapat dianggap lepas dari masing², sehingga kita sebenarnja dapat berkata, bahwa inilah azas Taman Siswa: itulah pengalaman manusia dari dirinja sendiri sebagai hasil alam dengan daja kreatif, pengalaman dari paradoxnja hidup manusia jang mengetahui dirinja telah tertentu dan merasa dirinja bebas dan disinilah didapatnja kekuatan untuk bertindak, „jang djika dikerdjakan dengan kerendahan hati akan membuatnja sutji dan meninggikan deradjatnja” (Mangunsarkoro), seperti pekerdjaan pendidik jang dalam suasana ini mendjadi hidup „mengabdi sambil memimpin”. Itulah sikap „jang selalu memenuhi pikiran kami semua, pekerdja² untuk tjita² Taman Siswa, dan membuat kami dengan tidak mengenal tjape berusaha mentjapai jang sempurna” (Dewantoro) dan „jang menerangkan djuga, mengapa dalam Taman Siswa kita menemui hidup jang sederhana benar, bersahadja dan berkorban dengan kesabaran jang besar” (Mangunsarkoro). Malahan Moh. Said berpendapat, bahwa disini dikenalnja Nietzsche kembali dengan amor fati-nja dan dengan perkataannja: „Saja tidak memberikan sedekah, karena saja tidak tjukup miskin untuk itu”. Kerendahan hati disini bukanlah kerendahan hati dalam arti suka mengabdi, tetapi dalam arti atma, bernapas dengan bebas, dan kepada pembantu²nja jang merasa pekerdjaannja di Taman Siswa dengan gadji sedikit itu sebagai pengorbanan, bukan sebagai kegembiraan, biasanja diberitahukan Moh. Said dengan terus terang, bahwa mereka chilaf dalam pilihannja dan supaja mereka mentjari tjita² mereka dalam lapangan lain. Pada rumah, dimana ia dalam tahun pertama sesudah perang, tahun jang sulit itu, membuka sekolahnja jang terdiri dari anak² terlantar, jang ditangkapi didjalan-djalan, dituliskannja dengan huruf besar² sembojan: Soli Deo Honor!

Rumah ini mungkin bolehlah disebutkan bentuk jang terachir dari lembaga pengadjaran paguron (perguruan) dalam zaman Djawa Kuno, dalam zaman Djawa-Hindu disebut djuga ashrama, dan untuk menghidupkan tjara inilah tudjuan Taman Siswa, sedjalan dengan tjita² Rabindranath Tagore di Hindia Inggeris dahulu. Sampai waktu itu tjara mengadjar ini, setelah kebesaran zaman lampau keradjaan² Buddhistis Mataram Tua dan Sjriwidjaya pada abad kedelapan dan kesembilan, hanja ada dalam bentuk rundimenter dalam sekolah² agama Islam, pondok dan pesantren. Paguron² inilah pusat peladjaran dengan aliran jang ditetapkan semula (jakni oleh pribadi guru) dan djuga rumah tempat tinggal guru, dimana djika mungkin, murid² dapat tinggal sebagai dalam ashrama, dan disampingnja ada gedung beladjar jang sebenarnja jang disebut pawiyatan (wyata = adjaran.

Djadi disinilah kita lihat sebuah tjontoh dari sedjarah, tjontoh Taman Siswa (= Taman Murid²) jang konkret, jang pertama didirikan di Djokjakarta dalam tahun 1922 oleh pemimpinnja jang pertama, jang mengambil nama Ki Hadjar Dewantoro (= guru sebagai perantara dewa²). Sebelum perang menurut tjontoh jang diatas telah didirikan 230 buah, tergabung dalam suatu organisasi dengan pengurus besarnja di Djokjakarta, dan seluruhnja mempunjai 12.318 murid²; jang sekarang ada lagi 80 buah berdiri, tetapi dengan 42.000 murid² seluruhnja.
Adakah pertumbuhan jang tjepat ini telah dari semula diharapkan pendirinja ? Tjontoh Tagore, jang dalam dirinja telah mendapat tudjuannja dan batas²nja, membuat hal ini mungkin. Selainnja adalah pasti, bahwa kemungkinan pertumbuhan ini disebabkan djuga oleh keluasan seperti telah disebutkan didepan ini, jang dipakainja dalam merumuskan program azas. 3

Benih tanaman jang mempunjai kekuatan hidup:
programma azas.

Taman Siswa adalah lahir dari initiatif Raden Mas Suwardi Suryaningrat, jang lahir pada tanggal 3 Mei 1889 sebagai putera turunan radja dari Paku Alam, tjabang dari turunan radja dari Djokja, dan setelah perubahan nama jang telah kita sebutkan didepan ini, hanja dikenal orang sebagai Ki Hadjar Dewantoro. Ia memulai djalan hidupnja, setelah beberapa tahun beladjar pada Stovia (sekolah dokter Djawa), sebagai seorang upahan ahli obat, kemudian mendjadi wartawan dan dengan Dr. Tjipto Mangunkusumo duduk dalam pengurus Indische Partij, jang dalam tahun 1922 didirikan oleh E. F. E. Douwes Dekker (jang kemudian terkenal sebagai ahli didik dengan nama Dr. Setyabuddhi). Tetapi organisasi politik dari orang Indo dan Indonesia ini tidak pernah mendapat pengesahan atas anggaran dasarnja dan aksinja terhadap persiapan? untuk merajakan djuga di Indonesia seratus tahun berdirinja Keradjaan Belanda dalam tahun 1913, waktu mana Suryaningrat menerbitkan sebuah pamflet jang ditulis dengan baik dan setjara mengedjek: Als ik eens een Nederlander was (Kalau saja gerangan seorang Belanda), mengakibatkan, bahwa ketiga anggota pengurusnja diberi hukuman buang. Ketika hukuman buangan itu diubah baginja mendjadi hukuman boleh meninggalkan negeri ini dengan bebas, Suryaningrat memilih negeri Belanda sebagai tempat tinggalnja dan pada suatu kweekschool di Den Haag ia beladjar untuk mendjadi guru.

Dewantoro melihat, bahwa dalam masa pantjaroba-kebudajaan tidaklah pada tempatnja untuk mendirikan sekolah paksaan dan ia berusaha membuka sekolah dengan eksperimen berdasarkan kebebasan dan dalam usianja sepuluh tahun jang pertama Taman Siswa memakai dasar ini (batja Armijn Pane: Taman Siswa dan pemimpinnja” dalam madjalah mingguan Sin Po tahun 1936). Bahan² batjaan untuk kedua azas jang pertama dari program-azas, jang semuanja sebenarnja telah memberikan dasar²teori dari susunan pendidikan jang telah direntjanakan, mendjadi karena itu suatu pengalaman jang menggirangkan bagi mereka, jang dapat mengenal kembali didalamnja pendapat² modern, jang pada tahun2 jang achir ini di Eropah kembali berlaku dalam metodos² pengadjaran baru:

1. Hak seseorang untuk mengatur diri sendiri, dengan mengingat sjarat² persekutuan suatu pergaulan-hidup jang harmonis, itulah azas kita. Tertib dan damai adalah tudjuan kita Jang paling tinggi. Tidak ada tertib kalau tidak ada damai. Tetapi djuga tidak ada damai, selama seseorang dirintangi dalam pendjelmaan hidupnja jang biasa. Pertumbuhan menurut kodrat, sjarat jang perlu untuk kemadjuan, menganggap adanja perkembangan diri sendiri menurut kodrat. Demikianlah kita menolak pendidikan dalam arti: membentuk watak anak dengan sengadja berdasarkan „paksaan—hukuman—-ketertiban”, Kita mendjundjung tinggi pedagogik pemeliharaan, dengan segenap perhatian, jang mendjadi sjarat berkembangnja anak itu batin dan lahir, menurut kodratnja sendiri. Inilah jang disebut sistem Among.

Bahwa hak mengatur diri sendiri sebagai pembuka program-azas itu akan menarik bagi seorang nasionalis, dapatlah dimengerti, sedang kita djuga tjenderung untuk berkata, bahwa tidak dapat ada damai, dimana seseorang dirintangi dalam pendjelmaan hidupnja jang biasa, damai termaksud setjara pedagogis, djadi damai batin djuga, ditukar dengan damai lahir, damai politik. Dengan pengertian kodrat (alam) Dewantoro rupa²nja achirnja telah mendapat pegangan dan dalam hal ini ia mendapat bantuan dari tjara berpikir Djawa dan karena itu tjita² umum dari pemikir² dan ahli² didik Eropah seperti Rousseau, Pestalozzi dan Montessori (tetapi dengan metodik pengadjarannja jang menunggu-nunggu „masa² peka, lekas merasai” tidak dapat ia memulai apa²) dapat dipertalikannja dengan tradisi Djawa jang paling baik. Sistem Amongnja membuat pengadjar lebih dari seorang guru (== ia jang dipertjajai dan diikuti), seorang pamong (pemelihara), jang berdiri dibelakang sebagai pemimpin, tetapi selalu djuga mempengaruhi (Djawanja: tutwuri andajani).

2. Dalam sistem ini pengadjaran tidak lain artinja dari mendidik murid mendjadi manusia jang berdiri sendiri dalam merasa, berpikir dan bertindak. Disamping memberi pengetahuan jang perlu dan bermanfaat, Guru harus djuga melatih murid dalam mentjari sendiri pengetahuan itu dan memakai setjara bermanfaat.

Inilah jang diutamakan oleh sistem Among.

Pengetahuan jang perlu dan bermanfaat ialah pengetahuan jang mentjukupi kebutuhan² manusia lahir dan batin sebagai anggota dari pergaulan-hidup.
Dalam suasana bebas ini hukuman adalah konsekwensi jang sewadjarnja dari suatu perbuatan jang salah, dimana pemimpin hanja mewakili prinsip mengatur dari masjarakat. Djuga seperti di Eropah hal ini dapat djuga dalam praktik membawa kebrandalan jang tidak disukai, walaupun risiko ini pada anak Indonesia dengan rasa hormatnja jang tradisionil kepada orang tua kurang besarnja lagi. Apakah jang achir ini akan berlaku djuga pada waktu j.a.d. adalah mendjadi pertanjaan, apabila Pak Said dengan rasa gembira melihat, bahwa anak Indonesia telah sedjak penjerahan kedaulatan memperlihatkan rasa kesedaran diri sendiri jang lebih besar.
Dalam sistem idealistis Taman Siswa kebebasan seperti jang kita lihat, diartikan dalam arti positif sebagai penghapusan rintangan² pendjelmaan hidup jang biasa dan karena itu damai dan tertib dapat ada. Dengan kebebasan si anak sampai kepada mewudjudkan diri sendiri dan hal itu berarti untuk manusia: kepada mewudjudkan nilai. Selama si anak dengan discipline sendiri belum sampai kepada tertib batin dan tata lahir, harus hal itu dibantu dengan perintah² melakukan tugas. Tetapi untuk inipun dapat bekerdja sendiri adalah sjarat dan mengadjarkan, bagaimana mentjari sendiri pengetahuan jang diperlukan, diutamakan.
Si anak tidak boleh mendjadi objek, sebab itu sekolah harus mendjadi sekolah berbuat, dimana unsur mentjipta pada anak itu dapat berkembang. Bukanlah untuk menghasilkan manusia jang sama matjamnja, tetapi untuk membina pribadi². Djuga „kerdja kasar” tidak perlu takut diberikan kepada anak itu, ia harus beladjar menolong diri sendiri dan karena itu memperoleh keberanian hidup. Untuk tidak memutuskan rasa kebebasan itu haruslah ruangan² kelas se-dikit²nja terbuka (tidak berdinding) pada satu pihak dan kelas² dikebun haruslah dianggap sebagai kelas ideaal (bandingkan Montessori).
Perkembangan diri sendiri menurut kodrat menganggap adanja pertumbuhan jang sewadjarnja, artinja pertumbuhan sesuai dengan tabi'at sendiri dan dengan lingkungan alamnja sendiri: Dalam alam pusat pendidikan jang terutama ialah rumah tangga dan tenaga pendorongnja ialah tjinta. Selama mungkin, Taman Siswa mentjoba memelihara keadaan alam ini. Kepada wanita sebagai guru diberikan tempat penting dan suaranja dalam pengurus sekolah dihargai benar (djika tidak dengan tradisi Islam, tjara ini adalah sesuai dengan tradisi Djawa, dimana perempuan, seperti dalam tiap² kebun pertanian, disegani benar), Bahasa ibu (jaitu bahasa daerah) dalam kelas² jang terendah dipakai sebagai bahasa pengantar dalam pengadjaran. Prinsip coëducatie diterima dan diusahakan supaja tertjipta suasana jang sewadjarnja, suasana kebebasan dan kepertjajaan, dimana murid² menjapa pemimpin²nja sebagai ibu atau bapak.

Azas² ini dengan sendirinja terwudjud dalam bentuk paguron jang ditjita²kan dengan sedar itu, dimana anak², djika mereka tidak tinggal dirumah gurunja, sewaktu-waktu diterima dengan baik, djuga diluar djam² sekolah. Djelaslah, bahwa demikian pribadi guru itu mendjadi primer (penting) dan bahwa ia harus memberi pendidikan dalam arti lengkap jaitu pimpinan hidup. Hal ini sesuai dengan pendapat orang dalam zaman Djawa Kuno tentang tugas guru, jang lebih ditudjukan kepada memperkuat moril dari memberi pengetahuan. Djadi tidak hanja pendidikan intellektuil, tetapi terutama djuga penjelenggaraan dan latihan kesusilaan, seterusnja didikan kebudajaan dalam arti nasional.
Ada diusahakan seni melukis, musik, menari, tiap² orang menurut pembawaanmnja. Kebebasan menurut kodrat jang lebih besar untuk anak² mengakibatkan mendjadi lebih banjak berbuat sendiri, dimana pemimpin hanja mempunjai tempat sebagai penonton, tetapi dengan mata memelihara, jang terutama terdjelma dalam kehidupan perkumpulan² sekolah. Bersamaan dengan itu diberikan djuga sehari dalam sebulan kebebasan pekerdjaan sekolah untuk pekerdjaan² bebas, dimana terdjadi djam perdebatan, jang memberikan kepada murid² jang lebih tua kesempatan untuk menghidangkan kepada bapak mereka „soal² hidup”nja setjara perdebatan bebas. Kesatuan jang demikian antara guru dan murid adalah djarang.

Bagaimanapun revolusionernja dirasa suasana bebas dan pertjaja ini terhadap adat jang masih berlaku, adat menurut perintah dan adat menghormat, adalah ternjata, bahwa waktu telah matang, tanah tetap menurut dan kepertjajaan dalam kekuatan sendiri untuk tumbuh tidaklah mengetjewakan. Perasaan nasionalismus jang sedang timbul, menerima perlawanan Taman Siswa, jang dikemukakan dalam bentuk dalil paedagogik, terhadap supremasi djiwa pendjadjah²: azas pertumbuhan menurut kodrat menuntut, bahwa sedjarah kebudajaan sendiri kembali lagi mendjadi titik permulaan, dan dari titik inilah langkah² dapat diteruskan kedepan (azas ketiga). Hal ini memenuhi kebutuhan jang telah timbul, kebutuhan akan penghargaan diri sendiri dan akan kepertjajaan kepada diri sendiri sebagai bangsa. Kredit moril jang dapat dipakai Dewantoro sebagai sumber, potentieel tidaklah ada batas²nja dan ia tahu memeliharanja dengan takt halus, seperti ia djuga tahu menghadapi keadaan² materil dengan rasa realitet jang besar. 4

Penebas kebun berpagar itu:
Ki Hadjar Dewantoro.

Taman Siswa adalah tjiptaan Ki Hadjar Dewantoro sendiri dan menurut pendapat saja, tjiptaan dan pentjipta disini adalah demikian rapatnja, sehingga sifat² tjiptaan itu sesuai benar dengan watak arsiteknja. Setelah saja, terdorong oleh perhatian, beberapa waktu mendalami teori dan praktek aliran pengadjaran nasional Indonesia ini, saja mengharap-harap suatu kesempatan untuk berkenalan dengan bapak pendirinja. Perkenalan itu terdjadi dilapangan Kemajoran, ketika saja dengan dia kebetulan menunggu-nunggu pesawat terbang ke Djokja. Ia bergaul dengan anggota² parlemen jang sedang reces pulang kerumah, sebab ah ja, bukankah saja tahu, iapun adalah anggota parlemen. Jang membuat guru² Taman Siswa takut dengan diam², bahwa karena itu Taman Siswa mungkin dianggap sependirian politik dengan pentjiptanja, walaupun ia djuga mendapat kursi parlemen sebagai seorang jang tidak berpartai.

Pertemuan pertama mungkin mendjadi kegembiraan atau keketjewaan. Sekali ini pasti kegembiraan: seorang jang perawakannja ketjil, kurus, mukanja seperti perkamen berkerut, jang kerapkali berkilat-kilat dengan matanja jang bernjala-njala dibelakang katjamatanja, gigi² jang besar seperti pagar jang tak teratur, bibir jang seakan-akan dengan sendirinja lari untuk itu dalam tertawa manis. Karena itu ia mengatasi sendirian dengan mudah pertentangan antara optimismus jang berlebih-lebihan dan ketjemasan jang ditahan-tahan, jang sering menghiasi muka² anggota parlemen jang tua dan muda itu, teman²nja bergaul, sedang ia dengan riang mendjawab lawak² jang ditimbulkan kedatangannja, dan dengan tepat ia menjembunjikan kepalanja dalam buaian anak, jang kebetulan ada disana, hendak turut naik mesinterbang.

Ketika saja diperkenalkan kepadanja, bahasa saja membuatnja gugup sebentar, tetapi karena saja belum berapa lama tinggal disini, ia bersedia menjapa saja dengan bahasa Belanda dan perhatian saja jang tidak disangka-sangka itu kepada masa ia beladjar dinegeri Belanda membuatnja tertjengang. Tentang asal mulanja, pamflet itu, ia berkata dengan terus terang kepada saja: „Tuan lihat, saja waktu itu masih seorang anak jang berumur 23 tahun dan bahwa pamflet itu kemudiannja mendjadi demikian terkenal, saja sebenarnja agak malu.”

Saja tidak bertanja lebih landjut, tetapi saja merasa bahwa malunja itu tidaklah disebabkan oleh pamflet itu semata-mata, tetapi sifat² pribadinja, jang seakan-akan merasa malu, bahwa ia oleh karena posisinja dalam sedjarah, termasuk putera jang paling besar dari tanah airnja.
— Dan dinegeri Belanda, masih turutkah tuan mengalami kedatangan Pengadjaran Montessori? Sekolah pertama bukankah didirikan dalam tahun 1914 di Den Haag?
— Ja tentu, saja sendiri turut menjelenggarakannja. Jaitu di de Ruyterstraat, ada barangkali setahun saja disana. Djuga pada Ligthart di .... apakah nama straat itu? Tullinghatraat, ia mengingat lagi. ― Saja selalu memikir ini, bahwa azas² tuan banjak mengambil unsur² Montessori. Suasana kebebasan dan menghormati individualitot seseorang misalnja.
― Saja seorang bebas, djadi saja suka, supaja orang lain djuga mengembangkan dirinja dengan bebas. Azas² oksperimontil jang mula² lama-kelamaan mendjadi azas² fundamentil. Tetapi djustru saja hendak memperbaiki individualismus sekolah Montessori jang menurut pendapat saja terlalu besar itu. — Ja, sebab individualismus demikian tidak begitu mudah kita temui disini.
— Djangan tuan berkata begitu, individualitet dahulu dalam hidup orang² Djawa penting, tetapi telah diperbaiki oleh tradisi. Demikianlah Z. Th. Karsten, arsitek Gedung Komedi Djawa di Semarang, pernah berkata: „Orang tidak kenal akan kebudajaan Djawa, kalau disebutkannja bahwa kebudajaan Djawa itu tidak individualistis”, Dalam sedjarah djuga ada eksessen (tambahan²) individualismus. Tetapi dalam kesusasteraan kuno telah didapat orang utjapan jang memberi syntese jang tepat. Utjapan itu dikutip dari peraturan² permainan wajang. Djika saja menterdjemahkannja untuk tuan, maka kira² begini bunjinja: (pada mukanja tampak kesenangan hatinja, karena dapat begitu sadja menghafalkan kesusasteraannja sendiri dan suaranja mendjadi lebih sungguh-sungguh sebentar seperti pada upatjara). „Engkau ronggeng, berusahalah sebaik-baiknja untuk menari indah. Djangan hiraukan bonang. Apa jang baik untuk bonang, barangkali tak baik untuk ronggeng. Tetapi turutlah hanja garis jang ditentukan oleh gendang.” Djadi demikianlah kami berpendapat, bahwa suatu perkumpulan pemain² kelas satu kadang² dapat kalah terhadap suatu perkumpulan pemain² pertengahan jang anggota²nja sesuai benar.

Saja mengerti betul, sebab saja segera teringat kepada berita suratkabar, jang mengabarkan hasil gemilang koorkamar Belanda dibawah pimpinan Felix de Nobel, dalam perdjalanannja melalui Italia, negeri jang mempunjai solist² opera gemilang, dimana koorkamar belum pernah mereka dengar: penjanji² jang menunggu dengan tidak bergerak-gerak tiap² tanda dari pemimpinnja, tanda jang paling ketjil sekalipun, dengan tidak berusaha, dalam njanjian bersama jang selaras benar untuk meninggikan dirinja sendiri. Tetapi selain dari itu saja teringat djuga kepada kesebelasan Taman Siswa jang suka oper²an sendirian.

Tetapi pertjakapan itu dihentikan oleh suara pengeras jang memanggil penumpang² kelapangan dan kami berpisah dengan djandji untuk bertemu di Djokja: malam Rebo, apabila murid² berlatih tarian² serimpi.

Hampir seminggu saja telah menginap di Djokja dan mempunjai kesempatan melihat-lihat suasana kota ini. Golongan elite revolusioner jang „menguasai” straat kota, telah pergi dan bagi saja adalah sulit untuk mengenangkan mereka dalam pawai sandalan Malioboro jang tenang itu. Djalan ini lebar, dikiri-kanan toko² Tionghoa dan didepan toko² ini berdjualan pedagang² ketjil dikakilima, kebanjakan perempuan dengan kain² atau dengan buahan, Sebagai djalan kehormatan ia membawa kita melalui aloon² kepintu gerbang keraton, dimana sekarang dalam pendopo² jang paling depan bersimpang siur mahasiswa Universitet Gadjah Mada. Walaupun tembok depan dengan salah satu menara sudut telah sebagian besar dirombak, kompleks keraton jang berkumpul dalam satu kilometer kwadrat dan bertembok

Taman Siswa (page 20 crop)

Ki Hadjar Dewantoro

... penebas kebun berpagar: Taman Siswa...

sekelilingnja itu, dimana biasanja orang² Djawa jang saleh tiap² hari Djum'at berbaris mengelilinginja sambil mendoa, masih menguasai suasana kota itu benar² dengan pengaruhnja jang suram menekan itu. Demikianlah kesan jang ditimbulkannja bagiku seorang asing, dan kesan itu hanja sebagian dihilangkan oleh plantsoen dimuka balai kotapradja, dimana patung Djenderal Sudirman, jang dipahat dengan garis² kasar, berdiri sebagai saksi perdjuangan rakjat, dan rupa²nja berasal dari sebuah bengkel jang beratapkan langit pada salah satu djalan diluar kota, dimana seniman² muda sedang memahat, dari batu² kali jang besar, patung² dada jang besarnja lebih dari jang sebenarnja, kepunjaan pahlawan² nasional baru: sultan jang muda dan telah mendjadi saudara itu dengan pakai kepi, dan kepala budjur sangkar djenderal Surip. Bagi rakjat biasa didjalan, jang diantaranja ada beberapa orang pemuda, melihat sadja „wong bulé” (orang putih) dengan heran mengedjek, revolusi itu tampak telah lewat sebagai angin sepoi-sepoi basa jang masih sedikit mengubah hidup ekonomis-sosial mereka. Jang dapat saja ambil sebagai perbandingan hanjalah kota Djakarta, dimana kebudajaan barat seakan-akan telah mendorong hidup bumiputera seperti stoomwals jang membuat djalan² asfalt, disekelilingnja ada terdjadi straat² toko dan straat tempat tinggal orang Eropah, jang seperti lobang dalam waktu hanja membiarkan lalu satu pandangan sadja pada suatu kampung jang berdjedjal sepandjang djalan kereta api. Dan inilah kentara Djokja dengan penduduknja jang djauh lebih miskin, jang walaupun hidup dalam harmoni waktu jang lebih besar (dimana masih sesuai bunji njaring lontjeng² leher sapi bengali jang berdjalan lambat² didepan grobak jang pakai hiasan² samping berwarna-warna), tetapi dalam pakaian² jang banjak kotor dan berwarna suram tampak kurang menggembirakan dan diantaranja perempuan² bekerdja banting tulang sebagai kuda² beban pakai tali besar terikat sekeliling dadanja dan tjungkil tembakau kadang² tersembul tumpul dari bibir bawahnja, maka inilah kota Djokja jang tidak mengindahkan ludahan² merah sirih pada kakilimanja, jang hanja baik untuk membuat orang dengan tiba² insaf akan tjintanja kepada kota internasional Djakarta dengan penduduknja jang lebih beragam-ragam itu dan dengan orang² Indonesianja jang muda berdjalan berpakaikan pakaian orang Eropah.

Penerimaan di sekolah Taman Siswa dengan pendoponja jang besar itu djauh sedikit dari djalan sepi, dimana bunji gamelan dalam malam jang sedang turun menimbulkan harmoni, dan anak² gadis telah mulai dengan latihan² tari serimpi, suasana muram seperti itu menenteramkan hati seperti tangan jang mendamaikan dan dari menonton gadis² jang bergerak dan diam penuh perhatian itu, jang semuanja memakai kain dan badju jang paling baik dalam warna sopan tetapi beragam-ragam dan selendang jang berkibar indah pada pinggang, dengan udjungnja dipegang sebuah tangan, tumbuhlah perlahan-lahan pengalaman jang aneh. Tari Serimpi disini djauh lebih sederhana, tetapi djauh lebih penuh tjinta dilakukan dari tari serimpi dikeraton, jang dipertundjukkan dengan pakaian mahal² serta gilang-gemilang. Karena itu kita teringat kepada kebudajaan, jang akrab dikuasai telah terdjelma disini, lebih² dikeraton, dan bagaimana kebudajaan keraton ini diterima dan dipudja oleh rakjat, sehingga pernah ada pertalian antara radja dan rakjatnja jang mempersatukannja dan dimana kehalusan dan kebidjaksanaan hidup dapat mengembangkan dirinja. Adalah terutama musik jang oleh tari²an kumpulan gadis jang berturut-turut itu sebagai sesuatu jang hidup berkesan pada kita dalam dua djam itu dan membawa kita dalam suasana jang lebih tenang dan lebih tinggi.
Untuk pertjakapan dengan Dewantoro kemudiannja, jang hendak mengetahui bagaimana pendapat saja tentang tari serimpi itu, suasana itu adalah suasana jang tepat. Saja berpendapat, bahwa tari Serimpi itu adalah prestasi kebudajaan jang mengherankan, sebenarnja tidak masuk dalam akal, bagaimana anak² dapat menghasilkan tari sedemikian, di Eropah barangkali hal itu tidak mungkin. Hampirlah tidak menjenangkan hati saja, ketika dikatakannja, bahwa masih ditjari djalan menjederhanakannja, bahwa tari²an ini sebenarnja adalah lebih serasi untuk gadis² jang akil-balig dan bahwa ia beranggapan, terutama tjara² tarian Bali jang djauh lebih gembira dan lebih dekat kepada rakjat itu adalah lebih baik untuk anak² jang lebih muda.

Ia mentjeritakan pernah heran membatja dalam buku Rudolf Steiner, bahwa apa jang terasa dalam udjung² djari masuk djuga kedalam djiwa. Apa persamaannja dengan pentingnja gerak-gerik tangan dalam seni tari ini adalah kurang tampak bagi saja, sebab Steiner mendapat teori teosofinja djustru dari kebudajaan India.

― Tetapi Montessori djuga mengandjurkan latihan² meraba, karena konsentrasi pikiran untuk itu akan mengakibatkan ketenangan dan ketertiban batin.

― Memang, tetapi adalah sebaliknja dari itu: bukan gerak-gerik tangan, tetapi impressi. Gerak tari adalah timbul dari ketenangan batin.

Dari Montessori kami kembali kepada pertjakapan kami jang lalu dilapangan terbang dan dari dirinja sendiri. Dewantoro berkata, bahwa perkataan saja jang terachir waktu itu, jang menjatakan, bahwa individualismus terutama hidup dalam golongan² Djawa jang lebih tinggi, jang ditolaknja mula², adalah mungkin benar djuga. Pengoreksian jang teliti ini mengherankan saja sebentar, tetapi kelihatannja sesuai benar dengan gaja hidupnja, ketika ia mendjawab pertanjaan saja tentang tulisannja jang telah lama diterbitkan: „Barangkali baik djuga, bahwa karangan itu telah habis terdjual, sebab pernah terdjadi bahwa saja terkedjut membatja tjetakan kembali utjapan saja, jang djauh terlalu pasti.”

Tentang persesuaiannja dengan Montessori dikatakannja, bahwa Prof. Gunning djuga melihat itu dalam bukunja Naar een groter Nederland jang ditulisnja dalam tahun 1947 setelah perkundjungannja ke Indonesia, dan djuga pengaruh Tagore. Dan ia memberikan sekali lagi gambaran pendapatnja tentang individualismus: ― Kalau kami membatja kesusasteraan Djawa Kuno, seseorang dari kami mempunjai untuk itu tjara sendiri, ritme dan tinggi suara sendiri, tetapi djika kami membatja bersama-sama, maka kami harus mengikuti satu tjara bersama. Malahan untuk itu kami mempunjai dua nama. Bentuk terikat disebutkan gerongan dan bentuk bebas motjo pat, jang sebenarnja berarti „membatja dalam empat ketokan”, sebab lagu membatjakan berkali-kali dibagi dalam empat waktu. Kalau tuan malam² berdjalan melalui kota Djokja, tuan masih dapat mendengar suara jang demikian dari kebanjakan rumah². Kebanjakan orang² asing menganggap, bahwa hal itu mempunjai arti agama, seperti misalnja membatja Koran, tetapi mungkin djuga kedjadian, bahwa puisi² duniawi benar jang dibatja.

Dengan ini ia membitjarakan kembali hidup kebudajaan Djawa, jang sebagai latar belakang Taman Siswa, walaupun sebagai latar belakang sendiri dari pemimpinnja, demikian menarik hati saja. Pembatjaan seperti itu mengingatkan saja kepada perkataan pendjaga Borobudur jang mentjeritakan, bahwa masih selalu sering orang² Djokja terkemuka merenung-renung ditingkat jang tertinggi pada malam² terang bulan.

Saja bawa pertjakapan itu kepada titik permulaan Taman Siswa jang bertjorak religi itu. Tidakkah hal itu mengandung bahaja untuk fatalismus adjaran takdir Timur?

― Apa jang saja artikan dengan takdir ilahi adalah kodrat alam, djawab Dewantoro. Oleh orang² Islam modern takdir djuga telah diartikan sebagai hasil (resultante) dari alam dan tindakan manusia.

Saja mentjeritakan bahwa arti utjapan „apa boleh buat” adalah saja peladjari dari Pak Said dan bagaimana sukatjitanja dengan utjapan itu adalah mengherankan saja, sebab itu ia dengan langkah²nja jang penting itu telah djuga mendjadi suatu kebalikan jang hidup dari mentalitet ini.

Dewantoro tertawa dan saja bertanja apa pendapatnja selandjutnja tentang peranan sosial konservatif dari adjaran karma, seperti jang disebarkan teosofi di Eropah misalnja kepada babu², supaja bersenang hati dalam nasibnja terhadap nasib perempuan² lain sesamanja. Apakah pikiran tuan tentang kelahiran kembali (reïncarnasi)?

― Saja pertjaja akan itu, tetapi hanja dalam hal karma-dasar: adjar bukanlah karma.

Untuk saja sendiri saja terdjemahkan adjar segera dengan phaenotype, djadi dasar saja artikan sebagai genotype, tabi'at bawaan.

― Prinsip kebangsawanan saja anggap tidak sesuai dengan kodrat, kata Dewantoro, jang telah meninggalkan sendiri gelar kebangsawanannja, jang karena asalnja dari turunan radja berhak atasnja.

Saja kagum lagi akan sifat keluasan dari pendapat² orang Djawa. Sebentar kemudian Dewantoro memberikan bukti, bahwa ia masih mengingat kelahiran kembali, ketika ia mengatakan tentang pemain gamelan orang Belanda, Bernard Yzerdraad jang dikirim oleh Jajasan Kerdjasama Kebudajaan ke Indonesia dan beberapa waktu tinggal pada Taman Siswa di Djokja: Mungkin djuga, bahwa ia orang Djawa dahulu dalam hidupnja jang lalu.

Saja mentjeritakan apa jang saja dengar tentang teman dulu ini dari satu kota: bahwa selama perang ia sendiri tinggal dinegeri Belanda, orang tuanja di Indonesia, dan bahwa pada suatu razzia ia lari ke Koloniaal Museum, dimana ia mulai beladjar main gamelan untuk kemudian membentuk dikota Haarlem suatu kumpulan pemain gamelan, bersama-sama dengan teman²nja murid H.B.S., barangkali terdorong oleh kenang2annja semasa ketjil kepulau Djawa.

Saja tidak lupa djuga memakai kesempatan ini untuk menanjakan, bagaimanakah pikirannja tentang nasib kerdjasama kebudajaan dikemudian hari.

― Masih terlalu pagi untuk itu. Kami sekarang masih terlalu banjak berada dalam tingkat politik. Selidiki tuan sadjalah, bagaimana besarnja kehilangan Nederland dengan Indonesia dan mereka sekarang sungguhlah malaikat², apabila mereka tidak mentjoba dengan segala djalan untuk memelihara sebanjak mungkin pengaruh mereka. Saja telah menolak persetudjuan kebudajaan K.M.B. dalam karangan saja, sebab persetudjuan ini dalam azasnja memberi kekuasaan untuk memelihara tetap ketinggian rohani mereka, jang tidak dapat kami terima dalam negara kami jang muda ini.

Saja katakan, bahwa saja dapat mengerti pendiriannja, tetapi bagi saja sendiri tidak dapat saja melepaskan kesan, bahwa pendirian ini seakan-akan disebabkan oleh suatu ketakutan jang hampir mendekati panik kepada peradaban barat, jang saja lihat sendiri seperti suatu wals berdjalan melalui negeri ini, terutama berpaut dengan ribuan alat² pengisap bioskop². Djuga keadaan djiwa orang Belanda dengan penjetopan tindakan²nja karena malunja sendiri tidaklah tepat diukur menurut pendapat saja.

Tetapi penutup pertjakapan ini memberi saja dorongan untuk lebih mendalami perdjuangan politik kebudajaan jang telah diperdjuangkan Taman Siswa selama perdjalanan hidupnja dan sekarang kita sampai djuga kepada membitjarakan perdjuangan ini. 5

Iklim:
politik pengadjaran Gubernemen.

Mempengaruhi penduduk Indonesia dalam lapangan kebudajaan dengan perantaraan pengadjaran gubernemen barulah berarti sedikit dalam abad keduapuluh. Dalam abad ketudjuh-belas dan kedelapanbelas pemerintah kolonial Belanda setjara prinsipiel adalah keadaan jang tak terelakkan, keadaan jang datang kemudian dari suatu kompani dagang, jang telah tumbuh mendjadi kebun² perusahaan jang kokoh. Adalah dalam tangan kompani ini sendiri, jang dalam waktu bahwa pentjampuran negara dengan pengadjaran belum ada terdapat, telah terkenal dalam djasa²nja dengan menganggap tugasnja untuk memberi pengadjaran kepada anak² Belanda dan anak² penduduk bumiputera jang beragama Kristen (jang pada mulanja karena pendidikan mereka oleh orang Portugis setjara katolik harus dididik mendjadi orang Protestan). Dalam abad kesembilanbelas pada mulanja hanjalah setjara teoretis sadja ada terdjadi perobahan dan dalam praktik masih tetap dituruti petundjuk, bahwa harus sedikit mungkin ditjampuri perhubungan² dan keadaan² masjarakat penduduk asli, jakni hanja dalam hal apabila organisasi jang telah ada lalai dalam memelihara ketertiban dan keamanan dan dalam hal apabila diperlukan untuk mempererat kesatuan administratif Gubernemen, dan untuk itu telah tjukup hanja mengadjari kepala² pemerintahan penduduk asli sedikit. Dalam garis ini sesuai djuga taktik untuk tidak memasukkan bahasa Belanda dalam pergaulan dengan penduduk, tetapi memakai bahasa² daerah atau lingua franca, bahasa Melaju, jang dengan demikian dibantu oleh Gubernemen menjebarkannja.

Pengadjaran rakjat dengan tudjuan kulturil diserahkan kepada partikelir, termasuk initiatif geredja dan demikian terdirilah beberapa sekolah² zending dan missi, dimana kebanjakan pengadjaran diberikan dalam bahasa Melaju. Penduduk sendiri masih mempunjai sekolah² agama jang telah kita sebutkan dahulu, madrassah, jang tidak banjak pekerdjaannja selain dari mengadjar segolongan ketjil penduduk dalam membatja Koran dan menulis huruf² Arab.

Barulah setelah tahun 1860, ketika dalam zaman menteri Fransen van de Putte mulai masuk politik liberal, maka diputuskanlah setjara prinsipiel, untuk memberikan pengadjaran rakjat, jang lepas dari pendidikan mendjadi pegawai pemerintah. Bersamaan dengan itu diberikan kepada anak² bangsawan penduduk asli, prijaji's, hak mengundjungi sekolah² Belanda. Tetapi keberatan² keuangan jang berhubungan dengan penjelenggaraan pengadjaran rakjat tidaklah begitu tjepat dapat dipetjahkan dan djuga sambungan² pada kebutuhan² jang beragam-ragam itu dalam berbagai-bagai daerah tidaklah dengan segera diperoleh, untuk ini ada dibedakan dalam tahun 1893 antara sekolah² bumiputera kelas satu dan kelas dua.

Setelah tahun 1900, pemberian pengadjaran mendapat dorongan baru, karena timbulnja politik ethis. Dalam perhubungan kolonial ekploitasi akan diganti dengan assosiasi dan dengan memberikan tidak ada batasnja barang² kebudajaan barat, deradjat penduduk asli diangkat selekas mungkin sampai ketingkat kema- djuan Barat. „Annexasi djiwa jang dikehendaki pemuka² politik ini bukanlah karena paksaan terdjadi, tetapi diminta oleh lapisan-atas masjarakat penduduk asli sendiri. Sebagian besar dari mereka masih tetap tidak bergerak dan tidak menghendaki apa²”. (Scouck Hurgronje). Walaupun demikian, tukang² kritik jang hanya mau melihat aspek ekonomi, menjebutkannja politik „jang disebut” ethis: masjarakat meminta tenaga² pekerdja jang terdidik baik dan murah, jang dapat diambil dari negeri itu sendiri.

Pertama-tama masuk ke sekolah² rendah Belanda (Europese lagere scholen) dipermudah bagi penduduk bumiputera. Kemudian sekolah kelas satu bagi penduduk bumiputera, jang telah mendjadi sekolah prijajai dan makin lama makin mengikuti arah pengadjaran Barat, diganti dalam tahun 1914 dengan Hollands Inlandse school (H.I.S.). Disekolah ini diusahakan untuk menjelesaikan rentjana peladjaran sekolah rendah Belanda dalam tudjuh tahun dan murid²nja, disamping bahasa Melaju, harus djuga beladjar bahasa Belanda. Tetapi maksud semula, supaja dengan itu diperoleh sambungan kepengadjaran menengah Belanda (H.B.S.) tidaklah tertjapai seluruhnja. Kesulitan² ternjata masih terlalu besar dan djenis² sekolah jang serasi sebagai sambungan H.I.S. adalah Mulo jang tiga tahun lamanja, jang untuk itu dilepaskan dari sekolah rendah Belanda (E.L.S.) dan karena itu dalam pengadjaran Barat dinegeri ini, berlainan dengan Nederland, mendapat tempat jang organis mendjadi „batu sudut gedung pengadjaran” jang dikelilingi dengan segala perhatian. Sebab sebagai tingkat atas sesudah Mulo ini ada terdapat dalam tahun 1919 Algemene Middelbare School, jang djuga tiga tahun lamanja dengan tudjuan ilmu alam dan pasti (bagian B), dan idjazahnja mempunjai hak² jang sama dengan H.B.S. Dalam tahun 1920 ada didirikan di Bandung bagian klassik barat, dengan bahasa Latin sebagai induk mata peladjaran, tetapi dengan tidak ada bahasa Junani, tetapi selandjutnja sekolah seperti ini tidak didirikan lagi. Umumnja di A.M.S. persentase jang tidak lulus tetap agak tinggi, karena sjarat harus menguasai benar² bahasa Belanda, „mata peladjaran jang mematikan” itu.

Djuga pengadjaran umum untuk rakjat, jang mempunjai salah satu bahasa penduduk bumiputera sebagai bahasa pengantar, tetapi isinja selandjutnja sebenarnja adalah isi barat, diusahakan memadjukannja, lebih² setelah didirikan dalam tahun 1907 sekolah desa, dan dengan itu kita madju selangkah kearah pemetjahan keberatan² keuangan. Kemudian sekolah² ini dengan begitu sadja disebutkan sekolah² desa. Lamanja tiga tahun, tetapi sebagai tambahannja timbullah sekolah² sambungan (vervolgscholen) jang dua atau tiga tahun lamanja, sehingga achirnja sekolah² bumiputera kelas dua jang dahulu tidak berguna lagi dan dalam tahun 1929 djuga dihapuskan. Malahan beberapa sekolah² schakel didirikan dengan maksud mengadjarkan mempergunakan bahasa Belanda selandjutnja kepada murid² sekolah vervolg, jang disana beladjar bahasa Belanda sedikit, supaja dengan demikian mereka dapat mengikuti peladjaran Mulo Belanda. Tetapi sekolah² ini tidaklah sedemikian menarik seperti jang disangka semula. Djuga djumlah sekolah² vervolg masih tetap terlalu sedikit dan apa jang dipeladjari disekolah desa sering hilang. Sedjak tahun 1915 ada terdengar suara² untuk menolak politik pengadjaran jang didjalankan, lebih² oleh Westerveld, jang dengan seru menolak „pembelandaan” pengadjaran bumiputera dan mendapat seorang djurubitjara di Tweede Kamer dalam diri Gerhard, jang telah mengusulkan dalam tahun 1918 untuk mendirikan sekolah² Mulo bumiputera. Gerhard dalam hal ini meneruskan tradisi Van Kol, jang sedjak tahun 1897 mentjela pengadjaran rendah bumiputera sebagai sekolah jang kebarat-baratan dan sebagai sekolah jang terlalu sedikit ditudjukan kepada kebutuhan² rakjat.

Penjia-njiaan bahasa sendiri dan karena itu penjia-njiaan adat² sendiri (djelas ada hubungan seperti dalam bahasa Djawa misalnja, jang mengenal pemakaian ngoko dan kromo kalau berhadapan dengan orang² jang lebih rendah dan tinggi) adalah djuga ditolak dengan sungguh² oleh pastor F. van Lith, ahli bahasa Djawa, jang mendirikan sekolah normal pertama di Muntilan, jang dipakai pemerintah sebagai tjontoh untuk menjusun sekolah² normalnja; lagipula F. Van Lith mendesak, supaja didirikan sebuah sekolah normal jang lebih tinggi, jang „akan membentuk pengarang² bahasa Djawa Baru jang sedang tumbuh, supaja bentuk² Kain Bahasa dengan penuh rasa hormat dan sedap dipandang mata dikembangkan untuk hidup djiwa baru dari Djawa Muda” (Kath. Schoolblad, 30 Djuli 1918).

Perlunja mempertahankan kebudajaan sendiri mulai dirasa oleh orang² Djawa terpeladjar, jang makin memperdalam perhatiannja untuk itu dan jang dalam tahun 1919 mendirikan Java-instituut, dimana djuga banjak bekerdja orang² Belanda jang berminat kepada bahasa dan kebudajaan Djawa.

Kawan jang sependirian dengan Westerveld adalah djuga Dewantoro jang waktu itu hanja dikenal orang sebagai R. M. Suwardi Surianingrat, jang karena pertimbangan² praktis bersedia tidak sedemikian djauh madjunja (seperti ditjeritakan Dr. J. A. Jonkman dalam disertasinja Indonesisch-nationale grondslag van het onderwijs ten dienste der inlandse bevolking, 1918).

Terhadap reaksi ini Pemerintahpun tidaklah menutup telinga dan dari sudut inilah barangkali dapat kita lihat berdirinja sebuah AMS di Surakarta, dengan tudjuan kesusasteraan Timur dalam tahun 1926, jang selainnja seperti rekannja di Bandung untuk kesusasteraan Barat klassik, (kedua-duanja kemudian digabungkan dibawah satu direktoral), tetap tinggal satu²nja sekolah sematjam ini. Tetapi sekolah inipun adalah unik (tunggal) ditindjau dari sudut prinsip, sebagai „usaha jang pertama mempertemukan (synthese) kebudajaan barat dan timur pada pengadjaran landjutan: sekolah ini adalah, dengan berurat-berakar dalam perbendaharaan bahasa, seperti seni dan tuanja bangsa² Indonesia tidak dapat dipersamakan dengan salah satu lembaga pengadjaran dinegeri Belanda” (Dr. I. J. Brugmans). Dalam tahun 1937 achirnja didirikan djugalah sebuah Mulo bumiputera, jakni dengan bahasa Djawa dan sebagian dengan bahasa Melaju sebagai bahasa pengantar, atas initiatif dari Muhammadijah dan dibantu oleh Pemerintah. Ketika itu telah diberikan peladjaran dalam 29 bahasa² jang terpenting diseluruh Nusantara disekolah-sekolah desa. Kira² pada waktu itu sekolah² desa banjak dikundjungi oleh anak², jang sebelum itu sering sebagian harus ditambah dengan perantaraan perintah halus.

Dalam tahun 1935 Dewantoro menulis: „Pendapat mulai tumbuh, bahwa kepada suatu bangsa tidak dapat begitu sadja dipaksakan salah satu susunan pengadjaran oleh mereka jang tidak termasuk golongan rakjat, tetapi suatu susunan pengadjaran hanja mungkin tumbuh, apabila datangnja dari hidup rakjat itu sendiri”, dan ia mengemukakan menjebutkan masa ini masa ethis-rasionil, jang dilihatnja diwakili oleh pendjabat Direktur Departemen Pengadjaran Dr. A. D. A. de Kat Angelino. Perhubungan antara pemimpin Taman Siswa dengan kepala departemen adalah djuga lebih dari perhubungan sympati, sebab pada pertengahan desennia ketiga dalam abad ini ada terdjadi kerdjasama jang boleh dikatakan karib, ketika Direktur Mardeman hendak mengoper permainan² dan njanjian² anak² orang Djawa jang telah dimasukkan Taman Siswa dalam pengadjarannja, dan membantu Taman Siswa dengan adpis.

Djuga ketika Departemen Pengadjaran departemen pertama jang mendapat seorang Indonesia mendjadi Direktur, jaitu Prof. Husein Djajadiningrat dalam tahun 1940, tjita² ini, seperti jang dapat diharapkan, masih diteruskan dan dalam bulan April 1941 ia mengeluarkan sebuah surat edaran tentang melaksanakan setjara systematis penjesuaian pengadjaran bumiputera dengan kebudajaan sendiri dan dengan hidup sosial penduduk, dengan lampiran tjetakan kembali (overdruk) karangan Inspektur H. te Flierhaar jang sengadja diberi kebebasan untuk pekerdjaan ini di Bali (dari Koloniale Studiën, bulan April 1941).

Inspektur ini bekerdja dibawah Dinas Pengadjaran Djawa Timur, dimana Ch. O. van der Plas mendjadi Gubernur jang dianggap Dewantoro sebagai salah satu wakil jang paling baik dari aliran ethis-rasionil dan dengan siapa ia pada tahun² jang lalu menjelenggarakan suatu seri batjaan untuk sekolah² rendah, dimana misalnja karangan² penulis buku anak² seperti P. Louwerse diterbitkan dalam bahasa Melaju. Bagaimana djauhnja sekarang waktu ini dibelakang kita, dapat kita rasai, apabila kita membatja perslah seorang Belanda jang pertama mengundjungi Djokja sehabis perang dan jang melihat, bahwa bagi orang² Republik nama Van der Plas telah tidak dipertjajai lagi sama sekali, berhubung dengan nota rahasianja jang terdapat pada waktu pengoperan administrasi pemerintah dari tangan orang² Djepang, ditudjukan kepada Pemerintah kira² tahun 1932, dimana ia mendjelaskan, bahwa Pemerintah tidak usah menghukum dan menginternir orang² Indonesia terpeladjar, tetapi memberikan kepada mereka setjara sosial persamaan jang benar² dengan orang² Belanda, supaja dengan demikian hati mereka dapat diambil dan berpihak kepada kita, sehingga bagian jang terbesar dari penduduk kehilangan pimpinan politik (Pieter 't Hoen dalam Terug uit Djokja).

Dengan tidak melihat tudjuan, jang disebutkan itu dapat kita katakan, bahwa pendirian jang dianut dalam nota ini memanglah suatu tindakan jang aneh untuk mendidik orang² terpeladjar Indonesia dengan pengadjaran barat dan kemudian tidak memberikan fungsi sosial jang sesuai bagi mereka. Kesalahan atau ketidakmampuan seperti ini harus ditebus di Eropah dengan aliran fascismus; anehnja dalam negeri² djadjahan mungkin membuat tumbuhnja rasa nasional jang disini sebenarnja tidak perlu mendjadi hasil jang tidak baik kemudian.

Orang dapat jakin, bahwa revolusi adalah dalam segala hal tidak dapat dielakkan, tetapi bagaimanapun djuga, orang dapat berkata tentang mentalitet orang Belanda sehabis perang, bahwa mereka datang terlambat (dan tidak tjukup djauh) dan nasib inilah djuga jang menimpa aktivitet Departemen Pengadjaran sehabis perang. Orang² Djepang telah mendjalankan diatas kertas sekolah rendah enam tahun dan kewadjiban beladjar, tetapi sebenarnja pengadjaran bumiputera jang telah ada kutjar-katjir dan diserahi banjak waktu untuk gerak badan dan semangat militer. Tjita² sekolah rendah enam tahun dioper dan disusunlah rentjana baru untuk seluruh pengadjaran, jang melepaskan dualismus (serbadua) lama pengadjaran bumiputera dan barat dan selandjutnja diberi berdasar pandangan² pedagogis dan metodologis jang paling baru sedemikian, hingga seorang orang baru dari negeri Belanda ― dimana setelah perang disegala tempat dibitjarakan djuga pembaruan pengadjaran, tetapi jang dalam praktik demikian sedikit terlaksana ― harus melihat dengan heran, bahwa susunan jang demikian adalah mendjadi pedoman pemerintah resmi, Pelaksanaan sistem ini diserahkan kepada negara² bagian jang telah dibentuk dan jang akan dibentuk, jang dapat memberikan pada tiap² pengadjaran rendah bahasa pengantarnja sendiri (sedang djuga bahasa Belanda akan dipakai sebagai bahasa pengantar pada sekolah² „anak² orang Belanda jang tetap tinggal di Indonesia”), dan djuga isi nasionalnja. Seperti diketahui sentimen nasional telah djuga waktu itu djauh sedikit.

Adalah menarik perhatian untuk mengutip dalam hal ini pendapat seorang - Direktur Pengadjaran dari masa itu, jakni Dr. R. W. van Diffelen, tentang pengadjaran Taman Siswa dalam suatu pendjelasan tentang latar belakang batin pengadjaran dan pembinaan budi pekerti:

Djadi supaja terdapat pengadjaran nasional jang benar², haruslah ditjari kebadjikan² atau sifat² nasional-primer; pada orang² Djawa misalnja perasaannja untuk bentuk²-hidup jang halus dan untuk pergaulan, perasaan tolong-menolongnja dan selandjutnja adat istiadat serta kebiasaan nasional-sekundernja jang memperkuat dan membantu kebadjikan² nasional-primer itu dan memerangi sifat² nasional jang tidak baik, sifat² sebaliknja dari kebadjikan² nasional tadi.

Usaha satu²nja, jang sangat menarik untuk mentjapai dengan djalan ini pengadjaran nasional, adalah dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantoro dalam sekolah² Taman Siswanja.

Pengadjaran jang semata-mata berdasarkan kebudajaan Djawa ini, memakai sifat² nasional-sekunder seperti bahasa, tari²an dan njanji²an, sebagai alat untuk memperkuat sifat² watak nasional-primer.

Praktiknja adalah djauh kurang memuaskan. Sebagai sebab²nja saja lihat ialah kurang memperhatikan nilai² dasar kebudajaan sendiri. Disamping itu kekurangan pengertian dalam arti penjintuhan kebudajaan antara kebudajaan sendiri dan kebudajaan Barat. Barangkali djuga keseganan untuk mendalaminja, karena orang merasa dirinja lebih kuat dan aman dalam pengasingan seperti jang tampak dengan djelas dalam waktu jang terachir ini. Lagipula ternjata tidak diketahui lebih dahulu, bahwa keinginan untuk mentjapai idjazah lebih besar dari keinginan untuk mengenal kebudajaan sendiri, sehingga tumbuhnja gerakan mendjadi djauh terlalu tjepat untuk dapat mendjalankan azas² kita dengan konsekwen; penjebaran pengadjaran nasional ini keluar daerah kebudajaan Djawa adalah suatu kesalahan jang lama-kelamaan tidak dapat tidak melemahkan gerakan. Walaupun ada dalam teori, tetapi karena terlalu ketjilnja penjesuaian kritis terhadap pemakaian sifat² nasional-sekunder, berhubung dengan pembasmian sifat² nasional jang kurang baik, pelaksanaan setjara praktis teori dalam rentjana² peladjaran adalah kurang memuaskan benar. Tetapi kalau kesemuanja diperhatikan, maka Taman Siswa memberi bantuan jang sangat berharga dalam pengertian soal jang sulit ini, dimana seperti jang selamanja terdjadi hanja terlihat bagaimana jang tidak semestinja.

Bahwa kewadjiban ini haruslah terutama mendjadi tugas orang² Indonesia sendiri adalah sewadjarnja. Penjerahan penjelenggaraan pengadjaran rendah dan menengah kepada negara² dan daerah² membuka kesempatan untuk ini.

Pemerintah Federal jang dalam tahun 1949 mengoper kedaulatan Indonesia dari Pemerintah Belanda, masih memegang susunan pengadjaran jang diusulkan itu, tetapi setelah negara kesatuan tertjapai dalam bulan Agustus 1950 sistem ini harus menjerahkan tempatnja kepada sistem jang dipudja Djokja. Dengan ini exitlah djuga politik pengadjaran gubernemen.

Sampai dimana susunan pengadjaran Djokja ini mentjukupi kebutuhan sendiri dan tidak kolonial, masih akan kita selidiki selandjutnja. 6

Zat² makanan:
Asia jang sedang bangun.

Kedua faktor jang diperlukan untuk tumbuhnja gerakan Taman Siswa, jakni murid dan guru, adalah memuaskan dari semula. Berdirinja sekolah pertama adalah tepat pada waktu keinginan dari orang² Indonesia bertambah besar untuk meninggikan deradjatnja dalam masjarakat dengan perantaraan pengadjaran. Untuk tudjuan kemasjarakatan inilah diperlukan penguasaan bahasa Belanda jang baik dan demikianlah terdapat dimana-mana permintaan akan pengadjaran barat. Untuk menampung permintaan ini pengadjaran gubernemen lalai dalam kewadjibannja dan demikianlah waktu itu mendjadi masa emas misalnja bagi guru² pensiunan untuk mendirikan sekolah² partikulir bagi anak² Djawa dari golongan pertengahan jang tidak dapat memperlihatkan haknja untuk masuk kesekolah Belanda, sekolah mana hanja dapat dimasuki oleh anak² jang ajahnja sedikit-dikitnja seorang djaksa. Djuga perkumpulan² jang bertudjuan mempertinggi deradjat ketjerdasan orang² Indonesia, sebagai Budi Utomo dan Mohammadjjah, mendirikan sekolah² dimana sekurang-kurangnja diberikan program H.I.S. dan kadang² pengadjaran jang masih lebih kebelandaan lagi. Dengan memenuhi sjarat² jang telah ditentukan dan dengan menerima pengawasan pemerintah sering sekolah² ini mungkin mendapat bantuan uang dari pemerintah.

Jang penghabisan ini belum pernah dikehendaki Taman Siswa, tetapi kemungkinan untuk menarik tjukup murid², walaupun sekali² perlu berkundjung kerumah untuk mejakinkan orang² tua, diperolehnja djuga dengan mengambil, dalam hal program ketjerdasan, H.I.S. dan Mulo sebagai pedoman. Dalam tahun 1924 djuga telah didirikan sebuah Mulo Taman Siswa. Dengan pedoman ini murid² dapat meneruskan peladjarannja ke A,M.S. setelah membuat udjian masuk, atau mereka dapat turut menempuh udjian Mulo Negeri. Dewantoro merantjang djuga garis petundjuk untuk sekolah schakel, djadi sekolah bahasa Belanda. Djika di H.I.S. pengadjaran dimulai dalam bahasa ibu, di kelas² pertengahan disampingnja diadjarkan bahasa Belanda, jang mendjadi bahasa pengantar dikelas-kelas jang tertinggi (mengadjarkan terlalu lekas sesuatu bahasa asing ternjata mempunjai pengaruh jang tidak baik atas pertumbuhan watak dan ketjerdasan murid²), demikianlah dalam rentjana peladjaran Taman Siswa untuk kedua kelas jang pertama diambil bahasa Djawa sebagai bahasa pengantar, sedang dari bahasa Belanda diadjarkan bentuk² utjapan jang paling perlu, dan dari mulai kelas tiga diadakan pemetjahan dalam mata² peladjaran Belanda”, jang memakai bahasa Belanda, dan „mata² peladjaran Djawa” (misalnja sedjarah), jang memakai bahasa Djawa sebagai bahasa pengantar, dengan tjatatan, bahwa pemakaian tjampur-baur bahasa Belanda dan Djawa harus ditolak dengan keras.

Djika dalam hal murid² waktunja belum datang untuk menggunakan alasan idealistis dan nasionalistis (sebenarnja waktu itu baru datang setelah perang jang penghabisan, ketika dengan tiba² permintaan² untuk masuk sekolah banjak sekali, djuga dari pihak anak² orang jang lebih terkemuka), dalam hal mentjari guru² waktu itu pastilah telah datang. Guru² jang kita temui disini ialah orang² terpeladjar, dididik setjara barat, jang mendapat dari pengadjaran jang diterimanja sendiri, ketjuali barangkali keuntungan sosial, kepuasan untuk dapat berhadapan dengan pendjadjah² Belanda atas dasar ketjerdasan jang sama dan dengan memakai bahasa jang sama, tetapi djuga dalam kehendak jang timbul dimana-mana untuk meniru-niru orang² Eropah, kehendak jang menurut pendapat mereka lahir dari perasaan kurang (minderwaardigheidscomplex) sebagai akibat pertalian² kolonial, mereka mengalami surrogaat (barang tiruan) jang melukai kesedaran diri sendiri. Mereka setudju dengan perkataan² jang memberi peringatan dari pendukung² kebudajaan sendiri, jang melihat bahwa hidup kebudajaan nasional terantjam kutjar-katjir.

Di India Rabindranath Tagore memperdengarkan suara demikian, jang djuga melihat kemungkinan² positif dalam pertemuan dengan Barat, seperti dibentangkannja pada tahun 1916 dalam bukunja The Spirit of Japan: „Timur merasa bahwa ia dapat banjak beladjar dari Eropah, bukan sadja dalam hal alat² tehnik untuk memperbesar kekuasaan, tetapi djuga dalam hal pendidikan batin jang mengenai watak. Eropah telah mengadjarkan kepada kita kewadjiban² jang lebih tinggi, keselamatan umum diutamakan diatas kepentingan² keluarga; kesutjian hukum jang melindungi masjarakat terhadap perbuatan sewenang-wenang seseorang; apalagi kemerdekaan, kemerdekaan rasa hati, berpikir dan berbuat, kemerdekaan dalam tjita² seni dan sastera.”

Disini dapat kita tjatat dengan segera, bahwa Djepang adalah tjontoh jang baik dari suatu negeri jang mengoper pendidikan tehnik, tetapi djustru tidak „pendidikan batin” dan dengan itu mereka sampai dahulu kekemadjuan jang besar, tetapi selandjutnja kemadjuan itu membantu membawa dunia mereka pada tepi djurang untuk djatuh terdahulu kedalamnja. Memang akkulturasi bukanlah permainan anak2. Sebab itu memang berat sebelahnja pendidikan ketjerdasan jang masih melekat pada pengadjaran barat sebagai warisan, dari abad pertengahan jang bersifat agama (Gunning), dan jang baru mulai diprotes oleh pengetahuan ilmu djiwa jang sangat muda itu dalam fasenja jang kedua, merupakan bahaja jang besar dalam penjerahan barang² kebudajaan ini. Tidak berkatanja kejakinan² susila (ethos) jang hanja masih dipakai oleh wakil² kebudajaan barat jang paling baik sebagai bekal hidup (hidup ialah sebagai tugas atas pertanggungdjawaban ethis sendiri dan pertanggungdjawaban religi sendiri) dan karena itu tidak adanja pemikiran kemungkinan adaptasi ethos kebudajaan² timur, membuat pengadjaran ini mendjadi suatu unsur² kebudajaan jang pada bangsa² jang kurang keras hati dan aktif sebagai bangsa Djepang, akan mengakibatkan desintegrasi, jang dialami dengan berbahaja sebagai perpetjahan batin dan dengan diam² (latent) sebagai kekosongan batin. Seperti jang dikatakan Tagore (menurut kutipan Dewantoro): „Hidup kita adalah kutipan dari hidup orang barat; suara kita gema dari suara Eropah; sebagai ganti intellekt kita tidak lain dari sebuah tas penuh dengan keterangan²; dalam djiwa kita ada kekosongan jang demikian besar, sehingga kita tidak sanggup menangkap jang indah dan berharga dalam diri kita.”

Dan apabila ethos sesuatu kebudajaan telah gontjang dari bawah, dengan sendirinja djuga pergaulan-hidup, pendukung kebudajaan itu, gontjang dari bawah. Individu merasa dirinja sendirian dania berhadapan dengan suatu tugas kepahlawanan untuk memelihara ethos baru dan memasukkannja dalam pergaulan-hidup dan tugas ini demikian beratnja, hingga sebenarnja seharusnja djuga tidak didirikan oleh suatu individu, tetapi oleh „waktu”. Keadaan jang demikian hanjalah djuga terdapat pada kebudajaan² jang saling bersintuhan, jang karena itu saling mengantjam dengan kemusnahan (dengan ini tidaklah djuga dikatakan, bahwa jang satu harus timbul sebagai pemenang: mungkin pula terdjadi modulasi baru dari salah satu atau kedua-duanja bersama-sama).

Kepetjahan ini didjelaskan oleh Armijn Pane dengan kata² seperti berikut dalam suatu karangan Naar nieuwe verhoudingen (Menudju perhubungan baru), dalam Panorama 1937, No. 4: „Perasaan ketidaksanggupan, sebagai akibat dari hilangnja keseimbangan jang djustru melaraskan antara individu dan masjarakat, dan dengan itu hilangnja suatu fundamen kebudajaan jang kokoh, membuat djelas tanda² (symptomen) perasaan ketidaksanggupan, jang memantul dari segala tindakan² orang Indonesia dalam masjarakat. Dorongan sesuatu kemauan bersama dari masjarakat, seperti jang terdapat di Bali dalam upatjara agama bersama, tidak ada.”

Menolong ethos sendiri itulah djuga maksud Dewantoro dan ia menundjukkan trio jang dibawa oleh sekolah barat, jakni trio intellektualismus, materialismus dan individualismus dalam saling pengaruh-mempengaruhi, sebagai mula „baik kegelisahan batin kita maupun kegelisahan masjarakat kita” (suatu pikiran jang terutama diperluasnja pada konggres pengadjaran nasional jang pertama di Solo tahun 1935). Adalah djelas, bahwa istilah sifat² jang dihukumnja disini bukanlah berlaku dalam artinja setjara filosofis, tetapi harus diartikan dalam nilai pemakaiannja sehari-hari. Menerangkan idee kebudajaan barat (dan bolehlah dikatakan sifat² ini adalah hanja perobahan² akkulturil), seperti jang ditjoba Tagore dalam kutipan pertama jang diberikan disini, tidaklah pernah sepandjang pengetahuan saja, dianggapnja sebagai tugasnja.

Pengedjekan peradaban barat dalam ketiga sifat jang disebutkan diatas barulah djuga djelas tampak, apabila peradaban itu dilihat dari sudut ethos Djawa jang dipertahankan oleh Dewantoro, dan untuk itu, seperti pada tiap² ethos, kita dapat mengambil tokoh mythis jang mentjiptanja, dan untuk orang² Djawa itulah ideaal Ardjuna.

Ardjuna adalah pahlawan jang mengalahkan radja dewa dan dengan kemenangan ini, kemenangan jang baik atas jang djahat (keinginan egoistis akan kekuasaan) diperoleh kembali keselarasan dalam alam. Kekuatan untuk kemenangan ini didapatnja dengan perantaraan tapa dan pemikiran dalam gua gunung, dimana ia mengasingkan diri, setelah kekalahan jang diderita oleh sanaknja. Dalam kesedaran penuh, bahwa mentjari harmoni abadi, nirwana, ialah tudjuan tertinggi dari hidupnja, tidaklah ia karena itu melepaskan tugas ksatryanja dalam masjarakat, sebab tugas ini adalah telah haknja menurut takdir alam dan menurut takdir ini nirwana akan mendjadi bagiannja, sesudah beberapa waktu, kalau datang waktu jang tepat.

Tjita² Ardjuna ini memanglah suatu tjita² jang sangat sutji dan dapat diterima oleh semua orang, lebih² djuga karena tjita² ini, jaitu mentjapai harmoni batin, sedikit-dikitnja bukanlah bentuk ketenangan rasa hati sendiri jang tidak dapat diterima oleh orang² Eropah, dan jang pada orang² India, jang mempunjai pada umumnja susunan otak jang lebih sulit dari bangsa² barat sedemikian banjak terdapat dan jang mematikan itu bagi segala tjita² untuk perbaikan. Walaupun demikian, harmoni sewadjarnja itu, sungguhpun suatu pikiran jang sangat idealistis, hanjalah perlu dipulihkan, jang dalam hal ini terantjam mempunjai kekuatan jang kurang mengaktifkan dari kekuatan suatu „kemadjuan”, jang djika terpaksa berdasarkan illusi, ditjita²kan (bandingkan dengan pendapat Dewantoro, jang dalam merumuskannja hampir seolah-olah berdasarkan contradictio in terminis, apabila ia menundjukkan „nerimo” (aanvaarding) sebagai dasar „tjita² keatas”). Djuga sikap-hidup jang bernapsu, jang timbul dari tragik hidup (suatu idee jang tidak masuk diakal bagi kebudajaan India, jang berdasarkan keseimbangan kosmis, dimana hidup duniawi paling tinggi dianggap sebagai chajal indah, jang pada achirnja tidak memuaskan) mempunjai suatu kekuatan dorongan jang lebih besar. Untuk mengalami hidup setjara bernapsu, jang djuga untuk mendapat kedalaman batin djustru tidak takut kepada kegelisahan batin jang bagaimanapun djuga, kebentjian akan kegelisahan seperti jang disebutkan diatas ini agak kolot rasanja, walaupun kembali mengutamakan damai dan harmoni ini sebagai tjita² jang tertinggi, memanglah dapat diterangkan dalam suatu kebudajaan aristokratis, jang oleh akkulturasi terantjam hantjur.

Adalah lebih kuat kedudukan Dewantoro sebagai ahli mendidik jang mengerti sebenarnja, bahwa pengadjaran haruslah lebih dari mengadjarkan, dengan tidak ada pertanggungdjawaban batin, pendapatan² dan kebutuhan² peradaban materiel, dan dengan demikian dapatlah dipertahankan dengan tiap² tjara sembojan jang dipakainja waktu ia memulai gerakannja dalam tahun 1922: Kembalilah kepada alammu. Sembojan ini lebih djelas diterangkan dalam azas ketiga dari program-azas, jang dengan itu memulai bagian jang lebih praktis, dan demikianlah bunji lengkapnja:

3.Tentang zaman jang akan datang rakjat kita berada dalam kebingungan. Tertipu oleh kebutuhan² jang dianggap perlu, Jang sebagai pantjaran peradaban asing sukar dipuaskan dengan alat² sendiri, kita betul² turut merusak perdamaian. Tetaplah ketakpuasan bagian kita. Djuga sebagai akibat dari tertipu itu kita mentjari pengadjaran jang berat sebelah kearah intellektualismus, jang membuat hidup kita tidak merdeka setjara ekonomis dan djuga memisahkan kita dari rakjat sendiri. Dalam keadaan bingung ini hendaknjalah kebudajaan kita sendiri kita pakai sebagai titik permulaan, tempat kita melangkahkan kaki madju kedepan. Hanja atas dasar peradaban sendiri ini dapat dilakukan pembangunan dengan damai. Dalam bentuk nasional inilah, dengan tidak ada imitasi, hendaknja bangsa kita berhadapan dengan dunia internasional.

Apa jang diperlukan untuk mewudjudkan pembangunan ini atas dasar peradaban sendiri, dirumuskannja lebih landjut dalam suatu karangan dalam madjallah Taman Siswa Wasita pada tahun 1930: „Untuk mengetahui garis-hidup jang tetap (konstant) dari sesuatu bangsa, perlulah kita mengetahui zamannja jang lampau, mengetahui pendjelmaan zaman jang lampau itu dalam zaman sekarang, dan dengan pengetahuan itu dapatlah kita mendapat kesadaran akan zaman jang akan datang.” „Tjara baru untuk mempengaruhi adalah terdjadi oleh penjintuhan dan pergaulan bangsa jang satu dengan bangsa jang lain dan hal ini sekarang mudah sekali berlaku, karena adanja lalu lintas modern. Tetapi untuk dapat membedakan mana jang baik untuk mempertinggi nilai-hidup kita dan mana jang merugikan kita, haruslah kita awas dan berhati-hati, dan dengan selalu mengingat, bahwa segala kemadjuan dalam ilmu pengetahuan dan dalam bentuk²-hidup adalah kemurahan Tuhan kepada segala manusia didunia, meskipun tiap² orang hidup menurut garisnja sendiri jang tetap.

Terhadap kebudajaan asing Dewantoro tidak menghendaki assimilasi dan djuga tidak assosiasi; nilai² kebudajaan asing harus dinasionalisasikan sebelum dapat dipakai untuk memperkaja kebudajaan sendiri. Setjara teoretis bunjinja memang indah, tetapi adakah djuga mungkin praktiknja dilakukan menurut garis² petundjuk ini? Bahwa pengoperan „pendapatan² ilmu dan bentuk²-hidup jang baru” dapat bertentangan dengan bentuk² adat jang tertentu, Dewantoro menganggapnja bukanlah keberatan jang hakiki: „Bukan kenasionalan sadja jang kita pakai sebagai ukuran (untuk menjelidiki apakah sesuatu baik atau tidak untuk kita), adat nasional kita memang penting sekali dan berguna benar sebagai penundjuk djalan, tetapi apabila adat itu bertentangan dengan keadaan kodrat dalam suatu masa, maka tidaklah ia pada tempatnja. Kita harus membuangnja atau memperbaikinja, sehingga selaras kembali dengan tjita² kita „keatas” (dalam kata penutup Pola Wasita). Djadi disini mengutamakan tjita² keatas, tudjuan humanistis-religieus dari Taman Siswa, daripada mempertahankan kenasionalan, diterima sebagai perkembangan jang sewadjarnja, tetapi alasan menurut keadaan kodrat dalam suatu masa tertentu adalah agak membimbangkan, pertama karena dalam hal ini adalah lebih mengenai kodrat manusia dari kodrat keadaan dan kedua karena disini sedikit sekali kelihatan pertumbuhan jang sewadjarnja, tetapi banjak sekali akkulturasi jang tak terelakkan dengan segala kemungkinan² disharmoni.

Tetapi ada lagi pada proses akkulturasi suatu aspek jang djauh lebih berbahaja, jaitu kenjataan bahwa bekerdjanja tidaklah sadar dan bahwa pandangan baru jang telah didapat tidak dapat dengan mudah dilepaskan: untuk orang² normal regressi (kemunduran) djiwa tidaklah mungkin. Bahwa melindungi garis-hidup sendiri sukar tahan kepada alat² jang lebih diktatorial, adalah djuga dimengerti Dewantoro, seperti jang telah kita lihat, dan ia telah mentjiptakan lagi, walaupun masih ada kekuasaan adat, suatu suasana kebebasan dan pertanggungdjawaban sendiri disekolahnja (tetapi tidak diluar sekolah) dengan harapan untuk menumbuhkan dengan djalan demikian manusia² jang sadar akan dirinja sendiri, bebas dari perasaan kurang, dan dapat bangga akan kebudajaan sendiri, jang unsur²nja dimuat dalam program peladjaran.

Unsur² ini menurut rentjana program peladjaran jang dipakai sebagai petundjuk sementara dalam sepuluh tahun jang pertama (pelaksanaannja adalah djuga bergantung kepada guru² jang ada) ialah a.l. pengetahuan nada dan gamelan, (dan disamping itu tari²an dipeladjari diluar djam² sekolah dan orang bebas mengikutinja atau tidak), pemakaian motif² batik dan wajang waktu menggambar, waktu kepandaian rumah tangga untuk gadis, dan djuga perusahaan batik sendiri. Pengadjaran sedjarah harus ditindjau kembali setjara prinsipiel jang harus lebih mengutamakan negeri sendiri, sehingga sedjarah keradjaan² Mataram, Modjopahit dan Kediri dikedepankan, dimana peristiwa² dan anekdot² diambil dari tjeritera² dan babad² jang masih ada dan kalau mungkin, diadakan ekskursi² sedjarah, sedang sedjarah „Indonesia-Nederland” hanja dibitjarakan jang bertalian dengan itu.

Logika penindjauan kembali jang penghabisan ini hanja dapat dibantah oleh seorang kolonis pendjadjah, djadi tidak oleh seorang manusia jang mempunjai „otak”. Dan tjita² jang disebutkan diatas untuk melindungi kesenian sendiri akan memperoleh sympati dari tiap² pentjinta pendjelmaan kebudajaan manusia, jang telah hampir menjerupai alam dalam kebanjakan bentuknja, seperti djuga harapan bahwa hal itu akan berhasil (di Eropah tjita² William Morris dan perkumpulan Jugendstil untuk mengembalikan ketjekatan dan perasaan kesenian dalam abad pertengahan telah terkutuk tidak berhasil).

Ketjuali unsur² ini untuk memperkuat kekuatan-bertahan batin ada djuga dimasukkan Dewantoro beberapa mata peladjaran untuk memadjukan kekuatan-bertahan praktis, dan untuk ini dimaksud misalnja mata peladjaran baru „ilmu kewargaan” dan barangkali djuga pengadjaran dalam bahasa Inggeris, jang disuruhnja diberikan dikelas enam (bahasa Melaju sebagai bahasa pergaulan antara pulau² adalah sebagai mata peladjaran mulai dari kelas empat). Demikianlah dianggapnja harus dipudjinja apabila dalam sekolah² partikelir seperti Muhammadijah diberikan djuga mata² peladjaran seperti hitung-dagang dan memegang-buku. Tetapi disini hanja dilihatnja tambahan jang ditudjukan kepada jang sosial-ekonomis dan dia kehilangan jang kulturil-nasional. Djuga arah jang ditempuh Moh. Sjafei dengan sekolahnja jang didirikannja di Kajutanam dalam tahun 1926, arah pergaulan pekerdja² dari Landerziehungsheime, dimana mata² peladjaran jang berbagai-bagai itu dipergunakan untuk memadjukan aktivitet, membuat tadjam daja menangkap, berpikir dengan teratur dan merumuskan pikiran dengan tadjam, djuga memadjukan rasa persekutuan, tidaklah diturutnja karena dorongannja jang pertama nampaknja bukanlah jang pedagogis-didaktis, tetapi jang politis-kulturil.

Jang penghabisan ini mempunjai daja menarik untuk orang² Indonesia jang berpihak nasional, djadi jang berpihak idealistis dan karena itu Taman Siswa, bertentangan dengan Ruang Pendidik Sjafei, mendjadi suatu gerakan nasional. Mengadjar bangsa sendiri, dan hal ini dalam djiwa nasionalis, adalah tentu tugas jang sewadjarnja untuk orang terpeladjar, dan pelaksanaannja dapat djuga sekaligus untuk mengembalikan persekutuan jang telah hilang dengan rakjat. Hal ini adalah sesuai dengan azas keempat:

4. Tidak ada pengadjaran, bagaimanapun tingginja, akan berhasil, apabila hanja beberapa lapisan dari pergaulan-hidup sadja jang ditjapai. Daerah² jang lebih luas harus diliputinja. Kekuatan sesuatu negara adalah djumlah kekuatan anggota²nja masing². Sebab itu perluasan pengadjaran rakjat termasuk dalam tjita² kita.

Dan mereka menerima ketiga azas jang berikut :

5. Mendjalankan tiap² azas meminta kesanggupan berdiri sendiri. Sebab itu kita tidak mengharapkan pertolongan dan bantuan, djika hal ini berarti djuga memper- sempit kemerdekaan kita. Kita suka menerima bantuan orang lain, tetapi menolak selalu apa jang dapat mengikat kita. Dengan demikian kita membebaskan diri kita sendiri dari tali² jang memaksa dan dari tradisi² jang menekan dan kita memelihara dalam diri kita sendiri kekuatan bekerdja jang sadar.

6. Karena kita bersandar atas kekuatan sendiri, hendaklah kebersahadjaan sembojan kita. Tidak ada perusahaan didunia, jang berdiri sendiri, tahan lama, apabila ia tidak menolong dirinja sendiri. Sebab itu pada segala usaha Jang kita lakukan, hendaklah selalu „sistem menolong diri sendiri” itu mendjadi metodos bekerdja kita.

7. Bebas dari tali² jang mengikat, serta dengan kesutjian hati kita mendekati si anak. Kita tidak meminta hak, tetapi kita menjerahkan diri dan mengabdi kepada si anak,

Untuk melaksanakan azas² ini Dewantoro memilih bentuk organisasi wakaf bebas. Wakaf ialah suatu jajasan bumiputera bertalian dengan hukum Islam, tetapi dari jang penghabisan ini Taman Siswa ingin tetap bebas. Djuga bentuk jajasan Eropah memberi kesulitan², berhubungan dengan kemungkinan milik tanah. Dalam wakaf bebas ini ada diwudjudkan suatu djenis persekutuan-hidup jang bersahadja, berdasarkan koperasi, dan untuk ini dapat dipergunakan tradisi persekutuan desa Djawa dengan gotong-rojongnja dan dengan bentuk pemerintahannja jang kollektivistis dari rapat orang² tertua didesa itu dan kepala desa jang „dipilih” dengan persetudjuan bersama. Bentuk ini menurut tjoraknja ada sedikit didjadikan lebih formil demokratis dengan pengurus sekolah jang dibentuk dari guru² dan kepala sekolah jang dipilih untuk empat tahun dari antara mereka. Perhubungan madjikan dan buruh tidak ada dan sebenarnja tidak ada djuga gadji dibajar, tetapi dengan permufakatan masing² untuk tiap² orang ada diberikan sedjumlah uang dari kas sekolah untuk menutup ongkos² penghidupan bagi dirinja sendiri (dan bagi jang telah kawin, untuk satu orang isteri dan anak²), jang disebut nafkah. Ketika dalam tahun 1936 gubernemen ingin djuga menagih padjak upah dari Taman Siswa, Taman Siswa memadjukan keberatannja atas dasar tjorak keuangannja, jang menjebabkan perhubungan jang tegang, dimana Taman Siswa memberitahukan, bahwa djika gubernemen tidak mengakui keberatan² mereka, mereka akan memberi djawaban dengan desorganisasi sendiri dibawah sembojan, bahwa kalau begitu dalam tiap² rumah ada sekolah. Djika perlu mereka rela membajar padjak penghasilan, walaupun itu lebih tinggi dari padjak upah. Dalam tahun 1940 pemerintah mengalah untuk kekerasan hati jang sedemikian besarnja dan padjak upah ditarik untuk Taman Siswa.

Djika dengan tjara jang disebutkan diatas dipergunakan setjara praktis rasa orang² Indonesia untuk kerukunan, maka sifat kebersahadjaan Indonesia djuga harus dipakai (jang bentji akan keinginan² barat), sebab untuk dapat memelihara kemerdekaan sendiri tidaklah diharapkan bantuan pemerintah. Lebih² djuga, karena idealismus mereka jang optimistis itu, mereka berhasil dalam tjara jang demikian, bahwa untuk ongkos² satu H.I.S. dapat berdiri empat Taman Siswa!

Djika tjorak sosialistis-demokratis dari bentuk organisasi ini mempunjai daja menarik atas idealismus, pada pihak lain ada ditjiptakan kemungkinan untuk memelihara suatu garis pengadjaran jang sedar akan tudjuannja, karena garis pengadjaran itu mempunjai djuga tjorak patriarchal jang djelas dengan suatu Rapat Orang²-tua sebagai pengurus besar dan dengan hak organisatoris Dewantoro untuk mengambil dalam hal² tertentu keputusan² setjara diktatorial. Salah seorang guru Taman Siswa di Djakarta, jakni Armijn Pane, (jang terutama terkenal sebagai sasterawan dari golongan Pudjangga Baru oleh romannja Belenggu jang disusunnja setjara roman Barat betul) pastilah djuga melihat dalam karangannja Taman Siswa dan pemimpinnja, bahwa keseimbangan tidaklah terus tetap dan bahwa misalnja kadang² timbul individualismus jang terlalu besar. Ia sendiri meninggalkan Taman Siswa setelah beberapa tahun, dan dengan dia beberapa guru² jang lain karena berbagai-bagai alasan, seperti keberatan² biasa terhadap suatu sistem pengadjaran jang bebas, selandjutnja keberatan terhadap menurut pandangannja kurangnja hak turut mengatur (medezeggenschap) dan sedikitnja uang nafkah, dan bahkan djuga karena terlalu kurang penjesuaian dengan pendapat² barat. Jang penghabisan ini menundjukkan dalam hal ini suatu perbedaan pendapat jang prinsipiel, walaupun hanja dalam suatu perasaan ketidaksenangan jang tidak lagi merasa betah dalam suasana Taman Siswa, jang kadang² memberikan kepada tiap² guru terlalu sedikit kesempatan untuk mengatur diri sendiri, sehingga kebanjakan dari mereka djatuh dalam „sikap-nerimo*) jang dipermodern”.

Pada umumnja dapat dikatakan bahwa untuk pemimpin² Taman Siswa, jang dididik setjara barat itu, kembali kepada kebudajaan sendiri, bagaimanapun djuga perlunja untuk memperkuat kesedaran nasional, hanjalah dapat berarti „hidupnja kembali” apa jang telah dimiliki djiwa sendiri, dalam hal jang paling baik, jakni djika tidak ada pertentangan dengan pendapat² lain jang telah dimiliki. Apabila setjara batin „hidup kembali” itu ternjata tidak mungkin, maka memanglah dapat ditjapai suatu bentuk, tetapi haruslah djuga diisi anggur baru dalam gentong lama dan dengan ini „hidup kembali” itu mendjadi tidak lebih dari suatu kegagalan politik. Demikianlah untuk sesuatu jang baru, jang timbul karena alasan² praktis, seperti pembagian sistem persekolahan dalam empat bagian, menurut kata Armijn Pane, ditjari djuga dengan radjin persamaan²nja dalam zaman Djawa Kuno, lebih² Ki Tjokrodirdjo di Semarang „banting tulang benar²” untuk ini, seakan-akan pertolongan satu²nja datang dari situ.

Ada baiknja untuk menjebutkan sekali gus, disamping kemungkinan pemilihan pura² itu, djuga pengoperan pura² jang telah sering diperlihatkan oleh kebudajaan Djawa aneh itu dalam sedjarahnja, dimana dioper bentuk² baru dengan tidak merasainja setjara batin, djadi gentong² baru diisi dengan anggur lama (de plus ça change, de plus ça reste le même = makin berubah, makin tetap tinggal itu-itu djuga), dan bahaja ini, sepandjang mengenai Taman Siswa dan gerakan nasional, kita alami hampir hanja dengan bentuk² kebalikan kebudajaan barat, seperti misalnja dengan azas² pengadjaran bebas dan dengan pengadjaran sosialismus.

Demikianlah setjara instruktif ada harganja untuk tjorak sosialistis gerakan nasional utjapan Dr. Tjipto Mangunkusumo (dalam Suara Parindra, Nop.-Des.1936): „Mereka (Indische Partij dan Partai Nasional Indonesia) revolusioner, tetapi hanja revolusioner terhadap kekuasaan jang asing dari nasional, jang memerintah

_______________

  • ) sikap-menjerah disini. Mereka marhaen, karena mereka berpendapat, bahwa seluruh rakjat, dalam segala lapisannja, telah mendjadi marhaen. Tetapi terhadap susunan asli rakjat bumiputera tidaklah mereka revolusioner. Kadang² malahan mereka mau menghidupkan kembali bentuk² jang telah kolot.” Djadi kita lihat disini, sosialismus tampak dapat diassimiler, tetapi harus dinasionaliser dan bertjorak marhaen. Untuk kaum terpeladjar, jang telah merasa sebagai individu, karena pendidikan barat mereka, jang telah mengikuti sosialismus, haruslah lebih penting mentjiptakan pertalian² baru daripada unsur perdjuangan kelas, jang walaupun demikian, harus ikut diterima mereka sebagai sesuatu jang tak terelakkan. Dengan mulai dari sini tjorak sosial dari revolusi Indonesia akan berharga untuk ditulis.

Oleh bentuk² pura² dari akkulturasi seperti jang telah kita berikan, djuga oleh tjorak politik kultur Taman Siswa, adalah sulit sekali, lebih² djuga dalam bentuk organisasinja, untuk membedakan sesuatu jang lama dari jang baru dan sesuatu jang prinsipiel dari jang opportunistis. Demikianlah dalam hal ini tidak mengharapkan subsidi gubernemen untuk dapat mempertahankan kemerdekaan sendiri adalah putusan jang prinsipiel, tetapi seperti kita lihat, kemerdekaan ini bukanlah semata-mata karena tidak mau tjotjok dengan program pengadjaran. Kemerdekaan apakah kalau demikian? Ada perkara guru² tidak berwewenang, jang merupakan sebagian besar dari pekerdja² Taman Siswa (dan sampai sekarang masih demikian). Orang mau mempertahankan kemerdekaan untuk mengangkat mereka, karena bagi Taman Siswa jang perlu bukanlah „wewenang”, tetapi ketjakapan. Tetapi inipun boleh kita sebutkan adalah suatu keinginan jang lebih opportunistis dari prinsipiel. Dalam waktu sebelum perang memanglah telah mungkin dengan segera untuk mewadjibkan idjazah sendiri, dengan mendirikan sekolah guru sendiri.

Ada djuga diberikan alasan lain untuk menolak subsidi, jakni kejakinan jang nampaknja dioper Dewantoro dari Gandhi, bahwa sjarat bagi sesuatu bangsa untuk mempertahankan kemerdekaannja adalah terletak dalam tidak bergantungnja dari bangsa lain setjara ekonomis. Gandhi (jang djuga telah pernah bekerdja sebagai guru dalam ashrama Tagore) mempropagandakan untuk itu, seperti telah kita ketahui, supaja kembali kepada keradjinan tangan jang dahulu sekali, jakni bertenun dengan tangan. Dewantoro, kita lihat dalam azas ketiga, mengedjek ketjenderungan „kepada pertumbuhan jang berat sebelah, pertumbuhan ketjerdasan semata-mata, jang membuat kita tidak bebas setjara ekonomis.” Tetapi prinsip ini tidaklah setjara konsekwen diteruskan.

Untuk gubernemen penolakan ini berarti, bahwa pengadjaran disekolah-sekolah ini lepas dari pengawasannja. Ketika setelah perkembangan² revolusioner pertama dalam gerakan nasional, pemerintah dinegeri ini dengan Gubernur Djenderal B. C. de Jong dalam tahun 1931, dengan persetudjuan pemerintah dinegeri Belanda, mengambil arah politik jang tegang konservatif dan ketika orang mulai takut kepada momok politik mempengaruhi penduduk kearah jang tidak diingini, pemerintah itu mengeluarkan dalam tahun 1932 jang disebut wilde scholen-ordonnantie (undang² sekolah liar). Hal ini terdjadi setelah Direktur Pengadjaran dan Ibadat pada waktu itu mengurangi anggaran departemennja dari 70 djuta mendjadi 21 djuta, tetapi jang ditolak oleh Volksraad. Demikianlah dapat kita mengerti, mengapa Dewantoro, setelah diadjukan ordonnansi ini pada Volksraad, mengirimkan telegram kepada Gubernur Djenderal di Bogor :

P.j.m., pelaksanaan diktatoris dari ordonnansi, jang besar artinja itu untuk rakjat setjara sosial-kulturil dan jang tergesa-gesa disiapkan, setelah tidak diterimanja anggaran belandja pengadjaran, memberi kesan adanja kegugupan pada pemerintah jang salah tangkap setjara berbahaja dalam hal kepentingan² vital rakjat stop saja peringatkan, bahkan orang jang tidak dapat pertahankan diri sendiri istingtif pertahankan dirinja untuk keselamatannja seperti kami mungkin melakukan perlawanan passif jang seru karena terpaksa.

Ordonnansi tersebut terombang-ambing beberapa kali antara volksraad dan pemerintah. Departemen pengadjaran mengadakan pembitjaraan dengan pengurus besar Taman Siswa, Ordonnansi jang semula diurungkan satu tahun lamanja dan selandjutnja diganti dengan jang baru, dimana biang keladi jang terutama, jakni perlu adanja pengesahan lebih dahulu oleh pemerintah untuk mendirikan sekolah partikelir jang dibelandjai atau tidak dari kas pemerintah, telah dihilangkan dari dalamnja dan diganti dengan diwadjibkannja memberitahukan sesuatu usaha mendirikan sekolah partikelir jang demikian, dan kemungkinan dilarangnja pengadjaran jang diberikan oleh pengadjar² pada sekolah² demikian, untuk kepentingan ketertiban umum atau kepentingan pengadjaran, (belum disebutkan lagi kemungkinan dengan perantaraan exorbitante rechten (hak² luar-biasa membuang orang² jang politiknja ditjurigai dengan segera). Ini berarti pengawasan politik jang tentu sekali oleh P.I.D.(Politieke Inlichtingen Dienst, sedjenis polisi politik) dipraktikkan dengan kesempitan djiwa jang diperlukan, dimana sebuah portret Diponegoro pada dinding dan bendera Sang Merah Putih jang dikibarkan dengan menjanjikan lagu Indonesia Raya (Sang Merah Putih dan Indonesia Raya telah dinjatakan sebagai lambang² nasional oleh Konggres Pemuda dalam tahun 1928 di Djakarta) dapat dipakai sebagai corpora delic-delicti (tanda² bukti).

Tentulah Taman Siswa tidak melupakan dalam keadaan ini untuk memberitahukan pendiriannja mengenai soal² politik dalam pengadjaran dan mengenai kejakinan politik guru². Dewantoro mendjelaskannja a.l, dalam karangannja Kembali keladang dalam madjalah Taman Siswa Pusara bulan Maret 1933, dimana Taman Siswa sebagai organisasi sosial dibandingkan dengan ladang, jang ditanami tanam²an jang perlu untuk penghidupan, sedang gerakan nasional-politik dalam hal ini dianggap sebagai pagar, jang melindunginja terhadap binatang² dan manusia² jang merugikan. „Djadi diluar semua perumpamaan itu dapat pula kita katakan, bahwa Taman Siswa tidak ada perhubungannja sama sekali dengan politik. Memang gerakan politik nasional mendjaga, supaja kemadjuan sekolah nasional itu djangan dialang-alangi, sehingga pendjagaan pemuda² nasional tidak terganggu, karena pendjagaan itu berarti pembangunan nasional. Politik tidak boleh dimasukkan disekolah. Guru dilarang keras membawa politik disekolah, karena Taman Siswa berpendapat, bahwa politik bukanlah makanan anak² ketjil. Bahkan suasana politikpun tidak boleh dimasukkan disekolah. Tentu sekali dalam hubungan ini mendjadi anggota sesuatu partai politik, artinja ikut dalam politik praktik, haruslah dibatasi dan diatur oleh guru². Guru Taman Siswa boleh mendjadi anggota sesuatu partai politik, tetapi harus memperhatikan jang tersebut diatas. Lain dari pada itu ada lagi peraturan Taman Siswa, bahwa tiap² guru harus berdjandji, bahwa diatas segala-galanja keperluan sekolah harus diutamakannja. Taman Siswa meminta dari guru, supaja memberikan seluruh djiwanja kepada pendidikan anak². Hal ini hanja mungkin didjalankan, apabila pekerdjaan untuk itu dipandang sebagai nomor wahid. Bahkan masih banjak lagi jang diminta oleh Taman Siswa, sebab menurut „tjita² Paguron” jang dianut oleh Taman Siswa, guru harus melihat dalam pekerdjaan pendidikan itu tugas hidupnja. Sebab itu pemimpin² sekolah dilarang djuga mendjadi anggota pengurus sesuatu partai politik atau turut dengan aktif dalam pekerdjaan partai (lihat Peraturan Taman Siswa, diterbitkan dalam tahun 1935, hal. 11). Demikianlah menurut Mangunsarkoro dalam karangannja Het nationalisme in de Taman Siswa-beweging dalam Kol. Studiën 1937. Setelah revolusi petjah peraturan jang penghabisan ini hilang dengan diam².

Bagaimana dahulu eratnja selalu hubungan Taman Siswa dengan gerakan nasional, dapat kita batja dengan baik dalam roman Buiten het Gareel, karangan Suwarsih Djojopuspito, jang sebagai isteri pemimpin sekolah Taman Siswa Bandung dan sebagai guru bertahun-tahun turut mengalami hidup „disekolah liar” sebelum perang. Roman ini, jang lebih mendekati „document humain” daripada roman, adalah mula² ditulis dalam bahasa Sunda, tetapi Balai Pustaka tidak mau menerimanja waktu itu untuk diterbitkan, dan sebab itu ditulisnja lagi dalam bahasa Belanda, dan dengan kata pendahuluan Du Perron diterbitkan dalam tahun 1939 dinegeri Belanda. Buku ini sympatik sekali, diliputi sedikit oleh suasana melancholik dari tjeritera idealismus jang tidak luntur² nja oleh penderitaan², tetapi dengan diam² dipatahkan dari bawah oleh usaha manusia jang melumpuhkannja dengan kebiasaan dan pandangannja jang sempit. Beberapa peristiwa masih terpateri dalam hati: sifat „nerimo” fatalistis jang mendjadi bagian guru² dan jang hanja memberi djalan untuk saling tjemburuan dengan djiwa jang sempit; salut penghormatan anak² kepada bendera dilakukan dengan tjara militer-fascistis; dan Sulastri, peranan utama dalam buku ini, jang pada achirnja hanja akan membuat kuwe² untuk anaknja „apabila P.I.D. dan Gerakan Wanita Indonesia menjetudjuinja ....”

Hubungan dengan gerakan nasional tetap terpelihara sampai penghabisan, berkat keuletan batin Dewantoro jang tahu mengartikan dan mengikuti segala perubahan² perkembangan politik. 7

Nasionalismus Indonesia
dienten pada batang Djawa dan “pengenten”
Sarmidi Mangunsarkoro.

Tiap² pemuka biasanja selalu mengatasi pengikut²nja dan menarik segala perhatian kepadanja, walaupun harus djelas, bahwa untuk berdirinja sesuatu pekerdjaan tenaga² kemudian dapat mempunjai bagian jang sama pentingnja atau bagian jang bahkan menentukan nasib pekerdjaan itu. Apabila saja disini setelah Dewantoro hendak memperkenalkan Mangunsarkoro sebagai orang kedua dari gerakan Taman Siswa, maka saja berbuat demikian adalah berpendapat, bahwa untuk bentuk Taman Siswa jang terachir ia mempunjai djasa² jang sama pentingnja. Sebab itu ada baiknja disini, sebelum kita membitjarakan peranannja dalam perkembangan Taman Siswa, memberikan djuga suatu rentetan singkat dari perdjalanan hidupnja.

Lahir pada tanggal 23 Mei 1904 di Solo, djelaslah Mangunsarkoro, djuga dalam hal umur, termasuk dalam angkatan kedua dikalangan guru² Taman Siswa. Ajahnja adalah seorang pegawai susuhunan Solo, sehingga ia besar dalam suatu suasana tradisi dan konvensi dan prioritet feodal, dengan perbedaan jang besar dalam kemakmuran antara aristokrasi dan orang kebanjakan dari rakjat. Ada ditjeritakan (dalam karangan Mangunsarkoro and the common Man dalam Republican Review bulan Desember '49), bahwa ia sedjak ketjil telah bentji kepada tjontoh² perkosaan jang banjak itu disekelilingnja dan dalam hal ini termasuk djuga pada anggapannja perbedaan deradjat antara pegawai² Belanda dan Indonesia jang sama pangkatnja. Masa mudanja ini meninggalkan kesan²nja selama hidupnja seterusnja.

Orang tuanja mengirimnja bersekolah kesekolah Tehnik di Djokja, dimana ia memperoleh dua idjazah. Tetapi waktu itu ia telah djuga mentjapai kematangan djiwa, telah mendjadi ketua tjabang Djokja perkumpulan Jong Java, dan menempuh djalannja sendiri. Hal ini berarti ia pindah ke Djakarta, dimana ia mengikuti peladjaran mendjadi guru pada kweekschool Ardjuna, kepunjaan perkumpulan Theosofi. Ia djuga waktu itu adalah anggota Young Theosophical Society dan turut dalam perkumpulan debat dibawah pimpinan Prof. Wertheim, dimana dibitjarakan soal² sosial dan soal² filsafat. Dalam politik ia memilik P.N.I. Sukarno, jang berarti untuk dia dengan wataknja lebih dari suatu formalitet. Dalam tahun 1928 ia turut dalam konggres pemuda nasional jang telah tertjatat dalam sedjarah Indonesia itu, dimana diambil resolusi jang penting: satu tanah air, satu bahasa, satu bangsa.

Ia waktu itu telah mendjadi kepala sebuah H.I.S. jang didirikan oleh Budi Utomo di Djakarta. Tahun berikutnja didirikanlah sekolah Taman Siswa jang pertama di Djakarta atas permintaan penduduk Kemajoran dan beberapa bulan setelah pembukaan itu Mangunsarkoro menggabungkan diri bersama-sama sekolahnja dengan sekolah Taman Siswa itu. Ketjuali sebuah sekolah rendah dibuka djuga sebuah sekolah sore untuk pengetahuan umum rakjat.

Windu pertama waktu itu dalam hidup Taman Siswa telah lewat, orang bekerdja

Taman Siswa (page 44 crop)

Sarmidi Mangunsarkoro
... pengenten nasionalismus Indonesia pada batang Djawa ...

dengan tidak banjak ribut dan pada konggres pertama dalam tahun 1930 ternjatalah gerakan itu telah mempunjai 82 tjabang dengan 6319 orang djumlah murid seluruhnja. Dua tahun sadja kemudian djumlah tjabang?nja telah lebih dari dua kali lipat (168), tersebar dari Atjeh sampai ke Ambon dan dari Kalimantan sampai ke Bali, dan djumlah murid hampir (10.639). Perluasan jang tjepat ini tidak boleh tidak ada hubungannja dengan suatu pembaruan batin, walaupun bukan itu sadja.

Akibat krisis tahun 1929, jang membuat Pemerintah terpaksa mendjalankan penghematan dalam berbagai-bagai lapangan (dalam tahun '34 anggaran seluruhnja, jang pernah berdjumlah 1500 djuta, dikurangi sampai 400 djuta) dan mendjadikan dihentikannja perluasan pengadjaran, dan bertambah besarnja pengangguran, djuga dikalangan guru² jang baru tammat dari kweekschool, tampak dimana-mana. Karena permintaan akan pengadjaran tidak berkurang, bertambahlah pula dengan tjepat sekolah² liar pada umumnja. Ordonnansi pengawasan pengadjaran partikulir, jang telah kita sebutkan dahulu, telah mendjadi perlu dalam keadaan ini, ditindjau dari sudut sosial, karena dengan ordonnansi ini mungkinlah diadakan kontrole tertentu, misalnja kontrole atas ruangan sekolah dan atas harapan² jang ditimbulkan nama² sekolah itu pada orang² tua murid. Telah diatur hak² pemakaian nama (jakni H.I.S.) dan hak persamaan, jang dapat diberikan kepada sekolah² partikulir, jang memintanja dari inspeksi departemen pengadjaran dan jang mentjapai pada laporan inspeksi sekurang-kurangnja angka 5 (untuk hak pertama) atau sekurang²nja angka 6 (untuk hak kedua). Sekali dipersamakan (jang djuga untuk orang² tua menguntungkan dalam penetapan uang sekolah, sepandjang mereka masih mempunjai anak² lain disekolah-sekolah gubernemen), tjita² berikutnja adalah subsidi tentu, jang hanja diberikan, apabila sekolah itu menurut pendapat gubernemen benar² dibutuhkan. Subsidi ini biasanja diberikan sekali gus kepada sedjumlah sekolah² jang dengan teliti dibagi-bagi dikalangan berbagai-bagai kejakinan agama, djadi diantara sekolah² protestan, katolik, islam dan netral. Adanja sekolah netral istimewa menundjukkan, bahwa orang² Belanda jang lebih makmur tidaklah bersenang hati dengan Europese Lagere School kepunjaan gubernemen (jang dalam kota² besar masih pakai nomor, kurang lebih menurut kelas² kekajaan orang² tuanja). Djadi supaja djangan terikat dengan salah satu sekolah² zuster atau zending jang banjak itu, maka haruslah didirikan sebuah sekolah netral istimewa, tugas mana memberi lebih banjak penghargaan orang kepada adanja organisasi² batin seperti loge vrijmetselaars. Seperti kita lihat, djuga perkumpulan theosofi aktif dalam lapangan ini, sungguhpun hanja terutama dengan menjelenggarakan beberapa H.I.S. Sebagai perkumpulan idealistis jang bertudjuan untuk memperkenalkan djuga filsafat timur dibarat(dan pada achir abad jang lalu memang dapat dengan tjara demikian menarik kaum elite dalam lapangan batin, tetapi selandjutnja merosot dan lebih dapat menarik setengah-setengah intellektuil), tidak dapat tidak agak menarik bagi orang² Indonesia.

Djadi kalau disimpulkan, kita harus berkata, bahwa sekolah² partikulir meliputi seluruh lapangan, bukan sadja dibawah tingkat sekolah² gubernemen, tetapi djuga diatasnja.

Tetapi sekarang kita kembali kepada Taman Siswa untuk membitjarakan pembaruan batinnja. Pendjelmaannja ialah tugas jang diberikan oleh konggres tahun '31 kepada Mangunsarkoro untuk menjusun suatu rentjana peladjaran baru, jang pada satu pihak lebih bersahadja bentuknja dan pada pihak lain lebih kuat bertudjuan nasional dengan mengambil seboleh-bolehnja bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan bahasa Belanda hanja sebagai mata peladjaran, dimana mungkin baru mulai dari kelas tiga, rentjana mana diterima baik dalam tahun berikutnja, bersamaan dengan penerimaan oleh konggres 32 ini prinsip pekerdjaan zending. Pemberian pengadjaran jang diperlukan kepada golongan² penduduk, jang tidak dapat ditjapai oleh sekolah² gubernemen, seperti sampai sekarang jang dilakukan, dihargai orang sebagai pekerdjaan menolong, tetapi mulai sekarang haruslah lebih diawasi tudjuan sendiri. Konkordansi (persamaannja dengan negeri Belanda) Mulo Gubernemen telah dihilangkan, djuga disekolah-sekolah ini akan lebih diatamakan unsur² sendiri: mata² peladjaran ethik, sedjarah kebudajaan, bahasa nasional, musik dan tari²an dan seterusnja djuga pengetahuan masjarakat harus lebih diperhatikan. Seboleh-bolehnja bahasa sendiri dipakai sebagai bahasa pengantar pada pengadjaran.

Sekali mengikuti djedjak „zending” maka perdjalanan diteruskan dengan penuh semangat. Djalan telah djelas terbentang didepan mata. Dan ketika tjabang Taman Siswa Djakarta memutuskan pada tahun 1933 untuk mendirikan sebuah Taman Dewasa Raya, sebagai landjutan Taman Dewasa jang dimulai pada tahun 1931, maka Taman Siswa menuntut, supaja didalamnja djuga didjelaskan tjita² zending itu. Dengan sembojan Menudju Masjarakat dan sekolah tinggi nasional didirikanlah Taman Dewasa Raya dengan program, jang boleh dikatakan „literer-ekonomis”. Mengapa literer-ekonomis? Sifat kesusasteraan (sastera Timur) menjatakan tjita² pembangunan kebudajaan sendiri. Program ekonomis itu timbul dari pandangan, bahwa kalau tidak ada pengetahuan ekonomi tidak dapat bangsa Indonesia bertahan dalam perputaran rumah tangga dunia jang besar itu. Demikianlah Taman Dewasa Raya mempunjai tjorak tersendiri pula. Dengan sedar Taman Dewasa Raya bertudjuan mendidik pekerdja² untuk pergaulan-hidup jang akan datang, berdjiwakan tjinta jang besar kepada bangsa dan tanah air. Bukankah itulah djuga tudjuan tjita? „zending”Taman Siswa?

Dan dalam hal jang telah dibentangkan diatas kita lihat dengan djelas perkembangan Taman Siswa dalam lapangan nasional-kulturil. Perkembangan setjara kulturil itu mentjapai titik puntjaknja dalam reorganisasi Taman Siswa selama konggres bulan April tahun 1936. Dengan djelas Ki Hadjar Dewantoro mengatakan waktu itu, bahwa tiap² anggota Taman Siswa harus menganggap dirinja sebagai saudara seperguruan anggota lain. Nasionalismus kulturil dalam Taman Siswa telah mendjadi kepertjajaan luhur, mendjadi aliran djiwa (Mangunsarkoro, Kol. Studien '37 hal. 291—292).

Perkembangan ini barangkali dapat saja sebutkan sebagai suatu aliran Kembali kepada jang nasional dari berdirinja sampai kealiran Madju kepada jang nasional, suatu orientasi kepada masa jang akan datang, seperti djuga disamping Dewantoro, orang jang mempertahankan kebudajaan nasional jang masih ada, dapat dibedakan Mangunsarkoro, sebagai orang jang bertjita-tjitakan pembentukan kebudajaan baru Indonesia. Djadi dalam hal ini Taman Siswa dengan sedar menerima dan mengikuti penggantian bahasa Melaju mendjadi „bahasa Indonesia”, sebagai bahasa persatuan nasional dinjatakan oleh konggres pemuda, Itulah jang dirumuskan oleh Prof. C. C. Berg seperti berikut: „Sudah sedjak antara tahun tiga puluh dan empat puluh pemimpin sekolah² Taman Siswa, jang memulai perdjalanan hidupnja jang aneh itu dengan aksi untuk melindungi kebudajaan Djawa, telah meninggalkan tjita²nja dan menerima prioritet kepentingan Bahasa Indonesia” (lihat Orientatie no. 14, hal. 17). Tetapi utjapan ini menurut pendapat saja agak terlalu dilebih-lebihkan. Penerimaan prioritet tersebut untuk Dewantoro sebenarnja tidaklah berarti sama sekali, bahwa telah ditinggalkan penjelenggaraan kebudajaan dan bahasa Djawa. Bukanlah djuga begitu pilihan jang akan dibuat. Jang penting ialah bahasa manakah jang akan mendjadi bahasa pergaulan umum untuk semua orang² Indonesia dan dalam tahun duapuluh-tigapuluh adalah seakan-akan bahasa Belanda jang paling banjak harapannja untuk itu. Tetapi orang² Belandajang konservatif setudju dengan politik seboleh-bolehnja membatasi pemakaian bahasa Belanda untuk orang² Indonesia terpeladjar jang makin banjak itu (karena hak² jang dibawa oleh bahasa Belanda itu), sedang pada pihak lain gerakan politik nasional jang makin madju itu berpendapat, bahwa bahasa Melajulah jang lebih baik dipakai untuk kontak dengan pendudukan. Kedua faktor itulah jang membuat kemenangan bahasa Melaju seperti didjelaskan oleh sasterawan Indonesia Takdir Alisjahbana, jang mempunjai djasa jang paling besar dalam perkembangan bahasa ini, dalam karangan Bahasa Indonesia, hasil sampingan nasionalismus Indonesia (Pacific Affairs, Des. '49). Melihat alternatif itu, maka tidak sulit untuk mengerti, bahwa Dewantoro dapat menjetudjui perkembangan ini. Bahkan achirnja bahasa Melaju jang berasal dari pulau Sumatera itu adalah bahasa timur (jang tjiri²nja misalnja memperlihatkan ketjenderungan kepada bentuk² kata kerdja jang tak berwudjud dan jang passif), jang telah dikenal orang dari dahulu di-pulau² Nusantara, sehingga kurang membawa bahaja untuk bertambah djauh dari tjorak sendiri daripada suatu bahasa barat dan ditindjau dari sudut politik, bahkan membawa keuntungan jang besar.

Walaupun begitu, dilihat dari hubungan sedjarah memang ada terdjadi disini suatu perputaran prinsipiel dalam proses akkulturasi di Indonesia, jang terutama akan ternjata dalam waktu j.a.d. Memindjam atau mengoper pengetahuan kebudajaan asing dalam bahasa negeri sendiri, djadi suatu bentuk nasionalisasi dan dengan demikian salah satu keinginan dari gerakan Taman Siswa, telah dimulai dan proses memindjam dan memiliki ini, supaja bahasa pada umumnja dapat terpakai, setjara kilat dipertjepat oleh perdjalanan kedjadian² jang dibawa pendudukan Djepang, diantaranja bahasa Belanda dihapuskan dan sambil menunggu kemungkinan dimasukkan bahasa Djepang, diwadjibkanlah bahasa Indonesia untuk pemakaian umum dan karena proklamasi Republik Indonesia dan diterimanja bahasa Indonesia dengan resmi sebagai bahasa negeri, dimaksud selandjutnja untuk didjalankan seluruhnja.

Tetapi tentu sekali nasionalisasi „jang asing” ini mempunjai djuga tjorak adaptasi „jang asing”. Bahkan inilah misalnja tudjuan jang dengan sedar ditjita²kan Alisjahbana. Sebagai orang Sumatera ia tidak dialangi oleh suatu kebudajaan jang telah sampai kepuntjaknja seperti kebudajaan Djawa dan ia lebih mudah dimasuki pandangan akan kekurangan? dan tjorak terbelakang masjarakat sendiri terhadap bentuk² masjarakat barat. Dalam gerakan kesusasteraan, jang mulai mendjelmakan dirinja dalam madjalah Pudjangga Baru sedjak tahun 1932 dan jang salah satu pemimpinnja adalah Alisjahbana sendiri, ia mempropagandakan djuga suatu orientasi ke barat untuk menggerakkan feodalitet sendiri jang telah mati itu, Karangan²nja dan karanga² teman sependirian dengan dia bernapaskan elan dan suka tjita hidup, jang memang mempunjai segala tjiri² suatu renaissance.

Dalam karangannja Menudju masjarakat baru dan kebudajaan baru (Pudjangga Baru '35) ia mengambil dasar perpetjahan jang tadjam dan hampir mutlak antara Indonesia dan prae-Indonesia sebagai kenjataan dan sebagai tjita². Kebudajaan Indonesia jang sedang tumbuh itu adalah radikal berlainan dari kebudajaan jang dahulu atau dari kebudajaan² Nusantara jang dahulu. Radikal berlainan bukanlah sedemikian dalam hal, bahwa tidak ada sama sekali tinggal dari bekas² kebudajaan² tua dalam Indonesia abad keduapuluh, tetapi radikal berlainan, karena semangat Indonesia jang memberi djiwa kepada kebudajaan jang penghabisan, adalah sesuatu jang baru sama sekali. Jang menetapkan kebudajaan bukanlah sebenarnja sedjumlah unsur² kebudajaan jang lepas, tiap² kebudajaan dikuasai dan diberi bertjorak oleh suatu tjita², oleh suatu motif pendorong, dan itulah disini suatu djiwa, suatu tjita² jang fundamentil dapat dibedakan dari motif² pokok beberapa kebudajaan jang dahulu dinegeri ini. Dan hal itu adalah berkat dorongan² Barat, jang telah memberikan kepada Indonesia dynamik jang tak akan dapat ditinggalkannja lagi. Sebab itu djuga bukan restaurasi, serahkanlah itu kepada ahli² kamar beladjar jang botak dan jang sabur mata.

Tetapi djuga bukan imitasi –– itu baik untuk kaum lemah. Bukanlah untuk mereka jang mempunjai debaran hati muda lagi keras dalam dada. Kemauan Indonesia untuk bersatu bukanlah berakar dalam zaman jang akan datang. Dan apa jang diperlukan Indonesia akan bahan² pembangunan, bukanlah terdapat pertama-tama dalam zaman silam sendiri, tetapi di Barat, bagaimanapun anehnja terdengar bagi orang² idealist. Sebab dengan tidak ada dynamik Barat (jang bahkan memberi nama kepada Indonesia), sungguhlah tidak akan mungkin untuk turut kembali dengan bangsa² lain didunia ini. Kita selalu dapat melihat, apa jang masih dapat dipakai dan dapat diolah dari kebudajaan² prae-Indonesia. Tetapi itupun djuga pada hakekatnja akan mendjadi lain karena ditjiptakan kembali oleh suatu djiwa baru. (demikianlah kesimpulan karangan ini diberikan Dr. A. Teeuw dalam timbangannja mengenai bundel Polemik Kebudajaan dalam Nieuwsgier, Nop. '49).

Pertentangan jang lebih besar dengan tjita² Dewantoro, jang sebagai reaksi atas prae-Indonesia Alisjahbana menjebutkan tjita² Alisjahbana itu sebagai Indonesia-Futura, bukan futurisme terhadap Indonesia-Realia sendiri, tidaklah dapat dipikirkan. Dewantoro dalam hubungan ini menjusun teorinja jang disebut teori-tri-con. Disini ia mulai dengan kebudajaannja jang historis berakar itu, kebudajaan jang ia jakin akan nilai batinnja dan pertjaja akan kekuatan tumbuhnja dan sebab itu ia setudju dengan perkembangan continue dari kebudajaan ini dalam perhubungan² baru. Walaupun ia menganggap pengetahuan kebudajaan asing adalah sjarat untuk memperkaja dan memperluas kebudajaan sendiri, ia beranggapan djuga, bahwa adalah perlu untuk menguasai kontak ini setjara teratur (planmatig) untuk menunggu saat psychologis dan saat jang sewadjarnja, karena kontak jang datang dengan sendirinja biasanja hanja nampaknja sadja dapat memenuhi sjarat² untuk perkembangan jang bulat. Walaupun begitu, perhubungan antara berbagai-bagai kebudajaan² itu dianggapnja djuga tidaklah bermusuhan, tetapi ia pertjaja, bahwa berkembangnja adalah konvergent, sedang suasana nasional dan suasana internasional berbanding konsentris dengan individu.

Polemik Kebudajaan jang dikutip diatas ini dan jang dimulai oleh Alisjahbana, dimana Dewantoro selainnja hanja mentjampurinja dengan suatu pendjelasan singkat jang maksudnja baik setjara pedagogis, terdjadi, ketika Alisjahbana jang djuga memulai perdjalanan hidupnja dengan pendidikan mendjadi guru dan jang memakai barangkali penanja jang tadjam itu lebih lagi untuk kepentingan pendidikan dan pembangunan Indonesia baru dari pada untuk kepentingan kesusasteraan, memberikan kritik jang tadjam atas prae-adpis², a.l. oleh Dewantoro, jang dikemukakan dalam konggres pengadjaran nasional jang pertama di Solo pada tahun 1935. Djiwa prae-adpis² itu disimpulkannja sebagai djiwa jang „anti-intellektualismus, anti-individualismus, anti-egoismus dan anti-imperialismus”, tetapi menurut pendapatnja adalah masih djauh, bahwa pengertian² jang tertjapai ini dapat mendjadi antjaman bagi kebudajaan baru Indonesia jang masih harus dibentuk itu, tetapi sebaliknja dapat berguna sebagai lontjatan untuk membebaskan diri dari keadaan² lama jang masih terkebelakang itu. Sebab itu ia tidak berkeberatan untuk mempropagandakannja dengan sedar, meskipun ia sendiri mendjadi anggota partai sosialis, jang djelas membuktikan tjorak politik-kultur kata²nja. Bahaja „kebantunan” jang ditakuti oleh pemberi² prae-adpis itu, tetapi jang menurut pendapatnja semuanja mendjadi pemimpin karena pendidikan barat mereka, diterimanja dengan sadar sebagai kemungkinan² jang satu²nja bagi Indonesia untuk dapat turut dengan bangsa² lain didunia. Perpetjahan dalam perkembangan ini dilihatnja pada galibnja sebagai peralihan masjarakat feodal kemasjarakat modern, jang djuga di Barat sendiri dialami sebagai suatu perputaran kebudajaan, tetapi jang di Timur, karena perdjalanan kedjadian², harus ditempuh sekarang dalam beberapa tahun sadja (bandingkan dengan pendapat jang sama dari teman separtainja, Sjahrir, dalam karangannja jang ditulisnja dengan nama samaran Sjahrazad Indonesische Overpeinzingen). Djadi ia tidak pertjaja kepada daja tumbuhnja kebudajaan sendiri, tetapi dalam daja liatnja tiap² individu orang Indonesia. Terhadap perkembangan konvergen itu ia mengemukakan perkembangan analoog (sama bentuknja) dan gambaran dunia jang konsentris digantinja dengan pandangan „one world”.

Persamaan jang dapat kita lihat antara kedua opponen itu adalah terletak dalam optimismus keduanja, bagaimanapun djuga berlainan dasar² mereka. Optimismus Dewantoro tampak dari kejakinannja, bahwa sesuatu kebudajaan memang, seperti hidup ekonomi sesuatu bangsa, dapat dialang-alangi dalam pertumbuhannja, tetapi tidak dapat dipatahkan, sehingga dalam keadaan² baru, keadaan jang baik untuk perkembangan bebas, pertumbuhan jang dihentikan sebentar itu dapat diteruskan, sesuai dengan perkembangan dunia jang konvergen. Walaupun begitu, hidup kembali ini mungkin barangkali disebutkan sesuatu jang mudjizat, sebab berkali-kali sebenarnja terdjadi jang ebaliknja dan terutama kebudajaan² primitif, jang bersikeras dalam sifat tertutupnja sendiri, tidak dapat mengatasi clash of cultures, dimana terutama anggota² penduduk jang tua bertopang dagu dalam apathi dan kadang² mendjadikan sesuatu bangsa musnah. Kedjadian² demikian dapat djuga dilihat di Indonesia, seperti jang tampak dalam njanjian-tangis orang² Nias, (di-terbitkan oleh Dr. W. L. Steinhart dalam Verhandelingen Bataviaas Genootschap No. 73), jang permulaannja berbunji: Kami habis terbakar sebagai dedak diatas api jang bernjala-njala, kami musnah sebagai kaju manawa diantara lidah api, dan bagian lain jang tepat benar: manusia tidak saling kenal-mengenal lagi, dunia telah terlalu tua untuk dipakai sebagai tempat menari.

Optimismus Alisjahbana sebaliknja tersembunji dalam tidak adanja segala kebimbangan, apakah benda² kebudajaan asing itu, jang telah dikuasai dengan berhasil oleh beberapa orang kaum intellektuil jang telah lepas dari rakjat, dapat diikuti oleh rakjat jang karena paksaan ekonomi telah kehilangan fundamen²nja jang lama.

Sementara itu dalam tahun² '30 dan '40 ini angin politik lebih mengembus kearah tjita² nasional murni, seperti jang diwakili oleh Dewantoro, dari pada kearah jang lebih revolusioner-sosial, jang dalam bentuknja jang takbertjampur telah mengalami kekalahan dengan terpadamnja pemberontakan² tahun 1926 dan kemudian sekali lagi dalam penggabungannja dengan jang nasionalistis (dengan memuat azas non-koperasi Gandhi) dengan penghukuman, setelah dalam tahun 1929 arrestasi Sukarno jang pidato pembelaannja adalah suatu pengaduan berdasarkan analysis perhubungan kolonial setjara historis-materialistis. Alisjahbana, pengikut arah sosialistis, hanjalah terutama berhasil sebagai pembina bahasa, djadi dengan suatu jang disebutkannja „hasil sampingan”. Ini sebenarnja adalah dalam garis pertumbuhan jang dialami oleh gerakan nasional dalam tahun² ini: pertumbuhan nasionalismus daerah sampai mendjadi nasionalismus kesatuan Indonesia jang lebih sedar politik, dengan pendahuluan samar² untuk hendak membentuk djuga suatu kesatuan kebudajaan.

Pendirian Taman Siswa dalam hal ini praktis telah ditentukan selama perluasan gerakannja sedjak tahun 1930. Pada waktu itu ada seorang dari pembantu²nja jang karib datang tiba² memasuki kamar Dewantoro serta protes marah²: „Apa itu Taman Siswa jang di Makasar, bahkan tari² Serimpinja tidak ada?” Dengan tenang Dewantoro mendjawab: „Mengapa mereka mempunjai djuga tarian² serimpi? Itu tidak termasuk sama sekali dalam zaman silam kebudajaan. Djadi mereka tidak perlu mempunjainja.”

Heran kita sekarang mendengarkan utjapan ini, bukan sadja seperti pembantunja itu waktu itu, tetapi lebih² djuga kita sekarang ini, karena tidaklah pasti sama sekali, apakah utjapan itu sekarang masih berbunji demikian dengan tidak ada perobahannja. Tetapi hal itu djelas menundjukkan, bahwa pendiriannja adalah bebas dari imperialismus kebudajaan Djawa jang bagaimanapun. Tetapi djuga, bahwa soal pembentukan kebudajaan nasional Indonesia pada waktu itu belum lagi sedemikian pentingnja sebagai sekarang dan perkembangannja setjara berangsur-angsur dapat ditunggu. Lagipula sekolah² Taman Siswa didirikan ditempat-tempat, dimana penduduknja sendiri memintanja.

Walaupun begitu, sudah dalam tahun 1938 djuga di Solo diadakan konggres sekolah² partikelir untuk memikirkan persatuan pendidikan nasional (Konggres Persatuan Pendidikan), sedang soal itu djuga telah dibitjarakan dalam pertukaran pikiran jang dimulai Alisjahbana dengan begitu banjak elan, dan salah satu dari opponennja, penjair Sanusi Pane, menggambarkan tjita²nja kebudajaan Indonesia jang akan datang adalah kebudajaan jang akan didukung oleh syntese Faust dan Ardjuna danjang paling berharga dari seluruh kebudajaan² Indonesia harus mendjadi dasarnja. 8

Angin topan dan hasilnja:
pembentukan negara Indonesia.

Djatuhnja negeri Belanda dalam bulan Mei '40 menimbulkan dari pihak Indonesia banjak pernjataan² turut merasa dan pernjataan² bersedia untuk membantu memperdjuangkan pembebasan Belanda. Tetapi reaksi kedua atas keadaan ini adalah keinginan jang makin besar, supaja kepada Indonesia diberikan sekarang tingkat pemerintahan sendiri jang sesuai dengan keadaan. Pemerintah di London masih belum bersedia untuk sementara memenuhi keinginan ini. Sudah sedjak itu terdjadi perpetjahan moril jang mendjadi benih proklamasi '45.

Tetapi bangsa Indonesia masih menderita tekanan kolonial dahulu dari pendudukan Djepang jang makin kuat dan memakai tjara² modern, dimana pemimpin² bangsa Indonesia lama kelamaan dengan tidak dikehendaki mereka sendiri mendapat kesempatan untuk memperdjuangkan kemerdekaan mereka. Untuk memulainja orang² Djepang jang masuk menjerbu itu mengakui sebagai empat pemimpin rakjat dipulau Djawa: Sukarno, Hatta, Dewantoro dan Kjai Hadji Mas Mansur dan kepada mereka diberikan pimpinan Putera (Pusat Tenaga Rakjat). Tetapi baru setengah tahun kemudian (Des. '42 sampai Djuni '43) kantor ini diganti dengan Djawa-Hokokai dibawah pimpinan Djepang seluruhnja. Kjai Mansur, jang harus mendjalankan putusan² jang bertentangan dengan djiwa Islam, mendapat penjakit djiwa dan meninggal. Dewantoro telah segera menolak segala tindakan² didepan umum, barangkali untuk menunggu, bersama-sama dengan rakjat Indonesia, pada waktu hidupnja kembali pendjadjahan mutlak ini, tumbuhnja buah djagung, karena menurut ramalan lama dan jang malahan dikatakan berasal dari radja Hindu-Djawa Djojobojo (abad ke 12), pendjadjahan oleh suatu bangsa kate dari Utara tidak akan lama.

Politik Djepang bukanlah djuga ditudjukan untuk menggiatkan pengadjaran. Oleh penghapusan bahasa Belanda (dan segala guru² Belanda) dan pengandaian setjara teoretis lamanja pengadjaran rendah enam tahun, perbedaan antara H.I.S. dan sekolah desa mendjadi hilang. Djumlah sekolah² menengah dibatasi benar dan menjelenggarakan sekolah² partikulir dilarang. Lebih sesuai dengan maksud² Djepang dikemudian hari untuk bangsa Indonesia dianggap sekolah² kedjuruan untuk pertanian atau pertukangan. Disekolah-sekolah biasa banjak waktu disediakan untuk gerak badan dan pendidikan semangat. Djuga bahasa Djepang harus diadjarkan.

Keadaan ini mempunjai akibat² jang berbahaja sekali untuk pengadjaran Taman Siswa. Memang ditjoba untuk tidak mengikuti seboleh-bolehnja rentjana peladjaran resmi dan pengadjaran landjutan dipertahankan sembunji² dengan memakai segala alat dan djalan untuk mengelakkan pengawasan Djepang. Hanja sajang, bahwa tidak pada semua tempat ada tjukup bahan² dan guru² untuk menampung larangan sekolah² menengah dengan mendirikan Taman Tani sebagian besar untuk kamouflage, supaja sedapat mungkin pengadjaran diteruskan dengan patjol² digudang untuk dapat dipakai pada waktunja. Tetapi malahan ada tempat², dimana Taman Siswa terpaksa ditutup sama sekali, djadi djuga pengadjaran rendah, karena dengan uang sekolah jang masuk tidak lagi mungkin mengongkosi diri sendiri. Disamping ini harus dipikirkan, bahwa daja penarik pengadjaran dengan tjorak H.I.S. telah hilang dan bahwa murid² jang hanja karena itu dikirimkan ke Taman Siswa, mulai waktu itu, sama baik atau buruk tetapi djauh lebih murah, dapat masuk kesekolah-sekolah negeri. Tetapi dikota seperti Djakarta ada terdapat, bahwa kaum terpeladjar jang lebih makmur menundjukkan untuk pertama kali perhatiannja kepada pengadjaran Taman Siswa dan mengirimkan anaknja bersekolah kesana dengan kesedaran, bahwa djiwa pendidikan masih tetap baik disana. Kesemuanja itu pada achir pendudukan Djepang gerakan Taman Siswa masih hanja mempunjai 36 tjabang, dipulau Djawa dan Sumatera.

Tetapi ketika orang² Djepang melihat, bahwa kekalahan mereka sudah dekat, mereka memutuskan untuk menggiatkan nasionalismus Indonesia untuk dapat meninggalkannja sebagai bom-waktu. Untuk itu mereka mendirikan Panitya Penjelidik Kemerdekaan. Sebagai pemimpin panitya Sukarno menghendaki disokong oleh orang² lain, supaja disusun suatu rentjana lengkap U.U.D., jang disetudjui oleh orang² Djepang, (dahulu ditolak mereka mensahkannja), setelah dirundingkan, dengan Tokio — begitulah kata mereka. Pada perampasan-'setjara teoretis ini kekuasaan negara bukan sadja dirantjang U.U.D., tetapi djuga rentjana pekerdjaan dalam lapangan ekonomi, keuangan, pertanian, pengadjaran, walaupun hanja dalam arti orientasi pertama tentu. Ketua panitya penjusun rentjana untuk pengadjaran dan pendidikan adalah Ki Hadjar Dewantoro, dan ia djuga jang menduduki kursi Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan dalam kabinet presidentiel, sampai dalam bulan Nopember '45 dapat dibentuk kabinet pertama dibawah pimpinan Sjahrir.

Tidaklah menimbulkan keheranan, bahwa djuga promotor Taman Siswa jang lain, Mangunsarkoro, aktif sekali dalam waktu ini. Pada tahun '41 Mangunsarkoro masih inspektur segala sekolah² gerakan Taman Siswa di Djawa Barat dan direktursekolah² menengahnja, dan selama zaman Djepang, djuga sibuk dengan soal? pendidikan sebagai anggota badan penerbitan buku² untuk sekolah² menengah dan pada tahun '44 sebagai kepala Bagian Pendidikan untuk Orang² Dewasa, sehingga ia masih dapat djuga waktu itu membantu pemberantasan butahuruf. Dalam waktu revolusi ia terkenal sebagai penentang tiap² politik „memberi dan menerima”. Ia menolak pembitjaraan² dengan Komisi Djenderal dan penandatanganan persetudjuan Linggardjati, seperti djuga ia mengadakan opposisi dalam badan pekerdja K.N.I.P. terhadap persetudjuan Renville. Selama pendudukan Belanda di Djokja,ia tinggal beberapa bulan dalam pendjara, setelah ditangkap ketika mengadakan perhubungan dengan kaum gerilla digunung. Sebagai wakil P.N.I. baru, jang turut didirikannja djuga, (hanja nama sadja jang sama dengan partai sebelum perang), ia mendjadi Menteri P. P. dan K. jang ketudjuh dalam kabinet Hatta (Agustus '49). Undang² pengadjaran jang telah disahkan dibawah pimpinannja masih berlaku diseluruh Indonesia, sedjak pembentukan negara kesatuan (Ag. '50) sampai sekarang.

Djadi memanglah tidak mengherankan, bahwa tidak tiap² guru Taman Siswa dengan segera melihat, bahwa dengan tertjapainja kemerdekaan oleh bangsa Indonesia datanglah djuga masa baru untuk sekolah nasional mereka. Tetapi perkembangan Taman Siswa memperlihatkan dengan berangsur-angsur tjorak tertentu, setelah harapan² jang taktentu dari tahun² pertama sehabis perang, dan hal ini terdjadi, walaupun perhubungan dengan pengadjaran pemerintah belum lagi mentjapai keseimbangan. Dalam rentjana peladjaran, djadi isi materiel pengadjaran, adalah hampir tidak ada bedanja lagi dengan jang resmi. Sebabnja ialah bahwa sekarang mungkin djuga bagi murid² Taman Siswa untuk mengikuti udjian² resmi sekolah² menengah. Walaupun begitu, masih ada berbagai-bagai kesulitan, misalnja tentang bagian guru² Taman Siswa dalam komisi² udjian, jang djuga membuat mereka mungkin memperhatikan kepentingan murid² mereka. Salah satu handicap murid² ini ialah kekurangan alat² peladjaran, jang masih lebih besar disekolah-sekolah partikelir dari disekolah-sekolah negeri. Kekurangan guru² berwewenang, (sehingga dahulu sulit bagi Taman Siswa untuk mentjapai tingkat AMS), tidaklah berapa penting sekarang, karena sekolah² negeripun menghadapi kesulitan ini. Bahkan keadaan adalah sedemikian, bahwa sebagian besar dari guru² Taman Madya memberi djuga peladjaran pada S. M. A. Djuga karena subsidi jang diperoleh, Taman Siswa dapat menggadji guru²nja lebih baik. Keberatan² prinsipiel terhadap subsidi ini sekarang tidak lagi teratasi, hanja harus ditjari suatu bentuk jang praktis dapat diterima, sebab pekerdja² Taman Siswa masih djuga belum menerima gadji dalam arti jang sebenarnja. Bentuk ini diperoleh dengan memberikan subsidi kepada sekolah itu sebagai keseluruhan.

Tetapi peristiwa jang djauh paling penting dalam perkembangan sekolah² Taman Siswa setelah perang adalah pergeseran perbandingan djumlah sekolah² rendah dengan djumlah sekolah² menengah. Djika jang penghabisan ini adalah jang paling sedikit dahulu, sekarang telah hampir melebihi djumlah jang rendah. Hal ini disebabkan keadaan, bahwa pengadjaran rendah makin intensif diselenggarakan pemerintah, sedang sekolah² menengahnja tidak dapat mengimbangi perluasan ini dalam waktu jang sama. Djadi permintaan akan pengadjaran menengah teratur tumbuhnja, sedang persentase permintaan ini jang dapat ditampung oleh sekolah² pemerintah untuk sementara makin ketjil. Pemilihan murid² jang akan diterima adalah berdasarkan ketjakapan, tetapi sekolah² partikelirpun mengeluh, bahwa pendidikan pendahuluan murid² dipertimbangkan djuga. Tjalon² jang kurang dihargai terpaksa masuk sekolah² partikelir dan itulah sebabnja, mengapa lebih rendah persentase lulusan murid²nja. Seperti kita ketahui, pemerintah telah menjusun suatu rentjana sepuluh tahun untuk mendjalankan kewadjiban beladjar. Djadi barulah setelah taraf ini, sekolah² menengah dapat mentjukupi kekurangan djumlahnja. Djadi sekolah² partikelir masih lama lagi memberikan pengadjaran dalam sjarat hidupnja jang abnormal itu.

Djadi mungkin baru setelah limabelas tahun lagi dapat ditentukan, bagaimana sjarat² hidup sekolah² partikelir di Indonesia, jakni memberikan pengadjaran ideologis atau pengadjaran jang metodiknja lain. Dalam satu sektor pemerintah telah membuka sendiri sekolah sematjam ini, jakni dalam hal sekolah² Islam orthodox. Dengan ini djelaslah, bahwa pembukaan kembali sekolah² Taman Siswa dalam tahun² pertama sehabis perang didaerah-daerah Islam, dimana sekolah² dahulu kuat mempunjai tjorak Islam, kuranglah tjepatnja terdjadi. Tetapi inipun tentulah tidak dapat dianggap sebagai sifat hakiki dari pengadjaran Taman Siswa dan adalah pasti, bahwa sekarangpun masih banjak orang² tua, jang mau membajar uang sekolah jang lebih tinggi disekolah partikelir, karena mereka lebih suka setjara ideologis kepada djenis pengadjaran partikelir ini.

Untuk dapat mendjawab pertanjaan, apakah perbedaan pengadjaran ideologis dengan pengadjaran pemerintah, maka kita harus membaginja dalam dua bagian menurut bentuk dan menurut isi. Bentuk ialah mengenai metodos pengadjaran atau pengadjaran sadja, isi ialah dasar² batin pengadjaran ini.

Dasar² batin pengadjaran pemerintah disimpulkan dalam Pantja Sila, sematjam pernjataan azas negara Indonesia baru dalam mukaddimah U.U.D.-Sementara. Didalamnja disatukan kembali kedua komponen gerakan nasional dari sedjarah dengan mengambil, disamping nasionalismus, kedaulatan sosial dan demokrasi djuga. Selandjutnja dalam kelima azas ini ditempatkan disamping masing² ketuhanan (kepertjajaan kepada Tuhan) dan kemanusiaan, djadi kepertjajaan kepada manusia.

Adalah menarik perhatian, bagaimana sikap aliran² gerakan nasional, jang telah memperlihatkan perbedaan dahulu itu, terhadap pernjataan azas ini. Keterangan jang diberikan Alisjahbana pada waktu belakangan (dalam konggres Perkumpulan Pedagogik Indonesia di Bandung, Des. ’50), dimana ia begitu sadja menjebutkan azas² ini bertentangan satu sama lain, adalah mendjelaskan bagi kita. Sebagai tjontoh diambilnja demokrasi dan ketuhanan: jang satu membolehkan dan jang lain melarang aktivitet perkumpulan jang mungkin atheistis. Seterusnja ia berkata: „Sebenarnja tidak ada partai manapun di Indonesia, jang jakin akan Pantja Sila. Tiap² partai dari jang banjak itu berusaha untuk mendjalankan azas² dan tudjuan²nja sendiri dalam praktik. Ada partai² jang bertudjuan mendirikan negara Islam, djuga ada jang menghendaki masjarakat sosialis, atau nasionalis atau kommunis.”

Dewantoro menerangkan dalam suatu karangan (dalam Mimbar Indonesia bulan Maret ’50), bahwa tiap² orang bebas mengartikan azas² ini dengan tjaranja sendiri. Demikianlah penjusunnja, jang tak dapat tidak adalah seorang jang taat beragama (Sukarno), memang menjebutkan ketuhanan lebih dahulu, tetapi Dewantoro menghendaki, supaja hal ini terutama diartikan dalam prakteknja, djadi sebagai tjinta kepada sesama manusia, dan sebab itu untuk dia kemanusiaanlah azas jang pertama (pendirian Taman Siswa terhadap peraturan pemerintah mengenai pengadjaran agama telah kita kutip didepan ini). Djadi Pantja Sila, bukan sadja memuaskan kejakinan agama Islam, c.q. Kristen, dari bangsa Indonesia, tetapi djuga memuaskan kejakinan djiwa Djawa jang lebih spesifik itu. Ada baiknja kita tambahkan disini, bahwa kejakinan pertama selalu lebih kuat menarik rakjat dari kejakinan kedua jang lebih aristokratis, seperti jang tampak misalnja pada perkembangan Sarekat Islam dalam tahun² ’20—’30 terhadap pengikut² tjita² luhur Budi Utomo jang djumlah anggota²nja selalu tinggal terbatas.

Djuga pandangan Mangunsarkoro ada baiknja diperhatikan dalam hal ini. Pendapatnja sama dengan pendapat Dewantoro, dan barangkali hanja terutama berbeda dalam tjoraknja sebagai kurang individualistis, seperti Mangunsarkoro selalu kuat mengutamakan tjorak sosialis bentuk organisasi Taman Siswa dan sebagai sambungan tradisi desa Djawa jang kollektivistis. Ia mendjelaskannja a.l. dalam karangan tahun '47 jang telah kita kutip didepan ini The sociological and cultural Fundamentals for the educational System in Indonesia, dimana ia mengusulkan, dalam mentjari dasar pendidikan dan pengadjaran di Indonesia, untuk memasukkan pengertian baru, jang untuk sementara disebutkannja agama-kerti, sampai ada istilah jang lebih tepat. Dengan ini dimaksudkannja „religion of ethics”, djadi azas² kemanusiaan jang disetudjui segala agama, tetapi terlepas dari dogma kepertjajaan dan sekte, dan mengenai hidup sehari-hari orang biasa. Dengan tjara demikian ia hendak mempergunakan tabiat beragama, jang menurut dia ada pada orang Indonesia, untuk masjarakat dengan memakainja didalamnja sebagai tenaga pendorong. Ketjuali bahwa inilah sebenarnja (meskipun sajang dalam dunia kita agak tak njata nampaknja) satu²nja titik permulaan jang mungkin praktis benar dipakai dalam masjarakat jang dipetjah-petjah dalam berbagai-bagai kejakinan agama, lagipula hal ini kentara benar bagi Mangunsarkoro, jang merasa dirinja sebagai seorang jang terdorong oleh perasaan sosialnja, djadi sebagai seorang jang suka berbuat dengan kebutuhan untuk pertanggungdjawaban religi (perkataan religieus-sosialistis teringat kepada saja). Bahwa ia, seperti semua organisator² besar, djuga seorang pemikir jang terang dan seorang systematikus, telah dibuktikannja dalam berbagai-bagai karangan (a.l. lagi Penuntut Guru Nasional 1935 dan Sosiologi 1947) dan dalam karangan² dimadjallahnja sendiri Kebudajaan dan Masjarakat. Adalah kentara untuk dia, bahwa ia sebagai salah satu orang Indonesia jang tidak banjak djumlahnja itu, (bahkan Takdir membatasi diri dalam hanja melihat pertentangan Rusia-Amerika dalam kebudajaan dunia sekarang), jang melihat kepentingan perbedaan antara kebudajaan Eropah dan Amerika, dimana ia menjangsikan, apakah jang penghabisan ini pada tempatnja mendapat kwalifikasi kebudajaan (memang sekarang, djuga menurut Sartre misalnja, Eropah harus berdjuang mati²an setjara kulturil terhadap Amerika jang berkuasa besar itu dalam lapangan ekonomi).

Lebih banjak mempunjai pengaruh dari berbagai-bagai interpretasi tentang Pantja Sila adalah dalam tingkat pembangunan sekarang ini pendapat² jang berbagai-bagai itu tentang garis²-petundjuk jang harus diikuti dalam pembentukan kebudajaan Indonesia baru. Keterangan untuk ini tidak akan djauh ditjari, sebab menurut tjoraknja Pantja Sila sebagai dasar adalah lebih baik ditaruh diluar pembitjaraan, sedang terutama disini dengan segera kita menjinggung segala soal² pandangan-dunia. Kurang memberi perangsang ialah perbedaan² pendapat dalam kebudajaan.

Dengan segera, setelah pernjataan negara nasional, keinginan untuk mempunjai kebudajaan nasional membawa orang² terkemuka dalam lapangan kebudajaan berunding. Pada tahun '46 diadakanlah di Sukabumi konggres partikelir dan pada tahun '48 konggres jang lebih bertjorak resmi di Magelang. Diantara keduanja ialah turutnja Indonesia dalam Inter-Asian Relations Conference di New Delhi, dimana tjita² berdiri sendiri dalam kebudajaan ternjata pada umumnja hidup di daerah² djadjahan dahulu, bahkan ada dimadjukan usul untuk mendirikan Institute for Asian Culture. Lembaga sedemikian untuk kebudajaan Indonesia ada didirikan sebagai akibat konggres Malang.

Konggres ini masih dilakukan ditengah-tengah perdjuangan kemerdekaan. „Sedjak resepsi sehingga sampai achir Konggres terasa benar kebesaran pengaruh revolusi rakjat Indonesia didalam konggres ini. Api pikiran, api djiwa baru terus bernjala-njala meliputi suasana Konggres. Getaran pemandangan hidup dari angkatan tua dan angkatan muda jang merdeka-bebas, berdjumpa dan meletus mendjelma mendjadi satu getaran baru jang tampak terlukis didalam kesimpulan dari prae-adpis² jang dikemukakan.

Debar djantung para Kongressis laksana tertegun, kening berkerut ketika Bung Karno mengatakan kebudajaan Mataram, kebudajaan Sriwidjaja, kebudajaan Madjapahit, bukan kebudajaan Nasional,” (demikianlah menurut Gusti Majur dalam Mimbar Indonesia, 11 September 1948).

Beginilah bunjinja ajat 4 resolusi umum: Bahwasanja perlu dalam pokoknja diperbarui djiwa manusia Indonesia guna mentjiptakan manusia, masjarakat dan kebudajaan baru, dengan mewudjudkan dan memperkembangkan nilai² kebudajaan (cultuurwaarden) jang telah dapat kita „sublimeer” (resapkan) dalam Pantja Sila Negara kita.

Resolusi tentang kebudajaan dan pendidikan, diterima setelah prae-adpis Ki Hadjar Dewantoro, mendjelaskan lebih landjut tentang itu:

2. Kebudajaan Indonesia terdjadi dari nilai² kebudajaan sebagai panijaran djiwa bangsa Indonesia jang hidup dan tumbuh antara segenap golongan diseluruh kepulauan Indonesia. 3. Dalam masa peralihan ini adalah kewadjiban pendidikan jang ditudjukan kepada masjarakat baru untuk menghilangkan segala bekas² dan sisa² kebudajaan kolonial dan feodal, agar supaja benih kebudajaan baru jang telah mulai tumbuh bisa berkembang dengan suburnja. 4. Pendidikan dengan langsung kita tudjukan kepada kebudajaan dan masjarakat baru dan kita dasarkan atas keseimbangan pendidikan lahir dan batin, hingga tertjapailah kebudajaan nasional jang harmonis.

Sehabis konggres itu ada jang menjebut-njebutkan perputaran baru Ki Hadjar Dewantoro. Djika hal ini boleh disebutkan perputaran, maka inilah perputaran kutjing jang selalu djatuh kembali pada kakinja, sebab djuga dalam hal ini kelapangan berpikir Dewantoro setjara pedagogis tidaklah berarti, bahwa ia tidak setia kepada azas²nja sendiri. Pendiriannja didjelaskannja lebih teliti dalam konggres pengadjaran Inter-Indonesia, jang pada tahun berikutnja diadakan di Djokja, dimana ia sebagai pendjelasan prae-adpisnja a.l. mengemukakan jang berikut:

Kita djangan lupa, bahwa kemerdekaan sesuatu bangsa bukanlah hanja kemerdekaan politik, tetapi harus djuga kemerdekaan kuliuril, jakni untuk mewudjudkan jang chusus dan jang kepunjaan sendiri dalam segala bentuk²-hidup dan untuk membentuk hidup berdasarkan peradaban manusia jang luas. Kebudajaan Indonesia, jang sekarang masih berupa kumpulan segala kebudajaan daerah, haruslah mulai sekarang digalang mendjadi kebudajaan kesatuan untuk seluruh rakjat. Berhubung dengan kesatuan alam, sedjarah, masjarakat dan zaman, maka kesatuan kebudajaan Indonesia hanjalah soal waktu sadja. Sebagai bahan² untuk membangun kebudajaan nasional itu perlulah segala „puntjak-kebudajaan” jang terdapat diseluruh daerah Indonesia dipergunakan mendjadi isinja. Djuga dari luar lingkungan nasional perlu diambil bahan² jang dapat mengembangkan kebudajaan kita sendiri, tetapi dalam memasukkan bahan² ini haruslah diingat senantiasa sjarat kontinuitet, konvergensi dan konsentrisitet.

Adanja sistem pengadjaran nasional tidaklah berarti hapusnja aliran² chusus dikalangan golongan" masjarakat jang memelihara kejakinan ideologis jang sangat kuat dan sehat, baik jang berdasarkan agama, kebudajaan, kemasjarakatan maupun metodik, dll., sesuai dengan tuntutan demokrasi dalam negara kita. Kesatuan sistem hendaknja didasarkan pada kesatuan rentjana peladjaran minimum.

Pengadjaran bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan dan bahasa perantaraan diwadjibkan dalam semua sekolah² diseluruh kepulauan Indonesia, sedang bahasa² daerah jang penting diadjarkan dengan setjukupnja di masing² daerah. Bahasa² asing jang perlu untuk menuntut ilmu atau melantjarkan perhubungan dengan bangsa lain hendaknja diberikan sebagai berikut: bahasa Inggeris dimulai pada sekolah menengah, bahasa Djerman pada sekolah menengah atas, bahasa Perantjis dan Arab atau Tionghoa boleh dipilih pada bagian kesusasteraan disekolah menengah.

Dalam rentjana peladjaran umum hendaknja dimasukkan selandjutnja segala djenis pengadjaran jang dapat mempersatukan dan memperkuat kebudajaan nasional dan jang djuga menumbuhkan semangat nasional, dengan tidak menjalahi hukum peradaban kemanusiaan, sedang peladjaran²nja hendaknja diambil dari sumber² keagamaan, adat kesusilaan, kesenian, sedjarah, dll., jang mengandung peladjaran keadaban pada umumnja. Pengadjaran etik dan moral nasional hendaknja diberikan untuk pengetahuan peradaban kemanusiaan pada umumnja.

Kesenian nasional jang dapat diberikan dalam hubungan kelas atau diluar sekolah dapat dipergunakan untuk menghaluskan budi pekerti serta untuk menebalkan rasa kebangsaan. Dalam hubungan ini perlu agaknja dibentuk panitya untuk menjelidiki kesenian² apakah jang patut diberikan disemua sekolah diseluruh Indonesia, dan manakah jang hanja penting bagi masing² daerah. Kesenian nasional jang dapat diadjarkan disekolah-sekolah ialah seni suara, seni lukis, seni sastera, seni tari, seni sandiwara dan permainan anak². Akademi kesenian perlu didirikan didaerah-daerah, jang mendjadi pusat kesenian.

Dalam pendjelasan ini tampak dengan djelas sebagai dasar pikiran, bahwa Indonesia sedang mendjadi suatu kesatuan kulturil, dan dimana ia berbitjara tentang „kesatuan sedjarah”, disana dalam zaman silam sering kesatuan itu telah dekat. Perpetjahan adalah sebagian ditjegah oleh pemerintahan kolonial Belanda dan sebagian dengan sadar dipelihara dan diperkuat untuk kepentingan sendiri. Perpetjahan ini menghilangkan kekuatan bangsa dan sekarang harus diatasi kembali dalam kesatuan jang definitif dan seperti jang pernah dilakukan Sanusi Pane, Dewantoro sedang dengan sadar membangunkannja dari unsur² paling baik dalam kebudajaan² daerah.

Tentulah pada tempatnja, bahwa dalam pembangunan ini sebagian besar akan diberikan oleh kebudajaan Djawa, jang memang kebudajaan jang paling tinggi tingkatnja dalam kepulauan Nusantara, lagipula didukung oleh hampir setengah dari seluruh penduduknja, sedang mereka semuanja, bersama-sama dengan kebudajaan Sunda dan Madura jang saling erat berhubungan itu, meliputi malahan lima pertudjuh bagian. Seperti ditulis Surya Ningrat dalam tahun 1918 dalam buku peringatan perkumpulan Budi Utomo: „Orang² Djawa, berlainan dengan penduduk pulau² lain di Hindia Timur, merupakan keseluruhan jang besar dan jang agak kompakt. Untuk Hindia Belanda pulau Djawa itulah sebenarnja negeri jang paling homogen.” Bahwa nasionalismus Djawa jang timbul dari sini merupakan suatu rintangan dalam perdjuangan politik untuk tanah air jang satu Indonesia, tidak dilihatnja waktu itu dengan djelas. Ia tahu pendapat² orang² Djokja tulen jang disokong oleh rakjat: „O, memang, dahulu ada pertalian antara Djawa dan tanah² seberang, tetapi bukan Djawa termasuk dalam Keradjaan jang besar itu, tetapi Keradjaan itu ialah Djawa dan semua tanah² seberang termasuk dalam Djawa. Nasionalismus Djawa....itulah pengembalian kedaulatan Djawa.” Dan walaupun ia mengakui, bahwa bangsa² dikepulauan Nusantara akan memegang teguh hak mengatur diri sendiri setjara kulturil dan walaupun ia melihat nilai nasionalismus kulturil untuk nasionalismus politik, ia menerangkan dengan tegas, bahwa dalam perdjuangan politik sendiri hanjalah „bersatu kita teguh” jang boleh berlaku.

Dalam waktu tjita² kearah kesatuan nasional ini tiap² nasionalismus daerah dianggap sebagai merusak, malahan dalam sematjam „overkompensasi” dianggap sebagai jang paling harus ditolak. Hal ini tidaklah membaikkan pembangunan jang diusulkan itu, jang menurut tjoraknja terdjadi dari berbagai-bagai unsur. Lebih² peranan besar, jang tentu dalam hal ini harus dimainkan oleh kebudajaan Djawa, menimbulkan dengan mudah ketidakpertjajaan wakil² kulturil dari suku² bangsa lain. Sebagai bukti untuk ini adalah karangan Alam pikiran jang tidak sadar (dalam Siasat, 7 Djan. '51), dimana Armijn Pane menjasat karangan Dewantoro tentang Konservatorium untuk musik Indonesia di Solo (Mimbar Indonesia, 2 Des. '50). Ia menjalahkan Dewantoro (jang dalam hal² lain dianggapnja tidak lebih „verpolitiekt” dari kebanjakan pemuka² batin Indonesia) telah memberikan dalam karangannja djalan pikiran jang demagogis, djadi jang katjau, bukan sadja bertalian dengan tindakan kulturil dari orang? Belanda dalam zaman silam, tetapi djuga bertalian dengan pengertian „musik Indonesia” jang untuk Dewantoro nampaknja identik (sama) dengan musik Djawa. Apabila ketua konservatorium dalam pidato pembukaannja mengatakan, bahwa konservatorium ini „tidak sadja akan memperhatikan dan memelihara kesenian² suara Djawa, tetapi....”, maka dengan „bukan sadja” ini dianggapnja telah ditundjukkan, bahwa hal itu sebenarnja adalah konservatorium Djawa. Bukan karena ia mempunjai keberatan terhadap hal itu, tetapi karena dianggapnja berbahaja menjebutkan sesuatu lain dari jang sebenarnja.

Tetapi dengan tidak mengingat kesulitan² ini, dari perumusan tjita² itu, jakni syntesis unsur² jang paling baik, timbul djuga keberatan jang berdasarkan pertimbangan, bahwa sesuatu kebudajaan hanjalah dapat tumbuh dalam kebebasan, dan hal itu berarti disini dalam ketidaksadaran jang bebas dari prasangka² demikian. Dalam arti sebenarnja, bukankah ini sedjenis kebudajaan tukang²an, sematjam pembikinan kebudajaan gado² seperti jang saja dengar dari seorang Indonesia? Maksudnja tidaklah lain bahwa Pemerintah memberi dorongan dan membantu usaha² jang menudju kearah tjita² ini, dan bahwa tjita² itu sendiri tidaklah lebih dari perumusan kemungkinan jang diharapkan, jang djuga dianggap perlu. Dengan perkataan lain: sesuatu jang dapat dipakai sebagai penuntun bagi politik aktif dan paling tinggi djuga bagi pemeliharaan barang² kebudajaan, dan pentjipta kebudajaan tetap tinggal bebas.

Ketjuali dari aktivitet Lembaga Kebudajaan Indonesia, jang terutama tampak dalam konggres kebudajaannja tiap² tahun, ternjata djuga, bahwa ada kebutuhan untuk mendjalankan sesuatu politik kebudajaan dalam tahun² pembangunan Indonesia ini, jakni dari pelantikan pada tanggal 22 Nopember jang lalu oleh Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan, Mr. Wongsonegoro, panitya adpis untuk politik kebudajaan jang akan didjalankan kementerian ini. Djadi dalam badan ini boleh dilihat djuga pewudjudan „panitya penjaring” jang diusulkan oleh Dewantoro dalam prae-adpisnja pada tahun ’49. Sebagai ketua panitya ini diangkat S. Mangunsarkoro, sedang Dewantoro termasuk anggotanja. Pembagian kedelapan anggota²nja, (jang setengahnja adalah menteri² lama P. P. dan K.), menurut asal mereka dari golongan penduduk jang paling penting, adalah hampir sebanding, tetapi hampir semuanja ialah pengikut² tjita² kebudajaan Indonesia, jang harmonis tumbuh dari zaman silam dan mereka djuga semuanja berumur diatas empatpuluhlima tahun (ketjuali usia Ds. Mr. Th. A. Rotti dari Menado, jang pada tahun ’46 mendapat titelnja di Amerika). Djadi keberatan dari segolongan pengarang² dan pelukis² muda jang tergolong penting dan masih mendjauhkan diri terhadap kejakinan konservatif, jang telah djuga tampak dalam usia pengurus² Lembaga Kebudajaan, akan berlaku pula untuk panitya ini dan karena itu mereka akan lebih menitikberatkan kebebasan pentjiptaan kebudajaan.

Walaupun begitu, dalam negeri seperti Indonesia jang kendatipun tidak berdiri sendirian diatas dunia, tetapi dimana pemerintah masih mempunjai tugas jang demikian besarnja terhadap rakjat, terutama dalam lapangan pengadjaran, lebih lagi dari ditempat manapun didunia, politik kebudajaan jang aktif banjak artinja, jakni salah satu kemungkinan penting untuk mempengaruhi tjiptaan kebudajaan. Walaupun keaslian adalah nilai tjiptaan, tetapi tiap² seniman „pentjipta” mendapat dasarnja sebenarnja dari suasana dimana ia dibesarkan. Mudjurlah dorongan ekspansi djiwa jang demikian kentara itu bagi tiap² proses „bangun dan hidup kembali”, keinginan untuk mengetahui segala-galanja dimana-mana didunia, masih banjak djuga terdapat di Indonesia.

Disamping segolongan jang dalam teori seperti disebutkan diatas mendapat kemungkinan untuk membuat pertjobaan² dengan kegembiraan jang besar, masih ada djuga segolongan lain seperti telah kita sebutkan didepan ini jang dengan sadar berpedoman kepada dunia internasional, dengan harapan jang tenang, bahwa watak sendiri akan terdjelma dalam tjiptaan sendiri.

Sebab itu lebih dari untuk seniman² teori² ini adalah penting untuk pengadjaran. Dan dengan ini kita sampai kepada atjara jang djuga penting sekali untuk pembitjaraan ini, jakni pertanjaan sampai dimana nasionalisasi pengadjaran jang didjalankan oleh Republik membawa kita kepada pengoperan metodos² sekolah² nasional, djadi kepada kemenangan moril mereka.

Sjarat² untuk kemenangan ini baik sekali dari semula, seperti jang telah sewadjarnja dan seperti jang telah kita lihat bahwa itulah djuga harapan pasti dari kebanjakan guru²nja. Djalannja keadaan² setjara lahir memenuhi sjarat kemenangan ini: disamping pangkat menteri kedua pemuka² Taman Siswa itu masih djuga dapat kita tundjukkan disini kenjataan, bahwa dua panitya penjelidik pengadjaran, jakni pada tahun '46 dan '47, jang penghabisan menerbitkan laporannja berupa buku, dibawah pimpinan Dewantoro, sedang Konggres Pengadjaran Inter-Indonesia, jang diadakan dalam tahun '49 di Djokja dan konggres pertama jang terpenting setelah konggres tahun '47 di Solo, (karena kekurangan waktu akan persiapan, maka putusan² panitya penjelidik, dan prea-adpis² tahun '47 dibitjarakan dalam instansi ketiga), adalah djuga dibawah pimpinannja.

Setjara batinadadjuga tentu adhesi jang kuat. Sembojan ialah: mendemokrasikan pengadjaran: Hal ini terdjadi a.l., walaupun ada kesulitan² praktis, dalam mendjalankan „sistem berdjalan terus” (doorstromingsbeginsel) dalam pengadjaran kedjuruan. Tetapi djuga dalam keinginan kepada semangat baru dalam pengadjaran jang lebih bertjorak persahabatan dan lebih ditudjukan kepada pendidikan kepribadian, Tentulah di sekolah² pemerintah jang lebih bertjorak resmi itu guru² lebih dahulu mendapat tjorak kepegawaian dari di sekolah² Taman Siswa jang bebas itu, jang dalam hal ini masih berdasarkan tradisi jang berharga (aspek „sosialistis”!) sedang hidup perkumpulan murid² dengan arti memelihara kebudajaan jang penting seperti misalnja latihan menari, adalah kurang mudah dapat dioper. Demikianlah kita boleh mengharap tentu, bahwa hal ini adalah suatu Jangkah kemadjuan bagi Taman Siswa, jang tidak dipunjai oleh sekolah² Pemerintah.

Tetapi memanglah pasti, bahwa hal ini adalah disebabkan waktu jang masih katjau, dimana hanja melandjutkan pengadjaran sadja sering termasuk dalam hal² jang tak tertjapai, apalagi memperbaikinja, apabila dalam bulan Maret '51 Menteri Pengadjaran pada waktu itu, Dr. Bahder Djohan, kembali mengeluarkan sebuah putusan membentuk instansi untuk mempeladjari pendidikan dan pengadjaran, berdasarkan pertimbangan, „bahwa isi, sistem, program dan metodos pendidikan dan pengadjaran jang diberikan sekarang belum berazaskan dasar² kebudajaan dan tjita² bangsa kita”. Penggantinja, Mr. Wongsonegoro, melantik dalam bulan Agustus j.l. panitya jang diperbantukan pada instansi ini, bersama-sama dengan tiga panitya lain, jakni berturut-turut panitya persiapan Dewan Nasional untuk Pengetahuan, panitya penjusun sedjarah nasional Indonesia dan panitya penjelidik kemungkinan mendirikan akademi kesenian. Upatjara ini dihadiri oleh Presiden dan Wakil Presiden, dan jang pertama menundjukkan dalam pidatonja keperluan bagi sesuatu bangsa untuk menghidupkan terus semangat nasional. „Ook een volk kan van brood alleen niet leven,” (Djuga sesuatu bangsa tidak dapat hidup hanja dari roti), kata Presiden dan diperingatkannja dengan kutipan-kutipan lain dari Kitab Indjil, djuga dalam bahasa Belanda: „Verkoopt Uwnationale eerstgeboorterecht niet voor een schotel internationale linzen,” (Djangan djual hak-lahir-pertama nasionalmu untuk semangkok katjang buntjis internasional)“ Djuga wakil Presiden Hatta menjatakan kegembiraannja dengan pembentukan panitya² ini, jang kelihatannja mengembangkan daja kreatif, dan

__________

  • Karena perkataan terachir tidak dikenal, jakni „linzen”, utjapan ini dimuat dalam segala suratkabar sebagai peringatan terhadap „semangkok sembojan” (leuzen) internasional”, setjara kritik jang tidak dapat dipakai untuk proses akkulturasi ? dengan demikian memberi sumbangan kepada kemakmuran batin Indonesia, jang dalam lapangan ini didunia tidak lagi hanja perlu menerima sendiri, tetapi djuga dapat memberi.

Ketua panitya penjelidik pengadjaran mengakui dalam kata sambutannja, bahwa menurut communis opinio pengadjaran jang sekarang belum berdjiwa nasional. Tetapi adalah sulit untuk memperbaiki hal ini, selama djiwa rakjat kita belum lagi tenang. Ketjuali tentang dasar² Pantja Sila jang kurang baik dasarnja itu, terdengar djuga keluhan, bahwa hasil² jang ditjapai tidak seimbang dengan ongkos² jang dikeluarkan, djadi masjarakat kurang mendapat keuntungan dari pengadjaran.

Supaja kita mengerti dengan baik, ada baiknja diingatkan disini, bahwa dengan penggabungan mendjadi negara kesatuan dalam bulan Agustus ’50 perbaikan pengadjaran, jang telah disiapkan oleh pemerintah prefederal dan telah dioper oleh Menteri Pengadjaran R.I.S., dihilangkan sama sekali dan sistem Djokja dinjatakan berlaku untuk seluruh Indonesia. Hal ini berarti misalnja, bahwa pemetjahan dalam tiga bagian pengadjaran menengah, sehingga pada tiap² dua tahun mungkin untuk murid² memilih tudjuannja, djadi „tinggal kelas” jang sangat mahal itu dihilangkan — sedang bagian tertinggi dapat dianggap sebagai keuntungan sampingan, djadi bagian persiapan perguruan tinggi, jang semata-mata hanja dapat diberikan oleh lerar² jang berwewenang penuh — dikembalikan lagi kepada pemetjahan dalam dua bagian Mulo (sekarang S.M.P.) dan A.M.S. (sekarang S.M.A.), seperti jang dioper oleh Taman Siswa dahulu dari Gubernemen. Anehnja, bahwa hal ini terdjadi, bertentangan dengan adpis Konggres Pengadjaran Inter-Indonesia (menurut kata orang, terutama atas desakan Persatuan Guru Republik Indonesia), jang ingin memperdengarkan suaranja dalam bagian pengadjaran menengah jang lebih tinggi). Sebab itu kembali kepada djalan jang telah ditempuh tidaklah „tidak boleh djadi”.

Tetapi apabila pengadjaran sekarang seumpamanja kita sebutkan kolonial, maka adalah pada umumnja tidak tepat benar utjapan kita itu. Tentulah semangat nasional dipelihara dengan kuat, (tetapi memanglah hal ini bukan sama dengan pendidikan nasional), pendidikan kemasjarakatan djuga diperhatikan, walaupun boleh dikatakan penjelenggaraan perkembangan kepribadian belum lagi tjukup lengkap, tetapi dalam prinsipnja didjalankan djuga, misalnja djam² bebas dalam program sekolah menengah. Djokja dan Djakarta memanglah tidak didirikan dalam satu hari dan untuk pengadjaran jang lebih baik haruslah dahulu dididik guru² jang lebih baik, sedang pada saat ini permintaan adalah hanja untuk guru² jang selekas mungkin dididik sadja.

Panitya jang baru dibentuk itu, dibawah pimpinan seorang pegawai tinggi dengan berkantor tetap dikementerian P.P. dan K., memang sungguh² mau mendjalankan research-work (pekerdjaan penjelidikan) dan akan dapat mentjotjokkan pendapat²nja dengan pengalaman² jang akan diperoleh disekolah-sekolah pertjobaan jang akan didirikan dimana-mana. Dan dengan Dewantoro sebagai anggota dapatlah djuga mereka memakai pengalaman²nja pada sekolah² Taman Siswa, jang seperti pernah dikatakan ketua panitya itu sendiri, bersama-sama dengan sekolah² nasional lain, telah mengamalkan dan mentjobakan segala pikiran², jang sekarang dianggap tidak dapat lagi ditinggalkan Indonesia. Wakil² lain dari gerakan Taman Siswa, selain dari Dewantoro jang telah berusia enampuluh tahun itu dan telah mengalami gangguan² physik ketuaan, tidaklah termasuk dalam anggota² jang duapuluhdua banjaknja itu. Djadi berlainan dengan panitya adpis kebudajaan tidak termasuk disini Mangunsarkoro, dan dari hal ini mungkin djuga kita lihat, bahwa Taman Siswa lebih dihargai dari sudut kulturil, bukan dari sudut ilmu pengadjaran. Sedjak pembentukan negara kesatuan dan sampai pengangkatannja dalam panitya kebudajaan, surat²kabar hanja membawa kabar tentang Mangunsarkoro, bahwa ia untuk pertama kali turut dengan rapat umum, bukan dalam pakaian sarong jang tradisionel itu, tetapi dalam pakaian Eropah. Dan djuga pemimpin kompleks sekolah² Taman Siswa jang paling besar pada waktu ini, Mohamad Said, tidaklah termasuk anggota. Barangkali djuga karena dianggap terlalu muda (alasan ini lagi!), tetapi tidaklah djuga saja rasa dapat dilupakan orang, bahwa revolusi, dimana negara Indonesia lahir, adalah diteruskan oleh orang² muda? 9

Tukang kebon jang paling muda sedang
mentjari sumber² universil:
Mohamad Said.

Adalah dalam tahun 1937, ketika seorang pemuda memasuki Taman Siswa sebagai guru, waktu jang ternjata penting sekali untuk hari kemudian sekolah ini. Ia adalah mahasiswa kedokteran tahun ketiga, Mohamad Said.

Ia lahir pada tanggal 21 Djanuari 1917 di Purworedjo sebagai tjutju bupati Semarang. Ajahnja, Reksohadiprodjo, jang sehabis pendidikan H.B.S. dipekerdjakan sebagai wedana untuk mendjadi bupati nanti, berselisih paham dengan sepnja, residen, lalu minta lepas dan mendirikan sebuah sekolah partikelir, untuk mengabdi selandjutnja kepada pengadjaran.

Mohamad Said, jang pada mulanja bernama Bambang Sunjo Sudarmo (= anak seorang ajah jang tidak hadir), karena waktu ia lahir ajahnja tidak ada ditempat itu, djadi ia dibesarkan dalam keluarga bangsawan feodal, dimana misalnja tiap² anak mempunjai seorang emban. Asal-usul ini mengingatkan kita kepada Raden Adjeng Kartini, seorang anak perempuan Bupati Djapara. Seperti Kartini anak prijai, Bambang djuga bersekolah di Europese Lagere School. Ia seorang murid jang radjin dan entjer otaknja dan, telah djuga waktu itu, mempunjai kemauan jang keras. Pudjian paling tinggi jang dapat diperolehnja dari entjik gurunja, jang nampaknja mengenal dia betul², adalah, sedang entjik guru itu mengapus-apus djambul hitam Bambang: Engkau seorang anak Jan de Wit.”

Waktu berusia duabelas tahun, ia lulus untuk udjian masuk H.B.S., dimana ia djuga mengikuti pengadjaran sebagai salah seorang jang paling baik. Walaupun termasuk anak jang bungsu dari suatu keluarga jang besar dan ajahnja telah kehilangan kedudukannja jang baik, masih belum ada kesulitan² keuangan jang dapat mengalangi sekolahnja. Orang tuanja dan abang²nja, jang telah ada beberapa orang mempunjai kedudukan jang penting dalam masjarakat, bangga akan dia dan mempunjai harapan besar tentang dia, jang sedemikian muda telah dapat menarik perhatian orang² dan membuat mereka kadang? heran dengan utjapan²nja.

Dua persahabatan jang diikat di H.B.S. imi mempunjai pengaruh jang penting atas hidup Moh. Said. Dikelas satu telah ada seorang temannja murid jang diseganinja dan karena itu didjundjungnja tinggi: Mukarto muda, jang waktu itu telah dapat dikatakan seorang nasionalis dan jang utjapan²nja tentang tjita²nja demikian tertjantum dalam hati Bambang, sehingga ia dapat mengulanginja sekarang. Jang lain ialah seorang gadis, jang memperkenalkannja dengan adjaran theosofi. Itulah dalam tahun² ketika Krishnamurti jang dibawa oleh Annie Besant sebagai guru baru dunia dari India ke Eropah, mengadakan pidato²nja di Ommen dan

menganggap faham jang satu²nja tepat tentang tugas pelepasnja adalah menjuruh orang kembali kepada berpikir sendiri jang bebas, dan achirnja membubarkan „Djemaah Bintang” (Orde van de Ster) jang didirikan sekelilingnja. Sekolah

Taman Siswa (page 66 crop)

Pembukaan Taman Indrya
Dewantoro menerima kuntji dari tangan anak² untuk membuka sekolah Taman Indrya (taman kanak²) jang baru di Djalan Mataraman Dalam,
Djakarta, 23 Maret 1952.

latihan dalam berpikir dengan tidak ada prasangka ini dan dalam sikap-hidup jang dengan djelas bertjorak ascetis, mempunjai untuk Said dalam kebangunan djiwanja kekuatan jang besar dalam pendidikannja, jang walaupun namanja sama dengan nama penjebar Islam pertama dipulau Djawa, tidaklah perlu mengatasi kepastian² adjaran agama, sebab dirumah bukan sadja ia beladjar membatja Koran dari ajahnja, tetapi djuga Kitab Indjil.

Waktu berumur tudjuhbelas tahun, ketika Said hendak meninggalkan H.B.S. terdjadilah suatu peristiwa jang boleh dikatakan kentara, jakni bahwa guru²nja mendirikan fonds untuk mentjegah, supaja ia djangan menghentikan peladjarannja karena alasan² keuangan. Waktu ditanja, dimana ia suka melandjutkan peladjarannja, maka Said menjebutkan tiga djurusan: djurusan konsulen pertanian dan kalau mungkin, beladjar di Wageningen, atau djurusan dokter untuk dapat memenuhi panggilan djiwanja menolong sesamanja manusia, atau achirnja djurusan guru, sebab ia suka akan anak². Guru²nja menasihatkan, supaja bersekolah ke Sekolah Tabib Tinggi di Betawi.

Djadi seperti pada Kartini beladjar kenegeri Belanda tidak dapat terus, dan diganti dengan beladjar di Betawi, tetapi lain dari pada Kartini jang harus menuntut sekian tahun lamanja untuk boleh beladjar terus, tidaklah datang krisis batin sebelum pengambilan keputusan, jang achirnja membuatnja menolak dan menuruti panggilan djiwanja memberi peladjaran kepada anak² dalam sekolah jang didirikannja sendiri. Said beladjar tiga tahun dan kota besar Betawi dengan pertentangan² sosialnja jang menjolok mata dan dengan hidup kosmopolitis barat jang atjuh tak atjuh di negeri timur, adalah sebagai pembeku bagi hatinja jang masih muda lagi idealistis itu. Ia djuga mengalami krisis batin jang besar, ketika ia dengan kemutlakan chuluknja merasa dirinja terpentjil dari bangsanja sendiri pada satu pihak dan dari guru²nja pada pihak lain. Dengan keberanian besar jang mendjadi sifatnja jang kentara, ia mengambil keputusan: pantalonnja jang berseterika litjin itu, badjunja dan dasinja ditanggalkannja dan dengan tidak bersepatu pakai sarong sebagai anggota rakjat golongan rendah ia menerima tugasnja jang dipilihnja sendiri sebagai guru pada Taman Siswa. Hasil pelarian dari kesepian ini, jang kedalamnja ia didorong krisis religinja, adalah sesuai dengan apa jang dikatakan salah seorang guru besar kepada vegetarier Said, jang tidak djuga dapat menjembunjikan sama sekali keseganan hatinja terhadap pembedahan, untuk dipertimbangkannja: sebenarnja engkau harus mendjadi domine atau guru, tetapi djangan dokter.

Kedjadian ini membawa keributan dan keketjewaan dikalangan anggota² keluarganja dan guru²nja, jang telah, melihat harapan mereka terkandas dan segala djalan dipakai untuk menariknja dari maksud²nja jang tidak masuk diakal itu, Ada jang memaki-makinja seorang dungu. Tetapi Said telah mengambil keputusan dan, walaupun masih satu tahun lagi lamanja, sebelum ia sendiri mendapat kembali keseimbangan batinnja, jang telah terganggu dengan perubahan mendadak arah dan pribadinja, ia akan melakukan kewadjibannja seperti jang dilihatnja. Pembawaan chuluknja untuk ketabahan hati diperkuat tahun ini mendjadi sifat definitif pribadinja.

Sama sekali tidak berpengaruh adalah permintaan² keluarganja untuk meneruskan peladjaran djuga. Tetapi Said memadjukan dua sjarat: saja tinggal pada Taman Siswa dan memilih djurusan peladjaran jang saja sukai.

Demikianlah Said mendaftarkan nama untuk fakultet sastera jang didirikan pada tahun '40. Dalam kuliah² jang diberikan oleh R. Nieuwenhuys, para mahasiswa bergiliran mendapat tugas memulai sesuatu pembitjaraan jang diikuti oleh debat. Said memberikan pendjelasan tentang sedjarah Adam dan Hawa sebagai mytha anthropologis dan tidak dapat mengelakkan, bahwa pendjelasannja menimbulkan amarah beberapa mahasiswa jang orthodox. Ia berpendapat, bahwa pengetahuan baik dan buruk, jang menghalau manusia dari taman firdaus dunia kanak², bukanlah pemberian iblis, tetapi bahwa Tuhan sendiri memasukkan Lucifer dalam tjiptaanNja djustru untuk mengadjarkan pengertian dosa kepada manusia. Djadi Said menganggap ketjerdasan sebagai karunia illahi, jang diilhamkan oleh kepertjajaannja kepada harmoni dalam alam, dimana disamping tiap² penjakit ada obatnja. Bagaimana ia menerima hidup ini memang membuktikan sifat positif dari putusan hidupnja sendiri, seperti djuga bagaimana ia memilih peladjarannja adalah kentara untuk perhatiannja kepada hidup dalam seluruh kekajaannja.

Peperangan membuat kuliah² ini berachir dan pada waktu itu telah tiba saatnja bagi Said untuk membuktikan dahulu benar², apakah harganja dalam hidup. Mangunsarkoro — dengan siapa Said sebagai guru jang paling muda berkali-kali seru berdebat dan jang pernah dipersalahkannja, bahwa tindakannja tidaklah tjukup sosialistis (kemudian ketika ia sendiri mendjadi pemimpin sekolah, ia mendapat pandangan jang lebih baik tentang keperluan² organisatoris dan pertalian dengan pemimpin sekolah jang lama mendjadi tetap terpelihara) — diganti oleh Sukamto. Tetapi tidak lama kemudian sebagian besar dari guru² itu telah mengungsi dan hanja karena ketabahan hati Mara Sutan, salah seorang guru jang paling lama di Taman Siswa, dan Said dan dengan bantuan murid², sekolah itu dapat dihidupkan kembali. Said memakai segala alat untuk mengelakkan pengawasan Djepang, supaja pendidikan murid² jang diserahkan kepadanja tidak menderita kerugian. Diluar djam² peladjaran untuk bahasa Djepang, jang telah dapat dipeladjarinja dalam beberapa bulan sadja, ia memberikan djuga dengan diam² peladjaran dalam bahasa asing atau dalam mata peladjaran lain jang terlarang.

Lalu angin topan revolusi datang bertiup dan sebagai dalam tahun '42 kebanjakan dari guru² telah pergi mengungsi, setelah pertempuran² pertama. Orang² Inggeris jang masuk mendarat untuk mendjaga keamanan, menangkap Said sebagai extremist atas tundjukan orang. Tetapi ia ternjata bukanlah type seorang anarchist pembom, sebaliknja pribadinja menarik mereka jang menangkapnja. Ia dilepaskan lagi dan karena penangkapan ini, ia berkenalan dengan beberapa opsir Inggeris dan India jang berguna baginja kemudian.

Waktu itu ialah zaman bersiap jang berbahaja dan ketika bangkai anak² telah terapung-apung dikali Molenvliet, Said mengerti, bahwa telah tiba waktunja untuk mendirikan lagi sebuah sekolah. Anak² jang dipungutnja dalam rumahnja merupakan murid² pertama tentu dan „sekolah” ini masih tetap dalam rumahnja sampai bulan Djanuari '46. Dalam segala lapangan Said mengambil initiatif dan dapat pula membentuk kembali korps pengadjar, jang selandjutnja terutama terdiri dari pemuda², jang menerima pimpinannja jang memberi semangat itu. Pengurus besar Taman Siswa memberikan kepadanja dispensasi peraturan tahun '32, jang mengatakan, bahwa hanja guru² jang kawin dapat ditundjuk sebagai pemimpin sekolah. Tidak lama kemudian sekolah itu sudah mentjapai seribu murid lagi.

Dalam bulan Djuli '47 tentara Belanda mendjalankan „aksi polisinja” jang pertama. Said dan beberapa orang guru² ditangkap lagi. Hampir kutjar-katjir sekolah itu kembali, tetapi meskipun ia harus lama tinggal dipendjara, sekolah diteruskan djuga. Waktu sekolah² Republik ditutup semuanja di Djakarta, berdujun-dujunlah murid² masuk ke Taman Siswa. Tetapi meneruskan sekolah itu tidaklah dapat disetudjui oleh pengurus besar di Djokja, jang berpendirian, bahwa di daerah² pendudukan pengadjaran harus dihentikan dan pada umumnja harus didjadikan sedemikian, hingga pemerintahan tidak mungkin. Said menolak dengan keras pendirian ini dan sebagai alasan penghabisan guru² di Djakarta memutuskan, bahwa djika pengurus besar tidak akan mengubah pendiriannja, sekolah itu akan bekerdja terus dengan nama lain. Dengan mesinterbang Inggeris Said pergi ke Djokja untuk merundingkannja dalam bulan Desember '47. Adalah terutama angkatan ketiga guru² jang muda Taman Siswa, (dan ia sendiri termasuk kesitu), jang mau tetap mempertahankan larangan itu. Guru² jang lebih tua seperti Dewantoro dan Mangunsarkoro menundjukkan pengertian jang banjak untuk alasan²nja, dan ketika setelah itu salah seorang pengurus dari Djokja membuat perdjalanan melalui daerah pendudukan Djawa Barat dan menjampaikan laporannja kepada pengurus besar, pendirian pimpinan mendjadi lunak, jang sebenarnja tidak mempunjai pandangan jang kurang tepat tentang keadaan didaerah pendudukan.

Said mendapat idjin memimpin konsulat Taman Siswa untuk daerah² pendudukan dan beberapa guru² jang lebih tua datang djuga kesekolah itu kembali, jang telah mempunjai lebih dari duaribu orang murid. Adalah tetap sulit untuk menampung murid² jang terus-menerus bertambah banjaknja itu, tetapi Said memperlihatkan keuletannja, ia menjuruh mereka membawa sendiri bangku dan medja untuk dipakai disekolah mereka sendiri. Sedang dimana-mana uang Nica masuk merembes, uang nafkah guru² masih tetap dibajar dengan uang ori, tetapi untuk meringankan kesulitan² mereka sedikit murid² membajar uang sekolahnja djuga dengan bahan makanan. Gedung di Djalan Garuda dengan masjarakatnja jang ramai dari murid² dan guru² dalam pergaulan karib, adalah seperti jang disebutkan Dolf Verspoor kepada kenalan²nja orang Inggeris: „The last republican fortress in Djakarta.”

Penderitaan belum berachir dan pada aksi militer kedua dalam bulan Desember '48 Said, jang baru keluar dari rumahsakit, setelah menderita penjakit radang paru², pada suatu malam gelap gulita diambil lagi oleh P. I. D. dan ditahan di Parapatan. Taman Siswa berdjalan terus dan dari luar pendjara murid² tidak lalai mengadakan perhubungan dengan Pak mereka jang ditjintai itu.

Setelah ia dibebaskan Said bekerdja „banting tulang” lagi untuk sekolah itu dengan kegembiraan jang tak patah²nja dan dengan empatribu orang murid dan delapan puluh guru², sekolah ini menghadapi dalam bulan Djuli '49 hari peringatan duapuluh tahun berdirinja tjabang Djakarta. Hari peringatan itu diramaikan dengan demonstrasi murid² dilapangan olah raga jang mereka buat sendiri, dan dengan pertundjukan perkumpulan musik klassik barat „Saraswati” jang erat berhubungan dengan sekolah itu, sedang dalam liburan sebelum tahun peladjaran baru, diadakan bukan sadja pertundjukan pekerdjaan² murid diruangan-ruangan kelas jang dikosongkan itu, tetapi djuga eksposisi lukisan² dari pelukis² Indonesia dan Tionghoa. Bukankah sebagai Taman Siswa jang baik orang menghendaki lebih dari tjorak sesuatu sekolah: sesuatu pusat kebudajaan untuk tua dan muda?

Adalah karena pertundjukan ini, saja mengundjungi sekolah itu untuk pertama kali. Persamaan² lukisan² jang dipertundjukkan dengan lukisan² barat dengan segera menarik perhatian saja. Tentang pelukis² Tionghoa itu, lukisan² mereka terutama mengingatkan saja kepada taraf seni lukis di Eropah jang dengan definitif berhenti, setelah petjah perangdunia pertama, dan pelukis² ini nampaknja meletakkan titik-beratnja pada penguasaan teknik, dengan masih ada disana-sini bekas² kalligrafi piktural Tiongkok. Sebaliknja pelukis² Indonesia adalah seakan-akan merupakan sambungan seni lukis Eropah modern jang telah terlepas dari masjarakatnja, jang sebenarnja djuga demikian memperlihatkan pendjelmaan bentuk jang diambil dari kebudajaan² primitif lain. Tjorak Indonesia sendiri barangkali tampak djuga dalam pemakaian pertentangan² warna, jang bagi saja agak tidak sewadjarnja, dengan ketjenderungan jang menjolok mata kepada warna kuning dan hidjau. Dari ketjakapan mereka jang kentara untuk dekorasi seperti jang kita lihat berkali-kali pada gambar² murid sekolah, tidaklah ada bekas²nja sama sekali. Ada sematjam kesan jang tidak menjenangkan pada lukisan² mereka sebagai akibat pengutamaan ke„spontan”an jang berlebih-lebihan dan portret² sendiri istimewa banjaknja, jang tentu sekali menundjukkan, bahwa mereka sedang sibuk dengan dirinja sendiri, jang berarti: pelukis² muda ini sedang mentjari dirinja sendiri. Pengutjapan kesepian dan pessimismus ada tampak pada air muka lukisan kepala² ini jang kebanjakan suram, kadang² hampir antjai. Djadi djuga „kebantunan”? Bukankah pessimismus puisi Indonesia telah djuga ditulis sebagai akibat masjarakat dalam pantjaroba kebudajaan?

Adalah menarik perhatian, bahwa djustru pelukis jang dalam lukisannja demikian impulsifnja, Affandi, bekerdja pada Taman Siswa sebagai guru gambar. Seorang guru jang djuga mahasiswa mengatakan itu kepada saja, ketika saja dengan dia bersama-sama sedang menunggu pulangnja Pak Said jang pergi menjampaikan pesan, untuk bertjakap-tjakap dengan dia. Ketika Pak Said datang, ternjata bahwa banjak benar pekerdjaannja, tetapi hal itu terlalu djelas diperlihatkannja, supaja djangan timbul persangkaan, bahwa adalah karena hendak menutupi sedikit keadaannja jang belum bersisir dan bertjukur itu, dan kepegalan ini membuat saja sebentar menjangka, bahwa saja telah berkenalan dengan seorang pelopor jang belum berapa lama ini saja lihat dibelakang kawat duri, ketika saja dari negeri Belanda baru sampai dengan kapal di Belawan, dimana mereka ditahan menunggu Konperensi Medja Bundar. Tetapipada suatu malam jang telah didjandjikan untuk bertjakap-tjakap saja beladjar mengenalnja lain sekali dikamar tidur-duduknja jang ketjil itu, jang disamping kamar mandi menundjukkan kedudukan pengurus besar (untuk Taman Siswa didaerah pendudukan), dimana kami dalam beberapa kursi rotan jang tjombeng dengan kepala berdekatan memulai perkenalan, Besar perbedaannja terasa untuk saja, ketika pada pertemuan jang lebih tenang ini, dalam kesunjian malam dipekarangan belakang jang segitiga dan penuh bangun²an itu, malahan terdengar sifat jang halus berhati-hati dalam suaranja dan dengan tiba² tampak kepada saja, bagaimana tulennja utjapannja dalam bahasa Belanda. Memakai sarong tidak pernah saja lihat dia, selalu memakai tjelana pendek sportif dari khaki dengan kaki telandjang dalam sepatunja. Malam itu kami telah segera terlibat dalam pertjakapan jang menarik hati, dimana mentjatat peristiwa² sedjarah sekolahnja hanjalah merupakan formalitet ketjil. Djuga tentang hari kemudian sekolah itu saja tanjakan dan ia tidak menjembunjikan, bahwa ia takut djumlah guru² akan berkurang dengan tjepat, apabila setelah penjerahan kedaulatan, mahasiswa² republik dengan sungguh² akan beladjar kembali untuk sedapat mungkin mengedjar ketinggalannja. Djuga pada umumnja ia menganggap soal guru, menilik pentingnja tugas pengadjaran dalam Indonesia merdeka, adalah salah satu soal jang paling penting. Sebab itu menurut pendapatnja ia setudju, bahwa disegala sekolah² menengah diberikan djuga sedikit peladjaran ilmu djiwa, ilmu mendidik dan didaktik untuk membuat mungkin mendjalankan bagi semua mahasiswa kewadjiban bekerdja pada pengadjaran setahun lamanja. Untuk gadji jang lebih baik, seperti waktu itu disokong oleh beberapa suratkabar, ia tidak dapat memperlihatkan sympati jang besar, Djustru karena gadji guru² Taman Siswa dibawah gadji guru² Pemerintah, dapat terdjamin, bahwa hanja mereka jang mempunjai panggilan djiwa untuk itu datang memasuki Taman Siswa sebagai guru.

— Tidakkah tuan mengharapkan, bahwa dikemudian hari djuga sekolah² Taman Siswa akan termasuk bilangan sekolah² jang mendapat subsidi dari Pemerintah?

— Saja tidak tahu. Barangkali ada selalu kebutuhan akan sekolah² pertjobaan jang sungguh² bebas.

— Pertjajakah tuan, bahwa sekolah² Taman Siswa dikemudian hari djuga akan berusaha untuk memadjukan „bekerdja sendiri” dikalangan murid² dengan metodik baru dalam djurusan jang lebih individuil?

— Tidak, saja tidak pertjaja. Untuk melakukan itu kami kekurangan alat² peladjaran dan pengadjaran kami untuk sementara harus terlalu banjak ditudjukan untuk orang banjak (massa). Penjelenggaraan jang diperatur seperti di Barat belum dapat kami tjapai sama sekali. Demikianlah misalnja buku² rapport bagi kami masih tetap sesuatu jang tak baik, tetapi jang tidak dapat kami elakkan, (saja sendiri ingin menjampingkannja), tetapi bagaimanakah kita dengan tjara lain dapat mengingat prestasi² beberapa ratus orang murid bersama-sama? Walaupun begitu, ada terdapat disekolah-sekolah kami suasana kebebasan dan kesatuan antara murid dan guru, jang pada sekolah² resmi, djuga sekolah² Republik, tidak dapat ditjapai, karena guru² disana terlalu menganggap dirinja pegawai. Pada kami ada sematjam suasana pertjaja-mempertjajai antara murid dan gurunja jang kadang² djauh lebih besar dari kepertjajaan kepada orang tua. Disini ada anak² jang datang kepada kami dengan soal jang tidak berani mereka membitjarakannja dengan orang lain. Dan kami berusaha, supaja mereka sendiri sedapat mungkin mengambil keputusan. Pendidikan watak itulah jang paling perlu bagi kami. Djuga selama peladjaran, murid² mendapat kebebasan penuh dan untuk mendjalankan ini dengan baik, kami malahan menjuruh mereka bekerdja bebas sama sekali satu hari dalam satu bulan: „hari usaha merdeka” itu ditetapkan sekarang pada tanggal tudjuhbelas tiap² bulan. Tentu sadja kami ingin, supaja tiap² anak seboleh-bolehnja dapat mengembangkan dirinja sendiri menurut bakatnja dan dapat memilih wudjudnja sendiri; tetapi jang terutama ialah bahwa kami dapat memberikan bantuan batin untuk itu. Kami ingin mengadjar mereka mengatasi pengaruh dari luar jang tidak dapat mereka elakkan nanti, dan hal ini kami lakukan dengan tjontoh kami sendiri. Waktu membuktikan, bahwa tjita² kami memang berbuah. Demikianlah misalnja ternjata, bahwa sebagian besar dari tokoh² pemimpin selama revolusi datangnja dari sekolah² Taman Siswa seperti Djenderal Sudirman. Dan djuga dikalangan pengarang² muda dapat kami tundjukkan murid² lama sekolah² kami, seperti Asrul Sani, Pramudya Ananta Tur dan Utuy Sontani.

Saja katakan, bahwa saja ingin melihat sekali dan mengalami sendiri pengadjaran Taman Siswa pada suatu hari sekolah biasa. Ia tidak berkeberatan sama sekali. Demikianlah saja pada suatu pagi, bersama-sama dengan seorang teman pengiring muda, ikut duduk berturut-turut dibangku sekolah dalam tiga kelas sekolah menengah dan dalam dua kelas sekolah rendah. Kekurangan alat² peladjaran dan perlunja untuk selalu membuat diktat adalah menjolok mata dalam kelas sekolah menengah. Tetapi hal ini dilakukan dengan tjara jang paling sewadjarnja dan dalam suasana persahabatan jang menggembirakan dengan „Pak” mereka didepan kelas, seorang mahasiswa muda, jang dengan kerelaan hati jang baik dan daja mengadjar jang meraba-raba membimbing murid²nja kedalam dunia pengetahuan. Tentu sekali dalam bahasa Indonesia. Sedjak tahun '42, murid² tidak pernah mendengar bahasa lain dan disini di Djakarta telah dipakai bahasa Indonesia mulai dari kelas satu. Disekolah rendah ini pengadjaran lebih diberikan oleh tenaga² jang terdidik baik dan saja hanjalah perlu melihat sebentar, bagaimana ibu jang „berwewenang” itu dengan perantaraan segala taktik vaknja dapat berbuat sekehendaknja dengan sekelas anak² ketjil dalam pertjakapan berganti-ganti jang teratur, untuk mengerti bahwa segala ketidakrataan dengan tiba² terhapus disini oleh tangan jang pasti.

Tentang murid²nja, djika saja tidak melihat segala gambar² dan sadjak² mereka dipertundjukan, maka beberapa orang anak perempuan jang berrok putih dan berbadju merah, djuga satu tjoretan dengan potlot dibangku jang berbunji „100 % merdeka”, telah membuat saja insaf, bahwa anak² disini dididik dalam suasana kebangsaan dan bahwa soal untuk mendjaga, supaja mereka tetap diluar politik, sedjak bertahun-tahun bukanlah soal jang mudah. Tetapi segala-galanja akan segera beres lagi pada hari jang aneh lagi sepi itu, distraat-straat jang mengibarkan bendera tetapi sunji, ketika Indonesia dengan tidak banjak ramai² memperoleh kemerdekaannja, disaksikan oleh orang² banjak jang berdjuta-djuta banjaknja dan berdjedjal-djedjal didepan istana.

Djadi pada saat ini bagi sekolah² di Djakarta mulailah tugas untuk membuktikan, bahwa djuga dalam keadaan baru itu Taman Siswa akan tetap memegang fungsinja jang mengatur dalam proses pembangunan jang sedang dialami Indonesia. Djika pada umumnja pengadjaran dalam hal ini mempunjai peranan penting, untuk pengadjaran Taman Siswa hal ini berlaku dua kali lipat dengan sifat kulturilnja, jang mendorong tetapi lebih² djuga jang memelihara itu, dan jang tentulah untuk sementara tetap mendjadi tjoraknja jang kentara.

Sekolah² sesetempat jang berbagai-bagai itu dalam hal ini akan dapat mempunjai tjoraknja sendiri masing², sesuai benar dengan rentjana sendiri dan tradisi instansi² pengadjaran, bergantung dari keadaan sesetempat dan tjorak pimpinannja, walaupun tjita² untuk kesatuan kebudajaan nasional tidaklah lalu daripadanja. Demikianlah Taman Siswa di Djakarta, dibawah pimpinan Said, terutama mempunjai fungsi pendorong dengan tjorak filosofis, terhadap Taman Siswa di Djokjakarta jang terutama mempunjai fungsi pemelihara jang lebih artistik tjoraknja. Tetapi dalam pada itu untuk murid² Djakarta dibuka lagi kesempatan untuk berlatih tari²an Serimpi. Pak Said nampaknja ada djuga berpendapat, bahwa tjinta untuk kebudajaan sendiri, djika mungkin, haruslah dipergiat, karena hal ini melindungi murid² dari peniruan membabi buta peradaban asing jang tidak dirasai.

Arti latihan musik dan tari sendiri untuk kebudajaan² timur, jang dalam pertemuan dengan barat terantjam terpetjah-petjah dalam segolongan ketjil orang² terpeladjar dan rakjat banjak jang besar djumlahnja, haruslah dianggap istimewa sekali. Bukankah disini masih ada „tanah pemberi makan” bersama, jang djuga akan mentjegah „kenakalan, keberandalan dan kebiasaan² buruk, jang merupakan peristiwa² sampingan dari pengadjaran barat jang tidak terelakkan, apabila hal ini tidak diikat oleh pikiran² religi atau tidak tjukup mendalam untuk membentuk dari dirinja sendiri discipline, jang berdasarkan penguasaan diri sendiri? Dimana tari dan musik mendjelmakan pikiran² filsafat dan religi dalam drama tari jang besar sekali nilainja, tari dan musik itupun memenuhi djuga kebutuhan² asthetis dan kebutuhan² batin” (L. C. Baudisch-van Harencarspel). Dapat ditambahkan kesini, bahwa ikatan jang demikian dapat djuga pada umumnja memperkuat rasa hormat kepada kekuasaan.

Apakah ini djuga alasan jang dipakai dengan sedar oleh Moh. Said, tidaklah dapat saja katakan, karena tentulah ia sanggup mengambil putusan² instingtif dalam hal ini. Sedjak pertjakapan kami jang pertama, masih berkali-kali kami bertukar pikiran; dan untuk itu tidak perlu lagi pertundjukan sebagai pendahuluan, walaupun ia djuga melandjutkan tradisi baru ini, dengan maksud memberikan kepada pelukis² Indonesia dasar kerakjatan dan karena itu ada kemungkinan untuk mengikuti kemadjuan mereka (jang dalam eksposisi penghabisan dengan djelas memperlihatkan konsolidasi keadaan umum: bukan sadja lukisan² jang teliti diberi berbingkai sekarang, tetapi djuga pendiaman jang kentara dalam dynamik dan sebagai ganti inspirasi jang tidak sempurna dikuasai ada lebih banjak pendalaman penjelidikan), seperti ia djuga hendak memperlihatkan pertaliannja dengan penjair² dengan menjuruh membuat patung Chairil Anwar untuk ditempatkan dalam kebun didepan sekolah itu. Tetapi dengan segala kegemarannja akan pemikiran dan pertanggungdjawabannja setjara filosofis, saja pertjaja djuga, bahwa dalam tindakan²nja ia adalah pertama-tama sahabat manusia jang merasai. Lebih dari seorang systematikus jang pasti sebagai Mangunsarkoro, menurut pendapat saja, ia lebih mendekati filsuf pedagogis sebagai Sjafei, jang djuga demikian sedikit menulis. Tetapi Sjafei mempunjai pendidikan dalam lapangan guru, sebelum ia mendirikan sekolahnja sendiri, Said sebaliknja memasuki djurusan jang sesuai dengan djiwanja dalam kebutuhan jang tidak tertahan, dimana ia selandjutnja mewakili unsur terbuka.

Dengan mentalitetnja jang istimewa Said dihargai djuga oleh orang² Indonesia jang lebih berpihak „barat”, jang pada umumnja tidak mempunjai sympati terhadap gerakan Taman Siswa. Anehnja djuga, bahwa kebanjakan dari mereka hampir tidak mengenalnja sebagai seorang Djawa, djadi kelihatannja ia termasuk prototype orang Indonesia tulen. Hal ini tidaklah djuga mengherankan benar, kata Said, sebab hidung saja memperlihatkan liuk hidung Arab dan mata saja memilih djurusan mata orang Tionghoa dan sifat² ini bukanlah taktulen sama sekali. Murid²nja ada mempunjai ukuran sendiri untuk mentjoba masing², mana keindonesiaan jang baik, ukuran jang tidak luput dari ketjerdikan semata-mata. Mereka misalnja mengatakan kepada seorang teman dengan edjekan jang diperlukan, bahwa ia adalah seorang Sunda. Apabila teman ini tidak marah, ia telah menang dan membuktikan, bahwa ia memenuhi sjarat² keindonesiaan. Bagaimana djauhnja mereka „antidaerah”, kelihatan, apabila waktu peladjaran ternjata, bahwa untuk sesuatu pengertian tertentu belum ada istilahnja dalam bahasa Indonesia, djadi mereka harus mentjari sendiri. Apabila Said mengingatkan, bahwa bahasa Djawa ada mempunjai kata jang tepat untuk itu, maka datanglah djawab: „Tetapi itu bahasa Djawa.” Dan mereka ternjata lebih suka kepada kata jang sama sekali asing, misalnja istilah Arab.

Tetapi dalam pandangan-hidupnja sendiri tidaklah pernah Said merasa perlu untuk menjembunjikan djiwa Djawanja. Djustru kelapangan dan kekuatan perasaan tjara berpikir Djawa ini merupakan unsurnja jang tulen, sehingga ia dengan pendidikannja (selfmade) jang lebih luas itu mendapat kesempatan untuk merangkum djuga beberapa aliran² filsafat modern, dengan synkretismus agama jang kentara. Inilah pendapatan jang aneh untuk prof. Kraemer jang djuga menjebutkan dirinja seorang synkretist, tetapi jang maksudnja tidaklah lebih dari Kalvinismus jang telah menjesuaikan dirinja dengan berbagai-bagai kebudajaan. Pertukaran pikiran dengan Said, berdasarkan kechilafan persamaan istilah aliran kesukaan keduanja, akan membuatnja tentu melompat dengan langkah seribu, apabila jang lain mengatakan dengan tenang, bahwa ia menganggap ideaal pandangan-dunia jang mempersatukan kekristenan dengan adjaran Nietzsche. Apakah tjita² kepada kekuasaan selainnja dari tjita² kepada kebahagiaan? Dan kebahagiaan jang paling tinggi ialah kesenangan hati. Djadi menurut Nietzsche haruslah Kristus disebutkan manusia jang paling berkuasa, jang kebal, kebadjikan jang memberi. Tetapi orang² kristen dengan kerendahan hati mereka sebagai kemauan akan kekuasaan jang „salah”, adalah orang² jang bermusuhan dengan hidup. „Saja pertjaja, bahwa Nietzsche, kalau ia tidak gila, akan kembali kepada kekristenan.”

Selandjutnja Said menerangkan, bahwa segala mistik pada hakekatnja nistjajalah synkretis, djadi djika diambil setjara teliti, untuk orang² kristen berarti fasik. Sebagai agama wahju kekristenan sebenarnja mengenal karunia pada satu pihak dan pada pihak lain kerendahan hati, djadi pada prinsipnja bukan kesatuan. Sebaliknja untuk kami orang² Djawa berlaku pengertian kawulo-gusti, pengertian budak dan tuan sebagai kesatuan *). Saja tidak memerlukan historisitet tokoh

____________

  • ) Kesatuan ini berarti, bahwa kita dalam tiap² keadaan bukan hanja kawulo tetapi djuga gusti, bukan hanja objek tetapi djuga subjek, dan karena itu mempergunakan reaksi-walaupun begitu jang membuat „nerimo” mungkin. Dalam kereligian „deemoed” (kerendahan hati jang pessimistis) berubah mendjadi „ootmoed” (kerendahan hati jang optimistis) seperti telah diterangkan didepan ini. Kristus untuk mengerti adjaran Kristus dan tjontohnja, djuga tidak historisitet Muhammad. Mereka semuanja hidup dalam kita sendiri. Sebab itu untuk kami hanjalah berlaku kedjawen dan agama disampingnja ialah pakaian: Seorang Djawa sebenarnja tidak menanjakan „agama mana kauanut”, tetapi „kaubawa?”

Pertjakapan ini nistjajalah tidak ada gunanja. Tetapi keluarbiasaan Said untuk menghargai filsafat-hidup Nietzsche sebagai orang Djawa tidaklah begitu aneh. Bukankah kedjawen dengan kepertjajaannja kepada rentjana alam jang teratur adalah seakan-akan filsafat-hidup sendiri jang hanja dengan mengambil kepertjajaan sebagai dasar (dan apakah jang lebih sesuai dalam suatu masjarakat, dimana kerdja selalu hanja mempunjai tjorak tambahan atas keluapan alam?) dapat sampai kepada kepertjajaan akan hidup dan akan kemungkinan tertjapainja kesempurnaan? Dan disinilah filsafat-hidup itu mendjadi idealismus jang paling murni dan kita sampai kepada filsuf lain dari Eropah jang dianggap Said sebagai gurunja: „Apa jang ditulis oleh prof. Bierens de Haan, adalah mendjelmakan kalimat demi kalimat apa jang saja rasa sebagai orang Djawa.”

Dalam garis inilah djuga hendaknja ditjari, kalau kita hendak mengerti utjapan Dewantoro, bahwa pengertian kodrat alam, (kodrat alam jang merangkum seluruh hidup kita dan jang, karena watak illahi alam, membawa kita kepada kebaikan), mendjauhkan kita dari tiap² ketidaksenangan jang kesal (dan hal ini membuat Armijn Pane gusar), djuga penggabungan kodrat, jang dirumuskan dalam sila Taman Siswa jang pertama, dengan kemerdekaan jang disebutkan dalam sila ketiga atau „hak mengatur diri seseorang” (tentang pertentangan batin dalam azas „nerimo” ia diserang oleh prof. J. J. van Rijekevorsel). Untuk itu ada baiknja diingat, bahwa seseorang jang hidup dalam sikap „nerimo", artinja dalam kepertjajaan dan penjerahan, haruslah merasa kemerdekaan batin jang kuat. Djadi adalah djuga senjum simpul Said jang mengatakan, bahwa „nerimo” tentulah bukan berarti, bahwa kita duduk begitu sadja dengan tangan lemas tergantung; tetapi kegembiraannja jang kentara itu, jang membuatnja demikian berbeda dari portret² lukisan jang telah kita sebutkan. Ia djuga telah mengenal ketidaktentuan, lebih lama dan lebih dalam dari beberapa orang lain, tetapi ia sekarang gembira tentang itu dan ia ingin, bahwa tiap² orang pada waktunja akan mengalami waktu jang demikian, hal itu akan membuktikan pengalaman jang lebih dalam dari jang diperkenankan kedangkalan umum. Pendapatnja bahwa krisis djiwa akan sehat pada waktunja, sebenarnja bertentangan dengan titik permulaan tjita² pedagogis Dewantoro, tetapi menjatakan kepertjajaan kepada alam jang meluap dengan zaman kemudaan, didjelmakan dengan tidak terkutik dalam pembatasan „pada waktunja”.

Revolusioner jang suka tertawa ini biasanja melunakkan kemarahan murid²nja terhadap pendjadjah (dahulu) tanah air mereka dengan kritik: „Bukankah kita djuga bersalah dalam pendjadjahan kita itu?” Sakit hati tidaklah dikenal Said, untuk itu djiwanja, jang, diberi makan oleh pengadjaran dan batjaan, terlalu dididik dengan sutji. Perdjuangan jang dahulu, sebenarnja telah lalu dari padanja dengan tidak meninggalkan solidaritetnja dengan bangsanja. „Dari orang² Belanda tidak saja sangka, bahwa demikian dalam mereka runtuh, tetapi bangsa kami sendiripun melakukan kekedjaman. Demikianlah halnja dalam pertempuran.” Said adalah type seorang humanist jang aktif. Apabila ia ingin tetap menghidupkan sifat² kebudajaan sendiri jang telah ditjapainja dengan pengadjaran, adalah itu karena tjintanja untuk nilai² batin ini dan bukanlah karena dengan segala daja upaja menggenggam kepunjaan sendiri dalam overkompensasi batin, jang lahir dari perasaan kurang (minderwaardigheidscomplex). Barang² kebudajaan jang dianggapnja berharga dan jang untuk itu dapat dididik anak² Indonesia, dia terima dengan tidak menanjakan asalnja. Tetapi untuk mengoper unsur² ini memang diperlukan kematangan djiwa dan dengan melepaskan kepunjaan djiwa sendiri tidaklah ditumbuhkan kematangan ini. Kita melihat djuga, bahwa orang banjak dalam kota², jang oleh tekanan ekonomi telah lama kehilangan kepertjajaan kepada jang lama dan berusaha dengan radjin meniru gaja „barat”, memperlihatkan dalam hal ini kepekaan istimewa untuk segala unsur² Amerikanja jang demikian dangkalnja berakar.

Apabila ia menganggap djiwa murid²nja tidak tahan kepada unsur² ini, Said memperingatkan mereka terhadap itu. Demikianlah misalnja ia memperingatkan mereka terhadap dansa modern. „Apakah jang kamu kehendaki sebenarnja, sedangkan dibioskop belum dapat diperlihatkan tjium dilajar putih dengan tidak kedengaran siut².” Ia djuga duduk dalam panitya sensur pilem dan ia melihat, bahwa panitya inipun tidaklah berdaja. Apabila seorang anak dalam kelas dengan mengunjah-ngunjah karet-gula ingin selalu terus memperlihatkan air muka jang lain, ia dapat melarangnja, tetapi diluar kelas hal itu tidak mungkin, karena ia tidak dapat memakai „mengganggu dia sendiri” sebagai alasan. Sementara itu ia sendiri adalah diluar pekerdjaannja hampir seorang perokok jang tak putus²nja mengepulkan asap keatas seperti tjerobong paberik.

„Apa jang hendak kami oper tidaklah dapat ditentukan lebih dahulu,” kata Said dengan tenang dan rasionil (tetapi bukan rasionalistis). „Sebab apabila ternjata ada sesuatu jang dapat kami terima, maka kami telah mengopernja.” Untuk memungkinkan pertjobaan ini atas rasa hidup sendiri, maka ia barangkali setudju dengan tingkat kebebasan jang lebih besar dalam kemungkinan penjintuhan dengan jang asing (jang tidak dipunjai), lebih besar dari jang dikehendaki Dewantoro. Tetapi persetudjuan kebudajaan dengan Belanda seperti jang ditetapkan dalam K.M.B. dan jang ditolak oleh gerakan Taman Siswa dalam konggresnja bulan Maret '50, dianggap Said djuga sebagai keberatan: dalam segala-galanja haruslah kebebasan tetap mendjadi sjarat, djuga dalam kerdja-sama kebudajaan jang diharapkannja dengan segala senang hati.

„Ketakutan kepada kembalinja pendjadjahan Belanda, tetapi dalam arti kebudajaan, tidaklah perlu dirasai oleh bangsa Indonesia lagi, lebih baik ia harus awas terhadap penetrasi kebudajaan Amerika, jang lebih kuat dan lebih merangkum itu.” Pendapat ini diberikannja belakangan dalam suatu interpiu dengan korresponden kantor berita „Antara”, dimana ia mendjelaskan perlunja pemerintah menetapkan sekarang dengan djelas, apakah pengetahuan bahasa Belanda untuk dapat mengikuti pengadjaran tinggi, lebih² dalam fakultet hukum, masih diperlukan atau tidak. Pada saat ini, sebagai akibat tidak diadjarkannja bahasa itu disekolah-sekolah S.M.A., terutama mahasiswa² muda, mempunjai kesulitan besar dalam mengikuti kuliah² dan dalam mempeladjari buku² jang diwadjibkan, sehingga kebanjakan dari mereka takut untuk membuat udjian dan persentase lulusan masih tetap sedikit, sedang jang lain² menghentikan peladjaran²nja atau mengambil peladjaran partikelir dalam bahasa Belanda dengan bajaran mahal. Apabila Pemerintah tidak sanggup menjuruh memberi pengadjaran tinggi dengan tidak ada bahasa ini, maka haruslah ia mempunjai keberanian untuk menjampingkan sentimen² politik, djuga walaupun ada soal Irian, dan memberikan kesempatan disekolah-sekolah menengah untuk sedikit-dikitnja menguasai dengan passif bahasa Belanda *) dan djika perlu, memberikan pengadjaran tambahan dalam bahasa itu pada universitet sendiri. Hanjalah dengan politik realistis dapat dibangun Indonesia.

Ketjuali dari tjara bagaimana ia memulai soal bahasa Belanda jang pelik ini, ternjata djuga dari lezingnja untuk Jajasan Kerdja-sama Kebudajaan di Djakarta, bahwa ia tidak ikut dalam ketakutan politik Dewantoro. Dan pendapatnja tentang tjita² Taman Siswa sebagai tjita² universil diutamakannja djuga disana: „Manusia dari segala bangsa dan kejakinan dapat mendjadi anggota dan membantu mewudjudkan tjita² Taman Siswa, tjita² jang tidak hanja berlaku untuk orang Indonesia, tetapi djuga untuk tiap² orang.”

Seperti telah dikatakan Mangunsarkoro: „Disini kita lihat, bahwa dalam Taman Siswa lebih dipentingkan kemorilan dari pada kenasionalan („Dengan tidak ada ini Taman Siswa tidak akan dapat mendjadi lembaga pendidikan dalam arti jang sebenarnja”). Kenasionalan dianggap Taman Siswa hanja sebagai bentuk pendjelmaan kemanusiaan jang tinggi. Inilah selandjutnja jang mendjelaskan, bahwa Taman Siswa melihat dalam individu pusat kemadjuan masjarakat dalam arti seperti Foerster melihat djiwa kebudajaan sebagai kebudajaan djiwa.” (Kol. Studiën '38, hal. 597).

Benih tulen, jang kekuatannja untuk tumbuh tidak mengetjewakan kepertjajaan, adalah karena itu lebih lagi dari manusia Djawa seperti jang digambarkan dalam program-azas, manusia Djawa jang harus kembali kepada kebudajaan sendiri, singkatnja manusia jang memerlukan kemerdekaan untuk mengembangkan dirinja. Kemerdekaan ini menganggap, bahwa segala jang tidak tjotjok lagi dengan keadaan sekarang seperti jang diakui oleh Dewantoro haruslah ditinggalkan, dan barulah, apabila segala bangsa² mewudjudkan hal ini untuk dirinja sendiri, akan mungkin melakukan pertemuan jang tidak berpihak sama sekali untuk keuntungan kedua pihak.

Bagaimana benarnja untuk sementara hanjalah setjara insidentil dialami oleh beberapa orang. Pertemuan dengan Said saja anggap sebagai salah satu pengalaman jang berbahagia dalam hidup saja. Memang, seorang idealist adalah djarang terdapat dalam zaman kita ini, di Indonesia tidak kurang dari dinegeri laini didunia. Tetapi lebih dari idealismusnja, integritetnja menarik saja. Ia adalah salah seorang dari manusia jang tidak banjak itu jang ternjata berharga untuk hidupnja. Barangkali anggapan ini terlalu subjektif dan barangkali ada djuga artinja untuk mengatakan, bahwa ukuran ini hanjalah mungkin terdapat pada orang² jang sama umurnja. Untuk saja dialah orang kedua jang memberi kesan ini. Orang jang dapat

_________________

  • ) Sementara itu pengurus besar Taman Siswa menjatakan dalam konperensinja bulan Maret '51 keberatan terhadap pemasukan bahasa Belanda Sebagai mata peladjaran pada S.M.A. dipertjajai sungguh², „een man uit één stuk” kata orang Belanda dan karena itu dengan sifat kedjudjuran jang hampir sempurna. Jang satu seorang pelukis dinegeri Belanda, jang lain seorang pendidik Indonesia jang suka bertindak.

Dan adakah pertemuan itu suatu pertemuan, dimana segala tjerita² tentang perbedaan antara Timur dan Barat ternjata dongeng belaka? Tidak, bukan begitu, walaupun saja tidak tahu, apakah kategori itu penting dan akan tetap penting setjara prinsipiel. Tetapi optimismus pandangan-dunia Djawanja tidaklah dapat saja ikuti, seperti sebaliknja keberatan saja jang bertjorak existentialistis adalah terlalu pessimistis-eropah baginja. Pengorbanan seperti jang diberikannja untuk tjita²nja tidaklah pernah saja alami, tetapi utjapannja: „Tjara hidup saja jang sederhana itu adalah karena terpaksa, apabila saja sekarang dapat membeli sebuah tempat tidur dan pakaian jang lebih baik, mengapa saja tidak beli?”, terpaksalah saja djawab dengan: „Dan djika peminta-minta, jang terletak disudut sana menunggu matinja, lebih memerlukan sekarang tempat tidurmu itu?” „Djika ia datang, ia boleh menerimanja,” djawab Said, tetapi pemakaian provisionil (untuk sementara) ini tidaklah mentjukupi sebagai alasan prinsipiel. Dunia masih selalu dalam „dosa”, untuk itu kita adalah keketjualian, individu². Ketakutan adalah sikap hidup seperti djuga kepertjajaan. Kedua-duanja adalah tidak rasionil.

Sekali barangkali akan ada lahir pandangan-hidup jang dapat mempersatukan komponen² ini, jang berarti pengangkatan deradjat dengan tidak berpihak. Maka adaptasi akan berlaku dimana-mana. Ortega Y Gasset mengatakan tentang itu dalam El Tema de nuestro Tiempo: „Mungkin barangkali pandangan jang lebih mengenal djiwa bangsa² lain dan zaman² akan menghasilkan pendirian jang baru lagi subur untuk kita. Kita akan melihat, bahwa tiap² djenis kebudajaan mengembangkan bakat sendiri untuk memetjahkan tugas vital tertentu. Dari induksi historis jang besar, jang diperlukan dan diberitahukan disini, akan terdjadi klassisismus baru, klassisismus jang berformat besar sekali. Dan djika kita menghadapi pertanjaan tertentu, tugas tertentu atau soal tertentu, maka kita dapat beladjar pada tiap² masa dan pada tiap2 bangsa. Tiap² masa dan bangsa akan ternjata adalah dahulu klassikus dalam lapangan lain.”

Apakah pada proses penjatuan ini Barat jang dahulu sedang tumbuh itu di Indonesia akan diwakili oleh orang² Belanda sampai kepada selesainja proses itu, adalah pertanjaan besar tentu, apabila kita mengingat „incompatibilité des humeurs” antara kedua bangsa itu sedjak perang terachir dengan subur berkembang. Mungkin kerugian batin untuk Nederland adalah lebih besar dari untuk Indonesia. Tetapi perhatian kepada laporan seseorang jang melihat sendiri perkembangan dinegeri ini akan tetap ada, sebab dalam perdjalanan waktu dikalangan wakil²nja di „Timur” ada selalu beberapa dari mereka, jang nasionalismus itu adalah seakan-akan suatu tingkat jang harus diatasi untuknja dan jang dengan segala perhatian membukakan dirinja untuk dunia lain jang terbuka disini untuk mereka.

Djakarta, Desember 1951.

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia karena penciptanya telah meninggal dunia lebih dari 70 tahun yang lalu atau dipublikasikan pertama kali lebih dari 50 tahun yang lalu. Masa berlaku hak cipta atas karya ini telah berakhir. (Bab IX UU No. 28 Tahun 2014)